• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pidana Subjek hukum pidana. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Pidana Subjek hukum pidana. doc"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAYA

Program Studi : Ilmu Hukum Tahun Akademik : 2014/2015

Deskripsi:

Dalam pemberian Mata Kuliah Hukum Pidana, akan dijelaskan mengenai konsep-konsep dasar di dalam Hukum Pidana yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tujuan Instruksional Umum:

Sasaran yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar mata kuliah Hukum Pidana ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa mengenai proses penetapan suatu perbuatan dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Proses Belajar Mengajar Media Penilaian

1. Uraian 2. Diskusi

3. Latihan soal, contoh

(2)

Minggu Tujuan Instruksional Khusus Pokok Bahasan Materi Sumber Bacaan

1 2 3 4 5

I A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan istilah dan pengertian dari Hukum Pidana

Pengertian Hukum Pidana dan merupakan bagian dari sistem hukum

- Istilah H Pidana - Pengertian H

Pidana

- Bab I - Bab II.

I B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang H Pidana Formil dan Materiil

Hukum Pidana Formil dan Materiil

- KUHP - KUHAP

II A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang makna dan tujuan Hukum Pidana.

Makna dan tujuan Hukum

Pidana. - Dasar Pembenar Pemidanaan - Tugas utama Ilmu

Hukum Pidana.

Bab III

II B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang dasar-daar hukuman.

Dasar-dasar hukuman. - Teori absolut. - Teori relatif. - Teori gabungan.

III A Mahasiswa memahami dan menjelaskan tentang Asas-asas Hukum Pidana.

Asas-asas Hukum Pidana. - Asas Legalitas. - Kulpabilitas.

Bab IV

III B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang berlakunya Hukum Pidana.

Berlakunya Hukum Pidana - Asas Nasionalitet Aktif.

(3)

IV A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Subyek Tindak Pidana.

Subyek Tindak Pidana - Manusia sebagai Subyek TP

- Korporasi sebagai Subyek TP

IV B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Penafsiran Undang-Undang Hukum Pidana.

Penafsiran UU Hukum

Pidana. - Macam Penafsiran UU. - Penafsiran yang

dapat diterapkan pada H Pidana.

Bab III.

V A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Tindak Pidana (Strafbaarfeit) dan Unsur-unsur TP.

Pengertian tentang Tindak Pidana, jabaran unsur-unsur tindak pidana.

- Pengertian TP.

- Unsur-Unsur TP. Bab VII 1-3.

V B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Jenis-jenis tindak pidana dan sebab-akibat terjadinya tindak pidana.

Pengertian jenis-jenis dan sebab-akibat terjadinya tindak pidana.

- Jenis-jenis TP. - Sebab-akibat.

Bab VII 4-7.

VI A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang pertanggungjawaban dalam

VI B Rangkuman perkuliahan. Rangkuman.

(4)

VII A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang alasan-alasan yang

mengecualikan dijatuhkannya hukuman, yang mengurangi/ menambah beratnya hukuman.

VII B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang seketika dan bersifat melawan hukum.

Pembelaan yang perlu dilakukan dan terhadap serangan yang seketika.

- Noodweer. - Serangan

seketika.

- Pembelaan yang perlu.

- Bab XII

VIII A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Percobaan, Penyertaan tindak pidana.

Percobaan, Penyertaan dan

Pembantuan tindak pidana. - Percobaan TP.- Penyertaan TP. - Pembantuan TP.

- Bab XIV. - Bab XV.

VIII B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Gabungan dan Pengulangan tindak pidana.

Gabungan dan Pengulangan

tindak pidana. - Gabungan TP.- Pengulangan TP. Bab XVI.

IX A Mahasiswa memahami dan dapat tentang Gugurnya hak menuntut dan hukuman.

Gugurnya hak menuntut dan hukuman.

- Perkara yang telah diputus.

- Penyelesaian di luar pengadilan.

(5)

X A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Delik Aduan.

Delik Aduan. - Aduan yang absolut.

- Aduan yang relatif.

Bab 4.

X B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang

Dituntut dengan syarat dan tindak pidana khusus.

Dituntut dengan syarat dan tindak pidana khusus.

- Dituntut dengan syarat.

- Tindak pidana Khusus.

XI A Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Kejahatan terhadap tubuh.

Kejahatan terhadap tubuh. Dilakukan dengan: - sengaja.

- culpa.

XI B Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Kejahatan terhadap

- seseorang untuk bertindak.

XII Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang Kejahatan terhadap

Kemerdekaan untuk bertindak dan terhadap Kehormatan.

Kejahatan terhadap Kemerdekaan untuk bertindak dan terhadap Kehormatan.

Kejahatan terhadap: - Kemerdekaan

untuk bertindak. - Kehormatan.

XIII Rangkuman perkuliahan. Rangkuman perkuliahan

(6)

Daftar Pustaka :

1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2.Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Drs. P. A. F. Lamintang, S.H. 3.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I dan II, Mr. Drs. Utrecht.

4.Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Prof. Satochid Kartanegara, S.H. B e k a s i, 2015

(7)

HUKUM PIDANA

SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa.

Sebagian besar sarjana hukum melihat hukum Pidana sebagai hukum publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan

atau mengatur kepentingan umum.

Hukum Pidana ialah bagian dari pada keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

(8)

Van Apeldoorn : melihat dalam peristiwa pidana ( strafbaar feit ) suatu pelanggaran tata tertib hukum umum dan tidak melihat dalam peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan-kepentingan khusus dari para individu.

Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa itu, tetapi penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah.

Van Hamel : menjalankan hukum pidana itu sepenuh-penuhnya terletak dalam tangan pemerintah.

Simons : Hukum pidana mengatur hubungan antara para individu dengan masyarakat sebagai masyarakat.

Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat, dan juga hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya.

(9)

Pompe

:

Berlainan halnya dengan ganti kerugian dalam

hukum privat, bagi hukum pidana kepentingan khusus para

individu bukanlah suatu persoalan primer.

Yang

dititikberatkan

oleh hukum pidana pada waktu

sekarang adalah

kepentingan umum

. Perhubungan

hukum yang ditimbulkan koordinasi antara yang bersalah

dengan yang dirugikan (seperti dalam hukum privat), tetapi

perhubungan hukum itu bersifat suatu subordinasi dari

yang bersalah pada pemerintah, yang bertugas

memperhatikan kepentingan umum.

(10)

Hukum pidana biasa (umum) (commune strafrecht) seperti yang tercantum dalam antara lain KUHPidana dan yang berlaku bagi semua orang yang ada di wilayah Indonesia (terkecuali mereka yang

mempunyai hak diplomat asing).

Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht):

- dibuat untuk beberapa subyek khusus atau untuk beberapa

peristiwa pidana tertentu.

- memuat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang

dari ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum pidana umum.

1. Hukum Pidana Fiskal :

Ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam UU

mengenai urusan pajak negara termasuk peraturan-peraturan yang

(11)

2. Hukum Pidana Militer

a. Berlakunya hukum pidana militer disinggung dalam pasal 102 UUDS. Ketentuan ini membedakan antara hukum pidana sipil dan hukum pidana militer.

b. Ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari ketentuan dalam hukum pidana umum.

c. Wetboek van Militer Strafrecht voor Indonesie, LNHB 1934 Nr 167 dan LNHB 1934 r 168 yang mengatur hukum disiplin tentara.

d. UU No. 3/PNPS/1965 tentang Memperlakukan Hukum Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara.

3. Hukum Pidana Ekonomi.

Berhubungan dengan perkembangan negara dan dunia ke arah yang lebih sosialistis, maka turut serta pemerintah dalam lapangan perekonomian makin lama makin bertambah.

- Penyelengaraan peraturan per-UU-an berkaitan dengan ekonomi dapat menggangu penghidupan ekonomi rakyat (UU o. 7/Drt/1955). - Azas-azas dalam delik ekonomi berbeda dengan azas-azas pidana

umum.

(12)

4. Hukum Pidana Politik.

Kejahatan-kejahatan yang sangat dapat membahayakan penghidupan rakyat seluruhnya.

- Menghianati rahasia negara kepada luar negeri, merencanakan,

mempersiapkan dan mengusahakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, merencanakan, mempersiapkan dan menjalankan sabotage dll.

- Delik-delik politik disinggung oleh hukum titel I - V Buku II (pasal 104 – 181).

- Diperlukan ukuran-ukuran yang lebih berat dari pada ukuran

biasa dalam mempertimbangkan dijatuhkan hukuman ) lebih berat), seperti :

- Penpres No. 11/1963 jo UU No. 1/PNPS/1963 tetang

Pemberantasan Kegiatan Subversi.

- Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu

(13)

Hukum Pidana Komunal (daerah)

-

Dibuat oleh Pemerintah Daerah TK I dan TK II adalah

akibat logis dari kekuasaan membuat peraturan umum

untuk mengurus sendiri rumah tangganya.

-

Hukum pidana yang dibuat hanya dipakai sanksi atas

pelanggaran peraturan-peraturan yang dibuat oleh

Pemda sendiri.

-

Termasuk hukum pidana sipil, namun hanya dihadapkan

dengan masalah-masalah tersendiri yang ditimbulkan

dalam masyarakat daerah.

-

Bukan hukum pidana khusus walaupun dihadapkan

dengan masalah-masalah sendiri dan tidak mengandung

azas-azas pidana yang menyimpang dari azas-azas

pidana umum.

-

Terikat oleh ketentuan dalam pasal 103 KUHP.

(14)

Hukum Pidana dapat dibagi :

1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan dan larangan,terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang bersifat memaksa.

a. Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan :

1). Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum. 2). Siapa yang dapat dihukum.

3). Dengan hukum apa menghukum seseorang.

b. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).

2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Puniendi) ialah hak negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana obyektif yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan hukum delik).

3. Hukum Pidana Umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap orang kecuali anggota ketentaraan,

(15)

Menurut Beysens pemerintah diberi Ius Puniendi, ialah :

1. Pada azasnya negaralah yang berhak dan berkewajiban menjatuhkan hukuman. Sesuai dengan sifat negara dan sesuai dengan kodrat alam manusia, diberi hak untuk membalas pelaggaran tersebut dengan

menjatuhkan suatu kerugian untuk pelanggar.

2. Hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dengan sendirinya bersifat pembalasan.

3. Pada umumnya negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatan-perbuatan yang :

a.ditinjau dari sudut obyektif (dan menurut hukum publik) adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib negara.

b.ditinjau dari sudut subyektif adalah perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan itu.

4. Beberapa azas-azas yang harus menjadi dasar prinsipil perbuatan itu : a.Negara itu suatu masyarakat.

(16)

Susunan KUHPidana

KUHP terdiri dari atas 569 pasal yang dibagi dalam tiga buku, yaitu : Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1 – 103).

Buku II : Kejahatan (Pasal 104 – 488). Buku III : Pelanggaran (Pasal 488 -569) Dalam buku I dimasukkan :

1. Azas-azas (hukum) pidana yang pada umumnya bagi seluruh lapangan hukum pidana positif, baik dalam KUHP maupun yang termuat dalam per-UU-an lainnya.

2. Pengertian-pengertian, seperti :

- percobaan (poging) pasal 53-54 KUHP.

(17)

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

Memorie van Toelichting : pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu sebagai suatu pembagian azasi (prinsipil).

Van Andel, Creutzberg :

Kejahatan (crimineel onrecht) adalah perbuatan yang karena

sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum (delik hukum = jika

perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas pada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam UU).

Pelanggaran (politie onrecht) adalah perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikenai hukuman tetapi UU pidana tidak menyebutnya

sebagai delik (delik UU = perbuatan yang bertentangan dengan apa

(18)

Pelanggaran

adalah perbuatan yang hanya formill tidak

halal. Perbuatan tidak halal karena UU mencapnya

sebagai perbuatan yang tidak halal

(Von Liszt).

Kejahatan

itu sebagai perbuatan yang melanggar

“kulturnormen”, sedangkan peraturan-peraturan

“verwaltungsstrafrecht” (hukum pidana administratif) dapat

dianggap sebagai “kulturell indefferent”

(Binding).

Kejahatan

itu sebagai perbuatan yang bertentangan

dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan.

(19)

HUKUM PENINTENSIER (Pasal10-43 KUHP)

Hukum Penitensier adalah peraturan-peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (maatregelstelsel).

Hukum Penitensier merupakan bagian dari hukum pidana positif, yaitu yang menentukan:

- Jenis sanksi atas pelanggaran,

- Beratnya sanksi itu,

- Lamanya sanksi itu dirasai oleh pelanggar, dan

- Cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan.

Sanksi itu hukuman maupun tindakan merupakan satu sistem, dan sistem inilah yag dipelajari oleh ilmu (hukum) penitensier.

(20)

Sanksi berarti :

- Memperkuat atau menyetujui suatu keadaan atau keputusan yang

diambil,

- Suatu sarana paksaan untuk melaksanakan suatu ketentuan

tertentu.

Dalam hukum penitensier, sanksi diartikan sebagai suatu sarana

untuk memperkuat suatu aturan, norma, ketentuan, kebiasaan ataupun perikatan, sehingga tidak boleh dilanggar.

Dengan adanya sanksi tersebut, maka suatu norma akan berlaku sedemikian rupa, sehingga mereka yang diatur oleh norma tersebut akan terdorong untuk berperilaku sesuai kaidah yang berlaku baginya itu.

(21)

Dahrendorf

mengatakan bahwa secara

sosiologis sanksi ada dua cara untuk

melaksanakan suatu norma yang lazim

dibedakan antara :

-

Sanksi positif

yaitu apabila orang

berperilaku dapat dikaitkan hal-hal yang

menguntungkan sesuai dengan kaidah tersebut,

-

Sanksi negatif

yaitu apabila orang

berperilaku tertentu yang melanggar kaidah,

dapat dikaitkan hal-hal yang merugikan

(22)

Visualisasi secara sistemetis (garis besar) mengenai sanksi di dalam arti umum, sbb: 1. Sanksi-sanksi yang tidak mempunyai sifat yuridis,

contoh: sanksi sosial, pedagogis, keagamaan. 2. Sanksi-sanksi yuridis :

a. Yang tidak bersifat hukum pidana, yang bersifat : 1). Hukum perdata secara umum,

2). Hukum kekeluargaan, 3). Hukum administratif, 4). Hukum ketatanegaraan, 5). Hukum acara,

6). Hukum internasional. b. Yang bersifat hukum pidana :

1). Di luar hukum.

a). Dilaksanakan oleh Polisi, b). Dilakukan Penuntut umum. 2). Bersifat hukum :

(23)

Pemidanaan merupakan suatu sanksi yang bersifat subsider yaitu baru akan diterapkan, apabila sanksi-sanksi lainnya tidak dapat menanggulangi

keadaan.

Suatu penderitaan mempunyai ciri pemidanaan kalau berhubungan dengan suatu perbuatan atau kelalaian yang salah. Pemidanaan tak akan mungkin tanpa kesalahan (tidak ada hukuman tanpa kesalahan).

Pemidanaan merupakan suatu penderitaan yang dijatuhkan terhadap seseorang sebagai pengesahan terhadap kesalahannya.

Pemidanaan bertujuan untuk :

1. Mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,

(24)

Tiga (3) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai

dengan suatu pemidanaan :

1. Untuk

memperbaiki pribadi

dari penjahatnya itu

sendiri.

2. Untuk membuat orang

menjadi jerah

untuk

melakukan kejahatan.

3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi

tidak mampu

untuk melakukan kejahatan yang lain.

Simons

berpendapat bahwa hingga akhir abad ke-18,

praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari :

-

Paham pembalasan.

-

Paham membuat jera.

(25)

Dalam konsep klasik ada 3 teori pemidanaan

, yaitu :

1.

Teori Pembalasan

yaitu pemidanaan bertujuan untuk

memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana.

Masyarakat tidak rela dengan dilanggarnya norma

dalam masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat

menghendaki pelaku tindak pidana diberikan sanksi.

2.

Teori Tujuan

yaitu mengutamakan tujuan untuk

melakukan pembinaan narapidana, akan tetapi dapat

juga bertujuan untuk mengasingkan terpidana dari

masyarakat.

3.

Teori Gabungan

yaitu merupakan pembalasan

terhadap dilanggarnya suatu norma, akan tetapi di

samping itu juga bertujuan untuk melakukan

(26)

Teori dari

Kant

: dasar pembenaran dari suatu

pidana itu terdapat di dalam

Kategorische

Imperativ

, yaitu yang menghendaki agar setiap

perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.

Mengenai berat ringannya suatu pidana dapat

dijatuhkan berdasarkan asas keseimbangan.

Hegel

menghendaki adanya

dialektische

vergelding

(pembalasan yang bersifat dialektis)

yaitu yang mengsyaratkan adanya suatu

keseimbangan antara kejahatan yang telah

(27)

Agar pemidanaan ditinjau secara tepat maka tinjauan dibedakan dalam 3 taraf sudut tinjauan, yaitu:

1. Tujuan pemidaaan pada taraf Legeslatif.

- pembentuk UU lazimnya menetapkan adanya fakta tertentu

yang bersifat pidana, yang bertujuan pada :

- Organ-organ tertentu yang diberi wewenang untuk

menerapkan ketentuan pidana.

- Pencari keadilan yang berwujud suatu peringatan kalau

berperilaku tertentu akan dikenakan sanksi pidana.

- Asas “tidak ada hukuman apabila tidak ada kesalahan” juga

berlaku bagi pembentuk UU. Artinya hanya perilaku tercela saja yang dapat dikualifikasikan sebagai perilaku pidana.

- Asas “tidak ada hukuman yang lebih berat dari kesalahan”

juga berlaku pada taraf ini.

(28)

2. Tujuan Pemidanaan pada taraf Yudikatif.

- Untuk merealisasikan ancaman hukuman yang ada (“penegakkan norma”)

- Berhubungan dengan taraf kecemasan yang diakibatkan oleh terjadinya delik.

- Penegakkan hukum melakukan pemidanaan dengan tujuan agar pelaku tidak akan berbuat lagi

- Pemidanaan yang berwujud perampasan kemerdekaan pelaku, tidak dapat didasarkan pada tujuan mengadakan resosialisasi.

- Pada taraf Yudikatif, maka yang tercakup dalam prevensi umum, adalah:

- Penegakan norma-norma. - Penanganan keadaan resah.

- Ada 4 variabel yang mempunyai dampak dalam prevensi umum, yaitu : - Variabel individu, yaitu faktor-faktor kejiwaan, biologi,

sosiografie, psikologi. - variabel delik,

(29)

Dalam bidang prevensi khusus terdapat 3 hal, yaitu :

- menakut-nakuti pribadi,

- pengamanan,

- penyesuaian kembali.

3.

Tujuan pemidanaan pada taraf eksekutif.

- Mempunyai hak dan kewajiban untuk menerapkan

“malum passionis” sebagaimana telah diputuskan

oleh hakim terhadap terhukum.

- Cara-cara pelaksanaan hukuman dapat dipilihnya

sepanjang tidak menyimpang dari tujuan yang telah

ditetapkan dalam per-UU-an. Biasanya adalah

(30)

Lembaga Pembinaan, antara lain:

1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda tertentu dan pengumuman dari putusan hakim (Pasal 10 huruf a dan b KUHP).

2. Lembaga pidana tutupan,

3. Lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a ayat (1) s/d (5) KUHP). 4. Lembaga pemberatan pidana kurungan karena adanya suatu

samenloop van strafbaarfeiten, residive dll. 5. Lembaga tempat orang menjalankan pidana.

Lembaga penindakan, antara lain :

1. Lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah (Pasal 45 KUHP).

(31)

3. Lembaga penutupan dengan seorang diri di dalam

sebuah kerangkeng dengan jeruju besi.

4. Lembaga pendidikan paksa.

5. Lembaga penempatan di dalam lembaga kerja

negara.

Lembaga kebijaksanaan

, yaitu :

1. Lembaga pengembalian terdakwa kepada orang

tuanya atau kepada walinya (Pasal 45 KUHP).

2, Lembaga pembebasan bersyarat (Pasal 15 KUHP).

3. Lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara

bebas di luar Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 20

ayat (1) KUHP).

(32)

Yang harus diperhatikan seseorang hakim dalam proses

penjatuhan pidana, yaitu :

1. Kesalahan di terdakwa,

2. Motivasi serta tujuan dilakukannya tindak pidana

tersebut,

3. Cara siterdakwa melakukan tindak pidana tersebut,

4. Sikap batin terdakwa,

5. Riwayat hidup & keadaan sosial ekonomi dari

pelaku,

6. Sikap tindak pembuat sesudah melakukan tindak

pidana,

7. Pengaruh pidana tersebut terhadap masa depan

pembuat,

(33)

Ada 2 keputusan hakim tetang peristiwa pidana yang merampas kemerdekaan pembuat dan karena itu biasanya dirasakan sebagai hukuman, yaitu :

1. Menempatkan seseorang yang tidak dapat dipersalahkan

karena sesuatu peristiwa pidana karena kurang sempurna atau sakit berubah akalnya dalam rumah sakit gila (Pasal 44 ayat 2).

2. Menempatkan si tersalah di bawah umur 16 tahun dalam rumah

pendidikan paksaan (Pasal 46 ayat 2)

Fungsi Sanksi Pidana 1. Fungsi Preventif

Mencegah agar warga masyarakat mematuhi norma hukum yang sudah ditentukan dalam ketentuan per-UU-an.

2. Fungsi Represif

(34)

Ke-7 jenis hukuman ini dapat mengenai 4 kepentingan

orang yang juga dilindungi oleh hukum pidana, yaitu :

1. Jiwa orang

, yang dikenakan oleh hukuman mati.

2. Kemerdekaan orang

, yang dikenakan oleh:

-

hukuman penjara.

-

hukuman kurungan.

3. Milik orang

, yang dikenakan oleh:

-

hukuman denda.

-

hukuman perampasan barang.

4. Kehormatan orang

yang dikenakan oleh:

-

hukuman pencabutan hak.

(35)

Jenis-jenis Pidana dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

Hukuman Pokok, yang terdiri dari :

1. Pidana Mati,

2. Pidana Penjara,

3. Pidana Kurungan,

4. Pidana Denda.

Hukuman tambahan terdiri dari :

1. Pencabutan hak-hak tertentu,

(36)

Penjatuhan Pidana

1. Atas dasar penemuan hukum.

- Hakim diberikan suatu kebebasan untuk menentukan hukuman suatu pidana antara pidana minimal sampai maximal, sesuai dengan yang tercantum dalam pasal masing-masing sebagai ancaman pidana perbuatan tersebut tertinggi. - Dilihat semata-mata apa yang terjadi di sidang pengadilan.

2. Atas dasar preseden.

Melihat putusan-putusan Hakim yang terdahulu terhadap perkara yang dianggap sama.

3. Tugas Hakim

Tugas hakim dalam suatu peradilan pidana dikatagorikan menjadi dua tahap yang besar, yaitu:

a. Tahap pertama terdiri dari beberapa tingkat pemeriksaan: 1). Apakah perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa,

2). Apabila benar, apakah perbuatan tersebut melanggar UU, 3). Apakah si terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dan dapat

dipersalahkan atas perbuatan tersebut.

(37)

Terdapat beberapa tahap pembinaan bagi narapidana penjara sesuai dengan ketentuan dalam konsep pemasyarakatan, yaitu:

1. Tahap Admisi dan Orietasi (A&O).

- Tahap ini pada hakekatnya merupakan tahap perencanaan. - Dilakukan penelitian yang seksama dan mendalam terhadap narapidana, anak didik yang disebut “Penelitian kemasyarakatan (LITMAS), tentang:

- identitas,

- latar belakang sosial,

- latar belakang perbuatan jahatnya, - nilai-nilai sifat buruk yang dimiliki.

- Dilakukan oleh pejabat struktural bersama suatu tim dari Dewan Pembina Pemasyarakatan.

2. Tahap pemantapan.

Dalam tahap ini ditentukan siapa teman sekamarnya, wali, pendidikannya, latihan ketrampilan dan pekerjaan, sesuai dengan

(38)

3. Tahap Asimilasi dan Integrasi.

- Tahap ini merupakan uji coba pembauran narapidana ke dalam masyarakat, yang dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya:

- cuti pembianaan,

- mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat, - bekerja pada suatu instansi di luar lembaga.

- Diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan dengan perjanjian.

4. Tahap Pembebasan.

Narapidana dianggap sudah menyelesaikann pembinaannya, sehingga dianggap sudah mampu bergaul dalam masyarakat.

Dalam Pasal 14 a KUHP diatur ketentuan tetang “Pidana

(39)

PIDANA MATI

Hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan yang paling berat,yaitu:

1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129).

2. Pembunuhan (Pasal130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).

3. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dengan dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam pasal 365 ayat (4) dan 368 ayat (2).

4. Pembajakan laut, pembajakan di tepi laut atau pantai dan di sungai yang dilakukan dengan dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 444. Dalam melaksanakan hukuma mati harus diperhatikan:

1. Tidak boleh dijalankan pada orag yang sesudah di hukum menjadi gila, dan keadaan itu diakui oleh hakim yang menjatuhkan keputusan itu. 2. Para perempuan yang hamil.

3. Hukuman mati ditangguhkan sehingga orang gila itu sembuh, perempuan itu beranak.

(40)

PIDANA PENJARA

Dasar pelaksanaan pidana penjara masih

digunakan dasar hukum lama yaitu Surat

Keputusan Menteri Kehakiman R.I No G 89230

Tahun 1946, akan tetapi konsep pidana penjara

sudah jauh berkembang menjadi

“pemasyarakatan” atau resosialisasi”

(41)

PIDANA KURUNGAN

Hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang dewasa dan

merupakan satu-satuya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran sebagaimaa yang telah diatur dalam Buku ke III KUHP.

Dalam Buku ke II dapat dijumpai sejumlah kejahatan yang telah

diancam dengan pidana kurungan, sebagai ancaman secara alternatif dengan pidana penjara bagi yang telah melakukan culpose delicten.

Pidana kurungan biasaya dijatuhkan sebagai pidana pokok ataupun sebagai pengganti dari pidana denda (1 hari < > 6 bulan) dan dapat diperberat > 8 bulan. Lamanya pidana kurungan 1 hari > 1 tahun. Untuk perbuatan samenloop dan recidive > 1tahun dan 4 bulan.

(42)

KRIMINOLOGI W.A. Bonger

Kriminologi menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

Bersifat teoritis murni yang mencoba memaparkan sebab-sebab kejahatan menurut berbagai aliran dan melihat berbagai gejala sosial seperti penyakit masyarakat yang dinilai berpengaruh terhadap perkembangan kejahatan.

Martin L. Haskel and Lewis Yablonsky

Kriminologi mencakup analisa-analisa tentang : 1. Sifat dan luas kejahatan.

2. Sebab-sebab kejahatan.

3. Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaannya. 4. Ciri-ciri (tipologi) pelaku kejahatan.

(43)

E. H. Sutherland and Kathrine S Williams

Kriminologi

adalah ilmu dari berbagai ilmu

pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai

fenomena yang meliputi study mengenai:

1. Karakteristik hukum pidana.

2. Keberadaan kriminalitas.

3. Pengaruh kejahatan terhadap korbannya dan

terhadap masyarakat.

4. Metoda penanggulangan kejahatan.

5. Atribut penjahat.

(44)

Jadi obyek studi kriminologi meliputi :

1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. 2. Pelaku kejahatan, dan

3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.

Kriminologi menaruh perhatian terhadap: 1. Pelaku yang telah diputuskan pengadilan.

2. Dalam white collar crime termasuk yang diselesaikan non penal. 3. Pelaku yang perlu deskriminalisasi,

4. Populasi pelaku yang ditahan,

(45)

SEJARAH HUKUM PIDANA TERTULIS DI INDONESIA

Zaman VOC

- Bagi penduduk asli di Indonesia berlaku : - Hukum Pidana Adat.

- VOC mula-mula diberlakukan Plakat-plakat yang berisi hukum pidana.

- Tahun 1642 dirampungkan himpunan plakat-plakat yang diberi nama

Statuten van Batavia. Yang kemudian pada tahun 1650 himpunan ini

disahkan oleh Heeren Zeventen (peraturan-peraturan yang berlaku di daerah dikuasai VOC adalah :

- Hukum Statuta yang termuat di Statuten van Batavia, - Hukum Belanda kuno,

- Azas-azas hukum Romawi (berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht).

- Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya.

(46)

- Tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis.

- Tanggal 10 Februari 1866 berlaku dua KUHP di Indonesia.

- Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl 1866 No 55) yang berlaku bagi gol Eropah adalah salinan Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas dua buku, Sedangkan Code Penal terdiri atas empat buku.

- Dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872, berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada tahun 1918.

(47)

Zaman Hindia Belanda

- Tahun 1611-1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke Inggeris.

- Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan, maka hukum dasar pemerintah kolonial tercipta.

- Dikeluarkannya Proklamasi 19 Agustus 1816 (Stbl 1816 No 5) yang mengatakan bahwa untuk semetara waktu semua peraturan-peraturan bekas kolonial Inggeris tetap dipertahankan, yaitu masih berlaku Statuta van Batavia yang baru, dan untuk pribumi hukum pidana adat diakui asal tidak bertentangan dengan azas-azas hukum yang diakui, perintah-perintah dan UU.

- Berdasarkan Stbl 1828 No 16, kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang dibagi atas dua golongan, yaitu yang dipidana: - kerja rantai,

- kerja paksa, yang : - diberi upah, dan - tidak diberi upah.

Dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara yaitu: - kerja paksa dengan rantai dan pembuangan,

(48)

- Pertama kali ada kodefikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan

adanya Crimineel Wetboek voor het Koniglijk Holland 1809,

yang menurut ciri modern didalamnya, menurut VOS, yaitu:

1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana,

2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja, 3. Penghapusan perampasan umum.

- Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga usaha menciptakan KUHP Nasional.

- Pidana sistem sel yang berlaku dengan UU tanggal 28 Juni

1851 Stbl 68 dan diperluas dengan UU tanggal 29 Juni 1854 Stbl 102 :

- pidana badan dihapus,

- jumlah pidana mati dikurangi,

- sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan,

- pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai.

(49)

- Tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru

dan diberlakukan tanggal 1 September 1886.

- Berdasarkan azas konkordasi menurut pasal 75

Regerings Reglement,dan pasal 151 Indische

Staatsregelig, KUHP di Belanda harus diberlakukan pula

di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan

penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.

- Dengan Koninklijk Besluit (K.B) tanggal 15 Oktober 1915

dan diundangkan LNHB 1915 No 752 (KUHP tahun

1915).

(50)

Zaman pendudukan Jepang

- Berdasarkan UU (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942, yang berlaku mulai 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura, WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang.

- Dalam Osamu Serei No 3 Tahun 1942, Hukum Acara Pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dua susunan

pengadilan.

Zaman Kemerdekaan R.I.

- Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan

- Berdasarkan UU No 73 Tahun 1958, menyatakan berlakunya UU No 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian

(51)

PENAFSIRAN UU PIDANA

Pasal 1 ayat (1) KUHP

“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas

kekuatan aturan pidana dalam UU, yang terdahulu dari perbuatan itu”

Azas “nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali”

(tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang

memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu) Azas

Legalitas (von Feurbach).

Von Feurbach :Ancaman hukuman itu bersifat preventif (teori

(52)

Motesquieu : Melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang yaitu melidungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan yang dilakukan sewenang-wenang (Trias Politica).

Beberapa keberatan terhadap azas nulum delictum : 1. Kurang melindungi kepentingan kelompok.

2. Menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.

Di zaman Romawi dikenal Criminal Extra Ordinaria (kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam UU)

Criminal Stellionatus yaitu perbuatan jahat, durjana.

Diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendaknya dan kebutuhan raja sendiri.

(53)

Moeljatno

mengatakan bahwa azas legalitas

mengandung tiga pengertian, yaitu :

1. Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu

belum dinyatakan dalam suatu aturan UU.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana

tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

(54)

PENERAPAN ANALOGI

Analogi (Kamus hukum) ialah kesamaan, suatu metode pengetrapan suatu UU dengan berpokok pangkal pada suatu azas hukum atau

peraturan yang telah mempunyai pengertian tertentu.

Menurut UU Jerman 28 Juni 1935 menetapkan analogi : seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh UU atau menurut pikiran dasar suatu UU pidana dan menurut

perasaan sehat dari rakyat patut dipidana.

Pompe mengatakan penerapan analogi hanya diizinkan jika

ditemukan adanya kesenjangan di dalam UU yang tidak dipikirkan

(hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan (hal-hal yang baru) oleh pembuat UU dan karena itu UU tidak merumuskan lebih luas

(55)

VOS mengatakan bahwa penerapan analogi tidak dizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP.

Dengan penerapan UU secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat UU belum memikirkan atau tidak dapat memikir-kan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.

Paul Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk

menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada lalu dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan antara keduanya

hanya bersifat gradual saja.

(56)

Utrecht

menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif

dan penerapan analogi :

I.

Interpretasi

: menjalankan UU setelah UU

tersebut dijelaskan.

Analogi

: menjelaskan suatu perkara dengan

tidak menjalankan UU.

II.

Interprestasi : menjalankan kaidah yang oleh UU

tidak dinyatakan dengan tegas.

Analogi

: menjalankan kaidah tsb untuk

menyelesaikan suatu perkara yang

tidak

(57)

Hakim untuk menafsirkan suatu UU pidana adalah

dengan metoda ( cara) :

1.Sejarah pembentukan UU:

-

penafsiran menurut tata bahasa.

-

penafsiran menurut sejarah,

-

penafsiran secara otentik yaitu penafsiran

yang dibuat oleh pembentuk UU itu sendiri.

(58)

3 kemungkinan untuk menafsirkan UU Pidana apabila ternyata ada suatu ruangan kosong dalam UU itu:

1. Berdasarkan perat-UU-an yang ada dibuat suatu

pengertian hukum yang lebih tinggi.

2. Perat-UU-an yang telah ada harus dilihat berhubungan dengan

ciptaan hukum yang ada pada hakekatnya menjadi latar belakangnya.

3. Dijalankan interpretasi teleologis.

Metode (cara) Analogis itu dilarang untuk dipergunakan di dalam hukum pidana, adalah agar ketidakpastian hukum bagi masyarakat itu jangan sampai menjadi terlalu besar

(59)

Dalam UU Peradilan Anak menetapkan bahwa yang disebut “Anak Nakal” adalah anak yang berumur 8 – 18 tahun. Sedangkan dalam UU Sistem Peradilan Anak yang disebut “Anak yang bermasalah dengan hukum” yaitu yang berumur 12 – 18 tahun.

Dengan demikian terdapat sebutan “Anak Nakal” dan “Anak Bermasalah dengan Hukum”.

Kasus : Telah terjadi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan seseorang yang berumur 14 tahun menyebabkan matinya orang lain.

Pertanyaan :

1.Ada berapa metode (cara) untuk melakukan penafsiran terhadap kasus tersebut di atas ?

2.Sebutkan metode ( cara ) yang paling cocok untuk kasus tersebut ! Jelaskan alasannya.

(60)

PASAL 1 KUHP

Ayat (1) dan (2) membahas berlakunya UU Pidana berhubung dengan waktu delik dilakukan.

Ayat (2) tentang waktu delik.

Apabila UU diubah setelah dilakukan, maka terhadap yang bersangkutan dipakai aturan yang paling ringan.

3 macam teori yang membahas mengenai perubahan dalam per-UU-an, yaitu :

1. Teori Formil.

Simons: baru boleh dikatakan perubahan dalam UU kalau redaksi (teks) UU Pidana diubah.

2. Teori Materiil terbatas.

Van Geuns : tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu perubahan karena waktu.

3. Teori Materiil tidak terbatas.

(61)

Aturan yang paling ringan (menguntungkan)

KUHP Belanda (1881) : yaitu tidak hanya mengenai hukuman saja, tetapi mengenai juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian sesuatu delik.

Hoge Raad 25 Juni 1906 : Terserah pada praktek dan hanya dapat ditentukan untuk masing-masing perkara sendiri (inconcreto). Hal itu tidak dapat

ditentukan secara umum (in abstrcto).cto).

Pengadilan tingkatan banding (Verzet)

Pengadilan tingkatan banding (Verzet) tentang pengecualian dalam pasal 1 tentang pengecualian dalam pasal 1 ayat (2) :

ayat (2) :

-- Tidak dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu alat untuk Tidak dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu alat untuk mengoreksi mengoreksi pekerjaan hakim yang telah membuat suatu keputusan.

pekerjaan hakim yang telah membuat suatu keputusan.

-- Dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu proses (acara) baru.Dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu proses (acara) baru.

Tempus delicti (waktu delik) berhubungan dengan :

1. Berlakunya KUHP (Pasal 1 ayat (1)). 2. Hukum peralihan (Pasal 1 ayat (2)).

(62)

BERLAKUNYA PER-UU-AN HUKUM PIDANA

MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN

Azas Teritorialitet

Pasal 2 KUHP : “Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku terhadap tiap orang yang dalam Indonesia melakukan peristiwa pidana”.

Yang menjadi ukuran : peristiwa pidana yang dilakukan dalam wilayah Indonesia.

Bukan ukuran : pembuat ada di dalam wilayah Indonesia.

Kesimpulan :

1. Dapat dilakukan suatu delik dalam wilayah Indonesia sedangkan pembuatnya ada di luar wilayah Indonesia.

(63)

Ada 3 macam teori agar dapat menyelesaikan

persoalan tentang Locus delicti :

1. Teori perbuatan materiil.

Locus delicti ialah tempat di mana perbuatan yang

perlu ada supaya delik dapat terjadi dilakukan oleh

pembuat (tempat dimana perbuatan-perbuatan itu

terjadi disebut perbuatan materiil. Tempat di mana

delik diselesaikan tidak penting).

2. Teori alat yang dipergunakan.

Delik dilakukan di tempat di mana alat yang

dipergunakan itu menyelesaikannya.

3. Teori akibat :

(64)

Kesimpulan :

1. Teori mana di antara tiga teori yang harus dipilih, tergantung pada sifat dan corak perkara konkrit yang hendak diselesaikan.

2. Hazenwinkel – Suringa.

Mempergunakan ketiga teori secara teleologis.

a. Dalam hal menentukan hakim yang relatif berkuasa maka

biasanya yang paling cocok ialah teori perbuatan materiil. - Hakim di tempat dimana pembuat melakukan deliknya.

- Terdapat bukti-bukti yang paling jelas.

b. Dalam hal harus berlakunya UU Pidana Nasional supaya dapat dicegah bahaya bagi dan ancaman terhadap keamanan

(65)

PASAL 3 KUHP

“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia”

Pasal ini memperluas azas teritorialitet.

“vaartuig” (alat pelayar) adalah segala sesuatu yang dapat berlayar yakni segala sesuatu yang dapat bergerak di atas air.

“Schip” (kapal) adalah tiap vaartuig yang berdasarkan peraturan perkapalan umum diberi surat laut atau pas kapal, atau yang diberi suatu surat pengakuan lain, yang untuk sementara waktu mengganti surat laut dan pas kapal itu.

Hukum Internasional mengakui sebagai wilayah nasional hanya : - Kapal perang,

- Kapal dagang di laut terbuka,

- Kapal dalam hal dijalankan ius passage innoxii.

Dengan UU No. 4 Tahun 1976, Pasal 3 KUHP telah ditambah juga dengan kata pesawat udara.

(66)

Azas Nasionalitet Pasif atau Azas Perlindungan

Pasal 4 KUHP

Azas ini menentukan bahwa:

- Hukum pidana suatu negara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri.

- Kepentingan tertentu, kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. (Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) KUHP.

- Azas ini diperluas dengan kejahatan penerbangan dan tindak pidana ekonomi.

Menurut Hezewinkel-Suringa, azas ini dimaksud : - Melindungi kepentingan umum yang besar. - Tidak melindungi kepentingan individual.

Pasal 8 KUHP .

- Termasuk azas perlindungan karena melindungi kepentingan pelayaran. - Memperluas berlakunya Pasal 3, jika kejahatan-kejahatan itu dilakukan

dalam perahu Indonesia.

(67)

Azas Nasionalitet Aktif atau Azas Personalitet

Pasal 5 KUHP

“Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan beberapa delik tertentu”.

Delik tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan :

1. a. kejahatan melanggar keamanan negara (Pasal 104-129). b. kejahatan melanggar martabat kepala negara dan wakil

presiden (Pasal 131-139 KUHP). c. menghasut (Pasal 160 KUHP).

d. menyiarkan tulisan yang bertujuan menghasut (Pasal 161 KUHP).

e. dengan sengaja membuat diri atau membuat orang lain

tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer (Pasal 240 KUHP). f. melakukan perampokan (pembajakan) laut (Pasal 450-451).

Menurut Jonkers, delik-delik tersebut dicantumkan secara tegas karena disini ada perbuatan yang mengancam kepentingan-kepentingan yang

(68)

2. Semua kejahatan ini harus memenuhi 2 syarat : - kejahatan menurut KUHP.

- juga dihukum oleh hukum pidana asing di mana kejahatan

itu dilakukan.

Dari perkataan “berlaku bagi warga negara Indonesia yang di

luar Indonesia” maka azas yang dikandung adalah azas personal.

Moeljatno berpendapat lebih melihat prinsip melindungi kepentingan nasional dari pada azas personal,karena:

1. Dalam azas personal pada umumnya harus berlaku seluruh per-UU-an hukum pidana, hal mana kemudian dapat diperkecil

karena hal-hal tertentu.

(69)

Pasal 5 ayat (2) :

- Diadakan untuk mencegah, bukan warga negara yang sudah melakukan perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai warga negara

Indonesia, sehingga dengan demikian tidak diserahkan dan terluput dari penuntutan pidana.

- Jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warga negara tidak diserahkan kepada pemerintah asing.

Ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan S.1883-188, ialah : Pasal 1 Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat

–syarat tersebut dalam peraturan ini.

Pasal 2 Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana memungkinkan penyerahan.

Pasal 5 Penyerahan tidak dilakukan selama orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili atau diadili

(70)

Beberapa hal di mana orang itu tidak diserahkan, yaitu :

1. Kalau orang yang diminta diserahkan itu warga negara sendiri.

2. Kalau dianggap oleh negara asing itu bahwa perbuatan orang itu adalah bersifat “kejahatan politik”

Kejahatan politik terdiri atas :

a. Kejahatan politik mutlak yaitu kejahatan ditujukan secara langsung untuk merobohkan negara.

b. Kejahatan politik relatif yaitu kejahatan secara tidak langsung hendak mengganggu keamanan negara.

3. Kalau orang itu oleh pengadilan negara asing sudah diputuskan perkaranya.

4. Kalau permintaan penyerahan dari negara yang dilanggar UU dianggap terlambat oleh negara asing itu.

(71)

Pasal 6 KUHP : membatasi azas personalitet.

Pasal 7 KUHP : memperluas azas nasionalitet aktif (personalitet) dengan azas nasionalitet pasif (perlindungan) karena berlaku bagi setiap orang pegawai negeri yang di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam Bab XXVIII Buku ke-2.

Azas Universalitas

.

Azas ini melihat hukum pidana :

- Berlaku umum,

- Melampaui ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia),

- Jenis kejahatan yang diancam pidana sangat berbahaya bukan

saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia.

- Secara universal jenis kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.

- Kekuasaan hakim menjadi mutlak karena yurisdiksi pengadilan

(72)

Azas ini diatur dalam Pasal 4 :

- Sub ke-2 KUHP “melakukan salah satu kejahatan tentang mata uang, uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank.

- Sub ke-5 KUHP “melakukan kejahatan tentang :

- Perampokan di laut, dan penyerahan alat pelayar keada perampok laut (Pasal 458, 444 – 447 KUHP).

- Penguasaan pesawat udara secara melawan hukum (Pasal 479 KUHP).

Pasal 9 KUHP “ Pasal 2 -5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional”

Ada 4 hal perkecualian tersebut (hak eksteritorialitet), ialah : 1. Kepala negara beserta keluarga dari negara sahabat.

2. Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Konsul-konsil tergantung dari traktat.

3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara sekalipun berada di luar kapal.

(73)

PERISTIWA PIDANA (STRAFBAAR FEIT)

Pengertian :

Feit berarti sebagian dari suatu kenyataan

Strafbaar berarti dapat dihukum

Strafbaar feit yaitu sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum - Kepustakaan tentang hukum pidana : delik

- Pembuat UU dalam merumuskan UU : peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana.

Vos mengartikan adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan per-UU-an, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang

dengan ancaman pidana.

Van Hattum mengatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang mendapat hukuman atau dapat dihukum.

a. peristiwa dan pembuat sama sekali tidak dapat dipisahkan.

(74)

Pompe: pengertian strafbaar feit dibedakan :

a. Menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Menurut gambaran teori tedapat unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu suatu kelakuan yang :

1). bertentangan dengan hukum yang :

2). diadakan karena pelanggar bersalah.

3). dapat dihukum.

b. Menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh per-UU-an dirumuskper-UU-an sebagai perbuatper-UU-an yper-UU-ang dapat dihukum.

(75)

J.E.Jonkers

memberikan definisi menjadi dua pengertian :

a. Definisi pendek

adalah suatu kejadian yang dapat

diancam pidana oleh UU.

b. Definisi panjang

(lebih mendalam) adalah suatu

kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan

dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan :

Strafbaar feit mempunyai 2 arti yang menunjuk kepada :

- Perbuatan yang diancam dengan pidana oleh UU.

- Perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan

kesalahan oleh orang yang dapat

(76)

VOS mengatakan bahwa di dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan adanya perbuatan beberapa delik, yaitu :

1. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat.

2. Elemen akibat dari perbuatan yang terjadi dalam delik selesai.

3. Elemen kesalahan yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja, atau alpa.

4. Elemen melawan hukum.

5. Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan UU, dan dibedakan menjadi segi obyektif.

Hazelwinkel-Surunga, mengatakan dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan beberapa elemen, yaitu:

1. Elemen kelakuan orang.

2. Elemen akibat, yang ditetapkan dalam UU karena pembagian delik formil dan meteriil.

3. Elemen psikis, seperti elemen dengan maksud, dengan sengaja/alpa.

4. Elemen obyektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen di muka umum. 5. Syarat tambahan untuk dapat dipidananya (164, 165 KUHP).

(77)

Pompe membagi elemen strafbaar feit terdiri atas unsur:

1. Melawan hukum (wederrechttelijkheid).

2. Kesalahan (schuld).

3. Bahaya/gangguan/merugikan (subsociale).

Elemen strafbaar feit dalam rumusan defenisi hukum positif

cukup mengambil elemen yang obyektif saja,yaitu elemen:

1. Kelakuan, dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan.

2. Akibat dari perbuatan menurut rumusan delik yaitu suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU.

3. Obyektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan.

(78)

KESALAHAN

Dalam hukum pidana kesalahan (schuld) berarti bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya / adanya

hubungan kejiwaan dengan perbuatan seseorang.

Pengertian kesalahan dapat dipandang dalam dua arti, yaitu :

1. Kesalahan dalam arti sosial etis: hubungan jiwa antara seseorang yang melakukan perbuatan itu yang dapat

dipertanggungjawabkan kesalahannya.

2. Kesalahan dalam arti bertentangan dengan hukum: dalam pengertian hukum pidana:

a. Schuld dalam arti sengaja (opzet).

(79)

Teori yang menggeneralisir

Teori ini didasarkan kepada fakta sebelum terjadinya delik.

a. Teori Adaequaat dari VonKries.

Adaequaatt artinya sebanding, seimbang, sepadan.

Musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian normal dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.

b. Teori Adaequaat dari Traeger

Pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali dapat terjadi.

c. Teori Obyektif Nachtragliche Prognose dari Rumeling.

Bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan

terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolok ukur tersebut

(80)

Jonkers

tetang

“ schuldbegrip “

membuat pembagian

atas 3 bagian dalam pengertian kesalahan, yaitu :

1.

Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld),

2.

Meliputi juga sifat melawan hukum (de

wederrech-terlijkheid),

3.

Dan kemampuan bertanggungjawab (de

toerekenbaar-heid).

Pompe,

pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai

hal yang tercela yang pada hakekatnya

tidak mencegah

kelakuan yang

bersifat melawan hukum

(mempunyai

kesengajaan dan kealpaan dan kemampuan

(81)

Vos

, memandang

kesalahan

mempunyai 3 tanda

khusus yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang

yang melakukan perbuatan.

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang

berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa

kesengajaan atau kealpaan.

3. Tidak terdapat dasar alasan yang

mengha-pus pertanggungjawaban si pembuat atas

(82)

E. Mezger

, pengertian kesalahan terdiri atas:

1. Kemampuan bertanggung jawab.

2. Adanya bentuk kesalahan yang berupa

kesengajaan dan culpa,

3. Tak ada alasan penghapus kesalahan.

Inti dari pada opzet adalah kehendak/niat dari

seseorang.

(83)

KESENGAJAAN

Yaitu : Keinginan / maksud untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh UU.

Ada 3 elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan: 1. Kesengajaan terhadap perbuatan (opzet yang formel).

2. Kesengajaan terhadap akibat.

3. Kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.

De Wilstheorie (teori kehendak) Von Hippel dari Jerman).

Sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu.

Dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu hendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat

(84)

Schuld dalam arti sengaja (opzet)

Opzet merupakan salah satu unsur dari delik.

Pemecahannya dicari dalam teori :

1. De Wiltheorie

: teori kehendak, pasti terjadi

(kesengajaan itu merupakan kehendak yang

ditujukan kepada suatu perbuatan yang

dilarang / yang diharuskan oleh UU.

2

.

De Voorstellingtheorie

: teori perkiraan,

harapan belum terjadi (orang hanya

(85)

Terdapat 3 teori kehendak

, yaitu :

1. Determinisme :

seorang manusia

kehendak-nya itu ditentukan oleh suatu pengaruh baik

dari dirinya maupun pengaruh lingkungannya.

2. Indeterminisme

: kehendak seseorang tidak

ditentukan oleh keadaan yang sudah ada tetapi

ditentukan oleh dirinya sendiri.

(86)

De Voorstellingstheorie (teori pengetahuan/ dapat

membayangkan

dari

Frank

Bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu dapat dikehendaki.

Dengan kata lain perbuatannya memang menghendaki akan tetapi terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh

pembuatnya tertentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

3 bentuk kesengajaan yang berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, yaitu:

1. Kesengajaan dengan maksud. 2. Kesengajaan sebagai kepastian. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan.

Kesalahan terhadap pelanggaran.

(87)

Kealpaan (culpa)

1. Culpa Leissima yaitu kealpaan yang ringan.

2. Culpa Lata yaitu kealpaan yang berat.

Ilmu pengetahuan membagi kealpaan menjadi :

1. Kealpaan yang disadari.

2. Kealpaan yang tidak disadari,

Vos

, menyatakan bahwa culpa mempuyai 2 syarat, yaitu :

1. Kurang penduga-duga yang diperlukan, dan

2. Kurangya penghati-hatian yang diperlukan.

-

pembuat tidak berbuat secara hati-hati menurut

yang semestinya.

(88)

Kemampuan bertanggungjawab meliputi 3 hal, yaitu tentang keadaan jiwa/batin:

1. Yang sakit,

2. Seseorang yang terlampau muda sehingga konstitusi psychenya belum matang,

3. Yang organ batinnya baik akan tetapi fungsinya mendapat gangguan sehingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.

Van Hamel mengadakan 3 syarat untuk mampu bertanggungjawab, yaitu orang itu mampu:

1. Untuk menginsyafi arti perbuatannya dalam hal makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri.

2. Untuk meginsyafi perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat,

3. Menentukan kehendaknya terhadap perbuatan itu.

Simons menerangkan tentang mampu bertanggungjawab, adalah :

1. Jika orang mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum.

(89)

Dwaling (salah paham/kekeliruan)

1. Feitelijk Dwaling yaitu jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur dari

perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.

2. Rechtsdwaling yaitu melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh UU.

3. Error in persona yaitu kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana.

4. Error in Objecto yaitu kekeliruan obyek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana.

5. Aberratio Ictus yaitu kekeliuruan karena macam-macam sebab perbuatannya menimbulkan akibat yang berlainan dari pada

(90)

Teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi :

1. Alasan pembenar : alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh

terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

2. Alasan Pemaaf : alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat

melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

(91)

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Unsur-unsur subyektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku.

Unsur subyektif dari suatu tindak pidana, yaitu:

1. Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa).

2. Maksud (voornemen) atau percobaan (poging) (53 ayat (1) KUHP).

3. Macam-macam maksud.

4. Merencanakan terlebih dahulu (340 KUHP). 5. Perasaan takut (308 KUHP).

Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan.

Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana, yaitu : 1. Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid) 2. Kwalitas si pelaku (415, 398 KUHP).

(92)

Subyek delik dan Rumusan delik

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa

melakukannya dan delik itu harus ditujukan kepada :

a. Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum seperti pembunuhan, pencurian.

b. Membahayakan suatu kepentingan hukum.

Vos memberikan alasan mengapa hanya manusia yang dapat

menjadi subyek delik, yaitu :

a. Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “barang siapa

yang…”. Di dalam per-UU-an pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia.

b. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain oleh manusia.

c. Dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang

(93)

J.E.Jonkers mengenal 4 jenis KUHP metode rumusan delik

dalam UU, yang terdiri atas:

a.

Yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara

menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat

dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat

dipidana (Pasal 279, 281, 286 KUHP).

b.

Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan

memberikan penafsiran (kualifikasi) (263, 362, 372, 372

KUHP).

c.

Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan

penafsiran saja (351, 338 KUHP).

(94)

Pembagian delik menurut rumusan yang dikehendaki oleh UU. 1. Commissie delicten adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang

dalam UU (362, 372, 378 KUHP)

Ommisse delicten adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah menurut UU (164, 224, 522, 531 KUHP).

a. Yang murni yaitu tindakan tidak membuat sesuatu yang oleh UU Pidana diperintah. Delik ini selalu delik formil (164,224,

522 KUHP).

b. Yang tidak murni yaitu yang terjadi apabila akibat dari

perbuatan yang bersangkutan, yang tidak dikehendaki

oleh suatu UU, yang tidak dikehendaki oleh suatu tidak

membuat (194, 338 KUHP)

2. Formele delicten adalah delik yang hukuman yang diancam terhadap suatu perbuatan tertentu, yang dilukiskan dalam UU Pidana, dan timbul tidaknya akibat dari perbuatan itu tidak dipersoalkan. (156, 160, 209, 263, 362 KUHP)

(95)

3. Doleus delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja (338 KUHP).

Culpose delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (359 KUHP).

4. Zelfstandige delicte ialah delik yang berdiri sendiri yang terdiri atas satu perbuatan tertentu.

Voorgezette delicten ialah delik yang terdiri atas beberapa

perbuatan berlanjut. Pembagian ini diperlukan untuk kepentingan sistem penerapan penjatuhan pidana (64, 65 KUHP).

5. Aflopende delicten (delik yang selesai) ialah delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan

(330,529 KUHP).

Referensi

Dokumen terkait

Serangkaian manifestasi sikap politik yang disampaikan oleh kalangan pemikir Islam liberal tersebut, mengundang kontroversi tidak saja dari kalangan yang disebut Islam

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP N 2 Ngawen dan guru mata

[r]

v merupakan variable baru yang tidak mempunyai satuan dan digunakan untuk melukis spiral Cornu. Sumbu x dan sumbu Y adalah sepasang salib sumbu pada spiral Cornu. Sepasang

Untuk memastikan hal tersebut, penulis juga mewancarai salah seorang Pendaping PKH yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Pendamping PKH di Kecamatan Tanjung untuk

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur tentang teh putih menunjukkan bahwa, kandungan aktif yang terdapat dalam teh berupa EGCG yang merupakan derivat dari

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen KSPS BMT Logam Mulia, agar dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan sumber