• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Polemik dan Konfrontasi ke Dialog

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Polemik dan Konfrontasi ke Dialog"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Selayang Pandang Perjumpaan Tauhid dan Trinitas di dalam Sejarah

Abstrak: Tauhid dan Trinitas adalah konsep sentral di dalam Islam dan Kristen sebab

berhubungan dengan hakikat terdalam tradisi keagamaan sekaligus penanda utama dari keunikan identitas masing-masing. Melalui pemahaman akan Allah yang trinitarian– Bapa, Anak, dan Roh Kudus–kekristenan muncul dalam sejarah sebagai sebuah identitas yang unik. Demikian juga melalui pemahaman akan Allah yang Esa–walau berada di tengah pusat peribadahan kepada banyak dewa-dewi–Islam mendaku sebagai kelanjutan yang sah dari iman monoteisme Abraham. Melalui artikel ini, penulis hendak menunjukkan bagaimana pertemuan Tauhid dan Trinitas di dalam sejarah Kristen dan Islam lebih didominasi oleh polemik dan konfrontasi, terutama di masa lampau, namun di masa kini dialog muncul sebagai salah satu ciri dari perjumpaan keduanya. Hal ini dapat menjadi kunci bagi hubungan yang lebih harmonis di dunia plural masa kini.

Kata Kunci: Tauhid, Trinitas, Dialog

I. Pendahuluan

Tauhid dan Trinitas adalah konsep sentral yang paling fundamental di dalam Islam dan

Kristen sebab berhubungan dengan hakikat terdalam masing-masing tradisi keagamaan sekaligus

penanda utama dari keunikan identitas Islam dan Kristen. Melalui pemahaman akan Allah yang

trinitarian–Bapa, Anak, dan Roh Kudus–kekristenan muncul dalam sejarah sebagai sebuah

identitas yang partikular dan unik serta berbeda dengan tradisi lain, bahkan Yudaisme. Demikian

juga melalui pemahaman akan Allah yang Esa–walau berada di pusat peribadahan kepada

banyak dewa-dewi– Islam mendaku sebagai kelanjutan yang sah dari iman monoteisme

Abraham. Klaim keunikan masing-masing itulah yang menjadi salah satu penyebab utama

mengapa pertemuan Kristen dan Islam di dalam sejarah sejak awalnya sudah ditandai dengan

polemik dan konfrontasi, tentunya dalam hal diskursus teologis dan tidak selalu dimaknai secara

(2)

Tulisan ini tidak akan membahas Trinitas dan Tauhid secara teologis melainkan melihat

dari sudut pandang historis bagaimana diskursus keduanya bersinggungan di dalam sejarah.

Tentu penulis tidak berpretensi bahwa apa yang dimuat di sini sudah komplit dan mencakup

seluruh pembicaraan sepanjang sejarah, sebab dengan sengaja penulis memilih dan memilah

bahan yang dimuat sebagai representasi perjumpaan tersebut dan membuat kesimpulan secara

umum. Hal ini bertujuan untuk dua hal: (1) pembaca dapat diperkenalkan kepada pentingnya

sebuah studi yang dengan perspektif historis ketika mempercakapkan hubungan Kristen dan

Islam sehingga melengkapi paradigma teologis yang biasa digunakan oleh umat Kristen untuk

melihat tradisi-tradisi iman yang lain; dan (2) walaupun sejarah pertemuan Tauhid dan Trinitas

lebih didominasi dengan polemik dan konfrontasi, namun kita hidup di sebuah era yang

menunjukkan bahwa dialog dan saling menerima dapat menjadi sebuah norma baru dalam

berelasi antar-iman, bahkan dalam mempercakapkan sesuatu yang paling esensial bagi tradisi

agama.

Selain memuat hal-hal terkait perjumpaan Tauhid dan Trinitas sebagai konsep yang

hakiki dari agama Islam dan Kristen, yang akan dilakukan di bagian selanjutnya, penulis dengan

sengaja menyertakan sebuah ekskursus terkait salah satu hal yang menjadi isu bagi umat Kristen,

yakni diskusi mengenai nama “Allah.” Hal tersebut penting karena diskursus mengenai hal itu

bukan saja terbatas di arena akademik, namun sudah menjadi salah satu pergumulan

gereja-gereja Indonesia walaupun masih terbatas.

II. Perjumpaan Tauhid dan Trinitas dalam Sejarah

A. Kritik Islam terhadap Trinitas

Oleh karena Kristen dan Islam sebagai tradisi agama memiliki identitas yang particular,

(3)

polemik dengan tujuan untuk saling menantang tradisi yang berbeda, ketimbang dialog yang

bertujuan untuk saling memahami. Sejak awal Islam muncul dengan turunnya ayat-ayat Qur’an

kepada Nabi Muhammad, klaim Trinitas dari umat Kristen telah ditantang melalui beberapa ayat

yang dengan eksplisit menentang konsep Trinitas (misalnya Q. 16:51, 44:8, 47:19, 112:1-4) dan

klaim keilahian Kristus (Q. 4:171; 5:116). Mahmoud Ayoub bahkan mengatakan bahwa

konfrontasi dan akomodasi adalah sikap Islam sedari awal terhadap kekristenan, yakni

konfrontasi terhadap pandangan teologis Kristen tentang Allah sekaligus akomodasi terhadap

komunitas Kristen selaku pewaris iman Abrahamik.1 Konfrontasi yang dimaksud di sini adalah

konfrontasi secara teologis dan bukan dalam bidang sosial-politik. Dengan demikian, ada sebuah

sikap yang ambivalen dari Islam terhadap kekristenan sebab doktrin Trinitas ditolak di satu sisi

namun komunitas Kristen diakomodasi dan mendapat tempat di sisi yang lain.

Selain kritik dari Qur’an, setidaknya ada dua jalur kritik lainnya terhadap Trinitas

sebagaimana dikemukakan oleh Jon Hoover: (1) bahwa perkembangan doktrin Trinitas

merupakan hasil dari distorsi terhadap pesan yang sebenarnya dibawa oleh Yesus, dan (2)

defisiensi logika di dalam formulasi doktrin-doktrin Trinitas.2 Jika membaca karya-karya

polemik dari pihak Islam terhadap Trinitas, yang tema-tema serta isinya masih dapat terlihat di

dalam debat-debat kontemporer, pastilah tiga jalur kritik di atas selalu akan muncul.3

B. Perjumpaan Tahap Awal: Polemik

1 Mahmoud Ayoub, A Muslim View of Christianity: Essay on Dialogue, ed. Irfan A. Omar (Maryknoll:

Orbis, 2007), 18-19.

2 Jon Hoover, “Islamic Monotheism and the Trinity,” in The Conrad Grebel Review 27.1 (Winter 2009),

57-82. Correct version available at:

uwaterloo.ca/grebel/sites/ca.grebel/files/uploads/files/IslamicMonotheismandtheTrinity.pdf

3 Salah satu kritik paling komprehensif terhadap kekristenan dan doktrin Trinitas datang dari Ibn Taymiyya

(4)

Dari pihak Kristen, tulisan polemis yang paling awal adalah dari Yohanes dari Damaskus,

yang sering disebut sebagai Bapa Gereja Barat terakhir (675-749 M). Di dalam karyanya

Concerning Heresy bagian akhir, ia menulis tantangan terhadap Islam yang ia lihat sebagai aliran sempalan dari Kristen.4 Pokok utama keberatan Yohanes terhadap ajaran Islam adalah bahwa

kehadiran Muhammad dan Islam tidak pernah diprediksikan di dalam kitab-kitab Suci

sebelumnya, sehingga berbeda dengan kehadiran Yesus Kristus. Selain itu, klaim Muhammad

sebagai Nabi tidak disertai saksi-saksi yang melihat Allah menurunkan wahyu kepadanya, lain

dengan Musa yang ketika menerima dua loh batu dari Allah di atas gunung disaksikan oleh umat

Israel.5 Selanjutnya, Yohanes juga mempertanyakan klaim Islam bahwa Kristen adalah

penyekutu Allah karena percaya pada Trinitas padahal Islam percaya juga bahwa Yesus adalah

“Kalimat Allah” dan “Roh Allah.”6 Apa yang dituliskan oleh Yohanes ini menjadi signifikan

karena tema-tema serupa akan muncul kembali dalam polemik-polemik yang terjadi di masa

selanjutnya.

Yohanes Damaskus hidup di era kekhalifahan Umayyah. Pada era kekhalifahan

berikutnya, Abasiyyah, perdebatan antara Islam dan Kristen menjadi lebih dominan dan bahkan

disponsori secara resmi oleh para kalifah. Tentu saja ini terkait dengan agenda-agenda serta

4 Berikut adalah penggalan tulisan Yohanes: “He says that there is one God, creator of all things, who has

neither been begotten nor has begotten. [Q. 112] He says that the Christ is the Word of God and His Spirit, but a creature and a servant, and that He was begotten, without seed, of Mary the sister of Moses and Aaron. [Q. 19; 4:169] For, he says, the Word and God and the Spirit entered into Mary and she brought forth Jesus, who was a prophet and servant of God. And he says that the Jews wanted to crucify Him in violation of the law, and that they seized His shadow and crucified this. But the Christ Himself was not crucified, he says, nor did He die, for God out of His love for Him took Him to Himself into heaven. [Q. 4:156] And he says this, that when the Christ had ascended into heaven God asked Him: ‘O Jesus, didst thou say: “I am the Son of God and God”?’ And Jesus, he says, answered: ‘Be merciful to me, Lord. Thou knowest that I did not say this and that I did not scorn to be thy servant. But sinful men have written that I made this statement, and they have lied about me and have fallen into error.’ And God answered and said to Him: ‘I know that thou didst not say this word.” [Q. 5:116] There are many other extraordinary and quite ridiculous things in this book which he boasts was sent down to him from

God.” Excerpt dari Writings, oleh St John of Damascus, The Fathers of the Church, vol. 37 (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1958), 153-160. Diambil dari situs

http://orthodoxinfo.com/general/stjohn_islam.aspx diakses 30 Juni 2015.

(5)

kepentingan para khalifah saat itu.7 Khalifah al-Mahdi pernah mengundang Patriark Timotius I

untuk berdebat dengannya dan isu mengenai Trinitas muncul sebagai salah satu tema.8 Salah satu

argumentasi dari Timotius I untuk membela doktrin Trinitas adalah dengan mengatakan tiga

huruf misterius yang muncul di beberapa surah sebetulnya menunjuk kepada Bapa, Anak, dan

Roh Kudus. Ketika al-Mahdi meminta penjelasan, ia mengatakan bahwa sebetulnya Nabi

Muhammad hendak mewartakan kebenaran Allah Tritunggal. Namun di tengah masyarakat yang

sangat politeistik, hal itu akan membuat mereka berpikir bahwa Trinitas adalah sejenis

politeisme juga sehingga Nabi Muhammad akhirnya dengan tegas menyatakan keberadaan satu

Allah dan tidak mengatakan bahwa tiga huruf itu sebetulnya menujuk pada Allah, Firman Allah

dan Roh Allah.9

Selain itu, senada dengan Yohanes Damaskus, Timotius I juga berargumentasi dengan

menjelaskan hubungan antara “Kalimat Allah” dan “Roh Allah” dengan hakikat Allah bahwa

mereka adalah sesungguhnya satu. Hal itu dijelaskan lebih lanjut dengan analogi matahari bahwa

matahari memiliki satu bentuk namun punya juga panas dan cahaya. Itulah cara memaknai

konsep Trinitas. Ketika al-Mahdi mengatakan bahwa benda-benda ciptaan tidak dapat dipakai

untuk menganalogikan Sang Pencipta dengan tuntas, Timotius berkata bahwa jika betul ciptaan

tidak bisa dipakai sebagai analogi, walau sampai tahap tertentu, maka manusia tidak akan

mampu untuk mengenal Allah sama sekali.10 Debat tersebut selesai dengan “kemenangan” di

7 Untuk alasan-alasan di balik debat-debat yang disponsori kalifah serta akibat yang ditimbulkannya lihat

Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʽAbbāsid Society (2nd-4th/8th-1tth centuriesy (New York: Routledge, 1998) dan juga Hans Harmakaputra, “Discerning the Motives of Muslim-Christian Debates in the Early ʽAbbāsid Period: The Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra,” dalam Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume XXXVIII, No. 2, Juli-Desember 2014

8 Untuk transkrip percakapan keduanya yang ditulis oleh Timotius I lihat Alphonse Mingana, trans.,

“Timothy I, Apology for Christianity,” The Tertullian Project,

http://www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed November 16, 2011).

(6)

pihak Timotius I sebagaimana dapat kita perkirakan dari literatur-literatur polemik yang berasal

dari sumber Kristen.

Beberapa tahun kemudian, Khalifah al-Ma’mun membuat debat-debat agama menjadi

lebih masif dan disponsori secara resmi sebab terkait dengan agendanya dalam mempromosikan

Mu’tazilisme yang merupakan mazhab rasionalis dalam Islam. Salah satu teolog Kristen Arab

(aliran Melkit) yang terlibat di dalam debat-debat tersebut adalah Theodorus Abu Qurra (d. 816

M).11 Abu Qurra banyak menulis tentang penjelasan iman Kristen. Di dalam salah satu

karyanya,12 Abu Qurra melakukan pembelaan terhadap Trinitas dari pihak-pihak yang

mempertanyakan keabsahan doktrin itu dari sudut pandang Kitab Suci dan juga rasionalitas. Abu

Qurra menunjukkan bagaimana Trinitas tidak hanya didasarkan pada Perjanjian Baru tetapi juga

Perjanjian Lama. Dengan manuver ini, ia memberikan jawab kepada orang-orang Yahudi dan

Muslim yang menganggap Taurat sebagai Kitab Suci. Selanjutnya, ia juga menjelaskan

rasionalitas doktrin Trinitas. Abu Qurra menulis demikian:

Know this: Peter is a man, but man is not Peter; James is a man, but man is not James; John is a man, but man is not John. Since man is not Peter, or James, or John, when you count Peter, James, and John, you must not predicate number of man and speak of three mans [sic]. If you do, you have predicated number of what is not numbered. In the same way, know this: The Father is God, but God is not the Father; the Son is God, but God is not the Son; the Spirit is God, but God is not the Spirit. When you count the Father, the Son, and the Holy Spirit, you must not predicate number of the name “God” and speak of three gods….Rather, you must count three persons and one God.13

11 Untuk pengantar singkat pada debat-debatnya, lihat David Bertaina, “The Debate of Theodore Abu

Qurra,” in Christian-Muslim Relations. A Bibliographical History Volume 1 (6tt-9tty, eds. David Thomas, Barbara Roggema (Leiden: Brill, 2009), 556-561.

12 Maymar yuh̩aqqiqu annahu la-yulzamu l-Nas̩ārā an yaqulu thalātha āliha idh yaquluna l-lb ilāh

wa-l-Ibn ilāh wa-Ruh̩ al-Qudus (ilāhy wa-anna l-lb wa-l-wa-l-Ibn wa-Ruh̩ al-Qududs ilāh wa-law kāna kull wāh̩id minhum tāmm ʽalā h̩idatihi [Treatise confirming that Christians do not necessarily speak of three gods when they say that the Father is God and the Son is God and the Holy Spirit is God, and that the Father, Son, and Holy Spirit are one God, even though each of them is fully God by himself]. John C. Lamoreaux menggunakan judul yang lebih pendek di dalam terjemahannya atas karya Abu Qurra di atas, lihat Theodore Abu Qurra, “On the Trinity,” in Theodore Abu Qurrah, trans. John C. Lamoreaux (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2005).

(7)

Selain itu ia memakai analogi matahari sebagaimana dilakukan Timotius I dan beberapa analogi

lainnya untuk menjelaskan konsep Trinitas.

Untuk menutup bagian ini, saya perlu menggarisbawahi bahwa perdebatan yang terjadi

sesungguhnya amat kompleks karena doktrin Trinitas sendiri tidaklah tunggal sebagaimana

kekristenan yang eksis dan dikenal oleh Islam saat itu juga tidak tunggal.14 Selain itu, penting

juga untuk diketahui bahwa debat-debat tersebut dimungkinkan karena percakapan antara umat

Muslim dengan Ahl al-Kitab merupakan salah satu hal yang disarankan oleh Qur’an dan percakapan tersebut haruslah disertai dengan cara yang baik (Q. 29:46) sehingga debat-debat

yang terjadi tidak berakibat buruk pada kaum minoritas.

C. Perjumpaan di Era Abad Pertengahan dan Reformasi: Miskonsepsi dan Pemenuhan

Untuk contoh-contoh perjumpaan Trinitas dan Tauhid pada Abad Pertengahan dan

Reformasi saya akan menampilkan beberapa contoh dari tradisi Kristen di luar wilayah Islam.

Ciri khas dari era ini masih berupa polemik dan miskonsepsi terhadap Islam dan konsep Tauhid,

namun juga mulai ada upaya yang bersifat misionaris untuk menarik umat Muslim kepada

kebenaran yang lebih tinggi.

Dalam tulisan yang diatributkan pada Nicetas Choniates, seorang sejarawan yang hidup

di Byzantium abad ke-12, terdapat sebuah anathema terhadap Islam yang mana isinya menyebut

Allah yang diajarkan oleh Muhammad, sebagaimana tertulis dalam sura Al-Ikhlas, sebagai

holosphyros. Kata Al-Samad diterjemahkan sebagai holosphyros yang artinya adalah “terbuat dari metal padat yang dibentuk sehingga memiliki rupa.” Tentu saja hal ini merupakan

miskonsepsi atau salah pengertian dari pengertian al-Samad yang sebenarnya maupun ajaran

14 Pengantar terhadap topik ini dapat dibaca di bab 1 buku W. Montgomery Watt, Muslim-Christian

(8)

Islam. Namun, sebagaimana diteliti oleh Daniel J. Sahas, kesalahpahaman tersebut tampaknya

berakar pada literatur-literatur polemik yang berasal dari masa sebelumnya.15

Ovey N. Mohammed, seorang Jesuit, mengatakan bahwa sedari awal ada banyak

legenda-legenda di Barat tentang Muhammad dan Islam yang sama sekali berbeda dengan apa

yang dipercayai oleh umat Islam. Di Abad Pertengahan sendiri Islam digambarkan secara

dominan sebagai aliran sempalan dari kekristenan sebab ada kepercayaan kuat bahwa setelah

munculnya agama Kristen selaku agama universal, agama-agama lain yang muncul hanyalah

deviasi dari agama yang benar yakni kekristenan.16 Karena itu, tidak mengherankan bahwa

figur-figur di Abad Pertengahan seperti Dante (1265-1321) dan Thomas Aquinas (1225-1274)

menggambarkan Muhammad dengan cara yang merendahkan dan seringkali dengan penuh

miskonsepsi terhadap apa yang sebenarnya merupakan ajaran Islam, serta dengan memakai

standar ganda terhadap kekristenan. Di dalam Summa Contra Gentiles (I.6.4), Thomas menuliskan bahwa Islam menyebarkan agama melalui pedang dan bahwa tidak ada orang-orang

bijaksana yang mengikuti Muhammad melainkan orang-orang yang brutal saja.17 Hal itu ironis,

kata Mohammed, sebab ketika Thomas menulis kekristenan sebagai agama damai dan Islam

sebagai agama kekerasan, justru pihak Kristen saat itu sedang memulai Perang-perang Salib.

Selain itu, warisan pemikiran Yunani yang dinikmati oleh umat Kristen Barat justru bisa ada

karena peran dari para cendekiawan Muslim yang menerjemahkan literatur-literatur filsafat Barat

ke dalam Bahasa Arab.18

15 Daniel J. Sahas, ““Holosphyros”? A Byzantine Perception of “The God of Muhammad”” in

Christian-Muslim Encounters, edited by Yvonne Y. Haddad and Wadi Z. Haddad (Gainesville: University Press of Florida, 1995), 109-114.

16 Mohammed, 45-46. 17 Ibid., 46.

(9)

Miskonsepsi terhadap Islam berlangsung cukup lama di era Abad Pertengahan.

Terjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Latin oleh Peter the Venerable (1092-1156),

yang juga digunakan oleh Martin Luther, berisi banyak kesalahan baik secara kelengkapan isi

maupun translasi. Terjemahan yang lebih baik tersedia di tahun 1698 ketika Ludovico Marracci

(1612-1700) mempublikasikannya dalam bahasa Latin. Selain itu Sieur du Ryer juga

mempublikasikan terjemahan Qur’an dalam bahasa Prancis pada tahun 1649 dan kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris juga.19 Kendati para penerjemah masih menampilkan

pandangan negatif terhadap al-Qur’an dan Islam, namun ketersediaan terjemahan yang lebih baik

mendorong dihasilkannya karya-karya yang lebih berimbang sesuai ajaran Islam dan di

waktu-waktu selanjutnya membantu mengurai miskonsepsi yang sudah berkembang di Barat.

Salah satu ciri lain dari periode ini dalam memandang Tauhid adalah dengan perspektif

pemenuhan. Islam dengan konsep Tauhid diyakini menyembah Allah yang sama dengan umat

Kristen, namun gagal menyadari bahwa Allah yang Esa itu sesungguhnya Allah Tritunggal.

Miroslav Volf menyebutkan dua contoh teolog Abad Pertengahan dan Reformasi yang memiliki

pandangan seperti ini terhadap Tauhid, yakni Nicolas Cusanus dan Martin Luther. Keduanya

tidak melihat Islam sebagai agama dengan Tuhan yang berbeda dengan Kristen atau agama yang

menyembah berhala. Di dalam polemiknya, Cusanus menekankan kesamaan Allah antara Kristen

dan Islam serta mengajak umat Muslim untuk menerima kebenaran yang lebih tinggi, yakni

Allah yang Esa itu sesungguhnya Allah Trinitas. Walaupun bersifat polemis, langkah seperti ini

tetap mengandung pengakuan dan penghargaan terhadap ajaran Islam walau tidak sepenuhnya.20

Martin Luther menuliskan karya-karya yang menantang Islam dan memandang Islam

sebagai “agama yang disesatkan oleh Iblis.” Hal itu dikarenakan pengalaman perjumpaan negatif

19 Ibid., 46-47.

(10)

yang kental dengan faktor sosial-politik sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Luther.21

Namun sebagaimana disimpulkan oleh Volf, Luther tetap melihat Islam sebagai agama yang

menyembah Allah yang sama namun gagal dalam mengenal karakteristik sebenarnya Allah yang

berinkarnasi di dalam Yesus yang mati bagi dosa manusia, yakni Allah Tritunggal sebagai

gambaran Allah yang benar.22

D. Perjumpaan di Era Modern hingga Kontemporer: Dari Upaya Misionaris hingga

Afirmasi

Pada era ini tradisi polemik masih dominan serta dirajut dengan upaya misionaris yang

massif untuk menambah jumlah umat Kristen. Pembelajaran yang serius terhadap Islam dimulai

di era ini dengan munculnya kajian Orientalisme,23 namun, sebagaimana ditunjukkan oleh para

pengkritiknya, kajian Orientalisme berhubungan erat dengan agenda kaum kolonialis yang

bertujuan melanggengkan hegemoni atas wilayah-wilayah yang dikuasai. Akan tetapi, perubahan

lewat perjumpaan yang lebih intensif juga menjadi salah satu ciri dari perjumpaan di era ini.

Hartford Seminary pada abad ke-19 merupakan pusat studi Islam yang terkemuka dan

banyak melatih para misionaris Protestan ke wilayah-wilayah yang didominasi Islam. Namun di

waktu-waktu selanjutnya para misionaris tersebut justru menjadi ujung tombak bagi dialog

antar-agama karena perjumpaan-perjumpaan otentik yang mereka alami. Hal itu merupakan salah satu

contoh perubahan yang terjadi di pihak Kristen perihal cara pandang terhadap Islam hingga

sekarang, yang mana dialog dan penghargaan menjadi lebih ditekankan. Tentunya tren ini

21 Kajian perihal Luther dan Islam lihat Adam J. Francisco, Martin Luther and Islam: A Study in

Sixteenth-Century Polemics and Apologetics (Leiden: Brill, 2007), part two 131 ff.

22 Volf, 64.

23 Selain karya besar Edward Said, Orientalism (Vintage: New York, 1978), perlu juga mempelajari

(11)

membantu mengurangi ketegangan, polemik, maupun salah paham yang sebelumnya banyak

terjadi di dalam perjumpaan Kristen dan Islam.

Warisan dari cara pandang misionaris di era kontemporer adalah pada cara pandang

Kristen terhadap agama-agama non-Kristen, termasuk Islam, yang amat berfokus pada

pertanyaan seputar keselamatan. Pengakuan akan Kristus merupakan manifestasi anugerah Allah

dan penolakan terhadap berita keilahian Kristus dianggap sama dengan penolakan terhadap

anugerah Allah. Hal inilah yang menyebabkan diskursus teologi agama-agama mengalami

kebuntuan pada model tipologi tripolar: eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.24 Ketiga

model tersebut tidak mampu mengakomodasi klaim partikularitas Kristen di satu pihak dan

klaim partikularitas agama-agama non-Kristen di pihak lain secara secara seimbang. Namun di

masa kini telah muncul jalan-jalan lain yang mencoba menembus kebuntuan cara pandang

Kristen terhadap agama lain, termasuk dengan pendekatan trinitarian.25 Alih-alih menjadi faktor

yang membatasi Kristen dengan Islam, konsep Trinitas ternyata dapat menjadi jembatan untuk

membangun relasi yang lebih positif melalui percakapan teologi agama-agama.

Trinitas sendiri sebetulnya mengalami “mati suri” di era modern yang baru mulai

“bangkit” kembali di era kontemporer yang dipengaruhi karya-karya dari Karl Barth dan Karl

Rahner. Tulisan-tulisan yang membahas Trinitas bukan lagi terbatas pada aspek imanen (Trinitas

di dalam diri-Nya sendiri) sebagaimana lazim di Abad Pertengahan, melainkan menekankan juga

aspek ekonomi (Trinitas dalam relasi dengan ciptaan). Dengan demikian, tawaran-tawaran

24 Hans Abdiel Harmakaputra, Melepas Bingkai, ed. Muna Panggabean (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2013),

bab 2.

25 Ibid., bab 3. Secara khusus pendekatan Trinitarian yang mengklaim dapat mengakomodasi klaim

(12)

alternatif di dalam teologi agama-agama yang menggunakan perspektif Trinitas mulai

bermunculan.26

Di luar diskursus teologi, gereja-gereja maupun institusi Kristen juga semakin terbuka

terhadap dialog dengan agama-agama non-Kristen, termasuk Islam. Untuk Gereja Katolik Roma,

dua dokumen yang dihasilkan di Konsili Vatikan II (tahun 1960-an), yakni Lumen Gentium dan

Nostra Aetate, menjadi pedoman pokok dalam berelasi dengan agama-agama yang berbeda. Lumen Gentium (16) menyatakan: “The plan of salvation also includes those who acknowledge the Creator, in the first place amongst whom are the Muslims; these profess to hold the faith of

Abraham, and together with us they adore the one, merciful God, mankind’s judge on the last

day.”27 Sedangkan di dalam Nostra Aetate tertulis demikian:28

The Church regards with esteem also the Moslems. They adore the one God, living and subsisting in Himself; merciful and all-powerful, the Creator of heaven and earth, who has spoken to men; they take pains to submit wholeheartedly to even His inscrutable decrees, just as Abraham, with whom the faith of Islam takes pleasure in linking itself, submitted to God. Though they do not acknowledge Jesus as God, they revere Him as a prophet. They also honor Mary, His virgin Mother; at times they even call on her with devotion. In addition, they await the day of judgment when God will render their deserts to all those who have been raised up from the dead. Finally, they value the moral life and worship God especially through prayer, almsgiving and fasting. Since in the course of centuries not a few quarrels and hostilities have arisen between Christians and Moslems, this sacred synod urges all to forget the past and to work sincerely for mutual understanding and to preserve as well as to promote together for the benefit of all mankind social justice and moral welfare, as well as peace and freedom.

Kedua dokumen di atas merupakan tonggak penting mengenai perubahan cara pandang

Gereja Katolik Roma terhadap Islam. Iman dari umat Muslim dilihat sebagai iman kepada Allah

Abraham serta ada pengakuan positif terhadap apa yang diklaim oleh Islam terhadap Isa bin 26 Pendekatan-pendekatan trinitarian tersebut dirangkumkan dengan sangat baik oleh Veli-Matti

Kärkkäinen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in Christian Theology of Religions (Aldershot, Hants, England: Ashgate, 2004)

27

http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19641121_lumen-gentium_en.html diakses 30 Juni 2015.

28

(13)

Maryam. Tentu saja masih ada perdebatan perihal aplikasi dari dokumen ini namun setidaknya

kedua dokumen tersebut adalah posisi resmi dari Gereja Katolik Roma.

Dari pihak Protestan arus utama yang tergabung di dalam WCC, dokumen-dokumen

belakangan semakin menampilkan ciri trinitarian yang memberi ruang lebih luas bagi dialog dan

kerja sama dengan umat beragama lain.29 Hal ini tentu merupakan kelanjutan dari apa yang sudah

termaktub dalam dokumen San Antonio (1989) yang menyatakan:30

“We cannot point to any other way of salvation than Jesus Christ; at the same time we cannot set limits to the saving power of God." Recognizing the tension between such a statement and the affirmation of God's presence and work in the life of peoples of other faith traditions, the San Antonio report said that "we appreciate this tension, and do not attempt to resolve it". The question following the conference was whether the ecumenical movement should remain with these modest words as an expression of theological humility, or whether it should deal with that tension in finding new and creative formulations in a theology of religions.”

Tentu saja variasi posisi di kalangan Protestan jauh lebih majemuk ketimbang di Gereja Katolik

Roma. Banyak gereja-gereja Protestan yang masih memakai paradigma misionaris dan juga

penekanan pada keselamatan “di dunia nanti” dalam memandang agama-agama non-Kristen.

Salah satu tonggak penting di era kontemporer dalam hal relasi Islam dan Kristen dan

pengakuan akan satu Allah adalah dokumen A Common Word Between Us and You yang diprakarsai oleh 138 tokoh Islam di seluruh dunia pada tanggal 13 Oktober 2007. Dokumen

sepanjang 15 halaman yang ditujukan kepada para pemimpin gereja-gereja se-dunia tersebut

pada intinya berbicara soal kesamaan yang dimiliki oleh Kristen dan Islam dalam hal mengasihi

Tuhan dan mengasihi sesama sebagaimana ditunjukkan di dalam Alkitab dan al-Qur’an sehingga

29 “Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes,” in Ecumenical Visions for

the 21st Century: A Reader for Theological Education, edited by Melisande Lorke and Dietrich Werner (Geneva: WCC Publications, 2013), 191-206.

30

(14)

menjadi imperative bagi keduanya untuk berkerja sama dalam menciptakan harmoni dan

perdamaian dunia.31 Dokumen ini mendapat respons positif dari pelbagai pihak yang mewakili

agama Kristen seperti Uskup Agung Canterbury dari Gereja Anglikan pada waktu itu, Rowan

Williams, dan pemimpin Gereja Katolik Roma saat itu, Paus Benedictus XVI. Respons yang

dikenal publik secara luas adalah surat terbuka yang dimuat di New York Times pada tanggal 17

November 2007 berjudul “Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to A

Common Word Between Us and You.” Surat tersebut ditandatangani oleh lebih dari 300

pemimpin gereja dan teolog Kristen tersebut diorganisasi oleh Yale Center for Faith & Culture.32

III. Ekskursus: Apakah Kristen dan Islam Menyembah Allah yang Berbeda?

Salah satu masalah di masa kini adalah pertanyaan seputar Allah yang disembah oleh

Kristen dan Islam, apakah sama atau berbeda. Jawaban yang negatif muncul baik di kalangan

umat Islam maupun Kristen. Umat Kristen di Malaysia yang dilarang menggunakan kata Allah

menjadi bukti bahwa tidak semua umat Islam memaknai teks yang menyebutkan kesamaan Allah

di antara kedua tradisi agama Abrahamik secara sama. Sedangkan di kalangan Kristen,

penolakan terhadap penggunaan kata Allah juga muncul beberapa tahun terakhir, termasuk di

Indonesia. Penolakan dari kalangan Kristen terhadap pendapat yang mengatakan umat Kristen

dan Islam menyembah satu Allah misalnya diwakili oleh John Piper yang mengajukan dua butir

argumentasi: (1) Islam menolak Yesus Kristen sebagai Allah dan juga menolak konsep Trinitas,

karena itu Islam tidak menyembah Allah yang benar, yakni YHWY,33 dan (2) jika

membandingkan sumber-sumber dari kedua agama, akan ditemukan perbedaan yang substansial

31 A Common Word Between Us and You: 5-Year Anniversary Edition (Amman: The Royal Aal Al-Bayt

Institute for Islamic Thought, 2012), 7.

(15)

di dalam ajaran Islam dengan apa yang ada di kekristenan.34 Untuk memberikan jawaban

terhadap masalah ini, Miroslav Volf menulis sebuah buku berjudul Allah: A Christian Response.35

Volf memiliki empat buah tesis di dalam buku tersebut. Tesis pertama adalah umat

Muslim dan Kristen menyembah satu Allah yang sama. Kedua, karena kedua agama berakar

pada Allah yang sama, maka ada hal-hal dan nilai-nilai dasar yang dimiliki bersama. Tesis

ketiga, di antara hal-hal yang dimiliki bersama, hal yang paling penting adalah kasih–mengasihi

Tuhan dan mengasihi sesama.36 Hal itu menentang pandangan umum yang mengatakan bahwa

Islam pada hakikatnya mendukung kekerasan. Tesis keempat adalah bahwa tiga tesis yang sudah

disebutkan dapat menjembatani jarak yang ada di antara kedua agama dan mendukung proses

dialog antar-iman yang meliputi juga praksis bersama di dunia yang dihuni oleh semua

manusia.37

Ada tiga kemungkinan logis dari perspektif Kristen jika umat Muslim dan Kristen

menyembah Allah yang berbeda: (a) umat Muslim menyembah satu entitas ilahi yang berbeda,

(b) Muslim menyembah obyek yang tidak sungguh-sungguh ada, atau (c) Muslim sebetulnya

menyembah ilah palsu.38 Menurut Volf opsi (a) adalah absurd baik menurut kerangka teologi

Kristen ataupun Islam sebab bertentangan dengan kesaksian masing-masing Kitab Suci bahwa

hanya ada satu Allah. Opsi (b) dan (c) memiliki konsekuensi yang serupa sehingga pilihan bagi

umat Kristen hanya memilih antara (1) umat Muslim menyembah Allah yang sama dengan umat

34 Ibid., 35. Lihat juga pernyataan Piper di

http://www.desiringgod.org/interviews/how-are-yahweh-and-allah-different diakses 7 September 2015.

35 Ringkasan terhadap argumentasi Volf maupun refleksi dari perspektif Indonesia dapat dibaca di Hans

Abdiel Harmakaputra, “’There is No God but Allah’: An Indonesian-Christian Reading on Miroslav Volf’s “Allah: A Christian Response,” In Jurnal Amanat Agung October 2013.

(16)

Kristen, atau (2) Islam merupakan agama yang menyembah ilah palsu.39 Tentu saja Volf tahu

bahwa akan ada umat Kristen yang memilih opsi (2) sehingga ia mengajukan argumentasi

lanjutan untuk opsi (1).

Selain mengutip tradisi Kristen dari Nicholas Cusanus dan Martin Luther yang sudah

dibahas di bagian sebelum ini, Volf juga beragumentasi dari Injil Yohanes yakni kisah

perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria. Di sana Yesus menekankan bahwa Allah yang

disembah oleh orang Yahudi dan Samaria adalah Allah yang sama, namun iman perempuan

Samaria tersebut masih perlu disempurnakan. Yesus tidak menuduh bahwa orang-orang Samaria

menyembah allah lain atau ilah palsu. Dengan demikian, Volf menyimpulkan, perbedaan konsep

tentang Allah tidak berarti bahwa yang “obyek” iman lantas berbeda.40 Ia mencontohkan

bagaimana perbedaan level pengenalan itu dimungkinkan, sebagaimana pengenalan anak-anak

tentang Allah tentu berbeda dengan orang dewasa. Volf juga berargumentasi bahwa denominasi

Kristen juga memiliki perbedaan konsep Allah, namun tidak berarti bahwa semuanya

menyembah Allah yang berbeda.41

Di dalam proses mencari kesamaan nilai, Volf menekankan satu peraturan yang penting

dalam membandingkan agama-agama: jangan membandingkan apa yang ideal di dalam agama

yang kita anut dengan apa yang faktual di dalam agama-agama lain.42 Seringkali orang luput

untuk melihat fakta-fakta historis di dalam sejarah Kristen yang bertentangan dengan apa yang

ideal dalam kekristenan, namun sangat rajin untuk menunjuk kepada apa yang buruk di

agama-agama lain. Volf yakin bahwa pada tataran apa yang ideal, tesis kedua hingga keempat yang ia

ajukan dapat terbukti. 39 Ibid., 85. 40 Ibid., 90. 41 Ibid., 86.

42 Lihat juga perintah keempat dari “10 Perintah terkait Dialog” yang dituliskan oleh Leonard Swidler,

(17)

IV. Penutup

Di dalam tulisan ini, saya berupaya menunjukkan bagaimana perspektif Kristen tentang

Allah, yakni Trinitas, dan konsep Tauhid dalam Islam bersinggungan di dalam sejarah. Tentu

bukan gambaran komprehensif yang termaktub melainkan cuatan-cuatan peristiwa di mana

kedua tradisi agama berjumpa. Polemik telah mendominasi sejarah panjang kedua agama

Abrahamik ini namun kini perjumpaan yang lebih positif mulai hadir juga. Tulisan ini

dimaksudkan sebagai sebuah studi awal untuk merangsang munculnya studi-studi yang lebih

mendalam dalam relasi Islam dan Kristen. Dengan demikian, perspektif umat Kristen di

Indonesia dalam memandang tradisi agama lain, khususnya Islam, dapat diperkaya, khususnya

dengan pendekatan historis. Jika dialog dan saling menghargai merupakan salah satu ciri yang

muncul di perjumpaan Trinitas dan Tauhid di masa kini, penulis berharap supaya hal itu bisa

terus berlanjut melalui upaya-upaya studi yang serius dari kedua belah pihak.

Bibliografi

A Common Word Between Us and You: 5-Year Anniversary Edition. Amman: The Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2012.

Abu Qurra, Theodore. “On the Trinity.” In Theodore Abu Qurrah, John C. Lamoreaux, trans. Provo, Utah: Brigham Young University Press, 2005.

Ayoub, Mahmoud. A Muslim View of Christianity: Essay on Dialogue. Irfan A. Omar, ed. Maryknoll: Orbis, 2007.

Bertaina, David. “The Debate of Theodore Abu Qurra.” In Christian-Muslim Relations. A Bibliographical History Volume 1 (6tt-9tty. David Thomas, Barbara Roggema, eds. Leiden: Brill, 2009.

(18)

Gutas, Dimitri. Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʽAbbāsid Society (2nd-4th/8th-1tth centuriesy. New York: Routledge, 1998.

Harmakaputra, Hans Abdiel. Melepas Bingkai. Muna Panggabean, ed. Jakarta: Grafika Kreasindo, 2013.

_______. “’There is No God but Allah’: An Indonesian-Christian Reading on Miroslav Volf’s “Allah: A Christian Response.” In Jurnal Amanat Agung October 2013.

_______. “Discerning the Motives of Muslim-Christian Debates in the Early ʽAbbāsid Period: The Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra.” Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Volume XXXVIII, No. 2, Juli-Desember 2014: 434-445.

Heim, S. Mark. Salvations: Truth and Difference in Religion. Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 1995

_______. The Depth of the Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends. Grand Rapids, Mich: W.B. Eerdmans, 2001.

Hoover, Jon. “Islamic Monotheism and the Trinity.” The Conrad Grebel Review 27.1 (Winter

2009), 57-82. Correct version available at:

uwaterloo.ca/grebel/sites/ca.grebel/files/uploads/files/IslamicMonotheismandtheTrinity.p df

Ibn Taymiyya, Ahmad ibn ʻAbd al-Hallm. A Muslim Theologian’s Response to Christianity: Ibn Taymiyya's Al-Jawāb Al-S̩ah̩īh̩. Thomas F. Michel, trans., ed. Delmar, N.Y.: Caravan Books, 1984.

Kärkkäinen, Veli-Matti. Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in Christian Theology of Religions. Aldershot, Hants, England: Ashgate, 2004.

Masuzawa, Tomoko. The Invention of World Religions. Chicago: The University of Chicago Press, 2005.

Sahas, Daniel J. ““Holosphyros”? A Byzantine Perception of “The God of Muhammad.”” In

Christian-Muslim Encounters, Yvonne Y. Haddad and Wadi Z. Haddad, eds. Gainesville: University Press of Florida, 1995.

Said, Edward. Orientalism. Vintage: New York, 1978

(19)

Watt, W. Montgomery. Muslim-Christian Encounters: Perceptions and Misperceptions. London: Routledge, 1991 Mohammed, Ovey N. Muslim-Christian Relations: Past, Present, Future. Maryknoll: Orbis, 1999.

World Council of Church. “Together Towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes.” In Ecumenical Visions for the 21st Century: A Reader for Theological

Education. Melisande Lorke and Dietrich Werner, eds. Geneva: WCC Publications, 2013.

Volf, Miroslav. Allah: A Christian Response. New York: Harper One, 2011.

Sumber Internet

Alphonse Mingana, trans., “Timothy I, Apology for Christianity,” The Tertullian Project, http://

www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed September 6,

2015).

Dokumen “Religious Plurality and Christian Self-Understanding” dari World Council of Church.

https://www.oikoumene.org/en/resources/documents/assembly/2006-porto-alegre/3-

preparatory-and-background-documents/religious-plurality-and-christian-self-understanding diakses 30 Juni 2015

Dokumen Lumen Gentium.

http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19641121_lumen-gentium_en.html diakses 30 Juni 2015.

Dokumen Nostra Aetate.

http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_decl_19651028_nostra-aetate_en.html diakses 30 Juni 2015.

John Piper on Allah and Yahweh.

http://www.desiringgod.org/interviews/how-are-yahweh-and-allah-different diakses 7 September 2015.

Referensi

Dokumen terkait

ISM Tbk Bogasari Flour Mills Surabaya meliputi sanitasi bahan baku dan hasil produksi, ruang produksi, peralatan dan mesin, air, pengolahan limbah pabrik,

Formula SNEDDS asam mefenamat menggunakan rasio komposisi surfaktan dan kosurfaktan yang berbeda dengan tujuan untuk melihat rasio komposisi yang tepat yang dapat

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 6 Abdul Mansyur Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros 7 Achmad Fitriyanto Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan 8 Achmad

(2) Bupati atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran

Untuk Tungku energi alternatif, penambahan isolasi dimaksudkan agar effisiensi dari tungku tersebut dapat lebih baik, karena dengan penambahan isolasi maka panas yang diserap oleh

Pihak pengambil keputusan yang dilakukan oleh sistem, dalam hal ini pihak pengambil keputusan dapat login dengan username dan password masing-masing, dapat melakukan

Average abnormal return saham perusahaan undervalued yang melakukan pengumuman rights issue periode Januari 2010 sampai dengan Juni 2014 pada H-0 memiliki nilai positif

Analisa Koreksi Fiskal Terhadap Laporan Laba/Rugi Perusahaan Menurut Undang-Undang PPh No 36 Tahun 2008 Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses