PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG DAN ONGGOK TERFERMENTASI SERTA MINERAL MIKRO ORGANIK TERHADAP
KONSUMSI BAHAN ORGANIK, KECERNAAN PROTEIN KASAR, SERAT KASAR, DAN PERTAMBAHAN BOBOT TUBUH
PADA KAMBING PE JANTAN Skripsi Oleh Gusti Yusrina JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2019
ABSTRAK
PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG DAN ONGGOK TERFERMENTASI SERTA MINERAL MIKRO ORGANIK TERHADAP KONSUMSI BAHAN ORGANIK, KECERNAAN PROTEIN
KASAR, SERAT KASAR DAN PERTAMBAHAN BOBOT TUBUH PADA KAMBING PE JANTAN
Oleh
Gusti Yusrina
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik terhadap konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan. Penelitian ini dilaksanakan pada November—Desember 2018 di Pekon Gisting Atas, Blok 18, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Materi penelitian menggunakan kambing PE jantan berjumlah 12 ekor , pakan, mineral mikro organik (Zn, Cu, Se, dan Cr), dan kandang kambing PE jantan individual berkapasitas 12 ekor yang dilengkapi tempat pakan. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Mengelompok berdasarkan bobot badan dengan jumlah 3 kelompok dan masing-masing kelompok menggunakan 4 ekor kambing dengan rata-rata bobot badan berkisaran 13--24.5 Kg/ekor. Perlakuan yang diberikan meliputi : R0 ( 70% ransum basal + 30% onggok tanpa fermentasi); R1 ( 70% ransum basal + 30% onggok fermentasi); R2 ( 55% ransum basal + 30% onggok fermentasi + 15 % silase daun singkong); R3 ( 55% ransum basal + 30 % onggok fermentasi + 15 % silase daun singkong + mineral mikro organik Zn, Cu, Cr, Se). Data dianalisis dengan analisis of varian dan dilanjutkan dengan uji Kontas Ortoghonal pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta minerat mikro organik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar, sedangkan terhadap pertambahan bobot tubuh berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pada kambing PE jantan.
Kata kunci: kambing PE, kecernaan protein kasar, kecernaan serat kasar, mineral mikro organik, konsumsi bahan organik dan pertambahan bobot tubuh.
ABSTRACT
THE EFFECT OF SILAGE FERMENTED CASSAVA AND ONGGOK LEAVES AND ORGANIC MICRO MINERALS ON CONSUMPTION OF
ORGANIC MATTER, DIGESTIBILITY OF CRUDE PROTEIN, GAUZE FIBER AND BODY WEIGHT IN MALE PE GOATS
Oleh
Gusti Yusrina
This study aims to determine the effect of silage fermented cassava and onggok leaves and organic micro minerals on consumption of organic matter, digestibility of crude protein, gauze fiber, and body weight in male PE goats.This research was conducted in November-December 2018 in Pekon Gisting Atas, Block 18, Gisting District, Tanggamus district, Lampung. The research material used 12 male PE goats, feed, organic micro minerals (Zn, Cu, Se, and Cr), and individual male PE goat cages with a capacity of 12 tails equipped with feed places. This study used a
randomized group design (RBD). Grouping based on body weight with the number of 3 groups and each group using 4 goats with an average body weight ranging from 13 to 24.5 kg / head. The treatment given includes: R0 ( 70% ration basal + 30% onggok without fermentation);R1 ( 70% ration basal + 30% onggok fermentation); R2 ( 55% ration basal + 30% onggok fermentation + 15 % silage of cassava leaves); R3 ( 55% ration basal + 30 % onggok fermentation + 15 % silage of cassava leaves + organic micro minerals Zn, Cu, Cr, Se). Data were analyzed by analysis of variants and continued with further orthogonal contrast testing at level of 5%. The results showed that the effect of fermenting fermented cassava and onggok leaves as well as organic micro mineral did not significantly influence (P> 0,05) on organic matter consumption, protein digestibility and crude crude fiber digestibility, whereas the body weight has a very significant effect (P<0,01) in male PE goats.
Keywords: PE goats, consumption of organic matter, digestibility of crude protein, digestibility of crude fiber, organic micro minerals, body weight.
PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG DAN ONGGOK TERFERMENTASI SERTA MINERAL MIKRO ORGANIK TERHADAP
KONSUMSI BAHAN ORGANIK, KECERNAAN PROTEIN KASAR, SERAT KASAR, DAN PERTAMBAHAN BOBOT TUBUH
PADA KAMBING PE JANTAN
Oleh
Gusti Yusrina
SkripsiSebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan
Pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jl. Mawar Sinar Mulya, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada 08 Agustus 1996, sebagai anak kedua dari Bapak Karyono (Alm) dan Ibu Sunarti, Adik dari Ansor Rasyid A. Md.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Sidosari, Lampung Selatan pada 2008, Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Bandar Lampung pada 2011, dan Sekolah Menengah Atas di SMA N 13 Bandar Lampung pada 2014. Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Penerimaan Mahasiswa Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP).
Penulis melaksanakan praktik Umum (PU) pada Juli -- Agustus 2017 di PT. Central Avian Pratiwi 3 di Jl. Lintas Sumatra, Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran dan melaksanakan penelitian pada November -- Desember 2018 di Koprasi Motivasi Doa Ikhtiar Tawakal (M.D.I.T) Jl. Pekon Gisting Atas, Blok 18, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Pada januari–Maret 2018, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pekon Marga Mulya, Kecamatan Kelumbayan Barat, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi anggota bidang IV ( Dana dan Usaha) di himpunan mahasiswa peternakan (HIMAPET), Fakultas Pertanian, Universitas Lampung periode 2015/2016.
MOTTO
“Ingat hanya dengan mengingat Allah
-lah hati menjadi tentram
(QS. Ar-
Rod 13 : 28)”
“Kebahagian dan kesedihan adalah warna dalam kehidupan yang akan
membuat kita semakin dewasa, apabila kita mampu menerima dan
menjalaninya dengan penuh keikhlasn dan kesabaran
(Ansor Rasyid) “
“
Karunia Allah yang paling lengkap adalah kehidupan yang didasarkan
pada ilmu pengetahuan
(Ali bin Abi Thalib)”
“Kecerdasan bukan penentu kesuksesan, tapi kerja keraslah yang
merupakan penentu kesuksesanmu yang sebenarnya
Alhamdulillah…
Ku ucapkan syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah member kenikmatan sehat dan kesempatan hingga sampai ketahap ini. Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terimakasih
yang tiada terhingga ku persembahkan karya kecil ini untuk :
Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakakku Ansor Rasyid, seluruh keluarga besarku, sahabatku, orang-orang yang menyayangiku,
serta almamater tercinta yang selalu ku banggakan, Dan
yang telah memberikan kasih sayang, cinta, doa dalam langkah kehidupanku serta orang-orang yang luar biasa yang rela berdiri
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis atas kasih sayang dan pertolongan Allah SWT., karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis hanturkan kepada Rasulullah SAW berserta keluarga dan sahabat tercinta.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong dan Onggok
Terfermentasi serta Mineral Mikro Organik terhadap Konsumsi Bahan Organik, Kecernaan Protein Kasar, Serat Kasar dan Pertambahan Bobot Tubuh pada Kambing PE Jantan”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S.—selaku Dekan Fakultas
Pertanian–yang telah member izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan mengesahkan skripsi ini.
2. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P.—selaku Ketua Jurusan Peternakan–yang telah memberikan nasihat, arahan, dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Farida Fathul. M. Sc.--selaku Pembimbing Utama—atas ide
penelitian, arahan, bimbingan, dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Agung Kusuma Wijaya, S.Pt., M.P.—selaku Pembimbing Anggota—atas kesediaanya untuk meberikan bimbingan,saran dan kritik dalam peoses
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Prof.Dr.Ir. Muhtarudin, M.S.—selaku Pembimbing Penguji Utama—atas arahan, petunjuk dan saran yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Ir. Sulastri, M.P.—selaku Dosen Pembimbing Akademik—yang telah memberikan arahan, nasihat, motivasi kepda penulis selama menjadi mahasiswi di Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung—atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis. 8. Orang Tuaku tercinta Bapak Karyono (Alm) dan Mama Sunarti—yang telah
mencurahkan kasih sayang, cinta, doa, perhatian, tenaga, biaya, dan motivasi dengan tulus ikhlas kepada penulis.
9. Kakak Ansor Rasyid dan keluarga besarku—yang telah memberikan keceriaan dalam kasih sayang kepada penulis.
10. Keluarga kesekianku Bude Sutinah, Pakde Sudargo , Mbak Astri Shabrina,dan Siti Mahardika—atas semua kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
11. Mita, Fakhri ,Geo,dan Rahmat—selaku teman seperjuangan selam penelitian—
yang telah memberikan bantuan, dan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
12. Keluarga besar HIMAPET periode 2015--2016—atas kebersamaan membangun potensi diri dan berkarya.
13. Rika Sari, Ramadhanti, David, Pramesella Egi Aden, Abel Ochari, dan Ado—
sebagai teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam penyusan skripsi ini.
14. Pramita Gisty Restuni, Mahfuhdotul Ulya, Soleh Mustofa, Erika Lucy Aprilia, Desy Marisa, Aisyah Yuli Arti, Ficke Rahmawati, Desi Aryani, Rian Nastianyah dan seluruh teman-teman angkatan 2014—yang telah memberikan motivasi, bantuan, dan kesan yang mendalam kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 15. Almamaterku tercinta Universitas Lampung.
Bandar Lampung, 14 Januari 2019
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 4 1.3. Kegunaan Pemikiran ... 4 1.4. Kerangka Pemikiran ... 4 1.5. Hipotesis ... 6
II.TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Ternak Kambing PE ... 7
2.2. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ... 8
2.3. Pakan ... 9
2.4. Hijauan Pakan Ternak Ruminansia ... 11 2.6. Onggok Terfermentasi ... 13 2.7. Nutrien Mineral ... 16 2.7.1. Seng (Zn) ... 17 10 2.5. Daun Singkong ...
2.7.2. Selenium (Se) ... 18
2.7.3. Tembaga (Cu) ... 18
2.7.4 Kromium (Cr) ... 19
2.8. Kebutuhan Protein Kasar ... 20
2.9. Kebutuhan Serat Kasar ... 21
2.10. Kecernaan Pada Ternak Ruminansia ... 22
2.11. Kecernaan Protein ... 23
2.12. Kecernaan Serat Kasar ... 24
III. METODE PENELITIAN ... 26
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26
3.2.Bahan dan Alat Penelitian ... 26
3.2.1. Bahan Penelitian ... 26 3.2.2. Alat Penelitian ... 27 3.3.Rancangan Penelitian ... 27 3.3.1. Rancangan Perlakuan ... 27 3.3.2. Rancangan Percobaan ... 30 3.3.3. Rancangan Peubah ... 31 3.3.4. Prosedur Penelitian ... 33 3.3.4.1.Persiapan Penelitian ... 33
3.3.4.2. Pembuatan Mineral Mikro Organik ... 34
3.3.4.3. Persiapan Ransum ... 36
3.3.4.4. Kegiatan Penelitian ... 39
3.3.4.5 Koleksi Feses ... 39
3.3.4.6. Analisis Proksimat ... 40
... 45 4.2. Pengaruh Ransum Terhadap Kecernaan Protein Kasar
Pada Kambing PE Jantan ... 49 4.3. Pengaruh Ransum Terhadap Kecernaan Serat Kasar
Pada Kambing PE Jantan ... 54 4.4. Pengaruh Ransum Terhadap Pertambahan Bobot Tubuh Pada
Kambing PE Jantan ... 60
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 66 66 5.2. Saran ... 66 5.1. Kesimpulan ...
4.1. Jumlah Konsumsi Bahan Organik
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Kandungan zat-zat makanan daun singkong berdasarkan
bahan kering ... 13
2. Komposisi kimia onggok dan onggok terfermentasi ... 15
3. Kandungan nutrisi ransum yang digunakan ... 27
4. Kandungan nutrisi ransum R0... 28
5. Kandungan nutrisi ransum R1... 28
6. Kandungan nutrisi ransum R2... 29
7. Kandungan nutrisi ransum R3... 29
8. Rata-rata jumlah konsumsi bahan organik (gr/ekor/hari) ... 45
9. Rata-rata kecernaan protein kasar pada kambing PE jantan ... 50
10. Rata-rata kecernaan serat kasar pada kambing PE jantan ... 55
11. Rata-rata pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan ... 61 12.Analisis ragam kecernaan konsumsi bahan organik ...
13. Uji lanjut kontras orthogonal konsumsi bahan organik ... 14. Analisis ragam kecernaan protein kasar... 15. Uji lanjut kontras orthogonal kecernaan protein kasar ... 16. Analisi ragam kecernaan serat kasar ... 17. Uji lanjut kontras orthogonal kecernaan serat kasar ... 18. Analisis anova pertambahan bobot tubuh ... 19. Uji lanjut kontras orthogonal pertambahan bobot tubuh ...
73 73 73 74 74 74 75 75
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak kandang kambing PE jantan ... 30
2. Skema pembuatan silase daun singkong ... 37
3. Skema pembuatan onggok fermentasi ... 38
4. Rata-rata konsumsi bahan organik ... 46
5. Rata-rata kecernaan protein kasar ... 51
6. Rata-rata kecernaan serat kasar ... 56
8. Kandang kambing PE penelitian 13. Pemberian pakan pada kambing PE 7. Rata-rata pertambahan bobot tubuh ... 62 ... 76 9. Penimbangan bobot tubuh kambing ... 76 10. Penimbangan mineral ... 77 11. Mineral mikro organik (Zn, Cu, Cr, Se) ... 77 12. Pembuatan silase daun singkong ... 78 ... 78 14. Pengambilan hasil penampungan feses total dalam waktu 24 jam ... 79
15. Penjemuran sampel feses ... 79 16. Proses pencucian dengan menggunakan larutan basa NaOH 0.313N ... 80 17. Proses penyaringan serat kasar ... 80
18. Proses destruksi di ruang asam pada analisis prosimat protein kasar 19. Proses titrasi pada analisis prosimat protein kasar
... 81 ... 81
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein hewani merupakan salah satu komponen penyusun tubuh makhluk hidup salah satunya manusia. Kesadaran akan pentingnya mengonsumsi protein hewani berimbas pada meningkatnya permintaan daging nasional. Hal tersebut terlihat dari konsumsi perkapital, 2016 naik hingga 7,03 % dari 3,13 gr (2015) menjadi 3,35 gr. maka diperlukan adanya suatu upaya yang nyata dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk hasil peternakan, sehingga masyarakat tercukupi kualitas gizi dan jumlahnya.
Untuk memenuhi protein hewani dapat berasal dari ternak kambing. Salah satu jenis kambing yang berpotensi untuk menyokong peningkatan konsumsi protein hewani di Indonesia ialah Kambing Peranakan Etawa (PE). Kambing peranakan etawa (PE) termasuk ternak ruminansia tipe dwiguna yang memiliki keunggulan dapat
menghasilkan daging. Kambing PE merupakan hasil persilangan antara Kambing Etawa (dari India) dan Kambing Kacang, yang penampilannya mirip Kambing Etawa tetapi lebih kecil (Sarwono, 2005).
2
Potensi kambing PE tidak akan berkembang maksimal untuk menyokong peningkatan konsumsi protein hewani di Indonesia tanpa faktor pendukung produksinya. Faktor pendukung yang paling penting dalam penunjang produksi ternak ialah pakan. Pakan yang dicerna dengan baik oleh ternak jantan mampu menyajikan nutrien yang penting untuk hidup pokok, pertumbuhan, dan penggemukan.
Data yang dilansir oleh Direktorat Jedral Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016) bahwa populasi kambing pada 2015 mencapai 19,012,790 ekor dengan total produksi daging 64,950 ton. Pada 2016 terjadi peningkatan baik populasi maupun produksi daging kambing namun tidak lebih dari 3% yaitu dengan jumlah populasi dan produksi daging masing-masing 19,608,800 ekor dan 66,750 ton. Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi daging adalah dengan mengotimalkan faktor lingkungan salah satunya adalah manajemen pakan.
Ransum ruminansia terdiri dari hijauan dan pakan penguat (konsentrat). Unsur atau senyawa kimia dalam ransum kambing yang diberikan harus menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Senyawa tersebut bagian dari bahan pakan yang dapat dicerna, dapat diserap, dan bermanfaat bagi tubuh. Zat nutrien adalah zat-zat gizi di dalam bahan pakan yang sangat diperlukan untuk hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air (Tillman et al., 1998). Hijauan merupakan pakan utama kambing yang diguanakan sebagai sumber energi untuk menunjang kehidupannya. Hijauan yang diberikan seringkali memiliki pembatas dalam penggunaannya yaitu memiliki kandungan serat kasar yang tinggi.
3
Limbah tanaman singkong dan limbah pengolahan singkong sangat potensial sebagai pakan ternak alternatif, karena ketersediaannya banyak dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu kendala yang dihadapi limbah singkong adalah nilai gizi yang rendah, protein rendah dan serat kasar yang tinggi. Hal ini berdampak pada kecernaan menjadi rendah, yang pada akhirnya dapat mengganggu penampilan ternak. Untuk meningkatkan manfaat dari limbah tanaman singkong dan limbah pengolahan singkong maka dilakukan upaya untuk memperbaiki zat nutrien. Metode pengolahan yang biasa digunakan untuk meningkatkan nilai dan kualitas protein adalah dengan fermentasi.
Usaha memperbaiki pemanfaatan pakan ruminansia selain perbaikan kualitas pakan prarumen juga harus ditunjang dengan perbaikan yang mendukung bioproses di dalam rumen. Muhtarudin (2003) memaparkan bahwa nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba rumen mempengaruhi proses pencernaan di dalam rumen. Bioproses rumen meliputi kecernaan serta penyerapan bahan pakan yang dimakan oleh ternak. Laju pertumbuhan mikroba rumen akan maksimal apabila didukung pasokan nutrisi prekursor yang optimum. Suplementasi nutrisi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terkait perngaruh pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik terhadap konsumsi bahar organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan.
4
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. mengetahui pengaruh pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik terhadap konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan;
2. mengetahui pengaruh terbaik pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik terhadap konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar, dan pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan.
1.3 Kegunaan Pemikiran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak tentang manfaat penambahan mineral mikro organik dalam ransum silase daun singkong dan onggok terfermentasi untuk meningkatkan konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambahan bobot tubuh pada kambing PE jantan .
1.4 Kerangka Pemikiran
Kebutuhan akan protein hewani terus meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan ketercukupan gizi harian. Namun, kebutuhan protein hewani khususnya daging kambing belum tercukupi meskipun populasi ternak kambing terus mengalami peningkatan. Peningkatan bobot tubuh dipengaruhi oleh kecukupan
5
nutrisi dan kecernaan bahan pakan tersebut sehingga kambing dapat memanfaatkan bahan pakan secara maksimal.
Onggok telah banyak dimanfaatkan untuk pakan ruminansia. Salah satu kelemahan dari onggok sebagai pakan ruminansia adalah kandungan protein yang rendah sedangkan serat kasar yang tinggi. Untuk meningkatkan kandungan protein yang rendah maka perlu dilakukan pengolahan. Metode pengelolahan yang biasa
digunakan untuk meningkatkan nilai dan kualitas protein adalah dengan fermentasi. Menurut Supriyati, et al., (2003) onggok yang difermentasi memiliki kandungan protein kasar yang tinggi, meningkat dari 1,85%, pada onggok yang tanpa fermentasi menjadi 14,74 %. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi dapat
meningkatkan kandungan protein kasar onggok. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan N (nitrogen) anorganik dalam bentuk urea maupun ammonium sulfat (ZA) oleh Aspergillus niger menjadi N organik (protein).
Menurut Surya, et al., (2017) Pemberian silase daun singkong dan mineral mikro organik tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan serat kasar. Hal ini dipengaruhi tingginya protein dalam ransum (14,95—17,34%). telah mencukupi kebutuhan energi mikroba rumen dalam mencerna serat kasar sehingga mikroba mimiliki kemampuan yang sama untuk mencerna. Tingginya protein pada ransum dapat mempengaruhi kemampuan mineral untuk berinteraksi dengan mineral lainnya.
Menurut Vandergrift (1992) Bahwa gabungan antara mineral dengan protein dapat mengurangi kemampuan mineral tersebut berinteraksi dengan mineral atau bahan
6
organik lainya yang menyebabkan berkurangnya peluang untuk diabsorbsi sehingga mineral organik ini diserap secara utuh.
Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang relatif besar mencakup Ca, Mg, P, Na, K, Cl, dan S, sedangkan mineral mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif lebih sedikit dibandingkan mineral makro. Mineral mikro mencakup Zn, Cu, Fe, Se, Mn, Co dan Cr. Pemberian unsur makro maupun mikro dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan, sehingga dapat diserap lebih tinggi dalam tubuh ternak (Muhtarudin, et al., 2003).
Berdasarkan pemikiran diatas, maka diharapkan dengan pemberian silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik dalam ransum akan meningkatkankonsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambhan bobot tubuh.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. terdapat pengaruh penambahan silase daun singkong dan onggok terfementasi serta mikro organik terhadap konsumsi bahan organik kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambhan bobot tubuh pada kambing PE jantan;
2. terdapat pengaruh terbaik penambahan silase daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik terhadap konsumsi bahan organik, kecernaan protein kasar, serat kasar dan pertambahan bobo tubuh pada kambing PE jantan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kambing adalah ternak yang pertama kali didomestikasi oleh manusia atau yang kedua setelah anjing. Hal ini sering dibuktikan dengan ditemukannya gambar kambing pada benda - benda arkhaelog di Asia barat seperti Jericho, Choga Mami Jeintun, dan Cayonum pada tahun 6000-7000 SM. Kambing atau sering dikenal sebagai ternak ruminansia kecil merupaka ternak herbivora yang sangat popoler di kalangan petani indonesia, terutama yang tinggal di pulau jawa. Oleh peternak, kambing sudah lama diusahakan sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksinya relatif mudah. Produksi yang dihasilkan dari ternak kambing yaitu, daging, susu, kulit, bulu, dan kotoran sebagai pupuk yang sangat bermanfaat ( Susilorini et al., 2008).
Bangsa utama kambing yang ditemukan di Indonesia adalah kambing kacang dari peranakan ettawa (PE). Kambing kasmir, angora dan saanen telah diintroduksi pada waktu masa lampau. Namun hanya, kambing ettawa yang dapat beradaptasi dengan kondisi dan sistem pertanian Indonesia. Sedangkan kambing kambing yang banyak ditemukan di Sulawesi adalah jenis kambing marica yang merupakan variasi lokal dari kambing kacang (Sodiq dan Abidin, 2008).
8
Kambing memberikan kesehatan dan gizi berjuta-juta penduduk diberbagai negara berkembang, terutama mereka yang hidup pada garis kemiskinan. Pemeliharaan kambing dapat menyediakan walaupun dalam jumlah kecil tetapi penting artinya, kebutuhan akan akan protein hewani yang bernilai biologi tinggi, serta mineral esensial dan vitamin asal lemak, yang kesemuanya sangat berarti terutama bagi kelompok orang lemah, seperti misalnya wanita hamil, wanita menyusui, serta anak kecil (Davendra dan Burns, 1977).
2.2. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Bagian-bagian sistem pencernaan adalah mulut, parinks, esofagus, perut glandular, usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yang terdiri dari glandula saliva, hati, dan pankreas (Frandson, 2008). Ternak ruminansia memiliki empat bagian perut yaitu rumen, reticulum, omasum, dan abomasum. Keempatnya tidak mempunyai perbedaan yang nyata ketika ternak dilahirkan hingga ternak ruminansia berkembang, tumbuh dan berproduksi walaupun hanya mengkonsumsi jenis makanan sebagian besar berbentuk serat kasar (Kartadisastra, 1997).
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, hidrolisis, dan fermentatif. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Proses hidrolisis dilakukan oleh enzim pencernaan yang dihasilkan oleh ternak (induk semang) yang terjasi di abomasum. Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Tillman et al., 1993). Rumen dari hewan ruminansia
9
merupakan tempat berdiamnya triliun mikroorganisme termasuk protozoa, bakteri, dan fungi.
Mikroorganisme ini mencerna hijauan yang mengandung selulosa dan hemiselulosa, konsentrat yang mengandung karbohidrat, lemak, dan protein. Aktivitas
mikroorganisme dalam mencerna selulosa dan hemiselulosa sangat bermanfaat
dikarenakan selulosa dan hemiselulosa tidak bisa dicerna secara langsung oleh ternak. Mikroorganisme mencerna bahan-bahan kasar terutama menjadi asam asetat,
propionat, dan butirat yang disebut dengan asam lemak mudah terbang (Volatile Fatty Acid/VFA). Sebagian besar VFA diserap melalui dinding rumen ke dalam aliran darah. Aksi mikroorganisme di dalam rumen manjadi dasar alasan mengapa ruminansia dapat bertahan dengan makanan yang berserat tinggi (Lasely,1981).
2.3. Pakan
Pakan Ternak adalah semua bahan pakan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi, yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein. Pakan sendiri merupakan komoditi yang sangat penting bagi ternak. Zat- zat nutrisi yang
terkandung dalam pakan dimanfaatkan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak itu sendiri. Selain itu, pakan juga merupakan dasar bagi kehidupan yang secara terus menerus berhubungan dengan kimiawi tubuh dan kesehatan. (Parakkasi, 1991).
10
Pakan ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan seperti rumput, leguminosa, dan konsentrat. Pemberian pakan berupa kombinasi kedua bahan tersebut akan memberi peluang terpenuhinya zat-zat gizi dan biaya relatif rendah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Parakkasi (1991), menyatakan
semakin banyak bahan makanan yang dapat dicerna melalui saluran pencernaan maka kecepatan alirannya menyebabkan lebih banyak ruangan yang tersedia untuk
penambahan makanan sehingga konsumsi meningkat. Menurut Kartadisastra (1997) menyatakan kebutuhan pakan ternak ruminansia dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah nutrisi setiap harinya sangat tergantung kepada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya serta berat badannya.
Dalam pemberianya pakan harus sesuai dengan kebutuhan tubuh ternak tersebut.
Menurut Setiawan dan Arsa (2005) bahan pakan merupakan bahan makanan ternak
yang terdiri dari bahan kering dan air yang harus diberikan kepada ternak untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya.
2.4. Hijauan Pakan Ternak Ruminansia
Hijauan pakan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi sebagai sumber nutrisi yaitu protein, energi, vitamin, dan mineral (Murtidjo, 1993). Hijauan yang ada di daerah tropis pada umumnya cepat tumbuh, namun kualitasnya lebih rendah dari hijauan sub tropis. Oleh karena itu, ternak ruminansia yang
11
diperuntukkan bagi produksi daging harus memperoleh konsentrat selain pemberian hijauan agar tercapai pertumbuhan yang cepat (Siregar, 1994).
Pilliang (1997) dan Waruwu (2002) menyatakan bahwa ternak ruminansia harus mengkonsumsi hijauan sebanyak 10% dari berat badannya setiap hari dan
konsentratnya sekitar 1,5 -- 2% dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karena itu, hijauan dan sejenisnya terutama dari berbagai spesies merupakan sumber energi utama ternak ruminansia. Kebutuhan pakan ruminansia dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya tergantung pada jenis ternak, umur, fase, kondisi tubuh dan lingkungan tempat hidupnya serta bobot badannya.
2.5. Daun Singkong
Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus Manihot
dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007). Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80%--90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang terkandung dalam semua varietas singkong.
12
Daun singkong merupakan salah satu limbah pertanian yang sering dijadikan bahan pakan ternak. Tillman et al., (1998) menyatakan sekitar 1,4 juta ha singkong yang ditanam setiap tahunnya dapat menghasilkan 1,4 juta ton tangkai dan daun. Daun singkong merupakan limbah hasil pertanian dari hasil panen ubi kayu atau ketela pohon (manihot esculenta crantz). Potensi yang diharapkan dari daun singkong adalah protein kasarnya yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 18--34 % dari bahan kering. Maka dari itu, kandungan protein kasar dari bahan kering daun singkong dapat digunakan sebagai bahan suplementasi yang potensial untuk ternak ruminansia maupun unggas.
Kandungan protein kasar pada daun singkong adalah 19,20% akan meningkat bila difermentasikan dengan aspergilus niger menjadi 25%. Berdasarkan kandungan protein yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa daun singkong memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dan setara dengan jumlah hijauan tanaman kacang kacangan (Surrachman, 1987).
Daun singkong dapat digunakan sebagai sumber asam amino rantai bercabang (branched chain amino acid = BCAA). Sintesis protein oleh mikroba memerlukan BCFA (branched chain fatty acid) yang meliputi asam isobutirat, 2 metil butirat dan isovalerat. BCFA dalam rumen adalah hasil dekarboksilasi dan deaminasi BCAA yaitu valin, isoleusin dan leusin. Menurut Zain (1999), suplementasi BCAA memacu pertumbuhan bakteri sehingga kecernaan pakan dan pertumbuhan ternak meningkat. Lebih lanjut dijelaskan rasio terbaik BCAA yang digunakan dalam meningkatkan kecernaan pakan adalah 0,1% valin, 0,2% isoleusin dan 0,15% leusin. Mikroba
13
rumen mendegradasi daun singkong menjadi amonia dan amonia tersebut sebagian dapat diubah kembali menjadi protein mikroba yang selanjutnya digunakan oleh ternak inang (Leng, et al., 1984).
Menurut Hasanah (2008), pada daun singkong (per 100 g) terkandung vitamin A sebesar 11.000 SI, vitamin C 275 mg, vitamin B1 0,12 mg, kalsium sekitar 165 mg, kalori 73 kal, fosfor 54 mg, protein 6,8 g, lemak 1,2 g, hidrat arang sebesar 13 g, zat besi 2 mg, dan asam amino metionin. Pada bagian buah atau umbi singkong
memiliki kandungan vitamin B1 sebesar 0,06 mg dan vitamin C sebesar 30 mg, yang lebih rendah dibandingkan yang terdapat pada daun. Sedangkan pada kulit batang mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida, dan kalsium oksalat yang membatasi konsumsinya pada ternak-ternak tertentu.
Tabel 1. Kandungan zat-zat makanan daun singkong berdasarkan bahan kering
No Zat Makanan Jumlah (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu BETN Ca P 27,97 8,84 13,4 9,97 39.82 1,76 0,44
Sumber : Askar dan Marlina (1997).
2.6. Onggok Terfermentasi
Onggok adalah hasil produk samping pengolahan ubi kayu menjadi tapioka. Dari setiap ton ubi kayu bisa menghasilkan 114 kg onggok. Jika setengah dari produksi ubi kayu tahun 2000 yang mencapai 15.351.200 ton diolahdan diproses menjadi
14
tepung tapioka, onggok yg dihasilkan bisa mencapai 828.965 ton. Jumlah tersebut sanagat besar untuk dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Onggok memiliki kandungan air cukup tinggi (81-85%), dan bisa menjadi sumber pencemaran atau polusi udar atau lingkungan, terutama di wilayah produksi apabila tidak ditangani dengan baik.
Onggok sebenarnya memiliki potensi sangat besar sebagai bahan pakan. Tetapi mutu dan nutrisinya yg rendah (protein kasar (PK) sekitar 1,55% dan serat kasar (SK) 10,44% bahan kering), menjadi pembatas utama pemanfaatan onggok sebagai bahan pakan ternak, baik untuk ternak monogastrik seperti ayam dan bebek, maupun ternak ruminansia. Seperti sapi, kambing, dan domba. Untuk bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak, maka mutu dan kualitas onggok perlu ditingkatkan dengan proses teknologi fermentasi. (BPS, 1996)
Fermentasi, salah satu cara pengolahan biologis merupa cara yang paling tepat untuk pengolahan onggok mengingat onggok memiliki komposisi zat makanan yaitu, karbohidrat cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media yang cocok bagi pembuatan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Proses fermentasi merupakan cara yang paling murah, mudah, praktis, dan aman yang berfungsi sebagai salah satu cara pengawetan yang juga akan baik. Pada dasarnya teknologi fermentasi adalah upaya manusia untuk mencapai kondisi optimal agar proses fermentasi dapat
memperoleh hasil yang maksimal. Mikroba yangbanyak digunakan dalam fermentasi adalah kapang, khamir, dan bakteri. Fermentasi terjadi kerena adanya aktifitas
15
mikroba pada substrat organik yang sesuai dan sebagai akibat terjadinya fermentasi menyebabkan perubahan sifat kimia karena pemecahan kandungan zat makanan oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba. Bahan yang difermentasi biasanya mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada bahan asalnya seperti onggok.
Tabel 2. Komposisi kimia onggok dan onggok terfermentasi
No Parameter (%) Onggok Onggok terfermentasi di laboratorium Onggok fermentasi di lapang 1 Protein Kasar 1.85 18.40 14.74 2 Abu 2.12 2.60 2.24 3 Kalsium 0.20 0.28 0.26 4 Fosfor 0.16 0.24 0.22 5 Energi 3.095 3.300 3.277 Sumber: Supriyati et al. (2003)
Dari hasil analisis kimia diatas, ternyata onggok yang difermentasi memiliki
kandungan protein kasar yang tinggi, meningkat dari 1,85% pada onggok yang tanpa fermentasi menjadi 14,74%. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi
dapatmeningkatkan kandungan protein kasar onggok. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan N (nitrogen) anorganik dalam bentuk urea maupun amonium sulfat (ZA) oleh Aspergillus niger menjadi N organik (protein). Demikian pula kandungan abu, Ca dan P pada produk onggok terfermentasi lebih tinggi dari onggoknya, sedang kandungan serat kasar dan lemak untuk kedua ransum tidak berbeda nyata. Namun bila dilihat dari nilai energi-nya ternyata perlakuan
16
onggok terfermentasi dan tanpa fermentasi tidaklah berbeda jauh, yakni 3095 vs 3277 (kkal/kg) (Tabel 2).
Phong et al. (2003) melakukan penelitian fermentasi onggok menggunakan
Aspergillus niger dengan penambahan amonium sulfat melaporkan bahwa terjadi peningkatan protein sampai 6% dalam bahan kering dengan penambahan amonium sulfat 1%. Penggolahan lainnya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dari onggok adalah dengan cara amoniasi. Amoniasi, salah satu cara pengolahan secara kimiawi dengan pemberian urea untuk meningkatkan kadar protein pakan yang diamoniasi.
2.7. Nutrien Mineral
Mineral adalah bahan kimia anorganik yang berperan aktif dalam reaksi-reaksi yang melibatkan enzim-enzim, memiliki fungsi spesifik dan penting bagi kehidupan ternak (Churh and Pond, 1988). Pemberian mineral yang baik adalah dengan menambahkan unsur yang diketahui kurang dalam bahan makanan. Berdasarkan jumlah
kebutuhannya, mineral dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu unsur mineral mikro dan makro. Mineral dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang relatif besar mencakup Ca, Mg, P, Na, K, Cl, dan S, sedangkan mineral mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif lebih sedikit dibandingkan mineral makro. Mineral mikro mencakup Zn, Cu, Fe, Se, Mn, Co dan Cr. Pemberian unsur makro maupun mikro dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan, sehingga dapat
17
diserap lebih tinggi dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2002 dan Muhtarudin et al., 2003). Secara umum penggunaan mineral di dalam tubuh berperan dalam
pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, sebagai buffer yang efisien untuk menahan kelebihan keasaman atau kebebasan yang terjadi karena makanan-makanan, sebagai aktivator sistem enzim maupun sebagai komponen dari sistem suatu enzim (Tillman et al., 1998). Ditambahkan pula oleh Underwood (1977), bahwa mineral berperan sebagai pengatur transport zat makanan ke sel, mengatur permeabilitas membran sel dan mengatur metabolisme zat makanan.
2.7.1. Seng (Zn)
Little (1986), melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ternak ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 dan 30 mg/kg bahan kering ransum, nilai ini jauh dibawah kebutuhan ternak ruminansia. Ini sesuai dengan rekomendasi NRC (1978), bahwa kandungan Zn pakan di Indonesia umumnya rendah dan kadar Zn yang layak antara 40 dan 50 mg/kg. Seng (Zn) terdapat pada semua jaringan tubuh, tetapi sebagian besar terdapat pada jaringan prostat, hati, ginjal, urat daging, pankreas, limpa dan adrenal (Underwood, 1977). Absorpsi seng terutama terjadi dibagian atas usus kecil dan yang paling aktif pada duodenum. Menurut Hartati (1998), absorpsi Zn yang utama terjadi pada bagian atas usus kecil. Penyerapan Zn dipengaruhi oleh umur dan status Zn hewan. Menurut Underwood (1977), absorpsi Zn sangat dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain, kandungan seng dalam pakan dan bentuk seng yang diserap. Pemberian mineral Zn dapat meningkatkan penampilan ternak (Hartati, 1998) dan memacu pertumbuhan mikroba rumen (Putra, 1998).
18
2.7.2. Selenium (Se)
Salah satu unsur mineral mikro yang diperlukan ternak ruminansia adalah selenium (Se). Tillman, et al. (1998), menyatakan bahwa pemberian selenium dapat mencegah terjadinya distropi otot pada domba dan sapi, sedangkan pada ternak unggas
pemberian selenium dapat mencegah degenerasi nekrosis dan diatesis eksudatif pada anak ayam. Mineral Se diketahui sebagai elemen pelindung enzim glutation
peroksidase dari kerusakan yang ditimbulkan oleh lipida peroksidase dengan jalan merusak peroksida tersebut.
Menurut Parakkasi (1985), interaksi antara vitamin E dan Se (ROOH) dapat menyebabkan rusaknya sel. Dengan adanya Se, lipid hidroperoksida akan dirubah menjadi alkohol-alkohol yang sifatnya kurang berbahaya dibandingkan dengan zat-zat aslinya, sedangkan vitamin E berperan sebagai antioksidan. Kadar Se dalam bahan pakan tidak selalu sama dan masih banyak yang belum diketahui. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan spesies suatu tanaman menyerap Se dan kadar Se itu sendiri di dalam tanah. Tillman et al,. (1998), menyebutkan tanah dapat
mengandung 40 mg/kg Se dan tanah yang mencapai 0,5 mg/kg Se dapat dikatakan berbahaya. Untuk ransum sapi perah dianjurkan agar mengandung Se 0,3 ppm bahan kering ransum (NRC, 1981) dan 40 mg/kg (NRC, 1978) pada makanan kuda.
2.7.3. Tembaga (Cu)
Penimbunan tembaga (Cu) pada tubuh ternak terjadi di dalam hati. Pemberian makanan ternak mengandung Cu harus lebih berhati-hati karena konsumsi Cu
19
berlebih dapat memungkinkan terjadinya keracunan. NRC (1978),
merekomendasikan angka kebutuhan Cu, yaitu 10 mg/kg untuk ternak ruminansia. Pada ternak ruminansia Cu kurang baik diabsorpsi karena hanya 1--3% yang diabsorpsi oleh tubuh ternak (McDowell, 1992). Keterkaitan antara Cu dengan mineral lainnya seperti Molibdenum (Mo) dan Sulfat juga merupakan salah satu faktor penyebabnya. Pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa keracunan yang disebabkan oleh Mo dapat dikurangi dengan pemberian CuSo4 dalam makanan sehingga sulfat dalam makanan dapat mempengaruhi kerja Mo.
2.7.4. Kromium (Cr)
Kromium (Cr) untuk pertama kali diketahui sebagai unsur yang esensial pada tahun 1959. Lebih banyak dibicarakan dalam hubungannya dengan Glucose Tolerance Factor (GTF). Cr berperan sebagai Glucose Tolerance Factor 16 (GTF) dan tikus kekurangan Cr tidak dapat menggunakan glukosa yang diinjeksikan dalam dosis tinggi dibandingkan tikus yang diberi suplemen Cr dalam ransum. Mineral Cr dapat meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel-sel alveolus untuk pembentukan laktosa susu. Susu mengandung laktosa (karbohidrat) yang prekursornya perlu disediakan dalam jumlah yang cukup. Prekursor laktosa adalah propionate produksi fermentasi rumen. Gejala-gejala defisiensi Cr berhubungan dengan GTF. Ternak yang kekurangan Cr menunjukkan pertumbuhan yang terhambat degenerasi nekrotil dari hati dan penggunaan glukosa yang kurang efisien (Tillman, et al., 1998).
20
2.8. Kebutuhan Protein Kasar
Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi. Ruminansia mendapatkan protein dari 3 sumber, yaitu protein mikrobia rumen, protein pakan yang lolos dari perombakan mikrobia rumen dan sebagian kecil dari endogenus (Tillman et al., 1989). Tubuh memerlukan protein untuk memperbaiki dan menggantikan sel tubuh yang rusak serta untuk produksi. Protein dalam tubuh diubah menjadi energi jika diperlukan. Protein dapat diperoleh dari bahanbahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan yang berasal dari biji-bijian (Sugeng, 1998). Protein didalam tubuh ternak ruminansia dapat dibedakan menjadi protein yang dapat disintesis dan protein tidak dapat disintesis. Protein yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia yaitu dalam bentuk potein kasar. Protein kasar adalah jumlah nitrogen (N) yang terdapat didalam pakan dikalikan dengan 6,25 (Nx6,25), sedangkan Prdd adalah protein pakan yang dicerna dan diserap dalam saluran pencernaan (Siregar, 1994).
Menurut Anggorodi (1979) kekurangan protein pada sapi dapat menghambat
pertumbuhan, sebab fungsi protein adalah untuk memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme, sumber energi, pembentukan antibodi, enzim-enzim dan hormon. Tujuan umum dalam pemberian pakan semua ternak adalah untuk
menyediakan jumlah dan kualitas protein yang benar untuk memaksimalkan produksi dan meminimalkan biaya pakan.
21
Ternak memerlukan nitrogen (protein) untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Ternak yang sedang tumbuh dan berkembang memerlukan konsentrasi protein yang lebih tinggi dibanding ternak yang sudah mencapai kedewasaan (Kearl, 1982; NRC,1996). Dalam usaha peternakan, pemberian protein harus lebih diperhatikan mengingat harga protein pakan per unit berat lebih mahal dibanding nutrisi lainnya juga tidak semua protein yang dikonsumsi ternak dimanfaatkan secara sempurna.
2.9. Kebutuhan Serat Kasar
Ternak ruminansia dapat memanfaatkan sumber karbohidrat berasal dari hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan ternak nonruminansia. Sumber karbohidrat tersebut,
menurut Preston dan Leng (1987), berupa selulosa, hemiselulosa dan pektin yang berikatan dengan lignin yang ada pada dinding sel tanaman pakan dan berfungsi memperkuat struktur sel tanaman. Adanya struktur tersebut dalam tanaman
menjadikannya sebagai sumber utama serat kasar yang juga dibutuhkan bagi ternak ruminansia, yang mana dapat merangsang perkembangan organ rumen ternak dalam mencerna pakan agar lebih optimal.
Serat kasar bagi ruminansia digunakan sebagai sumber energi utama berperan penting dalam metabolisme tubuh ternak. Kandungan serat kasar dalam pakan yang
dikonsumsi ternak akan mampengaruhi produksi VFA (Vollatile Fatty Acid). Asam asetat dan propionat merupakan komponen utama VFA hasil fermentasi dalam rumen. Kandungan VFA rumen akan berpengaruh pada konsumsi dan kecernaan pakan. Kadar serat kasar yang tinggi dalam ransum, mengakibatkan ransum tersebut
22
sulit dicerna, sebaliknya kadar serat kasar terlalu rendah, menyebabkan gangguan pencernaan.
2.10. Kecernaan Pada Ternak Ruminansia
Pencernaan pada ternak ruminansia merupakan proses yang kompleks, melibatkan interaksi yang dinamis antara makanan, mikroba dan hewan. Pencernaan merupakan proses yang multi tahap. Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba di rumen, dan hidrolisis oleh enzim pencernaan di abomasum dan duodenum hewan induk semang.
Kecernaan pada ruminansia dapat ditentukan dengan menggunakan ternak secara langsung (in vivo). Kecernaan in vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrient menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses (Tillman et al., 1991). Kecernaan pakan ditetapkan berdasarkan jumlah bahan pakan yang dimakan dikurangi jumlah tinja (feses) yang dikeluarkan, demikian juga dengan nutrien yang tercerna. Penetapan kecernaan secara in vivo dilakukan menggunakan metode koleksi total atau total collection yang terdiri dari periode adaptasi kandang dan pakan dan periode koleksi data masing-masing selama lima hari. Koleksi data meliputi konsumsi selama 24 jam dari pukul 8.00 sampai pukul 8.00 pada hari berikutnya (Zakharia, 2012).
Oleh karena itu sangat penting apabila dapat mengetahui kualitas suatu bahan pakan dan daya cerna bahan pakan tersebut dalam alat pencernaan ternak tersebut. Karena
23
zat- zat makanan yang terdapat dalam pakan akan dicerna menjadi zat makanan yang lebih sederhana, karbohidrat menjadi monosakarida, protein menjadi asam
amino,lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Jadi daya cerna suatu bahan pakan dapat didefinisikan sebagai bahan pakan yang dikonsumsi oleh seekor ternak dan tidak dikeluarkan lagi dalam bentuk feses.
2.11. Kecernaan Protein
Pencernaan protein pakan terdiri dari asam-asam amino yang digolongkan menjadi asam-asam amino non-esensial dan asam-asam amino esensial. Efisiensi penggunaan protein pakan bergantung dari kandungan asam amino esensial dan kadar asam-asam amino non esensial yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya. Pada ternak ruminansia penggunaan protein pakan lebih kompleks. Terdapat pencernaan mikrobial dan sintesa yang berjalan dalam retikulorumen
sehingga protein yang masuk abomasum dan usus halus adalah suatu campuran pakan dan protein jasad renik (mikrobial) (Tillman et al., 1991).
Protein pada ternak ruminansia akan diubah menjadi peptida, asam amino, dan amonia. Didalam rumen protein mengalami hidrolisis menjadi peptide oleh enzim proteolisis yang dihasilkan mikroba. Sebagian peptide digunakan untuk membentuk protein tubuh mikroba dan sebagian lagi dihidrolisis menjadi asamasam amino. Lebih kurang 82 persen mikroba rumen akan merombak asam-asam amino menjadi amonia untuk selanjutnya digunakan untuk menyusun protein tubuhnya. Proses deaminasi asam-asam amino menjadi amonia lebih cepat dibanding proses proteolisis.
24
Oleh sebab itu kadar asam-asam amino bebas di dalam rumen selalu rendah (Soebarinoto et al., 1991).
2.12. Kecernaan Serat Kasar
Serat kasar yang sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin hampir seluruhnya tidak dapat dicerna oleh ruminansia. Selulosa dan hemiselulosa adalah komponen dalam dinding sel tanaman dan tidak dapat dicerna oleh hewan-hewan monogastrik (berperut tunggal), sedangkan hewan-hewan ruminansia karena mempunyai zat-zat jasad renik, maka ternak itu mempunyai kemampuan yang lebih untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, yaitu secara enzimatik. Lignin bukan termasuk dalam golongan hidrat arang, tetapi berada dalam tanaman dan merupakan bagian atau kesatuan dalam karbohidrat. Zat ini bersama-sama selulosa membentuk komponen yang disebut lingo-selulosa, yang mempunyai koefisien cerna sangat kecil (Santoso, 1987).
Penyusunan ransum, selulosa diistilahkan dengan nama serat kasar. Selulosa
merupakan kelompok organik dalam tumbuh-tumbuhan diduga terdiri dari selulosa. Meskipun selulosa dan pati adalah polisakarida yang terdiri dari unit-unit glikogen, ternak hanya mempunyai enzim yang dapat menghidrolisa pati, karenanya selulosa tidak dapat dicerna sama sekali. Selulosa terdapat terutama di dalam dinding sel dan bagian tumbuh-tumbuhan yang berkayu (Anggorodi, 1985). Kecernaan serat suatu bahan makanan mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun komposisi kimia seratnya (Tillman, 1991).
25
Cuthbertson (1969) menambahkan bahwa serat tidak pernah digunakan seluruhnya oleh ruminansia dan sekitar 20-70% dari serat kasar yang dikonsumsi dapat
ditemukan di dalam feses. Tillman et al., (1989), mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi
mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat.
26
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada November hingga Desember 2018 bertempat di Pekon Gisting Atas, Blok 18, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Analisis proksimat kecernaan protein kasar dan serat kasar akan dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 12 ekor kambing Peranakan Etawa (PE) jantan. Ransum yang digunakan terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan berupa silase daun singkong dan silase tebon jagung . Konsentrat yang digunakan yaitu onggok, dedak halus, molases, dan mineral mikro organik (Zn, Cu, Se, dan Cr-Lisinat), serta air sumur.
27
3.2.2. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan yaitu kandang kambing PE jantan individual berkapasitas 12 ekor yang dilengkapi tempat pakan, waring penampung feses, timbangan gantung digital,sekop, sapu lidi, ember, kantung plastik, buku tulis, pena, terpal, karung, drum plastik,copper, mesin giling, dan besek plastik. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis proksimat yaitu 1 set peralatan untuk menguji protein kasar dan 1 set peralatan untuk menguji kadar serat kasar.
3.3.Rancangan Penelitian
3.3.1. Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan perlakuan yang di berikan yaitu pemberian jenis bahan pakan yang berbeda. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan sebagai ransum basal sebagai berikut:
Tabel 3. Kandungan nutrisi ransum yang digunakan
Bahan pakan BK PK SK LK ABU BETN TDN
Bungkil sawit 92,02 18,37 22,6 15,53 4,65 38,85 79,00
Onggok tanpa fermentasi
86,80 2,27 8,52 1,28 7,59 79,02 60,74
Onggok fementasi 88,00 2,62 6,42 7,36 2,51 76,24 86,23
Silase daun jagung 20,00 13,8 16,28 8,08 18,54 38,90 60,01
Silase daun singkong 25,89 21,56 14,30 12,87 11,46 36,20 61,80 Dedak halus 88,82 13,80 16,28 8,08 18,54 38,49 67,90 Molases 30,23 8,30 - - - - 63,00 Urea 99,00 288 - - - - - Premix 100 - - - 100 - -
Sumber :Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Unuversitas Lampung.
Keterangan : - BK (bahan kering), - PK (protein kasar), - LK (lemak kasar),
28
- SK (serat kasar),
- BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dalam bentuk %.
Tabel 4. Kandungan nutrisi ransum R0
Kandungan nutrisi berdasrkan bahan kering Ransum R0 Imbangan BK ABU LK SK PK BETN
---%--- Konsetrat 50 43,40 5,74 3,36 8,12 6,84 25,93 Onggok tanpa termentasi 30 28,91 2,27 0,38 2,56 0,69 23,7 Silase daun jagung 20 19,23 3,7 1,61 3,25 2,76 7,69 Total 100 91,55 11,72 5,36 13,94 10,28 57,32 Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Unuversitas Lampung. Keterangan : - BK (bahan kering),
- PK (protein kasar), - LK (lemak kasar), - SK (serat kasar),
- BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dalam bentuk %.
Tabel 5. Kandungan nutrisi ransum R1
Kandungan nutrisi berdasrkan bahan kering Ransum R1 Imbangan BK ABU LK SK PK BETN
---%--- Konsetrat 45 39,80 5,82 2,61 6,79 5,23 24,52 Onggok terfementasi 30 28,55 0,75 2,2 1,92 0,79 22,87 Silase daun jagung 25 24,04 4,63 2,02 4,07 3,45 9,62 Total 100 92,39 11,21 6,84 12,78 9,47 57,01 Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Unuversitas Lampung. Keterangan : - BK (bahan kering),
- PK (protein kasar), - LK (lemak kasar), - SK (serat kasar),
29
Tabel 6. Kandungan nutrisi ransum R2
Kandungan nutrisi berdasrkan bahan kering Ransum R2 Imbangan BK ABU LK SK PK BETN
---%--- Konsetrat 39 33,87 3,8 3,1 548 5,93 20,69 Onggok terfermentasi 30 28,55 0,75 2,21 1,93 0,79 22,87 Silase daun singkong 15 14,27 1,72 1,93 2,15 3,23 5,43 Silase daun jagung 16 15,38 297 1,29 2,6 2,21 6,16 Total 100 92,07 9,24 8,54 12,15 12,14 55,15 Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Unuversitas Lampung. Keterangan : - BK (bahan kering),
- PK (protein kasar), - LK (lemak kasar), - SK (serat kasar),
- BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dalam bentuk %.
Tabel 7. Kandungan nutrisi ransum R3
Kandungan nutrisi berdasrkan bahan kering Ransum R3 Imbangan BK ABU LK SK PK BETN
---%--- Konsetrat 39 33,87 3,8 3,1 5,48 5,93 20,69 Onggok terfermentasi 30 28,55 0,75 2,21 1,93 0,79 2287 Silase daun singkong 15 14,27 1,72 1,93 2,15 3,23 5,43 Silase daun jagung 16 15,38 2,97 1,29 2,6 2,21 616 Total 100 92,07 9,24 8,54 12,15 12,14 55,15 Sumber :Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan
Peternakan, Fakultas Pertanian, Unuversitas Lampung.
Keterangan : - Mineral mikro organik ( Zn lisinat 40 ppm, Se lisinat 0,01 ppm, Cr lisinat 0,30 ppm, Cu lisinat 10 ppm)
- BK (bahan kering), - PK (protein kasar), - LK (lemak kasar), - SK (serat kasar),
30
Perlakuan yang digunakan yaitu pemberian ransum dengan berbagai bahan yang berbeda dengan label R0, R1, R2, dan R3. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian
ransum yang berbeda yaitu :
R0 : Ransum basal +30% onggok tanpa fermentasi R1 : Ransum basal + 30% onggok terfermentasi R2 : R1 + 15% silase daun singkong
R3 : R2 + mineral mikro ( Zn, Cu, Se, Cr)
3.3.2. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode in vivo dengan teknik penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga kambing yang dibutuhkan yaitu 12 ekor. Kambing dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kambing PE jantan dengan pembagian berdasarkan bobot tubuh, tata letak kambing dan pembagian bobotnya sebagai berikut:
U1R0 U1R1 U1R2 U1R3 U2R0 U2R1 U2R2 U2R3
Kelompok 1 Kelompok 2
U3R0 U3R1 U3R2 U3R3
Kelompok 3
Gambar 1. Tata letak kandang kambing PE jantan Keterangan : U : Ulangan
31
Kelompok I : 13,50 – 15,10 kg; Kelompok II : 15,15 – 16,95 kg; Kelompok III : 17,00 – 24,50 kg.
3.3.3. Racangan Peubah
Pengukuran kecernaan dihitung berdasarkan rumus koefisien cerna semu menurut
Fathul et al., (2013) nilai kecernaan ini lebih dikenal dengan Apparent Digestible
Coeficient (ADC) atau koefisien kecernaan semu, dengan rumus sebagai berikut:
( )
A. Kecernaan protein kasar
Kecernaan protein ransum yang diteliti diukur dengan cara menghitung selisih
protein ransum yang dikonsumsi dengan protein yang keluar bersama feses,
kemudian dibagi protein ransum yang dikonsumsi, lalu dikali 100%. Rumus kecernaan protein kasar sebagai berikut :
( )
( ) ( ) ( ( ) )
32
B. Kecernaan serat kasar
Kecernaan serat kasar ransum yang diteliti diukur dengan cara menghitung selisih
serat kasar ransum yang dikonsumsi dengan serat kasar yang keluar bersama
feses, kemudian dibagi serat kasar ransum yang dikonsumsi, lalu dikali 100%. Rumus kecernaan serat kasar sebagai berikut :
( )
( ) ( ) ( ( ) )
( ) ( )
C. Konsumsi bahan organik
Konsumsi bahan organik di peroleh dengan cara menghitung selisih %BO
pemeberian dengan %BO sisa pakan yang diberikan selama 24 jam. Nilai konsumsi bahan organik dihitung menggunakan rumus:
Konsumsi bahan organik (g/ekor/hari)
= (%BO pemberian x BK pemberian) - (%BO sisa x BK sisa)
D. Pertambahan bobot tubuh harian
Khaerani Kiramang (2011) pertambahan bobot tubuh diperoleh dari selisih antara bobot tubuh akhir dengan bobot tubuh awal.
Pertambahan bobot tubuh harian=
33
Keterangan :
t1 = Waktu awal pengamatan (hari) t2 = Waktu akhir pengamatan (hari) W1 = Bobot badan awal (kg) W2 = Bobot badan akhir (kg)
3.3.4. Prosedur Perlakuan
3.3.4.1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian meliputi persiapan kandang penelitian, kambing penelitian, dan ransum penelitian. Adapun persiapan kandang dan kambing penelitian sebagai berikut :
1) Membersihkan kandang dan lingkungan kandang;
2) Menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian;
3) Memasang alas tempat pakan dan jaring-jaring pada bagian bawah kandang untuk menampung feses;
4) Memberikan label pada kandang atau kambing yang digunakan;
5) Melakukan penimbangan bobot tubuh awal kambing dan mencatatnya sebagai data dasar untuk pengelompokkan kambing;
6) Memasukkan kambing dalam kandang individu sesuai dengan rancangan percobaan dan tata letak yang telah ditentukan, seperti berikut ini:
34
3.3.4.2. Pembuatan mineral mikro organik A. Pembuatan mineral mikro organik Zn Lisinat
2 Lys (HCL)2 + ZnSo4 Zn(Lys(HCL)2) + SO42-
1) Menyiapkan peralatan dan bahan;
2) Menimbang lisin sebanyak 43,82 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam beker ukur;
3) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya menggunakan spatula hingga homogen;
4) Menimbang ZnSO4 sebanyak 16,13 gr dan memasukkan bahan tersebut kedalam
gelas ukur yang berbeda;
5) Menambahkan aquades kedalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya menggunakan spatula hingga homogen;
6) Mencampurkan kedua larutan hingga homogen;
7) Memasukkan larutan ke dalam botol dan menghomogenkannya kembali, kemudian menutup botol dengan rapat.
B. Pembuatan Mineral Cu Lisinat
2 Lys (HCL)2 + CuSo4 Cu (Lys(HCL)2) + SO4
2-1) Menyiapkan peralatan dan bahan;
2) Menimbang lisin sebanyak 43,5 gr dan memasukkan lisin tersebut ke dalam gelas ukur;
3) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur berisi lisin yang telah ditimbang hingga 100 ml, kemudian mengaduknya hingga homogen;
35
4) Menimbang CuSO4 sebanyak 16,00 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam
gelas ukur terpisah;
5) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya menggunakan spatula hingga homogen;
6) Mencampurkan kedua larutan hingga homogen;
7) Memasukkan larutan ke dalam botol dan menghomogenkannya kembali, kemudian menutup botol dengan rapat.
C. Pembuatan Mineral Cr Lisinat
3 Lys (HCL)2 + CrCl3 . 6 H2O Lys 3Cr + H2O
1) Menyiapkan alat dan bahan;
2) Menimbang lisin sebanyak 11,2 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam gelas ukur;
3) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya hingga homogen;
4) Menimbang CrCl36H2O sebanyak 0,5 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam
gelas ukur;
5) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya menggunakan spatula hingga homogen;
6) Mencampurkan kedua larutan hingga homogen;
7) Memasukkan larutan ke dalam botol dan menghomogenkannya kembali, kemudian menutup botol dengan rapat.
36
D. Pembuatan Mineral Se Lisinat
2 Lys (HCL)2 + NaSeO3 LysSO3 + 2NaCl
1) Menyiapkan alat dan bahan;
2) Menimbang lisin sebanyak 0,87 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam gelas ukur;
3) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya hingga homogen;
4) Menimbang NaSeO3 sebanyak 0,63 gr dan memasukkan bahan tersebut kedalam
gelas ukur;
5) Menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian mengaduknya menggunakan spatula hingga homogen;
6) Mencampurkan kedua larutan hingga homogen;
7) Memasukkan larutan ke dalam botol dan menghomogenkan kedua larutan, kemudian menutup botol dengan rapat.
3.3.4.3. Persiapan ransum
A. Pembuatan silase daun singkong
Menyiapkan limbah tanaman singkong yang terdiri dari batang dan daun.
Mengurangi kadar air dengan melayukan hingga kadar airnya 30%. Setelah bahan-bahan tersebut siap, masing-masing dari bahan-bahan tersebut kemudian
disemprot/dicampur dengan EM-4. Kemudian disimpan selama 14 hari dengan keadaan padat dan anaerob agar didapatkan hasil dari fermentasi yang maksimal setelah itu dapat digunakan untuk pakan.
37
Gambar 2. Skema pembuatan limbah tanaman singkong
B. Pembuatan onggok fermentasi
Menyiapkan limbah pengolahan singkong yaitu onggok. Setelah bahan-bahan tersebut siap, masing-masing dari bahan tersebut kemudian ditaburkan/dicampur dengan ragi (saccaharomyces cerevisiae). Setelah itu disimpan secara anaerob yaitu dipadatkan dan ditutup rapat-rapat agar tidak ada udara yang masuk dan didapatkan hasil dari fermentasi yang maksimal. Proses fermentasi berlangsung sampai 14 hari setelah itu dapat digunakan untuk pakan.
Batang dan daun singkong
Chopper
Mengurangi kadar air dengan melayukan
Semprot dengan EM4
Dipadatkan, ditutup rapat dan disimpan dalam kondisi anaerob selama 14 hari
38
Gambar 3. Skema pembuatan limbah pengolahan singkong
C. Pembutan ransum
1) Membuat formulasi ransum sesuai dengan kebutuhan kambing;
2) Menyiapkan bahan pakan yang akan dibuat ransum dengan cara menimbang semua bahan pakan yang tersedia mulai dari persentase formulasi yang paling banyak hingga yang sedikit;
3) Menghomogenkan semua bahan pakan tersebut;
4) memberikan perlakuan pada ransum yaitu dengan penambahan daun singkong dan onggok terfermentasi serta mineral mikro organik pada masing masing ransum perlakuan.
5) Memasukan masing-masing ransum ke dalam karung;
6) Memberikan tanda pada masing-masing karung tersebut; Onggok Basah (81--85%)
Dicampurkan ragi
Dimasukan kedalam tong, ditutup rapat dan disimpan dalam kondisi anaerob
selama 14 hari
39
7) Menyimpan ransum dalam tempat yang bersih dan terhindar dari gangguan (hujan/air);
8) Menimbang ransum apabila akan diberikan kepada ternak.
3.3.4.4. Kegiatan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan prelium, yaitu kambing percobaan diberi ransum perlakuan yang berlangsung selama 14 hari. Tahap kedua yaitu pengambilan data yang dilakukan setelah ternak melalui tahap prelium,pengambilan data dilakukan dengan melakukan koleksi feses yang
berlangsung selama 7 hari. Data yang harus diambil yaitu data jumlah feses, jumlah ransum yang dikonsumsi, dan jumlah ransum yang tersisa. Selain itu, sampel ransum dan sampel feses selama periode diambil dan akan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui banyaknya nutrisi yang tercerna, khususnya protein kasar dan serat kasar. Tahap ketiga yaitu tahap pengolahan data hasil analisis proksimat.
3.3.4.5. Koleksi feses
Metode koleksi yang digunakan yaitu metode koleksi total dengan mengumpulkan feses yang dihasilkan selama 24 jam selama 7 hari. Prosedur yang harus dilakukan sebagai berikut:
1) Menyiapkan wadah penampung feses;
2) mengumpulkan feses yang dihasilkan kambing dan menimbang feses yang dihasilkan selama 24 jam yang dilakukan pada pagi hari pukul 07.00--08.00 WIB
40
sebelum ternak diberi ransum yang berlangsung selama 7 hari, kemudian menimbang dan mencatat bobot feses dihasilkan sebagai bobot segar (BS); 3) Menghomogenkan feses yang dihasilkan selama 24 jam dalam 7 hari berdasarkan
jenis perlakuan;
4) Mengeringkan feses di bawah sinar matahari dan menimbang kembali feses untuk mengetahui bobot bahan kering udara (BKU);
5) Mengambil sampel feses sebanyak 10% BKU/hari, kemudian menghaluskan
sampel menggunakan blender agar menjadi tepung;
6) Melakukan analisis proksimat terhadap sampel tepung feses berupa kandungan protein kasar dan serat kasarnya.
3.3.4.6. Analisis proksimat
Analisis kandungan protein kasar dan serat kasar pada sampel feses maupun pakan menggunakan metode analisis proksimat menurut Fathulet al. (2013).
A. Protein Kasar
Pengukuran protein kasar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menimbang sample analisa sebanyak 0,5 g dan mencatat bobotnya (A); 2) Memasukkan sampel ke dalam labu Kjeldahl dan menambahkan 5 ml H2SO4
pekat;
3) Menyalakan alat destruksi dan memulai proses destruksi. Mematikan alat destruksi apabila sampel berubah menjadi larutaan jernih kehijauan, kemudian mendiamkan hingga dingin lalu menambahkan 200 ml air suling;
41
4) Menyiapkan 25 ml H3BO3 dalam gelas erlenmeyer, kemudian menambahkan 2
tetes indikator metile red and blue (larutan berubah menjadi biru). Memasukkan ujung alat kondensor ke dalam erlenmeyer tersebut dan harus dalam posisi terendam;
5) Menyalakaan alat destilasi dan menambahkan 50 ml NaOH 45% ke dalam
labuKjeldahl. Mengangkat ujung alat kondensor yang terendam, apabila larutantelah menjadi sebanyak 150 ml;
6) Membilas ujung alat kondensor dengan air suling menggunakan botol semprot, dan menyiapkan alat untuk titrasi. Mengisi buret dengan larutan HCl 0,1 N, mengamati dan membaca angka pada buret, kemudian mencatatnya (L1);
7) melakukan titrasi secara perlahan dan menghentikan titrasi apabila larutan berubah menjadi warna hijau, mengamati dan membacaangka pada buret, dan mencatatnya (L2);
8) Melakukan langkah di atas tanpa menggunakan sampel sebagai blanko; 9) Menghitung persentase nitrogen dengan rumus :
( ) ( )
Keterangan:
N : kandungan nitrogen(%)
L blanko : volume titran blanko (ml) L sampel : volume titran sampel (ml)
N basa : normalitas NaOH