• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jika Hadis Sahih Berlawanan dengan Al-Quran: Telaah tentang Sikap A. Hassan terhadap Hadis yang Berlawanan dengan al-quran dalam Kitab Bulûg al-marâm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jika Hadis Sahih Berlawanan dengan Al-Quran: Telaah tentang Sikap A. Hassan terhadap Hadis yang Berlawanan dengan al-quran dalam Kitab Bulûg al-marâm"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Jika Hadis Sahih Berlawanan dengan Al-Quran:

Telaah tentang Sikap A. Hassan terhadap Hadis yang Berlawanan dengan al-Quran dalam Kitab

Bulûg al-Marâm

Oleh: M.Dailamy SP∗

Abstrak

Sebagai sumber hukum dalam Islam, hadis memang tidak disepakati secara bulat oleh umat Islam sendiri. Salah satu di antaranya ialah banyak ditemukan hadis yang bertentangan dengan al-Quran. A. Hassan (1887-1958 M) salah satu guru utama organisasi Persatuan Islam tidak memungkirinya. Buah pikirannya dalam bidang agama di antaranya ialah kitab Terjemah Bulûghul Marâm dan Soal Jawab Berbagai Masalah Agama. Salah satu pemikirannya adalah jika pada dataran operasional keagamaan didapati hadis-hadis yang tampak berlawanan dengan ayat al-Quran maka diselesaikan dengan dua cara dua cara, yakni dengan ditakwil dan atau di-tawaqquf-kan.

Betulkah kedua macam solusi tawarannya itu telah dipraktekkan secara ketat oleh A. Hassan dalam bukunya Terjemah Bulûghul Marâm dan Soal Jawab Berbagai Masalah Agama? Penelitian justru menemukan A. Hassan sebagai sosok ulama yang tidak konsisiten terhadap paradigma yang dibangunnya, bahkan ambiguitas dan membingungkan. Salah satu penyebabnya adalah karena kerangka dasar pemikirannya tidak disusun secara sistematis metodologis sebagaimana, mislnya, yang dilakukan oleh Muhammad al-Ghazaliy.

Kata kunci : Sumber hukum Islam, al-Quran dan Hadis, berlawanan,

takwil dan tawaqquf.

A. Pendahuluan

Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam memang tidak disepakati secara bulat oleh umat Islam itu sendiri. Kalau kita paparkan secara ekstrim pendapat ulama mengenai fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam, akan ditemukan tiga kelompok pendapat, yaitu:

1. Hadis atau sunnah adalah sumber hukum dalam Islam setelah

al-al-Quran,

2. Hadis atau sunnah bukanlah sumber hukum dalam Islam,

3. Hadis atau sunnah bersama al-Quran, satu kesatuan tak terpisahkan,

merupakan sumber hukum dalam Islam.

Kelompok pertama tergabung dalam ulama Jumhur (mayoritas) umat Islam. Kelompok kedua tergabung dalam kelompok yang oleh

(2)

lawannya dikenal sebagai kelompok Inkâr al-Sunnah. Sedangkan kelompok

ketiga dirintis oleh Muhammad Nâshiruddin al-Albâniy.1

Di antara alasan Inkâr al-Sunnah menolak hadis sebagai sumber

hukum, ialah didapati banyak hadis yang saling berlawanan baik dengan

al-Quran maupun dengan sesama hadis.2 Ulama jumhur tidak memasalahkan

jika hadis bertentangan dengan Quran, sebab fungsi hadis terhadap al-Quran adalah multi dimensi. Hadis atau sunnah bisa berfungsi sebagai

bayân tafshîl, bayân takhshîsh, bayân ta’yîn, bayân tasyrî’, bayân nasakh.3

Bulûg al-Marâm adalah salah satu kitab karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy (773 H-852 H). Kitab ini ditulis sebagai kenang-kenangan dan tanda syukur Ibnu Hajar ke hadirat Allah Swt. sehubungan dengan dikarunianinya anak laki yang sejak lama didambakannya. Anak laki-laki itu diberinya nama Muhammad Badruddin Abu al-Ma’âliy, lahir pada

tahun 815 H. Bulûg al-Marâm selesai ditulis pada tanggal 11 Rabiul Awwal

tahun 828 H. Kitab inilah yang dijadikan bahan ajar Ibnu Hajar dalam

mengajarkan hadis kepada anak laki-laki satu-satunya.4 Dalam kitab

Bulûg al-Marâm terkumpul di dalamnya berbagai hadis hukum yang ditulis atas dasar mengikuti sistimatika Fiqih. Dilengkapi dengan penjelasan mengenai

nilai hadisnya, baik menurut mukharrij-nya, maupun menurut komentar

para pemegang otoritas dalam ilmu hadis. Ada juga beberapa hadis yang belum jelas statusnya, lantaran tidak diikuti komentar atasnya. Mukharrij-mukharij-nya telah disusun sedemikian dalam tartib yang khusus. Misalnya

al-Sab’ah untuk menyebut hadis yang di-takhrîj-kan oleh Ahmad, al-Bukhâriy, Muslim, Abu Dâwud, al-Tirmidziy, al-Nasâ`iy dan Ibnu Majah. Jika yang tujuh itu tanpa dengan Ahmad, maka disebutnya al-Sittah. Dan jika yang tujuh itu tanpa dengan al-Bukhâriy dan Muslim disebutnya al-Khamsah, kadang disebutnya al-Arba’ah wa Ahmad. Jika dari tujuh mukharrij

tersebut di atas, Ahmad, al-Bukhâriy dan Muslim tidak men-takhrîj

1 Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, Dâr al-Kutub al-‘Arabiy,Bairut, Cet.ke-X,

1969, p. 234. Lihat Kassim Ahmad, Hadis Suatu Penilaian Semula, Media Intelek SDN BHD, Petaling Jaya, Selangor, Cet.ke-1, 1986, p. 38-44. Al-AlBâniy, Muhammad Nâshiruddin, Manzilah as-Sunnah Fil Islâm wa Bayân Annahu Lâ yastaghnî ‘Anha bil Quran, (terj.) Firdaus Kasmy dkk., Kedudukan Sunnah Dalam Islam, LPPA. PP. Muhammadiyah, Jakarta, Cet. Ke-2,1985, p. 26.

2 Kassim Ahmad, Hadis Suatu…, p. 50,97,100, dan 102.

3 Hasbi Ashshiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang, Jakarta,

Cet.ke-5, 1977 M., p.187.

4 Kitab Bulûg al-Marâm adalah salah satu dari 320 kitab karya Ibnu Hajar

al-‘Asqalâniy. Lihat Syâkir Mahmud Abdul Mun’im, Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy Mushanaifâtuhu wa Dirâsah fî Manhajihi wa Mawâridihi fî Kitâbihi al-Ishâbah, Mua`assasah al-Risâlah, Bairut, Cet.ke-1,1417 H.= 1997 M., Juz I, p.173-398, dan p.256.

(3)

kannya, maka hadisnya disebut hadis riwayat al-Arba’ah. Disebut hadis

riwayat al-Tsalâtsah jika tiga pertama yakni Ahmad, al-Bukhâriy dan

Muslim dan yang terakhir dari yang tujuh, yakni Ibnu Mâjah tidak

men-takhrîj-kannya. Disebut Muttafaq ‘alaihi jika hadis hanya diriwayatkan oleh al-Bukhâriy dan Muslim saja.5

Kitab Bulûg al-Marâm cukup populer di kalangan masyarakat

Indonesia. Kitab ini sangat boleh jadi merupakan salah satu kitab hadis yang paling banyak diterjemah ke dalam bahasa Indonesia. Harian Republika edisi 6 September 1996, menyebutkan tidak kurang dari tujuh

penerbit telah menerbitkan kitab Bulûg al-Marâm lengkap dengan

terjemahnya. Ketujuh penerbit tersebut ialah, Thaha Putra, Pustaka Amani, Wicaksana, Persis, Pustaka Tamam, Diponegoro, dan Gema Risalah Press. Salah satu penterjemahnya dan sekaligus komentator atas

hadis-hadisnya ialah A. Hassan dalam buku berjudul Tarjamah Bulughul

Maraam (Ibnu Hajr al-Asqalâni, Berikut Keterangan dan Penjelasannya).

A. Hassan (1887-1958 M)6 salah seorang guru utama organisasi

Persatuan Islam,7 merupakan sosok ulama pembaharu yang berpandangan

cukup mapan dan simpel dalam beragama, yakni tidak ada cara lain dalam

beragama kecuali mengikuti kepada al-Quran dan al-Sunnah. Hal ini

tercermin pada pendapatnya yang membenarkan sikap kaum muda yang

menolak bacaan ushalli sebagai bacaan pengantar shalat.8 Ajakan A.

Hassan sering dinyatakan sebagai konfrontatif, sebab A. Hassan tidak segan-segannya mengajak berdebat kepada siapa saja yang melawaninya. Tidak mustahil kiranya, jika kemudian A. Hassan dinyatakan sebagai ulama garis keras.

Sebagai salah satu ulama penyeru kembali kepada Quran dan al-Sunnah, sudah barang tentu A. Hassan memiliki pemikiran-pemikiran

khusus terhadap al-Sunnah itu sendiri. Pandangan tentang keberagamaan

Islam tertuang dalam berbagai tulisannya yang cukup banyak, salah satu di

antaranya ialah buku Tarjamah Bulughul Marâm. A. Hassan termasuk ulama

5 Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy, Bulûg al-Marâm Min `Adillah al-Ahkâm, Tashhîh wa Ta’lîq Muhammad Hâmid al-Fiqiy, Mu`assasah al-Rayân, Bairut, Cet.ke-1, 1421 H.=2000 M., p.1, lihat juga Syâkir Mahmud Abdul Mun’im, Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy Mushanaifâtuhu wa Dirâsah fî Manhajihi …, Op.cit., Juz I, p. 257.

6 Tamar Jaya, Riwayat Hidup A. Hassan, dalam A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid III, CV.Diponegoro, Bandung , 1998 M., p. 1269.

7 Persis adalah singkatan dari Persatuan Islam, suatu kelompok pembaharuan

Islam di Indonesia yang didirikan oleh H.Zamzam dan H.Muhammad Yunus pada permulaan tahun 1920 di Bandung..Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, PT.Pustaka LP3ES, Jakarta, Cet.ke-VII, 1991, p. 97.

(4)

yang produktif, tidak kurang dari 13 judul dan 8 karangan lepas telah

ditulis oleh A. Hassan.dalam berbagai media cetak. 9

Tulisan ini secara khusus hendak menguak pikiran-pikiran A. Hassan terhadap hadis sahih,-yang telah diyakininya sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam-, ketika hadis tersebut berlawanan dengan

al-Quran, sebagaimana yang dapat dibaca pada buku Tarjamah Bulughul

Marâm. Hadis-hadis tersebut penulis batasi pada hadis-hadis tentang: 1. Makanan yang diharamkan bagi umat Islam,

2. Orang yang meninggal masih mempunyai hutang berpuasa, dan 3. Hukumam bagi pelaku zina,

Kata berlawanan dalam tulisan ini, bukanlah terjemah dari bahasa Arab

ta’ârudl ( ﺽﺭﺎـﻌﺗ ). Sebab ta’ârudl dalam istilah ilmu hadis, untuk menunjuk adanya dua dalil yang berlawanan, bernilai sama kuat, sama martabat, dan

tidak bisa dikompromikan.10 Berlawanan dalam tulisan ini hanyalah dalam

arti tidak sejalan.

B. Pemahaman Agama Menurut A. Hassan

Bagaimana pemahaman dan atau pemikiran A. Hassan mengenai agama Islam, dapat ditelusuri dalam berbagai karangannya yang cukup

banyak, terutama dalam buku Terjemah Bulughul Maram dan dalam buku

Soal - Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama yang mencapai 4 jilid. Dalam

buku Terjemah Bulughul Maram pemahaman tentang agama Islam A. Hassan

disampaikan di sela-sela ketika mengulas hadis-hadis kitab Bulughul Maram

karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy, khususnya terhadap hadis yang dipahaminya sebagai berlawanan dengan al-Quran. Sedangkan dalam buku

Soal -Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, dapat ditelusuri ketika A. Hassan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Agama (Islam) menurut A. Hassan haruslah bersumber kepada al-Quran atau hadis. A. Hassan menulis,”Hendaklah diketahui bahwa “pendapat” semata-mata itu bukan Agama, sedang yang dikatakan agama

adalah Quran dan Hadis.”11 Tentang al-Quran A. Hassan menulis:“Quran

itu dari Allah mempunyai kesempurnaan dalam semua sifat-Nya. Apa yang ditentukan dalam Quran, walau bagaimanapun juga, tidak akan bertentangan, baik dengan keadaan, atau dengan firman-Nya sendiri atau

9 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang A. Hassan, dapat dibaca Endang Saifudin

Anshari, Ahmad Hassan; Wajah dan Wijhah seorang Mujtahid; makalah disampaikan pada Seminar Filsafat dan Perjuangan A. Hassan, Singapura, 28-30 Januari 1979.

10 Lihat lebih lanjut Hasbi Ashshiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Bulan

Bintang, Jakarta, Cet. Ke-1, 1958, p. 186-189.

11 A. Hassan, Soal – Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, CV.Diponegoro,

(5)

dengan yang lainnya.12 Dalam pada itu tentang hadis A. Hassan menulis: “Hadis yang sudah sah, ialah ucapan atau perbuatan Nabi Saw. Kita harus percaya bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Saw. mendapat pimpinan dari Allah dengan perantaraan wahyu-Nya. Maka tentu sabda atau perbuatan Nabi Saw. itu tidak mumkin bertentangan, baik dengan sabda atau perbuatan sendiri, atau dengan firman Allah. Ini merupakan suatu kepercayaan yang harus ada pada diri tiap-tiap Muslim. Karena itu, tidaklah akan terdapat Hadis Nabi Saw. yang sudah sah, bertentangan dengan salah satu ayat Quran atau sebaliknya. Dalam kenyataan terdapat satu dua hadis yang sudah sah nampaknya bertentangan dengan Quran, padahal bukan sebenarnya bertentangan, hanya karena kita tidak mampu

mendudukannya, maka kita “katakan” dia bertentangan.13

Pendapat A. Hassan tersebut mengandung arti bahwa:

1. Sumber ajaran Islam hanyalah Quran dan hadis,

2. Quran berisikan kebenaran mutlak, tidak mungkin akan bertentangan

dengan yang manapun, termasuk dengan ayat Quran sendiri atau dengan yang lain,

3. Hadis yang sah (sahih) pasti benar adanya, karena dia berasal dari wahyu juga,

4. Hadis yang sah tidak mungkin akan bertentangan dengan Quran

(firman Allah) atau dengan hadis lainnya; demikian juga Quran pun tidak mungkin bertentangan dengan hadis yang sah.

5. Jika ada hadis yang sah tampaknya bertentangan dengan Quran,

sebenarnyalah ia tidak demikian; dikatakan bertentangan dikarenakan kita tidak bisa mendudukkan permasalahannya.

Dengan demikian, sebenarnyalah hadis sahih menurut A. Hassan, seperti halnya hadis sahih menurut Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid al-Halabiy al-Atsariy. Menurut Al-Atsariy salah satu parameter kesahihan matan hadis sahih ialah matan hadis tidak boleh bertentangan dan atau menyelisihi al-Quran.14

Tentang ijtihad sebagai sumber hukum dalam Islam, A. Hassan menulis: “Ijtihad itu, perlu di dalam keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Quran atau di Hadis tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waktu itu perlu hakim atau ketua Islam,

12 A. Hassan, Soal-Jawab…., Ibid., Juz I, p.20. Ejaan disesuaikan dengan ketentuan

yang ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet.ke-2, 1989.

13 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I, p. 20.

14Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid al-Halabiy al-Atsariy, Dalâ`il al-Tahqîq li ibthâl qishshah al-Gharânîq Riwâyatân wa Dirâyatân, Maktabah al-Shahâbah, Jiddah, 1412 H.= 1992 M., p.43.

(6)

berijtihad dan diqiaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah

ada tersebut terang di Quran atau hadis, dengan beberapa sebab”.15 Begitu

pentingnya ijtihad A. Hassan menyatakan: “Kewajiban umat Islam di dalam hal berpegang kepada Agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad atau berittiba’, tidak lain.”16 Pernyataan A. Hassan tersebut menyatakan bahwa: (1) ijtihad adalah salah satu sumber hukum dalam Islam, (2) ijtihad dimaksud hanyalah untuk hal keduniaan, dan (3) salah satu metode berijtihad menurut A. Hassan ialah dengan menggunakan qias. Jalan beragama hanyalah dua saja yakni ijtihad atau ittiba’.

Sebaliknya A. Hassan dalam buku Soal-Jawab…, Jilid I, tentang

ijtihad menyatakan: “Kalau kita perhatikan hukum-hukum Agama yang sudah ada dan qaidah-qaidah untuk menentukan hukum-hukum Agama yang didasarkan kepada Quran dan Hadis sahih, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah dalam Agama kita, dengan tidak perlu bersusah payah sebagaimana yang dikehendaki oleh ta’rif tersebut di atas.”17 Dalam pernyataan pertama, A. Hassan

menunjuk-kan kepada kita akan pentingnya ijtihad, di lain pihak pada pernyataannya yang kedua, ijtihad tidaklah perlu dilakukan mengingat dalam urusan agama semuanya telah diatur sedemikian lengkap dalam Quran atau hadis yang sah.

C. Contoh Ijtihad A. Hassan

Ketika A. Hassan ditanya, bagaimana hukumnya orang yang berasa mau buang air dalam salat, bolehkah ia tahan atau mestikah ia urungkan salat itu lantas ia ambil uduk lagi?” A. Hassan menjawab dengan hadis:

ﻥﺎﺜﺒﺧﻷﺍ ﻪﻌﻓﺍﺪﻳ ﻮﻫﻭ ﻻﻭ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺓﺮﻀﲝ ﺓﻼﺻ ﻻ

)

ﻩﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺴﻣ

(

Artinya: Tidak … salat di waktu sudah sedia makanan, tidak … salat di waktu didesak oleh buang air besar atau kecil.

‘Tidak … salat itu’ ada sebagian dari ulama artikan “tidak sah salat”

Menurut paham golongan ini, hadis itu berarti: “tidak sah salat” orang yang

sudah disediakan makanan untuk dimakannya, dan juga “tidak sah salat”

orang yang menahan kencing atau buang air besar.

Ada sebagian di antara Ulama pula artikan,”tidak sempurna salat”. Menurut paham ini, hadis tadi berarti:”tidak sempurna salat orang yang sudah disediakan makanan untuk dimakannya, dan juga tidak sempurna salat orang yang menahan buang air kecil atau buang air besar.

15 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I,p.388. 16 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I,p.389. 17 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I, p.20.

(7)

Orang yang tidak begitu lapar, yakni orang-orang yang masih bisa khusyuk, lantaran tidak begitu ingat kepada makanan yang sudah ditaruh itu, dan orang yang masih bisa khusyuk lantaran tidak begitu payah menahan buang air itu, pada pandangan saya, boleh terus salat. Dengan

pandangan ini berarti saya menyebelahi golongan ulama yang kedua tadi.18

A. Hassan sangat yakin tidak mungkin terdapat hadis yang sah bertentangan dengan Quran, dan jika tampaknya ada kedapatan, hal itu semata-mata ketidak mampuan kita mendudukkan persoalannya. Selanjutbya dikatakan oleh A. Hassan bahwa dimaksudkan hadis yang sah ialah hadis yang bernilai sahih yang terdiri dari:

1. Hadis mutawatir, yaitu satu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dari Nabi Saw. lalu disampaikan kepada orang banyak pula; demikian seterusnya sampai tercatat dalam kitab-kitab di masa belakangan ini. Syaratnya:orang-orang banyak itu sejumlah yang mustahil pada adat, bahwa mereka itu sepakat mengada-adakan sabda yang dikatakan dari Nabi Saw. itu.

2. Hadis sahih li dzatihi, yaitu hadis yang sah secara sanadnya, bukan karena dibantu oleh yang laian,

3. Hadis sahih li ghairihi, yaitu hadis yang derajatnya di bawah sedikit dari hadis yang sahih, lalu dibantu dengan hadis yang seumpamanya, atau dengan cara yang lain,

4. Hadis hasan li dzatihi, yaitu hadis sah, tetapi derajatnya di bawah sedikit dari hadis sahih(karena di antara rawi-rawinya) ada rawi yang hafalannya sekali dua kali terganggu,

5. Hadis hasan li ghairihi, yaitu hadis yang lemahnya agak ringan, lalu dibantu atau dikuatkan dengan yang seumpamanya atau dengan jalan-jalan lain yang dapat diterima.

Hadis hasan lighairihi dipakai untuk hukum-hukum yang ringan,

seperti: hukum sunnat,hukum makruh dan hukum mubah.19 Sedangkan

hadis sahih menurut A. Hassan ialah: “Hadis yang tiap-tiap seorang daripada rawinya, hingga sampai kepada Nabi atau sahabat itu bersifat:

1. Berbakti,

2. Boleh dipercaya agamanya,

3. Jujur di dalam perkataannya,

4. Mengerti apa yang diriwayatkannya,

5. Tahu apa-apa yang bisa mengubah makna hadis,(yaitu kalau ia

meriwayatkan hadis dengan makna),

6. Kuat hafalannya (yaitu kalau ia meriwayatkan hadis hafalan),

18 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid III, p. 862-863. 19 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Juz I, p. 16.

(8)

7. Ingat akan kitabnya (yaitu kalau ia meriwayatkan hadis dengan tulisan),dan ada lain-lain syarat yang tidak begitu penting, bahkan telah termasuk di salah satu syarat yang tersebut di atas itu.20

Hadis sahih yang boleh diamalkan menurut A. Hassan ialah :

“Hadis sahih yang tidak berlawanan dengan Quran dan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat riwayatnya. Tetapi jika bertemu satu hadis yang sahih menurut riwayat, tetapi ada berlawanan dengan Quran atau berlawanan dengan hadis yang lebih kuat, maka di waktu itu hendaklah

ditakwil dengan takwil yang tidak keluar daripada kemauan bahasa Arab. Kalau

sudah tidak bisa ditakwil lagi, maka pada masa itu hendaklah didiamkan hadis

itu, yakni tidak boleh dipakai.21

Penjelasan A. Hassan tersebut dapat disimpulkan:

1. Sumber hukum dalam Islam ada tiga, yakni Quran, hadis dan ijtihad, 2. Ijtihad diterapkan untuk urusan keduniaan, dan salah satu metodenya

ialah menggunakan kias,

4. Hadis yang sah selain telah memenuhi persyaratan sanad, tidak

mungkin akan berlawanana dengan Quran, ataupun dalil lain yang lebih kuat, sebab ia merupakan juga wahyu dari Allah,

5. Termasuk hadis sah ialah, hadis mutawatir, hadis shahih baik lidzatihi

maupun lighairihi, dan hadis hasan baik lidzatihi maupun lighairihi,

6. Hadis hasan lighairihi diterapkan untuk dasar hujah urusan agama

yang ringan seperti, hukum sunat, makruh dan hukum mubah,

7. Jika kedapatan hadis yang sah tampak bertentangan dengan Quran,

maka hadis yang sah itu harus ditakwil, dengan takwil yang tidak keluar

dari kemauan bahasa Arab,

8. Apabila ternyata ditakwilpun masih belum nisa dipertemukan, maka

hadis yang sah tersebut harus ditawakufkan.

D. Beberapa Hadis yang Tampak bertentangan Dengan Quran 1. Hadis tentang makanan yang diharamkan

a. Bulûg al-Marâm kitab al-Ath’imah hadis no.1344.

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﰉﺍ ﻦﻋ

:

ﻦـﻣ ﺏﺎﻧ ﻯﺫ ﻞﻛ

ﻡﺍﺮﺣ ﻪﻠﻛﺄﻓ ﻉﺎﺒﺼﻟﺍ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ

.(

22

20 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I,p.345.Dikatakan oleh A. Hassan, bahwa

persyaratan hadis sahih sebagaimana ditulis, adalah persyaratan hadis sahih mengikuti pendapat imam Syafi’iy.Lihat lebih lanjut Muhammad bin Idris al-Syâfi’iy, al-Risâlah bi Tahqîq wa Syarh Ahmad Muhammad Syâkir, Dâr al-Fikr, Bairut, 1309 H., p.370-371.

21 A. Hassan, Soal-Jawab…, Ibid., Jilid I, p.345. 22 Ibnu Hajar, Bulûg al-Marâm…, Op.cit., p.276.

(9)

Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw.sabdanya,”Tiap-tiap yang mempunyai siung dari binatang buas, maka memakannya itu haram.”23

Hadis sahih riwayat Muslim ini secara tegas menyatakan bahwa daging binatang buas yang bergigi taring (siung) adalah haram hukumnya untuk dimakan. Hadis ini secara lahiriah bertentangan dengan:

1). Syrat al-Baqarah: 173

ﷲﺍ ﲑﻐﻟ ﻪﺑ ﻞﻫﺃ ﺎﻣﻭ ﺮﻳﱰﳋﺍ ﻢﳊﻭ ﻡﺪﻟﺍﻭ ﺔﺘﻴﳌﺍ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻡﺮﺣ ﺎﳕﺇ

ﻻﻭ ﻍﺎﺑ ﲑﻏ ﺮﻄﺿﺍ ﻦﻤﻓ

ﻢﻴﺣﺭﺭﻮﻔﻏ ﷲﺍ ﻥﺇ ﻪﻴﻠﻋ ﰒﺇ ﻼﻓ ﺩﺎﻋ

.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang(ketika disembelih) disebut(nama) selain Allah.Tetapi barngsiapa dalam keadaan terpaksa(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak(pula) melampui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.24

2). Surat al-Mâ`idah: 3

ﻪﺑ ﷲﺍ ﲑﻐﻟ ﻞﻫﺃ ﻞﻣﻭ ﺮﻳﱰﳋﺍ ﻢﳊﻭ ﻡﺪﻟﺍﻭ ﺔﺘﻴﳌﺍ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﺖﻣﺮﺣ

,

ﺓﺩﻮـﻗﻮﳌﺍﻭ ﺔـﻘﻨﺨﻨﳌﺍﻭ

ﺍﻭ ﺔﻳﺩﺮﺘﳌﺍﻭ

ﺍﻮﻤﺴﻘﺘﺴﺗ ﻥﺃﻭ ﺐﺼﻨﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺢﺑﺫ ﺎﻣﻭ ﻢﺘﻴﻛﺫﺎﻣ ﻻﺇ ﻊﺒﺴﻟﺍ ﻞﻛﺃﺎﻣﻭ ﺔﺤﻴﻄﻨﻟ

ﻡﻻﺯﻷﺎﺑ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam oleh binatang buas, kecuali yang sampai kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala, dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah…25

3). Surat al-Nahl: 115

ﻞﻫﺃ ﺎﻣﻭ ﺮﻳﱰﳋﺍ ﻢﳊﻭ ﻡﺪﻟﺍﻭ ﺔﺘﻴﳌﺍ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﻡﺮﺣ ﺎﳕﺇ

ﺍ ﲑﻐﻟ

ﻪﺑ ﷲ

,

ﻍﺎـﺑ ﲑﻏ ﺮﻄﺿﺍ ﻦﻤﻓ

ﺩﺎﻋ ﻻﻭ

ﻢﻴﺣﺭﺭﻮﻔﻏ ﷲﺍ ﻥﺈﻓ

.

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barngsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula

23 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Marâm Pustaka Tamâm , Bangil, 1985, Jilid II,

,p.292.

24 Soenaryo dkk., Qurân Karîm wa Tarjamatu Ma’ânîhi Ilâ Lughati al-Indûnîsiyah, (al-Quran dan Terjemahnya), Khadim al-Haramain asy Syarifain, tth., p.42. Selanjutnya ditulis al-Quran dan Terjemahnya.

(10)

melampui batas, maka esungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.26 4). Surat al-An’âm:145

ﺔـﺘﻴﻣ ﻥﻮـﻜﻳ ﻥﺃ ﹼﻻﺇ ﻪـﻤﻌﻄﻳ ﻢﻋﺎـﻃ ﻰـﻠﻋ ﺎـﻣﺮﳏ ﹼﱄﺇ ﻲﺣﻭﺃ ﺎﻣ ﰱ ﺪﺟﺃ ﻻ ﻞﻗ

ﻪـﺑ ﷲﺍ ﲑﻐﻟ ﹼﻞﻫﺃ ﺎﻘﺴﻓ ﻭﺃ ﺲﺟﺭ ﻪﻧﺈﻓ ﺮﻳﱰﺧ ﻢﳊ ﻭﺃ ﺎﺣﻮﻔﺴﻣﺎﻣﺩﻭﺃ

,

ﺮﻄـﺿﺍ ﻦـﻤﻓ

ﲑﻏ

ﻢﻴﺣﺭﺭﻮﻔﻏ ﻚﺑﺭ ﻥﺈﻓ ﺩﺎﻋ ﻻﻭ ﻍﺎﺑ

.

Katakanlah,”Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor,- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)melampui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”27

Terhadap hadis Abu Hurairah tersebut A. Hassan berkomentar:

1. Menurut riwayat Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw.”haramkam”

memakan binatang buas yang mempunyai gigi tajam di sebelah depan, yang dinamakan siung atau taring.

2. Menurut riwayat Ibnu ‘Abbs bahwa Rasulullah “larang” memakan dan

di dalam riwayat Ibnu ‘Abbas ada tambahan:dan tiap-tiap burung yang makan menyambar pun dilaranga juga.

3. Menurut al-Baqarah 173, al-Nahl 115, al-Mâ`idah 3 dan al-An’âm 145,

bahwa makanan yang diharamkan tidak lain melainkan

empat,:1.bangkai,2. Darah, 3.babi, 4. Sesuatu yang disembelih bukan

karena Allah; dan menurut al-An’âm 119 bahwa Allah telah terangkan

dengan satu persatu yang ia haramkan atas kamu, yang berarti tidak ada makanan yang haram melainkan empat yang tersebut itu.

4. Adapun binatang bersiung, burung penyambar, keledai negeri dan lain-lain yang datang di sebagian riwayat-riwayat mengatakan Nabi saw. haramkan itu jika dikata barang-barang itu pun haram, berarti

bahwa firman Allah yang berbunyi,”tidak ada yang haram melainkan

empat” itu dusta. Tidak bisa jadi Allah itu berdusta dan tidak bisa jadi Rasulullah berani mengharamkan beberapa benda sesudah Allah berkata tidak ada yang haram melainkan empat.

26 Ibid., p. 419. 27Ibid., p.212-213.

(11)

5. Dari itu semua, terpaksa kita teguhkan dan utamakan riwayat-riwayat yang berkata,Rasulullah saw. larang” (bukan Rasulullah haramkan), karena larang itu bisa memberi larangan makruh.

6. Apabila kita artikan larangan Rasulullah saw. sebagai larangan makruh maka tidak terdapat pertentangan antara ayat-ayat dan hadis-hadis lantaran ayat-ayat mengharamkan, sedang hadis-hadis memakruhkan. 7. Jika ditanya,”Kalau betul begitu, mengapa sahabat-sahabat riwayatkan

dengan pakai perkataan Rasulullah saw. haramkan?” Jawabnya, Rasulullah saw. hanya melarang dengan arti makruh, tetapi sebagian sahabat faham larangan itu larangan haram, lalu ia riwayatkan menurut apa yang ia paham, sedang sahabat-sahabat yang tidak memahami sebagai larangan haram lalu ia riwayatkan dengan memakai kalimat,”naha” yang artinya “larang” yang bisa dipakai buat larangan

makruh, yakni tidak disukai atau dibenci, tidak haram.28

Dalam catatan kaki A. Hassan masih menambah penjelasan sebagai berikut: “Diketerangan No.7 ada pembicaraan bahwa sahabat-sahabat meriwayatkan hal makan binatang yang bersiung dan buas dengan

memakai kata-kata “haram”, karena mereka faham dari larangan Nabi saw.

itu “haram.” Kata-kata,”haram”, sebelum kedatangan Islam dan sebelum ada istilah ahli Fiqih sebagaimana yang kita ma’lum, sudah ada. Ini bisa kita dapati dalam syi’ir-syi’ir zaman dahulu. Ketika itu kata-kata “haram”

pada umumnya terpakai dengan arti “menegah”, “melarang”, “menahan”, dan

sebagainya. Maka riwayat-riwayat sahabat-sahabat yang memakai kata-kata”haram” itu, kita pakai dengan arti “menegah” yang semakna dengan (nahâ), maka tidaklah ada kekeliruan faham yang timbul dari sahabat-sahabat.29

b. Hadis Bulûghul Marâm no. 1246.

ﻡﻮﳊ ﻦﻋ ﱪﻴﺧ ﻡﻮﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻰ ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

ﺔﻴﻠﻫﻷﺍ ﺮﻤﳊﺍ

,

ﻞﻴﳋﺍ ﻡﻮﳊ ﰱ ﻥﺫﺃﻭ

.

ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

,

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻆﻔﻟ ﰱﻭ

:

ﺺﺧﺭﻭ

.

30

Dari Jabir ia berkata,”Rasulullah saw. larang pada hari(peperangan) Khaibar daging keledai negeri, tetapi ia izinkan pada daging-daging kuda.”Muttafaq ‘alaih, dan pada suatu lafal bagi Bukhari:Dan ia beri kelonggaran.31

Terhadap hadis no. 1346 ini A. Hassan berkomentar:

1. Keledai negeri tidak termasuk di dalam empat benda yang diharamkan oleh al-Quran sebagaimana dikatakan hadis 1344 dan 1345.

28 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, p. 292-293. 29Ibid, p. 293.

30 Ibnu Hajar, Bulughul Marâm…, Op.cit., p. 276-277. 31 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, p. 294.

(12)

2. Sebagian ulama-ulama berpendapat bahwa larangan itu hanya lantaran Rasulullah saw. merasa khawatir akan kehabisan binatang pengangkut barang-barang yang sangat perlu di dalam peperangan. Rasulullah izinkan kuda karena kuda kurang perlunya jika dibanding dengan keledai.

3. Satu pemerintah Islam boleh larang orang memakan sapi atau kerbau umpamanya, apabila dikhawatirkan akan tidak cukup binatang buat menggala sawah-sawah yang menjadi sumber hidup makanan kita.

4. Mengharamkan sesuatu dengan bersebab itu dinamakan “tahrim

muwaqqat”, bukan “tahrim mua`bbad”, yakni haram sementara bukan haram selamanya.

5. Bacalah keterangan bagi hadis ke 15, lantaran di situ ada pembicaraan yang penting.32

Akan halnya catatan A. Hassan terhadap hadis no.15, adalah sebagai berikut:33

1. Hadis ke 15 ini ada kelemahan di dalam sandnya.Lantaran itu, tidak boleh dipakai buat jadi alasan.

2. Di antara ikan-ikan, ada yang mempunyai darah mengalir kalau dilukai atau disembelih, dan ada yang tidak. Dua macam ikan itu halal bangkainya dengan alasan hadis ke 1 dan dengan alasan riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. turut makan ikan besar yang telah didapati oleh sahabat-sahabat di tepi laut di dalam keadaan sudah mati.

3. Benda-benda makanan yang diharamkan kepada kita, menurt Quran al-Mâ`idah 3; al-Baqarah 173, al-Nahl 115, al-An’âm 145; hanya empat: bangkai, darah, babi, dan suatu yang disembelih bukan karena Allah. Selain dari itu semuanya halal dimakan.

4. Semua binatang-binatang, selain babi, dan yang disembelih bukan karena Allah, halal dimakan.

5. Di antara binatang ada yang berdarah mengalir, dan ada yang tidak, seperti belalang, kodok dan yang seumpamanya.

6. Kita sudah tahu bahwa binatang-binatang yang berdarah mengalir itu perlu disembelih. Adapun binatang-binatang yang tidak berdarah mengalir, tidak terdapat keterangan wajib disembelih atau pernah disembelih oleh Nabi saw. sahabatnya atau lainnya.

Selain dari kita sama-sama ma’lum, bahwa Rasulullah saw.ada memakan daging yang dibakar atau dimasak; demikian juga buah-buah.

32Ibid., Jilid II, p. 294.

33 Hadis no.15 dari kitab Bulûg al-Marâm adalah hadis Ibnu Umar riwayat Ahmad

dan Ibnu Mâjah, perihal dua bangkai dan dua darah yang dihalalkan, yakni bangkai belalang dan bangkai ikan; sedangkan dimaksudkan dua darah ialah hati dan jantung.

(13)

Kita ma’lum pula bahwa umumnya daging-daging dan buah-buah mengandung kutu-kutu, hama-hama atau binatang-binatang kecil yang tidak bisa dilihat melainkan dengan teropong pembesar, dan di antara hama-hama itu tentu ada yang telah mati lantaran kena cahaya matahari, api atau air panas; ini berarti Rasulullah saw.ada memakan bangkai-bangkai dan memakan binatang-binatang dengan tidak disembelih. Apabila bangkai ikan yang sebahagiannya ada mempunyai darah yang mengalir dibolehkan memakannya dengan tidak disembelih, maka lebih utama lain-lain binatang yang tidak berdarah mengalir. Dari itu semua, tidak ada alasan buat melarang kita memakan bangkai-bangkai yang tidak mempunyai darah mengalir. Bisa jadi ada orang berkata bahwa Rasulullah saw.makan hama-hama itu lantaran tidak melihat dan tidak tahu. Kita jawab, bahwa sangat bisa jadi Rasulullah saw. tahu demikian dengan wahyu dari Allah yang menjadikannya, dan tidak ragu-ragu, bahwa Allah tahu adanya hama-hama di dalam benda-benda yang dimakan oleh Rasulullah saw., tetapi Ia tidak mengharamkannya.

Dari sekian itu, bisa kita ambil keputusan, bahwa bangkai yang diharamkan didalam ayat al-Quran itu, ialah bangkai binatang-binatang

yang mempunyai darah mengalir.34

2. Hadis mengenai orang yang meninggal masih mempunyai hutang berpuasa

Hadis Bulûg al-Marâm no.697.

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ

:

ﻪـﻴﻟﻭ ﻪﻨﻋ ﻡﺎﺻ ﻡﺎﻴﺻ ﻪﻴﻠﻋﻭ ﺕﺎﻣ ﻦﻣ

.

ﻖﻔﺘﻣ

ﻪﻴﻠﻋ

.

35

Dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi saw.telah bersabda,”Barangsiapa mati padahal ada berhutang puasa, maka walinya puasakan dia.” Muttafaq ‘alaih.36

Setelah menterjemah hadis no. 697 A. Hassan memberi keterangan sebagai berikut:

1. Di dalam agama tidak diterangkan siapa yang dikatakan wali.Jika wali itu banyak, siapa-siapakah dia orang-orangnya, dan bagaimana tertibnya; ini tidak tersebut di dalam agama.

2. Maksud ”walinya puasakan dia” itu rata-rata ulama terangkan wajib walinya puasakan dia.

34 A. Hassan, Terjemah…, Jilid I, p.49-51.

35 Ibnu Hajar al-Asqalâniy, Bulûg al-Marâm…, Op.cit., p. 137. 36 A. Hassan, Terjemah…, Jilid I, p.351.

(14)

3. Jika demikian, maka siapakah dia wali itu, dan siapakah yang wajib kerjakan lebih dahulu jika wali itu lebih dari seorang? Tidak ada keterangan yang menetapkannya.

4. Hadis ini membolehkan atau mewajibkan seseorang mengerjakan ibadah buat orang lain. Sedang ayat 33 al-Najm menegaskan bahwa seseorang tidak mendapat melainkan apa yang ia kerjakan dan beberapa banyak lagi ayat mengatakan kamu tidak dibalas melainkan apa yang kamu kerjakan.

Jadi hadis ini berlawanan dengan ayat Quran, padahal hadis yang sahih itu, selain betul sanadnya, isinya tidak boleh berlawanan dengan hadis yang lebih kuat dari padanya. Maka bagaimanakah bisa sah satu hadis yang berlawanan dengan satu ayat Quran? Dari itu, wajib kita tolak hadis-hadis yang membolehkan seseorang menghajikan orang lain- walaupun anaknya atau ibu bapaknya-, demikian juga hadis yang membolehkan atau mewajibkan membayar puasa orang lain. Ada diriwayatkan bahwa ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Umar, dan beberapa orang lagi berpendapatan tidak boleh seseorang mempuasakan seorang lain.

Imam Malik berpendirian dengan ayat al-Najm 33 dan menolak hadis-hadis yang berlawanan dengannya. Imam Syafi’iy berkata tidak boleh seseorang puasakan seseorang. Selain dari itu semua, fikiran amat setuju dengan pendirian yang tidak membolehkan seseorang mengerjakan ibadah buat orang lain.37

3. Hukumam bagi pelaku zina

a. Hadis Bulûg al-Marâm no.1232.

ﻝﺎﻗ ﺖﻣﺎﺼﻟﺍ ﻦﺑ ﺓﺩﺎﺒﻋ ﻦﻋ

:

ﺍﻭﺬـﺧ ﲎﻋ ﺍﻭﺬﺧ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ

ﻼﻴﺒﺳ ﻦﳍ ﷲﺍ ﻞﻌﺟ ﺪﻘﻓ ﲎﻋ

,

ﺔﻨﺳ ﻰﻔﻧﻭ ﺔﺋﺎﻣ ﺪﻠﺟ ﺮﻜﺒﻟﺎﺑ ﺮﻜﺒﻟﺍ

,

ﺐـﻴﺜﻟﺎﺑ ﺐﻴﺜﻟﺍﻭ

ﺪﻠﺟ

ﻢﺟﺮﻟﺍﻭ ﺔﺋﺎﻣ

).

ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ

.(

38

Dari Ubadah bin Shamit ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw.,”Ambilah (hukum) dari padaku, ambilah hukum dari padaku! Karena sesungguhnya Allah telah bukakan jalan bagi mereka (yakni Allah telah adakan hukum atas perempuan yang berzina), yaitu perawan dan teruna dera seratus, dan pengasingan setahun; dan yang sudah berkawin dengan yang sudah berkawin dera seratus dan rajam.” Diriwayatkan dia oleh Muslim.39

37 A. Hassan, Terjemah…, Jilid I, p. 351-352.

38 Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy, Bulûl al-Marâm…, p. 256. 39 A. Hassan, Terjemah…, Jilid II, p. 226-227.

(15)

Terhadap hadis no.1232 A. Hassan telah memberi keterangan dan pemandangan sebagai berikut:

1. Menurut al-Nur ayat ke 3, bahwa orang yang berzina hukumannya didera seratus kali.

2. Hadis ke 1231 dan lainnya menunjukkan orang berzina yang belum pernah kawin, itu hukumannya dera seratus dan pengasingan setahun, 3. Hadis ke 1231 dan lainnya menunjukkan, bahwa orang yang berzina

yang sudah pernah kawin itu hukjumannya dirajam sampai mati. 4. Hadis ke 1232 menunjukkan, bahwa orang yang berzina yang sudah

pernah kawin itu, hukumannya dera seratus, lantas dirajam sampai mati, dan hadis ini menerangkan hukum pengasingan kena juga atas perempuan,

5. Oleh sebab ayat al-Nur, berlainan dengan hadis, sedang hadis-hadis sendiri sebagiannya berlainan dengan sebagian, perlu kita dudukkan urusannya dan beri pemandangan:

a. Perawan dan taruna yang berzina hukumnya itu ialah didera seratus,

b. Pengasingan setahun yang tersebut di dalam hadis-hadis tidak wajib, hanya terserah kepada hakim; boleh ia adakan dan boleh tidak, karena kalau dikatakan wajib niscaya timbul pertanyaan mengapa Quran tidak terangkan hukuman pengasingan itu bersama-sama hukum dera?Mahasuci Allah dari lupa dan lalai, c. Banyak hadis-hadis yang menegaskan, bahwa Rasulullah saw.

perintah rajam dengan tidak disertakan perintah dera atas orang yang berzina yang sudah pernah kawin. Dari itu hadis yang menerangkan dera, lantas rajam itu perlu ditakwil, yaitu hukum dera itu tidak wajib, hanya terserah kepada hakim,

6. Perempuan yang dihukum buang seratus itu, hendaklah atas tanggungan pemerintah, tentang makan, minum dan lain- lain nafaqahnya dan juga penjagaan atas kehormatannya,

7. Menurut hadis ke 1231 bahwa pengasingan dan rajam itu dikatakan hukm Kitabullah oleh Rasulullah, padahal kedua-duanya tidak ada di dalam Quran? Dijawab bahwa Kitabullah itu bukanlah saja berarti Quran, bahkan ada mempunyai makna ketetapan Allah, hukum-hukum yang Allah berikan kepada nabi Muhammad, walaupun tidak diperintah memasukkan di dalam Quran, dinamakan juga Kitabullah;

Ketetapan dari Allah, Kewajiban dari Allah dan sebagainya.40

b. Hadis Bulûg al-Marâm no. 1235.

(16)

ﻝﺎﻘﻓ ﺐﻄﺧ ﻪﻧﺃ ﻪﻨﻋ ﱃﺎﻌﺗ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺏﺎﻄﳋﺍ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ

:

ﻖﳊﺎﺑ ﺍﺪﻤﳏ ﺚﻌﺑ ﷲﺍ ﻥﺇ

,

ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﺰﻧﺃﻭ

,

ﻢﺟﺮـﻟﺍ ﺔـﻳﺁ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻝﺰﻧﺃ ﺎﻤﻴﻓ ﻥﺎﻜﻓ

.

ﺎـﻫﺎﻨﻴﻋﻭﻭ ﺎـﻫﺎﻧﹾﺃﺮﻗ

ﺎﻫﺎﻨﻠﻘﻋﻭ

,

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻢﺟﺮﻓ

,

ﻩﺪﻌﺑ ﺎﻨﲨﺭﻭ

,

ﻝﺎـﻃ ﻥﺇ ﻰـﺸﺧﺄﻓ

ﻞﺋﺎﻗ ﻝﻮﻘﻳ ﻥﺃ ﻥﺎﻣﺯ ﺱﺎﻨﻟﺎﺑ

:

ﰱ ﻢﺟﺮﻟﺍ ﺪﳒﺎﻣ

ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ

,

ﺎـﳍﺰﻧﺃ ﺔﻀﻳﺮﻓ ﻙﺮﺘﺑ ﺍﻮﹼﻠﻀﻴﻓ

ُﷲﺍ

,

ﻝﺎـﺟﺮﻟﺍ ﻦـﻣ ﻦـﺼﺣﺃ ﺍﺫﺇ ﱏﺯ ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﱃﺎﻌﺗ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ ﻖﺣ ﻢﺟﺮﻟﺍ ﻥﺇﻭ

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍﻭ

,

ﻑ ﺍﺮﺘﻋﻹﺍ ﻭﺍ ﹸﻞﺒﳊﺍ ﻥﺎﻛ ﻭﺍ ﹸﺔﻨﻴﺒﻟﺍ ﺖﻣﺎﻗ ﺍﺫﺇ

.

ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

.

41

Dari Umar bin Khaththab, bahwasanya ia berkhutbah dan berkata,”Sesungguhnya Allah telah utus Muhammad dengan membawa kebenaran dan Ia turunkan kepadanya Kitab itu; dan di antara yang Ia turunkan ada ayat rajam yang telah kita baca dia dan kita simpan dia dan kita fahami dia, dan Rasulullah saw. telah rajam, sesudah dia kita pun telah rajam; dan saya khawatir bahwa kalau sudah lewat beberapa masa atas manusia ada yanga akan berkata,” Kami tidak dapati hukum rajam di dalam Kitabullah Ta’ala, lalu mereka sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang diturunkan oleh Allah, dan sesungguhnya hukum rajam itu benar ada di Kitabullah Ta’ala, atas orang yang berzina apabila ia sudah pernah berkawin, maupun laki-laki atau perempuan, jika sudah ada bukti atau mengandung atau mengaku.” Muttafaq ‘alaih.41

Setelah menterjemah hadis nomor urut 1235 A. Hassan memberi keterangan dan pandangan sebagai berikut.

Keterangan:

1. Kitabullah atau Quran yang ada pada kita sekarang, dikumpulkan dengan anjuran Umar sendiri kepada Abu Bakar,

2. Di dalam Quran ini betul-betul tidak ada ayat rajam,

3. Oleh karena riwayat Umar bukan mutawatir, sedang Quran itu mutawatir, maka sudah tentu Quranlah menjadi pegangan kita,

4. Kita mengakui bahwa hukum rajam itu ada, tetapi dari hadis bukan dari Quran,

5. Kalau kita tolak perkataan Umar itu, tidak berarti kita dustakan Umar atau Bukhari dan Muslim, tetapi kita anggap ada kekeliruan dari rawi-rawi riwayat itu.

Pandangan:

1. Sekiranya kalimah “Kitabullah” dan kalimah “apa yang diturunkan oleh Allah” itu tidak umar maksudkan Quran, tetapi ia maksudkan wahyu dari Allah, maka riwayat Umar itu tidak perlu ditolak,

41 Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy, Bulûgh …, p. 257. 42 A. Hassan, Terjemah…, Jilid II, p. 230.

(17)

karena”Kitabullah” dan “apa yang diturunkan oleh Allah,” itu dapat diartikanhukum atau ketetapan dari Allah yang tidak dimasukkan di dalam Quran,

2. Pada permulaan Islam,Rasulullah saw. ada larang sahabat-sahabatnya menulis hadis. Sahabat-sahabat dan ulama faham bahwa Rasulullah saw.larang itu lantaran khawatir tercampur Quran dengan hadis, 3. Bisa jadi bahwa yang dikatakan ayat rajam ialah hadis Nabi saw.tetapi

Umar sangka ayat Quran,

4. Sekiranya betul yang demikian ayat Quranmengapakah Umar tidak minta dimasukkan di waktu sahabat kumpulkan ayat-ayat Quran dari tulisan-tulisan di atas kulit, tulang, batu, dan lainnya? Dan mengapakah tidak seorang pun dari sahabat minta dimasukkannya? 5. Biar begitu dan begini, tetapi hukum rajam itu tetap ada di dalam

Islam dari hadis yang tidak bisa dibantah, tidak dari Quran.

Dalam catatan kakinya A. Hassan menambah penjelasan sebagai

berikut: Ayat rajam: Kata-kata “Ayat” mempunyai bermacam-macam arti.

Di antaranya dengan arti: (1). Ayat Quran yang ma’lum, (2). Tanda, (3).ibarat (pelajaran),(4). Mu’jiyat, (5). keajaiban, (6). golongan. Dalam kitab Mu’jamul Quran dikatakan bahwa kata-kata,”ayat”, dikatakan asal dari kata-kata ,”at-ta-ayyie”, yang artinya: ketetapan dan pendirian atas sesuatu. Berdasar kepada ini maka kata-kata,”ayat ”, dapatlah diartikan,”ketetapan”.

Maka “Ayat rajam” maknanya:”ketetapan tentang rajam”. Bukan dengan arti

ayat Quran. Dengan demikian maka omongan Umar itu tidak salah.43

E. Analisis

Dalam kajian teori sebagaimana tertulis pada bagian B, A. Hassan menegaskan jika didapati hadsi sahih yang berlawanan dengan al-Quran, hendaklah ditakwil dengan takwil yang tidak keluar daripada kemauan bahasa Arab. Kalau sudah tidak bisa ditakwil lagi, maka pada masa itu hendaklah didiamkan hadis itu, yakni tidak boleh dipakai.

Dari sekian banyak komentar A. Hassan terhadap hadis yang dinilainya bertentangan dengan ayat al-Quran, tidak satupun mengarah kepada pemberlakuan definisi hadis sahih sebagaimana didefinisikannya, di satu pihak, dan pada pihak lain tidak pula sesuai dengan yang dikehendaki oleh A. Hassan sendiri. A. Hassan lebih banyak berkomentar ke arah:

1. Ditakwil,

2. Ditolak, tanpa menganggap hadis yang berhubungan dengannya dinyatakan daif,

(18)

3. Ditakwil di satu pihak, dan pada pihak lain diterima sebab banyaknya riwayat yang mendukungnya.

Dengan implementasi sebagai berikut:

1. Ditakwil

Ketika A. Hassan mengomentari hadis Bulûg al-Marâm no.urut 1344

yang berbunyi:

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﰉﺍ ﻦﻋ

:

ﻦـﻣ ﺏﺎﻧ ﻯﺫ ﻞﻛ

ﻡﺍﺮﺣ ﻪﻠﻛﺄﻓ ﻉﺎﺒﺼﻟﺍ

)

ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ

.(

Dikatakannya dalam komentarnya pada angka III, bahwa hadis tersebut berlawanan dengan ayat al-Quran al-Baqarah ayat 178, al-Nahel 115, al-Mâ`idah 3 dan al-An’âm 145. Dalam komentarnya yang sering dikatakan ekstrem oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya, A. Hassan (dalam komentar angka IV) berkata,” Adapun binatang bersiung, burung penyambar, keledai negeri dan lain-lain yang datang di sebagian riwayat-riwayat mengatakan nabi Saw. haramkan itu jika dikata barang-barang itupun haram, berarti bahwa firman Allah yang berbunyi,”tidak ada yang haram melainkan empat”, itu dusta.Tidak bisa jadi Allah dusta dan tidak bisa jadi Rasulullah berani mengharamkan beberapa benda sesudah Allah berkata tidak ada yang haram melainkan empat. A. Hassan seperti halnya ulama lainnya, tidak berani secara tegas menyatakan hadis Muslim yang menyatakan setiap binatang yang bersiung adalah haram, adalah hadis yang tidak sahih matannya, betapapun ia sahih sanadnya. Bukankah A. Hassan telah dengan tegas menyatakan:

“Hadis yang sudah sah, ialah ucapan atau perbuatan Nabi Saw. Kita harus percaya bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Saw. mendapat pimpinan dari Allah dengan perantaraan wahyu-Nya. Maka tentu sabda atau perbuatan Nabi Saw. itu tidak mumkin bertentangan, baik dengan sabda atau perbuatan sendiri, atau dengan firman Allah. Ini merupakan suatu kepercayaan yang harus ada pada diri tiap-tiap Muslim. Karena itu, tidaklah akan terdapat Hadis Nabi Saw. yang sudah shah, bertentangan dengan salah satu ayat Quran atau sebaliknya.”

Dalam kasus seperti ini justru A. Hassan menawarkan solusi agar hadis tersebut tidak menjadi bertentangan dengan ayat, yakni dengan cara 1). menguatkan atau meneguhkan riwayat Ibnu Abbas yang hanya menegah tidak mengharamkan, tanpa meneliti di antara keduanya yang manakah yang lebih rajih,

(19)

Menurut A. Hassan, dengan mengartikan harrama menjadi karaha, maka tidak akan terjadi pertentangan antara ayat dengan hadis.

Berangkat dari pemikiran A. Hassan sebagaimana tertulis di atas, berarti ulama yang satu ini telah menempuh dua cara, yakni:

a). memalingkan arti (mentakwil), yakni kata harrama berarti karaha, dan b). meneguhkan riwayat yang datang dari jalan Ibnu Abbâs.

2. Ditolak dengan tanpa menganggap hadis yang bersangkutan adalah daif

Ketika A. Hassan mengomentari hadis Hadis Bulûg al-Marâm

no.697.yang berbunyi:

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ

:

ﻋﻭ ﺕﺎﻣ ﻦﻣ

ﻪـﻴﻟﻭ ﻪﻨﻋ ﻡﺎﺻ ﻡﺎﻴﺻ ﻪﻴﻠ

.

ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

.

Betapapun diakui oleh A. Hassan hadis Muslim tersebut berlawanan dengan ayat 33 S.al-Najm, A. Hassan tidak secara tegas menyatakan hadis riwayat Muslim tersebut adalah hadis yang tidak sah, mengingat isi hadis berlawanan dengan ayat 33, S. al-Najm dimaksud. A. Hassan berkata:

”Hadis ini membolehkan atau mewajibkan seseorang mengerjakan ibadah buat orang lain. Sedang ayat 33 al-Najm menegaskan bahwa seseorang tidak mendapat melainkan apa yang ia kerjakan dan beberapa banyak lagi ayat mengatakan kamu tidak dibalas melainkan apa yang kamu kerjakan. Jadi hadis ini berlawanan dengan ayat Quran, padahal hadis yang sahih itu, selain betul sanadnya, isinya tidak boleh berlawanan dengan hadis yang lebih kuat dari padanya. Maka bagaimanakah bisa sah satu hadis yang berlawanan dengan satu ayat Quran? Dari itu, wajib kita tolak hadis-hadis yang membolehkan seseorang menghajikan orang lain- walaupun anaknya atau ibu bapaknya-, demikian juga hadis yang membolehkan atau mewajibkan membayar puasa orang lain. Ada diriwayatkan bahwa ‘Ăisyah, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Umar, dan beberapa orang lagi berpendapatan tidak boleh seseorang mempuasakan seorang lain. Imam Malik berpendirian dengan ayat al-Najm 33 dan menolak hadis-hadis yang berlawanan dengannya. Imam Syafi’iy berkata tidak boleh seseorang puasakan seseorang.Selain dari itu semua, fikiran amat setuju dengan pendirian yang tidak membolehkan seseorang mengerjakan ibadah buat orang lain.44

Dalam buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama Jilid I, A. Hassan mengulangi ulasannya dengan pernyataan sebagai berikut.:

“Menurut kaidah Ahli Ushul dan Ahli Hadis sendiri, bahwa yang dikatakan hadis sahih yang boleh diamalkan itu ialah hadis yang:

(20)

1. sah menurut riwayat,

2. tidak berlawanan dengan Hadis yang lebih kuat daripadanya, dan 3. tidak berlawanan dengan salah satu ayat Quran.

Sekarang mari kita lihat!

1. Menurut riwayat, sahkah hadis itu?

Betul sah!

2. Adakah hadis itu berlawanan dengan hadis yang lebih kuat dari padanya?

Tidak ada! Hanya ada riwayat-riwayat yang lemah, tetapi setuju dengan ayat-ayat al-Quran, sebagaimana akan tersebut di bawah ini. 3. Adakah hadis-hadis tersebut berlawanan dengan salah ayat al-Quran?

Ya, ada berlawanan dengan beberapa ayat al-Quran (maksudnya ialah ayat 38-40 S. al-Najm, ayat 54 S. Yasin).

Buat menambah keterangan, saya bawakan di sini beberapa perkataan sahabat-sahabat dan imam-imam supaya pembaca-pembaca dan tuan penanya bisa menimbang dan mengambil keputusan, atau supaya sekurangnya tidak menyalahkan pendapat Kamei.

Diriwayatkan aleh al-Nasâ`iy:

ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻝﺎﻗ

:

ﺪﺣﺍ ﻦﻋ ﺪﺣﺍ ﻢﺼﻳ ﻻﻭ ﺪﺣﺍ ﻦﻋ ﺪﺣﺍ ﱢﻞﺼﻳ ﻻ

.

Telah berkata Ibnu Abbâs, “Jangan seorang gantikan sembahyang seorang, dan jangan seorang gantikan puasa seorang.”

Diriwayatkan oleh Malik:

ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻝﺎﻗ

:

ﺪﺣﺍ ﻦﻋ ﺪﺣﺍ ﻢﺼﻳ ﻻ

,

ﺪﺣﺍ ﻦﻋ ﺪﺣﺍ ﻰﻠﺼﻳ ﻻﻭ

.

Telah berkata Ibnu Umar,”Tidak boleh seorang gantikan puasa seorang, dan tidak boleh seorang gantikan sembahyang seorang.”

Diriwayatkan oleh Abdulrazzaq:

ﺔﺸﺋﺎﻋ ﺖﻟﺎﻗ

:

ﻢﻬﻨﻋ ﺍﻮﻤﻌﻃﺃﻭ ﻢﻛﺎﺗﻮﻣ ﻦﻋ ﺍﻮﻣﻮﺼﺗﻻ

.

Telah berkata ‘Ăisyah,”Jangan kamu gantikan puasa orang yang telah mati dari antara kamu, tetapi hendaklah kamu gantikan dengan beri makan orang miskin!” Imam Abu Hanifah dan imam Malik berkata, bahwa orang hidup tidak boleh puasa buat menggantikan puasa orang yang telah mati. Imam Syafi`iy telah berkata, di al-Umm,bahwa orang yang telah mati, tak boleh

digantikan sembahyangnya atau puasanya oleh si hidup.45

Dalam komentarnya A. Hassan menolak hadis riwayat Muslim tersebut dengan tanpa menyatakan hadis tersebut adalah yang tidak sah. A. Hassan kelihatannya belum juga yakin terhadap teori yang dibangunnya. Hal ini tampak untuk memperkuat argumentasinya, A. Hassan masih

(21)

memerlukan dalil penguat, yakni dengan mencantumkan pendapat para imam mazhab yang ada kaitannya dengan masalah yang tengah dibahasnya. Jawaban yang sama, bahkan diurai lebih luas dan mendalam seraya menampilkan pendapat berbagai sahabat dan ulama lainnya, dapat kita baca pada buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama Jilid III.46 3. Ditakwil di satu pihak, dan pada pihak lain diterima sebab banyaknya

riwayat yang mendukungnya.

Ketika A. Hassan berkomentar terhadap hadis Bulûg al-Marâm

no.urut 1235 yang berbunyi:

ﻝﺎﻘﻓ ﺐﻄﺧ ﻪﻧﺃ ﻪﻨﻋ ﱃﺎﻌﺗ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺏﺎﻄﳋﺍ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ

:

ﻖﳊﺎﺑ ﺍﺪﻤﳏ ﺚﻌﺑ ﷲﺍ ﻥﺇ

,

ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﺰﻧﺃﻭ

,

ﻢﺟﺮـﻟﺍ ﺔـﻳﺁ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻝﺰﻧﺃ ﺎﻤﻴﻓ ﻥﺎﻜﻓ

.

ﻭﻭ ﺎـﻫﺎﻧﹾﺃﺮﻗ

ﺎـﻫﺎﻨﻴﻋ

ﺎﻫﺎﻨﻠﻘﻋﻭ

,

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻢﺟﺮﻓ

,

ﻩﺪﻌﺑ ﺎﻨﲨﺭﻭ

,

ﻝﺎـﻃ ﻥﺇ ﻰـﺸﺧﺄﻓ

ﻞﺋﺎﻗ ﻝﻮﻘﻳ ﻥﺃ ﻥﺎﻣﺯ ﺱﺎﻨﻟﺎﺑ

:

ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ ﻢﺟﺮﻟﺍ ﺪﳒﺎﻣ

,

ﺎـﳍﺰﻧﺃ ﺔﻀﻳﺮﻓ ﻙﺮﺘﺑ ﺍﻮﹼﻠﻀﻴﻓ

ُﷲﺍ

,

ﻝﺎـﺟﺮﻟﺍ ﻦـﻣ ﻦـﺼﺣﺃ ﺍﺫﺇ ﱏﺯ ﻦﻣ ﻰﻠﻋ ﱃﺎﻌﺗ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ ﻖﺣ ﻢﺟﺮﻟﺍ ﻥﺇﻭ

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍﻭ

,

ﻛ ﻭﺍ ﹸﺔﻨﻴﺒﻟﺍ ﺖﻣﺎﻗ ﺍﺫﺇ

ﻑ ﺍﺮﺘﻋﻹﺍ ﻭﺍ ﹸﻞﺒﳊﺍ ﻥﺎ

.

ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

.

A. Hassan berkomentar antara lain sebagai berikut.: 1). Di dalam Quran ini betul-betul tidak ada ayat rajam,

2). Oleh karena riwayat Umar bukan mutawatir, sedang Quran itu mutawatir, maka sudah tentu Quranlah menjadi pegangan kita,

3). Kita mengakui bahwa hukum rajam itu ada, tetapi dari hadis bukan dari Quran,

4). Kalau kita tolak perkataan Umar itu, tidak berarti kita dustakan Umar atau Bukhari dan Muslim, tetapi kita anggap ada kekeliruan dari rawi-rawi riwayat itu.

5). Sekiranya kalimah “Kitabullah” dan kalimah “apa yang diturunkan oleh Allah” itu tidak umar maksudkan Quran, tetapi ia maksudkan wahyu dari Allah, maka riwayat Umar itu tidak perlu ditolak, karena”Kitabullah” dan “apa yang diturunkan oleh Allah,” itu dapat diartikanhukum atau ketetapan dari Allah yang tidak dimasukkan di dalam Quran,

6). Bisa jadi bahwa yang dikatakan ayat rajam ialah hadis Nabi saw. tetapi Umar sangka ayat Quran,

7). Sekiranya betul yang demikian ayat Quran mengapakah Umar tidak minta dimasukkan di waktu sahabat kumpulkan ayat-ayat Quran dari

(22)

tulisan-tulisan di atas kulit, tulang, batu, dan lainnya? Dan mengapakah tidak seorang pun dari sahabat minta dimasukkannya? 8). Biar begitu dan begini, tetapi hukum rajam itu tetap ada di dalam

Islam dari hadis yang tidak bisa dibantah, tidak dari Quran.

9). Kata-kata “Ayat” mempunyai bermacam-macam arti, seperti:

(1). Ayat Quran yang ma’lum, (2). Tanda,

(3). Ibarat (pelajaran), (4). Mu’jiyat,

(5). Keajaiban, (6). Golongan.

Dalam kitab Mu’jamul Quran dikatakan bahwa kata-kata,”ayat”,

dikatakan asal dari kata-kata ,”at-ta-ayyie”, yang artinya: ketetapan dan

pendirian atas sesuatu. Berdasar kepada ini maka kata-kata,”ayat ”,

dapatlah diartikan,”ketetapan”. Maka “Ayat rajam” maknanya:”ketetapan tentang rajam”. Bukan dengan arti ayat Quran. Dengan demikian maka

omongan Umar itu tidak salah.47

Dalam komentar tersebut, A. Hassan :

a). mentakwil kalimat kitâbullâh dengan wahyu, bukan kitab Allah dalam

arti al-Quran,

b). berbarengan dengan itu A. Hassan menerima hadis-hadis yang berkaitan dengan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan, walaupun hadis-hadis tersebut dinyatakannya sebagai hadis yang

berlawanan dengan al-Quran, khususunya S.24 (al-Nûr) ayat 2.

Dalam bagian ini juga A. Hassan tidak begitu yakin terhadap teori yang dicanangkannya. Untuk memperkuat argumentasinya A. Hassan masih mencantumkan penjelasan kata ayat menurut penyusun kitab Mu’jam al-Quran.

Dari uraian ketiga contoh tersebut di atas, ditambah lagi dalam mengimplementasikan teorinya dalam berbagai kitab yang ditulisnya, khususunya kitab Soal Jawab Dalam Berbagai Masalah Agama, A. Hassan - menurut pandangan penulis -, bersifat:

1). ambiguitas , tidak jelas, tidak menentu atau bahkan tidak konsisten 2). membingungkan, karena tidak tersusun secara sistematis, dan 3). terkesan ragu dalam menerapkan apa yang diyakininya.

Ketiga temuan tersebut di atas, tampak jelas dalam uraian di bawah ini. Seperti kita ketahui, A. Hassan adalah salah satu ulama yang menolak hadis daif sebagai dasar hujah dalam urusan agama. Termasuk

(23)

hadis daif menurut A. Hassan ialah hadis mauquf, mursal, mudallas,

munqathi’, maqlub, mudhtharab dan lain sebagainya.48

Ketika A. Hassan menjawab pertanyaan perihal membaca S.Yasin di hadapan orang sakit sebagai jampi-jampi atau di hadapan orang yang hampir mati, A. Hassan dengan tegasnya menyatakan, hadis-hadis tentang itu adalah daif. Tidak dapat dijadikan pegangan. Hadis tersebut dikatakannya sebagai hadis mauquf, ma`lul, dan mudhtharrab. Dengan kata lain membaca S.Yasin di hadapan orang sakit untuk jampi-jampi adalah tidak boleh, karena hadisnya adalah daif.49 Di lain pihak ketika A. Hassan menyatakan ketidakbolehan seorang perempuan mencukur rambutnya, A. Hassan mendasarkan kepada hadis mauquf yang berasal dari Ali bin Abi Thalib.50

Tentang halnya membingungkan, tampak pada pendapatnya di sekitar hadis sahih yang mengharamkan makanan di luar yang disebut dalam al-Quran. A. Hassan berkata, Allah berdusta jika masih ada makanan yang diharamkan di luar al-Quran. Sebaliknya ketika membahas hadis tentang hukuman rajam, kalimat serupa tidak kita temukan, hanya karena didapati banyak hadis yang menegaskan Rasulullah memerintahkan merajam tidak diikuti cambuk seratus kali bagi pelaku zina muhshan. Dalam akhir uraiannya A. Hassan malahan berkata, hukuman dera bukanlah hukuman yang wajib, ia merupakan hukuman ta’zir yang pelaksanaannya diserahkan kepada hakim. Pada hal seperti kita ketahui al-Quran tidak menyebut hukuman rajam atas pelaku perbuatan zina, baik muhshan ataupun ghairu muhshan, dan al-Quran malahan menyebut hukum cambuk seratus kali secara tegas dan jelas bagi pelaku perbuatan zina tanpa pembedaan.

Selain itu, A. Hassan - dalam pandangan penulis-, merupakan ulama yang masih ragu dalam mengimlpementasikan teori yang dibangunnya. Hal ini tampak, ketika A. Hassan menolak makanan yang diharamkan di luar yang diharamkan al-Quran, masih merujuk kepada pendapat ulama mazhab, dan ketika mentakwil kalimat kitâbullâh berarti ketetapan Allah, masih merujuk juga kepada pendapat penulis kitab yang lain. Hal tersebut dilakukan, -menurut pandangan penulis-, karena A. Hassan tidak menyusun kerangka teorinya dalam bentuk yang sistematis metodologis. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali salah seorang ulama salafi dalam

bukunya As-Sunnah an-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, ketika

mengurai parameter kesahihan matan hadis, Muhammad al-Ghazaliy

48 A. Hassan dkk., Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid I, (Bandung:

Diponegora, 1976), p. 20.

49Ibid, p. 334-335.

(24)

menyatakan matan hadis tidak boleh berlawanan dengan nash atau al-Quran.

Berangkat dari hal tersebut kemudian Muhammad al-Ghazaliy sependapat dengan ‘Ăisyah yang menolak hadis-hadis sahih yang menyatakan si mayit akan disiksa lantaran tangisan yang hidup,

dikarenakan berlawanan dengan nash al-Quran yang berbunyi lâ taziru

wâziratun wizra ukhrâ.49 Sehubungan dengan hal tersebut, bisa saja

ditemukan hadis yang sahih sanadnya, tidak sahih matannya, seperti hadis perihal nabi Musa yang enggan mati, dan ketika malaikat datang untuk

menjemputnya, malahan mata malaikat ditinjunya.50

F. Kesimpulan

1. Sumber hukum ajaran Islam menurut A. Hassan ialah, al-Quran,

Hadis dan Ijtihad,

2. Hadis yang dapat dijadikan sumber hukum ialah hadis yang sah,

3. Hadis sah ialah hadis yang memenuhi persyaratan sahih sanad

sebagaimana dinyatakan oleh ulama hadis, dan matannya tidak boleh berlawanan dengan swalah satu ayat al-Quran,

4. Jika ternyata didapati hadis yang sah, tetapi isinya berlawanan dengan

al-Quran, hadis tersebut untuk ditakwil dan atau ditawakufkan,

5. Dalam mengimplementasikan teorinya sebagaimana terdapat pada

karya-karya A. Hassan utamanya dalam buku Terjemah Bulûghul Maram dan buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah agama, kelihatan A. Hassan bersifat ambiguitas, membingungkan dan kurang konsisten. Sehingga kelihatannya pemikiran A. Hassan bersifat sporadis, dan radikal,

6. Hal tersebut bisa terjadi karena A. Hassan tidak menyusun teorinya secara sistematis metodologis.

Wallâhu a‘lamu bissawâb…

49 Muhammad al-Ghazaliy, As-Sunnah an-Nabawiyah Baina Ahl Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Dâr al-Syurûq, Bairut, Cet.ke-1, 1409 H.= 1989 M., p.17.

(25)

Daftar Pustaka

A. Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung:

Diponegoro, 1976.

________, Terjemahan Bulughul Marâm, Bangil: Pustaka Tamâm, 1985.

Amin, Ahmad, Fajr al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1969.

Atsariy, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid al-Halabiy, Al-, Dalâ`il

al-Tahqîq li ibthâl qishshah al-Gharânîq Riwâyatân wa Dirâyatân, Maktabah al-Shahâbah, Jiddah, 1412 H/1992 M.

Albâniy, Muhammad Nâshiruddin, Al-, Manzilah as-Sunnah Fil Islâm wa

Bayân Annahu Lâ yastaghnî ‘Anha bil Quran, alih bahasa Firdaus Kasmy dkk., Jakarta: LPPA.PP. Muhammadiyah, 1985.

Syâfi’iy, Muhammad bin Idris, Al-, al-Risâlah bi Tahqîq wa Syarh Ahmad Muhammad Syâkir, Beirut: Dâr al-Fikr, 1309 H..

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1991.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Cet.ke-2, 1989.

Anshari, Endang Saifudin, Ahmad Hassan; Wajah dan Wijhah seorang

Mujtahid; makalah disampaikan pada Seminar Filsafat dan Perjuangan A. Hassan, Singapura, 28-30 Januari 1979.

Ashshiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan

Bintang, 1977.

_______, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1958.

‘Asqalâniy, Ibnu Hajar al-, Bulûg al-Marâm Min `Adillah al-Ahkâm, Tashhîh wa Ta’lîq Muhammad Hâmid al-Fiqiy, Mu`assasah al-Rayân, Bairut, Cet.ke-1, 1421 H.= 2000 M.

Ahmad, Kassim, Hadis Suatu Penilaian Semula, Selangor: Media Intelek, 1986.

Ghazaliy, Muhammad al-, As-Sunnah an-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa

Ahl al-Hadîts, Beirut: Dâr al-Syurûq, 1409 H/1989 M.

Mun’im, Syâkir Mahmud Abdul, Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy Mushanaifâtuhu wa

Dirâsah fî Manhajihi wa Mawâridihi fî Kitâbihi al-Ishâbah, Mua`assasah al-Risâlah, Bairut, Cet.ke-1,1417 H.= 1997 M.

(26)

Soenaryo dkk., Qurân Karîm wa Tarjamatu Ma’ânîhi Ilâ Lughati al-Indûnîsiyah, (al-Quran dan Terjemahnya),Khadim al-Haramain asy Syarifain, tth.

Jaya, Tamar, Riwayat Hidup A. Hassan, dalam A. Hassan, Soal Jawab Tentang

Referensi

Dokumen terkait

Jika diibaratkan, mereka adalah “para penyerbu”, dan negara berusaha bertahan dari “serbuan” itu.Jika di era kolonialisme “serbuan itu” menggunakan

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. *eaksi

Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa porositas tanah pada berbagai macam kelerengan tergolong ideal, karena struktur tanahnya remah dan memiliki

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa, ekstrak tongkol jagung memiliki potensi sebagai fitokimia antioksidan karena

Teradapat pat bebera beberapa pa alternat alternatif if rancang rancangan proses an proses produksi untuk unit produksi untuk unit pengola pengolahan han air minum dalam kemasan

(2000) menunjukkan bahwa benih tisuk yang dikecambahkan pada subsrat pasir memiliki daya berkecambah paling rendah jika dibandingkan dengan substrat vermikulit,

Di samping terdapat berita yang dapat diakses dengan cepat oleh setiap pembacanya, Serambinews.com juga menyediakan fasilitas bagi para pembaca untuk memberikan

Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan faktor-faktor risiko yang memiliki kaitan erat dengan insidensi hipotensi pada wanita hamil yang dilakukan