Syauqi A. Ghifari Syauqi A. Ghifari 1151030303
1151030303
Ilmu Al-Quran & Tafsir/ III-G Ilmu Al-Quran & Tafsir/ III-G UTS Masail Fiqhiyah
UTS Masail Fiqhiyah
1.
1. Bagaimana Hukum poBagaimana Hukum pornografi menurrnografi menurut Islam? Lalu apa Ayat, Haut Islam? Lalu apa Ayat, Hadits dits jugajuga Metode yang
Metode yang digunakannya?digunakannya?
Sebelum mengemukakan hukumnya akan terlebih dahulu dijelaskan apa itu Sebelum mengemukakan hukumnya akan terlebih dahulu dijelaskan apa itu pornografi
pornografi
Pornografi merupakan penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas Pornografi merupakan penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka (eksplisit)
manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairahdengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual)/Syahwat seseorang.
seksual)/Syahwat seseorang. Pornografi dapat menggunakan berbagai mediaPornografi dapat menggunakan berbagai media — — teks teks tertulis maupun lisan,
tertulis maupun lisan, fotofoto-foto,-foto,ukiranukiran,, gambar gambar , gambar bergerak (termasuk, gambar bergerak (termasukanimasianimasi),), dan
dansuarasuara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal.FilmFilm porno
porno menggabungkan menggabungkan gambar gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara
suara-suara erotik lainnya, sementaramajalahmajalah seringkali menggabungkan foto dan seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis.
teks tertulis. Novel Novel dan dan cerita pendek cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu
ilustrasi. Suatu pertunjukan pertunjukan hidup pun dapat disebut porno hidup pun dapat disebut porno Hukum pornografi ini mengambil qiyas dari QS Al-Israa: 32 Hukum pornografi ini mengambil qiyas dari QS Al-Israa: 32
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu 32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. da
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.n suatu jalan yang buruk. Lalu ayat lain yaitu QS An-Nur:30-31
Lalu ayat lain yaitu QS An-Nur:30-31
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Lalu haditsnya yaitu
“Wahai Asma’, perempuan itu jika sudah samapai umurnya, maka tidak ada yang boleh terlihat dari anggota tubuhnya kecuali ini (lalu Rasulullah SAW
menunjuk muka dan kedua telapak tangan)” (HR Abu Dawud)
Lalu kaidah ushul fiqh yang bunyinya
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” Lalu
“melihat pada sesuatu yang haram adalah haram”Jadi dapat disimpulkan dari metode yang digunakan untuk mengistinbath berupa Qiyas bahwa Pornografi itu HARAM.
Karena Pornografi merupakan penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual)/Syahwat seseorang. Dengan kata lain pornografi merupakan sarana yang dapat membuat seseorang melakukan zina apabila diri seseorang itu telah dikuasai oleh syahwat.
3. Bagaimana Hukum mengkafirkan dalam AlQuran, Hadits dan Kaidah Fiqhiyahnya?
Sebelum menetapkan hukumnya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu takfir
Definisi takfir, yaitu memvonis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir, baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, takfir merupakan hukum syari'at yang merupakan wewenang Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh menolaknya.Tetapi masalah utamanya terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan), Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh dikafirkan
Ayat yang berkaitan dengan bahaya mengkafirkan
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang seburuk-buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al Hujurat : 11). Adapun Haditsnya yaitu
Mengingat begitu berbahaya pengkafiran ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kepada kita agar jangan tergesa-gesa dalam memvonis kafir dengan ancaman beliau yang sangat berat. Berikut ini beberapa hadits beliau.
:
«
.
.»
:
«
Dari Abdullah ibn Umar Radhiallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir’ dan ternyata tidak, maka akan kembali kepada salah satu di antara keduanya.” Dalam riwayat Muslim dengan lafazh, “Barang siapa mengkafirkan saudaranya
maka akan kembali kepada salah satunya.” (HR al -Bukhari: 6104 dan Muslim: 111)
:
«
Dari Abu Dzar Radhiallahu’anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekufuran kecuali akan kembali kepada dirinya kalau ternyata yang dituduh tidak demikian.” (HR al -Bukhari: 6045)
:
«
»
.
»
ْ
ْ
ُ
.»
Dar i Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir’ maka akan kembali kepada salah satunya.” (HR al -Bukhari: 6103)
Adapun kaidah-kaidahnya yaitu
1. Kafir mengkafirkan adalah hukum syari’at dan hak murni bagi Allah Ta’ala bukan milik paguyuban atau kelompok tertentu dan tidak diserahkan kepada akal dan perasaan, tidak boleh dimasuki oleh semangat membabi buta tidak pula permusuhan yang nyata. Maka tidak boleh dikafirkan kecuali orang yang Allah
dan Rosul-Nya telah kafirkan.
a. Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,” Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh sebagian orang seperti Abu ishaq Al Isfiroyini dan para pengikutnya yang berkata,” Kita tidak mengkafirkan kecuali orang
yang telah kita kafirkan”. Karena sesungguhnya kufur itu bukan hak mereka, akan tetapi ia adalah hak Allah…” Karena mengkafirkan maknanya adalah menghalalkan darahnya dan menghukuminya kekal dalam api Neraka, dan ini tidak bisa diketahui kecuali dengan nash atau kiyas kepada nash tersebut.
2. Orang yang masuk islam secara yakin tidak boleh dikafirkan sebatas dengan dugaan saja.
a. Kaidah ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, Kita tentunya masih ingat dengan kisah Usamah bin Zaid yang ditegur oleh Rasulullah SAW karena membunuh seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat. Pada suatu peperangan disuatu daerah, pada saat itu Usamah bin Zaid dan sejumlah sahabat lainya berhasil mengepung seorang musuh. Ketika akan dibnuh tiba-tiba orang tersebut mengucapkan kalimat syahadat. Mendengar kalimat itu sahabat Anshor tidak jadi membunuhnya, tetapi Usamah bin Zaid menikamnya hingga tewas dengan ujung tombaknya. Ketika mendengar peristiwa tersebut, Rasulullah SAW berkata kepada Usamah, “apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan “Laa Ilaaha illallah”?. Usamah menyampaikan alasanya kepada Rasulullah SAW mengapa ia tetap membunuh orang tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan kalimat itu hanya untuk melindungi dirinya dariku.” Tetapi, Rasulullah SAW tetap mengulang-ulangi pertanyaanya berikut :“Apakah kamu membunhnya setelah dia mengucapkan “tiada tuhan selain Allah?”Bahkan dalam riwayat Rasulullah SAW bertanya kepada Usamah, “Apakah kau telah membedah dadanya sehingga kau tahu dia telah mengucapkan kalimat itu atau tidak?” Beliau terus mengulang-ulang perkataan itu sampai aku berharap baru masuk islam pada hari itu.” (HR.Bukhari,Muslim, dan
Dalam kisah ini Usamah membunuh orang tersebut dengan sebatas dugaan bahwa ia mengucapkannya karena takut pedang, namun Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Usamah dan menyuruhnya untuk
menghukumi sesuai dengan apa yang tampak.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: Q.S. An-Nisa:94
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di
jalan Allah, Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilih. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3. Orang yang jatuh ke dalam perbuatan kufur walaupun kufur akbar karena ketidak tahuannya, belum bisa dikafirkan sampai ditegakkan padanya hujjah dan dihilangkan syubhat darinya
4. Harus dibedakan antara takfir mutlak dengan takfir mu’ayyan dimana takfir mutlak tidak mengharuskan takfir mu’ayyan kecuali apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya baik dalam masalah ushul maupun parsial.
Jadi Hukum mengkafirkan orang lain sesama Muslim selama dia tidak dikuatkan oleh Hujjah dan tidak terbukti adalah Haram.
5. Bagaimana hukum bayi tabung menurut istihsan dan Bagaimana hukum menitip rahim.
a. Apa yang dimaksud Istihsan
b. Bagaimana hukum bayi tabung menurut Al-Quran dan Hadits
c. Dalam keadaan bagaimana bayi tabung tidak dianjurkan atau diharamkan.
Hukum bayi tabung menurut istihsan adalah mubah tetapi jika itu dilakukan oleh sepasang suami istri. Bayi tabung/inseminasi buatan apabila di lakukan dengan sperma dan ovum suami isri sendiri dan tidak di transfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian di suntikan kedalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan di lakukan di luar rahim, kemudian buahnya di tanam di dalam rahim istri, asal keadaan suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqih islam:
Artinya:
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa, padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.
Lalu Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram beraasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang
rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).1
d. Istihsan (Arab: ) adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat2
e. Hukum bayi tabung menurut Al-Quran dan hadits i. Jika Sepasang suami Istri itu mubah
1 Fatwa MUI Tentang Bayi Tabung dan Inseminasi Buatan, Jakarta 17 Juni 1979 2 http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7
Dalilnya yaitu QS Al-Israa: 70
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862] , Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Lalu surah At-Tin : 4
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
ii. Jika itu bukan suami istri itu haram
Hal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu
Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
ada dosa yang lebih
besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan
dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya
(berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.
”f. Bayi tabung tidak dianjurkan ketika
i. pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama)
hukumnya haram beraasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini
akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
ii. sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini
akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
iii. sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah As-Sunnah (02 ed.). (1999). Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqomah.
Bayi Tabung dalam Pandangan Hukum Islam. (2012, December 13). Dipetik Oktober 28, 2016, dari Google Corporation:
https://keperawatanreligionirinegemasari.wordpress.com/2010/12/13/bayi-tabung-dalam-pandangan-hukum-islam/
Indonesia, M. U. (1979, Juni 13). Bayi Tabung. Fatwa MUI , 559-560.