Research Brief
Dukungan bagi Ibu-Ibu yang Hidup
dengan HIV?
ABSTRAK
Perempuan yang terinfeksi HIV dan mempunyai anak yang HIV positif menghadapi tantangan besar dalam hidupnya. Sayangnya, kebijakan nasional yang ada tampaknya belum menyentuh kepentingan ibu dengan HIV dan anak yang hidup dengan HIV dan keluarganya secara menyeluruh. Studi ini dimaksudkan untuk menggali kebutuhan-kebutuhan Ibu dan keluarga yang berhubungan dengan kualitas hidup anak. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada 48 pengasuh anak dengan HIV. Selain itu, diskusi kelompok terarah dilakukan untuk menggali pengalaman pengungkapan status dan bantuan pemerintah yang pernah diterima anak atau keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan HIV positif hampir separuhnya memperoleh dukungan yang sangat berarti dari keluarga ibu. Anak-anak mereka dua pertiganya jarang bertemu atau tidak pernah bertemu sama sekali dengan dengan ayahnya. Ibu dan pengasuh anak dengan HIV masih banyak yang belum memperoleh bantuan Jaminan Kesehatan pemerintah. Salah satu hal yang menjadi hambatan dari mereka untuk mengakses jaminan kesehatan adalah ketakutan diperlakukan secara diskriminatif ketika membuka status mereka
KASUS ANAK DENGAN AIDS YANG DILAPORKAN (KEMENKES 2005-SEPT, 2014)
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 2005 2007 2010 2013 2014 15-19 yo 5-14 yo 1-4 yo <1 yo
Anak usia 0-14 terinfeksi dari Ibunya (perinatal) ; usia 15-19 tahun narkoba jarum sun k PENGANTAR
Strategi nasional yang lebih banyak berfokus pada kelompok populasi kunci, menyebabkan KIE juga lebih banyak diarahkan pada kelompok berisiko tersebut. Akibatnya, komunitas yang tidak dianggap berisiko, seperti ibu-ibu rumah tangga, tidak memperoleh paparan informasi yang memadai mengenai HIV dan AIDS. Hal ini diperparah dengan serta kuatnya tabu di masyarakat mengenai seksualitas dan pencegahan kehamilan dan lemahnya posisi perempuan dalam menegosiasikan seks yang aman dengan pasangannya walau diketahui bahwa perilaku seks pasangan berisiko (PPH-Unika Atma Jaya, 2010).
Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah wanita yang terinfeksi terus meningkat – sebagian hamil dan melahirkan anak yang positif HIV. Tahun 2012 dari semua infeksi HIV yang dilaporkan, 38% berasal dari kelompok wanita yang tidak masuk dalam populasi kunci (Kemenskes, 2013). Perempuan yang terinfeksi HIV dan mempunyai anak yang HIV
positif menghadapi tantangan besar dalam hidupnya. Berbagai studi melaporkan bahwa ketika pasangan hidup, dirinya sendiri, dan anak terinfeksi HIV, maka perempuan cenderung lebih memperhatikan kesehataan anak dan pasangan dan mengabaikan kesehatannya sendiri. Perempuan yang hidup dengan HIV juga menghadapi kekhawatiran yang besar terhadap pandangan masyarakat karena mereka takut dianggap sebagai perempuan yang tidak terhormat karena mengidap HIV (O’Leary & Jemmot, 2002; ). Oleh karena itulah, perempuan atau Ibu yang mempunyai anak dengan HIV mengalami beban sosial, ekonomi, dan mental berlipat ganda.
Pada tahun 2009, PPH Unika Atma Jaya didukung oleh Indonesian Partnership Fund melalui KPA Pusat untuk memulai inisiatif baru dalam membantu anak-anak yang telah terinfeksi HIV dan terlantar di berbagai Rumah Sakit karena orangtuanya telah meninggal, atau karena ayah meninggal dan Ibu tidak berdaya membayar ongkos RS atau kedua orangtua meninggal dan keluarga besar enggan mengambil anak yang telah terinfeksi karena takut tertular HIV-AIDS. Lentera Anak Pelangi (LAP) didirikan
untuk memastikan bahwa anak-anak tersebut diasuh kembali oleh Ibu atau keluarga besarnya dan mereka akan dibantu oleh kami dalam hal perawatan kesehatan dan gizi serta dukungan psikososial. Melalui upaya yang tidak mudah akhirnya kami berhasil mengembalikan semua anak yang dirijuk pada LAP ke keluarga mereka. Kerjasama antara LAP dengan keluarga berjalan dengan sangat baik sehingga kami mampu mencegah kesakitan dan kematian anak-anak yang ketika datang kepada LAP sudah dalam keadaan yang sangat memperihatinkan. Menurut catatan LAP sampai dengan 2014, kematian anak yang pada tahun pertama adalah 5 anak dalam setahun, dapat dikurangi menjadi hanya sekitar 2 sampai 3 anak walau jumlah yang dibantu LAP meningkat dua kali lipat.
Walau sudah diterbitkannya Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV dan AIDS, kebijakan yang nasional yang ada tampaknya belum menyentuh kepentingan anak secara menyeluruh dan keluarganya. Kebijakan pemberian ARV gratis telah tersedia tetapi sebagian masih harus memakai dosis dewasa yang disesuaikan. Hal ini menyebabkan masalah underdose dan resistensi obat pada anak. ARV dosis anak belum tersedia di semua kota. Belum semua layanan kesehatan Ibu dan Anak telah mempersiapkan diri untuk memberikan layanan
kesehatan yang dibutuhkan anak dengan HIV, baik fisik maupun mental (WHO, 2012).
Pemerintah melalui Kemensos menyediakan bantuan berupa bantuan tunai untuk berobat dan perawatan (PKSA) dalam jumlah yang sangat terbatas bagi penduduk miskin. Melalui KPA, pemerintah juga menyediakan bantuan gizi dalam jumlah yang sangat terbatas. Dukungan bagi Ibu atau orangtua anak – baik secara ekonomi, kesehatan jasmani maupun mental masih belum ada. Melalui BPJS dan Kartu Sehat memang ada potensi akses terhadap rawatan kesehatan, tetapi masih ditenggarai adanya praktek diskrimintif terhadap orang dengan HIV, terutama karena infeksi HIV dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh perilaku yang berisiko. Selain itu
prakteknya masih berbeda-beda antar rumah sakit antar daerah (lihat Heywood & Budiharsana, 2013).
Tiga tahun setelah kami menjalankan tugas memberikan rawatan berbasis rumah pada anak-anak yang terinfeksi HIV di Jakarta, kami mulai menyadari bahwa tugas keluarga yang merawat anak, apalagi jika Ibu harus merawat sendiri anak mereka, padahal Ibu juga harus memperhatikan kesehatannya sendiri karena ststusnya yang positif. Studi ini dimaksudkan untuk mencari tahu kebutuhan-kebutuhan Ibu dan keluarga yang berhubungan dengan kualitas hidup anak.
Penelitian dilakukan dengan dua metode, yaitu penyebaran kuesioner tehadap 48 pengasuh anak dengan HIV dan di antara mereka terdapat 25 Ibu Kandung. Sisanya adalah kakek, nenek, atau anggota keluarga yang lain. Tiga (3) anak diasuh oleh orngtua angkat. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pengasuh memperoleh dan mengelola sumber daya untuk bertahan hidup dengan anak yang hidup dengan HIV yang diasuhnya. Selain kuesioner, beberapa persoalan, seperti pengungkapan status, bantuan pemerintah, dieksplorasi lagi menggunakan Kelompok Diskusi Terfokus (FGD).
HASIL PENELITIAN
a. Karakteristik responden
40% Ibu mempunyai anak berusia 5 tahun ke bawah, dan sisanya (60%) mempynai anak berusia 6-12 tahun. Kebanyakan (62%) anak mereka berusia 3-8 tahun.
Hanya 14 Ibu (56%) yang mempunyai pekerjaan. Kebanyakan bekerja di LSM atau sebagai peksos, sisanya adalah buruh cuci, waitress, penjual pulsa dan wiraswasta. Penghasilan tertinggi adalah Rp. 2,4 juta dan terendah adalah 200 ribu rupiah perbulan.
Hanya 6 Ibu (24%) yang mengaku mempunyai suami baru (bukan ayah biologis anak) – kebanyakan suami pertama sudah meninggal dunia atau bercerai.
b. Keterbukaan status HIV dan penggunaan waktu luang dan dukungan sosial
Hanya 7 Ibu (28%) yang telah membukan status HIV positif dengan pihak di luar keluarganya – selebihnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan keluarga dekat. Ibu selalu khawatir jika statusnya terungkap di masyarakat.
Akibatnya, penggunaan waktu luang hanya terbatas untuk membereskan usurusan rumah tangga (28%) atau bermain dengan anak (49%).
Meskipun demikian, bagi Ibu-ibu yang menjangkau fasilitas kesehatan pemerintah, mereka terpaksa mengaku status HIV anaknya (36%).
Walau sepertiga dari Ibu respoden mengaku mempunyai teman dan sering bertemu, tetapi tidak satupun yang mengaku menggunakan waktu luang dengan teman-teman mereka.
Walau saat diwawancara hampir semua Ibu menyatakan tidak pernah sakit serius, tetapi bagi yang pernah sakit mereka harus berpikir mengenai pengasuhan anaknya. Sebanyak 35% Ibu-ibu dan pengasuh menyatakan bahwa selalu ada orang lain (di luar keluarga) yang bersedia membantu. Sekitar 62.5% Ibu dan pengasuh anak yang mengaku rajin berdoa dan
beribadah. Tetapi yang ikut dalam berbagai kegiatan komunitas hanya 17%. Separoh responden memperoleh dukungan yang sangat berarti dari keluarga
besar, terutama keluarga dari Ibu. Sedangkan dari keluarga Ayah 57% sudah jarang bertemu atau tidak pernah bertemu sama sekali.
Dari 57 anak yang diasuh oleh responden, ada 36 (63%) anak yang mempunyai pergaulan biasa seperti anak-anak lain. 21 anak yang lain, jarang keluar rumah dan bermain di luar rumah.
c. Dukungan pemerintah
Hanya sekitar 5% Ibu dan pengasuh anak yang terinfeksi HIV yang pernah mengalami berbagai bentuk stigma dan diskriminasi ketika mengakses layanan. Selebihnya, Ibu-ibu dan pegasuh lebih banyak dihantui oleh perasaan takut mereka sendiri.
Hal ini dikonfirmasi dalam FGD – bahwa ketakutan terungkapnya status HIV mereka karena mereka sering mendengar berita perlakuan butruk yang dialami oleh ODHA. Jika ditanya apakah mereka sendiri pernah mengalami, kebanyakan menjawab tidak pernah.
Di antara Ibu-ibu yang menyatakan sudah terbuka, mereka menyatakan bahwa memang pernah mengalami diskriminasi, tetapi saat ini situasinya sudah lebih baik dan mereka merasa lebih ringan beban mentalnya justru sudah terbuka. Kenyataan ini menimbulkan harapan bahwa Ibu-ibu ini akan berani menjangkau program layanan pemerintah, terutama Kartu Sehat, beasiswa, dan lain-lain.
Dari kuesioner, Ibu dan pengasuh anak dengan HIV masih banyak yang belum memperoleh bantuan Jaminan Kesehatan pemerintah. Sekitar 32% Ibu dan
pengasuh memang mengaku memiliki Jaminan kesehatan, satu di antaranya memperoleh jaminan dari tempat bekerja. Tetapi sisanya masih belum memiliki.
Keengganan untuk mengakses Jamkesmas juga bersifat sangat pribadi, yaitu ketakutan diperlakukan secara diskriminatif ketika membuka status mereka.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Persoalan anak yang terinfeksi HIV memang masih merupakan persoalan baru. Meskipun demikian, masalah ini akan semakin besar dan kompleks, bukan hanya untuk anak tetapi juga, dan terutama, untuk lengkungan pendukungnya – yaitu orangtua dan keluarga besarnya. Dari kajian sederhana di atas, maka implikasi kebijakan yang perlu diperbaiki adalah sebagai berikut:
1. Memastikan bahwa sistem dukungan untuk anak tidak lagi menstigma dan mendiskriminasi anak – terutama dalam perawatan kesehatan dan pendidikan. 2. Keajegan atau konsistensi kebijakan yang sudah berlaku, seperti dukungan
ARV, CD4 count, gizi, dan akses layanan kesehatan dasar.
3. Dukungan psikososial selama ini sangat terbatas. Perlu diidentifasi lebih lanjut yang relevan untuk Ibu/pengasuh terutama sosial-emosional, finansial/ pekerjaan, membantu proses keterbukaan status untuk dirinya maupun untuk anak dalam mengatasi stigma diri (self-stigma).
4. Dukungan psikososial bagi anak khususnya ketika mengalami masalah dengan pengasuhan pengganti, kepatuhan minum obat, kehilangan atau kesakitan orangtua/pengasuh kehilangan pengasuh pengganti.
5. Inovasi dalam layanan PPIA atai KIA untuk sekaligus mempunyai komponen dukungan psikososial dan penjangkauan.
RUJUKAN
Laporan Situasi Pekembangan HIV&AIDS di Indonesia 2005-2014. Kemenkes.
Heywood, P. & Budiharsana, M. (2013). Institutional Analysis of HIV Control Program in Indonesia. Jakarta: KPA dan HCPI.
O’Leary, A., & Jemmet, L. S. (2002). Women and AIDS: Coping and Care. New York: Klewer Academic Publishers.
Peraturan Menteri Kesehatan RI, No 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Travers, M., & Bennett, L. (2005). AIDS women and power. Dalam Sherr, L., C. Hankins, & L. Bennet (eds). AIDS as a gender issue. Psychosocial Perspectives. Oxon: Taylor & Francis (p.70).
WHO (2012). Review of the Health Sector Response to HIV and AIDS. Jakarta: WHO
PENULIS:
Irwanto (irwanto_i@yahoo.com)
Lidia Hidajat (lidia.hidajat@atmajaya.ac.id)
Anindita Gabriella (anindita.gabriella@gmail.com)
Natasya Sitorus (natasyasitorus@yahoo.com)
Yopina Tarigan
Pusat Penelitian HIV & AIDS Unika Atma Jaya
Gedung St. Fransiskus Asisi (K2), lantai 1, ruang K21.08 Jl. Jendral Sudirman Kav. 51 Jakarta 12930 Indonesia Phone/fax: +62-21-578-54227