• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair

Limbah cair merupakan hasil kegiatan yang sengaja dibuang dalam bentuk cair. Limbah cair merupakan campuran antara air dengan bahan-bahan lainnya baik yang larut maupun tersuspensi dalam campuran tersebut (Soeparman dan Suparmin. 2002). Limbah cair ditentukan berdasarkan kandungan cairan yang akan mengikuti aliran air ketika berada pada suhu di bawah 60oC (Department of Environment and Conservation (NSW) Australia. 1999). Limbah cair memiliki karakteristik secara fisika, kimia, dan biologi.

Secara fisik, air limbah memiliki karakteristik yang diamati dari suhu, warna, bau, dan kekeruhan. Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dari suhu air pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan pada air limbah terjadi akivitas mikroorganisme, aktivitas pelarutan gas-gas dalam air limbah, serta aktivitas pelekatan bahan-bahan dalam air limbah yang meningkatkan suhu di dalam air limbah. Warna air limbah umumnya berwarna abu-abu (greywater) atau berwarna hitam (blackwater). Warna abu-abu air limbah berasal dari campuran berbagai residu bahan organik dan anorganik yang menghasilkan perubahan warna pada air. Jika air limbah berwarna abu-abu (greywater) tercampur dengan sampah bahan makanan, urin, dan feses akan menghasilkan air limbah berwarna hitam (black water). Bau dari air limbah bervariasi sesuai dengan komposisinya. Bau air limbah abu-abu (grey water) umumnya berbau tengik, bau air limbah hitam (black water) berbau busuk dikarenakan adanya proses dekomposi dari urin dan feses dalam air limbah,

(2)

sedangkan bau dari air limbah industri memiliki bau spesifik yang berbeda dari air limbah lainnya. Air limbah lebih keruh dari air biasa. Kekeruhan air limbah dipengaruhi oleh padatan yang terlarut maupun padatan yang tersuspensi dalam air limbah. Air limbah abu-abu (greywater) umumnya memiliki tingkat kekeruhan yang lebih rendah dibandingkan dengan air limbah hitam (black water) dan air limbah industri (Sperling. 2007).

Karakteristik Kimia dari air limbah adalah kandungan berbagai macam bahan organik dan anorganik yang ada di dalam air limbah. Kandungan bahan-bahan tersebut mempengaruhi kualitas parameter kimia dalam air limbah yang mencakup pH, BOD, COD, serta penentuan tingkat kandungan bahan kimia yang berbahaya seperti fosfor, nitrogen, dan klorida. Karakteristik Biologi dari air limbah umumnya mengandung berbagai jenis organisme yang tumbuh akibat adanya kandungan bahan organik dalam limbah sebagai bahan makanan. Jenis organisme yang umum ada di dalam air limbah yaitu bakteri, jamur, virus, maupun organisme air sejenis (Sperling. 2007).

Berdasarkan sumber penghasilnya, limbah cair dibagi menjadi dua jenis yaitu air limbah industri dan air limbah domestik (Helmer dan Hespanhol (eds). 1997).

2.1.1 Air Limbah Industri

Air limbah industri merupakan air limbah dari berbagai kegiatan industri yang mencakup proses produksi hingga proses penunjang kegiatan industri (Spellman. 2008). Terdapat banyak tipe air limbah industri sesuai dengan jenis industrinya. Beberapa jenis industri memiliki jeins polutan yang berbeda-beda dalam limbahnya, seperti dalam tabel berikut (Hanchang. 2009):

(3)

Tabel 2.1 Tabel Jenis Polutan pada Sektor Industri

Sektor Industri Polutan

Besi dan Logam BOD, COD, Minyak, logam,

asam, fenol, dan sianida

Tekstil BOD, padatan, sulfat, dan

kromium

Kertas dan bahan sejenis BOD, COD, padatan, bahan organik terklorinasi

Minyak dan Bahan Bakar lainnya BOD, COD, minyak, fenol, dan Kromium

Kimia COD, bahan kimia organik,

logam berat, sianida

Logam non-besi Fluor

Mikroelektronik COD, dan bahan kimia organik

Pertambangan Logam, asam, dan garam

Sumber: Hanchang, Shi. (2009). Industrial Wastewater-Types, Amounts and Effects

Berdasarkan tabel tersebut, air limbah industri memiliki beberapa kandungan polutan yang umum sesuai dengan karakteristik air limbah yaitu; BOD, COD, bahan kimia organik, bahan kimia anorganik berupa limbah logam, padatan, dan minyak (Sperling. 2007). Air limbah industri digolongkan menjadi dua jenis yaitu air limbah organik industri dan air limbah anorganik industri.

(4)

2.1.1.1 Air limbah organik industri

Air limbah organik industri merupakan air limbah dengan kandungan bahan-bahan residu berupa senyawa organik yang berasal dari proses produksi industri yang membutuhkan penggunaan bahan kimia organik sebagai pereaksi. Beberapa industri penghasil air limbah organik industri meliputi industri obat, kosmetik, bahan pembersih, tekstil, kertas, dan industri kulit. Pada industri tersebut, proses produksi menggunakan berbagai campuran bahan-bahan alami dan sintetis untuk memproduksi berbagai jenis produk yang dipasarkan. Proses tersebut menghasilkan air limbah yang memiliki kualitas yang buruk dengan kisaran COD 5.000-15.000 mg/L sehingga memerlukan metode pengolahan yang efektif untuk mengolah limbah tersebut sebelum dibuang ke perairan (Hanchang. 2009).

2.1.1.2 Air limbah anorganik industri

Air Limbah anorganik industri merupakan air limbah yang mengandung residu berupa senyawa anorganik yang berasal dari proses produksi. Air limbah anorganik tersebut umumnya dihasilkan oleh industri logam dan industri mineral bukan logam. Air limbah yang dihasilkan industri tersebut banyak mengandung padatan terutama padatan tersuspensi. Selain padatan, air limbah tersebut juga mengandung polutan sianida, asam, dan flourida. Polutan sianida dan asam yang berasal dari proses pembakaran logam dan proses pendinginan logam, sedangkan flourida dihasilkan pada proses pemurnian logam khususnya aluminium. Oleh karena itu, air limbah anorganik memerlukan pengolahan sebelum dibuang dikarenakan sifatnya yang berbahaya dan toksik (Hanchang. 2009).

(5)

2.1.2 Air Limbah Domestik

Menurut Mara (2004), air limbah domestik merupakan air yang telah digunakan dalam berbagai aktivitas di masyarakat dan tercampur dengan berbagai bahan yang digunakan dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Bahan-bahan yang dimaksud berupa buangan dari tubuh manusia atau hasil ekskresi berupa urin dan feses serta hasil aktivitas lainnya seperti mandi, laundry, pencucian bahan makanan, dan pencucian alat-alat rumah tangga. Sumber dari air limbah domestik beragam sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan manusia. Sumber-sumber air limbah domestik berasal dari kegiatan rumah tangga, industri dan perkantoran, pertanian, fasilitas rekreasi, serta akuakultur (Helmer dan Hespanhol. 1997). Berdasarkan bahan-bahan residu yang terkandung dalam air limbah, air limbah domestik dibagi menjadi dua yaitu air limbah domestik abu-abu (greywater) dan air limbah domestik hitam (blackwater) (Stevens. 2008).

2.1.2.1 Air limbah domestik abu-abu (grey water)

Greywater merupakan air limbah yang berasal dari aktivitas mandi, laundry, pencucian alat-alat, pencucian bahan makanan. Grey water mengandung berbagai bahan residu yang memiliki risiko bahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Kandungan bahan-bahan dalam grey water berupa minyak dan lemak, sodium, fosfor, nitrogen, garam, serta senyawa kimia yang terdapat pada deterjen, sabun, dan bahan pembersih rumah tangga lainnya. Selain bahan-bahan tersebut, grey water

juga mengandung organisme penyebab penyakit seperti bakteri, protozoa, dan virus.

Greywater dapat dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman, namun jika penggunaan

greywater dilakukan terus menerus akan menyebakan kelebihan bahan organik pada tanah yang berdampak pada kejenuhan bahan organik dalam tanah sehingga tanah

(6)

sulit untuk ditumbuhi tanaman. Selain itu, grey water berlebih dalam tanah berisiko merusak kualitas tanah dan berisiko mencemari air tanah (Stevens. 2008).

Kualitas grey water ditentukan dari kontribusi aktivitas yang menghasilkan

grey water. Semakin banyak aktivitas yang berkontribusi menghasilkan grey water

semakin tinggi nilai BOD, COD, total padatan, kandungan fosfor, dan kandungan nitrogen yang mengakibatkan air limbah memiliki tingkat cemaran yang tinggi dan meningkatkan risiko grey water dalam mencemari lingkungan dan berisiko memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Aktivitas yang banyak berkontribusi meningkatkan nilai parameter tersebut adalah aktivitas mencuci yang menggunakan berbagai macam bahan pembersih seperti deterjen, sabun mandi, sabun cuci, serta produk perawatan tubuh yang mengandung berbagai jenis zat kimia (Stevens. 2008).

2.1.2.2 Air Limbah domestik hitam (blackwater)

Black water merupakan air limbah yang berasal dari campuran antara buangan air dengan ekskresi manusia seperti urin dan tinja serta sampah organik dapur. Blackwater yang mengandung campuran tinja dan urin mengandung nitrogen, fosfor, potassium, karbon, dan kalsium. Tinja sebelum tercampur dalam air terdiri dari air sampai 80% sedangkan sisanya adalah padatan bahan-bahan organik, sedangkan urin terdiri dari air sampai 96% dan sisanya merupakan padatan bahan-bahan organik (Gotaas. 1956 dalam Soeparman dan Suparmin. 2002). Black water

juga mengandung organisme penyebab penyakit, hormone, serta residu bahan kimia yang diekskresikan tubuh (Graaff dkk. 2010). Organisme tersebut meliputi bakteri, protozoa, virus, cacing, serta parasite lainnya yang ada dalam tinja. Bakteri yang banyak ditemukan dalam blackwater berupa jenis bakteri Coliform dengan dominasi bakteri Escherichia coli dan Fecal streptococci (Soeparman dan Suparmin. 2002).

(7)

Kualitas blackwater ditentukan dari proporsi penyusun blackwater. Urin dan feses pada umumnya merupakan hasil buangan yang mengandung residu bahan kimia dan bahan toksik lainnya yang tidak diperlukan tubuh. Residu tersebut berasal dari konsumsi zat kimia dalam berbagai jenis seperti obat maupun jenis suplemen lainnya. Semakin banyak residu yang dihasilkan tubuh dan dibuang dalam bentuk urin dan feses maka semakin berbahaya black water yang dihasilkan (Tjandraatmadja dan Diaper. 2006).

2.1.3 Air Limbah Laundry

Air limbah Laundry digolongkan ke dalam kategori grey water. Menurut Tjandraatmadja dan Diaper (2006), perkembangan selama 10 tahun terakhir menunjukan bahwa salah satu pengaruh yang merubah kualitas grey water adalah perubahan formula pada produk laundry seperti deterjen, softener, pemutih, dan jenis produk laundry lainya.

Deterjen merupakan salah satu bahan yang berkontribusi paling banyak dalam kegiatan laundry. Surfaktan dan Builder merupakan bahan utama dalam deterjen meski terdapat bahan lain yang berperan dalam meningkatkan kinerja dari deterjen yang meliputi; enzim, bahan pemutih, dan bahan tambahan lainnya. Surfaktan dalam deterjen dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu; anionik, nonionik, kationik, and zwitterionik (Yu dkk. 2008).

Surfaktan jenis anionik merupakan jenis surfaktan yang paling banyak digunakan dalam industri laundry dikarenakan biaya pembuatannya yang mudah dan murah. Dalam kelompok ini, jenis yang umum adalah jenis Alkyl Benzene Sulfonates (ABS), Linear Alkyl Benzene Sulfonates (LAS), Alpha Olefin Sulfonate (AOS), Alkyl Ethoxy Ether Sulfate (AES), dan jenis lainnya. Pada beberapa produk

(8)

deterjen juga terdapat jenis surfaktan dalam kelompok lain seperti Nonylphenol dan Sodium Lauryl Ether Sulphate dari kelompok nonionik (Yu dkk. 2008). Penggunaan surfaktan bertujuan untuk mengangkat kotoran dan noda pada serat pakaian dengan cara membasahi kotoran dengan gugus hidrofilik (suka air) dan mengendorkannya, lalu gugus hidrofobik (tidak suka air) mengangkat kotoran keluar dari serat kain dan mengikatnya sehingga tidak menempel lagi di serat kain (Sopiah. 2004; Kohler 2006).

Builder merupakan bahan pendukung efektivitas surfaktan yang berbasis sodium. Jenis builder dalam deterjen umumnya dalam bentuk sodium tripolifosfat (Tjandraatmadja dan Diaper. 2006). Sodium tripolifosfat dalam deterjen merupakan bahan yang bereaksi dengan ion magnesium dan ion kalsium yang terdapat dalam air dengan tujuan untuk mengurangi keberadaan ion magnesium dan ion kalsium bebas dalam air yang dapat mengurangi efektivitas surfaktan. Reaksi antara sodium tripolifosfat dan ion-ion tersebut membentuk padatan dan senyawa lain yang mengandung fosfat. Penggunaan deterjen dipengaruhi oleh tingkat kesadahan air yang digunakan untuk mencuci dikarenakan tingkat kesadahan air dipengaruhi oleh kandungan kalsium dan magnesium dalam air. Jika air yang digunakan untuk mencuci memiliki tingkat kesadahan yang tinggi maka padatan yang terbentuk akibat pengikatan kalsium dan magnesium oleh builder lebih tinggi dibandingkan dengan mencuci menggunakan air dengan tingkat kesadahan yang rendah (Kohler. 2006; Yu dkk. 2008). Selain takaran penggunaan deterjen, jenis deterjen yang digunakan juga memberikan pengaruh terhadap kualitas air limbah laundry. Berdasarkan penelitian Patterson (2000), deterjen bubuk menghasilkan kualitas air limbah yang lebih buruk dibandingkan dengan deterjen cair dilihat dari jumlah sodium, fosfor, dan kadar garam (salinitas) yang terdapat pada air limbah yang dihasilkan.

(9)

Softener dan pemutih merupakan jenis produk yang digunakan dalam kegiatan laundry dengan tujuan untuk melengkapi dan memaksimalkan pembersihan dan perawatan pada serat pakaian. Softener dan pemutih mengandung bahan-bahan berupa senyawa berbasis sodium. Keunggulan dari sodium menurut Patterson (2000) adalah kemampuannya yang mudah melarutkan partikel-partikel dalam air, namun sodium sulit dipisahkan dari air kecuali menggunakan metode pembalikan osmosis. Kandungan sodium tersebut akan mempengaruhi kadar garam dalam air (salinitas) dan akan berdampak pada penurunan kualitas air apabila langsung dibuang ke perairan.

Kombinasi penggunaan bahan-bahan tersebut menghasilkan air limbah

laundry yang memiliki kualitas air limbah yang tidak sesuai baku mutu salah satunya baku yang terdapat pada Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup. Hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Suwerda (2013). Berdasarkan tudi tersebut, rata-rata kualitas air limbah laundry di salah satu industri laundry di Bantul Yogyakarta memiliki nilai parameter COD sebesar 1.817,67 mg/L, TSS sebesar 564,29 mg/L, dan Total Fosfat sebesar 50,84 mg/L.

2.2 Parameter Air Limbah

Parameter air limbah menentukan kualitas air limbah. Parameter yang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan dinyatakan aman untuk dibuang ke perairan dibagi menjadi 3 kategori yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi (Sperling. 2007). Dari ketiga jenis parameter tersebut, parameter yang umum digunakan dalam pengujian kualitas air limbah adalah parameter fisika meliputi Total Suspended Solids (TSS), Total Dissolved Solids (TDS), dan parameter kimia yang meliputi

(10)

Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), nilai pH, kadar Fosfor, serta kadar Nitrogen (Carty dkk. 1997; Sperling. 2007).

2.2.1 Parameter Fisika

Parameter fisika merupakan parameter pengukuran kualitas air yang dilakukan melalui pengukuran secara fisika. Parameter fisika yang dapat diukur adalah suhu, TotalSuspendedSolids (TSS), dan TotalDissolvedSolids (TDS).

2.2.1.1 Suhu

Suhu merupakan derajat atau intensitas panas yang ada dalam suatu benda dengan menggunakan skala perbandingan pada thermometer. Parameter suhu dalam penentuan kualitas air limbah digunakan untuk menentukan adanya perubahan intensitas panas pada air limbah akibat adanya reaksi biologi dan atau kimia yang menghasilkan panas pada badan air (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu suhu pada air adalah suhu dengan deviasi 3 dari suhu air normal untuk baku mutu air kelas III ke atas.

2.2.1.2 Total Suspended Solids (TSS)

Total Suspended Solids (TSS) merupakan keseluruhan padatan organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam air. Umumnya TSS terdiri dari 70% padatan organik dan 30% padatan anorganik (Carty, dkk. 1997). Padatan tersuspensi terbagi sesuai dengan karakteristik padatan yang ada dalam air. Padatan tersuspensi terdiri dari padatan yang dapat menguap (volatile solids), padatan yang tetap dan tidak berubah meskipun mengalami pemanasan (fixed solids), padatan yang dapat

(11)

diendapkan (settleable solids) dan padatan yang tidak dapat diendapkan ( non-settleablesolids). Volatilesolids merupakan padatan yang bersifat organik dan dapat dihilangkan melalui proses degradasi biologis, sedangkan non-settleable solids

memerlukan tambahan bahan khusus agar mudah mengendap sehingga proses pemisahan antara padatan dengan air mudah dilakukan (Soeparman dan Suparmin. 2002). Pengukuran TSS pada air dilakukan dengan proses filtrasi kemudian filtrat dikeringkan sehingga didapat jumlah total padatan yang tersuspensi (Carty, dkk. 1997; Effendi. 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu TSS untuk air limbah adalah 60 mg/L.

2.2.1.3 Total Dissolved Solids (TDS)

Total Dissolved Solids (TDS) merupakan keseluruhan padatan terlarut dan koloid yang tidak dapat tersaring pada kertas saring (Effendi. 2003). TDS terdiri dari garam anorganik seperti sodium, karbonat, bikarbonat, kalsium, magnesium, potasium, sulfat, nitrat, dan klorin (Csuros. 1994). TDS merupakan kontaminan utama dalam air limbah karena berkaitan dengan kadar garam dalam air (salinitas). Kadar garam yang tinggi dalam air apabila dibuang ke tanah akan menyebabkan kelebihan mineral garam dalam tanah sehingga mencemari dan merusak kualitas tanah. Padatan terlarut dalam air memiliki karakteristik tingkat kelarutan yang berbeda-beda. Sodium merupakan jenis garam dominan yang ada dalam air limbah dengan tingkat kelarutan yang tinggi sehingga diperlukan metode khusus untuk memisahkan sodium dalam air (Tjandraatmaja dan Diaper. 2006). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu TDS untuk air limbah adalah 2000 mg/L.

(12)

2.2.2 Parameter Kimia

Parameter kimia merupakan parameter pengukuran kualitas air yang mengukur kandungan kimia dalam air serta reaksi yang terjadi dalam air tersebut. Parameter kimia yang dapat diukur adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD),

Chemicaloxygen Demand (COD), nilai pH, Total Fosfat, dan Total Nitrogen (Carty dkk. 1997).

2.2.2.1 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

BOD merupakan jumlah oksigen yang dimanfaatkan organisme yang berada di dalam air untuk menguraikan bahan organik yang ada melalui proses oksidasi biokimia (Carty dkk. 1997; Fardiaz. 1992). BOD merupakan parameter yang menunjukan perkiraan pengaruh yang terjadi dalam air akibat adanya pengurangan kadar oksigen dalam air (Soeparman dan Suparmin. 2002). Pengukuran BOD dilakukan dengan inkubasi sampel air dan mengoksidasi air selama 5 hari dengan suhu 20o C kemudian setelah 5 hari diamati dibandingkan kandungan oksigen dalam air sebelum dan sesudah inkubasi (Fardiaz. 1992). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu BOD untuk air limbah adalah 60 mg/L.

2.2.2.2 Chemical Oxygen Demand (COD)

COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan bahan-bahan kimia oksidan dalam air untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dalam air (Fardiaz. 1992). Oksidasi bahan organik tersebut meliputi bahan-bahan organik yang mengandung unsur karbon, kemudian dilakukan penyeimbangan terhadap

(13)

bahan-bahan karbon tersebut. Pengukuran COD memerlukan waktu yang singkat sekitar dua hingga tiga jam sehingga COD menjadi parameter dengan respon yang cepat dibandingkan dengan BOD namun tidak melihat respon penguraian bahan organik oleh organisme dalam air (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu BOD untuk air limbah adalah 150 mg/ L.

2.2.2.3 Derajat Keasaman (pH)

pH merupakan nilai yang menyatakan konsentrasi ion H+ dalam cairan. pH menentukan sifat cairan yang terdiri dari asam dengan pH kurang dari 7, netral dengan nilai pH 7, dan basa dengan pH lebih dari 7 dan nilai pH maksimal 14. Air dengan pH kurang dari 4 dapat menyebabkan kematian pada organisme air akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi air yang sangat asam. Selain itu, pH memiliki pengaruh terhadap toksisitas zat. Amonium yang sifatnya non-toksik pada pH rendah akan menjadi toksik pada pH yang tinggi akibat tidak terionisasi dalam air dengan pH yang tinggi. Metode pengukuran pH dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya dengan menggunakan pH meter (Carty dkk. 1997 dan Effendi. 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu pH untuk air kelas III ke atas adalah 6 sampai 9.

2.2.2.4 Total Fosfat

Total fosfat merupakan parameter yang mengukur keseluruhan fosfat dalam air. Fosfat merupakan senyawa yang tersusun atas unsur P (Fosfor) dan O (Oksigen). Kandungan unsur fosfor murni dalam air jarang ditemui, namun fosfor dalam bentuk

(14)

senyawa lain ditemukan bervariasi. Senyawa fosfor tersebut terbagi menjadi senyawa organik dan anorganik. Senyawa fosfor organik umumnya berupa padatan yang telah bereaksi dengan bahan-bahan organik, sedangkan bentuk fosfor anorganik yang ada dalam air terutama dalam air limbah berupa polifosfat dan ortofosfat yang menjadi bahan utama pada deterjen maupun bahan pembersih lainnya. Ortofosfat merupakan senyawa fosfor sederhana yang mudah untuk dipisahkan dari air sedangkan polifosfat merupakan senyawa fosfor kompleks sehingga memerlukan hidrolisis untuk mengubah senyawa tersebut menjadi ortofosfat (Carty dkk. 1997; Sperling. 2007).

Fosfor merupakan bahan yang menjadi nutrisi esensial bagi mikroorganisme dalam menyeimbangkan bahan organik serta menjadi nutrisi bagi pertumbuhan tanaman air. Jumlah fosfor yang berlebih dalam air berdampak pada pertumbuhan tanaman air yang tidak terkendali serta menyebabkan proses eutrofikasi (Carty dkk. 1997; Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu Total fosfat untuk air limbah adalah 5 mg/ L.

2.2.2.5 Total Nitrogen

Total nitrogen merupakan parameter yang mengukur total nitrogen dalam air. Kandungan nitrogen dalam air bervariasi menjadi berbagai jenis senyawa. Senyawa tersebut terdiri dari ammonia, nitrit, nitrat, serta senyawa nitrogen organik lainnya. Nitrogen bersama dengan fosfor merupakan bahan yang menjadi nutrisi esensial bagi mikroorganisme dalam menyeimbangkan bahan organik serta menjadi nutrisi bagi pertumbuhan tanaman air. Jumlah nitrogen yang berlebih dalam air berdampak pada pertumbuhan tanaman air yang tidak terkendali serta menyebabkan proses

(15)

eutrofikasi. Selain itu, nitrogen berupa ammonia bebas dalam air bersifat toksik bagi biota air seperti ikan (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu total nitrogen untuk air limbah 20 mg/ L.

2.2.3 Parameter Biologi

Parameter biologi merupakan parameter pengukuran kualitas air yang mengukur jumlah organisme yang ada dalam air terutama organisme yang bersifat pathogen. Parameter Biologi yang menentukan kualitas air secara umum adalah jumlah bakteri Coliform yang ada dalam air. Mengacu pada Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, parameter biologi

Coliform dibagi menjadi dua parameter yaitu parameter fecal coliform dan parameter

total coliform. Parameter fecal coliform mengacu pada keberadaan bakteri

Escherichia coli dan Fecal streptococci yang merupakan bakteri yang berasal dari sistem pencernaan (Soeparman dan Suparmin. 2002). Parameter total coliform

mengacu pada keseluruhan jumlah bakteri Coliform yang ada dalam air. Standar baku mutu parameter fecal coliform untuk air limbah adalah 2.000 koloni per 100 mL, sedangkan standar baku mutu total coliform untuk air limbah adalah 10.000 koloni per 100 mL.

2.3 Constructed Wetland (CW)

CW merupakan jenis lahan basah atau rawa buatan yang pembuatan dan fungsinya menyerupai lahan basah (Wetland) pada umumnya. CW tersusun atas tanaman air seperti jenis makrophyta, air, serta lapisan tanah dan batuan (Mara. 2004; Gauss dkk. 2008). Wetland alami maupun CW digunakan dalam mengolah air

(16)

limbah dikarenakan dalam sistem Wetland terdapat proses pengolahan limbah yang terintegrasi antara proses pengolahan limbah dengan filtrasi, sedimentasi serta degradasi secara biologi untuk memisahkan berbagai polutan yang ada dalam air limbah (Moshiri dkk. 1993; Gauss dkk. 2008).

Pada CW ditanami tanaman air atau jenis makrophyta yang mampu hidup dan toleran terhadap berbagai kandungan organik dan anorganik yang diterima dalam sistem pengolahan limbah (DuPoldt dkk. 1998). Peran tanaman air dan makrophyta dalam CW adalah sebagai penyedia oksigen dan karbon untuk mengubah senyawa ammonia dalam air limbah menjadi senyawa nitrit (nitrifikasi) melalui reaksi oksidasi. Selain itu, tanaman air dan makrophyta melakukan penyerapan nutrisi serta polutan terlarut kemudian digunakan untuk proses biologis tanaman dan disimpan pada bagian-bagian tertentu pada makrophyta (Cattin. 2012). Pada beberapa penelitian, jenis tanaman yang digunakan dalam CW seperti tanaman Lembang atau

Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia), Enceng gondok (Eichornia crasspes), Rumput Gajah atau Bulrush (Scirpus), Alang-alang atau Reed (Phragmites), Tanaman Kana (Canna sp.), serta jenis tanaman air lainnya (DuPoldt dkk. 1998; Yan dkk. 2009; Abdulgani dkk. 2013; Kurniawan dkk. 2013).

Selain jenis tanaman air dan makrophyta, filter yang digunakan dalam CW juga menentukan hasil pengolahan air limbah. Filter dalam CW berperan sebagai penyimpan berbagai bahan yang terkandung pada air limbah kemudian ditransformasi secara kimia dan biologi menjadi bahan yang tidak bersifat polutan serta sebagai nutrisi bagi keberlansungan tanaman air dan mikroorganisme yang ada dalam sistem CW. Pengunaan jenis filter terbaik adalah batu vulkanik karena pori-pori batuan yang besar dan banyak dalam batu vulkanik memaksimalkan pemisahan senyawa kimia anorganik seperti fosfor dan nitrogen dari air melaui aktivitas

(17)

mikrobiologis dalam pori batuan yang kemudian disimpan dalam pori batuan tersebut (DuPoldt dkk. 1998; Cattin. 2012). Selain itu, kandungan senyawa aluminium dalam bentuk alumina (Fe2O3) dan silica dalam batu vulkanik merupakan senyawa yang mampu menyerap fosfor dan memisahkannya dari air limbah dalam jumlah yang besar (Ballantine dan Tanner. 2011). Selain batu vulkanik, jenis batu lain juga dapat digunakan seperti batu kapur, batuan sungai, dan jenis batuan lainnya sesuai dengan kondisi geografis masing-masing lokasi instalasi. Penggunaan filter dalam CW harus dalam keadaan bersih sehingga tidak menggangu proses pengolahan (Cattin. 2012).

Berdasarkan metode penyusunannya, CW terbagi menjadi 3 jenis yaitu

Surface Flow Constructed Wetland (SFCW), Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (HFSFCW), dan Vertical Sub-surface Flow Constructed Wetland (VFSFCW).

2.3.1 Surface Flow Constructed Wetland (SFCW)

SFCW merupakan jenis CW yang memiliki konsep pembuatan yang hampir sama dengan wetland alami. Pembuatan SFCW menggunakan luas tertentu dengan komposisi tanah, air, serta berbagai jenis tanaman air dan makrophyta dengan berbagai sifatnya di dalam air baik itu jenis tanaman air yang mengapung, tidak muncul ke atas permukaan air, maupun yang muncul ke atas permukaan air (Gauss. 2008; Cattin. 2012). Pada gambar 2.1 disajikan gambaran SFCW.

(18)

Tanah Tempat Media Keluaran limbah (effluent) Permukaan air Berbagai Jenis Tanaman Air dan Makrophyta Saluran Masuk air Limbah (Influent)

Gambar 2.1 SurfaceFlowConstructedWetland (Terjemahan dari Gauss. 2008)

Berdasarkan gambar di atas, alur pengolahan limbah dengan SFCW diawali dengan masuknya air limbah melalui saluran influent kemudian mengalir pada permukaan air. Pada saat pengaliran air, tejadi proses pengolahan air limbah pada sistem hingga air mengalir mencapai saluran effluent. Pada SFCW digunakan berbagai jenis tanaman air dan makrophyta yang bertujuan untuk memaksimalkan proses pengolahan air limbah sehingga menghasilkan air dengan kualitas yang diharapkan.

2.3.2 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (HFSFCW)

HFSFCW merupakan jenis constructed wetland yang memanfaatkan kerikil halus atau pasir sebagai bahan untuk menyaring air limbah yang masuk. Alur masuk air limbah pada HFSFCW sama dengan SFCW yaitu mengalir secara horizontal. Jenis tanaman yang digunakan untuk HFSFCW hanya berupa jenis tanaman air yang

(19)

Bahan Penyaring (Kerikil Halus) Zona pengumpulan (Kerikil Kasar) Permukaan Air Tanaman Air Aliran Masuk Air Limbah (Influent) Zona distribusi (Kerikil Kasar) Saluran Keluaran muncul ke atas permukaan air dikarenakan terdapat lapisan kerikil halus atau pasir pada CW yang tidak memungkinkan tumbuhnya tanaman air yang mengapung dan yang tidak muncul ke permukaan air (Gauss. 2008; Vymazal dan Kropfelova. 2008). Penelitian Hidayah dan Aditya menunjukkan bahwa pengolahan air limbah domestik dengan HFSFCW menggunakan tanaman Lembang atau Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia) dalam 15 hari mampu menurunkan nilai COD sebesar 91,8%, BOD 91,6%, dan TSS 83,3%. Pada gambar 2.2 disajikan gambaran HFSFCW.

Gambar 2.2 HorizontalFlowSub-surfaceFlowConstructedWetland (Terjemahan dari Gauss. 2008)

Berdasarkan gambar 2.2, alur pengolahan limbah dengan HFSFCW diawali dengan masuknya air limbah melalui aliran influent kemudian terkumpul pada zona distribusi yang terdiri dari kerikil kasar. Selanjutnya air dari zona distribusi mengalir secara horizontal menuju kerikil halus atau pasir untuk difiltrasi dan diolah oleh tanaman air. Setelah proses tersebuut, air hasil pengolahan mengalir dan terkumpul

(20)

pada zona pengumpulan sebelum air secara perlahan keluar melalui saluran keluaran (effluent).

2.3.3 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (VFSFCW)

VFSFCW merupakan jenis constructed wetland yang mengolah air limbah dengan aliran vertikal. VFSFCW terdiri dari tanaman air dengan jenis yang sama yang digunakan pada HFSFCW, air, kemudian bahan filter yang terdiri dari berbagai macam bahan mulai dari pasir, kerikil, maupun bebatuan. Pada instalasi ini, Tanaman air berfungsi sebagai pendukung proses penyerapan air limbah. Pada susunan lapisan penyaring, terjadi proses pengolahan serta adanya penambahan hidrolik yang berselang-seling sehingga lapisan filter terisi dengan air yang meningkatkan proses nitrifikasi air limbah (Gauss. 2008). Berdasarkan hasil penelitian Abdulgani dkk. (2013), VFSFCW dengan menggunakan tanaman Lembang atau Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia) mampu menurunkan nilai TSS sebesar 79,9%, ammonia sebesar 33,9%, dan sulfida 54,5%. Gambaran VFSFCW tersaji pada gambar 2.3.

(21)

Tanaman

Air Aliran masuk Air limbah (Influent) Pipa Aerasi Lapisan penyaring/filtrasi Saluran Keluaran (Effluent) Tempat Media

Gambar 2.3 VerticalFlowSub-surfaceFlowConstructedWetland (Terjemahan dari Gauss. 2008)

Berdasarkan gambar di atas, alur pengolahan limbah dengan VFSFCW diawali dengan masuknya air limbah melalui aliran influent kemudian masuk ke dalam lapisan filter dengan bantuan tanaman air. Selanjutnya air mengalami proses pengolahan dari lapisan filter pertama hingga lapisan filter terakhir. Setelah proses tersebut, air hasil pengolahan mengalir secara perlahan keluar melalui saluran keluaran (effluent).

2.4 Batu Vulkanik

Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang berasal dari magma atau lava yang mengalami pendinginan dan pengerasan yang membentuk berbagai jenis

(22)

kristalisasi batuan. Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang mengandung silika dalam bentuk siliki dioksida (SiO2) serta mineral lainnya yang terdiri dari jenis mineral seperti alumina (Al3O2), senyawa kalsium (CaO), besi (FeO dan Fe2O3), magnesium (MgO) dan jenis senyawa lainnya. Beberapa jenis batu vulkanik yang berasal dari pembekuan lava antara lain, Batu Rhiolit, Batu Dasit, Batu Andesit, dan Batu Basalt (McBirney. 2007).

2.4.1 Batu Rhiolit (Rhyolite)

Merupakan jenis batuan yang berasal dari pengerasan lava dengan dominasi kandungan Silikon dioksida dan alumina. Kandungan silikon dioksida pada batu rhiolit sebesar 73,2 % dan kandungan alumina sebesar 14,0 % (McBirney. 2007). Permukaan Batu Rhiolit umumnya halus dengan tekstur mirip seperti kaca (glassy texture) dengan warna yang terang umumnya mengandung senyawa besi dan magnesium yang kurang dalam batuan (Gill. 2010).

(23)

2.4.2 Batu Dasit (Dacite)

Batu Dasit merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava dengan dominasi kandungan mineral yang sama dengan Batu Rhiolit yaitu silica dioksida dan alumina. Tekstur batu Dasit kasar namun tersusun atas partikel-partikel halus (Fine-grained) dengan sifat warna terang dengan kandungan mineral pemberi warna yang hampir sama dengan Batu Rhiolik. Kandungan Silikon dioksida dalam Batu Dasit sebesar 69,2 % dan kandungan alumina sebesar 15,2 % (McBirney. 2007; Gill. 2010).

Gambar 2.5 Batu Dasit

2.4.3 Batu Andesit (Andesite)

Batu Andesit merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava dengan dominasi kandungan mineral yang sama dengan Batu Rhiolit yaitu silica dioksida dan alumina. Warna Batu Andesit bervariasi dengan dominasi warna abu-abu dikarenakan mineral pemberi warna dalam Batu Andesit yaitu mineral pemberi warna terang dan mineral pemberi warna gelap berada pada komposisi yang mendekati keseimbangan. Struktur Batu Andesit Halus dengan titik-titik hitam atau

(24)

putih yang terbentuk karena persebaran mineral-mineral di dalam batu. Kandungan Silika dioksida dalam batu Andesit sebesar 60%, sedangkan kandungan alumina dalam Batu Andesit Sebesar 16% (McBirney. 2007; Gill. 2010).

Gambar 2.6 Batu Andesit

2.4.4 Batu Basalt

Batu Basalt merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava. Struktur batu basalt halus sehingga sulit mengidentifikasi secara tepat kandungan berbagai jenis kandungan mineral yang ada terutama jenis mineral yang berukuran sangat kecil dengan identifikasi mikroskopik (Gill. 2010). Batu Basalt secara umum berwarna hitam ataupun abu-abu gelap sesuai dengan kandungan mineral yang menyusun batu tersebut. Batu Basalt terutama jenis basalt tinggi alumina mengandung 49,2% silika dioksida dan 17,7% alumina (McBirney. 2007).

(25)

(26)

Gambar

Gambar 2.1 Surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari Gauss. 2008)
Gambar 2.2 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari  Gauss
Gambar 2.3 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari Gauss.  2008)
Gambar 2.4 Batu Rhiolit
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menetapkan dasar-dasar penyajian pendapatan dalam Laporan Operasional untuk Pemerintah Daerah dalam rangka memenuhi tujuan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari perhitungan regresi linier berganda pada model analisis untuk hipotesis kedua (H2) menunjukkan, bahwa hasil

an nilai KTK (lihat Tabel 2) pada pemberian dosis kotoran kambing mengakibatkan tanah mampu menjerap dan menyediakan unsur hara, demikian pula terhadap semakin rendahnya nilai

Tujuan dalam pendidikan dan pen- gajaran merupakan suatu cita-cita yang bernilai normatif. Tujuan pembelajaran tahfidz Alquran di TK Al-Ikhlash Cikawung, peserta

Pengembangan kelembagaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang dilakukan dengan kerjasama, koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi lintas sektor dan antarwilayah di dalam

Penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang mengalami kerugian akibat informasi iklan barang dan jasa yang menyesatkan berdasarkan Pasal 43 ayat

Pada penelitian ini terlihat bahwa emisi gas buang CO yang dihasilkan ketika menggunakan bahan bakar dengan RON 95 (pertamax plus) jauh lebih rendah dibandingkan

Variabel kepercayaan diri memediaasi persepsi siswa tentang kompetensi profesional guru terhadap motivasi belajar siswa MA se-Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Tahun