BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi masalah
Masalah merupakan ketidaksesuaian yang signifikan antara harapan dan kondisi nyata, atau dengan kata lain, Sebuah situasi tak terduga yang tidak sejalan dengan tata nilai yang dianut sekelompuk orang
yang menyetujui bahwa perlu adanya tindakan untuk mengatasi situasi tersebut (Mooney, 1950). Setiap individu yang hidup di dunia pastilah memilikimasalahtak terkecuali siapapun. Masalah datang ketika individu
berada dalam suatu proses untuk mencapai suatu tujuan atau cita–cita. Masalah merupakan bagian penting dari sebuah roda kehidupan. Pada
dasarnya individu adalah mahkluk yang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan adanya suatu masalah. Jika tak ada masalah, maka sulit rasanya untuk menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya.
Tanpa adanya masalah akan kehilangan arti dari sebuah kehidupan, betapa hambar serta tak menariknya dunia ini.
Jadi sebenarnya masalah ada di dunia ini adalah memiliki tujuan fungsi tersendiri untuk kehidupan manusia, yaitu untuk menjaga kehidupan agar tetap aktif dan berpikir kreatif agar dapat melangkah maju
kejadian ataupun peristiwa jika disikapi dengan cara yang berbeda maka
akan menghasilkan respons atau tindakan yang berbeda dan dengan adanya respons atau tindakan yang berbeda maka akan mendapatkan hasil
yang berbeda pula. Sebuah ketidaksesuaian antara tata nilai yang ada di masyarakat dengan kondisi nyata dilapangan tidak selalu membutuhkan tindakan. Masalah selalu ada hubungannya dengan ketidakpuasan
mengenai situasi tertentu namun, kepuasan adalah konsep relatif, jadi masalah juga bersifat relatif, Sebuah masalah besar untuk satu individu
mungkin tidak menjadi masalah sama sekali bagi individu lain.
Problematika yang sering dihadapi siswa ketika belajar di sekolah sangatlah banyak karena belajar di sekolah memakan waktu yang tidak
sebentar, yang sering kali mendatangkan rasa jenuh dan malas belajar, belum lagi tuntunan kemandirian yang lain yang akan membawa pengaruh
terhadap kehidupan psikis. Efektifitas belajar di sekolah sangat bergantung pada bagaimana siswa mengelola waktu tersebut. dengan keterbatasan waktu tersebut siswa dituntut untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Kurangnya minat pada matapelajaran atau guru tertentu dapat menjadi penghambat siswa dalam belajar di sekolah. Kekurangan uang atau biaya
sekolah juga akan menjadi problematika selama belajar di sekolah. kekurangan uang akan menghambat siswa dalam belajar karena tugas-tugas dan masalah yang berhubungan dengan finansial. Keberhasilan
mengalami hambatan dalam belajar. Tetapi jika mahasiswa berada dalam
pergaulan yang tidak kondusif, maka akan mengalami hambatan dalam belajar. Tidak sedikit siswa yang mengalami drop out karena pengaruh
lingkungan pergaulan.
Problematik yang paling krusial yang paling banyak dialami oleh siswa adalah masalah cinta. Jatuh cinta, pacaran, patah hati, dijodohkan
oleh orangtua adalah masalah klasik, yang hampir semua orang mengalaminya, termasuk siswa. Namun dalam kenyataanya banyak pula
siswa yang mengalami hambatan belajar di sekolah hanya karena cinta. Masalah merupakan ketidaksesuaian yang signifikan antara harapan dan kondisi nyata, atau dengan kata lain, Sebuah situasi tak terduga yang tidak
sejalan dengan tata nilai yang dianut sekelompuk orang yang menyetujui bahwa perlu adanya tindakan untuk mengatasi situasi tersebut (Mooney,
1950).
2.2 Masalah-masalah Siswa
Pembahasan mengenai masalah yang dialami oleh siswa dimulai
dengan pemahaman mengenai kondisi psikologis individu secara umum. Melalui tinjauan psikologi akan dibahas latar belakang kemunculan
masalah, perubahan-perubahan yang individu alami serta implikasinya terhadap berbagai prilaku yang muncul. Siswa berada pada kelompok usia remaja, Suatu fase yang dianggap penuh berbagai masalah dan tekanan.
banyaknya tuntutan yang siswa dapatkan menyebabkan kemunculan
beragam masalah. Kondisi ini penting untuk difahami oleh guru untuk menyikapi berbagai persoalan yang dialami oleh peserta didik.Pemahaman
yang baik akan memberikan dasar bagi penanganan (intervensi) yang akan dilakukan agar dapat membantu siswa untuk dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya sehingga proses pembelajaran yang sedang
berlangsung mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan.
Individu yang baru menamatkan pendidikannya di sekolah
menengah tingkat pertama akan menemui masalah baru pada saat memasuki sekolah menengah atas. Adanya perbedaan cara belajar di sekolah menengah tingkat pertama dengan cara studi di sekolah menengah
atas, selain itu perkembangan fisik, perkembangan pemikiran dan perkembangan wawasan menjadikan masalah yang dialami setiap
golongan usia menjadi berbeda pula. Sebab lain berkaitan dengan
kedudukan siswa secara pribadi, sebagai anggota masyarakat akademik, dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas. Masalah yang dihadapi siswa sangat beragam dan kompleks, dari hal yang kecil hingga yang
sangat besar seperti misalnya siswa mengalami kesulitan melunasi uang sekolah tepat pada waktunya, keuangan keluarga terlalu sedikit, uang saku
siswa tidak mencukupi, keadaan tubuh kurang menarik, dan masih berbagai permasalahan yang menuntut penyesuaian dari siswa itu sendiri. Masalah-masalah tersebut terbagi dua yakni masalah akademik dan
misalnya: kurang menguasai cara belajar mandiri, kurang mampu
mengatur waktu dengan baik, motivasi belajar kurang jelas, ragu terhadap bidang studi yang diambil, hubungan dengan guru renggang atau jauh.
Sedangkan kesulitan di bidang non akademik antara lain: kesulitan menanggung biaya pendidikan, kurang dapat bergaul dengan teman, masalah asmara, konflik dengan keluarga dekat, kehilangan tujuan hidup,
mudah panik dan hal-hal lain yang dianggap menjadi masalah. (Mahmud, 2002).
Setiap individu tidak terkecuali siswa mempunyai permasalahan dalam dirinya. Entah itu masalah pribadi, masalah dengan keluarga, teman sebaya, akademik ataupun masalah lainnya. Pandangan siswa atas
permasalahan-permasalahan yang lazim ditemukan dalam kehidupan siswa, apakah antara laki-laki dan perempuan mempunyai pandangan
yang sama tentang seriusnya masalah atau tidak. Masalah adalah suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatu yang diharapkan
dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal. Setiap siswa di dunia pastilah memiliki masalahnya masing – masing, entah itu
besar ataupun kecil, tak terkecuali siapapun. Masalah yang dialami individu tidak selalu bersifat negatif, jika kita amati dan telaah lebih dalam lagi, setiap masalah, datang ketika kita berada dalam suatu proses untuk
manusia, yaitu untuk menjaga kehidupan agar tetap aktif dan berpikir
kreatif agar dapat melangkah maju menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hanya tergantung bagaimana manusia tersebut menyikapi
setiap masalah yang datang. Setiap kejadian ataupun peristiwa jika disikapi dengan cara yang berbeda maka akan menghasilkan respon atau tindakan yang berbeda dan dengan adanya respon atau tindakan yang
berbeda maka akan menghasilkan hasil yang berbeda pula (Hadi, 2006).
2.3 Masyarakat Etnis Jawa (Jawa Tengah)
2.3.1 Asal-usul
Suku Jawa terkenal sebagai suku yang paling banyak jumlahnya, penduduk pulau Jawa cukup padat, sebagian besar tinggal didaerah
pegunungan dan desa-desa, terbukti dari data sensus penduduk tahun 2010 Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 32,382,657 jiwa terdiri
atas 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Dari jumlah penduduk ini, 47% di antaranya merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah disektor pertanian (42,34%), diikuti
denganperdagangan(20,91%),industri(15,71%), danjasa(10,98%). Dari hasil sensus menujukan bahwa masyarakat Jawa merupakan kelompok
mayoritas di Indonesia (BPS, 2010).
tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak
orang Jawa yang ingin menjaga harmonisasi atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah orang Jawa cenderung untuk diam dan
tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat. Namun, tidak semua orang Jawa memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang, ada juga orang Jawa yang memiliki watak lugas, terbuka, terus terang, apa
adanya, dan tidak suka basa-basi. Orang Jawa Tengah sering dilihat sebagai orang yang halus perasaannya, sopan santun dan lemah lembut
dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Kelemah-lembutan dan kehalusan itu juga tercermin dalam kesenian seperti seni karawitan, tutur kata dan bahasa, serta peri laku. Oleh karena itu, peri laku yang lemah
lembut sering kali bahkan lebih dipentingkan dari ungkapan dalam bahasanya. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan orang Jawa menjadi
lebih pendiam, tetapi ramah, dan penuh senyum (dalam Loekmono, 1982).
Budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu “huddhayah” yang merupakan bentuk dari “buddhi” (budi atau akal).
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kebudayaan itu tidak terbatas pada budaya “tinggi” seperti kesenian
atau kehidupan dikeraton, tetapi meliputi adat istiadat dan kebiasaan yang hidup dimasyarakat, dan tidak hanya yang hidup semata, tetapi peninggalan-peninggalan sejarah dan kebudayaan masa lalu seperti candi,
sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kaum santri, abangan dan
priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat. Kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut
Kejawen, bahwa dunia sebagai penuh dengan roh-roh atau bangsa halus, tradisi abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual tentang roh dan seperangkat praktek penyembuhan ilmu tenung dan ilmu gaib,
diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan Jawa. Sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan turun temurun (Suseno, 1983).
Kebudayaan Jawa dan pengaruh islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, dan daerah-daerah Jawa pedalaman sering juga disebut “Kejawen”. Mungkin agama
Jawa sebagai satu sistem agama tersendiri. Orang Jawa kadang-kadang dikatakan memuja nenek moyang mereka, akan tetapi selain kata-kata
samar yang ditujukan kepada “nenek moyang” pada umumnya, atau kepada leluhurnya seperti “kakek dan nenek” dalam jampi-jampian dan slametan, pembakaran kemenyan untuk memuja nenek moyang pada
malam jumat oleh beberapa orang, dan sesekali orang menghias kuburan anggota-anggota keluarga, tidak ada bukti tentang adanya kultus nenek
moyang dari macam apapun. Pemujaan nenek moyang ‘Jawa’, setidak-tidaknya dizaman sekarang, pada pokoknya hanya berupa ungkapan salah dari rasa hormat kepada yang sudah meninggal dunia ditambah dengan
atau bunga kepada mereka apabila mereka muncul dalam mimpi (Geertz,
1960).
2.3.2 Mata Pencarian Hidup
Di Indonesia, orang Jawa dahulu memiliki asumsi bahwa banyak anak banyak pula rizki, karena nantinya anak-anak mereka akan banyak membantu bekerja, dan anak adalah jaminan hidup bagi orang tua di Jawa.
Orang Jawa biasa ditemukan dalam semua bidang, khususnya dalam pelayanan umum dan tentara. Secara tradisi, kebanyakan orang Jawa
adalah petani. Ini adalah di sebabkan oleh tanah gunung berapi yang subur di Jawa walaupun terdapat juga banyak usahawan Indonesia yang berjaya yang berasal daripada suku Jawa, orang Jawa tidak begitu menonjol dalam
bidang perniagaan dan perindustrian. Sebagian penduduk mempunyai mata pencaharian bertani, berladang dan berkebun. Didaerah pertanian:
sawah ladang merupakan mata pencaharian pokok, didaerah pegunungan: perkebunan dan perladangan, didaerah landai: perkarangan, persawahan, didaerah pusat perkotaan: perdagangan, kerajinan tangan, pegawai dan
buruh, sedangkan didaerah pantai: perniagaan, perdagangan, nelayan dan perikanan (dalam Loekmono, 1982).
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agamaIslam,
tetapi ada juga yang menganut agamaProtestan dan Katolik, mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga
ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen seperti yang telah diungkapkan oleh Geertz (1960), kepercayaan ini terutama berdasarkan
kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua
budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur, Persamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang
melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti :
keris, gamelan, dan lain-lain. Orang Jawa juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin yang menempati alam sekitar tempat
tinggal mereka. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan.
Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian ( Geertz, 1960).
Pada umumnya masyarakat suku jawa lebih banyak memakai
bahasa khasnya sendiri untuk berbicara, namun tidak sedikit pula yang memakai bahasa Nasional sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa jawa dibagi
menjadi beberapa tingkatan pemakaian atara lain:
a. Bahasa ngoko yaitu bahasa yang dipakai untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab atau lebih muda.
b. Bahasa kromo yaitu bahasa yang keseharianya dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau tingkat sosialnya lebih
tinggi.
c. Bahasa madya yaitu bahasa yang memakai variasi antara ngoko dan kromo.
Bahasa pergaulan dalam bahasa Jawa bermacam-macam tingkatanya, ngoko pada pokoknya merupakan bahasa yang biasa, agak kasar,
sedangkan kromo lebih halus dan biasanya untuk menghargai atau menghormati. Bahasa yang dipakai oleh seseorang menuntut sikap dan perilaku tersendiri bagi pemakai bahasa itu dan orang yang diajak
berbicara. Di bidang pergaulan diantara warga masyarakat, dikenal pula suatu pergaulan yang sifatnya semacam kritik sosial yakni dalam bentuk
rasanan atau ngrasani (membicarakan orang lain saat orang yang dibicarakan tidak berada disitu). Rasanan ini dilakukan disemua tingkat usia, sering kali hal ini menjadi semacam kontrol sosial dan kritik sosial.
Kehidupan suami-istri dijawa menganut sistim bilateral alur keturunan
diambil dari kedua belah pihak, meskipun demikian dalam prakteknya kehidupan suami-istri diJawa lebih condong kearah patrilinear (alur
laki-laki), hal itu nampak dalam sistem pembagian warisan ”sepikul segendong” dalam pewarisan biasanya anak laki-laki mendapat 2/3 sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Oleh karena itu
tanggung jawab keluarga ada ditangan laki-laki, maka tanggung jawab pekerjaan pun biasanya pada kaum laki-laki hal itu dikemukakan dalam
pepatah ”swargo nunut, neroko katut” istri itu hanya ikut yang menentukan adalah suami (dalm Loekmono, 1982).
2.4 Sikap Orang Jawa Terhadap Masalah
Dalam budaya jawa ada istilah Isin dapat diterjemahkan sebagai malu, enggan, canggung. Rasa malu atau isin sudah dikembangkan sejak
kecil, anak diajar untuk bersikap malu kepada tetangganya atau kepada masyarakat lainnya, kalau ada suatu kekeliruan yang patut ditegur. Sehingga anak yang seringkali ditegur kalau berbuat salah dihadapan
orang lain individu akan langsung menunjukkan sikap malu-malu. Sikap
isinatau malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial, yang terjadi diluar
hubungan keluarga sendiri. Orang Jawa dalam hubungannya dengan individu lain selalu berada dalam keadaan tertekan perasaan isin atau malu.Perasaan wedi dan sungkanpun sebenarnya muncul dalam rangka
kepada orang lain. Anak sejak kecil sudah diajar wedi terhadap orang yang
harus dihormati. Sikap ini biasanya dikaitkan dengan sikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Jika ada sesuatu terjadi padanya, individu
akan merasa wedi dan sekaligus isin kalau-kalau ketahuan salah(Hamengkubuwono X, 2005).
Oleh sebab itu kemungkinan penyebab dari kurang keterbukaannya
orang Jawa terhadap orang lain saat memiliki masalah, beragam reaksi yang ditunjukan masyarakat Jawa dalam menyikapi suatu masalah yang
dialami baik dirinya sendiri, keluarga atau orang yang dianggap kerabat oleh orang Jawa, orang Jawa umumnya memiliki sikap atau pandangan mengenai masalah yang dialami sebagai berikut :
2.4.1 Sedapat mungkin masalah itu dihadapi sendiri, apabila tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri barulah dijadikan
masalah intern keluarganya dan diusahakan sedapat mungkin agar tidak keluar dari lingkungan keluarganya.
2.4.2 Orang Jawa merasa malu bila masalah pribadinya atau masalah
keluarganya sampai didengar oleh orang lain dan keluarga lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa orang Jawa mempunyai
kecenderungan untuk segan meminta tolong atau membuka persoalan bila belum sungguh sungguh terpaksa atau hanya kepada orang yang sangat dipercaya. Keseganan itu mempunyai banyak
dianutnya bahwa orang harus tabah, sabar dan tekun menghadapi
masalah.
2.4.3 Bila orang Jawa tidak sanggup atau tidak mampu mengatasi
masalah dan kecenderungan baginya untuk melarikan diri dari masalah itu, atau menutup-nutupi masalah itu, kemungkinan lain ialah meminta pertolongan pada orang yang sungguh dipercaya,
seseorang yang mampu dan berwibawa, bijaksana, dipandang layak untuk menolong dan bisa menyimpan rahasia, jalan ini merupakan
jalan terakhir dan dilakukan secara terpaksa.
2.5 Sikap Orang Jawa Terhadap Pertolongan dan Penolong
Sikap yang ditunjukan oleh orang Jawa bila mendapatkan
pertolongan dari orang lain, maka ada beberapa sikap yang dapat diambil oleh orang Jawa:
2.5.1 Orang Jawa sangat menghargai pertolongan yang diberikan, terlebih apabila memeng orang itu sendiri yang berkeinginan meminta tolong pada orang tersebut, boleh dikatakan pertolongan
itu ibarat hutang budi dibawa mati, selamanya akan diingat sampai suatu saat dia dapat mengembalikan budi dalam bentuk apa saja.
2.5.2 Apabila pertolongan itu diberikan tanpa diminta bisa menimbulkan praduga, curiga dan bahkan menyinggung harga dirinya, dapat menimbulkan perasaan direndahkan atau dihina, tetapi ada
2.5.3 Sikap terhadap pertolongan serta penolong ditentukan pula oleh
siapa penolong itu, semakin bijaksana dan dihargai penolong itu, semakin terbuka dan bebas ia mengutarakan persoalanya. (patut
dicatat kiranya bahwa orang jawa selalu menilai pertolongan atau calon penolongnya sebagai orang yang cukup tepat).
2.5.4 Ukuran layak atau tidaknya seseorang penolong bagi seseorang
antara lain didasarkan atas derajat, tingkat kepandaian, agama, kebijaksanaan, sudah punya ”nama” atau belum, sudah pernah
menghadapi persoalan serupa atau belum. Agaknya tokoh penolong bagi orang jawa tinggi mendekati tokoh kesatria atau pendeta.
2.6 Pengertian Jenis Kelamin
Istilah Gender yang pertama kali dipahami sebagai perbedaan kelamin, berasal dari bahasa latin genus (bukan gene) yang berarti ras,
turunan, golongan, atau kelas. Meskipun gender merupakan bentukan sosial dan kultural untuk laki-laki dan perempuan, gender itu lebih merupakan istilah dikalangan antropologis. Kamus antropologi
mengatakan bahwa gender adalah: Klasifikasi secara sintaksis yang sering ditemukan dalam bahasa Indo-Eropa dan Semit. Hampir semua bahasa
menunjukan perbedaan antara gender maskulin dan feminin, beberapa bahasa juga memiliki gender netral dan yang lain mempunyai gender
Untuk memahami konsep gender maka harus dapat dibedakan
antara kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelain tertentu. Misalnya, bahwa manusia berjenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat bahwa laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,
memiliki kala menjing dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuik melahirkan,
memproduksi sel telur, memiliki vagina dan memiliki alat untuk menyusui. Hal tersebut secara biologis melekat pada manusia yang berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Artinya bahwa secara biologis
alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah
dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat
(Fakih, 1999).
Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex)
adalah kodrat tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku)
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Jadi,
gender dapat berubah dari tempat ketempat, dari waktu kewaktu, bahkan
dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan tuhan, oleh karena itu
gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan
kata lain, gender adalah pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh ketentuan sosial dan
budaya setempat. Peran-peran sosial yang dikonstruksikan ioleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut
dapat dilakukan oleh keduanya, dalam (Nugroho, 2008).
Perbedaan laki dan perempuan disuku Jawa, kehidupan
laki-laki dan perempuan di Jawa menganut sistem bilateral, alur keturunan diambil dari kedua belah pihak, laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Meskipun demikian dalam prakteknya kehidupan laki-laki dan perempuan
di Jawa lebih condong kearah patrilinear (alur laki-laki). Hal itu nampak dalam sistem pembagian warisan “sepikul segendong”. Dalam pewarisan
biasanya anak laki-laki mendapat 2/3 bagian sedangkan anak perempuan mendapat 1/3 bagian. Dengan demikian kedudukan laki-laki diakui lebih tinggi dan peranan laki-laki lebih diutamakan, tanggung jawab dalam
Dalam masyarakat Etnis Jawa bentuk dari penggolongan gender
lebih terlihat sebagai diskriminasi, antara lain sebagai berikut :
2.6.1. Peminggiran (Marginalisasi). Peminggiran banyak terjadi dalam
bidang ekonomi, misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan, hal ini terjadi
karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja,
masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
2.6.2. Penomorduaan (Subordinasi), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya,
mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.
2.6.3. Citra buruk (Stereotip) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan, misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah
pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.
2.6.4. Kekerasan (Violence), yaitu serangan fisik dan psikis, Perempuan,
pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas, Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan merupakan contoh
2.6.5. Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab
perempuan yang berat dan terus menerus, misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan,
menyusui, juga harus menjaga rumah, disamping itu, kadang individu tersebut juga ikut mencari nafkah, dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab lain yang
telah dibebankan pada perempuan.
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang
biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan
kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan jender. Perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke
private property dan system exchange yang semakin berkembang,
menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.
Kajian-kajian tentang jender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan
khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai keadaan
jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama
dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik
“kesadaran” teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam
masyarakat.
2.7 Kajian yang relevan
Hasil berbagai penelitian pun terungkap berbagai masalah yang dialami oleh siswa. Hasil-hasil penelitian tersebut antara lain;
Anis (2000) Penelitian ini bersifat deskriptip korelasional,
menggambarkan bagaimana masalah-masalah yang dialami oleh siswa kelas XI caturwulan I tahun ajaran 1999 di SMU N Tumpang Malang.
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMU N Tumpang yang berjumlah 80 siswa yang diambil secara acak. Ceklis yang digunakan pun juga memakai ceklis yang disusun oleh Ross L Mooney & Leonard V.
Gordon, Hasilnya menunjukan masalah kesehatan dan perkembangan fisik 52%, masalah keuangan, kondisi kehidupan dan pekerjaan 32%, masalah
aktivitas sosial dan hiburan 42%, masalah hubungan psikologi social 39%, masalah hubungan psikologi pribadi 29%, masalah asmara, seks dan perkawinan 48%, masalah rumah tangga dan keluarga 25%, masalah
masalah bidang pendidikan dan kejuruan dimasa depan 25%, masalah
kurikulum dan prosedur pengajaran 10%.
Intan (2008) meneliti Masalah-masalah yang dihadapi pada siswa laki-laki dan siswa perempuan SMA Negeri di kota Malang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mooney Problem Check List, Hasil analisis data mengenai perbedaan Masalah antara siswa
perempuan dan laki-laki menunjukan koefesiensi F = 2,457 dengan p = 0,118. Nilai rata-rata masalah laki-laki 111,76 dan perempuan 113,77.
Kesimpulan penelitian Intan (2008) menunujukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan Masalah antara siswa perempuan dan laki-laki.
2.8 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, teori–teori dan hasil penelitian yang relevan, maka dapat diajukan hipotesis, sebagai berikut: