• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KEGIATAN WAJIB SALAT DUHA SISWA KELAS X SMA GIKI II SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KEGIATAN WAJIB SALAT DUHA SISWA KELAS X SMA GIKI II SURABAYA."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KEGIATAN WAJIB SALAT DUHA SISWA KELAS X SMA GIKI II SURABAYA

SKRIPSI

Oleh :

Yusuf Febrian Larangga D01212067

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Yusuf Febrian Larangga 2016 : “Internalisasi Nilai-nilai Islam Dalam Kegiatan

wajib Salat Duha SMA GIKI II Surabaya”.

Internalisasi nilai Islam yang diterapkan di sekolah SMA GIKI II Surabaya dengan wajib salatduha adalah salah satu dari sekian banyak proses yang dapat menumbuhkan nilai-nilai Islam pada jiwa anak didik di sekolah sehingga memperkuat jiwa keimanan dan mempunyai akhlak yang baik kepada guru di sekolah

Penelitian lapangan ini mengunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif., dengan pendekatan fenomenologis. Data kualitatif yang diambil meliputi sejarah singkat tentang sekolahan, karakteristik, visi misi dan tujuan, struktur organisasi, rekapitulasi peserta didik, analisis penelitian dan data lainnya yang mendukung penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, interview dan angket. Dalam penelitian ini menjelaskan implementasi Internalisasi Nilai-nilai Islam Dalam wajib Salat Duha SMA GIKI II Surabaya.

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa internalisasi nilai-nilai Islam sudah terlaksanakan dengan baik. Dengan bukti sudah banyak siswa/i yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai Islam melalui kehidupan sehari-hari mereka yang salah satunya adalah setelah melaksanakan salat duha hati menjadi lebih tenang dan tidak gelisah, merasa lebih mudah dalam melakukan aktivitas.

Berdasarkan hasil penelitian internalisasi nilai Islam dapat disimpulkan kedalam tiga aspek yaitu : pertama, nilai aqidah (keimanan) yang merupakan salah satu materi yang disampaikan setiap selesai salat duha dengan tujuan meningkatkan keimanan siswa, kedua, nilai akhlak/budi pekerti yang diberikan dengan penyampaian ceramah dengan tujuan siswa/i mempunyai akhlak mulia dan baik, ketiga, memiliki sifat disiplin dan tanggungjawab seperti halnya disiplin waktu dalam masuk sekolah dan mengerjakan salat.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 11

E. Definisi Operasional ... 12

F. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Internalisasi Nilai-nilai Keislaman ... 16

1. Pengertian Internalisasi ... 16

2. Pengertian Nilai ... 21

3. Ciri-ciri Nilai ... 23

4. Macam-macam Nilai ... 24

(8)

6. Islam Sebagai Agama Dan Sistem Nilai ... 28

B. Pengertian Salat Duha Dan Hikmah Salat Duha ... 32

1. Pengertian Salat Duha ... 32

2. Makna Salat Duha ... 33

C. Internalisasi Nilai-nilai Islam Dalam Kegiatan Wajib Salat Duha ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 45

B. Kehadiran Peneliti ... 48

C. Sumber Data ... 48

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

E. Tahap-tahap Penelitian ... 54

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN, PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 60

1. Sejarah Singkat ... 60

2. Karakteristik ... 61

3. Visi, Misi dan Tujuan ... 62

4. Struktur Organisasi ... 65

5. Rekapitulasi Peserta Didik ... 66

B. Penyajian Data ... 67

C. Analisis Data ... 70

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita melihat bahwa salah satu bidang pembangunan yang sangat

strategis adalah pendidikan. Namun bila dilihat tidak hanya pendidikan umum

saja melainkan pendidikan agama sangat penting sebagai landasan hidup

beragama sesuai dengan negara kita yang berazaskan ketuhanan. Pada

hakekatnya pendidikan agama itu adalah suatu pendidikan yang

menitikberatkan pada bidang agama yang dalam batasan itu adalah

pendidikan Islam.

Pendidikan agama Islam sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan

di SMA mempunyai andil besar dalam ikut serta mewujudkan tujuan

pendidikan nasional. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.1 Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus agar

tujuan pendidikan nasional dapat terealisasi. Pelaksanaan pendidikan agama

Islam di sekolah tidak cukup dengan pengajaran bentuk teori saja melainkan

juga penghayatan disertai praktek langsung atau mengamalkan nilai-nilai

1

UU RI No 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang : Aneka Ilmu,2003), hlm. 7.

(10)

2

ajaran agama yang telah di terima di sekolah. Sebab seseorang memiliki sikap

keberagamaan apabila ia telah melakukan kewajiban-kewajiban yang telah

digariskan oleh ajaran agamanya, tidak hanya diucapkan dengan lisan

ataupun dengan tulisan saja, tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan dalam

kehidupan sehari-hari baik yangmenyangkut peribadatan yang berhubungan

dengan Tuhan maupun yang menyangkut sesama manusia.

Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 30 ayat 2 tentang sistem

pendidikan dinyatakan bahwa, “pendidikan keagamaan berfungsi

mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami

dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan / atau menjadi ahli ilmu

agama”.2 Oleh karena itu kita bisa mengetahui bagaimana siswa tersebut

dapat mengamalkan apa yang diterimanya dalam bentuk teori. Terlebih lagi

siswa dapat mengamalkan ibadah shalat, karena shalat merupakan salah satu

ibadah yang sangat sakral dan menempati kedudukan yang paling penting dan

utama dalam agama Islam, sesudah dua kalimat syahadat.

Sebagai seorang pendidik, guru harus mengerti bahwa pendidikan

agama tidak boleh hanya berbentuk pengajaran agama; Artinya pengalihan

pengetahuan tentang agama bisa menghasilkan pengetahuan dan ilmu, tetapi

pengetahuan ini belum menjamin pengarahan manusia yang bersangkutan

untuk hidup sesuai pengetahuan tersebut. Pendidikan agama akan dapat

memenuhi fungsinya apabila seorang guru mampu menggerakkan anak

2

UU RI No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab VI, Pasal 30 ayat 2, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), 18.

(11)

3

didiknya belajar mengamalkan ajaran agama yang telah diterima dalam

kehidupan sehari-hari.3 Dalam buku Zakiah Daradjat disebutkan bahwa:

”Guru agama yang ideal, adalah yang dapat menunaikan dua fungsi sekaligus,

yaitu sebagai guru dan sebagai dokter jiwa yang dapat membekali anak

dengan pengetahuan agama serta dapat membina kepribadian anak, menjadi

seorang muslim yang dapat dikehendaki oleh ajaran agama”.4

Pendidikan agama di lembaga pendidikan apapun akan memberi

pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian

besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung pada berbagai faktor

yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama.5

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang “berwarna Islam”. Maka

pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang bersandar Islam. Dengan

demikian,nilai-nilai ajaran Islam itu sangat mewarnai dan mendasari seluruh

proses pendidikan.6

Menurut al-Ghazali, dalam mendidik pada fase anak-anak lebih

menekankan pada domain afektif psikomotoriknya, ketimbang domain

kognitifnya. Oleh karena itu, menurutnya, apabila anak keci sudaah terbiasa

untuk berbuat sesuatu yang positif, maka pada masa remaja atau muda lebih

mudah mudah membentuk kepribadian yang shaleh, dan secara otomatis

pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya. Tetapi

3

Edukasi, Edisi XXVIII/Th XI, Semarang, 2003.

4Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 134. 5Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), 206. 6

(12)

4

sebaliknya, jika sejak kecil terbiasa melakukan hal yang naif, maka di hari

tuanya maka anak tersebut akan sulit membiasakan aktifitas yang baik,

walaupun tingkat keilmuannya sudah memadai.

Pendidikan Islam secara sederhana sering diartikan dengan pendidikan

berdasarkan Islam.7 Dalam pengertian lain, dikatakan bahwa pendidikan

Islam adalah proses mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna

dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi

pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya,

manis tutur katanya, baik secara lisan maupun tulisan.8

Pendidikan Islam memberikan definisi pendidikan sebagai bimbingan

jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam, menuju kepada

terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.9 Dari pengertian

tersebut sangat jelas bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif

yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian secara utuh dan

menyeluruh, menyangkut aspek jasmani dan rohani.

Dalam pendidikan, lingkungan juga tidak kalah pentingnya dalam hal

pengaruh dari luar (extern), Chaplin menyatakan bahwa yang disebut dengan

lingkungan merupakan keseluruhan aspek atau fenomena fisik dan sosial

yang mempengaruhi organisme individu manusia. Pendapat lain dikatakan

oleh Jope Kathena bahwa yang dimaksud dengan lingkungan adalah “segala

sesuatu yang berada di luar individu yang meliputi lingkungan fisik dan sosial

7

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 69.

8

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 3

9

(13)

5

budaya”. Dengan demikian bahwa lingkungan adalah segala sesuatu

(fenomena) yang berada diluar individu manusia yang mempengaruhi atau

dipengaruhi oleh perkembangan siswa, baik yang bersifat fisik maupun

nonfisik.

Para ahli pendidikan mengatakan bahwa ada empat macam lingkungan

yang akan mempengaruhi pada perkembangan peserta didik, yaitu lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan sebaya, dan lingkungan

masyarakat.10

Sekolah sebagai lembaga pendidikkan formal yang secara sistematis

melakukan pendidikan, bimbingan, latihan, pengajaran, serta arahan kepada

peserta didik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hurlock dalam Syamsu

Yusuf bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan

kepribadian peserta didik, baik dalam cara berfikir, bersikap, maupun cara

berperilaku.

Sementar itu teman sebaya sebagai lingkungsn sosial bagi remaja

memiliki peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya.

Terdapat banyak hasil penilitian yang mengarah kepada hal tersebut. Bahwa

teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih, cara berpakaian,

hobi, perkumpulan, dan kegiatan sosial lainnya. Pengaruh dari teman sebaya

ini tidak hanya berpengaruh secara positif, tetapi juga bisa berpengaruh

negatif. Rasulullah SAW bersabda: “persamaan teman yang baik dan teman

yang buruk seperti pedagang minyak kasturi dan peniup api tukang besi. Si

10Ibid., 12.

(14)

6

pedagang minyak kasturi mungkin akan memberinya kepadamu, atau engkau

membeli kepadanya, atau setidaknya angkau memperoleh bau harum

darinya. Akan tetapi si peniup api tukang besi, mungkin akan membuat

pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak sedap

darinya” (HR. Bukhari).11

Dalam Islam banyak nilai-nilai yang seharusnya direalisasikan dalam

kehidupan sehari-hari oleh manusia muslim khususnya para siswa. Setiap

siswa dituntut untuk dapat menjadikan tingkah laku dalam khidupan

sehari-hari sebagai cermin dari nilai-niai Islam.

Selanjutnya, bagaimana nilai-nilai Islam dapat diambil oleh siswa

untuk dijadikan acuan dalam perilaku sehari-hari sehingga mampu

mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian, selanjutnya menggejala

dalam perilaku lahiriyah.

Abudin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam,

menuliskan12: “Salah satu sarana untukdapat diterapkan misi Islam secara

efisien dan efektif adalah pendidikan Islam”.Selain itu ditemukan juga dalam

bukunya H.M.Arifin, Filsafat PendidikanIslam13, bahwa “Pendidikan

merupakan sarana atau alat untuk merealisasikanhidup orang muslim secara

maksimal.” Dua pendapat ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam

merupakan salah satu sarana untuk dapat dilaksanakannya nilai-nilai Islam

11

Ibid., 250-251

12

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam: Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet 2, 211.

13

(15)

7

yaitu dengan mewajibkan salat duha kepada anak didik atau siswa agar setiap

individu siswa dapat terbiasa dengan hal-hal baik atau dengan sarana tekanan

punishment awalnya dan dapat terbiasa pada akhirnya. Dan juga agar metode

punishment tidak cenderung kepada hal-hal yang tidak mendidik, kekerasan,

dll, dan lebih condong kepada hal-hal yang Islami atau meng-internalisasikan

sebuah nilai Islam.

Menyinggung masalah tujuan pendidikan, Kongres pendidikan Islam

sedunia ke II tahun 1980 di Islamabad menetapkan tujuan pendidikan Islam

sebagai berikut:

Pendidikan Islam harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang

berkesinambungan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui

latihan spiritual, kecerdasan dan rasio, perasaan dan panca indra, oleh

karenanya maka pendidikan harus memberikan pelayanan kepada

pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya yaitu aspek spiritual,

intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik baik secara individual

maupun secara kolektif serta mendorong semua aspek itu keara perbaikan dan

pencapaian kesempurnaan.14 Bisa diketahui bahwa tujuan pendidikan tidak

lepas dari pengembangan kepribadian. Dalam konteks pendidikan Islam,

maka yang menjadi sasaran dalam pengembangan tersebut adalah nilai-nilai

yang Islami yang menyatu dalam kepribadian. Bahwa idealnya pendidikan

Islam harus concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan

agama yangbersifat kognitif menjadi “makna” yang perlu di internalisasikan

14

Ibid, 132.

(16)

8

dalam diripeserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi

peserta didikuntuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara konkret agamis

dalam kehidupansehari-hari.

Pendapat H.M. Arifin bahwa dalam proses kependidikan anak, yang

dikehendaki oleh Islam untuk mencapai sasaran dan tujuan akhir, nilai-nilai

Islam akan mendasari dan lebih lanjut akan membentuk corak kepribadian

anak didik, pada masa dewasanya.15

Kaitannya dengan pendidikan nilai, secara natural manusia adalah

sebagai mahluk yang memiliki posisi unik. Posisi tersebut terletak pada

dualisme moral.16Di satu pihak terdapat keinginan pada hal-hal yang bersifat

positif, sedang dipihak lain cenderung pada hal-hal yang tidak baik.

Dua potensi tersebut mengharuskan dunia pendidikan dapat senantiasa

memberikan perhatian serius terhadap pendidikan nilai, sehingga dari dua

potensi tersebut kecenderungan terhadap hal-hal yang baik dapat lebih

ditumbuh kembangkan dan mengeliminasi sejauh mungkin perilaku-perilaku

yang lahir dari kecenderungan terhadap perilaku-perilaku negatif.

Era modern merupakan ancaman terhadap runtuhnya nilai. Adanya

globalisasi, menjadikan anak-anak Indonesia dengan mudah mengetahui

apapun yang dilakukan oleh siswa di negara lain, sehingga peniruan tanpa

penyeleksianpun tak terelakkan.

15

Athiyah al-Abrosi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 90.

16

Ibid, 2.

(17)

9

Membicarakan efektivitas pendidikan kaitannya dengan “degradasi

moral” atau “kekeringan nilai”, terdapat beberapa masalah pokok yang turut

menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan nasional.

Salah satu dari permasalahan pokok tersebut yaitu sebagaimana pendapat

Azyumardi Azra:17 Materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi seperti

materi pelajaran agama misalnya, umumnya hanya disampaikan dalam bentuk

verbalisme, yang disertai dengan roote memorizing. Akibatnya bisa diduga

mata pelajaran tersebut cenderung hanya sekedar untuk dihapalkan dan

diketahui agar lulus ujian. Tetapi tidak untuk di internalisasikan dan

dipraktekkan sehingga betul-betul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

diri peserta didik.

Pakar filsafat UI, Karlina Leksono Supelli, mengungkapkan bahwa

proses pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada aspek kognitif

sedangkan penanaman nilai-nilai terabaikan.18 Di saat pendidikan nilai

benar-benar dibutuhkan bersamaan dengan semakin terancamnya krisis nilai dan

adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dari dunia pendidikan

dengan kenyataan yang dapat dilihat sebagaimana uraian diatas, internalisasi

nilai-nilai Islam, menjadi sesuatu yang sangat penting. Sehingga penting pula

kekuasaan dan kemampuan yang memadai seputar internalisasi nilai-nilai

Islam oleh tenaga-tenaga pedidik.

17

Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (rekonstruksi dan demokratisasi), (Jakarta: Buku

Kompas, 2002), Cet. 1, 181.

18

Ibid, 7.

(18)

10

Internalisasi nilai Islam yang diterapkan di sekolah SMA GIKI II

Surabaya dengan wajib salat duha adalah salah satu dari sekian banyak proses

yang dapat menumbuhkan nilai-nilai Islam pada jiwa anak didik di sekolah

sehingga memperkuat jiwa keimanan dan mempunyai akhlak yang baik

kepada guru di sekolah.

Selain diwajibkan, salat duha juga diberlakukan untuk para siswa/i

yang terlambat datang ke sekolah. Jika ada siswa/i yang terlambat datang ke

sekolah, mereka diwajibkan untuk melaksanakan salat duha di mushollah

sekolah secara berjama’ah sebagai ganti dari hukuman keterlambatan masuk

sekolah pada pagi hari. Hukuman berupa salat duha yang diberikan kepada

para siswa/i yang terlambat datang ke sekolah bisa dikatagorikan sebagai

salah satu proses internalisasi nilai-nilai Islam pada jiwa para anak didik di

sekolah.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin meneliti bagaimana

penerapan internalisasi dengan menggunakan media salat duha. Oleh karena

itu dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk mendalami kajian ini, sehingga

peneliti mengambil judul “INTERNALISASI NILAI-NILAI

(19)

11

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan wajib salat duha kepada siswa kelas X SMA Giki II

Surabaya?

2. Bagaimana internalisasi nilai-nilai keIslaman dalam salat duha kepada

siswa kelas X di SMA Giki II Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan wajib salat duha siswa kelas X di

SMA Giki II Surabaya

2. Untuk mengetahui bagaimana internalisasi nilai-nilai keislaman dalam

salat duha siswa kelas X di SMA Giki II Surabaya

D. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini di harapkan mampu memberikan manfaat bagi

pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, antara lain adalah:

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini akan memperluas cakrawala pemikiran dan

pengalaman penulis dalam bidang pendidikan untuk lebih jeli dalam

menganalisa setiap peluang yang ada untuk kemudian di jadikan sebagai

wahana untuk meningkatkan mutu out-put pendidikan. Serta sebagai salah

satu syarat meraih gelar sarjana strata satu (SI) di Universitas Islam Negeri

(20)

12

2. Bagi lembaga

Hasil penelitian ini kiranya dapat digunakan sebagai informasi

dalam meningkatkan mutu put pendidikan, yakni menghasilkan

out-put yang berkarakter dan berbudi luhur, khususnya Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3. Bagi Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini bisa menjadi informasi dan bahan

pertimbangan bagi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan

secara umum, khususnya dalam membentuk dan menghasilkan genersai

penerus yang berkarakter dan berbudi luhur.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian dalam memahami

judul skripsi ini, maka penulis perlu memberikan penegasan terhadap istilah

yang digunakan dalam judul tersebut adalah sebagai berikut : Internalisasi atau

internalization (bahasa Inggris) adalah prosespengambilan gagasan untuk

diterapkan pada diri sendiri.19

Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi

kehidupan manusia.20 Nilai adalah suatu seperangkat keyakinan atau perasaan

19Peter Salim, The Contemporery English Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English Press,

1996), 7.

20

M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke- I, 61.

(21)

13

yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang kkhusus

kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku.21

Nilai atau Value, dalam Kamus Psikologi didefinisikan sebagai hal

yang dianggap penting, bernilai atau baik. Semacam keyakinan mengenai

bagaimana seseorang seharusnya atau tidak seharusnya dalam bertindak

(misalnya jujur dan ikhlas), atau cita-cita yang ingin dicapai oleh seseorang

(misalnya kebahagiaan dan kebebasan).22

Menurut Milton Rokeach dan James Bank, Nilai adalah suatu tipe

kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam

mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau memiliki

dan dipercayai.23 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa nilai disamping

mempunyai arti penting bagi subyek, juga berhubungan dengan sistem

kepercayaan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau

menjauhinya. Nilai keislaman adalah nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang

terkandung dalam Islam.24

Salat duha adalah salat yaitu rukun Islam kedua, berupa ibadah kepada

Allah SWT., wajib dilakukan oleh setiap muslim, mukallaf dengan syarat,

rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam

21

Ibid., 202.

22

Tim MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 101.

23

Ibid., 186.

24

Ibid., 364.

(22)

14

atau doa kepada Allah. Duha yaitu waktu menjelang tengah hari(kurang lebih

pukul 10.00) kira-kira pukul 10 ia melakukan salat.25

F. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini disusun dengan menggunakan uraian yang

sistematis untuk memudahkan pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan

yang ada. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Bab Pertama yaitu Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,

rumusa masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu, definisi

istilah atau definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan skripsi.

Bab Kedua yaitu Kajian teori tentang internalisasi nilai-nilai

keIslaman dengan wajib salat duha. Bab ini membahas konsep dalam praktik

wajib salat duha..

Bab Ketiga yaitu Profil Nilai-Nilai KeIslaman Yang Terkandung

Dalam Praktik Salat Duha Siswa Kelas X Di SMA Giki II Surabaya.

Bab ke-empat Bab ini berisi tentang analisis (pembahasan) terhadap :

a. Praktik wajib salat duha siswa kelas X di SMA Giki II Surabaya.

b. Internalisasi Nilai-Nilai KeIslaman yang terkandung dalam

Praktik Salat Duha dengan Siswa Kelas X Di SMA Giki II

Surabaya.

25

(23)

15

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Internalisasi Nilai-nilai Keislaman 1. Pengertian Internalisasi

Internalisasi adalah upaya menghayati dan mendalami nilai agar nilai

tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Karena pendidikan agama

Islam berorentasi pada pendidikan nilai sehingga perlu adanya proses

internalisasi tersebut.1Jadi, internalisasi merupakan upaya kearah

pertumbuhan batiniah atau rohaniah peserta didik. Pertumbuhan itu

terjadi ketika siswa menyadari suatu nilai yang terkandung dalam

pengajaran agama dan kemudian nilai-nilai itu dijadikan suatu sistem

nilai diri sehingga menuntut segenap pernyataan sikap, tingkah laku, dan

perbuatan moralnya dalam menjalani kehidupan ini.

Internalisasi adalah “upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan

keterampilan melaksanakan (doing) kedalam pribadi seseorang (being)”.

Oleh karena itu, ada tahapan-tahapan tertentu dalam proses internalisasi

nilai untuk mencapai being.2

1

Muhammad Nurdin, Pendidikan Anti Korupsi; Strategi Internalisasi Nilai-nilai Islami dalam Menumbuhkan Kesadaran Antikorupsi di Sekolah, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 124.

2

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), 125.

(25)

17

Menurut Chabib Thoha, internalisasi nilai merupakan teknik

dalam pendidikan nilai yang sasarannya adalah sampai pada pemilikan

nilai yang menyatu dalam kepribadian peserta didik.3

Tahap-tahap atau proses internalisasi nilai-nilai islam adalah:4

1. Tahap transformasi nilai. Pada tahap ini guru sekedar

menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik

kepada anak didik, yang semata-mata merupakan komunikasi

verbal.

2. Tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan

jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara anak

didik dan guru bersifat timbal balik. Dalam tahap ini tidak hanya

menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan yang buruk,

tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh

amalan yang nyata, dan anak didik diminta memberikan respon

yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai itu.

3. Tahap transinternalisasi, yakni tahap ini lebih dari sekedar

transaksi. Dalam tahap ini, penampilan guru dihadapan siswa

bukan lagi sosok fisik, melainkan sikap mentalnya

(kepribadiannya). Demikian juga anak didik merespon kepada

guru bukan hanya gerakan atau penampilan fisiknya, melainkan

sikap mental dan kepribadiannya. Oleh karena itu, dapat

3

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 87-96.

4

Muhaimin dkk, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), 125-126.

(26)

18

dikatakan bahwa dalam internalisasi ini adalah komunikasi dua

kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif.5

Jadi, internalisasi nilai sangatlah penting dilakukan di

sekolah melalui pengajaran bidang studi PAI (Pendidikan Agama

Islam). Karena PAI merupakan pendidikan nilai, sehingga

nilai-nilai tersebut dapat tertanam pada diri anak didik. Dengan

pengembangan yang mengarah pada internalisasi nilai-nilai ajaran

Islam merupakan tahap manifestasi manusia religius. Sebab,

tantangan arus globalisasi dan transformasi budaya bagi anak

didik dan bagi manusia pada umumnya adalah difungsikannya

nilai-nilai moral agama.6

Pada tahap ini, internalisasi diupayakan dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menyimak, yakni pendidikan memberi stimulus kepada anak

didik, dan anak didik menangkap stimulus yang diberikan.

2. Responding, yaitu anak didik mulai ditanamkan pengertian

dan kecintaan terhadap tata nilai tertentu sehingga memiliki

latar belakang teoritik tentang sistem nilai, mampu

memberikan argumentasi rasional, dan selanjutnya, peserta

didik dapat memiliki komitmen tinggi terhadap nilai tersebut.

5

Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Citra Media, 1996), 153.

6

(27)

19

3. Organization, anak didik mulai dilatih mengatur sistem

kepribadiannya disesuaikan dengan nilai yang ada.

4. Characterization, apabila kepribadian sudah diatur

disesuaikan dengan sistem nilai tertentu, dan dilaksanakan

berturut-turut, akan terbentuk kepribadian yang bersifat

satunya hati, kata, dan perbuatan. Teknik internalisasi sesuai

dengan tujuan pendidikan agama, khususnya pendidikan yang

berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan akhlak

karimah.7

Proses internalisasi nilai-nilai Islam menjadi sangat

penting bagi anak didik untuk dapat mengamalkan dan menaati

ajaran dan nilai-nilai agama dalam kehidupannya, sehingga tujuan

pendidikan agama Islam tercapai. Upaya dari pihak sekolah untuk

dapat menginternalisasikan nilai-nilai Islam kepada diri anak

didik menjadi sangat penting.

Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan nilai.

Karena lebih banyak menonjolkan aspek nilai, baik nilai

ketuhanan maupun nilai kemanusiaan, yang hendak ditanamkan

atau ditumbuh kembangkan ke dalam diri anak didik sehingga

dapat melekat pada dirinya dan menjadi kepribadiannya (being).

7

(28)

20

Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertindak,

bergerak, dan berkreasi dengan nilai-nilai tersebut.8

Sistem nilai-nilai Islam adalah suatu keseluruhan tatanan

yang terdiri dari beberapa komponen yang saling mempengaruhi

dan mempunyai keterpaduan yang bulat yang berorientasi pada

nilai Islam. Jadi, sistem nilai tersebut bersifat menyeluruh, bulat,

dan terpadu.9

Pendidikan tidak hanya membekali anak dengan

pengetahuan agama saja, tetapi menyangkut keseluruhan diri

pribadi anak, mulai dari latihan-latihan (amaliah) sehari-hari,

yang sesuai dengan ajaran agama, baik yang menyangkut

hubungan manusia dan tuhan, manusia dengan manusia, manusia

dengan alam, serta manusia dengan dirinya sendiri.

Pembiasaan sebagai salah satu teknik internalisasi nilai

ajaran Islam terbentuk karena sesuatu yang dibiasakan. Dengan

demikian, kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan atau

keterampilan secara terus menerus, konsisten untuk waktu yang

lama. Perbuatan dan kterampilan itu benar-benar bisa diketahui

dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit ditinggalkan.

Dengan demikian, sangatlah penting pengajaran

pendidikan agama Islam sebagai pendidikan nilai yang

8

Muhammad Nurdin, Pendidikan Anti Korupsi; Strategi Internalisasi Nilai-nilai Islami dalam Menumbuhkan Kesadaran Antikorupsi di Sekolah,127.

9 Ibid., 127-128.

(29)

21

ditanamkan sejak dini sehingga nilai-nilai ajaran Islam dapat

terinternalisasi dalam diri anak didik, yang akhirnya akan dapat

membentuk karakter yang islami. Nilai-nilai ajaran Islam yang

menjadi karakter merupakan perpaduan yang bagus (sinergis)

dalam membentuk anak didik yang berkualitas.

2. Pengertian Nilai

Nilai yang dalam bahasa inggris value, berasal dari bahasa latinvalere atau

bahasa Prancis kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere,valoir, value

atau nilai dapat dimaknai sebagai harga.10Ada harga dalam artitafsiran

misalnya nilai intan, harga uang, angka kepandaian, kadar atau mutudan

sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.11

Cukup sulit untuk mendapatkan rumusan devinisi nilai dengan

batasan yang jelas mengingat banyak pendapat tentang devinisi nilai yang

masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Berikut dikemukakan

beberapa pendapat para ahli tentang devinisi nilai:

1. Menurut A.W. Green, “Nilai adalah kesadaran yang secara relatif

berlangsung disertai emosi terhadap objek”.

2. Menurut Wood, “Nilai merupakan petunjuk umum yang telah

berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan

dalam kehidupan sehari-hari”.

10

Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai,(Bandung: Alfabeta, 2004), cet ke-1,7.

11

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, 690.

(30)

22

3. Menurut M.Z. Lawang, “Nilai adalah gambaran mengenai apa yang

diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat memengaruhi perilaku

sosial dari orang yang bernilai tersebut”.12

4. Menurut Chabib Thoha, “Nilai adalah esensi yang melekat pada

sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia”.13

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa esensi belum berarti sebelum

dibutuhkan oleh manusia, tetapi dengan begitu tidak berarti adanya

esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja

kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan

peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.

Pengertian terakhir memberikan pemahaman bahwa nilai tidak

semata-mata ditentukan oleh tingkat kebutuhan manusia terhadap

sesuatu, tetapi tidak pula menafikan nilai yang lebih banyak ditentukan

oleh situasi manusia yang membutuhkan. Karena sebelum berada dalam

situasi dibutuhkan, didalam sesuatu tersebut telah terdapat hal-hal yang

melekat yang akan semakin tinggi nilainya bersamaan dengan semakin

meningkatnya daya tangkap dan pemaknaan manusia. Sebagai misal

garam dibutuhkan manusia karena memiliki sifat asin yang melekat,

tanpa adanya rasa asin pada garam maka garam tidak akan dibutuhkan.

Manakala asin tidak dibutuhkan atau tidak berarti bagi kehidupan

manusia maka garam tidak bernilai.

12

Muhammad Nurdin, Pendidikan Anti Korupsi; Strategi Internalisasi Nilai-nilai Islami dalam Menumbuhkan Kesadaran Antikorupsi di Sekolah, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 36.

13 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 62.

(31)

23

Nilai merupakan daya pendorong dalam hidup, yang memberi

makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Nilai mempunyai dua

segi intelektual dan emosional, kombinasi kedua dimensi tersebut

menentukan sesuatu nilai beserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam

pemberian makna dan pengabsahan terhadap suatu tindakan, unsur

emosionalnya kecil sekali, sementara unsur intelektualnya lebih

dominan, kombinasi tersebut disebut norma atau prinsip. Norma-norma

atau prinsip-prinsip seperti keimanan, keadilan, persau14daraan dan

sebagainya baru menjadi nilai-nilai apabila dilaksanakan dalam pola

tingkah laku dan pola berpikir suatu kelompok, jadi norma bersifat

universal dan absolut, sedangkan nilai-nilai khusus dan relatif bagi

masing-masing kelompok.15

3. Ciri-ciri Nilai

Ciri-ciri nilai adalah sebagai berikut:

1) Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan

manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat dihindari,hal

yang dapat diamati hanyalah objek yang berniali itu. Misalnya,

orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi

kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Sesuatu yang dapat

kita indra adalah orang yang melakukan kejujuran tersebut.

15

EMK, Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), cet ke-1, 25.

(32)

24

2) Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung

harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki

sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai

landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan.

Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang

mencerminkan nilai keadilan.

3) Nilai berfungsi sebagai daya dorong atau motivator, dan

manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar

dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya, nilai

ketakwaan. Adanya nilai ketakwaan ini menjadikan semua

orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.16

4.Macam-macam Nilai

Nilai dapat dipilah kedalam:

1. Nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah

2. Nilai-nilai Universal dan Lokal

3. Nilai-nilai Abadi, Pasang Surut, dan Temporal

4. Nilai-nilai hakiki dan Instrumental

5. Nilai-nilai Subyektif, Obyektif Rasional, dan Obyektif Metafisik.

Pembagian nilai sebagaimana tersebut di atas didasarkan atas sudut

pandang yang berbeda-beda, yang pertama didasarkan atas sumber-sumber

nilai; yang kedua didasarkan atas ruang lingkup keberlakuannya; yang

ketiga didasarkan atas masa keberlakuannya; yang keempat didasarkan

16

(33)

25

atas hakekatnya; dan yang kelima didasarkan atas sifatnya. Nilai-nilai

Ilahiyah adalah nilai yang bersumber dari Agama (wahyu). Nilai ini

bersifat statis dan mutlak kebenarannya. Ia mengandung kemutlakan bagi

kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta

tidak berkecenderungan untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu

manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial, dan

tuntutan individual.17

Nilai ini meliputi nilai ubudiyah dan amaliyah. Sedangkan nilai

insaniyah adalah nilai yang bersumber dari manusia, yakni yang tumbuh

atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban

manusia. Ia bersifat dinamis, mengandung kebenaran yang bersifat relatif

dan terbatas oleh ruang dan waktu. Termasuk dalam nilai insaniyah ini

adalah nilai rasional, sosial, individual, biofisik, ekonomi, politik, dan

estetik.

Nilai Universal sebagai hasil pemilahan nilai yang didasarkan pada

sudut ruang berlakunya dipahami sebagai nilai yang tidak dibatasi

keberlakuannya oleh ruang, ia berlaku di mana saja tanpa ada sekat

sedikitpun yang menghalangi keberlakuannya. Sedangkan nilai lokal

dipahami sebagai nilai yang keberlakuannya dibatasi oleh ruang, dengan

demikian ia terbatas keberlakuannya oleh ruang atau wilayah tertentu saja.

Nilai abadi, pasang surut dan temporer sebagai hasil pemilahan

nilai yang didasarkan atas masa keberlakuan nilai, masing-masing

17 Muhaimin. Dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam (Surabaya: Karya Abditama, 1994), 111.

(34)

26

menunjukkan pada keberlakuannya diukur dari sudut waktu. Nilai abadi

dipahami sebagai nilai yang keberlakuannya tidak terbatas oleh waktu,

situasi dan kondisi. Ia berlaku sampai kapanpun dan tidak terpengaruh

oleh situasi maupun kondisi yang ada. Nilai pasang surut adalah nilai yang

keberlakuannya dipengaruhi waktu. Sedangkan nilai temporal adalah nilai

yang keberlakuannya hanya sesaat, berlaku untuk saat tertentu dan tidak

untuk saat yang lain.

Pembagian nilai yang melahirkan tiga kategori nilai; nilai

subyektif, nilai obyektif rasional, dan nilai obyektif metafisik,

masing-masing menunjuk pada sifat nilai. Nilai Subyektif adalah nilai yang

merupakan reaksi subyek terhadap obyek, hal ini tergantung kepada

masing-masing pengalaman subyek tersebut. Nilai obyektif rasional adalah

nilai yang merupakan esensi dari obyek secara logis yang dapat diketahui

melalui akal sehat. Sedangkan nilai obyektif metafisik adalah nilai yang

ternyata mampu menyusun kenyataan obyektif, seperti nilai-nilai agama.18

Dari keseluruhan nilai di atas dapat dimasukkan ke dalam salah

satu dari dua kategori nilai, yakni nilai hakiki dan instrumental. Nilai

hakiki adalah nilai yang bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai

temporal bersifat lokal, pasang surut, dan temporal.19

Atas dasar kategori nilai di atas, maka nilai agama sebagai nilai

Ilahiyah dapat dikategorikan sebagai nilai obyektif metafisik yang bersifat

hakiki, universal dan abadi.

18

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 64.

19 Ibid., 65.

(35)

27

Sementara dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam,

sebagai berikut:

a. Nilai logika adalah nilai benar-salah;

b. nilai estetika adalah nilai indah-tidak indah;

c. Nilai etika atau moral adalah nilai baik-buruk.

Berdasarkan klasifikasi diatas, kita dapat memberikan contoh

dalam kehidupan. Nilai logika, misalnya, jika seorang siswa dapat

menjawab suatu pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru

dalam menjawab, kita katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan siswa

itu buruk karena jawabannya salah. Buruk adalah nilai moral sehingga

bukan pada tempatnya kita mengatakan demikian.

Contoh nilai estetika adalah apabila kita melihat sesuatu

pemandangan, menonton sebuah pentas pertunjukan, atau meraskan

makanan. Nilai estetika bersifat subjektif pada diri yang bersangkutan.

Seseorang akan meraskan senang dengan melihat sebuah lukisan yang

menurutnya indah, tetapi orang lain mungkin tidak suka dengan lukisan

itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa lukisan itu indah.

Nilai moral adalah sebagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani

kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan

dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral

berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah

yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.20

20Ibid.,38.

(36)

28

5. Sumber Nilai Dalam Kehidupan Manusia

Sumber nilai dalam kehidupan manusia ada dua macam, yaitu

sebagai berikut:21

1. Nilai Ilahi

Nilai yang dititahkan Tuhan kepada para Rasul-Nya,yang

berbentuk takwa, iman, dan adil, yang diabadikan dalam wahyu

Ilahi. Nilai-nilai Ilahi selamanya tidak mengalami perubahan.

Nilai-nilai Ilahi yang fundamental mengandung kemutlakan bagi

kehidupan manusia selaku anggota masyarakat serta tidak berubah

mengikuti selera hawa nafsu manusia.

2. Nilai Insani

Nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan

berkembang atas peradaban manusia.

6. Islam Sebagai Agama dan Sistem Nilai

Sistem nilai adalah suatu tumpuhan norma-norma yang dipegang

oleh manusia-manusia sebagai makhluk individual dan sebagai makhluk

sosial, baik itu berupa norma tradisional maupun norma agama yang

telah berkembang dalam masyarakat. Sistem nilai ini juga dijadikan tolak

ukur bagi tingkah laku dalam masyarakat. Dengan demikian, sistem nilai

memiliki potensi mengendalikan, mengatur dan sekaligus memgarahkan

21

Muhaimin dkk, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), 38.

(37)

29

masyarakat itu sendiri, termasuk didalamnya potensi rohaniah yang

melestarikan eksistensi masyarakat tersebut.22

Ajaran Islam tak dapatdilepaskan dari sistem nilai. Sebuah sistem

nilai yang bersumber darisang maha pencipta. Sistem tersebut terumus

lengkap dan sempurna itu mengacu pada hakikat penciptaan manusia itu

sendiri, yakni sebagai pengabdi (penyembah) Allah yang setia.23 Dengan

demikian, sebagai makhluk ciptaan manusia sudah diarahkan sebagai

pencapaian puncak sistem nilai itu sendiri, yakni “menjadi pengabdi

Sang Maha Pencipta.” Untuk memenuhi semuanya itu, oleh sang

pencipta, manusia telah dibekali dengan potensi utama, yakni fitrah.24

Potensi fitrah ini secara kodrati mendorong manusia sebagai

makhluk ciptaan untuk senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada

sang pencipta, yakni Allah swt. manusia secara umum. Oleh karena itu

dimanapun manusia itu berada, dikurun berapapun ia hidup, dari suku

bangsa manapun asalnya, dari lapisan sosial atau etnis mana pun dia,

maka dorongan untuk “tunduk” itu tetap selalu ada pada dirinya.

Dorongan ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian. Agar proses

pengabdian dimaksud tepat cara, tepat arah, dan tepat sasaran, maka

Allah swt. mengutus para Rasul guna menyampaikan nilai-nilai

ajaran-Nya.

22

Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 45.

23

Al-Qur’an Surah 51:56.

24 Al-Qur’an Surah 30:30.

(38)

30

Risalah Ilahiyat yang disampaikan oleh Rasul tadi disebut fitrah

munazzalah (fitrah yang diturunkan). Sedabgkan fitrah yang ada pada

diri manusia sejak penciptaannya dinamakan dengan fitrah

majbulah.25Dirangkaian ini terlihat hubungan antara potensi fitrah

majbulah dengan fitrah munazzalah. Dalam rangkaian hubungan ini pula,

Islam dilihat sebagai agama fitrah. Agama yang nilai-nilai ajarannya

sangat cocok dan sejalan dengan potensi fitrah yang ada dalam diri

manusia. Dengan demikian penerimaan terhadap ajaran yang

disampaikan oleh Rasul bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan

sebagai sebuah keniscayaan yang fitri.

Dalam ruang lingkup fitrah munazzalah (risalah ilahiyat) itu

terkandung rangkaian ajaran Islam yang terkemas dalam sebuah sistem

nilai. Secara operasional, sistem nilai dimaksud mengandung

kaidah-kaidah pedoman hidup. Bagaimana semestinya seorang muslim bersikap

dan berperilaku dalam kedudukannya sebagai pengabdi Allah. Bersikap

dan berperilaku selaku makhluk kepada sang khalik, kepada Rasul-Nya,

kepada sesama manusia, serta makhluk-Nya. Pedoman itu semua terumus

secara lengkap dan sempurna dalam kemasan tunggal, yakni “akhlak”.

Puncak capaiannya adalah “akhlak al-karimah” (akhlak yang mulia).

Pada garis besarnya, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat

memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk

keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap imdividu dan

25

Nurcholish Madjid, “Pendidikan untuk Demokrasi”, Universitas Paramadina, 1:3, (Mei, 2007), 45.

(39)

31

masyarakat. Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu dirasakan

sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Dalam

realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku,

pola berpikir dan pola bersikap.26

Agama yang jadi anutan penduduk bumi cukup banyak dan

beragama. Setiap penganut agama yakin benar, bahwa agama yang

dipeluknya adalah agama yang “paling benar”. Masing-masing bisa

memberi alasan yang mendasari keyakinan mereka. Agama adalah

keyakinan. Dengan demikian, maka tidak ada yang punya otoritas

(kewenangan) untuk menggugat keyakinan atas agama yang dianut

seseorang atau masyarakat. Semuanya terpulang kepada yang

bersangkutan.

Sebagai bentuk keyakinan, agama tak dapat dilepaskan dari sisi

kehidupan batin (inner life) manusia. Oleh karena itu, dalam menentukan

pilihan terhadap agama apa yang mesti dianut, diperlukan pertimbangan

yang matang. Tidak sekedar ikut-ikutan. Sebab agama sebagai sebuah

keyakinan di dalamnya terkandung pandangan dan filsafat hidup. Agama

tidak sebatas hanya sebagai label. Bukan hanya simbol, atau retorika

semata.

Memilih untuk beragama bukan perbuatan iseng atau karena

paksaan tegas dikemukakan dalam makna ayat al-Qur’an: “tidak ada

paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas

26

EMK. Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1988) 46.

(40)

32

jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa yang ingkar

kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah

berpegang kepada bahul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan

Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.27

Untuk menjadi Muslim, atau memilih Islam sebagai agama yang

dianut, harus pula dengan pertimbangan yang mendasar. Mesti diikuti

pula dengan pemahaman yang mendalam seputar nilai-nilai ajaran Islam.

Melalui pemahaman yang sedemikian itu, maka seseorang diharapkan

dapat membedakan antara nilai-nilai ajaran Islam dari nilai-nilai ajaran

agama lainnya. Mampu membandingkan antara yang benar dan yang

salah, yang batil dan yang hak, ataupun yang bermanfaat dan yang

sia-sia.

B. Pengertian Salat Duha Dan Hikmah Salat Duha 1. Pengertian Salat Duha

Salat duha adalah salat sunnah yang dikerjakan di waktu matahari sudah

naik kira-kira sepenggalah dan berakhir di waktu matahri lingsir dan yang

paling utama mengerjakannya ketika hari sudah terasa panas.28

Di dalam al-Qur’an surah adh-Dhuha, dijelaskan betapa istimewanya

waktu duha sehingga membuat Allah bersumpah atas waktu duha. Oleh

karena itu, hendaknya kita menggunakan waktu duha untuk bermunajat

kepada Allah Swt melalui salat duha.29

27

Al-Qur’an Surah 2:25-26.

28

M. Abu Ayyash, Keajaiban Shalat Dhuha, (Jakarta: Qultum Media, 2007), h. 33.

29Yusuf Mansur - Luthfi Yansyah, Dahsyatnya Solat Sunnah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2013), 156.

(41)

33

Salat duha merupakan ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan ketika

manusia akan memulai atau disela-sela manusia melakukan aktifitas bekerja.

Sesungguhnya Islam menuntun manusia agar disaat melaksanakan ikhtiar

duniawi yang melibatkan kecakapan (skills) untuk bekerja, agar tetap

mengingat dan memohon bimbingan dan pertolongan kepada Allah dengan

melakukan salat duha sebagai metode yang diajarkan Rasulullah SAW. Agar

pekerjaan mencapai hasil yang maksimal penuh barakah maka tidak cukup

hanya berusaha secara lahiriyah. Dengan melakukan ibadah ini, maka ia

memperoleh kemudi yang kuat (power steering) untuk membantu laju arah

hidupnya.30

Begitupun dengan anak didik, disamping mereka melakukan aktifitas

belajar di sekolah, dengan melaksanakan salat duha mereka akan sadar bahwa

mereka dalam mencari ilmu akan selalu ingat kepada Allah dan meminta

kemudahan kepada-Nya dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Melaksankan salat duha sangat dianjurkan/disunatkan dan para ulama

sepakat bahwa salat duha termasuk sunat muakkad. Oleh karenanya siapa

yang ingin memperoleh pahala, fadilah/keutamaan dan manfaatnya,

dipersilahkan untuk melaksanakan, namun bagi yang tidak menginginkan,

tidakmelaksanakannya pun tidak apa-apa artinya tidak berdosa.31 Hadis Nabi

menerangkan :

30

M. Abu Ayyash, Keajaiban Shalat Dhuha, 33.

31

Mukhammad Maskub, Tuntunan Cara Melaksanakan Solat Wajib Dan Solat Sunat ‘Ala Aswaja, (Yogyakarta: Mediatera, 2016), cet ke-1, 503.

(42)

34

ﰊﺒ ﻦ

ّ�ﺒ ﺔﺛﻼﺛ مﺎ م ص ﱐﺎ وﺒ لﺎﻗ � ةﺮﺮ

م

ٍﺮﻬﺷ ّ ﻛ ﻦ

( ﺴ و يرﺎ ﺒ ﻩﺒور) م�ﺒ نﺒ يﺒ ﺪﻗرﺒ نﺒ ﻗ ﺮﺗوﺒ نﺒو ﺤﻀ ﺒ ﱵ ﻛرو

Artinya:“Dari Abu Hurairah Ra. Berkata: Sahabatku (Hkalil/Nabi Muhammad saw.) berwasiat kepadaku agar aku berpuasa tiga hari setiap bulan, mengerjakan dua rakaat solat duha dan salat witir sebelum aku tertidur/tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Makna Salat Duha

Salat duha dikerjakan umat islam setidaknya memiliki tiga

makna, yakni:

i. Menumbuhkan sikap optimisme, semangat membaca dan

konsentrasi tinggi untuk menggapai harapan dengan tetap

mengingat kepada Allah.

ii. Salat duha merupakan perwujudan bentuk syukur, mampu

menggugah kesadaran akan perlunya berkonsultasi kepada

Allah dan meminta petunjuk-Nya sebagai bekal bekerja agar

tetap dijalan yang diridhai Allah.

iii. Salat duha merupakan bentuk tawakal kepada Allah sebelum

memulai aktivitas sehari-hari, karena Allah yang mengetahui

apa yang akan terjadi dan yang akan diraih. Manusia hanya

berencana dan berusaha namun Allah yang menentukan.32

C. Internalisasi Nilai-Nilai Islam Dalam Kegiatan Wajib Salat Duha

32

Djoko Hartono, Kekuatan Spiritualitas Para Pemimpin Sukses, Dari Dogma Teologis Hingga Pembuktian Empiris, (Jakarta : LKPI, 2011) Cet. I, 21.

(43)

35

1. Pengertian Internalisai Nilai

Internalisasi nilai adalah proses menjadikan nilai sebagai bagian dari diri

seseorang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses tersebut tercipta dari

pendidikan nilai dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu terciptanya

suasana, lingkungan dan interaksi belajar mengajar yang memungkinkan

terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai.

Internalisasi nilai merupakan teknik dalam pendidikan nilai yang

sasarannya adalah sampai pada pemilikan nilai yang menyatu dalam

kepribadian peserta didik. 33

Dengan begitu, intenalisasi nilai-nilai Islam dalam wajib salat duha di

simpulkan sebagai “usaha sekolah untuk mewujudkan terjadinya proses

internalisasi nilai-nilai islam pada diri siswa sehingga berpengaruh terhadap

tingkah laku siswa”.

2. Tujuan Internalisasi Nilai

Sebelumnya akan di kemukakan terlebih dahulu tujuan pendidikan

nilai-nilai ketuhanan, karena internalisasi nilai-nilai-nilai-nilai Islam terkait erat dengan

pendidikan nilai-nilai agama, bahkan pendidikan agama pada hakikatnya

merupakan pendidikan nilai.34

Tujuan pendidikan nilai-nilai ketuhanan adalah supaya siswa dapat

memiliki dan meningkatkan terus-menerus nilai-nilai iman dan takwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa sehingga dengan pemilikan dan peningkatan

nilai-33

Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet. 4, 14.

34 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 5, 220.

(44)

36

nilai tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang

luhur.35

Sedangkan tujuan internalisasi nilai Islam berupa pemilikan

nilai-nilai Islam yang menyatu dalam kepribadian peserta didik.36

Tujuan internalisasi nilai-nilai Islam dalam wajib salat duha adalah

pemilikan nilai-nilai akhlak Islami yang menyatu dalam kepribadian peserta

didik. Sebagai bangsa yang memiliki landasan yuridis, pancasila sebagai

landasan yuridis pendidikan nilai dalam konteks pendidikan nasional, sila-sila

yang terdapat di dalamnya dengan jelas menempatkan nilai keTuhanan

sebagai bagian penting dengan beradanya dia pada urutan pertama dan

merupakan kriteria kepribadian yang akan di tumbuh kembangkan dalam

pendidikan nilai di dalam pendidikan nasional.37

Tujuan dari internalisasi nilai-nilai Islam tersebut akan sangat dibutuhkan

dalam pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam di

Sekolah.

3. Tahapan Dalam Proses Internalisasi Nilai Dan Upaya-Upaya Yang

Dilakukan

Untuk sampai pada tingkatan menjadinya suatu nilai bagian dari

kepribadian siswa yang tampak dalam tingkah laku, memerlukan proses

dengan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Lawrance Kohlberg

mengembangkan teori yang merupakan validasi dari teori yang

35

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 72.

36

Ibid, 93.

37 Dedi Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Kaya, 2001, 152.

(45)

37

dikembangkan oleh Dewey dan Jhon Piaget. Tahap-tahap tersebut dijelaskan

sebagai berikut:38

a. Proconventional level, yang terdiri dari:

1) Punishment-obidience orientation, yang terdapat pada anak-anak kecil

dimana perbuatan-perbuatannya masih sangat tergantung kepada

hukuman dan pujian yang diberikan oleh orang tuanya.

2) The instrumental-relativist orientation, sifat hukuman dan ganjaran

disini tidak lagi bersifat fisik tetapi sudah menggunakan pendekatan

nonfisik. Tahap ini terdapat pada anak-anak remaja.

b. Conventional level, yang terdiri dari:

1) The interpersonal concordance orientation, dimana pada tahap remaja

awal mulailah terjadi pembentukan nilai dimana individu mencoba

tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan dari masyarakat.

2) The law and order prientation. Tahap ini dimiliki oleh orang dewasa

muda, pada tahap ini orang berbuat dengan mempertimbangkan

kepentingan orang banyak agar masyarakat tidak terganggu

ketentramannya.

3) Principle level, tahap ini terjadi pada orang dewasa yang terjadi dari

dua tingkatan yakni:

I. The social contract legalistic orientation, pada tahap ini orang

bertindak dengan mempetimbangkan bahwa ia mempunyai

38

Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. 5, 107.

(46)

38

kewajibankewajiban tertentu kepada masyarakat dan

masyarakatpun mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu

kepadanya. Orientasi disini sudah lebih luas dari pada

tahap-tahap sebelumnya. Akan tetapi masih terikat dengan kondisi

masyarakat tertentu dimana ia hidup.

II. Tahap tertinggi adalah tahap The universal ethical principle

orientation, pada tahap ini individu sudah menemukan

nlai-nilai yang dianggapnya berlaku (univesal) dan nilai-nilai itu

dijadikan prinsip yang mempengaruhi sikap individunya.

Teori dari L. Kohlberg ini didasarkan pada tahap-tahap perkembangan

usia anak, sehingga teori tersebut akan sangat membantu dalam menentukan

strategi internalisasi nilai-nilai Islam terhadap tingkah laku siswa untuk usia

tertentu. Penentuan strategi hanya berdasarkan pada segi usia saja belum cukup,

tetapi diperlukan pula dasar pada bagaimana dan dari arah mana nilai itu

terbentuk.

Di bawah ini akan penulis kemukakan tahap-tahap internalisasi nilai dilihat dari

mana dan bagaimana nilai menjadi bagian dari pribadi seseorang.

Secara taksonomi, tahap-tahap tersebut sebagai berikut:39

a) Tahap receiving (menyimak). Yaitu tahap mulai terbuka menerima

rangsangan, yang meliputi penyadaran, hasrat menerima pengaruh dan

selektif terhadap pengaruh tersebut. Pada tahap ini nilai belum terbentuk

melainkan masih dalam penerimaan dan pencarian nilai.

39

Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 145-146

(47)

39

b) Tahap responding (menanggapi). Yaitu tahap mulai memberikan tanggapan

terhadap rangsangan afektif yang meliputi: Compliance(manut), secara aktif

memberikan perhatian dan satisfication is respons (puas dalam

menanggapi). Tahap ini seseorang sudah mulai aktif dalam menanggapi

nilai-nilai yang berkembang di luar dan meresponnya.

c) Tahap valuing (memberi nilai). Yaitu tahap mulai memberikan penilaian

atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang meliputi: Tingkatan

percaya terhadap nilai yang diterima, merasa terikat dengan nilai-nilai yang

dipercayai dan memiliki keterikatan batin (comitment) untuk

memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini itu.

d) Tahap mengorganisasikan nilai (organization). Yaitu mengorganisaikan

berbagai nilai yang telah diterima yang meliputi: Menetapkan kedudukan

atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya. Misalnya keadilan sosial

dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawartan/perwakilan. Dan mengorganisasikan system nilai dalam

dirinya yakni cara hidup dan tata perilaku sudah didasarkan atas nilai-nilai

yang diyakini.

e) Penyatu ragaan nilai-nilai dalam suatu sistem nilai yang konsisten. Meliputi:

Generalisasi nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang

masalah-masalah yang dihadapi, dan tahap karakterisasi, yakni

(48)

40

Tahap-tahap internalisasi nilai dari Krathwhol tersebut menjadi tiga tahap

yaitu:40

1) Tahap pengenalan dan pemahaman

2) Tahap penerimaan

3) Tahap pengintegrasian

Terdapat upaya-upaya yang harus dilakukan dalam setiap tahap tersebut,

sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

a. Tahap pengenalan dan penerimaan.

Yaitu tahap pada saat seseorang mulai tertarik memahami dan

menghargai pentingnya suatu nilai bagi dirinya. Pada saat ini proses belajar yang

ditempuh pada hakekatnya masih bersifat kognitif. Pelajar akan belajar dengan

nilai yang akan ditanamkan melalui belajar kognitif.

Tahap ini disebut dengan tahap transformasi nilai dimana pada saat

pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik dan buruk kepada peserta

didik, yang sifatnya semata-mata sebagai komunikasi teoritik dengan

menggunakan bahasa verbal. Pada saat ini peserta didik belum bisa melakukan

analisis terhadap informasi untuk dikaitkan dengan kenyataan empirik yang ada

dalam masyarakat.41

Pada tahap pengenalan dan pemahaman ini diantara dari metode-metode

yang digunakan adalah:

40

Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 150.

41 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 93.

(49)

41

a) Ceramah. Metode ini pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik dan

buruk kepada peserta didik.

b) Penugasan. Siswa diberi tugas untuk menuliskan kembali pengetahuannya

tentang sesuatu nilai yang sedang dibahas dengan bahasa mereka sendiri.

Selain itu dapat pula siswa diberi tugas untuk menelaah berbagai peristiwa

yang mengandung nilai yang sejajar atau bahkan kontradiktif.

c) Diskusi. Curah pendapat dan tukar pendapat dalam diskusi terbuka yang

terpimpin dan diikuti oleh seluruh kelas , baik melalui kelompok besar

maupun kecil untuk mempertajam pemahaman tentang arti suatu nilai.

Hanya memahami dan menghargai pentingnya suatu nilai belum berarti

bahwa nilai itu telah diterima dan dijadikan kerangka acuan dalam perbuatan,

cita-cita dan pandangannya. Untuk itu proses pendidikan perlu memasuki tahap

berikutnya yaitu penerimaan.

b. Tahap Penerimaan

Yaitu tahap pada saat seseorang pelajar mulai meyakini kebenaran suatu

nilai dan menjadikannya sebagi acuan dalam tindakan dan perbuatannya.

Suatu nilai diterima oleh seseorang karena nilai itu sesuai dengan kepentingan

dan kebutuhannya, dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan dengan

lingkungannya. Agar suatu nilai dapat diterima diperlukan suatu pendekatan

belajar yang merupakan suatu proses sosial.

Pelajar merasakan diri dalam konteks hubungannya dengan

lingkungannya bukan suatu proses belajar yang menempatkan pelajar dengan

(50)

42

yang menempatkan pelajar sebagai salah satu aktornya memang sukar

dikembangkan dalam situasi pendidikan disekolah. Tanpa diciptakannya suatu

suasana dan lingkungan belajar yang memungkinkan soaialisasi, sukar bagi

kaum pendidik untuk mengharapkan terwujudnya suatu nilai atau suatu gugus

nilai dalam diri pelajar.

c. Tahap Pengintegrasian

Yaitu tahap pada saat seorang pelajar memasukkan suatu nilai dalam

keseluruhan suatu sistem nilai yang dianutnya. Tahap ini seorang pelajar telah

dewasa dengan memiliki kepribadian yang utuh, sikap konsisten dalam

pendirian dan sikap pantang menyerah dalam membela suatu nilai. Nilai yang

diterimanya telah menjadi bagian dari kata hati dan kepribadiannya.

Dengan diwajibkannya salat duha, mengenai pembiasaan ini, dalam

bukunya Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi dan telah diterjemahkan

oleh H.M. Arifin, Imam al-Ghozali berpendapat:

Maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati maka caranya adalah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermakan hartanya. Maka jiwa tersebut akan selalu berbuat baik dan ia terus menerus melakukan mujahadah (menekuni) dalam perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak. Disamping itu ia ringan melakukan perbuatan baik yang ahirnya menjadi orang yang dermawan. Demikian juga orang yang ingin menjadikan dirinya berjiwa tawadhu` (rendah hati) kepada orang-orang yang lebih tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap tawadhu` terus menerus, dan jiwanya menekuninya sehingga mudah berbuat sesuai dengan watak dan wataknya itu. Semua akhlak terpuji dibentuk melalui cara-cara ini yang ahirnya perilaku yang diperbuatnya benar-benar dirasakan kenikmatannya.42

42

Ali Al-Jumbulati, dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Cet.1, 157.

(51)

43

Pembiasaan merupakan proses pendidikan43. Aspek ini sering dilupakan

oleh para pendidik, pendidikan yang instan berarti meniadakan pembiasaan.

Tradisi dan bahkan juga karakter (perilaku) dapat diciptakan melalui latihan dan

pembiasaan yang di upayakan praktiknya secara terus menerus. Kebersihan

merupakan praktik yang memerlukan pembiasaan meskipun pada awalnya harus

dipaksakan. Membaca al Quran, shalat jamaah juga perlu pembiasaan, tidak

cukup hanya dengan hafal dalil (ayat atau hadits) mengenai shalat jamaah

tersebut.

John Dewey menyatakan “Pendidikan moral itu terbentuk dari proses

pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara

terus-menerus”.44

Implementasi nilai-nilai islam haruslah dibiasakan, tidak cukup

menghafal rangkaian pasal atau ungkapan mengenai nilai-nilai tersebut. Dalam

pembiasaan ini bukan hanya bagaimana siswa dibiasakan dengan melakukan

salat duha, tetapi juga bagaimana siswa dibiasakan dengan keadaan lingkungan

yang sesuai dengan nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan. Misalnya, selain

siswa diberi kegiatan wajib dengan salat duha setiap harinya, di tempat-tempat

tertentu seperti ruangan kelas dipasang tulisan-tulisan yang mengandung

pesan-pesan nilai-nilai Islam, seperti kaligrafi, gambar-gambar tokoh Islam dan

lain-lain.

43

A.Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika sosial Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai Dan Bermanfaat, Semarang: Aneka Ilmu, 2002, 146

44 Ali Al-Jumbulati,dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, 157.

(52)

44

Norma berupa aturan atau patokan (baik tertulis atau tidak tertulis)

sebagai wahana mewujudkan nilai dan berfungsi penghantar untuk dapat

menyadari dan menghayati nilai-nilai.45 Aturan-aturan yang diciptakan dapat

bermanfaat untuk internalisasi nilai-nilai akhlak Islam karena aturan-aturan yang

berjalan dengan baik akan tercipta pembiasaan, berkat pembiasaan ini akan

menjadi habit bagi yang melakukannya kemudian akan menjadi ketagihan, dan

pada waktunya menjadi tradisi yang sulit untuk ditinggalkan, akhirnya para ahli

pendidikan berpendapat bahwa pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang

memiliki keteraturan.46

45

YB. Adimassana, “Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal”, dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih, (eds), Pendidikan Nilai Memasuki Milenium Ketiga,(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 73.

46

A.Qodri Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika sosial Mendidik Anak Sukses Masa Depan

Pandai Dan Bermanfaat, Semarang: Aneka Ilmu, 2002, 147.

Gambar

gambar. Selain itu semua data yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci

Referensi

Dokumen terkait

Mahkamah Madzalim memiliki wewenang memeriksa setiap tidak kedzaliman, baik yang berhubungan dengan orang-orang tertentu dalam aparat pemerintahan maupun yang

Efek radiasi alfa yang dipancarkan aktinida memungkinkan terj!ldinya reaksi inti, karena partikel alfa dan partikel recoil alfa mempunyai energi yang cukup untuk

To find out the sources of grammatical errors in speaking made by sixth semester Non-regular class students of English Department FKIP University of Mataram in academic year

Dalam konteks lain, desentralisasi politik yang teraktualisasi melalui Pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung hendaknya terus didampingi guna meredam terjadinya polarisasi

Berdasarkan hasil dan temuan penelitian yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menulis artikel ilmiah dapat ditingkatkan

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan untuk membuat sebuah sistem bimbingan skripsi antara lain adalah analisa dan sistem bimbingan tugas akhir berbasis web

(2)Internalisasi nilai-nilai akhlak Islam terhadap tingkah laku siswa kelas III di MAN Kendal dalam rangka muwujudkan output yang memiliki akhlakul mahmudah, beriman, berilmu

Penentuan orde reaksi dilakukan dengan memplotkan masing- masing nilai rata-rata uji tekstur dan uji organoleptik parameter aroma, warna dan rasa selama penyimpanan sebagai sumbu