• Tidak ada hasil yang ditemukan

naskah puisi dan ketentuan lomba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "naskah puisi dan ketentuan lomba"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULIR

“PIALA GANDEWA ke- III”

LOMBA BACA PUISI KATEGORI PELAJAR DAN UMUM TINGKAT NASIONAL

UNIVERSITAS PEKALONGAN

BERSAMA BALAI BAHASA JAWA TENGAH 2013

Isi DenganHurufKapital

NamaLengkap :

Tempat/TglLahir :

Jenis Kelamin :

Asal :

No. Telp/Hp :

Alamat : Peserta,

(………...)

(2)

KETENTUAN LOMBA:

“PIALA GANDEWA ke- III”

LOMBA BACA PUISI KATEGORI PELAJAR DAN UMUM TINGKAT NASIONAL

UNIVERSITAS PEKALONGAN

BERSAMA BALAI BAHASA JAWA TENGAH 2013

 Teknis:

1. Puisi terlampir.

2. Peserta membacakan 1 buah puisi di babak penyisihan dan 1 buah puisi di babak final. 3. Penilaian : Vokal, Penampilan, Penjiwaan.

4. Aspek vokal meliputi ketahanan, ketepatan ejaan, intonasi, dan pelafalan dsb.

5. Penampilan meliputi bloking, teknik muncul, pencitraan, gestrure (bahasa tubuh), dsb. 6. Aspek penjiwaan meliputi ketersampaan pesan, pemaknaan, kontak mata, pemenggalan,

greget, dsb.

7. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

8. Tidak diperkenankan menggunakan alat pengiring.

9. Bagi pelajar hanya diperkenankan mengajak satu guru pendamping pada saat lomba. 10.Uang pendaftaran sebesar Rp. 50.000,- untuk kategori pelajar, dan 60.000,- untuk

kategori umum.

Bagi calon peserta di wilayah Pekalongan dan sekitarnya, uang pendaftaran wajib diserahakan langsung pada saat mendaftar.

Bagi calon peserta diluar wilayah Pekalongan dan sekitarya, uang pendaftaran dapat diserahkan pada saat hari pelaksanaan lomba namun dengan terlebih dahulu mengkonfirmasi pendafaran ke panitia. Tanpa konfirmasi terlebih dahulu pendaftar dari luar kota tidak akan terigisterasi.

11.Setiap peserta dan guru pendamping (satu orang, bila ada) mendapat sertifikat. 12.Kategori juara

Kategori Pelajar (SMP dan SMA) Juara I, II, III dan favorit Kategori Umum Juara I, II, III dan Juara Favorit

Hadiah: Sertifikat, Piala Gandewa, dan Uang pembinaan total hingga jutaan rupiah. 13.Pelaksanaan lomba Senin 15 April 2013 pukul 07.00 WIB sampai selesai di Panggung

Padang Bulan, Gedung D UNIKAL. Stan pendaftaran Gedung C lantai 1:

Kampus terpadu Unikal Jl. Sriwijaya No.3 Pekalongan

14.Pendaftaran dilayani mulai tanggal 18 Maret -2April melalui Komunitas Gandewa kecuali hari libur.

15.Pendaftaran dilayani mulai dibuka pukul 10.00-14.00 WIB

16.Peserta wajib daftar ulang (konfirmasi ulang setidaknya melalui telepon) pada tanggal 8 April 2013 melalui CP panitia pendaftaran.

17.Pendaftaran otomatis akan ditutup apabila peserta telah mencapai batas yang sudah ditentukan, yakni 100 peserta untuk keseluruhan kategori.

18.Naskah puisi yang dilombakan bisa didapatkan saat pendaftaran atau di unduh melalui gandewapbsiunikal.blogspot.com / fb: Gandewa Unikal atau email gandewa_unikal@yahoo.co.id

Melaui situs tersebut juga dapat di cek, nama-nama yang telah mendaftar lomba. 19.Untuk transportasi dan akomodasi seperti penginapan dan tempat transit tidak disediakan

oleh panitia.

(3)

 Peserta: Peserta dibagi menjadi dua kategori yakni, 1. Kategori Pelajar (SMP/sederajat dan SMA/sederajat)

Hanya boleh mengirimkan maksimal dua peserta dari satu sekolah yang sama.

2. Kategori Umum.

Peserta kategori Umum adalah mahasiswa dan masyarakat umum.

 Juri : Lomba akan dinilai oleh tiga juri berkompeten. Juri lomba baca puisi akan diketuai oleh orang yang punya pengalaman baca puisi, seni, dan sastra dari tingkat regional sampai nasional. Identitas ketiga juri dirahasiakan demi menjaga objektifitas lomba.

CP: Pendaftaran: Fendi Fatioharjo (085642891838) Heru Purnomo (085641149190)

Nur Fikri (085742484416)

(4)

PUISI PILIHAN

“PIALA GANDEWA ke

-

III”

LOMBA BACA PUISI KATEGORI PELAJAR DAN UMUM

TINGKAT NASIONAL

UNIVERSITAS PEKALONGAN

(5)

API

Puisi Kuntowijoyo

Yang tak pernah memetik api

Terkutuk untuk tinggal di bukit kapur Menunggu sumur tua

Yang mata airnya

Mendengarkan kesiur angina kering Yang menotok telinga

Sebab hidup selalu sebaiknya. Mereka yang tak Sernah menempa api

Tak mengerti sejuk air

Bahkan ketika mengosongkan gelas Sesudah tamu terakhir melangkah pintu

Api sebagai sukma Ia mengembara

Dan jatuh kasihan hanya pada leleki Yang kasar tangannya

Dan sanggup menggenggam bara Ketika api sedang bercinta

Karena api suka pada laki-laki

Maka ia nyalakan matanya. Sebab hidup selalu Sebaliknya: mata lelaki juga mata menjangan Juga mata singa

(6)

ASMARADANA Goenawan Mohammad

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,

karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah

pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,

yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,

Nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya

disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok

Pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,

karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.

Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,

(7)

PAMAN DOBLANG W.S Rendra

Paman Doblang! Paman Doblang!

Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap. Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap. Ada hawa. Tak ada angkasa.

Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata. Terkunci. Tak tahu di mana berada.

Paman Doblang! Paman Doblang! Apa katamu?

Ketika haus aku minum dari kaleng karatan. Sambil bersila aku mengharungi waktu lepas dari jam, hari dan bulan

Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk tidak berupa, tidak bernama.

Aku istirah di sini.

Tenaga ghaib memupuk jiwaku. Paman Doblang! Paman Doblang!

Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala. Kamu terkurung dalam lingkaran.

Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana. Kaki kamu dirantai ke batang karang.

Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan.

Paman Doblang! Paman Doblang! Bubur di piring timah

didorong dengan kaki ke depanmu Paman Doblang, apa katamu? Kesedaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi.

Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan

adalah perlaksanaan kata-kata.

Puisi Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya karya Taufiq Ismail

“Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan dalam panas bukan main Terbakar mukanya diatas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga

memang sudah rejeki mereka

Mereka berteriak kegirangan dan berebutan Seperti anak-anak kecil

Dan memyoraki saja. Betul bu, menyoraki saja

(8)

Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saja

„Hidup rakyat!‟ teriaknya

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

„Hidup pak rambutan!‟ sorak mereka „Terima kasih pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?‟

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara

„Doakan perjuangan kami, pak!‟

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima-kasihnya

„Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!‟

Saya tersedu, bu. Belum pernah seumur hidup Orang berterimakasih begitu jujurnya

(9)

DI NEGERI AMPLOP Karya Gus Mus

Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya “malu”

Samson tersipu –sipu, rambut keramatnya dituupi topi “rapi –rapi”

david coverfil dan rudini bersembunyi “rendah diri”

entah, andai Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya amplop – amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur Hal – hal yang tak teratur menjadi teratur

Hal – hal yang teratur menjadi tak teratur Memutuskan putusan yang tak putus Membatalkan putusan yang sudah putus Amplop – amplop menguasai penguasa dan mengendalikan orang – orang biasa

amplop – amplop membeberkan dan menyembunyikan

mencairkan dan membekukan mengganjal dan melicinkan Orang bicara bisa bisu Orang mendengar bisa tuli Orang alim bisa nafsu Orang sakti bisa mati

(10)

AROMA MAUT Hamid Jabbar

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku: Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana. Angin masih berhembus, topannya entah ke mana. Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana? Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali hilir-mudik di suatu titik

tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku: Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain. Topan lain datang begitu lain. Gelap lain datang begitu lain.

(11)

AIR SELOKAN Oleh :Sapardi Djoko Damono

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung

-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.

Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:

"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"

Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

(12)

PERHITUNGAN Karya Sitor Situmorang

Buat Rivai Apin

Sudah lama tidak ada puncak dan lembah Masa lempang-diam menyerah

dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian

Aku belum juga rela berkemas

Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan dada?

Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong

Keyakinan dulu manusia bisa hidup dan dicintai habis-habisan

Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali kuburan sendiri

Rebutlah dunia sendiri

dan pisahkan segala yamg melekat lemah

Kita akan membubung ke langit menjadi bintang jernih sonder debu

Detik kata jadikan abad-abad

Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang Sesudah itu malam, biarlah malam

Bila hidup menolak

Ia kita tinggalkan seperti anak yang terpaksa puas dengan boneka Mereka akan menari dan menyanyi terus Tapi tak ada lagi kita

Sedang mereka rindu pada cinta garang Mereka akan menari dan menyanyi terus

Referensi

Dokumen terkait