• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTEM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

URF

TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTEM

TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI

SKRIPSI

Oleh Choirun Abidin

NIM. C72212122

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM PRODI

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Analisis ‘Urf

terhadap Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan Di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri”. Penelitian ini menjawab pertanyaan bagaimana praktik jual beli tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri dan analisis‘urf

terhadap praktik jual beli tebu tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, dokumentasi, kemudian dianalisis menggunakan pola pikir deduktif untuk mendapatkan kesimpulan yang dianalisis menggunakan ‘urf yang dilihat dari segi kehujjahannya.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertama, praktek jual beli tebu dilakukan menjelang masa panen tebu biasanya para petani mencari tengkulak untuk melihat lahan tebunya yang siap untuk ditebas. Namun biasanya transaksi jual beli dilakuakn ketika tebu memasuki masa panan sekitar 1-2 bulan lagi, sistim pembayarannya dilakukan secara kontan. Setelah sepakat bahwa lahan tebu yang dijual kepada tengkulak untuk ditebas, kemudian tengkulak memeriksa setap baris atau larik tiap lahan tebu untuk mengetahui kualitas tebu yang akan dipanen dan mengetahui seberapa banyak lahan tebu yang layak untuk dipanen setiap lariknya. Sedangkan yang kedua, untuk mengetahui proses akad jual beli tebasan yang dilakukan antara pihak petani dengan tengkulak dan tengkulak untuk rukun dan syaratnya sudah sesuai. Akan tetapi dalam praktek akad jual beli antara pihak petani dan tengkulak dilakukan ketika panen kurang 1-2 bulan lagi,. Tengkulak juga tidak mengetahui apakah nanti mendapat untung atau rugi, karena harga sewaktu-waktu bisa berubah dan harga anjlok dalam meskipun tebu dalam masa panen. Namun, itu semua sudah menjadi resiko tengkulak dan sudah diperhitungkan sebelumnya, oleh karena itu jual beli tebasan dilihat dari perspektif ‘urf termasuk al-’urf al-sahih dikarenakan syarat dan rukunya terpenuhi serta tidak bertentangan dengan dalil syara’.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTARBAGAN ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metodelogi Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : ‘URF DAN JUAL BELI TEBASAN A.‘Urf ... 20

1. Pengertian ‘Urf ... 20

2.Landasan Hukum ‘Urf ... 22

3. Klasifikasi ‘Urf ... 24

4. Syarat ‘Urf ... 26

5. Kedudukan ‘Urf ... 27

(8)

1. Pengertian Jual Beli Tebasan ... 28

2. Dasar Hukum Jual Beli Tebasan ... 29

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Tebasan ... 36

4. Bentuk- Bentuk Jual Beli ... 39

5. Pandangan Ulama Tentang Jual Beli Tebasan ... 42

BAB III : PRAKTIK JUAL BELI TEBU DENGAN SISTIM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

1. Sejarah Desa Joho ... 48

2. Mata Pencaharian Pokok Warga Desa Joho ... 49

3. Praktek Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 51

BAB IV : ANALISIS ‘URF TERHADAP JUAL BELI TEBU DENGAN SISTIM TEBASAN DI DESA JOHO KECAMATAN WATES KABUPATEN KEDIRI A. Analisis Terhadap Praktik Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 59

B. Analisis ‘Urf terhadap Praktik Jual Beli Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri ... 61

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 66

(9)

DAFTAR TABEL

3.2 Data Kependudukan Desa Joho ... 49

3.3 Perkembangan Kependudukan Warga Desa Joho Tahun Lalu ... 50

3.4 Perkembangan Kependudukan Warga Desa Joho Tahun Ini ... 50

3.5 Tingkat Pendidikan Warga Desa Joho ... 51

(10)

DAFTAR BAGAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Islam sebagai ad-din yang dalam definisi praktiknya adalah sebagai

tuntun yang utuh dalam kehidupan manusia pada semua dimensi, baik dimensi

ritual-individual maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Ini artinya Agama

dalam pengertian Islam adalah totalitas kehidupan ini, sehingga disaat kapanpun,

dimanapun dan pada aktivitas apapun Islam memberi petunjuk dan patokan.

Hukum Islam dapat disebut dengan berbagai istilah yang telah digunakan.

Istilah-istilah tersebut memiliki makna atau penggambaran sisi tertentu dari

hukum Islam. Namun secara keseluruhan istilah tersebut sering digunakan untuk

menyebut hukum Islam. Istilah tersebut antara lain: syariah, fiqh dan terjemahan

lainnya. Syariah adalah kumpulan dari beberapa hukum yang ditetapkan oleh

Allah kepada semua manusia melalui lisan rasul-Nya Muhammad SAW baik

dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya1. Fiqh adalah ilmu hukum Islam yang merupakan sebuah cabang studi yang mengkaji norma-norma syariah dalam

kaitan dengan tingkah laku konkret manusia dalam berbagai dimensi

hubungannya.2

Islam mengatur seluruh aspek hidup yang terkait dengan individu,

keluarga, masyarakat, atau yang berhubungan dengan negara. Ulama fiqh

membagi ilmu fiqh beberapa bidang, salah satunya adalah fiqh muamalah.3 Fiqh

1 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), 2.

2 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 5.

(12)

2

muamalah merupakan aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan individu

dengan individu lain untuk memperoleh dan mengembangkan harta bendanya.

Namun dapat diartikan juga aturan Islam yang mengatur tentang kegiatan

ekonomi yang dilakukan manusia.

Adapun prinsip dasar dari persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan

berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dalam persoalan

muamalah, syariah hanya memberikan prinsip dan kriteria dasar yang harus

dipenuhi oleh setiap jenis muamalah, misalnya mengandung kemaslahatan,

menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, jujur, saling tolong menolong, tidak

mempersulit dan suka sama suka.

Salah satu contoh kegiatan muamalah adalah jual beli (al-bai’). Jual beli

secara bahasa diartikan dengan memindahkan hak milik terhadap benda dengan

akad saling mengganti atau menukarkan4. Jual beli juga dapat diartikan tukar-menukar uang dengan barang, uang dengan uang, atau barang dengan barang

yang bersifat terus-menerus dengan tujuan mencari keuntungan5.

Allah SWT dalam kegiatan muamalah melarang manusia merugilkan

orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang

sebanyak-banyaknya. Selain itu, manusia juga dilarang memakan harta yang diperolehnya

dengan cara batil (tidak sah). Sebagimana firman Allah SWT

an -Nisa ayat 29 :

4 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., 23.

5 Ibnu Mas’ud. et al, Fiqh Madzhab Syafi’i , Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinahat (Bandung:

(13)

3                                     

‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.‛6

Kegiatan jual beli merupakan salah satu kegiatan yang dapat memicu

persoalan dalam kehidupan seseorang dari segala lapisan masyarakat. Hal

tersebut dipicu dengan adanya krisis ekonomi suatu negara dan beberapa

kebijakan pemerintah mengenai kegiatan ekonomi. Namun dalm Islam kegiatan

jual beli dilarang merugikan orang lain, sehingga akan tercapai kemaslahatan

umat. Sesuai denga firman Allah SWT Surat al -Baqarah Ayat 275 :

                                                                          

‚Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, Cet. IV, 2013),

(14)

4

(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.7‛

Salah satu sifat yang terpenting bagi pebisnis yang diridhai Allah SWT

adalah kejujuran. Kejujuran merupakan faktor penyebab keberkahan bagi

pedagang dan pembeli. Namun sebaliknya jika jual beli tersebut saling

menyembunyikan kebenaran dan berdusta, maka akan melenyapkan keberkahan

transaksi tersebut8.

Orang yang telah terjun dalam kegiatan usaha, sudah seharusnya

mengetahui hak-hak yang didapatkan sehingga dapat mengakibatkan jual beli itu

sah atau tidak fasid. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agara kegiatan

muamalah dapat berjalan dengan sah dan segala pikiran dan tindakannya jauh

dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak banyak umat muslimin yang

mempelajari muamalah, mereka telah lalai sehingga tidak mempedulikan jika

mereka memakan barang haram sekalipun semakin hari usahanya akan meningkat

dan mendapatkan keuntungan yang melimpah9.

Jual beli dengan sistim tebasan di Desa Joho sudah menjadi adat warga

sekitar ketika menjelang masa panen. Biasanya, tengkulak keliling menjelang

masa panen untuk menawar harga jual beli tebu yang akan dipanen oleh petani.

Dalam proses penawaran harga biasanya petani terlebih dahulu memberikan

harga jualnya kepada tengkulak, apabila tengkulak keberatan maka akan terjadi

7 Ibid., 275.

8 Hermawan Kartajaya. et al, Syariah Marketing (Bandung: Mizan, 2008), 108.

(15)

5

tawar-menawar harga antara petani dan tengkulak untuk menentukan nilai jual

sesuai dengan kesepakatan bersama.

Kegiatan jual beli dalam rangka mencari keuntungan seharusnya diakukan

dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat Islam sehingga tidak hanya

mendapatkan keuntungan namun juga mendapatkan keberkahan. Salah satu

contoh kegiatan jual beli sesuai adat yang ada di Desa Joho yaitu jual beli tebu

dengan sistim tebasan. Transaksi jual beli tersebut bermula ketika tebu belum

siap panen dan akan dipanen sekitar 1-2 bulan kedepan.

Petani menjual tebunya kepada tengkulak dan terjadi transaksi jual beli

tebu dengan sistim tebasan, tengkulak melihat kondisi tebu yang akan dibeli

dengan melihat tiap larik atau barisan tebu. Dengan begitu tengkulak dapat

menentukan harga beli tebu, namun sebelum tengkulak melihat kondisi tebu yang

akan ditebas, petani sudah memberikan tawaran harga jual sesuai hitungan

petani. Setalah tengkulak melihat tebu dan dapat menentukan harga beli tebu,

maka antara petani dan penjual menentukan harga jual tebu yang akan ditebas

oleh pembeli. Ketika antara petani dan tengkulak sudah setuju atau deal masalah

harga maka terjadi transaksi antara keduabelah pihak dan hak memanen tebu

menjadi milik tengkulak dan tengkulak membeli tebunya dengan uang kontan

pada saat transaksi jual beli dan diserahkan langsung pada petani.10

Namun setelah transaksi jual beli maka petani menjaga kondisi dan

merawat tebu yang sudah dibeli oleh tengkulak sampai masa panen 1-2 bulan

kedepan. Ketika tebu memasuki masa panen maka tengkulak akan menebas

(16)

6

semua tebu yang akan dipanen, lalu tengkulak akan mejual kembali tebunya

kepada pabrik gula tentu dengan harga yang berbeda pula karena ada jeda waktu

antara transaksi jual beli pertama dengan transaksi jual beli yang akan dilakukan

dengan pihak pabrik yaitu sekitar 1-2 bulan yang juga berdampak pada perubahan

harga jual beli tebu yang bisa saja naik dan bisa juga turun. Permasalahan inilah

yang seringkali menyebabkan pihak tengkulak merasa dirugikan ketika harga

tebu dalam pasaran anjlok dikarenakan adanya jangka waktu dalam pembelian

hasil panen tebu.

Permasalahan di atas akan diangkat oleh peneliti dengan pisau analisis

‘urf. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menganggap permasalahan

tersebut perlu dibahas untuk mengetahui hukum praktik jual beli tebasan dilihat

dari perspektif ‘urf. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan

menggangkat judul ‚Analisis ‘urf Terhadap Praktik Jual Beli Tebu Dengan

Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri‛.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian. Berdasarkan

latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai

berikut:

1. Praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan

(17)

7

2. Pihak-pihak yang terlibat dalam Praktik jual beli tebu dengan dengan

sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri

3. Konsep jangka waktu pada saat transaksi jual beli tebasan sampai

menjelang masa panen tebu.

4. Jenis tebu yang yang menjadi objek transaksi jual beli tebasan.

5. Apabila terjadi force majeur atau hal-hal yang tidak diingkan diluar batas

kemampuan manusia.

6. Mengenai perjanjian diawal transaksi jual beli tebu dengan sistim tebasan.

7. Konsep analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan

di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Batasan masalah ini bertujuan memberikan batasan yang paling jelas dari

permasalahan yang ada untuk memudahkan pembahasan.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memberikan batasan

yaitu:

1. Permasalahan praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho

Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho

Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik

(18)

8

1. Bagaimana praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho

Kecamatan Wates Kabupaten Kediri?

2. Bagaimana Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di

Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehungga terliha jelas

bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau

duplikasi dari kajian tau penelitian yang telah ada.11

Mengenai masalah praktik jual beli tebasan sesungguhnya telah banyak

dibahas pada skripsi sebelumnya hanya saja, berbeda kasus dan permasalahan

yaitu:

Skripsi yang ditulis oleh M. Masduki berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistim Tebasan di Desa Banaran

Wetan Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk‛ dalam karya ilmiah ini penulis

mengkaji tentnag jual beli yang dilakukan, yang mana jual beli tebasan ini sudah

menjadi tradisi dalam desa tersebut, dan pembayaran secara tidak kontan yaitu

50% dibayarkan diawal akad dan 50% sisanya dibayarkan setelah memanen

bawang merah dari areal Sawah. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa jualbeli

dengan sistim tebasan yang dilakuakan di Desa ini hukumnya adalah boleh

11 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Cetakan III, Januari

(19)

9

menurut Islam asal dilakukan oleh orang yang ahli dalam menebas dan

terkandung unsur kerelaan didalamnya.12

Skiripsi yang ditulis oleh Miftachul Ainiyah berjudul ‚Tinjaun Hukum

Islam Terhadap Jual Beli Tebasan Ikan Bandeng di Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo‛ dalam karya ilmiah ini penulis menyatakan bahwasanya prektik jual

beli tebasan yang dilakukan sudah berlangsung lama dan menjadi hukum adat.

Ketika sudah terjadi kesepakatan, maka mereka melakukan ijab qabul yang

mayoritas terjadi di area Tambak. Sistim pembayarannya tidak dengan tunai,

sedangkan sistim penyerahan ikan dilakukan oleh pemilik Tambak dengan sopan

dan ramah dalam jangka kurang lebih 2 minggu sebelum panen. Menurut

pemaparan penulis, dalam jual beli ini hasilnya selalu menguntungkan pihak

pembeli.13

Adapun skripsi yang ditulis oleh M. Nasruddin yang berjudul ‚Perjanjian

Jual Beli Tanaman Tebu dengan Sistim Tebasan di Desa Sawiji Kecamatan

Jogoroto Kabupaten Jombang (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif)‛

dalam skripsi ini penulis memaparkan jual beli yang terjadi di Desa ini adalah

pada usia tebu siap panen. Sistim pembayarannya jarang sekali dilakukan secara

kontan, sehingga cara ini sering membuat penjual dirugikan. Pembeli sering

mengandalkan dari hasil penjualan, jika untung sisa dibayarkan, akan tetapi bila

pembeli menanggung rugi, maka pembeli melakukan tindakan tidak membayar

12 M. Masduki, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Bawang Merah Dengan Sistim

Tebasan Di Desa Banaran Wetan Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk‛ (Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 1998). 15.

13 Miftachul Ainiyah berjudul ‚Tinjaun Hukum Islam Terhadap Jual Beli Tebasan Ikan Bandeng

(20)

10

(melunasi) atau membayar secara mengangsurnya, dalam hal ini terjadi

wanprestasi (ingkar janji). Dalam penyelesainnya menurut hukum Islam adalah

kelalaian itu adalah resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai dan

resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai. Sedangkan menurut hukum

positif ingkar janji membawa akibat merugikan debitur berkewajiban mengganti

kerugian yang timbul sebagai akibat ingkar janji tersebut, ganti rugi dapat

merupakan pengganti prestasi pokok, akan tetapi dapat juga sebagai tambahan

disamping prestasi pokoknya.14

Adapun skripsi yang dibahas oleh Ani Avivah yang berjudul ‚Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Praktik Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan di

Desa Kemiri Kecamatan Kebak Kramat Kabupaten Karanganyar‛ dalam karya

ilmiah ini penulis membahas tentang praktik ganti rugi dalam jual beli padi

tebasan, dimana ganti rugi ini tidak hanya ditanggung oleh pembeli tapi pembeli

juga membebankan kerugian kepada penjual. Namun ketika pembeli dalam

kondisi untung dia tidak membagi keuntungan yang diperolehnya. Hal ini tidak

adil, adapun yang seharusnya terjadi adalah jika untung ataupun rugi

masing-masing pihak yang harus menanggungnya.15

Pembahasan di atas telah memaparkan mengenai penelitian sebelumnya,

dari kajian penelitian terdahulu penulis dapat menemukan perbedaannya dengan

14 M. Nasruddin yang berjudul ‚Perjanjian Jual Beli Tanaman Tebu dengan Sistim Tebasan Di

Desa Sawiji Kecamatan Jogoroto Kabupaten Jombang (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum

Positif)‛ Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004). 13.

15 Ani Avivah berjudul ‚Tinajuan Hukum Islam Terhadap Praktik Ganti Rugi dalam Jual Beli

Padi Tebasan Di Desa Kemiri Kecamatan Kebak Kramat Kabupaten Karanganyar‛ Skripsi

(21)

11

penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis dalam penelitian ini akan lebih

mengkaji tentang analisi ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui praktik jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan di

Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

2. Analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan sistim tebasan di Desa

Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi pembacanya, baik yang bersifat

teoritis maupun praktis, kegunaan tersebut antara lain:

1. Kegunaan Secara Teoritis

a. Memberikan masukan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum

Islam, pada masalah analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan dengan

sistim tebasan dan menambah bahan kepustakaan.

b. Memberikan informasi penerapan praktik jual beli tebu dengan dengan

sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

2. Manfaat Secara Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir, dan mengetahui

kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperolehnya.

b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan dengan praktek

(22)

12

c. Hasil dari penelitian dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkaitan

dengan penelitian ini, yaitu mengenai praktik jual beli tebu dengan

dengan sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu

variabel dengan cara memberikan arti.16 Sebagai gambaran di dalam memahami pembahasan, maka perlu sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat

operasional dalam tulisan skripsi ini, agar mudah dipahami secara jelas tentang

arah dan tujuannya.

Definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai

kata kuncinya antara lain sebagai berikut :

1. ‘urf

Secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakan atau meninggalkanya. Dikalangan masyarakat, ‘urf ini

sering disebut sebagai adat.17 2. Jual Beli

Mempunyai pengertian sebagai persetujuan saling mengikat antara

penjual dan pembeli.18 Menukar barang dengan barang atau barang denagn uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu keapada yang lain

16 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. III, 1998), 152

17 Rachmat Syafe’I MA, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 128.

(23)

13

atas dasar merelakan. Dalam hal ini jual beli tebu terjadi antara pihak

petani dengan tengkulak.

3. Sistim Tebasan

Membeli secara borongan hasil tanaman atau buah-buahan lainnya

sebelum atau menjelang panen atau menjelang dipetik.19 Sistim tebasan yang dilakukan antara petani dengan tengkulak di Desa Joho yaitu dengan

menebas tebu dengan hitungan per hektar yang dilakukan penebas di lahan

petani tebu.

H.Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penelitian dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kualitatif. Adapun dalam metode penelitian yang

digunakan yaitu:

1. Data yang dikumpulkan

Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek uraian-uraian,

bahkan dapat berupa cerita pendek.20 Data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:

a. Data primer

1. Praktik jual beli tebu dengan tebasan.

2. Cara penentuan harga beli tebu yang dilakukan oleh petani dengan

tengkulak.

19 Zainul Bahry, Kamus Umum (Bandung: Angkasa, 1996), 243.

20 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif & Kualitatif (Surabaya:

(24)

14

3. Apabila terjadi force majeure atau hal-hal yang diluar kemampuan

petani atau tengkulak.

4. Alasan atau motivasi petani menjual tebu ke tengkulak dengan cara

tebasan.

b. Data sekunder

1. Profil Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

2. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat.

3. M. Ali Hasan, Berbagi Transaksi dalam Islam.

4. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah.

5. Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah.

6. Satria Effendi, Ushul Fiqh.

7. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terjemahan, Jilid 12.

8. Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh.

2. Sumber data

Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara

lain sebagai berikut:

a. Sumber primer

Data primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang

memerlukannya.21 Data ini diperoleh peneliti dari hasil wawancara dan terjun ke lapangan dengan para pihak yang terlibat dalam kegiatan jual

beli tebu dengan sistim tebasan. Para pihak yang terlibat antara lain:

(25)

15

1) Petani tebu

2) Tengkulak

b. Sumber sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

orang yang telah melakukan penelitian dari sumber- sumber yang telah

ada baik dari perpustakaan atau dari laporan- laporan terdahulu.22 Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan peneliti yang berupa

studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari melalui internet dan

buku-buku referensi tentang penelitian ini.

1) Profil Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

2) Data dari catatan sipil tentang mata pencaharian pokok

penduduk Desa Joho.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian.

Subyek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki kredibilitas untuk menjawab

dan memberikan informasi dan data kepada peneliti yang sesuai dengan

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun subyek penelitian ini

adalah beberapa orang selaku pihak yang bertransaksi jual beli antara lain, Petani

dan Tengkulak yang ada di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Dalam hal ini petani berasal dari desa Joho dan begitu pula sebaliknya tengkulak

berasal dari dalam desa Joho. Untuk jumlah petani tebu kurang lebih sekitar 820

petani dan untuk tengkulak kurang lebih 40 orang.

(26)

16

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, antara lain:

a. Wawancara

Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan agar mendapatkan

informasi dan data lapangan secara langsung dari responden yang

dianggap valid atau tidak dilihat dari dokumentasi. Wawancara

merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang

pertanyaannya diajukan oleh kepada subjek penelitian untuk dijawab.23 Wawancara akan dilakukan dengan narasumber sebagai berikut:

1) Petani tebu berjumlah 6 orang antara lain:

 Suroso

 Ahmad

 H. Basro

 Mustaji

 Hariyanto

 Mashuri

2) Tengkulak berjumlah 2 orang antara lai:

 Siswoyo

 H. Bandi

b. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental

(27)

17

dari seseorang.24 Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah

fakta yang berbentuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data

penelitian, data sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi.

Dalam teknik ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa

dokumentasi seperti foto, video, rekaman hasil wawancara dan

dokumen-dokumen yang ada sebagai kelengkapan penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun untuk menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis

melakukan hal-hal berikut:

a. Organizing, yaitu pengaturan dan menyusun data yang diperoleh

sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk menyusun laporan

skripsi dengan baik.25 Dengan menyusun sistimatika data dari proses awal hingga akhir tentang proses praktek jual beli tebu dengan sistim

tebasan Di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

b. Editing, merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kelengkapan data

yang dikumpulkan. Teknik ini digunakan untuk meneliti kembali

data-data yang diperoleh.26 Hal tersebut dilakukan untuk memeriksa kembali data-data tentang analisis ‘urf terhadap praktek jual beli tebu dengan

sistim tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

24 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), 240.

25 Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66.

26 Soeratno, Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,

(28)

18

c. Analizing, yaitu menganalisis data-data yang telah diperoleh dari

penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta

yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah jawaban dari

rumusan masalah.27 Tahapan analisis jual beli tebu dengan sistim tebasan. Analisis dimulai dari jual beli tebasan antara petani dengan

tengkulak sebelum tebu dapat dipanen sekitar 1-2 bulan berikutnya.

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu data yang berupa informasi

nyata dilapangan dan data yang dipahami sebagai data yang tidak bisa

diuku atau dinilai dengan angka secara langsung28 dengan menggunakan analisis deskriptif, kegiatan pengumpulan data dengan menuliskan

sebagaimana adanya. Dalam mendeskripsikan tersebut digunakan alur

berfikir deduktif yaitu dari Analisis ‘Urf Terhadap Jual Beli Tebu dengan

Sistim Tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Kemudian dijelaskan secara spesifik dan kemudian ditarik kesimpulan.

I. Sistimatika Pembahasan

Karya tulis ilmiah ini terdiri dari lima bab, sistimatika masing-masing

bab sesuai dengan urutan sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan, penulis membahas latar belakang, identifikasi

dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,tujuan penelitian,

27 M. Iqbal Hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.

28

Andi Pratowo, Menguasai Teknik-Teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:

(29)

19

kegunaan penelitian, definisi operasional, serta metode penelitian yang

digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan dan sistimatika pembahasan.

Bab kedua ‘Urf dan jual beli tebasan, berisi landasan teori, penulis

membahas tentang pengertian-pengertian teoritis, antara lain: konsep jual beli

dan ‘urf. Selain pengertian-pengertian teoritis bab ini juga membahas konsep

dasar hukum Islam tentang jual beli dan ‘urf. Serta teori jual beli yang digunakan

adalah teori menurut ulama fiqh.

Bab ketiga yaitu praktik jual beli tebu dengan sistim tebasan di Desa Joho

Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, berisi tentang hasil penelitian, akan

menjelaskan mengenai deskripsi secara umum dari objek penelitian. Dalam

deskripsi data penelitian penulis memaparkan data diantaranya, yang berisi

sejarah dari Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, serta mekasnime

jual beli tebu dengan sistim tebasan.

Bab keempat yaitu analisis ‘Urf terhadap jual beli tebu dengan sistim

tebasan di Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri, penulis akan

membahas mengenai analisis ‘urf terhadap jual beli tebu dengan sistim tebasan di

Desa Joho Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Bab kelima yaitu penutup, yang berisi akhir dari penelitian yang berisikan

tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang

berkatan dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan yang

(30)

20 BAB II

‘URF dan JUAL BELI TEBASAN

A. ‘Urf

1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf secara etimologi berasal dari kata “arafa, ya’rifu sering

diartikan dengan al- ma’ru f dengan arti “sesuatu yang dikenal”, atau

berarti yang baik.1 Sedangkan secara terminolgi, seperti yang

dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan yaitu sesuatu yang tidak asing

lagibagi satu masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan

menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau

perkataan.2

Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah ‘adah

(kebiasaan), yaitu sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi

dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.3 Kata al-

‘a dah disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang,

sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Ulama Wahbah al-Zuhayli

berpendapat bahwa ‘urf mengandung makna: apa yang menjadi kebiasaan

manusia dan mereka ikuti dari setiap perbuatan yang umum diantara

mereka.4

1Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), 387. 2Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 153.

3Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 209.

(31)

21

Sedangkan Abdul Karim Zaidah mendefinisikan ‘urf sebagai

sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi

kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan

atau perkataan.5 Menurut Abdul Wahab Khalaf, ‘urf adalah segala apa

yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan,

perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.6

Oleh karena itu para ulama fiqh mendefinisikan ‘urf sebagai suatu

yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya

sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap

meninggalkan sesuatu dimana ‘urf juga disebut sebagai adat istiadat.7

Dari penjelasan diatas , dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua

bentuk yaitu, ‘urf al-qauli (kebiasaan yang berbentuk perkataan),

misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam

masyarakat Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘urf

al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang

kebutuhan sehari-hari dipasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul

yang disebut jual-beli muatah.8 Dari beberapa definisi di atas, dapat

disimpulkan pengertian ‘urf adalah apa yang dikenal oleh masyarakat baik

berupa perkataan, perbuatan atau aturan-aturan yang telah menjadi

kebiasaan bagi masyarakat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan

(32)

22

penafsiran lain yang berbeda di kalangan masyarakat mengenal tradisi

tersebut.

Para ulama ushul fiqh membedakan adat dan ‘urf sebagai salah satu

dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut mereka ‘urf adalah

kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan,

sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang dilakukan berulang kali

tanpa adanya hubungan rasional.9

2. Landasan Hukum ‘Urf

Landasan syariah berupa al-Qur’an, Hadist serta kaidah fiqh yang

berkaitan dengan maslahah akan diuraikan secara rinci guna menjadi

landasan hukum yang kuat, serta penetapan jumhur ulama dalam

menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum

berdasarkan:

a. al-Quran

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam mengenai

kehujjahan ‘urf dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu:

1) al-Qur’an yaitu dalam suarah al- A’raf (7) ayat 199:









“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang yang mengerjakan yang

ma’ruf , serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”10

9Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh.., 151.

(33)

23

Melalui ayat di atas, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin

untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang ma’ruf ialah yang

dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan

berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar,

dan dibimbing oleh prinsip-prinsip ajaran Islam.11

2) al-Qur’an dalam surah al-Hajj (22); ayat 78







“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama

suatu kesempitan.”12

Maksudnya: dalam Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada

nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah Swt tidak akan

menyulitkan hamba-Nya dan Allah Swt senantiasa memberikan

kemudahan kepada hamba-Nya baik di dalam ibadah maupun dalam

bermuamalah.

b. Hadist

Adapun dalil sunnah yang menunjukkan kehujjahan ‘urf adalah

sebagai berikut: Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Rasulullah Saw.

Bersabda:

َف َم

َر ا

اُﻩ

ُ

ل ا

ْس ِل

ُم ْو

َن

َح

َس ن

َ ف ا

ُه َو

ِع

ْن َد

ِل

َح

َس

ٌن

َو َم

َرا

اُﻩ

ُ

لا

ْس ِل

ُم ْو

َن

َس ْ ي

ئا

َ ف ُه

َو

ِع ْن

َد

ِل

َس

ْي ٌء

Artinya: 11Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,.., 212
(34)

24

“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi

Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud diatas, baik dari segi redaksi ataupun

maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang

berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan kebiasaan

yang dinilai baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan

kesempatan dalam kehidupan sehari-hari.13

c. Kaidah Fiqhiyah

Kaidah yang berkaitan dengan ‘urf antara lain:

اهمرح ىلع ليلدلا لد ام َّا هحِإا ةلماعلا ي لصأا

Artinya:

“Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang

mengharamkannya. Selain itu para ulama berpegang kepada

prinsip-prinsip utama muamalah”

َا ْل َع

ا َد ُة

َُم

ك

َم ٌة

Artinya:

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

َا ثل

ا ِب

ُت

ِِْ

َل َم

ْع ُر ْو

ِف

َكا

ثل

ِب ا

ِت

ِِ

نل

ِّص

Artinya:

“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan apa yang ditetapkan

melalui nash”.14

13Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 212.

(35)

25

Ketetapan-ketetapan yang di dasarkan kepada kebiaasan diberlakukan

seperti yang ditetapkan dalam nash. Misalnya, kebiasaan dalam

perceraian sepasang suami istri, anak diasuh oleh ibunya, sedangkan

biaya perawatan anak tersebut dibebankan kepada ayahnya.

3. Klasifikasi ‘urf

Dalam praktiknya di masyarakat terdapat berbagai macam ‘urf yang

terbentuk.Oleh karena itu ‘urf perlu diklasifikasikan ke dalam beberapa

kelompok agar lebih mudah dipahami. Dalam hal ini, para ulama

membagi ‘urf menjadi tiga macam15:

a. Dari segi obyeknya

Dari segi ini ‘urf dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:

1) al-‘urf qauli adalah kebiasaan masyarakat dalam penggunaan

kata-kata atau ucapan.16 Sehingga makna ungkapan itulah yang

dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,

ungkapan “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila

seorang penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki

bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli

dagingsatu kilogram” pedagang itu langsung mengambil daging

sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat mengkhususkan

penggunaan daging pada daging sapi.

15

(36)

26

2) al-’urf fi’li adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan.17 Perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam

masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan

orang lain, seperti kebiasaan masyarakat memakai pakaian

tertentu dalam acara-acara khusus.

b. Ditinjau dari Segi Cakupannya

1) al-’urf al-‘am adalah kebiasaan yang telah umum berlaku di

mana-mana, hampir seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara,

bangsa dan agama.18 Misalnya, menganggukan kepala tanda

menyetujui dan menggelengkan kepala berarti tanda menolak.

2) Al’urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan

masyarakat tertentu.19

c. Ditinjau dari Segi Kehujjannya

1) al-’urf al-sahih adalah sesuatu yang baik yang menjadi kebiasaan

suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram

dan tidak pula sebaliknya.20 Misalnya, memberi hadiah sebagai

suatu penghargaan atas suatu prestasi.

2) al-’urf al-fasid adalah kebiasaan yang berlaku disuatu tempat

meskipun merata pelaksanaanya, namun bertentangan dengan

17Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,…, 140. 18Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,…, 415. 19Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,…, 141.

(37)

27

agama, undang-undang Negara dan sopan santun.21 Misalnya,

berjudi untuk merayakan suatu peristiwa.

4. Syarat ‘urf

Para ulama’ usul fiqh menetapkan beberapa persyataran untuk

menerima ‘urf sebagai satu dalil yang menetapkan hukum syara’. Syarat

-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. ‘urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini

merupakan kelaziman bagi ’urf sahih sebagai persyaratan diterima

secara umum. Contoh, kebiasaan di satu negeri bahwa sah

mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak

pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan

pegangan jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.

b. ‘urf berlaku umum artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus

yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianjut

oleh mayoritas masyarakat. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:

“Sesungguhnya adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku

secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.”22

Contoh, membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal sebagai

wujud untuk memperkuat gotong royong dan menjaga tali

persaudaraan.

c. ‘urf tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti.

(38)

28

‘urf berbeda dengan ijma’ disebabkan karena ‘urf itu dibentuk oleh

kebiasaan-kebiasaan orang yang berbeda-beda tingkatan mereka, sedang

ijma dibentuk dari persesuian pendapat khusus dari para mujtahidin.

Wahbah az-Zuhaily berpendapat mengenai hal ini beliau mengatakan

ijma dibentuk oleh kesepakatan para mujtahid dari para umat

Rasulullah Saw. Setelah wafatnya terdapatsuatu masalah. Ijma tidak

dapat dijadikan sebagai sumber hukum kecuali melalui hukum syara’

yang kadang sampai kepada kita atau kadang pula tidak sampai. Oleh

karena itu ijma’ dianggap sebagai hujjah yang mengikat.23

Sedangkan ‘urf menurut beliau tidak disyaratkan adanya

kesepakatan, tidak dituntut pula bersumber dari dalil syara’, dan tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selamanya karena ‘urf ada

yang sahih dan ada pula yang fasid.24

5. Kedudukan‘urf

Pada dasarnya semua ulama sepakat bahwa kedudukan ‘urf

sah}ihsebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi di antara mereka terdapat

perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunanya sebagai dalil. Dalam

hal ini ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak

menggunakan ‘urf sebagai dalil dibandingkan dengan ulama Syafi’iyah

dan Hanabilah.25

23Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II (Damaskus: Dar al- Fikr,tt) 83. 24Ibid.

(39)

29

‘urf sah}ih harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam

menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim memutuskan perkara.

Karena apa yang telah menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh banyak

orang adalah menjadi kebutuhan dan menjadi maslahat yang

diperlukannya. Oleh karenanya, selama kebiasaan tersebut tidak

bertentangan ataupun berlawan dengan dalil syara’, maka dalam hal ini

wajib diperhatikan.26

‘urf fasid tidak wajib diperhatikan, karena memeliharanya berarti

telah menantang suatu dalil syara’. Oleh karena itu, apabila seorang telah

terbiasa mengadakan perjanjian yang fasid, seperti perikatanyang

mengandung riba atau mengandung unsur penipuan maka

kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak mempunyai pengaruh dalam menghalalkan

perjanjian tersebut. Hanya saja perjanjian semacam itu dapat ditinjau dari

segi lain untuk dibenarkan.Misalnya dari segi sangat dibutuhkan atau dari

segi darurat, bukan karena sudah biasa dilakukan oleh orang banyak. Jika

sesuatu hal tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka,

maka ia diperbolehkan.27

Hukum yang didasarkan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahan

pada suatu masa atau tempat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah

dengan perubahan pokonya. Oleh karena itu dalam perbedaan pendapat

semcam ini, para fuqaha mengatakan: “sesungguhnya perbedaan tersebut

adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil”.

(40)

30

B. Jual beli Tebasan

1. Pengertian Jual beli Tebasan

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ba’i adalah jual beli

antara benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.28 Jual

beli (al-ba’i) secara terminologi berarti menjual, mengganti dan menukar

sesuatu dengan sesuatu yang lain.29 Sedangkan jual beli tebasan yaitu

membeli secara borongan hasil tanaman atau buah-buahan lainnya

sebelum atau menjelang panen atau menjelang dipetik.30 Sedangakan

menurut Hukum Islam jual beli tebasan atau jizaf adalah menjual sesuatu

barang tanpa takaran atau timbangan dan hitungan akan tetapi dengan

menggunakan dugaan dan batasan setelah menyaksikan atau melihat

barang tersebut. Imam Syaukani mendefinisikan jizaf sebagai barang yang

belum diketahui takarannya.31 Pada dasarnya jizaf tidak diperbolehkan

dalam hukum islam dikarenakan tidak ada kejelasan dalam akad jual beli

terutama yang berhubungan dengan barang yang dijual, akan tetapi hal ini

diperbolehkan syariat dikarenakan dalam akad jizaf terdapat hukum

darurat dan musyaqqat.

2. Dasar Hukum Jual Beli Tebasan

a. al-Qur’an

28Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi hukum

Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 15.

29Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), 168.

30

Zainul Bahry, Kamus Umum (Bandung: Angkasa, 1996), 243.

31

(41)

31

Jual beli telah diatur di dalam al-Qur’an, hadist, dan ijma’.

al-Baqarah ayat 198 adalah salah satu dasar hukum diperbolehkannya

mencari karunia Allah dengan berdagang, yang berbunyi:































Artinya:

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam, dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.32

Ayat di atas menerangkan bahwa tidak ada dosa bagi

orang-orag yang mencari karunia Allah dengan cara berdagang. Namun,

janganlah meninggalkan amal ibadah kepada Allah saat telah

dilaksanakannya kegiatan perdangan tersebut.

Surat al-Baqarah ayat 275 juga menerangkan diperbolehkannya

jual beli, yang berbunyi:





Artinya:

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.33

(42)

32

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mengharamkan riba.

Menurut Yusuf Al-Qardhawi hikmah diharamkanya riba dalam Islam

adalah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dan

pekeja, serta memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh

tanggungjawab.34

Selain dalam surat al-Baqarah, secara tersirat jual beli juga

diataur dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 29, yang berbunyi:





























Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.35

Firman Allah di atas menerangkan bahwa dilarangnya memakan

harta dari jalan yang batil. Carilah harta dari jalan perniagaan yang

berprinsip saling suka sama suka. Jadi, dalam jual beli tidak sah jika

ada salah satu pihak melakukan akad karena paksaan dari mana pun.

b. Hadits

34Yusuf Al-Qardhawi,Bunga Bank Haram, terj. Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002), 52.

(43)

33

Dalam hadist sahih Bukhari juga disebutkan tentang jual beli

tebasan atau jizaf, dalam hadist nomor 2040:

ْنَع َِْْ بُزلا َِِأَو ٍءاَطَع ْنَع ٍجْيَرُج ُنْبا َََرَ بْخَأ ٍبَْو ُنْبا اَنَ ث دَح َناَمْيَلُس ُنْب ََََْ اَنَ ث دَح

َو َبيِطَي ََح ِرَم ثلا ِعْيَ ب ْنَع َم لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ُِِ نلا ىَهَ ن َلاَق ُهْنَع ُ َا َيِضَر ٍرِباَج

ََ

َياَرَعْلا َِإ ِمَْرِّدلاَو ِراَنيِّدلِِ َِإ ُهْنِم ٌءْيَش ُعاَبُ ي

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi Saw melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali 'ariyyah".36

Rasulullah juga telah menganjurkan kepada umatnya untuk

melakukan jual beli sebagai pekerjaannya, sesuai dengan sabda beliau

yang berbunyi:

اَنَ ث دَح ُديِزَي اَنَ ث دَح

ِﻩِّدَج ْنَع ٍجيِدَخ ِنْب ِعِفاَر ِنْب َةَعاَفِر ِنْب َةَياَبَع ْنَع ٍرْكَب َِِأ ٍلِئاَو ْنَع ُيِدوُعْسَمْلا

َم ٍعْيَ ب ُلُكَو ِﻩِدَيِب ِلُج رلا ُلَمَع َلاَق ُبَيْطَأ ِبْسَكْلا ُيَأ ِ َا َلوُسَر َي َليِقَلاَق ٍجيِدَخ ِنْب ِعِفاَر

ٍروُرْ ب

Artinya:

(AHMAD - 16628) : Telah menceritakan kepada kami Yazid telah menceritakan kepada kami Al Mas'udi dari Wa`il Abu Bakr dari Abayah bin Rifa'ah bin Rafi' bin Khadij dari kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata,"Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?" beliau bersabda: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur."(HR. Ahmad)37

Jual beli mabrur dalam hadist di atas adalah jual beli yang jujur, dapat

dikatakan juga jual beli yang terhindar dari unsur penipuan atau

(44)

34

pengkhianatan dan merugikan orang lain. Sesuai dengan sabda

Rasulullah:

ٍضاَرَ ت ْنَع ُعْيَ بْلا اَ َِإ

{

}هجام نبا ﻩاور

Artinya:

Jual beli berlaku dengan saling ridha. (HR. Ibnu Majjah)38

Diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’I dari Jabir ra., ia berkata,

ََِأ نَأ ٍجْيَرُج ُنْبا َِِث دَح ٍبَْو ُنْبا َََرَ بْخَأ ٍحْرَس ِنْب وِرْمَع ُنْب ُدََْْأ ِرِا طلا وُبَأ َِِث دَح

لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ِ َا ُلوُسَر ىَهَ ن َُوُقَ ي ِ َا ِدْبَع َنْب َرِباَج ُتْعََِ َلاَق ُﻩَرَ بْخَأ َِْْ بُزلا

َم

َع

ُنْب ُقَحْسِإ اَنَ ث دَحِرْم تلا ْنِم ى مَسُمْلا ِلْيَكْلِِ اَهُ تَليِكَم ُمَلْعُ ي ََ ِرْم تلا ْنِم ِةَرْ بُصلا ِعْيَ ب ْن

َرِباَج َعََِ ُه نَأ َِْْ بُزلا وُبَأ َِِرَ بْخَأ ٍجْيَرُج ُنْبا اَنَ ث دَح َةَداَبُع ُنْب ُحْوَر اَنَ ث دَح َميِاَرْ بِإ

َنْب

ْنِم ْرُكْذَي ََْ ُه نَأ َرْ يَغ ِهِلْثِِِ َم لَسَو ِهْيَلَع ُ َا ى لَص ِ َا ُلوُسَر ىَهَ ن َُوُقَ ي ِ َا ِدْبَع

ِي ِرْم تلا

ِثيِدَْْا ِرِخآ

(MUSLIM - 2820) : Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir Ahmad bin Amru bin Sarh telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij bahwa Abu Az Zubair telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; Saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata; Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang menjual setangkai kurma yang tidak diketahui takarannya dengan takaran kurma yang telah maklum. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdillah berkata; Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam melarang seperti itu, tapi di akhir hadits, dia tidak menyebutkan lafazh dari kurma.

Pada hadist ini terdapat dalil yang menunjukan bahwa boleh

membeli kurma secara tebasan atau jizaf, apabila alat

(45)

35

pembayarannya berasal dari barang selain kurma.Apabila alat

pembayarannya juga kurma, maka jual beli itu menjadi haram

karena mengandung riba fadl. Hal itu karena jual beli sesuatu barang

yang sejenisnya sedangkan salah satu diantara keduannya tidak

diketahui kadarnya adalah haram. Tidak diragukan lagi bahwa tidak

mengetahui salah satu alat tukar atau keduanya menjadi peluang

diperkirakan terjadinya kelebihan atau kekurangan.Segala sesuatu

yang memungkinkan terjadinya sesuatu yang haram maka wajib

unyuk dijauhi. Sudah menjadi hal yang diketahui bahwa kurma

termasuk dalam kategori komoditas ribawi.

Sisi pengambilan hukum dari hadist ini, adalah bahwa jual beli

tebasan merupakan salah satu sistem jual beli yang dilakukan di

zaman Rasulullah Saw dan beliau tidak melarangnya. Ini merupakan

taqriri (persetejuan) beliau atas bolehnya jual beli tebasan.

Seandainya terlarang, pasti Rasulullah Saw akan melarangnya dan

tidak menyatakan hal di atas. Dalam hal ini fuqaha juga menyatakan

diperbolehkannya jual beli tebasan.

Adapun alasan-alasan yang menyatakan bolehnya jual beli

tebasan antara lain:

1) Jual beli tersebut tidak termasuk dalam jual beli gharar, karena

orang yang sudah berpengalaman akan mampu untuk mengetahui

(46)

36

2) Jual beli tersebut sangat dibutuhkan manusia, terutama yang

mempunyai lahan luas, yang akan sangat menyulikan sekali kalau

diharuskan memanennya sendiri.

Alasan-alasan diatas dapat dijadikan suatu kemaslahatan

yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga

kemanfaatannya bahwa didalamnya tidak terdapat kaidah syara’

yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.39

Para ulama juga telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan

dengan alasan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, bantuan atau barang

milik orang lain yang dibutuhkan harus diganti dengan barang lain

yang sesuai.40

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Adapun rukun dan syarat jual beli tebasan sama dengan jual beli

pada umumnya. Penetapan rukun jual beli, diantara para ulama terdapat

perbedaan pendapat ulama Hana@fi@yah dengan jumhur ulama.Menurut

ulama Hana@fi@yah, rukun jual beli hanya satu yaitu ija@b (ungkapan

membeli dari pembeli) dan qa@bul (ungkapan menjual dari

penjual).Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah

kerelaan (rid}a/tara@d}i) kedua belah pihak untuk melakukan jual beli.41 Ija@b

39

Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh(Surabaya: Khalista, 2006), 190.

40Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 75.

(47)

37

dan qa@bul merupakan tindakan yang menunjukan pertukaran barang

secara rid}a, baik dengan ucapan maupun tindakan.42

Adapun rukun jual belimenurut jumhur ulama (mayoritas ulama)

ada empat, yaitu:43

a. ba’i (penjual) Dan mushtari (pembeli),

1) Baligh, telah mencapai usia 15 tahun jika laki-laki dan usia 9

tahun jika perempuan serta mengetahui, memahami, dan mampu

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

2) Berakal, Sehat jasmani dan rohani atau tidak dalam keadaan gila

ketika hendak melakukan akad jual beli.

3) Keduanya dalam keadaan sukarela, ketika akad jual beli terjadi

tidak ada pihak yang merasa dalam keaadan terpaksa dan kedua

pihak yang berakad harus dalam keadan saling rela.

b. s}i@ghat (ijabdan qabul) dan

1) tempat akad harus satu

2) pengucapanijab dan qabul, berhadap-hadapan, pembeli dan

penjual harus menunjukan sighat akadnya kepada orang lain yang

sedang bertransaksi akad dengannya, ketika mengucapkannya

harus disertai niat dan sempurna atau tidak berubah dalam lafaz.

c. ma’qu@d ‘alayh (benda atau barang).

1) Suci, barang tidak dilarang oleh agama.

(48)

38

2) Bermanfaat, baranngnya bermanfaat bagi kedua pihak yang

berakad dan bermanfaat bagi orang lain.

3) Dapat diserahkan, barang yang akan diperjualbelikan ada dan

dapat dilihat keduabelah pihak, jadi ketika akad berlangsung

barang atau benda dapat diserahkan secara langsung.

4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain, barang

menjadi hak milik sendiri dan barang tidak dalam keadaan

hutang atau dijaminkan.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur

(rukun) jual beli ada tiga, yaitu:44

1) pihak-pihak

Dalam transaksi jual beli tebasan ini pihak yang berakad yaitu

petani sebagai penjual, sedangkan tengkulak sebagai pembeli

atau penebas.

2) Objek

Objek yang diperjualbelikan dalam transaksi jual beli yaitu

tanaman tebu.

3) Kesepakatan

Dalam hal ini tawar-menawar antara pihak petani dan tengkulak

untuk menyepakati harga jual beli tebu.

(49)

39

Namun dalam akad jual beli tebasan ada beberapa syarat

pembolehan akad jizaf haruslah melalui beberapa syarat. Syarat jual

beli jizaf antara lain:

1) Barang yang dijual haruslah dapat diketahui dengan mata.

2) Baik penjual dan pembeli mengetahui barang yang akan dijual.

3) Dalam akad jual beli harus mempunyai maksud dan

Referensi

Dokumen terkait

Kompos memiliki keunggulan- keunggulan yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu mampu mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan penyerapan hara dan

lebih besar memiliki tingkat stabilitas inti yang lebih rendah.Oleh karena itu, kita perlu menyatakan besaran energy yang terkait langsung dengan stabilitas inti, yaitu energI ikat

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa hal yang membedakan sekolah yang berbasis full day dan sekolah yang tidak berbasis full day adalah pada waktunya yang lebih lama dan

Perhitungan yang lebih mendetail dapat dilakukan untuk menghitung besar energi yang dikonsumsi oleh Kabupaten Banjarnegara untuk penerangan, baik jalan umum,

Yule (2014:92-94) membagi tindak tutur berdasarkan fungsi umumnya menjadi lima bentuk, yaitu: (a) deklarasi, memberikan tuturan yang baru secara benar pada

suasana kegiatan yang kondusif, membangun interaksi yang aktif dan positif anta peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dalam kegiatan bersama di

[r]

Tidak terdapat hubungan antara karakteristik ibu (usia ibu, jumlah jam bekerja, tingkat pendidikan, kesejahteraan dan paritas) terhadap pemberian ASI eksklusif.