• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN MANDIRI ANALISIS NARRATIVE BRAIDING DAN STORYWORLD KARAKTER GUNDALA ERA BUMILANGIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENELITIAN MANDIRI ANALISIS NARRATIVE BRAIDING DAN STORYWORLD KARAKTER GUNDALA ERA BUMILANGIT"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN MANDIRI

ANALISIS NARRATIVE BRAIDING DAN STORYWORLD

KARAKTER GUNDALA ERA BUMILANGIT

ADITYA SATYAGRAHA, S.SN., M.DS.

GIDEON K. FREDERICK, S.T., M.DS.

FAKULTAS SENI DAN DESAIN

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

(2)

1

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... 2 BAB I ... 3 PENDAHULUAN ... 3 1.1. LATAR BELAKANG ... 3 1.2. PERUMUSAN MASALAH ... 4

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 4

1.4. KETERKAITAN DENGAN RIP DAN RESNTRA UMN ... 4

1.5. TARGET LUARAN ... 5

BAB II ... 7

TINJAUANPUSTAKA ... 7

2.1.PENELITIAN SEBELUMNYA ... 7

2.2. ROAD MAP PENELITIAN ... 15

2.3.(JIKA PENELITI INGIN MENAMBAHKAN PEMBAHASAN YANG DI TELITI) ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 2.4.(JIKA PENELITI INGIN MENAMBAHKAN PEMBAHASAN YANG DI TELITI) ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 2.4.(JIKA PENELITI INGIN MENAMBAHKAN PEMBAHASAN YANG DI TELITI) ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. BAB III ... 16

METODEPENELITIAN ... 16

BAB IV ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. ANGGARANDANJADWALPENELITIAN ... ERROR!BOOKMARK NOT DEFINED. 1.1. JADWAL ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 25

LAMPIRAN 1 ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. SURATPERNYATAANKETUAPENELITI/PELAKSANA ... 12

LAMPIRAN 2 ... 13

(3)

2

ABSTRACT

Tahun 1960-1970 merupakan era keemasan cergam klasik Indonesia, ada banyak superhero Indonesia yang lahir pada cergam tersebut seperti Sri Asih, Godam, Si Buta dari Gua Hantu, dan Gundala Putra Petir. Tetapi cergam Indonesia mengalami stagnasi dan penurunan jumlah pembaca, sampai pada tahun 2003, penerbit Bumilangit merestorasi cergam klasik superhero Indonesia. Dalam perjalanannya Bumilangit berhasil mengakuisisi dan mendapatkan hak komersial dari 1000 lebih karakter superhero cergam klasik Indonesia. Seluruh karakter tersebut direstorasi dan dikumpulkan dalam satu semesta (kanon) yang disebut Jagat Bumilangit. Salah satu karakter yang mengalami perubahan dari narasinya adalah Gundala. Penelitian ini menitikberatkan pada hubungan karakter Gundala dengan storyworld-nya yaitu Jagat Bumilangit, serta hubungan Gundala dan karakter lainnya sehingga membantu memperkuat storyworld dari Jagat Bumilangit dan juga bagaimana pengembangan content strategy karakter Gundala ke dalam multiplatform melalui pendekatan hyperdiegetic dan narrative braide.

(4)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cergam klasik di Indonesia memiliki sejarah Panjang. Sejarah tersebut dimulai pada akhir tahun 1920-an. Genre cergam pun terus bertambah dari perwayangan, perjuangan sampai ke genre superhero yang muncul pada tahun 1954. Tahun 1960-1970 merupakan era keemasan cergam klasik Indonesia. Ada banyak superhero Indonesia yang lahir pada cergam tersebut seperti Sri Asih, Godam, Si Buta dari Gua Hantu, dan Gundala Putra Petir. Cergam Indonesia mengalami stagnasi dan penurunan jumlah pembaca sampai pada tahun 2003. Penerbit Bumilangit merestorasi cergam klasik superhero Indonesia. Dalam perjalanannya Bumilangit berhasil mendapatkan hak komersial dan mengakuisisi lebih dari 1000 karakter superhero cergam klasik Indonesia. Seluruh karakter tersebut direstorasi dan dikumpulkan dalam satu dunia yang sama (canon) yang disebut Jagat Bumilangit.

Banyak sekali karakter yang mendapatkan perubahan baik itu secara visual maupun inti cerita asalnya, hal ini dilakukan oleh Bumilangit untuk menyesuaikan cerita dan media yang disampaikan dengan target audience yang baru. Salah satu karakter yang mengalami perombakan cukup besar adalah Gundala Putra Petir yang diciptakan oleh Hasmi pada tahun 1969. Kemunculan kembali Gundala di era Bumilangit diterima dengan baik oleh para

audience Indonesia. Hal ini terbukti dengan 1,6 juta orang yang menonton film Gundala di

tahun 2019.[1]

Hal yang menarik dari karakter Gundala era Jagat Bumilangit adalah karakter ini mempunyai hubungan narasi yang kuat dengan karakter-karakter superhero cergam klasik lainnya. Narasi karakter Gundala tidak hanya dipaparkan di media film saja, tetapi diperkuat dan diperdalam pada medium lainnya seperti komik dan animasi. Memaparkan cerita di berbagai platform memungkinkan konten yang tepat, waktu yang tepat dan penempatan yang tepat untuk membentuk pengalaman yang lebih besar, lebih menguntungkan, kohesif dan bermanfaat. Hanya dengan transmedia storytelling, audience bisa ditempatkan tepat di pusat cerita (Pratten. R, 2015).

(5)

4

Oleh karena itu, menarik untuk menganalisis bagaimana karakter yang berangkat sebagai elemen transmedia sebuah dunia, mampu memperluas dan menciptakan narasi baru tanpa memisahkan diri dari main storyworld, bahkan memperkaya pengalaman dan membangun pembangunan dunia transmedia dengan menggunakan pendekatan hyperdiegetic dan narrative

braide.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini menitikberatkan pada hubungan karakter Gundala dengan narasi dunianya (storyworld) yaitu Jagat Bumilangit, serta hubungan Gundala dan karakter lainnya sehingga terlihat narrative braide yang kuat antara dunia dengan karakter-karakter di dalamnya dan juga bagaimana pengembangan content strategy karakter Gundala ke dalam multiplatform.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana transmedia storytelling bisa diterapkan pada IP sebuah karakter dan pengembangannya ke dalam berbagai

multiplatform dengan menggunakan pendekatan hyperdiegetic dan narrative braide.

b) Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menemukan pola dalam merancang atau membuat suatu cerita dalam multiplatform yang mengundang audience untuk turut berpartisipasi. Karya desain dan analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan rekomendasi yang bermanfaat dalam bidang keilmuan desain komunikasi visual khususnya dan keilmuan lain pada umumnya. Hasil dari penelitian ini merupakan sebuah karya media dan analisis ilmiah yang akan dipresentasikan dalam konferensi internasional, jurnal dan bahan ajar di mata kuliah peminatan transmedia storytelling.

1.4. Keterkaitan dengan RIP dan Renstra UMN

Penelitian ini dikaitkan dengan Rencana Induk Penelitian (RIP) Universitas Multimedia Nusantara untuk mencapai bidang unggulan yakni Design, Art, & Multimedia dengan tema

Media Technology & Social Impact dengan keluaran model yang disesuaikan kebutuhan target audience, pendalaman transmedia, dan pengembangan konten digital media melalui transmedia storytelling.

(6)

5

1.5. Target Luaran

Menjabarkan target luaran yang akan dicapai diakhir penelitian sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 1.1. Rencana Target Capaian Tahunan

No. Jenis Luaran

W T

Indikator Capaian

TS TS+1

1.

Artikel ilmiah dimuat di jurnal. Internasional. Nasional Terakreditasi. Submit. 2.

Artikel ilmiah dimuat di prosiding.

Internasional. Submit.

Nasional. Submit.

3. Invited speaker

dalam temu ilmiah. Internasional.

4. Visiting lecturer Internasional.

5. HKI Paten. Paten sederhana. Hak cipta. Merek dagang. Rahasia dagang. Desain produk industri. Indikasi geografis. Perlindungan varietas tanaman. Perlindungan topografi sirkuit terpadu.

6. Teknologi tepat guna.

7. Model/purwarupa/ desain/karyaseni/ rekayasa sosial. 8. Buku ajar. 9. Tingkat kesiapan teknologi.

(7)

6 No Jenis Luaran W T Indikator Capaian TS TS+1 1.

Artikel ilmiah dimuat di jurnal.

Internasional. Submitted. Submitted.

Nasional

terakreditasi.

2. Artikel Ilmiah dimuat di prosiding.

Internasional. Terdaftar.

Sudah

dilaksana-kan. Nasional. Tidak ada. Tidak ada.

3. Invited speaker dalam temu ilmiah. Internasional. Tidak ada. Tidak ada.

4. Visiting lecturer. Internasional. Tidak ada. Tidak ada.

5. HKI.

Paten. Tidak ada. Tidak ada.

Paten sederhana. Tidak ada. Tidak ada.

Hak cipta. Draft. Terdaftar.

Merek dagang. Tidak ada. Tidak ada. Rahasia dagang. Tidak ada. Tidak ada. Desain produk

industri. Tidak ada. Tidak ada. Indikasi geografis. Tidak ada. Tidak ada. Perlindungan

varietas tanaman. Tidak ada. Tidak ada. Perlindungan

topografi sirkuit terpadu.

Tidak ada. Tidak ada.

6. Teknologi tepat guna. Tidak ada. Tidak ada. 7. Model/purwarupa/ desain/karyaseni/

rekayasa sosial.

T Draft. Produk.

8. Buku ajar. Tidak ada. Tidak ada.

(8)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Sebelumnya

Menurut Henry Jenkins dalam Transmedia Storytelling 101 menjelaskan bahwa transmedia

storytelling merupakan proses menyampaikan informasi dalam bentuk narasi melalui berbagai platform media. Setiap bagian dari medium, baik itu komik, novel, film, video games, atau

aplikasi, berfungsi sebagai pengalaman narasi yang terintegrasi, lengkap, dan memuaskan.

Transmedia storytelling bisa diibaratkan sebagai teka-teki raksasa, dimana setiap kepingan dari

teka-teki tersebut berkontribusi pada narasi yang lebih besar. Prosesnya kumulatif dan setiap bagian memperkaya detail dari dunia narasi yang dibuat, seperti cerita latar belakang karakternya dan plot cerita sekunder.

Transmedia storytelling sepenuhnya partisipatif, audience menjadi aktif terlibat, mereka

menjadi kolaborator yang sosial dan kreatif. Neil Young menciptakan istilah “additive

comprehension” yang merujuk kepada bagaimana setiap pesan baru menambah informasi dan

memberikan pemahaman baru tentang cerita secara keseluruhan. Transmedia storytelling memerlukan koordinasi dan kolaborasi yang kuat di semua sektor media. Narasi yang didesain lebih terbuka menciptakan motivasi untuk penonton terlibat dengan audience lainnya, untuk untuk mencari bagian cerita lainnya, dan bahkan bisa berkontribusi dengan menambahkan konten pada narasi. Narasi yang dibuat untuk transmedia bisa disederhanakan dan diaplikasikan pada beberapa platform media berteknologi rendah atau membawa narasi tersebut ke dunia nyata, dalam bentuk permainan realitas alternatif yang rumit dan menarik (ARGs), di mana para peserta terlibat dengan elemen naratif dan karakter menggunakan lokasi nyata sebagai bagian dari dunia cerita.

Transmedia storytelling menawarkan cara baru dalam menyampaikan suatu narasi. Desain

narasi yang diatur dengan cermat untuk menciptakan strategi untuk memutuskan kapan, bagaimana, kepada siapa, kapan harus menceritakan kisah Anda dan memberikan petunjuk untuk menghubungkan audience ke alam semesta cerita akan menciptakan efek penguatan bagi

audience itu sendiri. Konsep penceritaan transmedia adalah bahwa setiap narasi mikro

dikembangkan menjadi bagian dari struktur naratif yang kohesif. Zeisser menunjukkan bahwa seiring waktu, narasi terbentuk di media digital dan tradisional, dan audience Anda membantu

(9)

8

mempertahankan momentum alur cerita. Salah satu aspek penting dalam penyebaran narasi dalam penceritaan transmedia adalah tokoh.

Karakter telah berfungsi sebagai agen mendongeng dan bahkan dapat menjadi pusat

transmediality. Dan karena karakter itu dapat menjadi pusat transmediality, terlebih lagi

dengan protagonis dari franchise hiburan utama (termasuk Jack Ryan, Lara Croft, Harry Potter, atau karakter dari Star Wars), dan bahkan karakter dari iklan (Ronald McDonald). Karakter

transmedial seperti itu terjadi dalam jaringan padat cerita, permainan, dan produk hiburan

lainnya, memberi mereka koherensi. Mereka dapat ditemukan dalam budaya media di banyak negara dan ada, di luar dunia fiksi asli, dalam pemasaran, merchandising, dan konten yang dibuat pengguna.[2]

Oleh karena itu, menarik untuk dianalisis bagaimana tokoh-tokoh yang berangkat sebagai elemen transmedia dari bangunan cerita dunia, mampu meluaskan dan menciptakan narasi baru tanpa memisahkan diri dari dunia cerita utama, bahkan memperkaya pengalaman dan membangun dunia transmedia, dengan menggunakan hyperdiegetic, jalinan naratif dan pendekatan prinsip memori.

2.1.2. Transmedia Storytelling

Jenkins [3] menjabarkan transmedia sebagai pendekatan terintegrasi dalam pengembangan sebuah pesan yang disampaikan secara terurai dalam berbagai platform media yang berkontribusi secara signifikan terhadap pemahaman audience mengenai dunia tersebut. Sedangkan, Pratten (2015) menyatakan bahwa transmedia storytelling merupakan proses bercerita melalui berbagai platform, yang dalam penyajiannya melibatkan audience untuk berpartipasi demi mencapai pengalaman yang menyeluruh [4]. Tantangan untuk mewujudkan hal tersebut adalah ketika masing-masing media masih dapat dinikmati secara singular, meskipun puncak dari pengalaman tersebut akan didapatkan ketika seluruh media telah diakses dan dipahami. Dimana penjabaran dari definisi tersebut lebih menitikberatkan pada proses produksi dan tidak pada proses konsumsi audiens. Transmedia Storytelling seharusnya mengutamakan audience sebagai inti. Dengan pemahaman tersebut, Pratten menyimpulkan bahwa Transmedia Storytelling adalah proses naratif yang dapat membawa audience dalam perjalanan emosional dari satu momen, ke momen yang lainnya melalui berbagai macam media.

(10)

9

2.1.2. Prinsip Transmedia Storytelling

Ada beberapa prinsip yang dipakai dalam mengurai atau memetakan Transmedia Storytelling. Prinsip tersebut berguna untuk mengukur timbal balik penggemar dari transmedia storytelling dan aspek-aspek apa saja dari transmedia storyworld yang dapat menciptakan engagement dan komunitas penggemar. Salah satu prinsip dalam Transmedia Storytelling dikemukakan oleh Henry Jenkins. Jenkins [5] menguraikan prinsip Transmedia Storytelling menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu Spreadability vs Drillability, Continuity vs Multiplicity, Immersion vs

Extractability, Worldbuilding, Seriality, Subjectivity, dan Performance. a) Spreadability vs Drillability.

Spreadability mengacu terhadap kemudahan konten yang ada untuk disebarkan melalui

berbagai platform oleh audience, dimana target luaran dari konten menjadi viral. Sedangkan, drillability mengacu pada sejauh mana audience mau berusaha menjelajahi kedalaman konten yang diberikan dan memahami dunia yang telah terbentuk.

(11)

10

b) Continuity vs Multiplicity.

Continuity merupakan prinsip yang menekankan konsistensi pada narasi dunia yang

terbentuk walau memiliki perwujudan yang berbeda-beda. Prinsip ini perlu diwujudkan agar ketika konten yang didalami audience bertambah, dan pemahaman yang dicapai tidak membingungkan. Meskipun konsistensi adalah hal yang penting, ada variasi lain yang perlu diperhitungkan. Variasi tersebut dinamakan multiplicity yang mengacu kepada prinsip “alternative retellings”, atau ketika sebuah narasi dapat dinarasikan ulang dalam latar atau setting yang berbeda. Dengan perwujudan prinsip ini, audience dapat merasakan adanya perspektif baru mengenai pesan yang telah dikenal

sebelumnya.

Gambar 2.2 Continuity vs Multiplicity

c) Immersion vs Extractability.

Immersion adalah tingkat kemampuan untuk membawa audience ke dalam dunia yang

telah dirancang. Contoh dari perwujudan prinsip ini adalah ketika dunia yang dirancang dapat diimplementasikan menjadi sebuah wahana bermain seperti Jurassic Theme Park dalam Universal Studios Theme Park. Sedangkan, extractability adalah tingkat kemampuan bagi audience untuk membalut dunia yang telah dirancang dengan realita. Contoh dari prinsip ini adalah ketika penggemar Star Wars memakai merchandise

(12)

11

d) Worldbuilding.

Prinsip worldbuilding mengacu kepada ketersediaan konten yang berkontribusi secara tidak langsung terhadap lini cerita, yaitu konten yang tidak membawa narasi tertentu, namun dapat memperluas pemahaman kita tentang dunia yang ada.

e) Seriality.

Seriality merupakan prinsip yang mengacu terhadap cara agar pesan yang ingin dibawa

dapat diuraikan menjadi beberapa bagian dan didistribusikan melalui berbagai

platform. Misalkan yang diwujudkan dalam konten Marvel Cinematic Universe (MCU) f) Subjectivity.

Prinsip ini mengacu kepada jangkauan yang dimiliki setiap karakter dalam memiliki naratif dari sudut pandangnya masing-masing. Contoh dari perwujudan prinsip ini adalah ketika supporting characters dapat menyampaikan pesan mereka melalui

platform yang berbeda dengan platform utama yang dikuasai oleh karakter utama dalam

cerita tersebut.

g) Performance.

Subjectivity adalah prinsip mengenai kemampuan atau/dan jangkauan kontribusi audience terhadap lini naratif yang ada. Kontribusi yang dimaksud dapat berbentuk

seperti merangkai fan-fiction, fan-made video, atau role-playing/cosplay sebagai karakter yang ada dalam semesta tersebut (User Generated Content/UGC).

2.1.3. Transmedial Character

Salah satu elemen penting adalah karakter, yang menurut Freeman [6], salah satu elemen paling penting dari dunia bersama ini adalah pembangunan karakter, karena "karakter adalah salah satu cara menyatukan kisah dunia transmedia bersama-sama.". Henry Jenkins [7] berkomentar, “karakter yang baik dapat mempertahankan banyak narasi dan dengan demikian mengarah ke waralaba film yang sukses. 'Dunia' yang baik dapat mempertahankan banyak karakter (dan cerita mereka) dan dengan demikian berhasil meluncurkan waralaba transmedial. " Karakter dalam dunia penceritaan transmedia tumbuh dan berkembang dari teks ke teks dan dari medium ke medium. Karakter yang terlibat sangat penting untuk identifikasi dan koneksi emosional dengan audience. Dalam transmedia, karakter dapat membuat dunianya dan narasinya. tetapi narasi yang tersebar di berbagai platform media masih dan secara konsisten berkontribusi pada kanvas cerita yang lebih luas.

(13)

12

Menyajikan cerita di berbagai platform memungkinkan konten yang tepat, waktu yang tepat dan penempatan yang tepat untuk membentuk pengalaman yang lebih besar, lebih menguntungkan, kohesif, dan bermanfaat. Dengan mendongeng, audience dapat ditempatkan tepat di tengah-tengah cerita [8]. Transmedia storytelling tidak hanya menyebarkan informasi tetapi juga menyediakan serangkaian peran dan tujuan dan pembaca dapat menerapkan aspek-aspek cerita melalui kehidupan sehari-hari mereka. Tidak seperti penceritaan linear klasik, penceritaan transmedia mengandung banyak narasi mikro, di mana masing-masing narasi mikro dapat diproduksi 'tidak sinkron', sehingga meminta audience untuk secara kognitif mengatur kembali potongan-potongan menjadi urutan logis [9]. Dan dalam aspek itu, karakter dalam transmedia berperan, apakah dia dan elemen-elemen lain terfokus pada narasi mikro yang membangun dunia bercerita secara langsung atau dia mentransformasikannya menjadi karakter transmedial.

Karakter transmedia adalah pahlawan fiksi / atau protagonis yang petualangannya diceritakan dalam platform media yang berbeda, masing-masing memberikan rincian lebih lanjut tentang kehidupan karakter itu. Karakter adalah konstruksi sosial dan budaya, meskipun mereka dibuat dari teks dan merupakan hasil dari prosedur tekstual [10]. Oleh karena itu, karakter hidup dan dapat terus berkembang, karena karakter tidak terikat hanya dalam satu narasi atau bereaksi terhadap satu teks. Ini dikonfirmasikan oleh Marrone [2003] [11] mendefinisikan karakter sebagai “elemen budaya yang menemukan keberadaannya atau 'masuk akal' dalam dimensi sosial-budaya yang lebih luas, termasuk perubahan transtekstual, transmedia, dan terjemahan intersemiotik. Ini adalah objek semiotik yang membentuk dirinya di antara dan melalui teks” (hal. 25–26). Sebagai contoh, setiap pemasangan serial film Harry Potter karya Warner Bros yang merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh J.K Rowling, masing-masing 'menceritakan kembali' identitas yang sama dari tokoh protagonis yang dapat dilihat khalayak, bahkan para karakter ini muncul dalam teks dan media yang berbeda. Menurut Richardson [12], karakter ini disebut karakter transtekstual, mereka pergi melalui proses kulturisasi, sehingga ada kemungkinan bahwa beberapa karakteristik teks asli tidak diketahui oleh orang yang berpartisipasi dalam proses. Mengenai karakter transtekstual dari narasi transmedial, identitas mereka memerlukan kesinambungan internal, yang diharapkan dan dituntut oleh pengikut mereka di media yang berbeda. Bertetti [13] juga berurusan dengan identitas dan berbagai jenis karakter transmedial, dan hubungan mereka dengan dunia fiksi mereka. Dia

(14)

13

menciptakan model (terlampir di bawah) untuk analisis kemungkinan perubahan identitas karakter dalam teks dan media yang berbeda.

Model tersebut dapat menjadi referensi untuk menganalisis karakter berdasarkan identitas naratifnya. Cara membedakan dan membedah karakter transmedia dapat dilihat dari daftar pustaka, asal-usul cerita, atau bahkan peristiwa yang mempengaruhi dunia karakter naratif sehingga penempatan dalam struktur hyperdiegesis lebih tepat dan juga bisa mendapatkan analisis perubahan dalam karakter identitas. Satyagraha menjabarkan [14] karakter sebagai agen yang tersebar dalam mikro-naratif dapat mengkonstruksi narasi baru karena karakter dalam dunia transmedia memiliki fleksibilitas untuk berpindah antara medium dan teks. Karakter ini akan didukung oleh mikro-naratif baru yang bertransformasi menjadi karakter

transmedial. Namun kelebihan dari karakter transmedial ini adalah masih memiliki koherensi

dan terus memberikan kontribusi dalam penceritaan transmedia dimana sebelumnya melekat.

(15)

14

2.1.4. Hyperdiegesis, Narrative Braide and Memory Principles

Ada dua prinsip dalam ruang naratif di transmedia storyworld, yaitu diegesis dan

hyperdiegesis. Di mana diegesis adalah dunia naratif yang dilihat langsung oleh audiens,

sedangkan hyperdiegesis adalah layer kedua dalam dunia naratif tersebut, atau seperti yang dijelaskan oleh Matt Hill bahwa hyperdiegesis adalah penciptaan ruang naratif yang luas dan terperinci dan hanya sebagian kecil yang pernah dilihat atau ditemui secara langsung di dalam teks/visual, tetapi beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip logika dan ekstensi internal (2002:137)[15]. Transmedia storyworld yang luas dibangun dan dijalin dengan mengumpulkan dan mengulangi detail dalam narasinya. Salah satu contoh dari prinsip tersebut adalah penyebutan orang atau ras tertentu (kaum Sith dalam Star Wars Universe), penjabaran tempat (Peta Middle Earth dalam lore Lord of the Rings), dan peristiwa minor maupun major (Mandalorian Wars dalam game Star Wars: The Old Republic) yang dapat menunjukkan narasi semesta yang lengkap dengan sejarahnya.

Menurut Proctor [16], prinsip-prinsip hyperdiegesis, jalinan naratif dan memori adalah konsep-konsep kunci untuk analisis penceritaan transmedia. Namun, alih-alih konsep-konsep yang terpisah, masing-masing saling berbaur dan saling tumpang tindih. Jadi, hyperdiegesis merujuk pada dunia itu sendiri dan proses narasi internal yang memberikan ilusi koherensi. Jalinan naratif adalah cara di mana 'narasi mikro' menyediakan jaringan ikat di seluruh hyperdiegesis melalui penggunaan 'jangkar kontinuitas'; yaitu, referensi intertekstual yang berfungsi untuk menghubungkan-menjalinkan-satelit media yang berbeda menjadi satu kesatuan hyperdiegetic.

Diegesis adalah dunia narasi yang dilihat oleh audiens, hyperdiegesis adalah “penciptaan ruang

narasi yang luas dan terperinci, hanya sebagian kecil yang pernah langsung dilihat atau ditemui dalam teks, tetapi yang tampaknya beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip logika internal dan ekstensi ”[17]. Colin Harvey [18] menjelaskan bahwa narrative braide dan memory adalah faktor penentu dari cerita yang ditransmisikan, karena “karakter, plot, latar, mitologi, dan tema tentu harus diingat dari elemen transmedial ke berbagai elemen agar dianggap sebagai bagian dari hal yang sama di semesta tersebut”. Tetapi agar prinsip hyperdiegesis menjadi lebih efektif, Wolf menyarankan agar imersifitas atau keterlibatan audience terhadap konten dibuat lebih mendalam[19].

(16)

15

2.2. Road Map Penelitian

Adapun road map dari penelitian untuk dari narrative braide and transmedia storytelling untuk karakter Gundala, adalah sebagai berikut:

• Analisa dan kajian

Narrative Braiding dan Transmedia dari storyworld Gundala.

• Luaran: Jurnal

Model Transmedia dan

Content Strategy.

• Penelitian mengenai pembelajaran mengenai sumber daya hayati sejak dini.

• Luaran HKI & Paten,

Proceeding.

Pembuatan content strategy untuk pembelajaran Sumber

Daya Hayati. • Pengaplikasian konten

melalui transmedia

learning.

• Luaran: HKI, Jurnal

Transmedia Learning Model.

• Menilai efektifitas dan efisiensi serta potensi yang dapat dikembangkan selanjutnya melalui

usability test.

• Jurnal: Proceeding.

(17)

16

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk mendapatkan data-data yang akan diolah untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk model transmedia yang dapat menjabarkan narrative braide dari dunia Jagat Bumi Langit melalui karakter Gundala. Adapun detail tahapan penelitian, akan dijabarkan sebagai berikut: Karakter dapat ditampilkan di seluruh media, dan pada prinsipnya karakter apapun dapat muncul di media apapun. Penampilan mereka di berbagai produk media mungkin berbeda menurut kualitasnya sebagai artefak, simbol, atau gejala.

3.1. Jagat Bumilangit

Bumilangit Entertainment merupakan perusahaan yang bergerak di bidang hiburan di Indonesia yang berdiri pada tahun 2003 dan mengelola kekayaan intelektual karakter dari cergam Indonesia sebanyak 1.100 karakter komik yang telah diterbitkan dalam periode 60 tahun terakhir. Pada tahun 2019, Bumilangit Entertainment menciptakan alam semesta fiksi baru bernama Jagat Bumi Langit dimana semesta tersebut adalah waralaba dari kumpulan komik (cergam) superhero lama Indonesia dan naratif dari semesta tersebut berpusat pada serangkaian film superhero yang disebut Jagat Sinema Bumi Langit (BCMU), diproduksi oleh Bumilangit Entertainment yang berdasarkan karakter yang muncul dalam cergam superhero Indonesia yang diterbitkan oleh Bumilangit Comic [20]. Waralaba dalam Jagad Bumi Langit mencakup buku komik, film pendek, serial animasi, dan serial digital. Semesta Jagat Bumilangit mengikuti pakem yang sudah dipakai oleh Marvel dengan Marvel Cinematic Universe-nya dimana didalam semesta tersebut, karakter-karakter dari berbagai macam cergam dan pengarang yang telah diakusisi oleh Bumilangit Entertainment disatukan dan dijalin naratifnya, serta tujuan semesta tersebut dibuat agar di tiap narasi ,memungkinkan terjadi persilangan baik itu dari elemen plot cerita, latar belakang tempat atau peristiwa, maupun karakter yang muncul.

Narasi dari Jagat Bumilangit dimulai sejak letusan gunung Toba 75.000 SM dan terbagi dalam empat era terbagi yaitu, era Legenda, era Jawara, era Patriot, dan era Revolusi. Era Legenda dimulai pada masa letusan gunung Toba sampai Peradaban baru. Salah satu karakter yang muncul di era ini adalah Sri Asih dan Mandala. Era Jawara adalah era dimana narasinya

(18)

17

berpusat pada karater pendekar, dan bertempat di masa kerajaan Nusantara sampai Hindia Belanda. Era Jawara memiliki 500 karakter dengan 50 judul komik yang telah diterbitkan dimana antaranya ada Si Buta Dari Gua Hantu dan Mandala. Sedangkan narasi Era Patriot berpusat pada karakter jagoan dan bertempat di tahun 2000-an. Karakter pada Era Patriot terdiri dari 700 karakter yang terangkum dalam 110 judul komik. Sebagian karakter yang muncul dalam era tersebut adalah Gundala, Aquanus, Godam, dan Sembrani. Era Revolusi adalah era yang menitikberatkan pada evolusi narasi dan karakter jagoan baru dari Bumilangit, seperti Virgo dan Tira

Gambar 3.1 Pembagian era Jagat Bumi Langit (sumber: dokumen Bumilangit Entertainment)

(19)

18

Dalam pengembangan semesta Jagat Bumilangit, Bumilangit Entertainment memproduksi tujuh film yang kanon dalam narasi semesta yang sudah dibuat, dan akan tayang sepanjang tahun 2019 – 2025, dan alam narasi Jagat Bumilangit ini akan dibuka oleh Gundala.

Gambar 3.2 Kanon film Jagat Sinema Bumilangit volume 1 (sumber: dokumen Bumilangit Entertainment)

Dalam penelitian ini, subyek penelitian penulis adalah karakter Gundala dan penggunaan

Transmedia Storytelling dalam karakter, serta pengaruh dari strategi tersebut terhadap

pengembangan karakter Gundala. Analisis ini juga akan menitikberatkan naratif karakter Gundala di Jagat Bumilangit melalui prinsip hyperdiegesis.

3.1.1 Gundala Era Jagat Bumilangit

Karakter Gundala diperkenalkan pertama kali melalui seri komik Gundala Putra Petir karya Hasmi yang rilis pada tahun 1969 [21]. Dalam narasi awal menceritakan seorang insinyur bernama Sancaka yang berambisi mencari serum anti petir. Dalam kelanjutan ceritanya, Sancaka tersambar petir sehingga mempertemukan dirinya dengan Raja Petir Kronz. Kronz mengangkat Sancaka menjadi anaknya dan memberikan kalung ajaib yang dapat mengubah dirinya menjadi manusia super. Kemudian Sancaka menjalani dual identitas, dimana salah satunya adalah pahlawan super yang dikenal dengan nama Gundala. Ketika karakter Gundala diakuisisi oleh Bumilangit dan dimasukkan dalam Jagat Bumilangit yang termasuk Jagat

(20)

19

Sinema Bumilangit, karakter Gundala mengalami perombakan dalam cerita aslinya. Karakter Sancaka dimulai sebagai anak jalanan dan bukan diceritakan sebagai insinyur. Pada suatu waktu ketika bekerja sebagai petugas keamanan pabrik percetakan, Sancaka tersambar petir. Akibat peristiwa tersebut Sancaka mempunyai kemampuan untuk memancarkan petir dari tangannya. Ketika keadaan kota makin buruk, banyak peristiwa kejahatan yang bermunculan, Sancaka akhirnya memutuskan bangkit menjadi pahlawan super dengan nama Gundala. Dalam era Jagad Bumilangit, tidak hanya latar belakangnya saja tetapi karakter Sancaka/Gundala pun berubah. Menurut Joko Anwar [22], sutradara dari film Gundala, perubahan tersebut dilakukan agar karakter Gundala terasa realistis, baik itu dari sifat, gestur, maupun kostum yang dipakai oleh Gundala. Perbedaaan karakter Gundala pra Jagat Bumilangit dan era Jagat Bumilangit bisa dilihat di tabel di bawah ini:

Tabel 3.2 Evolusi Karakter Gundala.

Pra Jagat Bumilangit Jagat Bumilangit

• Anak asuh keluarga berada. • Dikuliahkan jadi Insinyur Listrik. • Meneliti Serum Anti Petir. • Tersambar petir saat putus cinta. • Diberi kekuatan oleh Kerajaan Petir.

• Anak jalanan.

• Menjadi sekuriti & teknisi percetakan. • Diikuti oleh petir sejak kecil.

• Tersambar petir yang berbicara. • Belum mengetahui asal kekuatannya.

Kekuatan Pra Jagat Bumilangit Kekuatan Jagat Bumilangit

• Memancarkan petir dari tangan. • Berlari secepat angin topan. • Kostum gaib disimpan di kalung.

• Memancarkan petir dari tangan. • Membuat gelegar gelombang kejut. • Kostum taktis dari objek temuan.

Karakter Gundala era Jagat Bumilangit tidak hanya dibuka dengan film live-action saja, tetapi diperkuat konten narasi dengan media-media lainnya, seperti komik cetak, komik digital, bahkan ada pelebaran konsumsi konten dari segi target audience.

(21)

20

Gambar 3.3 Skema evolusi media dan narasi visual Gundala.

Visual dari karakter Gundala juga mengalami evolusi, dari Gundala era cergam 1960-an dengan Gundala era Jagat Bumilangit. Kemiripan yang muncul dalam karakter Gundala baik itu Gundala pra Jagat Bumilangit dan era jagat Bumilangit dengan karakter The Flash dari DC Cinematic Universe bukanlah suatu kebetulan, melainkan terdapat konsep ‘borrow’ yang merupakan bentuk adaptasi dari karya yang sudah lebih dulu diciptakan dimana dalam hal ini, penciptaan Gundala terinspirasi dari tokoh spiritual Jawa, Ki Ageng Selo, yang memiliki kemampuan menangkap petir dan secara visual dipadukan dengan ketertarikan Hasmi terhadap karakter The Flash dari DC Comics, oleh karena itu kostum yang dikenakan Gundala sangat mirip dengan karakter The Flash [23]. Kostum Gundala (versi remake) di Jagat Bumilangit didesain di Indonesia dan dibuat oleh sebuah perusahaan di Los Angeles yang juga membuat kostum superhero Daredevil dan Watchmen [24]. Hal tersebut dilakukan karena sutradara Joko Anwar ingin memperlihatkan sisi realis dari Gundala baik itu dari karakter secara emosi maupun visualnya.

(22)

21

Gambar 3.4 Desain karakter Gundala era Jagat Bumilangit

3.2. Analisa Karakter Gundala dalam Hyperdiegetic Memory

Dalam penelitian ini, langkah awal yang dapat dilakukan adalah mencari sampel analisis dan menentukan secara tepat bagaimana karakter Gundala bisa masuk dalam prinsip Hyperdiegetic

Memory. Berdasarkan data yang sudah didapatkan penulis, maka dapat diambil sampel dari

beberapa media yang berisi narasi Gundala di era Jagat Bumilangit, termasuk di dalamnya adalah film Gundala, komik adaptasi film Gundala, dan beberapa media lainnya. Sebagai pembuka gerbang Jagat Bumilangit (Bumilangit Universe), Gundala mempunyai peran untuk mengantarkan narasi tentang jagoan super Indonesia yang tergabung dalan satu semesta besar dan menyediakan audience dengan jangkar temporal yang berfungsi untuk menyesuaikan

audience tentang di mana tepatnya timeline narasi berada. Dalam film live-action Gundala, audience diperkenalkan beberapa supporting characters yang secara canonical akan

memegang peranan penting dalam Jagat Sinematik Bumilangit berikutnya seperti karakter Awang, dimana dalam film ini Awang merupakan anak jalanan yang mengajarkan Sancaka ilmu beladiri. Karakter Awang sendiri adalah alter ego dari Godam. Lalu ada cameo Sri Asih, salah satu jagoan super dari era legenda serta Ki Wilawuk, yang merupakan musuh utama bagi para jagoan super di Jagat Bumilangit. Beberapa kepingan petunjuk tersebut bisa menjadi tools penerapan prinsip drillabilty bagi audience untuk mendalami lagi narasi Gundala, dari media lainnya agar mendapatkan informasi yang lebih jelas.

(23)

22

Narasi film Gundala lebih menitikberatkan kehidupan Sancaka dari kecil dan kemudian menjadi jagoan super, Gundala. Banyak sekali celah yang sengaja maupun tidak disengaja dibuat seperti plot hole, misalnya asal-usul anak-anak Pengkor (karakter antagonis utama) yang sedemikian beragam dan kenapa mereka sangat menghormati Pengkor seperti orang tuanya sendiri. Disinilah, Bumilangit menerapkan prinsip hyperdiegesis, narasi tentang latar belakang Pengkor beserta anak buah setianya diceritakan di media lain. Bumilangit kemudian menerbitkan media-media lainnya yang dapat memperkuat atau menjadi salah satu sumber bagi

audience mendapatkan konten maupun informasi baru. Salah satunya adalah komik adaptasi

film Gundala (BCU version) yang memang berdasarkan screenplay dari filmnya, tetapi konten dari komik tersebut melengkapi beberapa kepingan yang sengaja dibuat di film live action-nya. Seperti hubungan antara Pengkor dan Sancaka, dimana Pengkor berasumsi bahwa Sancaka akan menjadi salah satu ‘anaknya’. Bagaimana karakter Pengkor menjadi antagonis utama, lawan yang sebanding bagi protagonist, Gundala. Narasi dalam komiknya juga serta merta menjelaskan dengan detail latar belakang anak-anak dari Pengkor sampai motif mereka menjadi loyal, mulai dari Kamal Atmaja (sang pembisik), Tanto Ginanjar (sang penempa), Jack Mandagi (sang peracik), Sam Buadi (sang pemahat) sampai Swara Batin (sang penari).

Audience yang menonton filmnya akan familiar dengan karakter-karakter tersebut, walaupun

dalam filmnya, kemunculan karakter tersebut hanya beberapa saat terutama saat adegan Pengkor memanggil mereka ataupun adegan perkelahian antara Gundala dengan salah satu anak dari Pengkor tersebut. Dan bagaimana timeline dan setting tempat Gundala dijelaskan lebih detail dalam komiknya.

(24)

23

Gambar 3.1 Contoh halaman komik Gundala.

Sayangnya media lain selain komik adaptasi film tersebut tidak mampu menjalin benang merah atau canonical dengan narasi utama yang terbangun di Jagat Bumilangit. Seperti yang dapat kita lihat dari analisis ini, komik adaptasi film Gundala bertujuan untuk menjalin hubungan dengan film dan narasi canon-nya, serta memperkenalkan elemen dan informasi cerita latar baru. Komik tersebut juga beroperasi untuk membangun hyperdiegesis penceritaan transmedia yang lebih besar melalui karakter Gundala yang telah diciptakan Kembali untuk menunjang narasi canon semesta Jagat Bumilangit.

(25)

24

BAB IV

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Prinsip hyperdiegesis, narrative braide dan memory menyediakan semesta yang koheren dan pengaturan bagaimana semesta itu bekerja. Aturan yang dibuat oleh kreator Jagat Bumilangit harus bisa juga menjadi panduan bagi penggemarnya. Mereka bisa memilih untuk menjelajahi dan memahami semesta Jagat Bumilangit secara kohesif dan mendalam. Oleh karena itu diperlukan konsistensi dalam menjaga narasi tersebut dalam ruang yang dapat dipercayai oleh

audience maupun penggemarnya. Diperlukan intramedial cartography yang dapat membantu

memetakan bagaimana prinsip hyperdiegesis, narrative braide dan memory diaplikasikan dalam semesta Jagat Bumilangit, sehingga narasi utama dari sinematik Gundala dapat diisi dan dikembangkan dengan karakter atau peristiwa lainnya di media yang berbeda ataupun sama. Memori transmedia juga bisa bergerak ‘satu arah’ yang menjadikan kasus karakter Gundala versi Jagat Bumilangit , komik ‘mengingat’ film bukan sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari peruntukan komik adaptasi film Gundala versi Jagat Bumilangit bagi penggemar yang mempelajari dan mencari konten asli lainnya yang lebih kohesif dan mampu memperkaya pembendaharaan data mereka tentang Gundala beserta semesta Jagat Bumilangit tidak hanya dari film layar lebarnya semata.

(26)

25

BAB V

ANGGARAN DAN JADWAL PENELITIAN

Perkiraan Anggaran Penelitian

Nama : Aditya Satyagraha, S.Sn., M.Ds.

NIDN : 0326128001

Judul Penelitian

: Analisis Narrative Braiding dan Storyworld Karakter Gundala Era Bumilangit.

No Uraian Rincian Total Penggunaan

Unit Satuan Harga @

1 Perjalanan dan Akomodasi Rp 3.000.000,00 Transportasi untuk wawancara dengan narasumber dan user studi di Jakarta

(pulang-pergi). 2 kali 600.000,00 1.200.000,00

Transportasi ke dan di dalam kota Bandung

(pulang-pergi). 2 kali 500.000,00 1.000.000,00

Akomodasi (biaya

(27)

26 Bandung selama dua

hari dua malam.

2 Belanja Lain-lain Rp 3.250.000,00 Pembelian literatur Gundala dan Bumi Langit seperti cergam, serial komik, film, buku dan juga literatur penunjang lainnya seperti buku-buku Transmedia. 1 buah 2.000.000,00 2.000.000,00 Operasional. 750.000,00 750.000,00 Cetak dokumen/laporan/hasil. 450.000,00 450.000,00 3 Biaya Jasa Rp 3.500.000,00

Jasa asisten peneliti. 1.500.000,00 1.500.000,00

Akomodasi dan cenderamata

narasumber. 2.000.000,00 2.000.000,00

(28)

27 - - TOTAL ANGGARAN 9.750.000,00

(29)

28

*setiap dosen yang ingin memasukan biaya/anggaran untuk penelitian wajib memakai form diatas form diatas terbagi menjadi 4 kategori, yaitu:

1. Biaya Bahan Habis Pakai

a. ATK

b. Tinta printer

c. Seluruh bahan habis pakai

2. Biaya Transportasi & Akomodasi

a. Bahan bakar b. Supir

c. Transportasi lain (taksi, ojek, pesawat, dll.) d. Uang tunai yang diberikan kepada narasumber

3. Biaya Lain-lain

a. Biaya survey

b. Pengajuan ijin survey/observasi c. Dokumentasi

d. Peralatan di luar ATK (tidak habis pakai) e. Pembelian buku referensi

f. Cinderamata narasumber

g. Cetak dokumen/kuesioner/laporan hasil h. Pulsa & internet

4. Biaya Jasa

a. Jasa transkrip rekaman b. Jasa penyebaran angket c. Jasa pengolahan data

(30)

10

1.1. JADWAL

Jadwal penelitian disusun dengan mengisi langsung tabel berikut dengan memperbolehkan penambahan baris sesuai banyaknya kegiatan.

No Kegiatan April Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov

1 Studi literatur

2 Wawancara/Kuisioner 3 Analisis lapangan 4 Penyusunan laporan

(31)

11

DAFTAR PUSTAKA

[1] (https://entertainment.kompas.com/read/2019/10/03/153034510/raih-1699433-penonton-gundala-pamit).

[2] Eder, J., Jannidis, F., & Schneider, R. (2010). Characters in fictional worlds: An introduction. Characters in fictional worlds: Understanding imaginary beings in literature, film, and other media, 3-64.

[3] Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide.New York: NYU Press.

[4] Pratten, R (2015). Getting Started in Transmedia Storytelling : A Practical Guide for Beginners 2nd Edition.

[5] Jenkins, H. (2010). Transmedia storytelling and entertainment: An annotated syllabus. Continuum, 24(6), 943-958.

[6] Freeman, M. (2017). Historicising Transmedia Storytelling: Early Twentieth-Century Transmedia Story Worlds, 1st Edition. New York: Routledge.

[7] Jenkins, H. (2019, February 18). Transmedia 202: Further Reflections. Retrieved from Henry Jenkins web site: www.henryjenkins.org.

[8] Jenkins, H. (2019, March 15). Transmedia storytelling. Technology Review. Retrieved from http://www.technologyreview.com/biotech/13052.

[9] Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide.New York: NYU Press. Pg 103.

[10] Bertetti, P. (2014). Transmedia Critical Toward a Typology of Transmedia Characters. International Journal of Communication.

[11] Marrone, G. (2003). Montalbano. Origins and transformations of a media hero. Rome, Italy: Rai-Eri.

[12]Richardson, B. (2011). Transtextual Characters. Characters in Fictional Worlds: Understanding Imaginary Beings in Literature, Film, and Other Media. Berlin: De Gruyter, 527-540.

[13]Bertetti, P. (2014). Transmedia Critical Toward a Typology of Transmedia Characters. International Journal of Communication.

[14]Satyagraha, A., & Frederick K H, G. (2020). STUDI PENERAPAN TRANSMEDIA STORYTELLING PADA IP KARAKTER DARTH VADER. Ultimart: Jurnal Komunikasi Visual, 13(1), 75-83. https://doi.org/https://doi.org/10.31937/ultimart.v13i1.1556.

[15]Hills, Matt. “Defining Cult TV: Texts, Intertexts and Fan Audeiences” in Robert C. Allen and Annette Hill, editors, The Television Studies Reader. New York: Routledge, 2004. [16]Proctor, W.(2019). Transmedia Storytelling: Hyperdiegesis, Narrative Braiding and Memory in Star Wars Comics. In: Duncan, R. and Smith, M.J., eds. More Critical Approaches to Comics. New York/ Oxon: Routledge.

[17]Hills, M (2002). Fan Cultures. London: Routledge.

[18] Harvey, C (2015). Fantastic Transmedia: Narrative, Play and Memory Across Science Fiction and Fantasy Storyworlds. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

[19] Wolf, M. J. P. (2012) Building Imaginary Worlds: The Theory and History of Subcreation New York: Routledge.

[20](https://bumilangit.com/id/jagat-sinema-bumilangit/). [21] https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190819123257-220-422637/mengenal-lebih-dekat-5-patriot-jagat-sinema-bumilangit. [22]https://republika.co.id/berita/phbgm1382/joko-anwar-ungkap-alasan-ubah-kostum-gundala. [23] https://www.tribunnews.com/seleb/2019/08/29/sejarah-dan-fakta-fakta-menarik-film-gundala-putra-petir-tayang-perdana-hari-ini.

(32)

12

[24]Saptanto, Deswandito & Dewi, Maya. (2020). Gundala and Gatotkaca in the concept of modern Indonesian superheroes: Comparative analysis of the Indonesian and American superheroes. EduLite: Journal of English Education, Literature and Culture. 5. 136. 10.30659/e.5.1.136-147.

(33)

12

LAMPIRAN 1

SURAT PERNYATAAN KETUA PENELITI/PELAKSANA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Aditya Satyagraha

NIP : 038953

Judul Penelitian : Analisis Narrative Braiding dan Storyworld Karakter Gundala Era Bumilangit

Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian ini merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penelitian ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan atas karya orang lain, maka saya bersedia bertanggung jawab sekaligus menerima sanksi.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan. Tangerang, 7 Februari 2020

Mengetahui, Yang menyatakan,

(Dr. Ir. P.M. Winarno, M.Kom) (Aditya Satyagraha, S.Sn., M.Ds.)

NIK. 000632 NIK. 038953

Materai Rp 6.000,-

(34)

13

LAMPIRAN 2

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Analisis Narrative Braiding dan Storyworld Karakter Gundala Era Bumilangit

2. Bidang Penelitian : Desain Komunikasi Visual 3. Ketua Peneliti :

a. Nama : Aditya Satyagraha, S.Sn., M.Ds. b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Disiplin Ilmu : Transmedia Storytelling

d. Fakultas/Prodi : Fakultas Seni dan Desain/ Prodi Desain Komunikasi Visual

e. Alamat :

4. Jumlah Anggota Peneliti : 1 (satu)

a. Nama : Gideon K. Frederick, S.T., M.Ds. b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Disiplin Ilmu : Comic

d. Fakultas/Prodi : Fakultas Seni dan Desain/ Prodi Desain Komunikasi Visual.

e. Alamat :

5. Lokasi Penelitian : Jakarta, Bandung, dan Surabaya 6. Waktu Penelitian : 1 Tahun

7. Biaya Penelitian : Rp. 9.750.000 8. Sumber dana : Internal

Tangerang, 7 Februari 2020 Mengetahui,

Kepala Program Studi Ketua Peneliti,

Mohammad Rizaldi, S.T., M.Ds. Aditya Satyagraha, S.Sn., M.Ds. Menyetujui,

Direktur LPPM

Gambar

Tabel 1.1. Rencana Target Capaian Tahunan
Gambar 2.1 Spreadability vs Drillability
Gambar 2.2 Continuity vs Multiplicity
Gambar 2.3 Skema karakter sebagai transmedial narrative agent.
+7

Referensi

Dokumen terkait