• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI HUKUM REKLAMASI GUGUSAN PULAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLIKASI HUKUM REKLAMASI GUGUSAN PULAU"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 IMPLIKASI HUKUM REKLAMASI GUGUSAN PULAU DI LAUT CINA SELATAN

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Kadek Wahyu Adi Pratama, Dhiana Puspitawati, S.H, LLM, PhD, Rika Kuriniaty, S.H, M.A.

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Email: wahyuadipratama2015@gmail.com

Abstrak

Laut Cina Selatan memiliki tensi dan tingkat ketegangan yang tinggi setelah Cina mereklamasi 7 gugusan pulau di Laut Cina Selatan yang terdiri dari Fiery Cross Reff, Cuarteron Reff, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef

dan mengubahnya menjadi pulau buatan dan mendirikan fasilitas militer diatasnya. Tindakan Cina ini merupakan bagian dari klaim sepihak U-Dash Line yang mengklaim hampir keseluruhan Laut Cina Selatan dan tentunya membawa efek yang buruk teradap stabilitas perdamaian di Laut Cina Selatan. Reklamasi yang dilakukan oleh Cina atas 7 gugusan pulau, mengubahnya menjadi pulau buatan dan mendirikan fasilitas militer diatasnya tentu bertentangan dengan hukum internasional. Selain itu reklamasi atas 7 gugusan pulau ini menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation yang dimiliki oleh setiap kapal. Implikasi hukum tersebut ialah tidak diperbolehkannya kapal-kapal asing melaksanakan kebebasan bernavigasi dan munculnya ketidakpastian penerapan rights of navigation di perairan sekitar gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina tersebut.

Kata Kunci : Implikasi Hukum, Rights of Navigation, Laut Cina Selatan, Reklamasi, Gugusan Pulau, Pulau Buatan, Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef.

Abstract

Tension in the South China Sea has increased significantly since China’s land reclamation occurs in seven group of islands in the South China Sea i.e Fiery Cross Reff, Cuarteron Reff, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, and Hughes Reef. China then turns them into artificial islands and built military facilities there. This unilateral action is part of the China’s U-Dash Line claim and certainly bring worst effect towards the peace stability in the South China Sea. This surely contradicts with the international law and therefore, it’s absolutely illegal. The land reclamation also raise the legal implication towards the rights of navigation owned by the foreign ships whom sail across the South China Sea i.e China forbids the foreign ships to exercise the freedom of navigation and raise the uncertainty of the implementation of the right of navigation in the waters around the seven group of islands reclaimed by China.

(2)

2

A.PENDAHULUAN

Laut Cina Selatan merupakan laut yan membentang dari barat daya hingga timur laut dengan luas mencapai 3.500.000 1dengan karakteristik sebagian besar terdiri atas pulau-pulau kecil, Islets (pulau-pulau yang sangat kecil), rocks (pulau batu karang), dan karang-karang. Laut Cina Selatan terdiri atas banyak pulau kecil, karang, atol, yang kesemuanya tercakup dalam Macclesfield Bank, Kepulauan Paracels, Scarborough Reef/Shoals, Kepulauan Spratly, dan Kepulauan Pratas.2 Kawasan Laut Cina Selatan terletak di antara daratan dan pantai-pantai semenanjung Asia Tenggara di sebelah barat, pantai selatan Cina dan hingga ke utara Pula Taiwan, hingga sampai gugusan kepulauan Filipina, Kalimantan (Borneo), dan Indonesia di sebelah timur dan selatan.3

Melihat pada letak dan kondisi geografis Laut Cina Selatan dan pulau-pulau serta karang dan atol yang terbentang di atasnya bisa dipastikan bahwa Laut Cina Selatan memiliki posisi geografis yang potensial. Hal ini dikarenakan posisi geografis Laut Cina Selatan itu dikelilingi Benua Asia dan Kepulauan Nusantara dan Filipina yang mana kawasan ini merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional yang tentunya sangat padat. Adapun Laut Cina Selatan ini sering dilewati oleh kapal-kapal tanker besar baik berupa kapal tanker minyak maupun kapal tanker untuk tujuan ekspor-impor. Selain itu, Laut Cina Selatan juga terkandung potensi migas yang besar. Terdapat lebih dari 10 basin yang diketahui mengandung minyak dan gas di Laut Cina Selatan dengan total luas mencapai 852.400 yang merupakan 48,8% daripada seluruh area landas kontinen yang terdapat di Laut Cina Selatan.4

Potensi – potensi diatas baik dilihat secara geografis nya maupun dilihat dari kandungan minyak dan gas bumi yang terdapat di dalamnya tentu menjadikan Laut Cina Selatan menjadi pusat perhatian dunia, terutama negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Potensi-potensi yang menguntungkan tersebut saat ini menjadi incaran negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan hingga negara-negara tersebut kemudian melakukan klaim atas kawasan-kawasan potensial di Laut Cina Selatan. Adapun karena banyaknya negara yang melakukan klaim sepihak atas kawasan-kawasan di Laut Cina Selatan ini

1 Dadang Sobar Wirasuta, Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan, Jurnal Pertahanan, Volume 3 Nomor 3, Universitas Pertahanan Indonesia, Sentul, 2013, Hal 80.

2Robert Beckman, The South Cina Sea : the evolving dispute between Cina dan her maritime neighbours,

Volume 21 Nomor 3, National University Singapore, Singapore, 2013, Hal 18.

3Schofield, Clive, What's at stake in the South Cina Sea? Geographical and geopolitical considerations,

Edward Elgar Publishing, New South Wales, 2013, Hal 16-17.

(3)

3

membuat klaim yang saling berbenturan ini menjadi sebuah sengketa yang dikenal dengan nama Sengketa Laut Cina Selatan.

Sengketa Laut Cina Selatan merupakan salah satu sengketa teritorial yang melibatkan banyak negara. Adapun negara – negara yang terlibat dalam sengekta laut Cina selatan ini ialah Cina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, dan Taiwan. Vietnam mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly dan Paracels, sedangkan baik Filipina, Malaysia, dan Brunie Darusalam mengklaim sebagian atas Kepulauan Spratly. Adapun Cina dan Taiwan mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan5 dimana Cina khususnya melakukan penarikan melalui U Dash Line.

Penarikan U Dash Line tersebut kemudian dibarengi dengan melakukan penguasaan fisik atas sebagian gugusan pulau di Laut Cina Selatan. Adapun penguasaan fisik yang dilakukan oleh Cina adalah melalui kegiatan reklamasi-reklamasi yang dilakukan atas gugusan pulau di Laut Cina Selatan tepatnya di Kepulauan Spratly. Adapun gugusan pulau dimana Cina melakukan reklamasi adalah Subi Reef (Kepulauan Spratly), Fiery Cross Reef (Kepulauan Spratly), Gaven Reef (Kepulauan Spratly), Johnson South Reef (Kepulauan Spratly),

Cuarteron Reef (Kepulauan Spratly), Mischief Reef (Kepulauan Spratly) & Hughes Reef

(Kepulauan Spratly). Kesemua gugusan pulau tersebut masuk ke dalam U Dash Line yang diklaim oleh Cina.6

Cina sendiri mengatakan bahwasannya setiap gugusan pulau memegang kedaulatannya sendiri dan oleh karenanya Cina menganggap reklamasi yang dilakukannya adalah sah.7 Cina juga berpendapat bahwasannya setiap negara berhak membuat pulau buatan tanpa memandang bahwa pulau buatan tersebut difungsikan sebagai apa dan untuk tujuan apa. Pernyataan Cina ini dikemukakan karena Cina berpendapat UNCLOS 1982 tidak menjelaskan secara detail tentang bangunan apa saja yang diperbolehkan beridiri diatas pulau buatan tersebut.8 Oleh sebab itu, Cina kemudian menafsirkan bahwa Cina bebas mereklamasi gugusan pulau tersebut dan mendirikan pulau buatan untuk tujuan dan fungsi apapun.

5 Rizki Roza, dkk, Konflik Laut Cina Selatan Dan Implikasinya Terhadap Kawasan, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, Jakarta, 2013, Hlm. viii – ix.

6 Ministry of Defense, Cina’s Activities in the South Cina Sea, Tokyo, Ministry of Defense, 2015, Hal 4-5. 7 Congressional Research Service, Chinese Land Reclamation in the South Cina Sea: Implications and Policy Options., Washington, Federation of American Scientist, 2015, Hal 2.

(4)

4

Sampai saat ini Cina masih terus melanjutkan reklamasi membuat pulau buatan yang berdiri di kawasan Laut Cina Selatan meskipun banyak negara menentang tindakan reklamasi secara sepihak yang dilakukan oleh Tiongok tersebut. Dalam upaya menghentikan aksi Cina mereklamasi gugusan pulau untuk membuat pulau buatan, Amerika Serikat mengirimkan Kapal Perang USS Lassen yang berada di posisi 12 mil dari pulau buatan Tiongok di Kepulauan Spratly.9 Hal ini dilakukan oleh Amerika Serikat dengan harapan Cina menghentikan upaya reklamasi untuk kemudian kembali ke meja perundingan bersama negara-negara yang bersengketa. Upaya Amerika Serikat tersebut juga tidak membuahkan hasil menghentikan upaya Cina mereklamasi pulau-pulau, atol dan karang di Laut Cina Selatan. Melihat pada permasalahan tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terkait implikasi hukum reklamasi gugusan pulau yang dilakukan oleh Cina di Laut Cina Selatan yang akan ditinjau dari hukum internasional.

B.MASALAH / ISU HUKUM

Isu hukum dari penelitian hukum ini ialah Cina melakukan reklamasi atas 7 gugusan pulau (Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, Gaven Reef, Mischief Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef) dan mendirikan pulau buatan dan fasilitas militer diatasnya. Tindakan Cina ini menimbulkan implikasi hukum yang berdampak pada Laut Cina Selatan.

Dengan demikian rumusan masalah yang akan dibahas terkait isu hukum diatas ialah :

1. Apakah reklamasi atas gugusan pulau yang dilakukan oleh Cina di Laut Cina Selatan dapat dibenarkan oleh hukum internasional ?

2. Apa implikasi hukum dari reklamasi atas gugusan pulau tersebut terhadap rights of navigation ?

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Bahan-bahan hukum yang berupa bahan hukum premier, skunder, dan tersier yang kemudian dianalisi dengan teknik analisis gramatikal yaitu menafsirkan pasal-pasal yang terkandung di dalam UNCLOS 1982.

9Glaser, Bonnie S. dan Dutton, Petter A., 2015, The U.S Navy’s Freedom of Navigation Operation Around

(5)

5

D.PEMBAHASAN

D.1 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan Menurut Hukum Internasional

Cina mereklamasi sejumlah karang yang terletak di Laut Cina Selatan dimana karang-karang yang membentuk gugusan pulau tersebut ada yang berdiri diatas laut bebas, dan ada pula yang berdiri diatas zona ekonomi eksklusif milik Filipina. Adapun gugusan pulau yang terletak di laut bebas ialah : Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi Reef, dan Gaven Reef, sedangkan yang terletak di ZEE Filipina adalah : Mischief Reef, Johnson South Reef, dan

Hughes Reef.

D.1.1 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan di Zona Laut Bebas a. Reklamasi di Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, dan Subi Reef

Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, dan Subi Reef merupakan gugusan pulau yang terletak di zona laut bebas Laut Cina Selatan. Cina beserta Vietnam, Taiwan, dan Filipina mengklaim Fiery Cross Reef10, adapun Cuarteron Reef juga diklaim oleh Cina, Filipina dan Vietnam11 dan demikian halnya dengan Subi Reef yang juga di klaim oleh Cina, Filipina dan Vietnam.12 Cina baru memulai reklamasi atas ketiga gugusan pulau tersebut pada tahun 2014 silam dan saat ini telah berdiri pulau buatan beserta instalasi-instalasi militer dan sipil diatasnya. Selain instalasi-instalasi militer, juga didirikan menara mercusuar diatasnya13 yang menandakan bahwa pulau buatan tersebut dijadikan base

point untuk menarik garis pangkal.

Padahal pada pasal 60 ayat (8) UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa pulau buatan tersebut tidak memiliki status pulau dan laut teritorialnya serta ZEE-nya sendiri dan dengan demikian pulau buatan tersebut tidak dapat dijadikan base point untuk penarikan garis pangkal. Oleh karena Cina menjadikan ketiga gugusan pulau tersebut sebagai base point untuk penarikan garis pangkal sebagai bagian upaya menegakkan klaim U-Dash Line melalui pendirian pulau buatan diatasnya, hal ini akan menganggu

10Sevastopulo, Dimitry dan Harris, Bryan, 2016, US Warship Sails Near Chinese-Claimed Reef in South Cina

Sea (Online), http://www.ft.com/cms/s/0/d4d06d54-1672-11e6-b197-a4af20d5575e.html#axzz4C 2myYUTz (19 Juni 2016)

11 Johnson, Jesse, 2016, Beijing opens new lighthouse on man-made island in South Cina Sea

(Online

),http://www.japantimes.co.jp/news/2016/04/06/asia-pacific/beijing-opens-new-lighthouse-man-made-island-south-Cina-sea/#.VyG_VvmLTIU, (19 Juni 2016)

12AFP dan Delizo, Michael Joe T., 2016, Cina Expands Presence, Opens Lighthouse in Subi Reef (Online),

(6)

6

perdamaian yang nantinya akan berujung pada perang antar negara pengklaim (Cina, Taiwan, Vietnam, dan Filipina). Sehingga tindakan Cina ini melanggar pasal 88 UNCLOS 1982 dimana laut bebas ditujukkan untuk maksud damai.

Selain itu pulau-pulau buatan di ketiga gugusan pulau tersebut terletak di zona laut bebas, maka segala bentuk penegakkan kedaulatan oleh Cina atas ketiga gugusan pulau tersebut adalah dilarang. Hal ini dikarenakan tidak ada suatu negara pun yang dapat menegakkan kedaulatannya atas laut bebas, termasuk menegakkan kedaulatannya dengan mendirikan pulau buatan yang berdiri diatas zona laut bebas sesuai dengan pasal 89 UNCLOS 1982.

b. Reklamasi di Gaven Reef

Gaven Reefs terletak di Kepulauan Spratly yang berdiri diatas zona laut bebas Laut Cina Selatan (Berada di luar laut teritorial, landas kontinen maupun ZEE Cina), pada derajat 10°12’48”N, 114°13’9”E. Gaven Reef sendiri berlokasi pada 205 mil laut sebelah barat laut Pulau Palawan.14 Perkembangan reklamasi pulau buatan di Gaven

Reef oleh Cina dimulai setelah tanggal 30 Maret 2014. Reklamasi tersebut menghasilkan sebuah daratan baru seluas 114.000 . Adapun fasilitas yang telah dibangun oleh Cina adalah selain daratan baru, juga fasilitas militer dan sipil yang digunakan untuk dukungan operasional pulau buatan tersebut.

Gaven Reef saat ini diklaim oleh Cina, Vietnam dan Filipina15, namun berada dalam kontrol Cina melalui pulau buatan miliknya yang didirikan diatas Gaven Reef.

Berdirinya instalasi militer membuktikan bahwa Cina secara sepihak berusaha menegakkan kedaulatannya di Gaven Reef. Tindakan ini tentu ilegal menurut pasal 89 dimana pulau buatan tersebut berdiri diatas laut bebas, seharusnya tidak memiliki kedaulatan sama sekali karena rezim laut bebas melarang penegakkan kedaulatan negara manapun atas laut bebas. Akibat dari tindakan Cina ini ialah rusaknya perdamaian atas perairan sekitar Gaven Reef pada khususnya dan Laut Cina Selatan pada umumnya, sehingga Cina dengan ini juga melanggar pasal 88 dimana laut bebas merupakan kawasan damai dan tidak boleh dijadikan kawasan konflik.

(7)

7 D.1.2 Reklamasi Gugusan Pulau Oleh Cina di Laut Cina Selatan di ZEE Filipina

a. Reklamasi di Mischief Reef

Mischief Reef (Meiji Jiao menurut Cina dan da Vanh Khan menurut Vietnam) merupakan kumpulan karang yang terletak di Kepulauan Spratly dan terletak pada derajat 9o55’N, 115o32’E.16Mischief Reef terletak di dalam ZEE Filipina yang berjarak 129 nm dari Pulau Palawan.17Mischief Reef berada di zona ekonomi eksklusif Filipina, saat ini diklaim oleh Taiwan, Filipina dan Vietnam namun telah diokupasi dan berada dalam kontrol penuh Cina.18 Perkembangan reklamasi daratan di Mischief Reef dimulai pada awal tahun 2015. Reklamasi lahan baru ini kemudian menghasilkan lahan reklamasi seluas 5,580,000 . Adapun selain lahan reklamasi, fasilitas yang dibangun Cina di Mischief Reef adalah tembok penahan ombak, fasilitas militer dan sipil sebagai dukungan operasional.19

Tindakan Cina mereklamasi Mischief Reef dan mendirikan pulau buatan beserta instalas militer diatasnya tentu bertentangan dengan pasal 56 ayat (1) dan pasal 60 ayat (1) serta pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982. Menurut pasal 56 ayat (1) dan 60 ayat (1) Cina tidak berhak mendirikan pulau buatan diatas Mischief Reef karena Mischief Reef

berada dalam wilayah ZEE Filipina. Hal ini beararti hanya Filipina saja yang berhak mendirikan dan mengoperasikan pulau buatan di Mischief Reef dan negara lain tentu tidak berhak tanpa izin dari Filipina.

Cina (dan juga sebenarnya Filipina) juga tidak berhak menegakkan kedaulatannya atas

Mischief Reef yang berada di wilayah ZEE Filipina karena wilayah ZEE merupakan zona laut yang negara manapun tidak dapat menegakkan kedaulatan diatasnya. Penegakkan kedaulatan akan bertentangan dengan pasal 58 (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982.

16 David Hancox dan Victor Prescott, Clive Schofield (Ed), A Geographical Description of the Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys Amongst Those Islands, International Boundaries Research Unit, Department of Geography, University of Durham, Durham, 1995Hlm 29.

17 Asia Maritime Transparency Initiative, 2015, Mischief Reef Tracker (Online), http://amti.csis.org/mischief-reef-tracker/, (18 Maret 2016)

18 Umbao, Ed, 2016, Cina Building Submarine Harbor at Panganiban (Mischief) Reef,

http://philnews.ph/2016/01/07/Cina-building-submarine-harbor-at-panganiban-mischief-reef/ (Online), (14 April 2016)

(8)

8

b. Reklamasi di Johnson South Reef dan Hughes Reef

Johnson South Reef (terletak di derajat 9° 42' N-114°22' E dan diperkerikan berjarak sekitar 108 nm sebelah barat laut daripada Pulau Palawan20, sedangkan Hughes Reef terletak pada derajat 9°55’N, 114°30’E, pada posisi 175 nm sebelah timur Pulau Palawan21. Dari letak koordinat diatas, sudah bisa dipastikan bahwa kedua gugusan pulau tersebut terletak di dalam ZEE Filipina.

Di kedua gugusan pulau tersebut, Cina mulai melakukan tindakan reklamasi secara sepihak pada tahun 2014 yang kemudian dibarengi dengan pendirian pulau buatan dan instalasi militer dan sipil diatasnya. Selain mendirikan pulau buatan, fasilitas militer dan sipil, juga didirikan menara mercusuar masing-masing di Johnson South Reef22 dan di

Hughes Reef23. Berdirinya menara mercusuar dikedua gugusan pulau tersebut mengindikasikan bahwa Cina menjadikan pulau buatan yang berdiri diatas kedua gugusan pulau tersebut sebagai base point untuk menarik garis pangkal.

Tindakan Cina mereklamasi Johnson South Reef dan Hughes Reef lalu mendirikan pulau buatan beserta fasilitas untuk militer dan sipil diatasnya merupakan upaya untuk menegakkan kedaulatan Cina atas kedua gugusan pulau tersebut. Selain itu berdirinya pulau buatan hasil reklamasi tersebut dilakukan secara sepihak dan tanpa izin dari Filipina. Tindakan sepihak Cina ini tentu bertentangan dengan pasal pasal 56 ayat (1) dan pasal 60 ayat (1) serta pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89 UNCLOS 1982

Menurut pasal 56 ayat (1) dan pasal 60 ayat (1), hanya Filipina saja yang berhak mendirikan, mengoperasikan pulau buatan beserta instalasi dan bangunan diatasnya karena

Johnson South Reef dan Hughes Reef berada di dalam ZEE Filipina dan karena itu merupakan hak eksklusif Filipina. Menurut pasal 58 ayat (2) juncto pasal 89, Cina (dan sebenarnya juga Filipina) tidak dapat mendirikan pulau buatan untuk tujuan menegakkan kedaulatan di atas wilayah ZEE Filipina karena rezim ZEE tidak memperbolehkan negara manapun menegakkan kedaulatannya atas wilayah ZEE.

Selain ketiga pasal diatas, Cina juga melanggar pasal 60 ayat (8) dimana Cina menjadikan

Johnson South Reef dan Hughes Reef sebagai base point untuk menarik garis pangkal dan menetapkan zona maritim secara sepihak. Padahal menurut pasal 60 ayat (8), pualu buatan

20 The Department of Foreign Affairs of Republic of the Philippines, Op.Cit., Hlm 9. 21 David Hancox dan Victor Prescott, Clive Schofield (Ed), Op.Cit,. Hlm 11.

22 Johnson, Jesse, 2016, Beijing Opens New Lighthouse On Man-Made Island in the South Cina Sea (Online), http://www.japantimes.co.jp/news/2016/04/06/asia-pacific/beijing-opens-new-lighthouse-man-made-island-south-Cina-sea/#.VyG_VvmLTIU, (20 Juni 2016).

(9)

9

tidak memiliki status pulau dan tentunya tidak dapat ditetapkan zona maritim melalui pulau buatan tersebut.

D.2 Implikasi Hukum Reklamasi Gugusan Pulau Tersebut Terhadap Rights of Navigation.

Seperti yang sudah dibahas dalam pembahasan untuk rumusan masalah pertama sebelumnya, Cina telah melakukan reklamasi terhadap 7 gugusan pulau yang kemudian dijadikan pulau buatan. 7 gugusan pulau yang direklamasi tersebut ialah ada yang terletak di zona laut bebas dan ada pula yang terletak di ZEE Filipina.24 Reklamasi atas 7 gugusan pulau tersebut merupakan bagian dari upaya Cina menegakkan klaimnya atas Laut Cina Selatan melalui U-Dash Line dan saat ini juga, 7 gugusan pulau tersebut selain diklaim oleh Cina, juga di klaim oleh Vietnam, Taiwan, dan Filipina.

Selain menimbulkan sengketa diantara para negara pengklaim, reklamasi atas gugusan pulau tersebut juga menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan di dekat gugusan pulau tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian daripada 7 gugusan pulau yang menjadi pulau buatan tersebut, oleh Cina, dijadikan

base point yang digunakan untuk menarik garis pangkal25.

Dari base point yang terdapat di beberapa gugusan pulau tersebut, Cina kemudian menarik garis pangkal dan mengklaim zona laut teritorial atas gugusan pulau tersebut yang mana hal ini bertentangan dengan pasal 60 (8) dimana pulau buatan tidak memiliki status pulau dan tidak memiliki laut teritorialnya sendiri.26 Selain itu menurut pasal 60 ayat (5), Cina hanya berhak menetapkan zona keselamatan dengan jarak 500 meter yang diukur melalui titik-titik terluar dari pulau buatan tersebut. Fungsi dari zona keselamatan itu sendiri hanya sebatas untuk keselamatan navigasi kapal-kapal yang melintas dan keselamatan pulau buatan dan instalasi diatasnya.

24 Gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina di zona laut bebas ialah Fiery Cross Reef, Cuarteron Reef, Subi

Reef, dan Gaven Reef, sedangkan gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina di ZEE Filipina adalah Hughes

Reef, Mischief Reef dan Johnson South Reef.

25 Pulau-pulau buatan yang dijadikan base point untuk menarik garis pangkal guna mengklaim zona – zona maritim ialah Fiery Cross Reef, Subi Reef, Cuarteron Reef, Hughes Reef dan Johnson South Reef.

(10)

10

Adapun implikasi hukum yang timbul ialah kapal-kapal asing tidak diperbolehkan mealaksanakan kebebasan bernavigasinya di perairan sekitar pulau-pulau buatan tersebut secara bebas dan harus meminta izin terlebih dahulu.27 Selain itu implikasi hukum lainnya yang akan muncul ialah ketidakpastian rights of navigation di perairan sekitar gugusan pulau yang direklamasi tersebut terkait rezim lintas apa yang diperbolehkan melintas.

D.2.1 Kapal-Kapal Asing Tidak Diperbolehkan Melaksanakan Kebebasan Bernavigasi

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, Cina telah menetapkan secara sepihak laut teritorial atas gugusan pulau yang direklamasinya menjadi pulau-pulau buatan dimana hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 60 ayat (8). Penetapan rezim laut teritorial atas pulau buatan ini akan berdampak pada

rights of navigation yang dimiliki setiap kapal asing. Hal ini dikarenakan rezim laut teritorial tidak memperkenankan kapal-kapal asing melaksanakan hak dan kebebasan bernavigasinya, hanya berhak untuk melakukan lintas damai yang dalam hal ini berbeda dengan prinsip kebebasan bernavigasi. Pada zona laut teritorial, kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai yang diatur menurut pasal 17 UNCLOS 1982. Hak lintas damai memungkinkan setiap kapal untuk melintasi laut teritorial tanpa restriksi atau pembatasan dari negara pantai sepanjang memenuhi pasal 18 ayat 2 dan tidak bertentangan dengan pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982.

Menurut pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982, kapal-kapal asing yang masuk ke dalam laut teritorial suatu negara bisa saja dianggap mengancam perdamaian, keamanan, dan ketertiban negara pantai dan dianggap melakukan kegiatan-kegiatan diatas sehingga negara pantai berhak mengusir kapal asing tersebut. Dengan demikian, Cina juga secara sepihak berhak mengusir kapal-kapal asing yang masuk ke laut teritorial disekitar pulau-pulau buatan tersebut dengan anggapan kapal asing tersebut menganggu dan mengancam keamanan, ketertiban, dan kedamaian negara pantai, dan melakukan kegiatan-kegiatang yang dilarang menurut pasal 19 ayat (2) UNCLOS 1982. Hal ini pernah terjadi ketika USS Lassen milik Angkatan Laut Amerika Serikat melintasi perairan dekat subi reef dalam melaksanakan hak kebebasan bernavigasinya.28

27 Hal ini dapat dilihat pada deklarasi/pernyataan yang dikeluarkan Cina pada tanggal 25 Agustus 2006 setelah melakukan ratifikasi UNCLOS 1982 berdasarkan keputusan bulat dari Standing Committee pada saat kongres nasional ke-8 Republik Rakyat Cina. Adapun pernyataan tersebut ialah sebagai berikut :

d. Republik Rakyat Cina menegaskan kembali bahwa ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengenai lintas damai melalui laut teritorial tidak akan mengurangi hak Negara pantai untuk meminta, sesuai dengan undang-undang dan peraturan, sebuah asing Negara untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari atau memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada Negara pantai untuk lewatnya kapal perangnya melalui laut teritorial Negara pantai.

Sumber : United Nations, 2013, Declaration and Statement (Online), http://www.un.org/depts/los/convention _agreements/convention_declarations.htm, (6 Juni 2016)

(11)

11

USS Lassen yang merupakan kapal perang AL Amerika Serikat berlayar dan memasuki perairan dekat subi reef yang oleh Cina dianggap sebagai perairan teritorialnya. Cina menuduh bahwasannya kapal tersebut melakukan tindakan profokatif dengan di dalam 12 nm dari subi reef

yang oleh Cina dianggap sebagai perairan teritorialnya.29 Amerika serikat kemudian merespon melalui Kepala Militer Amerika Serikat di Pasifik, Admiral Harry B. Harris mengatakan bahwasannya yang dilakukan oleh USS Lassen merupakan suatu bentuk dan realisasi dari prinsip freedom of navigation

dan bukan merupakan sebuah provokasi terhadap Cina.30

Dari insiden diatas, bisa dilihat bahwasannya Cina menganggap perairan yang dimasuki oleh USS Lassen tersebut merupakan perairan teritorialnya dan oleh kareanya Cina berhak mengusir (dan kenyataanya Cina memang mengirimkan kapal perang dan kapal patroli untuk mengusir USS Lassen keluar dari laut teritorial Cina)3132. Hal lain yang bisa dilihat terkait insiden diatas adalah bahwa alasan Amerika Serikat terkait USS Lassen melaksanakan kebebasan bernavigasi sebagai haknya memang dibenarkan menurut hukum internasional.

Hal ini dikarenakan Subi Reef merupakan pulau buatan dan menurut pasal 60 ayat (8) pulau buatan tidak memiliki status pulau dan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri. Pulau buatan memiliki zona keselamatan dengan lebar tidak lebih dari 500 meter yang diukur dari setiap titik terluar. Zona keselamatan selebar 500 meter ini pun bukan merupakan perairan teritorial, hanya sekedar instrumen yang diterapkan oleh negara pantai pemilik pulau buatan tersebut untuk menjaga keselamatan pelayaran dan pulau buatan itu sendiri.

Amerika Serikat, selain berpegang pada pasal diatas, juga secara tidak langsung menyatakan bahwa perairan yang dilewati oleh USS Lassen merupakan perairan internasional. Subi Reef sendiri berlokasi di zona laut bebas dimana setiap negara berhak melaksanakan kebebasan bernavigasinya sesuai ketentuan pasal 87 ayat (1) huruf a dan pasal 90 UNCLOS 1982. Tidak ada negara manapun, meskipun itu negara pemilik pulau buatan yang berlokasi di laut bebas, melarang suatu kapal asing berhak melaksanakan kebebasan bernavigasinya. Selain itu klaim Cina atas gugusan pulau yang direklamasi tersebut dan klaim U-Dash Line secara umum belum mendapat pengakuan internasional, dan yang terpenting, belum adanya keputusan hukum yang tetap yang dikeluarkan pengadilan internsional atas klaim Cina tersebut. Oleh karena itu, wajar Amerika Serikat berhak melaksanakan kebebasan bernavigasi melalui USS Lassen yang berlayar di perairan sekitar subi reef yang oleh Cina dianggap sebagai perairan teritorialnya.

Namun demikian, walaupun klaim Cina atas laut teritorial yang menjadi bagian integral dari pulau buatannya tidak diakui menurut hukum internasional, Cina tetap menganggap perairan tersebut

29Ibid.

30Ibid.

31 Blanchard, Ben dan Shalal, Andrea, 2015, Angry Cina shadows U.S. warship near man-made islands

(Online), http://www.reuters.com/article/us-southCinasea-usa-idUSKCN0SK2AC20151027, (29 Mei 2016)

32 Pada kenyataanya tindakan pengusiran yang dilakukan oleh Cina tersebut bertentangan dengan pasal 60

(12)

12

sebagai perairan teritorialnya. Oleh karenanya restriksi atas hak melaksanakan kebebasan bernaviasi terhadap kapal-kapal asing akan tetap berlangsung di setiap perairan di sekitar gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina karena Cina menganggap perairan di sekitar gugusan pulau tersebut merupakan perairan teritorialnya. Bukan tidak mungkin Cina akan meminta setiap kapal asing yang melintas untuk memberikan notifikasi dan harus meminta izin dari otoritas Cina setempat untuk bisa melintasi dan berlayar melalui perairan yang dianggap Cina sebagai perairan teritorialnya. Apabila kapal asing tersebut tidak memberikan notifikasi dan meminta izin, kemungkinan Cina akan mengusir kapal asing tersebut seperti yang terjadi pada USS Lassen yang melaksanakan hak freedom of navigation-nya di atas perairan tersebut.

D.2.2 Ketidakpastian Penerapan Rights of Navigation Di Perairan Sekitar Gugusan Pulau Yang Direklamasi

Reklamasi yang dilakukan Cina atas gugusan pulau di Laut Cina Selatan berakibat pada Cina menetapkan batas-batas maritim secara sepihak dan berujung pada konflik batas maritim. Batas maritim ini ditetapkan lantaran diantara 7 gugusan pulau yang direklamasi dan dijadikan pulau buatan oleh Cina, terdapat 5 gugusan pulau yang dijadikan base point.33 Dari

ke-5 gugusan pulau yang dijadikan base point tersebut, Johnson South Reef dan Hughes Reef

merupakan gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina yang terletak di zona ekonomi eksklusif Filipina.

Tentunya melalui kedua gugusan pulau yang dijadikan base point tersebut, Cina dapat menarik garis pangkal dan menentukan batas maritimnya secara sepihak. Hal ini akan menimbulkan sengketa antara Cina dan Filipina dikarenakan belum ditetuntakan dan ditetapkannya batas-batas maritim kedua negara akibat penarikan garis pangkal dan penentuan batas maritim yang dilakukan oleh Cina secara sepihak. Implikasi yang lebih jauh yang akan timbul ialah munculnya ketidakpastian penerapan rights of navigation dalam hal rezim mengenai lintas di zona yang tumpang tindih tersebut.

Ketidakpastian penerapan rights of navigation ini terjadi karena baik Cina maupun Filipina berusaha untuk mempertahankan batas-batas maritim yang menurut mereka sah. Hal ini bisa diketahui apabila kita melihat pada sudut pandang masing-masing negara. Filipina tetap mempertahankan garis ZEE nya yang melingkupi Johnson South Reef dan Hughes Reef

(kedua gugusan pulau ini memang berada di dalam ZEE Filipina). Dengan demikian Filipina beranggapan setiap kapal berbendera Filipina dan kapal asing dapat melewati dan berlayar di perairan sekitar kedua gugusan pulau tersebut secara bebas. Rezim ZEE, menurut pasal 58

33 5 Gugusan Pulau yang direklamasi oleh Cina dan dijadikan base point terdiri dari Fiery Cross Reef, Subi Reef,

(13)

13

ayat (1), memberikan kebebasan kepada setiap kapal negara manapun (termasuk kapal negara pantai pemilik ZEE) untuk berlayar di zona ekonomi eksklusif negara pantai yang dalam hal ini Filipina.

Dilain pihak, Cina secara sepihak bisa menetapkan zona laut pedalaman pada Johnson South Reef dan Hughes Reef yang diikuti dengan penegakkan peraturan perundang-undangan maritim Cina pada zona laut pedalaman tersebut. Dengan demikian, Cina beranggapan bahwasannya di zona laut pedalaman disekitar kedua gugusan pulau tersebut, kapal-kapal asing tidak memiliki rights of navigation sama sekali dan oleh karenanya dilarang untuk berlayar diatasnya. Zona laut pedalaman merupakan zona laut yang terdiri atas laut disekitar pelabuhan, sungai-sungai, danau-danau, kanal, dan juga termasuk perairan yang berdekatan dengan daratan yang digunakan untuk mengukur garis pangkal.34 Pada zona laut pedalaman, kapal-kapal asing tidak memiliki hak melaksanakan rights of navigation-nya. Hal ini disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UNCLOS 1982 dimana kedaulatan negara pantai mencakup, selain wilayah daratnya, juga perairan pedalaman, laut teritorial, dan perairan kepulauan.35

Selain bisa menetapkan zona laut pedalaman, melalui Johnson South Reef dan Hughes Reef yang telah direklamasi dan dijadikan pulau buatan dan base point, Cina secara sepihak bisa menetapkan laut teritorial sejauh 12 nm atas kedua gugusan pulau tersebut. Hal ini berarti kapal-kapal asing memiliki rights of navigation yang terbatas yaitu hanya bisa mempergunakan hak lintas damainya, bukan kebebasan bernavigasi layaknya yang terjadi di ZEE. Selain itu Cina juga bisa secara sepihak melarang kapal-kapal asing memasuki laut teritorial disekitar kedua gugusan pulau yang direklamasi menjadi pulau buatan tersebut dengan berbagai alasan.36

Dari kedua sudut pandang seperti yang sudah dijelaskan diatas muncul suatu ketidakpastian penerapan rights of navigation di perairan sekitar kedua gugusan pulau tersebut bagi kapal-kapal asing yang melintas. Kapal-kapal asing tersebut tidak pasti apakah harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan Cina atas laut disekitar kedua gugusan pulau yang oleh Cina dianggap laut pedalaman dan laut teritorialnya ataukah bebas melakukan pelayaran karena berada di ZEE Filipina.

34 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, London, 1997, Hlm 175.

35 J.G. Starke,. Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm 345.

(14)

14

Apabila kapal asing tersebut mengikuti ketentuan rezim ZEE Filipina, otoritas Cina setempat bisa mencegat dan mengusir kapal asing tersebut untuk berlayar di laut pedalaman atau laut teritorial sekitar kedua gugusan pulau tersebut. Sebaliknya apabila kapal asing tersebut mengikutiperaturan maritim yang dikeluarkan Cina, kapal asing tersebut tidak dapat melaksanakan rights of navigation-nya secara bebas. Cina sewaktu-waktu bisa mengusir dengan alasan dapat mengancam perdamaian, keamanan dan ketertiban negara pantai.

Namun demikian, dari ketidakpastian rights of navigation diatas terlihat adanya permasalahan klasik yang sering terjadi dalam hukum internasional yaitu terkait pertentangan hubungan hukum nasional dan hukum internasional. Permasalahannya disini ialah apakah harus mengikuti ketentuan hukum nasional Cina atau mengikuti hukum nasional ZEE Filipina. Perlu diketahui juga bahwasannya Cina dan Filipina merupakan pihak yang menandatangani UNCLOS 1982.37 Kedua bela pihak juga telah meratifikasi UNCLOS 1982 dimana Filipina meratifikasi pada tahun 1984 dan Cina meratifikasinya pada tahun 2006.38 Ditandatangani dan diratifikasinya UNCLOS 1982 oleh kedua belah pihak mencerminkan bahwa kedua belah pihak mengikatkan diri pada UNCLOS 1982.

Dalam teori hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, terdapat salah satu aliran yang dinamakan aliran monisme primat internasional yang menyatakan bahwa hukum internasional memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum nasional dan oleh karenanya hukum nasional tunduk pada hukum internasional.39 Tunduknya hukum nasional atas hukum internasional didasarkan pada daya mengikatnya berasal dari negara itu sendiri dimana negara-negara secara sukarela mengikatkan diri pada hukum internasional yang mereka tandatangani.40

Menurut penjelasan teori diatas dan apabila kita melihat pada permasalahan diatas terkait ketidakpastian rights of navigation, baik hukum nasional Filipina dan Cina kedudukannya berada di bawah UNCLOS 1982. Antara hukum nasional kedua negara tersebut dengan UNCLOS 1982 bisa saja tidak sejalan namun menurut hukum internasional, hukum nasional tidak boleh dijadikan alasan pembenar dari suatu negara untuk melanggar UNCLOS 1982. Dengan demikian, Cina bisa saja memiliki hukum nasional yang tidak sejalan dengan UNCLOS 1982, namun hukum nasional Cina tidaklah bisa dijadikan alasan pembenar untuk melanggar UNCLOS 1982.

37 Batongbacal, Jay, 2015, Arbitration 101 : Philippines V. Cina (Online), http://amti.csis.org/arbitration-101-philippines-v-Cina/, (10 Juni 2016).

38Ibid.

39 Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, Hlm 12.

(15)

15

Dalam hal ini sudah bisa dipastikan bahwa Cina tidak berhak menerapkan hukumnya terkait laut teritorial yang mengitari kedua gugusan pulau yang menjadi pulau buatan tersebut. Hal ini dikarenakan gugusan pulau yang menjadi pulau buatan milik Cina tersebut belum memiliki status hukum yang tetap yang dikeluarkan pengadilan internasional. Oleh karenanya penetapan laut teritorial berdasarkan hukum nasional Cina secara sepihak bertentangan dengan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 sendiri menjelaskan dalam pasal 60 ayat (8) bahwa pulau buatan tersebut tidak memiliki status pulau dan laut teritorialnya sendiri.

Dengan demikian kapal-kapal asing, termasuk kapal asal Filipina dapat bebas melintas disekitar perairan Johnson South Reef dan Hughes Reef karena hak mereka dijamin oleh UNCLOS 1982. Hal ini dikarenakan UNCLOS 1982 mengakui garis ZEE Filipina sejauh 200 nm yang mana Johnson South Reef dan Hughes Reef masuk di dalamnya dan rezim ZEE mengakui kebebasan bernavigasi sesuai pasal 58 ayat (1). Oleh karenanya tidak perlu terjadi suatu ketidakpastian rights of navigation di perairan sekitar Johnson South Reef

dan Hughes Reef.

Namun demikian, untuk saat ini setiap kapal asing perlu untuk mencermati setiap keadaan di Laut Cina Selatan dan khususnya di perairan sekitar Johnson South Reef dan

Hughes Reef. Walaupun pemaksaan hukum nasional Cina atas penetapan secara sepihak laut teritorial di sekitar Johnson South Reef dan Hughes Reef tidak dibenarkan dan diakui menurut UNCLOS 1982, namun pilihan paling logis dan rasional bagi kapal-kapal asing ialah mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di perairan sekitar kedua pulau buatan tersebut, termasuk peraturan terkait rights of navigation yang dikeluarkan Cina. Cina juga memang memiliki militer yang agresif dan merupakan big power untuk kawasan Laut Cina Selatan.41 Hal ini perlu dilakukan agar tidak timbul insiden-insiden yang tidak seharusnya terjadi dan demi keselamatan dan keamanan awak kapal-kapal asing tersebut.

41 Heydarian, Richard Javard, 2016, Cina’s Aggressive Posture in South Cina Sea (Online),

(16)

16 E.PENUTUP

E.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas terkait reklamasi atas gugusan pulau yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan menurut hukum internasional dan implikasi hukum dari reklamasi atas gugusan pulau tersebut tehadap rights of navigation, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Cina melakukan reklamasi atas gugusan pulau untuk dijadikan pulau buatan di Laut Cina Selatan dimana gugusan pulau yang direklamasi tersebut ada yang teletak di zona laut bebas dan ada yang terletak di zona ekonomi eksklusif Filipina. Adapun gugusan pulau yang direklamasi oleh Cina yang terletak di zona laut bebas adalah

Fiery Cross Reff, Cuarteron Reff, Subi Reff, dan Gaven Reef. Setelah dilakukan penelitian melalui pengkajian terhadap pasal-pasal di UNCLOS 1982, diketahui bahwa reklamasi atas keempat gugusan pulau tersebut dengan mendirikan pulau buatan dan instalasi militer diatasnya adalah ilegal dan bertentangan dengan pasal 60 ayat (8), pasal 88, dan pasal 89 UNCLOS 1982.

Selain melakukan reklamasi di keempat gugusan pulau tersebut yang terletak di zona laut bebas, Cina juga mereklamasi 3 gugusan pulau lainnya yang terletak di dalam ZEE Filipina. Adapun ketiga gugusan pulau itu ialah Mischief Reef, Johnson South Reef, dan Hughes Reef. Setelah dilakukan penelitian melalui pengkajian terhadap pasal-pasal di UNCLOS 1982 diketaui reklamasi atas ketiga gugusan pulau tersebut dengan mendirikan pulau buatan dan instalasi militer diatasnya adalah ilegal. Reklamasi di ketiga gugusan pulau tersebut bertentangan dengan 56 ayat (1) , 60 ayat (1), 58 ayat (2) juncto pasal 89 dan pasal 60 ayat (8).

2. Tindakan reklamasi yang dilakukan oleh Cina atas ketujuh gugusan pulau tersebut menimbulkan implikasi hukum terhadap rights of navigation di perairan sekitar gugusan-gugusan pulau tersebut. Adapun implikasi hukum terhadap rights of navigation di perairan sekitar gugusan-gugusan pulau tersebut ialah kapal – kapal asing tidak diperbolehkan melaksanakan kebebasan bernavigasinya. Hal ini dikarenakan Cina menetapkan secara sepihak laut teritorial atas gugusan pulau yang direklamasinya menjadi pulau-pulau buatan.

(17)

17 Subi Reef yang oleh Cina diklaim sebagai perairan teritorialnya, padahal Subi Reef terletak di zona laut bebas dan menurut pasal 87 ayat (1) huruf a, setiap kapal negara manapun bebas melakukan pelayaran di laut bebas.

Selain kapal – kapal asing tidak diperbolehkan melaksanakan kebebasan bernavigasinya, adapun implikasi hukum lainnya adalah munculnya ketidakpastian penerapan rights of navigation di di perairan sekitar gugusan pulau yang direklamasi tersebut. Munculnya ketidakpastian ini berlaku di gugusan pulau yang direklamasi Cina yang letaknya di ZEE Filipina, yaitu di Johnson South Reef dan Hughes Reefi.

Di kedua gugusan pulau itu Cina menetapkan laut teritorialnya secara sepihak sehingga kapal-kapal asing yang melewati tidak pasti apakah harus mengikuti hukum maritim Cina atau bebas melewati perairan tersebut karena dijamin oleh hukum nasional ZEE Filipina.

E.2 Saran

1. Bagi Pemerintah Indonesia

Saran bagi pemerintah Indonesia untuk tetap memposisikan diri sebagai pihak yang netral dalam artian tidak mendukung maupun menolak klaim Cina atas ketujuh gugusan pulau yang telah direklamasi dan dijadikan pulau buatan tersebut. Indonesia disini memiliki posisi yang strategis karena merupakan satu-satunya negara besar di kawasan Asia Tenggara dan juga Indonesia berpengalaman sebagai penengah suatu konflik. Jadi dengan demikian Indonesia, selain tetap memposisikan diri sebagai pihak yang netral, Indonesia juga harus tetap memposisikan diri sebagai pihak penengah konflik Laut Cina Selatan dan melobi pihak-pihak yang bersengketa untuk tidak menimbulkan ketegangan baru dan memunculkan insiden-insiden yang bisa merusak perdamaian di Laut Cina Selatan.

2. Bagi Perusahaan Pemilik Kapal

(18)

18

(19)

19

F. DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Hancox, David dan Prescott, Victor, Clive Schofield (Ed), 1995, A Geographical Description of the Spratly Islands and an Account of Hydrographic Surveys Amongst Those Islands, International Boundaries Research Unit, Department of Geography, University of Durham, Durham.

Malanczuk, Peter, 1997, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London, Routledge.

Mauna, Dr. Boer, 2005, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, Bandung, PT. Alumni.

Schofield, Clive, 2013, What's at stake in the South Cina Sea? Geographical and geopolitical considerations, New South Wales, Edward Elgar Publishing.

Starke, J.G., 2010, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika.

Jurnal :

Dadang Sobar Wirasuta, Keamanan Maritim Laut Cina Selatan : Tantangan dan Harapan, Jurnal Pertahanan, Volume 3 Nomor 3, Universitas Pertahanan Indonesia, Sentul, 2013

Robert Beckman, The South Cina Sea : the evolving dispute between Cina and her maritime neighbours, Volume 21 Nomor 3, National University Singapore, Singapore, 2013.

Peraturan – Peraturan Internasional :

Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea 1982)

Makalah Seminar :

Dr. Su Hao, Maritime Resources in the South Cina Sea and Cina’s Management in the International Legal Context, makalah disajikan dalam 7th Berlin Conference on Asian Security, Stifung Wissenchaft und Politik (SWP) dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS), Berlin, 1-2 Juli 2013.

Internet :

Asia Maritime Transparency Initiative, Mischief Reef Trackers (Online), http://amti.csis.org/mischief-reef-tracker/, (18 Maret 2016), 2015.

(20)

20

AFP dan Delizo, Michael Joe T.,Cina Expands Presence, Opens Lighthouse in Subi Reef (Online), http://www.manilatimes.net/Cina-expands-presence-opens-lighthouse-in-subi-reef/254562/(18 Maret 2016), 2016.

Batongbacal, Jay, Arbitration 101 : Philippines V. Cina (Online), http://amti.csis.org/arbitration-101-philippines-v-Cina/, (10 Juni 2016), 2015.

Blanchard, Ben, Cina: U.S. patrol in South Cina Sea harmed trust (Online), http://cnnphilippines.com/world/2015/11/06/Cina-united-states-patrols-south-Cina-sea.html, (14 April 2016), 2015.

Blanchard, Ben dan Shalal, Andrea, Angry Cina shadows U.S. warship near man-made

islands (Online),

http://www.reuters.com/article/us-southCinasea-usa-idUSKCN0SK2AC20151027, (29 Mei 2016), 2015.

Heydarian, Richard Javard, Cina’s Aggressive Posture in South Cina Sea (Online), http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/02/Cina-aggressive-posture-south-Cina-sea-160221074036883.html, (10 Juni 2016), 2016.

Sevastopulo, Dimitry dan Harris, Bryan, US Warship Sails Near Chinese-Claimed Reef in

South Cina Sea (Online),

http://www.ft.com/cms/s/0/d4d06d54-1672-11e6-b197-a4af20d5575e.html#axzz4C2myYUTz,(19 Juni 2016), 2016.

United Nations, Declaration and Statement (Online),http://www.un.org/depts/los/convention _agreements/convention_declarations.htm, (6 Juni 2016), 2013.

Watkins, Derek, What Cina Has Been Building in The South Cina Sea (Online),

Referensi

Dokumen terkait

Produksi dan distribusi benih merupakan hal utama dalam konsep sistem perbenihan. Teknologi benih merupakan komponen dari suatu sistem perbenihan. Sistem perbenihan

Empat tahun belakangan ini mereka mencoba untuk menjadi full service agency ditandai dengan ulang tahun ke-25, maka mereka menawarkan produk brand activation yang meliputi

Pada umumnya, dalam kebakaran jarang sekali pemilik rumah mengetahui bahwa rumahnya telah terbakar jika pemilik rumah tidak berada ditempat, atau juga pemilik rumah

Batu.. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh penambang batu menjadikan mereka melakukan proses interaksi dengan orang-orang disekitarnya, baik itu sesama

Gainer revolusioner dari Ultimate Nutrition cocok untuk Anda yang ingin meningkatkan berat badan dengan cara lemak baik dalam tubuh

Selanjutnya dilakukan uji independent sample T-Test , pada nanoemulsi dan SNEDDS Fraksi diperoleh nilai signifikansi > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa

Sama seperti Azka dalam buku ini, ia juga kesal karena baju kesayangannya.. Bagaimana Azka menyelesaikan masalahnya, silakan membaca

Dari hal yang menarik tersebut, maka kitab Jāmi‘ al-Bayān karya Muhammad bin Sulaiman akan dikaji lebih mendalam lagi dengan mengungkap empat aspek penting yaitu penamaan