• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor faktor Penting Pengelolaan Sanita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Faktor faktor Penting Pengelolaan Sanita"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-faktor Penting Pengelolaan Sanitasi oleh Masyarakat di Kawasan

Kumuh Perkotaan Bandung Raya

Iendra Sofyan, Prayatni Soewondo, Tresna Darmawan Kunaefi, Marisa Handajani

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha No. 10, Bandung-Indonesia

Email : iendra@hotmail.com; iendrasofyan@yahoo.com;

prayatnisoe@yahoo.com;

wriu.itdk@yahoo.com; m_handajani@yahoo.com

Abstrak

Sanitasi merupakan salah satu aspek pembangunan yang merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Salah satu kebijakan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah mengacu kepada kebutuhan masyarakat (demand driven) bukan hanya bersifat target teknis semata (supply-driven). Fokus penanganan adalah pada kawasan kumuh perkotaan. Masyarakat di kawasan kumuh perkotaan dituntut sebagai pelaku utama dalam pembangunan berperan aktif dalam perencanaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan fasilitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi pelaksanaan pengelolaan sanitasi di kawasan kumuh dan mencari faktor-faktor yang dianggap penting oleh masyarakat dalam pengelolaan sanitasi. Metode penelitian adalah Fiesben yang dilanjutkan dengan Importance Performance Analysis (IPA) dengan diagram cartesius, dimana prinsipnya adalah mencari pendapat/persepsi masyarakat di kawasan kumuh mengenai pembangunan sanitasi. Ada dua komponen yang ditanggapi yaitu kenyataan (menyatakan kinerja) danharapan (menyatakan tingkat kepentingan) menyangkut sebuah kebijakan/program yang dioperasionalkan dalam faktor-faktor penting. Penelitian dilakukan di kawasan Bandung Raya yang terdiri dari 4 (empat) kabupaten/kota yang merupakan kawasan ibukota Provinsi Jawa Barat. Hasilnya adalah diantara sepuluh faktor penting yang ditanyakan, faktor pembiayaan menjadi faktor penting utama dan harus ditingkatkan, sedangkan faktor keterlibatan masyarakat, dampak lingkungan dan dampak sosial adalah faktor yang penting dan sudah memuaskan. Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat merasa sudah melakukan pengelolaan sanitasi secara mandiri dalam upaya mengatasi masalah sosial dan lingkungan. Sisi lain masih diperlukan pembiayaan dalam meningkatkan pengelolaan sanitasi yang lebih baik.

Keywords : sanitasi, demand driven, kumuh perkotaan

1. Pendahuluan

2. Akses terhadap air minum dan sanitasi merupakan kebutuhan dasar manusia (UN, 2010). Data WHO (2013) dalam Laporan Kemajuan Air Minum dan Sanitasi Dunia menyatakan bahwa tahun 2011 sekitar 768 juta penduduk dunia tidak mendapatkan akses terhadap air minum dan sekitar 2,5 milyar orang tidak mendapatkan sarana sanitasi. Namun demikian terjadi penurunan prilaku buang air besar sembarangan (BABS) dari tahun 1990 sebesar 24% menjadi 15 % di

(2)

sebesar 62,5% dan target tahun 2015 sebesar 70% (RPJMD, 2008/2013). 3.

4. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 230 juta lebih (BPS, 2012) dan cenderung tinggal di kawasan perkotaan dan berkembang dengan cepat. Lumanti (2004) mendefinisikan kawasan seperti ini kawasan kumuh yang biasanya tidak hanya kekurangan sarana sanitasi, tetapi fasilitas lainnya seperti air minum, drainase lingkungan dan penanganan persampahan. Dari aspek ekonomi cenderung masuk ke dalam kategori miskin ditandai dengan penghasilan yang rendah dan bahkan tidak mempunyai pekerjaan. Kondisi lingkungan yang tidak sehat baik fisik maupun sosial. Dampak dari kurangnya pelayanan sanitasi adalah munculnya penyakit bawaan sanitasi buruk seperti diare dan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran sumber air baku baik air tanah maupun air permukaan, yang selanjutnya akan mengakibatkan

dampak lanjutan seperti

mempengaruhi terhadap pertumbuhan anak (Checkley et al., 2008), kebugaran fisik dan fungsi kognitif (Guerrant et al., 1999; Niehaus et al., 2002).

5.

6. Upaya kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah diluncurkannya Program Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) untuk kurun waktu 2010-2014 dengan target open defecation free (ODF) atau Stop BABS pada tahun 2014. Pola pembangunan dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pertama berdasarkan target kebijakan (supply driven) yang lebih bersifat Top-Down (diarahkan oleh pemerintah) yang sudah dilakukan bertahun-tahun dan kedua berdasarkan kepada kebutuhan pengguna (demand driven). Pola pembangunan Top-Down atau diarahkan dan disebut juga pendekatan konvensional mempunyai karakteristik melupakan keinginan konsumen, promosi yang tidak efektif, kepedulian publik lemah dan tebatasnya keterlibatan para kunci pelaku

(Schertenleib, 2002). Sebaliknya pola pembangunan yang kedua (demand driven) dilakukan adalah melalui pelibatan berbagai pelaku terutama masyarakat sebagai pengguna. Konsep pelibatan ini mengutamakan keterlibatan aktif masyarakat dalam inisiatif dan tanggung jawab terhadap pembangunan sarana sanitasi yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dan diarahkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Dayal et al., 2000).

7.

8. Secara prinsip sistem

desentralisasi/tidak terpusat berbasis masyarakat merupakan pilihan yang secara teknis dan ekonomi memungkinkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Paterson et al., 2007). Beberapa pengalaman pengembangan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat banyak dilakukan di negara-negara sedang berkembang seperti di Ghana (Osumanu, 2010), Peru (Hubbard et al., 2011), Bostwana (Bolaane dan Ikgopoleng, 2011), Bangladesh (Ali dan Stevens, 2009), Salvador (Santos et al., 2011), Kibera-Kenya (Schouten et al., 2010), Vanuatu (Stitt, 2005), Southern Etiopia (Baye et al., 2012), dan lain-lain. Dari pengalaman ini menunjukkan bahwa perencanaan yang dilakukan sesuai pengguna secara teknis dan pengelolaan lebih efektif (Deverill dan Smout, 2000; Mutume, 2004).

9. Keberlanjutan menjadi indikator utama berhasil tidaknya pembangunan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu. Setiawati et al., (2013) merumuskan beberapa faktor yang mempengaruhi keberlangsungan sistem sanitasi berkelanjutan yaitu terdiri dari pemilihan teknologi,

pembiayaan, lingkungan,

(3)

Faktor-faktor yang mempengaruhi/menghambat

pelaksanaan pola sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat adalah bahwa sanitasi belum menjadi prioritas bagi para pemangku kepentingan, kurangnya pembiayaan, teknologi yang tidak tepat guna dan sulitnya pembagian peran (Isunju et al., 2011; Hubbard et al., 2011; Schouten dan Mathenge, 2010; Cumming, 2008).

10.

11. Berdasarkan gambaran inilah penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi pelaksanaan pengelolaan sanitasi di kawasan kumuh dan mencari faktor-faktor yang dianggap penting oleh masyarakat di kawasan kumuh sebagai pengguna dalam pengelolaan sanitasi.

12.

13. Metode Penelitian

14.

14.1 Disain Penelitian

15. Disain penelitian ini adalah konklusif deskriptif karena menjelaskan karakteristik satu atau lebih variabel secara terstruktur dan spesifik, untuk membantu dalam pengambilan keputusan atas suatu masalah. Analisis yang digunakan adalah lebih bersifat kuantitatif (Firdaus, 2012). Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini :

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.

32. 33.

34. Gambar 1. Skema Tahapan Penelitian 35.

36.

36.1 Variabel-variabel Penelitian

37. Variabel yang akan disurvei terbagi 2 bagian yaitu :

1. Variabel yang menjelaskan gambaran umum responden dan fasilitas pengelolaan sanitasi : a. Identitas Responden

b. Pembuangan lumpur tinja c. Tangki Septik

d. Lainnya, seperti : pemahaman sanitasi, dan wabah penyakit (diare)

2. Variabel untuk faktor-faktor penting. Tipe pertanyaan diarahkan kepada user characteristics

atau kepuasan konsumen menurut keinginan dan pendapat responden berdasarkan kenyataan dan harapan. Berdasarkan beberapa teori dan penelitian terdapat 10 (sepuluh) faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini.

38.

39. Tabel 1. Variabel-variabel Penelitian 40.

No .

41. V

ariabel Penelitian

42.

K 43.Har

44.

1. 45.elembagaanK 46.P 47.Sebe

48.

2. 49.eraturan P 50.P 51.Sebe

52.

3. 53.embiayaan P 54.D 55.Sebe

56.

4. 57.eterlibatan K masyarakat

58.

K 59.Sebe

60.

5. 61.eknologi T 62.K 63.Sebe

64.

6. 65.eran swastaP 66.K 67.Kete

68.

7. 69.udaya B 70.P 71.Perh

72.

8. 73.ender G 74.P 75.Pera

76.

9. 77.ampak D Sosial

78.

P 79.Perh

80.

10. 81.ampak D Lingkungan

82.

P 83.Perh

84.

84.1 Lokasi Penelitian

85. Lokasi penelitian adalah kawasan kumuh perkotaan di Kawasan Bandung Raya. Pemilihan lokasi mengacu pada beberapa kriteria yaitu :

1. Kepadatan penduduk. Idealnya kepadatan penduduk maksimum adalah 75 jiwa per Ha (WHO, 2010), penelitian ini ditujukan pada kepadatan penduduk lebih dari 75 jiwa per Ha/kelurahan. 2. Dinyatakan sebagai kawasan kumuh.

3. Area Rawan Sanitasi, menurut studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota dalam yang menggambarkan kondisi sanitasi.

Faktor-faktor penentu terhadap kualitas dan keberlanjutan pembangunan

Pemilihan lokasi kawasan kumuh perkotaan di Bandung Raya

Penentuan variabel-variabel penelitian

Pembuatan Kuesioner (Format dan Uji)

Survey Lapangan (waktu dan responden)

(4)

4. Karakteristik kawasan adalah perkotaan. 86.

87. Tabel 2 di bawah ini menerangkan lokasi penelitian

88.

89. Tabel 2. Lokasi Penelitian

90.

Ko 91.K 92.Kabu 93.K

1. Kel. Sekejati 2. Kel. Braga 3. Kel. Andir 4. Kel.

Cigondewah

1. Kel. Cigugur Tengah 2. Kel. Leuwigajah 3. Kel. Melong 4. Kel. Cibeureum

1. Kel. Padalarang 2. Kel.

Ngamprah

1. Kel. Dayeuh Kolot 2. Kel. Rancaekek

94. Sumber : RTRW dan Dokumen EHRA (2011-2012) 95.

96. 97.

98. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 99.

100.Gambar 2 di atas menggambarkan posisi lokasi penelitian dengan jumlah sampling responden adalah 400 jiwa atau 100 KK.

101.

101.1 Kuesioner

102.Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner yang sifatnya tertutup. Penelitian ini akan menilai sikap dan prilaku responden maka skala yang akan digunakan adalah skala Likert :

103.

104. Kenyataan 105. Harapan

106. 5 = Sangat baik 107. 4 = Baik 108. 3 = Cukup 109. 2 = Kurang baik 110. 1 = Sangat tidak baik

111. 5 = sangat penting

112. 4 = penting

113. 3 = cukup penting

114. 2 = kurang penting

115. 1 = sangat tidak

penting

116.

116.1.1 Survey Lapangan

117.Waktu pelaksanaan survey atau pengumpulan data pada tanggal 22 Juli – 13 September 2013. Selain mengisi kuesioner, responden pun diajak diskusi/interview untuk

memberikan tambahan penjelasan pertanyaan di kuesioner.

118.

118.1 Analisis Data

119.Data gambaran unum dianalis dengan statistik deskriptif, sedangkan variabel kelompok kedua akan diolah dengan menggunakan model Fishbein dan

Importance Performance Analysis (IPA)melalui diagram cartesius. 120.

121.

122.Hasil

122.1 Gambaran Umum

123.Total responden adalah 276 orang mewakili Keluarga (household). Pekerjaan responden adalah karyawan (44,9 %) dan tingkat pendidikannya adalah tamatan SMA/SMK/MA (55,4 %) dengan pendapatan rata-rata sebagian besar di atas Rp. 1.500.000,-/bulan sebesar 36,2% seperti digambarkan pada Gambar 3 di bawah ini.

124.

125.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

17.4

14.5

31.9 36.2

%

126. Gambar 3. Grafik Jumlah Penghasilan Responden

127.

128.Kondisi sarana sanitasi tempat buang air besar digambarkan pada Gambar 4 yaitu sebanyak 245 orang (88,8%) responden memiliki jamban pribadi bila ingin buang air besar, 21 orang (7,6%) diantaranya menjawab ke MCK/WC Umum.

(5)

130.

0.4% 0.4% 1.1% 0.4%1.1%" di empang/kolam; 7.6% 0.4%

Tidak Ada Keterangan; 88.8%

Lainnya Ke lubang galian Ke selokan/parit/got Ke sungai/pantai/laut Ke WC

" di empang/kolam MCK/WC Umum Tidak Ada Keterangan Jamban pribadi

131. Gambar 4. Grafik Tempat Buang Air Besar (BAB)

132.

133.kebiasan buang air besar sembarangan (di luar) yaitu sebanyak 254 orang (92,0%) tidak ada buang air besar sembarangan, seperti digambarkan pada Gambar 5 di bawah.

134.

135.Selanjutnya Gambar 6 di bawah menggambarkan jenis kloset yang dipakai di rumah yaitu sebanyak 220 orang (79,7%) menggunakan kloset jongkok leher angsa, 44 orang (15,9%) kloset duduk leher angsa, 1 orang (0,4%) plengsengan dan cemplung dan 10 orang (3,6%) tidak punya kloset.

136. 137.

Tidak Ada; 92.0%

0.4% 1.8% 0.4% 0.4% 0.7% 1.1% 3.3% Tidak Ada Lainnya

Masih ada tapi tidak tahu/jelas siapa Laki-laki tua Laki-laki Dewasa Anak perempuan umur 5 - 12 tahun Tidak Ada Keterangan Anak laki-laki umur 5 - 12 tahun

138. Gambar 5. Grafik Jumlah Penduduk yang Melakukan

139. BAB Sembarangan 140.

141.

142.

Kloset jongkok leher angsa; 79.7% Kloset duduk leher angsa; 15.9%0.4% 0.4% 3.6%

Kloset jongkok leher angsa

Kloset duduk leher angsa

Plengsengan

Cemplung

Tidak punya kloset

143. Gambar 6. Grafik Penggunaan Jenis Kloset 144.

145.Untuk fasilitas pengumpul lumpur tinja dan pengolahannya dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah dimana sebanyak 125 orang (45,3%) menggunakan tangki septik, 54 orang (19,6%) langsung ke saluran drainase, dan 70 orang (25,4%) dibuang sungai.

146. 147.

Tangki Septik; 45.3%

0.4% 1.8% Langsung ke saluran drainase; 19.6%

Sungai/danau/pantai/laut; 25.4% 0.4% 4.3%

2.5% 0.4%

Tangki Septik Pipa sewer Cubluk/lubang tanah

Langsung ke saluran drainase

Sungai/danau/pantai/laut

Kolam/sawah Kebun/tanah lapang Tidak tahu

Lainnya

Tidak Ada keterangan

148. Gambar 7. Grafik Penggunaan Jenis Pengumpul Buangan 149.

150.Gambaran pemeliharaan tangki septik terlihat pada Gambar 7 di bawah, sebanyak 124 orang (44,9%) tidak tahu dan sebanyak 111 orang (40,2%) tidak pernah, sisanya melakukan pemeliharaan dengan frekuensi tertentu.

(6)

152.

3.3%3.6% 4.3%

3.6%

Tidak pernah; 40.2% Tidak tahu; 44.9%

0-12 bulan yang lalu

1-5 tahun yang lalu

Lebih dari 5-10 tahun yang lalu Lebih dari 10 tahun yang lalu Tidak pernah Tidak tahu

153. Gambar 8. Grafik Frekuensi Pengosongan Septik Tank

154.

155.Gambar 9 menggambarkan sebagian besar responden menyatakan tidak terkena diare yaitu sebanyak 251 orang (90,9%) diantaranya menjawab tidak.

156.

157.

9.1%

Tidak ; 90.9%

Ya, sering

Tidak

Gambar 9. Grafik Frekuensi Penyakit Diare

158.

159.

160.Tingkat pemahaman masyarakat Gambar 10 menggambarkan bagaimana mendapatkan pemahaman tersebut yaitu sebanyak 114 orang (41,3%) mendapat penyuluhan dan 162 orang (58,7%) secara mandiri.

161. 162.

164.

Ya, pernah; 41.3%

Tidak ; 58.7%

Ya, pernah Tidak

165. Gambar 10. Grafik Mendapatkan Penyuluhan

165.1 Identifikasi Faktor Penting

166.Setelah didapatkan nilai rata-rata skor kenyataan dan nilai rata-rata skor harapan, selanjutnya nilai tersebut dipetakan menjadi kordinat (X,Y) ke dalam Importance Performance Analysis (IPA)/diagram cartesius.

Secara ringkas koordinat skor dapat dilihat pada tabel 3 di bawah.

167.

168. Tabel 3. Rata-Rata Skor Kenyataan dan Skor Harapan

169. Vari

170. Ke

171.

172. Ga

1. Kelembagaan

173. 2,4

174. 175.

-2. Peraturan

176. 2,4

177. 178.

-3. Pembiayaan

179. 2,4

180. 181.

-4. Masyarakat

182. 2,8

183. 184.

-5. Teknologi

185. 2,6

186. 187.

-6. Swasta

188. 2,6

189. 190.

-7. Budaya

191. 2,7

192. 193.

(7)

3,0

-9. Dampak Sosial

197.

208.Hasil pemetaan ke dalam Importance Performance Analysis (IPA)/diagram cartesius dengan kordinat dapat dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah. 209.

210.

2.40 2.50 2.60 2.70 2.80 2.90 3.00 3.10

3.60

Gambar 11. Important Performance Analysis/Diagram Cartesius 211.

217.Berdasarkan analisis Importance Performance Analysis (IPA) dan hasil pemetaan pada gambar diatas,

atribut-atribut pertanyaan dapat

dikelompokkan ke dalam kuadran masing-masing seperti pada tabel 4 di bawah ini.

218.

219. Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Diagram Cartesius

220. Kuadran 221. Faktor

222. Kuadran I

223. (faktor penting,

224. V3. Biaya

belum memuaskan/p erlu ditingkatkan)

225. Kuadran II 226. (faktor 229. V10. Dampak

Lingkungan

230. Kuadran III 231. (faktor tidak

penting, tidak memuaskan/p 233. V2. Peraturan 234. V5. Teknologi 235. V6. Peran

Swasta

236. Kuadran IV 237. (faktor tidak

241.Kuadran I, faktor penting tetapi belum memuaskan (harus ditingkatkan) adalah Pembiayaan. Masyarakat di kawasan kumuh menilai bahwa pembiayaan merupakan hal penting masyarakat mempunyai penghasilan yang terbatas. Data yang ada secara umum tingkat ekonomi masyarakat di kawasan kumuh berada di batas Upah Minimum Kabupaten/Kota. Kondisi ini mencerminkan salah satu ciri kawasan kumuh perkotaan ditandai dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi dan pendapatan rendah UMR (Lumanti, 2004). Berdasarkan gambaran umum penghasilan masyarakat di kawasan kumuh ini adalah terbesar Rp. 1.500.000,-/bulan, sedangkan di kawasan ini upah minimum berkisar antara Rp. 1.338.333 – Rp. 1.538.703. Saat ini masyarakat belum merasakan adanya dukungan pembiayaan, secara umum pelayanan sanitasi ditangani oleh masyarakat sendiri. Jika ada dukungan pembiayaan, dilihat dari hasil survei di atas pembiayaan sebaiknya lebih diarahkan kepada teknologi pengolahan yang lebih cocok dan mudah (Katukiza et al., 2010)

.

Masyarakat belum mampu mengelola atau memelihara tangki septiknya sendiri yaitu hasil survei pengurasan tangki septik sebesar 44,9% tidak tahu dan sebesar 40,9% tidak pernah. Dengan melihat kondisi kawasan kumuh dengan kepadatan yang tinggi serta lahan terbatas maka diperlukan sistem pengolahan sanitasi yang tepat

(8)

teknologi dan mudah dikelola (Avvannavar and Mani, 2008). 242.

243.Kuadran II, faktor penting dan memuaskan (harus dipertahankan) adalah Keterlibatan Masyarakat, Dampak Sosial dan Dampak Lingkungan. Masyarakat secara sadar dan berpatisipatif secara sukarela (Bryant et al., 1987) bahwa mereka harus menyelesaikan masalahh sanitasinya sendiri untuk menghindari munculnya dampak sosial maupun lingkungan dan menilai sudah berhasil. Hasil survei menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap sanitasi cukup tinggi yaitu sebesar 85,9% memahami dampak buruk buang air besar sembarangan (BABS). Didukung dengan penyediaan fasilitas secara mandiri menggunakan WC/jamban individu (88,8%) yang dilengkapi dengan kloset jongkok leher angsa (79,7%), kloset duduk leher angsa (15,9%) dan tangki septik (45,3%). Kondisi ini dinilai berdampak baik terhadap aspek sosial maupun lingkungan, tercatat sebesar 90,0% tidak menderita diare.

244.

245.Kuadran III, faktor tidak penting dan belum memuaskan (tidak perlu) adalah Kelembagaan, Peraturan, Teknologi dan Peran Swasta. Masyarakat menyadari hasil pengelolaan sendiri sudah mampu menangani masalah dampak sosial dan lingkungan. Oleh sebab itu

masyarakat menilai aspek

kelembagaan pemerintah, peraturan, teknologi dan peran swasta merupakan faktor yang tidak penting. Masyarakat sudah mampu melakukan sendiri, sehingga peran kelembagaan tidak diperlukan lagi oleh masyarakat. Demikian pula halnya mengenai peraturan, peraturan yang ada pun dinilai sudah merasa cukup bahkan tidak tahu adanya peraturan tetapi masyarakat sudah memahami sendiri pentingnya sanitasi. Tidak diperlukan lagi adanya peraturan, hal ini menunjukan tingkat kejenuhan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Demikian pula halnya dukungan lain seperti teknologi dan peran swasta, masyarakat tidak

memahami adanya potensi

pengembangan teknologi dan peran swasta.

246.

247.Kuadran IV, faktor tidak penting tetapi memuaskan (berlebihan) adalah peran Budaya dan Gender. Aspek budaya dan gender tidak dianggap penting di kawasan kumuh perkotaan, hal ini diakibatkan sudah bergesernya budaya dan emansipasi di kalangan masyarakat perkotaan. Meskipun dinilai bukan aspek penting secara kenyataan fasilitas yang ada sudah memberikan privatisasi dan perlakukan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat

248.

249.Kesimpulan

250.Berdasarkan hasil survei dan analisis data dapat disimpulkan bahwa : 1. Prilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS)

sudah dapat diatasi, ebesar 92 % terutama untuk orang dewasa. Sedangkan untuk anak-anak umur 5-12 masih ada yaitu sebesar 3,3%. Dampaknya 90,0% tidak menderita diare. Pemahaman dampak buruk buang air besar sembarangan (BABS) cukup tinggi yaitu sebesar 85,9% yang diperoleh melalui penyuluhan (41,3%) maupun secara mandiri (58,75).

2. Fasilitas Sanitasi sudah dimiliki oleh setiap rumah dengan adanya WC/jamban individu (88,8%) yang dilengkapi dengan kloset jongkok leher angsa (79,7%) dan kloset duduk leher angsa (15,9%). Sedangkan yang memanfaatkan MCK umum hanya sebesar 7,6 %. Kondisi ini menunjukan tingkat privatisasi terhadap sanitasi dirasakan masyarakat sangat tinggi dan sulitnya lahan untuk MCK umum. 3. Dampak lingkungan (pencemaran) masih berpotensi besar karena penggunaan tangki septik sebesar 45,3%, penyaluran ke sungai yaitu sebesar 25,4% dan drainase sebesar 19,6%. Hal ini diperburuk dengan lemahnya pemeliharaan tangki septik yang baik melalui pengurasan sebesar 44,9% tidak tahu dan sebesar 40,9% tidak pernah. Diperlukan kajian kualitas tangki septik yang lebih detil. Disamping itu perlu ditinjau kondisi lingkungan sekitar kawasan.

251.

4. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah menentua faktor-faktor penting dalam pengelolaan sanitasi. Berdasarkan hasil analisis data didapatkan analisis faktor-faktor penting seperti pada tabel5 di bawah ini :

252.

(9)

253.Tabel 5. Kesimpulan Faktor-faktor Penting Dalam Pengelolaan Sanitasi

(10)

254. K approaches to promoting sanitation : A case study of Faridpur, Bangladesh, Presented at the Water and Sanitation in International Development and Disaster Relief (WSIDDR) International Workshop Edinburgh, Scotland, UK, 28–30 May 2. Baye S., Kloos H., Mulat W., Assyie A., Gullis

G., Kumie A., Yirsaw B. (2012) Assessment on the Approaches Used for Water and Sanitation Program in Southern Ethiopia, Springer Science, Water Resour Manage 26:4295–4309

3. Biro Pusat Statistik (BPS), 2012

4. Biro Pusat Statistik (BPS) (2011) Jawa Barat Dalam Angka

5. Bolaane B., Ikgopoleng H. (2011) Towards improved sanitation : Constraints and opportunities in accessing waterborne sewerage in major villages of Botswana, Habitat International 35

(11)

7. Chinyama, A., Chipato, P.T. , Mangore, E., (2012). Sustainable sanitation systems for low income urban areas-A case of the city of Bulawayo, Zimbabwe. Physics and Chemistry of the Earth.

8. Cumming O. (2008) The sanitation imperative: A strategic response to a development crisis, Water and Sanitation in International Development and Disaster Relief (WSIDDR), International Workshop Edinburgh, Scotland UK.

9. Dayal R., van Wijk C., Mukherjee N. (2000)

Methodology for participatory assessments with communities, institutions and policy makers: Linking sustainability with demand, gender and poverty. World Bank,Washington

10. Deverill P. & Smout I. (2000) Designing to meet demand: Putting users first. 26th WEDC conference, water, sanitation and hygiene, challenges of the millennium. Water, Engineering and Development Centre, Loughborough University, Dhaka

11. Firdaus M Azis. (2012) Metode Penelitian, Jelajah Nusa, Cetakan Pertama

12. Guerrant D.I., Moore S.R., Lima A.A., Patrick P.D., Schorling J.B., Guerrant R.L. (1999)

Association of early childhood diarrhea and cryptosporidiosis with impaired physical fitness and cognitive function four-seven years later in a poor urban community in northeast Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg. 61, 707–713.

13. Hubbard B., John S., Richard G., Virginia B., Raul S., Carlos C. (2011) A community demand-driven approach toward sustainable water and

sanitation infrastructure development,

International Journal of Hygiene and Environmental Health.

14. Isunju J.B., Schwartz K., Schouten M.A., Johsnon W.P., van Dijk M.P.(2011) Socio-economic aspects of improved sanitation in slums : reviews, Journa Public Health 125, 368-376.

15. Jones J.A.A. (2010) Water Sutainability A Global Perspective, London : Hodder Education.

16. Robert M. Kaplan & Dennis P. Saccuzzo (1993)

Phsycological Testing principles, application, and issues; Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California, p: 126

17. Joss A., Zabczynski S., Göbel A., Hoffmann B., Löffler D., McArdell C.S. (2006) Biological degradation of pharmaceuticals in municipal wastewater treatment: proposing a classification scheme. Water Res 2006;40(8):1686–96.

18. Katukiza A.Y., Ronteltap M., Niwagaba C., Kansiime F., Lens P.N.L. (2010) Selection of sustainable sanitation technologies for urban slums — a case of Bwaise III in Kampala, Uganda. Sci Total Environ (409):52–62.

19. Katukiza A.Y., Ronteltap M., Niwagaba C.B., Foppen J.W.A., Kansiime F., Lens P.N. (2012)

Sutainable sanitation technology options for urban slums, Biotechnology Advances.

20. Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (POKJA AMPL), 2012

21. Libralato G., Ghirardini A.V., Avezzu F. (2012)

To centralize or to decentralize: An overview of the most recent trends in waste water treatment management, Journal of Environmental Management.

22. Lumanti (2004) What is s slum ? URL:

www.ngoforum.net

23. Mara D., Lane J., Scott B., Trouba D. (2010)

Sanitation and health, PLoS Med;7(11):1–7. 24. Mc Common C. (1993) Community management

of rural water supply and sanitation services.Water and sanitation for Health (WASH) Technical Report No. 67. Washington DC: United States Agency for International Aid.

25. Murray B. (2011) Effective emergency WASH response using demand-driven methods: A case study from Afghanistan. 35th WEDC international conference, Loughborough, UK

26. Murphy M.H., Edward A.M., Khosrow F. (2009)

Appropriate Technology-A comprehensive approach for water and sanitation in the developing world, Technology in Society.

27. Mutume G. (2004) Rough road to sustainable development: Water, sanitation and housing among Africa’s environment priorities. Africa Renewal 18(2):19

28. Osumanu Issaka Kanton (2010) Community involvement in urban water and sanitation provision : The missing link in partnerships for improved service delivery in Ghana, Journal of African Studies and Development Vol. 2(8), pp. 208-215.

29. Ottoson J. & Stenström T.A. (2003) Faecal contamination of grey water and associated microbial risks. Water Res 2003;37(3):645–55. 30. Parkinson, J., Tayler, K., Colin, J., Nema, A.,

(2008). A Guide to Decisionmaking: Technology Options for Urban Sanitation in India. WSP/Ministry of Urban Development (Government of India), New Delhi.

31. Paterson C., Mara D., Curtis T. (2007) Pro-poor sanitation technologies. Geoforum;38:901e7. 32. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2010-2014

33. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008-2013

34. Robert M. Kaplan & Dennis P. Saccuzzo (1993)

(12)

35. Santos Andreia C., Roberts Jennifer A., Barreto Mauricio L., Cairncross Sandy (2011) Demand for sanitation in Salvador, Brazil : A hybrid choice approach, Journa Social & Medicine 72 , 1325-1332.

36. Schouten and Mathenge (2010) Communal sanitation alternatives for slums: A case study of Kibera, Kenya, Physics and Chemistry of the Earth.

37. Schertenleib, R. (2002). Principles and implications of household centred-approach in environmental sanitation. EcoSanRes.

38. Setiawati Endang, Suprihanto Notodarmojo, Prayatni Soewondo, Agus Jatnika Effendi, Bambang Widjanarko Otok (2012) Infrastructure development strategy for sustainablewastewater system by using SEM Method (Case study Setiabudi and Tebet Districts, South Jakarta), The 3rd International Conference on Sustainable Future for Human Security SUSTAIN.

39. Stitt Tyler (2005) Evaluation of a rural sanitation program in Vanuatu with management recommendations, Journal of Rural and Tropica Pubic Health 4:1-9.

40. United Nation (2010) Water for sustainable urban human settlements. Briefing note http://unesdoc.unesco.org/images/0021/002112/21 1294e.pdf Accessed 11 August 2012

41. Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC). (2000). Summary report of Bellagio expert consultation on environmental sanitation in the 21st century, 1e4 February 2000. Duebendorf: Swiss Federal Institute for Environmental Science and Technology.

42. Wellington Dibibhuka Thwala (2009)

43. World Health Organization/WHO (2008) Joint report on water supply and sanitation progress.

UNICEF, Geneva and World Health Organization, New York

44. World Health Organization/WHO (2010)

Progress on drinking water and sanitation. Joint Monitoring Program Report (JMP).

45. World Health Organization/WHO (2013)

Gambar

Gambar 1. Skema Tahapan Penelitian
Tabel  2  di  bawah  ini  menerangkan  lokasi
Gambar 4. Grafik Tempat Buang Air Besar
Gambar 9. Grafik Frekuensi Penyakit

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

(3) bukti memilikiilmu pengetahuan dinilai dari keterampilannya, bukan dari sert ifikatnya, (4) biasanya tidak terlalu terikat dengan ketentuan yang ketat, (5) isi, staf

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Perkembangan musik ini juga sangat berbeda dengan dua aliran musik sebelumnya, Gangtaiyue dan Xibeifeng. Pertunjukkan Yaogunyue banyak dilakukan di lokasi-lokasi

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Eceng gondok atau bahan organik lainnya dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik selama kandungan logam berat yang dihasilkan masih memenuhi standar mutu