ANALISIS
‘
URF
TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTEM
TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI
SKRIPSI
Oleh Choirun Abidin
NIM. C72212122
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM PRODI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Analisis ‘Urf
terhadap Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan Di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri”. Penelitian ini menjawab pertanyaan bagaimana praktik jual beli tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri dan analisis‘urf
terhadap praktik jual beli tebu tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, dokumentasi, kemudian dianalisis menggunakan pola pikir deduktif untuk mendapatkan kesimpulan yang dianalisis menggunakan ‘urf yang dilihat dari segi kehujjahannya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertama, praktek jual beli tebu dilakukan menjelang masa panen tebu biasanya para petani mencari tengkulak untuk melihat lahan tebunya yang siap untuk ditebas. Namun biasanya transaksi jual beli dilakuakn ketika tebu memasuki masa panan sekitar 1-2 bulan lagi, sistim pembayarannya dilakukan secara kontan. Setelah sepakat bahwa lahan tebu yang dijual kepada tengkulak untuk ditebas, kemudian tengkulak memeriksa setap baris atau larik tiap lahan tebu untuk mengetahui kualitas tebu yang akan dipanen dan mengetahui seberapa banyak lahan tebu yang layak untuk dipanen setiap lariknya. Sedangkan yang kedua, untuk mengetahui proses akad jual beli tebasan yang dilakukan antara pihak petani dengan tengkulak dan tengkulak untuk rukun dan syaratnya sudah sesuai. Akan tetapi dalam praktek akad jual beli antara pihak petani dan tengkulak dilakukan ketika panen kurang 1-2 bulan lagi,. Tengkulak juga tidak mengetahui apakah nanti mendapat untung atau rugi, karena harga sewaktu-waktu bisa berubah dan harga anjlok dalam meskipun tebu dalam masa panen. Namun, itu semua sudah menjadi resiko tengkulak dan sudah diperhitungkan sebelumnya, oleh karena itu jual beli tebasan dilihat dari perspektif ‘urf termasuk al-’urf al-sahih dikarenakan syarat dan rukunya terpenuhi serta tidak bertentangan dengan dalil syara’.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTARBAGAN ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metodelogi Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : ‘URF DAN JUAL BELI TEBASAN A.‘Urf ... 20
1. Pengertian ‘Urf ... 20
2.Landasan Hukum ‘Urf ... 22
3. Klasifikasi ‘Urf ... 24
4. Syarat ‘Urf ... 26
5. Kedudukan ‘Urf ... 27
1. Pengertian Jual Beli Tebasan ... 28
2. Dasar Hukum Jual Beli Tebasan ... 29
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Tebasan ... 36
4. Bentuk- Bentuk Jual Beli ... 39
5. Pandangan Ulama Tentang Jual Beli Tebasan ... 42
BAB III : PRAKTIK JUAL BELI TEBU DENGAN SISTIM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48
1. Sejarah Desa Joho ... 48
2. Mata Pencaharian Pokok Warga Desa Joho ... 49
3. Praktek Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 51
BAB IV : ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTIM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI A. Analisis Terhadap Praktik Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 59
B. Analisis ‘Urf terhadap Praktik Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 61
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 66
DAFTAR TABEL
3.2 Data Kependudukan Desa Joho ... 49
3.3 Perkembangan Kependudukan Warga Desa Joho Tahun Lalu ... 50
3.4 Perkembangan Kependudukan Warga Desa Joho Tahun Ini ... 50
3.5 Tingkat Pendidikan Warga Desa Joho ... 51
DAFTAR BAGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Islam sebagai ad-din yang dalam definisi praktiknya adalah sebagai
tuntun yang utuh dalam kehidupan manusia pada semua dimensi, baik dimensi
ritual-individual maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Ini artinya Agama
dalam pengertian Islam adalah totalitas kehidupan ini, sehingga disaat kapanpun,
dimanapun dan pada aktivitas apapun Islam memberi petunjuk dan patokan.
Hukum Islam dapat disebut dengan berbagai istilah yang telah digunakan.
Istilah-istilah tersebut memiliki makna atau penggambaran sisi tertentu dari
hukum Islam. Namun secara keseluruhan istilah tersebut sering digunakan untuk
menyebut hukum Islam. Istilah tersebut antara lain: syariah, fiqh dan terjemahan
lainnya. Syariah adalah kumpulan dari beberapa hukum yang ditetapkan oleh
Allah kepada semua manusia melalui lisan rasul-Nya Muhammad SAW baik
dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya1. Fiqh adalah ilmu hukum Islam yang merupakan sebuah cabang studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam
kaitan dengan tingkah laku konkret manusia dalam berbagai dimensi
hubungannya.2
Islam mengatur seluruh aspek hidup yang terkait dengan individu,
keluarga, masyarakat, atau yang berhubungan dengan negara. Ulama fiqh
membagi ilmu fiqh beberapa bidang, salah satunya adalah fiqh muamalah.3 Fiqh
1 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 2.
2 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 5.
2
muamalah merupakan aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan individu
dengan individu lain untuk memperoleh dan mengembangkan harta bendanya.
Namun dapat diartikan juga aturan Islam yang mengatur tentang kegiatan
ekonomi yang dilakukan manusia.
Adapun prinsip dasar dari persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dalam persoalan
muamalah, syariah hanya memberikan prinsip dan kriteria dasar yang harus
dipenuhi oleh setiap jenis muamalah, misalnya mengandung kemaslahatan,
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, jujur, saling tolong menolong, tidak
mempersulit dan suka sama suka.
Salah satu contoh kegiatan muamalah adalah jual beli (al-bai’). Jual beli
secara bahasa diartikan dengan memindahkan hak milik terhadap benda dengan
akad saling mengganti atau menukarkan4. Jual beli juga dapat diartikan tukar-menukar uang dengan barang, uang dengan uang, atau barang dengan barang
yang bersifat terus-menerus dengan tujuan mencari keuntungan5.
Allah SWT dalam kegiatan muamalah melarang manusia merugilkan
orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Selain itu, manusia juga dilarang memakan harta yang diperolehnya
dengan cara batil (tidak sah). Sebagimana firman Allah SWT
an -Nisa ayat 29 :
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., 23.
5 Ibnu Mas’ud. et al, Fiqh Madzhab Syafi’i , Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinahat (Bandung:
3
‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.‛6
Kegiatan jual beli merupakan salah satu kegiatan yang dapat memicu
persoalan dalam kehidupan seseorang dari segala lapisan masyarakat. Hal
tersebut dipicu dengan adanya krisis ekonomi suatu negara dan beberapa
kebijakan pemerintah mengenai kegiatan ekonomi. Namun dalm Islam kegiatan
jual beli dilarang merugikan orang lain, sehingga akan tercapai kemaslahatan
umat. Sesuai denga firman Allah SWT Surat al -Baqarah Ayat 275 :
‚Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, Cet. IV, 2013),
4
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.7‛
Salah satu sifat yang terpenting bagi pebisnis yang diridhai Allah SWT
adalah kejujuran. Kejujuran merupakan faktor penyebab keberkahan bagi
pedagang dan pembeli. Namun sebaliknya jika jual beli tersebut saling
menyembunyikan kebenaran dan berdusta, maka akan melenyapkan keberkahan
transaksi tersebut8.
Orang yang telah terjun dalam kegiatan usaha, sudah seharusnya
mengetahui hak-hak yang didapatkan sehingga dapat mengakibatkan jual beli itu
sah atau tidak fasid. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agara kegiatan
muamalah dapat berjalan dengan sah dan segala pikiran dan tindakannya jauh
dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak banyak umat muslimin yang
mempelajari muamalah, mereka telah lalai sehingga tidak mempedulikan jika
mereka memakan barang haram sekalipun semakin hari usahanya akan meningkat
dan mendapatkan keuntungan yang melimpah9.
Jual beli dengan sistim tebasan di Desa Joho sudah menjadi adat warga
sekitar ketika menjelang masa panen. Biasanya, tengkulak keliling menjelang
masa panen untuk menawar harga jual beli tebu yang akan dipanen oleh petani.
Dalam proses penawaran harga biasanya petani terlebih dahulu memberikan
harga jualnya kepada tengkulak, apabila tengkulak keberatan maka akan terjadi
7 Ibid., 275.
8 Hermawan Kartajaya. et al, Syariah Marketing (Bandung: Mizan, 2008), 108.
5
tawar-menawar harga antara petani dan tengkulak untuk menentukan nilai jual
sesuai dengan kesepakatan bersama.
Kegiatan jual beli dalam rangka mencari keuntungan seharusnya diakukan
dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat Islam sehingga tidak hanya
mendapatkan keuntungan namun juga mendapatkan keberkahan. Salah satu
contoh kegiatan jual beli sesuai adat yang ada di Desa Joho yaitu jual beli tebu
dengan sistim tebasan. Transaksi jual beli tersebut bermula ketika tebu belum
siap panen dan akan dipanen sekitar 1-2 bulan kedepan.
Petani menjual tebunya kepada tengkulak dan terjadi transaksi jual beli
tebu dengan sistim tebasan, tengkulak melihat kondisi tebu yang akan dibeli
dengan melihat tiap larik atau barisan tebu. Dengan begitu tengkulak dapat
menentukan harga beli tebu, namun sebelum tengkulak melihat kondisi tebu yang
akan ditebas, petani sudah memberikan tawaran harga jual sesuai hitungan
petani. Setalah tengkulak melihat tebu dan dapat menentukan harga beli tebu,
maka antara petani dan penjual menentukan harga jual tebu yang akan ditebas
oleh pembeli. Ketika antara petani dan tengkulak sudah setuju atau deal masalah
harga maka terjadi transaksi antara keduabelah pihak dan hak memanen tebu
menjadi milik tengkulak dan tengkulak membeli tebunya dengan uang kontan
pada saat transaksi jual beli dan diserahkan langsung pada petani.10
Namun setelah transaksi jual beli maka petani menjaga kondisi dan
merawat tebu yang sudah dibeli oleh tengkulak sampai masa panen 1-2 bulan
kedepan. Ketika tebu memasuki masa panen maka tengkulak akan menebas
6
semua tebu yang akan dipanen, lalu tengkulak akan mejual kembali tebunya
kepada pabrik gula tentu dengan harga yang berbeda pula karena ada jeda waktu
antara transaksi jual beli pertama dengan transaksi jual beli yang akan dilakukan
dengan pihak pabrik yaitu sekitar 1-2 bulan yang juga berdampak pada perubahan
harga jual beli tebu yang bisa saja naik dan bisa juga turun. Permasalahan inilah
yang seringkali menyebabkan pihak tengkulak merasa dirugikan ketika harga
tebu dalam pasaran anjlok dikarenakan adanya jangka waktu dalam pembelian
hasil panen tebu.
Permasalahan di atas akan diangkat oleh peneliti dengan pisau analisis
‘urf. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menganggap permasalahan
tersebut perlu dibahas untuk mengetahui hukum praktik jual beli tebasan dilihat
dari perspektif ‘urf. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan
menggangkat judul ‚Analisis ‘urf Terhadap Praktik Jual Beli Tebu Dengan
Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri‛.
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian. Berdasarkan
latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai
berikut:
1. Praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan
7
2. Pihak-pihak yang terlibat dalam Praktik jual beli tebu dengan dengan
sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri
3. Konsep jangka waktu pada saat transaksi jual beli tebasan sampai
menjelang masa panen tebu.
4. Jenis tebu yang yang menjadi objek transaksi jual beli tebasan.
5. Apabila terjadi force majeur atau hal-hal yang tidak diingkan diluar batas
kemampuan manusia.
6. Mengenai perjanjian diawal transaksi jual beli tebu dengan sistim tebasan.
7. Konsep analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan
di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Batasan masalah ini bertujuan memberikan batasan yang paling jelas dari
permasalahan yang ada untuk memudahkan pembahasan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memberikan batasan
yaitu:
1. Permasalahan praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho
Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho
Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
8
1. Bagaimana praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho
Kecamatan Wates Kabupaten Kediri?
2. Bagaimana Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di
Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehungga terliha jelas
bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian tau penelitian yang telah ada.11
Mengenai masalah praktik jual beli tebasan sesungguhnya telah banyak
dibahas pada skripsi sebelumnya hanya saja, berbeda kasus dan permasalahan
yaitu:
Skripsi yang ditulis oleh M. Masduki berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistim Tebasan di Desa Banaran
Wetan Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk‛ dalam karya ilmiah ini penulis
mengkaji tentnag jual beli yang dilakukan, yang mana jual beli tebasan ini sudah
menjadi tradisi dalam desa tersebut, dan pembayaran secara tidak kontan yaitu
50% dibayarkan diawal akad dan 50% sisanya dibayarkan setelah memanen
bawang merah dari areal Sawah. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa jualbeli
dengan sistim tebasan yang dilakuakan di Desa ini hukumnya adalah boleh
11 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Cetakan III, Januari
9
menurut Islam asal dilakukan oleh orang yang ahli dalam menebas dan
terkandung unsur kerelaan didalamnya.12
Skiripsi yang ditulis oleh Miftachul Ainiyah berjudul ‚Tinjaun Hukum
Islam Terhadap Jual Beli Tebasan Ikan Bandeng di Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo‛ dalam karya ilmiah ini penulis menyatakan bahwasanya prektik jual
beli tebasan yang dilakukan sudah berlangsung lama dan menjadi hukum adat.
Ketika sudah terjadi kesepakatan, maka mereka melakukan ijab qabul yang
mayoritas terjadi di area Tambak. Sistim pembayarannya tidak dengan tunai,
sedangkan sistim penyerahan ikan dilakukan oleh pemilik Tambak dengan sopan
dan ramah dalam jangka kurang lebih 2 minggu sebelum panen. Menurut
pemaparan penulis, dalam jual beli ini hasilnya selalu menguntungkan pihak
pembeli.13
Adapun skripsi yang ditulis oleh M. Nasruddin yang berjudul ‚Perjanjian
Jual Beli Tanaman Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Sawiji Kecamatan
Jogoroto Kabupaten Jombang (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif)‛
dalam skripsi ini penulis memaparkan jual beli yang terjadi di Desa ini adalah
pada usia tebu siap panen. Sistim pembayarannya jarang sekali dilakukan secara
kontan, sehingga cara ini sering membuat penjual dirugikan. Pembeli sering
mengandalkan dari hasil penjualan, jika untung sisa dibayarkan, akan tetapi bila
pembeli menanggung rugi, maka pembeli melakukan tindakan tidak membayar
12 M. Masduki, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistim
Tebasan Di Desa Banaran Wetan Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk‛ (Skripsi--IAIN Sunan
Ampel, Surabaya, 1998). 15.
13 Miftachul Ainiyah berjudul ‚Tinjaun Hukum Islam Terhadap Jual Beli Tebasan Ikan Bandeng
10
(melunasi) atau membayar secara mengangsurnya, dalam hal ini terjadi
wanprestasi (ingkar janji). Dalam penyelesainnya menurut hukum Islam adalah
kelalaian itu adalah resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai dan
resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai. Sedangkan menurut hukum
positif ingkar janji membawa akibat merugikan debitur berkewajiban mengganti
kerugian yang timbul sebagai akibat ingkar janji tersebut, ganti rugi dapat
merupakan pengganti prestasi pokok, akan tetapi dapat juga sebagai tambahan
disamping prestasi pokoknya.14
Adapun skripsi yang dibahas oleh Ani Avivah yang berjudul ‚Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Praktik Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan di
Desa Kemiri Kecamatan Kebak Kramat Kabupaten Karanganyar‛ dalam karya
ilmiah ini penulis membahas tentang praktik ganti rugi dalam jual beli padi
tebasan, dimana ganti rugi ini tidak hanya ditanggung oleh pembeli tapi pembeli
juga membebankan kerugian kepada penjual. Namun ketika pembeli dalam
kondisi untung dia tidak membagi keuntungan yang diperolehnya. Hal ini tidak
adil, adapun yang seharusnya terjadi adalah jika untung ataupun rugi
masing-masing pihak yang harus menanggungnya.15
Pembahasan di atas telah memaparkan mengenai penelitian sebelumnya,
dari kajian penelitian terdahulu penulis dapat menemukan perbedaannya dengan
14 M. Nasruddin yang berjudul ‚Perjanjian Jual Beli Tanaman Tebu dengan Sistim Tebasan Di
Desa Sawiji Kecamatan Jogoroto Kabupaten Jombang (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum
Positif)‛ Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004). 13.
15 Ani Avivah berjudul ‚Tinajuan Hukum Islam Terhadap Praktik Ganti Rugi dalam Jual Beli
Padi Tebasan Di Desa Kemiri Kecamatan Kebak Kramat Kabupaten Karanganyar‛ Skripsi
11
penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis dalam penelitian ini akan lebih
mengkaji tentang analisi ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan.
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui praktik jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan di
Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan di Desa
Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini dapat berguna bagi pembacanya, baik yang bersifat
teoritis maupun praktis, kegunaan tersebut antara lain:
1. Kegunaan Secara Teoritis
a. Memberikan masukan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum
Islam, pada masalah analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan
sistim tebasan dan menambah bahan kepustakaan.
b. Memberikan informasi penerapan praktik jual beli tebu dengan dengan
sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir, dan mengetahui
kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperolehnya.
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan dengan praktek
12
c. Hasil dari penelitian dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkaitan
dengan penelitian ini, yaitu mengenai praktik jual beli tebu dengan
dengan sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu
variabel dengan cara memberikan arti.16 Sebagai gambaran di dalam memahami pembahasan, maka perlu sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat
operasional dalam tulisan skripsi ini, agar mudah dipahami secara jelas tentang
arah dan tujuannya.
Definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai
kata kuncinya antara lain sebagai berikut :
1. ‘urf
Secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakan atau meninggalkanya. Dikalangan masyarakat, ‘urf ini
sering disebut sebagai adat.17 2. Jual Beli
Mempunyai pengertian sebagai persetujuan saling mengikat antara
penjual dan pembeli.18 Menukar barang dengan barang atau barang denagn uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu keapada yang lain
16 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. III, 1998), 152
17 Rachmat Syafe’I MA, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 128.
13
atas dasar merelakan. Dalam hal ini jual beli tebu terjadi antara pihak
petani dengan tengkulak.
3. Sistim Tebasan
Membeli secara borongan hasil tanaman atau buah-buahan lainnya
sebelum atau menjelang panen atau menjelang dipetik.19 Sistim tebasan yang dilakukan antara petani dengan tengkulak di Desa Joho yaitu dengan
menebas tebu dengan hitungan per hektar yang dilakukan penebas di lahan
petani tebu.
H.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penelitian dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Adapun dalam metode penelitian yang
digunakan yaitu:
1. Data yang dikumpulkan
Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek uraian-uraian,
bahkan dapat berupa cerita pendek.20 Data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
a. Data primer
1. Praktik jual beli tebu dengan tebasan.
2. Cara penentuan harga beli tebu yang dilakukan oleh petani dengan
tengkulak.
19 Zainul Bahry, Kamus Umum (Bandung: Angkasa, 1996), 243.
20 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif & Kualitatif (Surabaya:
14
3. Apabila terjadi force majeure atau hal-hal yang diluar kemampuan
petani atau tengkulak.
4. Alasan atau motivasi petani menjual tebu ke tengkulak dengan cara
tebasan.
b. Data sekunder
1. Profil Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
2. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat.
3. M. Ali Hasan, Berbagi Transaksi dalam Islam.
4. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah.
5. Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah.
6. Satria Effendi, Ushul Fiqh.
7. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terjemahan, Jilid 12.
8. Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh.
2. Sumber data
Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara
lain sebagai berikut:
a. Sumber primer
Data primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
memerlukannya.21 Data ini diperoleh peneliti dari hasil wawancara dan terjun ke lapangan dengan para pihak yang terlibat dalam kegiatan jual
beli tebu dengan sistim tebasan. Para pihak yang terlibat antara lain:
15
1) Petani tebu
2) Tengkulak
b. Sumber sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang telah melakukan penelitian dari sumber- sumber yang telah
ada baik dari perpustakaan atau dari laporan- laporan terdahulu.22 Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan peneliti yang berupa
studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari melalui internet dan
buku-buku referensi tentang penelitian ini.
1) Profil Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
2) Data dari catatan sipil tentang mata pencaharian pokok
penduduk Desa Joho.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian.
Subyek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki kredibilitas untuk menjawab
dan memberikan informasi dan data kepada peneliti yang sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun subyek penelitian ini
adalah beberapa orang selaku pihak yang bertransaksi jual beli antara lain, Petani
dan Tengkulak yang ada di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Dalam hal ini petani berasal dari desa Joho dan begitu pula sebaliknya tengkulak
berasal dari dalam desa Joho. Untuk jumlah petani tebu kurang lebih sekitar 820
petani dan untuk tengkulak kurang lebih 40 orang.
16
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, antara lain:
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan agar mendapatkan
informasi dan data lapangan secara langsung dari responden yang
dianggap valid atau tidak dilihat dari dokumentasi. Wawancara
merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang
pertanyaannya diajukan oleh kepada subjek penelitian untuk dijawab.23 Wawancara akan dilakukan dengan narasumber sebagai berikut:
1) Petani tebu berjumlah 6 orang antara lain:
Suroso
Ahmad
H. Basro
Mustaji
Hariyanto
Mashuri
2) Tengkulak berjumlah 2 orang antara lai:
Siswoyo
H. Bandi
b. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental
17
dari seseorang.24 Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah
fakta yang berbentuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data
penelitian, data sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi.
Dalam teknik ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa
dokumentasi seperti foto, video, rekaman hasil wawancara dan
dokumen-dokumen yang ada sebagai kelengkapan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun untuk menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis
melakukan hal-hal berikut:
a. Organizing, yaitu pengaturan dan menyusun data yang diperoleh
sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk menyusun laporan
skripsi dengan baik.25 Dengan menyusun sistimatika data dari proses awal hingga akhir tentang proses praktek jual beli tebu dengan sistim
tebasan Di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
b. Editing, merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kelengkapan data
yang dikumpulkan. Teknik ini digunakan untuk meneliti kembali
data-data yang diperoleh.26 Hal tersebut dilakukan untuk memeriksa kembali data-data tentang analisis ‘urf terhadap praktek jual beli tebu dengan
sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
24 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), 240.
25 Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66.
26 Soeratno, Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,
18
c. Analizing, yaitu menganalisis data-data yang telah diperoleh dari
penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta
yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah jawaban dari
rumusan masalah.27 Tahapan analisis jual beli tebu dengan sistim tebasan. Analisis dimulai dari jual beli tebasan antara petani dengan
tengkulak sebelum tebu dapat dipanen sekitar 1-2 bulan berikutnya.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu data yang berupa informasi
nyata dilapangan dan data yang dipahami sebagai data yang tidak bisa
diuku atau dinilai dengan angka secara langsung28 dengan menggunakan analisis deskriptif, kegiatan pengumpulan data dengan menuliskan
sebagaimana adanya. Dalam mendeskripsikan tersebut digunakan alur
berfikir deduktif yaitu dari Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tebu dengan
Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Kemudian dijelaskan secara spesifik dan kemudian ditarik kesimpulan.
I. Sistimatika Pembahasan
Karya tulis ilmiah ini terdiri dari lima bab, sistimatika masing-masing
bab sesuai dengan urutan sebagai berikut:
Bab pertama pendahuluan, penulis membahas latar belakang, identifikasi
dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,tujuan penelitian,
27 M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
28
Andi Pratowo, Menguasai Teknik-Teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
19
kegunaan penelitian, definisi operasional, serta metode penelitian yang
digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan dan sistimatika pembahasan.
Bab kedua ‘Urf dan jual beli tebasan, berisi landasan teori, penulis
membahas tentang pengertian-pengertian teoritis, antara lain: konsep jual beli
dan ‘urf. Selain pengertian-pengertian teoritis bab ini juga membahas konsep
dasar hukum Islam tentang jual beli dan ‘urf. Serta teori jual beli yang digunakan
adalah teori menurut ulama fiqh.
Bab ketiga yaitu praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho
Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, berisi tentang hasil penelitian, akan
menjelaskan mengenai deskripsi secara umum dari objek penelitian. Dalam
deskripsi data penelitian penulis memaparkan data diantaranya, yang berisi
sejarah dari Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, serta mekasnime
jual beli tebu dengan sistim tebasan.
Bab keempat yaitu analisis ‘Urf terhadap jual beli tebu dengan sistim
tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, penulis akan
membahas mengenai analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di
Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.
Bab kelima yaitu penutup, yang berisi akhir dari penelitian yang berisikan
tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang
berkatan dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan yang
20 BAB II
‘URF dan JUAL BELI TEBASAN
A. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berasal dari kata “arafa, ya’rifu sering
diartikan dengan al- ma’ru f dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau
berarti yang baik.1 Sedangkan secara terminolgi, seperti yang
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan yaitu sesuatu yang tidak asing
lagibagi satu masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan.2
Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah ‘adah
(kebiasaan), yaitu sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi
dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.3 Kata al-
‘a dah disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang,
sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Ulama Wahbah al-Zuhayli
berpendapat bahwa ‘urf mengandung makna: apa yang menjadi kebiasaan
manusia dan mereka ikuti dari setiap perbuatan yang umum diantara
mereka.4
1Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), 387. 2Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 153.
3Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 209.
21
Sedangkan Abdul Karim Zaidah mendefinisikan ‘urf sebagai
sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.5 Menurut Abdul Wahab Khalaf, ‘urf adalah segala apa
yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.6
Oleh karena itu para ulama fiqh mendefinisikan ‘urf sebagai suatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya
sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap
meninggalkan sesuatu dimana ‘urf juga disebut sebagai adat istiadat.7
Dari penjelasan diatas , dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua
bentuk yaitu, ‘urf al-qauli (kebiasaan yang berbentuk perkataan),
misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam
masyarakat Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘urf
al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang
kebutuhan sehari-hari dipasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul
yang disebut jual-beli muatah.8 Dari beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan pengertian ‘urf adalah apa yang dikenal oleh masyarakat baik
berupa perkataan, perbuatan atau aturan-aturan yang telah menjadi
kebiasaan bagi masyarakat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan
22
penafsiran lain yang berbeda di kalangan masyarakat mengenal tradisi
tersebut.
Para ulama ushul fiqh membedakan adat dan ‘urf sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut mereka ‘urf adalah
kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan,
sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang dilakukan berulang kali
tanpa adanya hubungan rasional.9
2. Landasan Hukum ‘Urf
Landasan syariah berupa al-Qur’an, Hadist serta kaidah fiqh yang
berkaitan dengan maslahah akan diuraikan secara rinci guna menjadi
landasan hukum yang kuat, serta penetapan jumhur ulama dalam
menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
berdasarkan:
a. al-Quran
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam mengenai
kehujjahan ‘urf dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu:
1) al-Qur’an yaitu dalam suarah al- A’raf (7) ayat 199:
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang yang mengerjakan yang
ma’ruf , serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”10
9Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh.., 151.
23
Melalui ayat di atas, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin
untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang ma’ruf ialah yang
dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar,
dan dibimbing oleh prinsip-prinsip ajaran Islam.11
2) al-Qur’an dalam surah al-Hajj (22); ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.”12
Maksudnya: dalam Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada
nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah Swt tidak akan
menyulitkan hamba-Nya dan Allah Swt senantiasa memberikan
kemudahan kepada hamba-Nya baik di dalam ibadah maupun dalam
bermuamalah.
b. Hadist
Adapun dalil sunnah yang menunjukkan kehujjahan ‘urf adalah
sebagai berikut: Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Rasulullah Saw.
Bersabda:
َف َم
َر ا
اُﻩ
ُ
ل ا
ْس ِل
ُم ْو
َن
َح
َس ن
َ ف ا
ُه َو
ِع
ْن َد
ِل
َح
َس
ٌن
َو َم
َرا
اُﻩ
ُ
لا
ْس ِل
ُم ْو
َن
َس ْ ي
ئا
َ ف ُه
َو
ِع ْن
َد
ِل
َس
ْي ٌء
Artinya: 11Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,.., 212
24
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi
Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud diatas, baik dari segi redaksi ataupun
maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang
berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan kebiasaan
yang dinilai baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan
kesempatan dalam kehidupan sehari-hari.13
c. Kaidah Fiqhiyah
Kaidah yang berkaitan dengan ‘urf antara lain:
اهمرح ىلع ليلدلا لد ام َّا هحِإا ةلماعلا ي لصأا
Artinya:
“Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Selain itu para ulama berpegang kepada
prinsip-prinsip utama muamalah”
َا ْل َع
ا َد ُة
َُم
ك
َم ٌة
Artinya:“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
َا ثل
ا ِب
ُت
ِِْ
َل َم
ْع ُر ْو
ِف
َكا
ثل
ِب ا
ِت
ِِ
نل
ِّص
Artinya:“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan apa yang ditetapkan
melalui nash”.14
13Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 212.
25
Ketetapan-ketetapan yang di dasarkan kepada kebiaasan diberlakukan
seperti yang ditetapkan dalam nash. Misalnya, kebiasaan dalam
perceraian sepasang suami istri, anak diasuh oleh ibunya, sedangkan
biaya perawatan anak tersebut dibebankan kepada ayahnya.
3. Klasifikasi ‘urf
Dalam praktiknya di masyarakat terdapat berbagai macam ‘urf yang
terbentuk.Oleh karena itu ‘urf perlu diklasifikasikan ke dalam beberapa
kelompok agar lebih mudah dipahami. Dalam hal ini, para ulama
membagi ‘urf menjadi tiga macam15:
a. Dari segi obyeknya
Dari segi ini ‘urf dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
1) al-‘urf qauli adalah kebiasaan masyarakat dalam penggunaan
kata-kata atau ucapan.16 Sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,
ungkapan “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki
bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli
dagingsatu kilogram” pedagang itu langsung mengambil daging
sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat mengkhususkan
penggunaan daging pada daging sapi.
15
26
2) al-’urf fi’li adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan.17 Perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan masyarakat memakai pakaian
tertentu dalam acara-acara khusus.
b. Ditinjau dari Segi Cakupannya
1) al-’urf al-‘am adalah kebiasaan yang telah umum berlaku di
mana-mana, hampir seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara,
bangsa dan agama.18 Misalnya, menganggukan kepala tanda
menyetujui dan menggelengkan kepala berarti tanda menolak.
2) Al’urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu.19
c. Ditinjau dari Segi Kehujjannya
1) al-’urf al-sahih adalah sesuatu yang baik yang menjadi kebiasaan
suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram
dan tidak pula sebaliknya.20 Misalnya, memberi hadiah sebagai
suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2) al-’urf al-fasid adalah kebiasaan yang berlaku disuatu tempat
meskipun merata pelaksanaanya, namun bertentangan dengan
17Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,…, 140. 18Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…, 415. 19Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,…, 141.
27
agama, undang-undang Negara dan sopan santun.21 Misalnya,
berjudi untuk merayakan suatu peristiwa.
4. Syarat ‘urf
Para ulama’ usul fiqh menetapkan beberapa persyataran untuk
menerima ‘urf sebagai satu dalil yang menetapkan hukum syara’. Syarat
-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. ‘urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini
merupakan kelaziman bagi ’urf sahih sebagai persyaratan diterima
secara umum. Contoh, kebiasaan di satu negeri bahwa sah
mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak
pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan
pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
b. ‘urf berlaku umum artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianjut
oleh mayoritas masyarakat. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:
“Sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku
secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.”22
Contoh, membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal sebagai
wujud untuk memperkuat gotong royong dan menjaga tali
persaudaraan.
c. ‘urf tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
28
‘urf berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘urf itu dibentuk oleh
kebiasaan-kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan mereka, sedang
ijma ’ dibentuk dari persesuian pendapat khusus dari para mujtahidin.
Wahbah az-Zuhaily berpendapat mengenai hal ini beliau mengatakan
ijma ’ dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid dari para umat
Rasulullah Saw. Setelah wafatnya terdapatsuatu masalah. Ijma ’ tidak
dapat dijadikan sebagai sumber hukum kecuali melalui hukum syara’
yang kadang sampai kepada kita atau kadang pula tidak sampai. Oleh
karena itu ijma’ dianggap sebagai hujjah yang mengikat.23
Sedangkan ‘urf menurut beliau tidak disyaratkan adanya
kesepakatan, tidak dituntut pula bersumber dari dalil syara’, dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena ‘urf ada
yang sahih dan ada pula yang fasid.24
5. Kedudukan‘urf
Pada dasarnya semua ulama sepakat bahwa kedudukan ‘urf
sah}ihsebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi di antara mereka terdapat
perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunanya sebagai dalil. Dalam
hal ini ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak
menggunakan ‘urf sebagai dalil dibandingkan dengan ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah.25
23Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II (Damaskus: Dar al- Fikr,tt) 83. 24Ibid.
29
‘urf sah}ih harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam
menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim memutuskan perkara.
Karena apa yang telah menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh banyak
orang adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang
diperlukannya. Oleh karenanya, selama kebiasaan tersebut tidak
bertentangan ataupun berlawan dengan dalil syara’, maka dalam hal ini
wajib diperhatikan.26
‘urf fasid tidak wajib diperhatikan, karena memeliharanya berarti
telah menantang suatu dalil syara’. Oleh karena itu, apabila seorang telah
terbiasa mengadakan perjanjian yang fasid, seperti perikatanyang
mengandung riba atau mengandung unsur penipuan maka
kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan
perjanjian tersebut. Hanya saja perjanjian semacam itu dapat ditinjau dari
segi lain untuk dibenarkan.Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari
segi darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. Jika
sesuatu hal tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka,
maka ia diperbolehkan.27
Hukum yang didasarkan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahan
pada suatu masa atau tempat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah
dengan perubahan pokonya. Oleh karena itu dalam perbedaan pendapat
semcam ini, para fuqaha mengatakan: “sesungguhnya perbedaan tersebut
adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil”.
30
B. Jual beli Tebasan
1. Pengertian Jual beli Tebasan
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ba’i adalah jual beli
antara benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.28 Jual
beli (al-ba’i) secara terminologi berarti menjual, mengganti dan menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain.29 Sedangkan jual beli tebasan yaitu
membeli secara borongan hasil tanaman atau buah-buahan lainnya
sebelum atau menjelang panen atau menjelang dipetik.30 Sedangakan
menurut Hukum Islam jual beli tebasan atau jizaf adalah menjual sesuatu
barang tanpa takaran atau timbangan dan hitungan akan tetapi dengan
menggunakan dugaan dan batasan setelah menyaksikan atau melihat
barang tersebut. Imam Syaukani mendefinisikan jizaf sebagai barang yang
belum diketahui takarannya.31 Pada dasarnya jizaf tidak diperbolehkan
dalam hukum islam dikarenakan tidak ada kejelasan dalam akad jual beli
terutama yang berhubungan dengan barang yang dijual, akan tetapi hal ini
diperbolehkan syariat dikarenakan dalam akad jizaf terdapat hukum
darurat dan musyaqqat.
2. Dasar Hukum Jual Beli Tebasan
a. al-Qur’an
28Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi hukum
Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 15.
29Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), 168.
30
Zainul Bahry, Kamus Umum (Bandung: Angkasa, 1996), 243.
31
31
Jual beli telah diatur di dalam al-Qur’an, hadist, dan ijma’.
al-Baqarah ayat 198 adalah salah satu dasar hukum diperbolehkannya
mencari karunia Allah dengan berdagang, yang berbunyi:
Artinya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam, dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.32
Ayat di atas menerangkan bahwa tidak ada dosa bagi
orang-orag yang mencari karunia Allah dengan cara berdagang. Namun,
janganlah meninggalkan amal ibadah kepada Allah saat telah
dilaksanakannya kegiatan perdangan tersebut.
Surat al-Baqarah ayat 275 juga menerangkan diperbolehkannya
jual beli, yang berbunyi:
Artinya:Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.33
32
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mengharamkan riba.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi hikmah diharamkanya riba dalam Islam
adalah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dan
pekeja, serta memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh
tanggungjawab.34
Selain dalam surat al-Baqarah, secara tersirat jual beli juga
diataur dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 29, yang berbunyi:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.35
Firman Allah di atas menerangkan bahwa dilarangnya memakan
harta dari jalan yang batil. Carilah harta dari jalan perniagaan yang
berprinsip saling suka sama suka. Jadi, dalam jual beli tidak sah jika
ada salah satu pihak melakukan akad karena paksaan dari mana pun.
b. Hadits
34Yusuf Al-Qardhawi,Bunga Bank Haram, terj. Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), 52.
33
Dalam hadist sahih Bukhari juga disebutkan tentang jual beli
tebasan atau jizaf, dalam hadist nomor 2040:
ْنَع َِْْ بُزلا َِِأَو ٍءاَطَع ْنَع ٍجْيَرُج ُنْبا َََرَ بْخَأ ٍبَْو ُنْبا اَنَ ث دَح َناَمْيَلُس ُنْب ََََْ اَنَ ث دَح
َو َبيِطَي ََح ِرَم ثلا ِعْيَ ب ْنَع َم لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ُِِ نلا ىَهَ ن َلاَق ُهْنَع ُ َا َيِضَر ٍرِباَج
ََ
َياَرَعْلا َِإ ِمَْرِّدلاَو ِراَنيِّدلِِ َِإ ُهْنِم ٌءْيَش ُعاَبُ ي
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi Saw melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali 'ariyyah".36
Rasulullah juga telah menganjurkan kepada umatnya untuk
melakukan jual beli sebagai pekerjaannya, sesuai dengan sabda beliau
yang berbunyi:
اَنَ ث دَح ُديِزَي اَنَ ث دَح
ِﻩِّدَج ْنَع ٍجيِدَخ ِنْب ِعِفاَر ِنْب َةَعاَفِر ِنْب َةَياَبَع ْنَع ٍرْكَب َِِأ ٍلِئاَو ْنَع ُيِدوُعْسَمْلا
َم ٍعْيَ ب ُلُكَو ِﻩِدَيِب ِلُج رلا ُلَمَع َلاَق ُبَيْطَأ ِبْسَكْلا ُيَأ ِ َا َلوُسَر َي َليِقَلاَق ٍجيِدَخ ِنْب ِعِفاَر
ٍروُرْ ب
Artinya:
(AHMAD - 16628) : Telah menceritakan kepada kami Yazid telah menceritakan kepada kami Al Mas'udi dari Wa`il Abu Bakr dari Abayah bin Rifa'ah bin Rafi' bin Khadij dari kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata,"Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?" beliau bersabda: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur."(HR. Ahmad)37
Jual beli mabrur dalam hadist di atas adalah jual beli yang jujur, dapat
dikatakan juga jual beli yang terhindar dari unsur penipuan atau
34
pengkhianatan dan merugikan orang lain. Sesuai dengan sabda
Rasulullah:
ٍضاَرَ ت ْنَع ُعْيَ بْلا اَ َِإ
{
}هجام نبا ﻩاور
Artinya:
Jual beli berlaku dengan saling ridha. (HR. Ibnu Majjah)38
Diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’I dari Jabir ra., ia berkata,
ََِأ نَأ ٍجْيَرُج ُنْبا َِِث دَح ٍبَْو ُنْبا َََرَ بْخَأ ٍحْرَس ِنْب وِرْمَع ُنْب ُدََْْأ ِرِا طلا وُبَأ َِِث دَح
لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ِ َا ُلوُسَر ىَهَ ن َُوُقَ ي ِ َا ِدْبَع َنْب َرِباَج ُتْعََِ َلاَق ُﻩَرَ بْخَأ َِْْ بُزلا
َم
َع
ُنْب ُقَحْسِإ اَنَ ث دَحِرْم تلا ْنِم ى مَسُمْلا ِلْيَكْلِِ اَهُ تَليِكَم ُمَلْعُ ي ََ ِرْم تلا ْنِم ِةَرْ بُصلا ِعْيَ ب ْن
َرِباَج َعََِ ُه نَأ َِْْ بُزلا وُبَأ َِِرَ بْخَأ ٍجْيَرُج ُنْبا اَنَ ث دَح َةَداَبُع ُنْب ُحْوَر اَنَ ث دَح َميِاَرْ بِإ
َنْب
ْنِم ْرُكْذَي ََْ ُه نَأ َرْ يَغ ِهِلْثِِِ َم لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ِ َا ُلوُسَر ىَهَ ن َُوُقَ ي ِ َا ِدْبَع
ِي ِرْم تلا
ِثيِدَْْا ِرِخآ
(MUSLIM - 2820) : Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij bahwa Abu Az Zubair telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; Saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata; Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual setangkai kurma yang tidak diketahui takarannya dengan takaran kurma yang telah maklum. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdillah berkata; Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang seperti itu, tapi di akhir hadits, dia tidak menyebutkan lafazh dari kurma.
Pada hadist ini terdapat dalil yang menunjukan bahwa boleh
membeli kurma secara tebasan atau jizaf, apabila alat
35
pembayarannya berasal dari barang selain kurma.Apabila alat
pembayarannya juga kurma, maka jual beli itu menjadi haram
karena mengandung riba fadl. Hal itu karena jual beli sesuatu barang
yang sejenisnya sedangkan salah satu diantara keduannya tidak
diketahui kadarnya adalah haram. Tidak diragukan lagi bahwa tidak
mengetahui salah satu alat tukar atau keduanya menjadi peluang
diperkirakan terjadinya kelebihan atau kekurangan.Segala sesuatu
yang memungkinkan terjadinya sesuatu yang haram maka wajib
unyuk dijauhi. Sudah menjadi hal yang diketahui bahwa kurma
termasuk dalam kategori komoditas ribawi.
Sisi pengambilan hukum dari hadist ini, adalah bahwa jual beli
tebasan merupakan salah satu sistem jual beli yang dilakukan di
zaman Rasulullah Saw dan beliau tidak melarangnya. Ini merupakan
taqriri (persetejuan) beliau atas bolehnya jual beli tebasan.
Seandainya terlarang, pasti Rasulullah Saw akan melarangnya dan
tidak menyatakan hal di atas. Dalam hal ini fuqaha juga menyatakan
diperbolehkannya jual beli tebasan.
Adapun alasan-alasan yang menyatakan bolehnya jual beli
tebasan antara lain:
1) Jual beli tersebut tidak termasuk dalam jual beli gharar, karena
orang yang sudah berpengalaman akan mampu untuk mengetahui
36
2) Jual beli tersebut sangat dibutuhkan manusia, terutama yang
mempunyai lahan luas, yang akan sangat menyulikan sekali kalau
diharuskan memanennya sendiri.
Alasan-alasan diatas dapat dijadikan suatu kemaslahatan
yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga
kemanfaatannya bahwa didalamnya tidak terdapat kaidah syara’
yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.39
Para ulama juga telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, bantuan atau barang
milik orang lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang lain
yang sesuai.40
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Adapun rukun dan syarat jual beli tebasan sama dengan jual beli
pada umumnya. Penetapan rukun jual beli, diantara para ulama terdapat
perbedaan pendapat ulama Hana@fi@yah dengan jumhur ulama.Menurut
ulama Hana@fi@yah, rukun jual beli hanya satu yaitu ija@b (ungkapan
membeli dari pembeli) dan qa@bul (ungkapan menjual dari
penjual).Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah
kerelaan (rid}a/tara@d}i) kedua belah pihak untuk melakukan jual beli.41 Ija@b
39
Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh(Surabaya: Khalista, 2006), 190.
40Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 75.
37
dan qa@bul merupakan tindakan yang menunjukan pertukaran barang
secara rid}a, baik dengan ucapan maupun tindakan.42
Adapun rukun jual belimenurut jumhur ulama (mayoritas ulama)
ada empat, yaitu:43
a. ba’i (penjual) Dan mushtari (pembeli),
1) Baligh, telah mencapai usia 15 tahun jika laki-laki dan usia 9
tahun jika perempuan serta mengetahui, memahami, dan mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
2) Berakal, Sehat jasmani dan rohani atau tidak dalam keadaan gila
ketika hendak melakukan akad jual beli.
3) Keduanya dalam keadaan sukarela, ketika akad jual beli terjadi
tidak ada pihak yang merasa dalam keaadan terpaksa dan kedua
pihak yang berakad harus dalam keadan saling rela.
b. s}i@ghat (ijabdan qabul) dan
1) tempat akad harus satu
2) pengucapanijab dan qabul, berhadap-hadapan, pembeli dan
penjual harus menunjukan sighat akadnya kepada orang lain yang
sedang bertransaksi akad dengannya, ketika mengucapkannya
harus disertai niat dan sempurna atau tidak berubah dalam lafaz.
c. ma’qu@d ‘alayh (benda atau barang).
1) Suci, barang tidak dilarang oleh agama.
38
2) Bermanfaat, baranngnya bermanfaat bagi kedua pihak yang
berakad dan bermanfaat bagi orang lain.
3) Dapat diserahkan, barang yang akan diperjualbelikan ada dan
dapat dilihat keduabelah pihak, jadi ketika akad berlangsung
barang atau benda dapat diserahkan secara langsung.
4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain, barang
menjadi hak milik sendiri dan barang tidak dalam keadaan
hutang atau dijaminkan.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur
(rukun) jual beli ada tiga, yaitu:44
1) pihak-pihak
Dalam transaksi jual beli tebasan ini pihak yang berakad yaitu
petani sebagai penjual, sedangkan tengkulak sebagai pembeli
atau penebas.
2) Objek
Objek yang diperjualbelikan dalam transaksi jual beli yaitu
tanaman tebu.
3) Kesepakatan
Dalam hal ini tawar-menawar antara pihak petani dan tengkulak
untuk menyepakati harga jual beli tebu.
39
Namun dalam akad jual beli tebasan ada beberapa syarat
pembolehan akad jizaf haruslah melalui beberapa syarat. Syarat jual
beli jizaf antara lain:
1) Barang yang dijual haruslah dapat diketahui dengan mata.
2) Baik penjual dan pembeli mengetahui barang yang akan dijual.
3) Dalam akad jual beli harus mempunyai maksud dan