• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI DALAM PERUBAHAN: ARSITEKTUR LOKAL DAN RANCANGAN LINGKUNGAN TERBANGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI DALAM PERUBAHAN: ARSITEKTUR LOKAL DAN RANCANGAN LINGKUNGAN TERBANGUN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI

DALAM

PERUBAHAN:

ARSITEKTUR

LOKAL

DAN RANCANGAN

LINGKUNGAN TERBANGUN

AULA GEDUNG PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

iii

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., Ph.D Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., Ph.D

Ni Made Swanendri, ST., MT.

Desain halaman sampul

(3)
(4)

v

KATA PENGANTAR

Publikasi ini merupakan salah satu wujud dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Seminar Nasional yang mengambil tema Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Ranganan Lingkungan Terbangun. Proseding ini mendokumentasikan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi di dalam kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Kemis, tanggal 2 November 2016.

Seminar ini dihadiri oleh para akademik; arsitek profesional - anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan para arsitek rancang bangun, para perancang kota maupun perencana; pemerintah - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Tata Ruang; Team Tata Aturan Bangunan dan Gedung, Perijinan; serta masyarakat pemakai hasil desain. Sedangan para pemakalah berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa datang. Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah.

Partisipan dan presenter berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa yang akan datang. Besar harapan kami, jika Seminar Nasional ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide terkait tradisi, perubahannya, adaptasinya serta akomodasinya dalam rancangan keruangan mikro maupun makro. Semoga kegiatan ini bisa dijadikan bagian aktivitas rutin di Program Magister Arsitektur Universitas Udayana, yang secara berkelanjutan bisa dijadwal serta didukung penyelenggaraannya, tidak hanya oleh kami sebagai civitas akademika, tetapi juga oleh asosiasi profesi, pemerintah, dan masyarakat tentunya.

Kami sangat bersyukur karena penyelenggaraan Seminar ini merupakan sebuah kolaborasi antara Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali, Program Studi Arsitektur Universitas Udayana, Program Studi Arsitektur Universitas Warmadewa, Program Studi Universitas Dwijendra, dan Program Studi Arsitektur Universitas Ngurah Rai. Terima kasih kami ucapkan kepada keempat lembaga untuk kerjasma serta kordinasinya selama ini.

Kepada Bapak Profesor Gunawan Tjahjono serta Bapak Ir Popo Danes - sebagai pembicara kunci dalam Seminar ini -, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi melalui pertemuan akademik ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada ibu dan bapak panitia pelaksana seminar dan juga para moderator, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk, waktu dan energi yang direfleksikan melalui kerja keras dan kerjasamanya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan baik.

Sebagai penutup, mohon maaf dan permaklumannya jika ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyelenggaraan Seminar ini.

Terima kasih

(5)
(6)

vii

R I N G K A S A N

"Forum Arsitektur - Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Desain Lingkungan Terbangun" diselenggarakan untuk merumuskan ide serta pemikiran kritis terkait akomodasi elemen-elemen arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan yang akan datang. Beberapa pertanyaan mendasar yang akan didiskusikan disini adalah: (1) Manakah yang disebut sebagai arsitekur tradisional/lokal/vernakular, sebelum kita berbicara mengenai akomodasinya ke dalam desain?; (2) Haruskah kita memperpanjang keberadaan arsitektur tradisional, ketika lingkungan dimana kita berada telah mengalami perubahan, baik dari segi fisik, sosial-budaya, dan politikal-ekonominya?; (3) Apakah ide pelestarian arsitektur tradisional/lokal hanya dimaksudkan sebagai usaha pembangunan identitas dan image, dua kualitas yang lambat laun menghilang bersama era globalisasi?; (4) Apakah usaha untuk mengakomodasi elemen-elemen desain lokal merupakan tindakan yang melalaikan esensi arsitektur sebagai ranah profesi yang diwarnai kreativitas, tumbuh serta berkembang mengkuti budaya, peradaban dan pembangunan sosial yang ada; dan (5) Dalam mekanisme yang bagaimana wujud serta tata nilai budaya lokal bisa direfleksikan ke dalam rancangan lingkungan terbangun kita?

Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membawa makna penting, khususnya bagi satuan kedaerahan yang menjadikan pelestarian budaya lokal sebagai jiwa dan arah pembangunannya, seprti misalnya apa yang terjadi di Pulau Bali. Dengan mengambil konteks perkembangan dunia rancang bangun yang telah terjadi di Provinsi ini, pelaksanaan Forum Arsitektur ini diinspirasi oleh munculnya beragam produk rancangan, yang tidak berjalan beriringan dengan nafas pelestarian budaya lokal. Kondisi ini mengundang perhatian serius, khususnya bagi para akademisi maupun budayawan, mengingat telah dicanangkannya arah pembangunan Pulau Dewata sebagai proses yang mengusung kaidah-kaidah tradisi lokal. Dunia rancang bangun sebagai elemen penentu kualitas lingkungan binaan, dimana kita bernaung, memiliki andil penting dalam pencapaian misi tersebut. Peran ini bukanlah posisi yang mudah untuk dilakoni, baik oleh pihak yang menggeluti profesi perancang, maupun bagi pemerintah yang mengemban fungsi kontrol dan pengendalian. Ini merupakan sebuah tantangan yang mana jika dilakoni dengan sesungguhnya akan membutuhkan niat untuk mengembannya, kemampuan interprestasi serta kreativitas.

Forum Arsitektur - Seminar Nasional ini mencoba menjembatani proses pencarian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas. Adapun sub tema yang diangkat dalam Forum Arsitektur - Seminar ini adalah:

 Mempertanyakan arsitektur tradisional, lokal, dan vernakular.  Rancang bangun, karya arsitektur, dan perjalanannya.

 Arsitektur tradisional dan rancangan lingkungan terbangun.

 Mekanisme serta alternatif metode dalam mengakomodasi arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan binaan.

 Mekanisme pengaturan serta pengendalian - akomodasi arsitektur tradisional dalam desain kekinian dan masa depan.

(7)

viii

Kegiatan ini tidak hanya merangkum ide-ide yang didokumentasikan ke dalam karya tulis (seminar), tetapi juga dengan mencoba memperoleh masukan melalui diskusi interkatif. Keduanya melibatkan para akademisi sebagai pemerhati, perancang profesional, pemerintah sebagai pengontrol dan pengendali pembangunan, serta masyarakat sebagai pemakai hasil rancangan. Diharapkan, dengan mensinergikan kedua kegiatan ini ke dalam satu forum, akan diperoleh masukan yang inklusif, bagaimana kita memahami arsitektur sebagai produk budaya yang memiliki dinamikanya sendiri, bersanding dengan keinginan untuk melestarikan tradisi rancang bangun, yang memiliki tatanan wujud fisik serta tatanan tata nilai yang memandu keberadaannya.

Terima kasih

(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman muka ………..…………. i Editor ………..………. iii Kata Pengantar ……….………. v Ringkasan ……….…….. vii Daftar Isi ………. ix Daftar Pemakalah

Sub Tema 1. Konsepsi: Arsitektur Tradisional, Lokal,

dan Vernakular

Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar ………...……… 1

Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal ………...………… 15

I Dewa Gede Agung Diasana Putra Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali ………... 25

Syamsul Alam Paturusi Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta ...………...……… 33

Putu Rumawan Salain Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali ...………...……… 41

I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli

Sub Tema 2. Transformasi Rancang Bangun Tradisional

dan Karya Arsitektur

Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan ……….. 51

Nimas Sekarlangit Transformasi Arsitektur Tradisional dalam Perancangan Bandar Udara ………... 61

Basauli Umar Lubis Bale: Objek Pembentuk Ruang yang Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga ……… 67

Himasari Hanan Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali ……… 81 Ni Putu Atik Pradnya Dewi

(9)

x

Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli ………… 91 Sri Indah Retno Kusumawati

Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli:

Pelestarian Arsitektur Bali Aga ……… 105 Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam

Fisik Bangunan Fungsi Pariwisata (Hotel) di Badung ………...………. 117 Dwi Meisa Putri

Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba,

Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali ………...……...………. 125 Ni Putu Suda Nurjani

Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga

Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali ………..………...…………...………. 137 Tri Anggraini Prajnawrdhi

Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern

di Desa Tradisional Penglipuran ………...………...…………...………. 153 Widiastuti

Perubahan Setting Hunian Tradisional di Desa Tengkudak, Tabanan-Bali ………. 167 Ni Luh Putu Eka Pebriyanti

Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali

di Denpasar ………...………...…………...………. 179 I Nyoman Widya Paramadhyaksa

Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di Desa Pakraman Perasi, Karangasem ……...………….. 189 I Nyoman Susanta

Sub Tema 3. Strategi dan Metode dalam Mengakomodasi Arsitektur

Tradisional ke dalam Desain Lingkungan Binaan

Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka)

dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau ………... 203 Muhammad Zakaria Umar

Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende …… 213 Fabiola T A Kerong

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya …...…... 227 Ni Luh Jaya Anggreni

Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng …... 241 Made Chryselia Dwiantari

Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli …... 249 Sayu Putu Peny Purnama

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli …... 255 A A Gede Trisna Gamana

(10)

xi Karakteristik Desa Bali Aga: Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan …... 265 Ni Putu Helsi Pratiwiningsih

Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem

terhadap Perkembangan Pembangunan Masa Kini …... 275 Putu Pradnya Lestari Ratmayanti

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan …... 283 I Made Raditya Wahyu

Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah …... 291 Gordon Ardinata

Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur

Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman …... 305 Putu Ayu Niasitha Prabandhari

Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli …... 317 I Nyoman Jatiguna

Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional

(Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali) …... 325 Dona Sri Lestari Poskiparta

Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara …... 339 Luh Ketut Yulitrisna Dewi

Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di

Kawasan Budaya Kotabaru …... 345 Vinsensius R. Edo

Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud ... 355 Ni Nyoman Ratna Diantari

Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali …... 365 Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali

pada Bangunan di Lahan Sempit ……...…………... 375 I Made Juniastra

Tektonika Arsitektur Bali …... 383 Ni Ketut Ayu Siwalatri

Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan

dalam Perkembangan Arsitektur …... 395 Ni Made Yudantini

(11)

xii

Sub Tema 4. Mekanisme Pengaturan serta Pengendalian Akomodasi

Arsitektur Tradisional dalam Desain Kekinian

dan Masa Depan

Desa Wisata Brayut dalam Konteks Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern ……....…… 407 Amos Setiadi

Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai “Natah” dalam Setting Aktivitas

dan Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan di Kota Denpasar ………...…… 419 I Gusti Agung Adi Wiraguna

Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan

di Pulau Bali ………... 427 Sylvia Agustine Maharani

Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya:

Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali ………...…… 437 I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik

Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal ………...…... 447 Antonius Karel Muktiwibowo

Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur …… 455 Kadek Edi Saputra

Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian ...……...……….………. 461 Ni Ketut Agusintadewi

(12)

153

ADAPTASI BENTUK DAN POLA BANGUNAN TRADISIONAL TERHADAP

FUNGSI MODERN DI DESA TRADISIONAL PENGLIPURAN

Widiastuti

Program Studi Arsitektur Universitas Udayana Email: wiwiedwidiastuti@yahoo.fr

Abstract

Desa Tradisional Penglipuran sangat terkenal berkat tata lingkungan dan bangunan yang unik yang dikembangkan berdasarkan konsepsi arsitektur tradisional setempat. Karena keunikannya tersebut desa ini dikonservasi untuk menjaga kelestariannya. Bangunan tidak boleh diubah. Namun perkembangan pendidikan dan cara hidup generasi baru terus berubah. Kebutuhan ekonomi membuat beberapa penghuni membuka warung yang berakibat pada perubahan spasial dan arsitektural rumah mereka. Selain itu penyesuaian dengan gaya hidup modern juga turut mengubah bentuk dan pola bangunan. Usaha pengendalian terus dilakukan dengan tetap mengakomodasi perkembangan sosial masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana fungsi-fungsi modern diakomodasi dalam unit-unit hunian dan mengelaborasi perubahan-perubahan arsitekturnya serta bentuk pengendalian apa yang dibuat agar masuknya fungsi modern tersebut tetap serasi dengan lingkungan desa secara keseluruhan.

Kata Kunci: perubahan, adaptasi, arsitektur tradisional, fungsi modern

PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah sebuah sistem yang sangat kompleks dan luas yang memberikan ruang untuk interpretasi yang berbeda (Geertz, 1973). Kebudayaan memiliki dimensi-dimensi relegiusitas, etika, estetika, logika dan praktika yang berkembang secara dinamis. Kebudayaan merupakan konfigurasi sistem nilai, pemaknaan kualitatif, dan pembangunan wawasan dalam kehidupan. Untuk itu pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut sehingga antar sistem nilai yang dianut dengan tuntutan kehidupan masa kini bisa harmonis seperti yang diungkapkan Wilkes (dalam Li, 2005):

The field of architecture concerned with continuing a Building or structure in service by means of creating a new use for it, or with reconfiguration of a building so its original use can continue in a new form that meets new requirements.

Arsitektur adalah produk budaya. Di dalamnya terdapat dimensi-dimensi yang tangibel seperti seni, teknologi dan pengetahuan serta dimensi yang intagibel seperti nilai budaya. Perkembangan arsitektur mengikuti perkembangan budaya masyarakat penggunanya. Itu sebabnya konsep konservasi dalam arsitektur akan selalu bersinggungan dengan nilai budaya yang sedang dianut generasi terakhir. Nilai budaya yang terkadung dalam benda yang akan dikonservasi berbeda dengan nilai budaya yang dianut generasi terakhir. Perlu pendekatan tertentu sehingga nilai budaya dapat terpelihara sementara generasi penerusnya bisa menikmati manfaat dari nilai budaya yang terkandung dalam benda konservasi.

Desa Penglipuran adalah salah satu peninggalan budaya yang dikonservasi karena memiliki nilai signifikansi sebagai benda cagar budaya. Di dalam bentukan fisiknya terdapat nilai budaya yang merupakan perpaduan budaya Bali Aga dan Bali Hindu. Bentuk pola desa Penglipuran adalah linear. Bentuk ini merupakan implementasi dari kearifan masyarakat terhadap pandangan mereka terhadap macro cosmos yaitu gunung – laut, kaje – kelod, hulu –

(13)

154 U ta m a M an da la M a dy a M an da la N ista M an da la

tersebut kemudian ditarnsformasikan pada bentuk yang lebih kecil seperti pekarangan, bangunan bahkan sampai pada detil bangunan.

Tatanan tersebut terus digunakan oleh generasi penerusnya yang secara perlahan memiliki nilai sendiri yang terbentuk dari pengalaman, pendidikan, dan informasi. Secara perlahan terjadi perubahan fisik, adaptasi dari sistem baru yang dianut generasi penerusnya. Bentuk-bentuk adaptasi serta faktor-faktor yang mendorong terjadinya adaptasi tersebut menarik dikupas untuk memahami bagaimana “The Hidden Dimension”nya Edward T Hall (1966) juga berlaku di Bali.

GAMBARAN UMUM DESA PENGLIPURAN

Kata Penglipuran berasal dari kata Pengeling Pura yang menunjuk pada asal usul mereka yaitu Desa Bayung Gede. Leluhur masyarakat Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede. Penduduk Desa Kubu yang mondok bercampur dengan Penduduk Bayung Gede, membentuk suatu pola menetap kecil yang diberi nama Penglipuran. Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa ini terletak 3 km di sebelah utara pusat kota Bangli. Keunikan budaya dan tata ruang serta bentuk arsitekturnya menjadikan desa ini Daerah Tujuan Wisata sesuai dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangli Nomor 116 tahun 1993 tentang penunjukan Desa Pakraman Pengelipuran Sebagai petugas pungut Retribusi Pariwisata. Luas lahan desa ini adalah 112 Ha dimana 13,8 ha digunakan untuk permukiman dan sisanya berupa hutan bambu dan perkebunan lainnya.

Pola desa Penglipuran merupakan transformasi dari konsep Tri Mandala dimana wilayahnya dibagi menjadi 3 bagian menurut tingkat kesuciannya yaitu: Utama Mandala sebagai tempat yang paling tinggi diperuntukan antuk bangunan pura (tempat suci), Madya Mandala sebagai tempat yang agak rendah ke selatan untuk tempat pemukiman warga desa yang di belah oleh jalan utama menjadi bagian barat dan bagian timur serta Nista Mandala sebagai tempat yang paling rendah untuk kuburan yang dilengkapi dengan Pura Dalem Pelapuan dan Pura Dalem Pingit, Tugu Pahlawan serta tegalan.

Gambar 1. Pola Desa Adat Penglipuran Sumber: Dwijendra A,2010 dan Google Earth, 2016

(14)

155 Dalam satu pekarangan rumah di Desa Penglipuran terdiri dari bangunan-bangunan Merajan, Paon Meten, Loji (ruang tidur), Lumbung, dan Bale Adat. Dibelakang pekarangan adalah teba yang dimanfaatkan sebagai kebun di halaman belakang. Bangunan-bangunan tersebut disusun dalam tatanan ruang rumah Adat Penglipuran sebagai berikut :

 Di sebelah timur laut : Sanggah (tempat sembahyang)

Di sebelah Utara (daja) : dapur (pawon) yang dibuat dengan sebagian besar bahan bambu meliputi atap dan dinding. Selain untuk memasak, dapur juga digunakan sebagai tempat tidur oleh orang tua. Hal ini bertujuan untuk efektifitas kerja dan menghindari dinginnya cuaca.

 Di sebelah selatan agak ketimur ada Bale saka enem yang atapnya dibuat dari bahan bambu yang berfungsi sebagai tempat upacara adat/agama seperti manusia yadnya, pitra yadnya dan upacara lainnya. Bangunan ini berbentuk Bale panggung dengan setengah terbuka.

 Di sebelah barat ada bangunan tempat tidur bagi keluarga yang bentuk bangunannya boleh mengikuti perkembangan jaman dan sesuai dengan kemampuan

 Di setiap karang kertu (pekarangan rumah) ada angkul-angkul (pintu gerbang) dari atap bambu yang bentuknya sama dengan yang lain. Bambu sebagai bahan angkul-angkul menjadi tanggung jawab Desa Pakraman yang pengerjaannya secara gotong royong oleh masyarakat.

Gambar 2 Pola dan Bentuk Awal Rumah Tradisional Penglipuran Sumber: Dwijendra A,2010

Pola massa di atas bisa bervariasi namun jenis massa pada umumnya sama. Perbedaannya biasanya pada tata letak masing-masing bangunan yang bisa bergeser dari posisi di atas. Salah

Zone Hulu

utk bang.

suci

Angkul-Rurung

Gede

Sanggah Paon Loji

Jineng Bale Saka Enam Angkul-Angkul

TEB

(15)

156

berkunjung ketetangga tidak perlu keluar melalui angkul-angkul (pintu gerbang depan). Hal ini menunjukan persatuan dan kekeluargaan masyarakat Desa Pakraman Penglipuran.

Gambar 3. Salah satu variasi tata letak rumah di Penglipuran Sumber: Ahmadi A., 2006

Bangunan tradisional Penglipuran dibuat dari bambu (gambar 4) baik atap maupun dindingnya. Bentuk bangunan tertutup sesuai dengan karakter bangunan di tempat dingin. Pada umumnya bangunan ini menggunakan bahan dari desa sendiri. Bambu dari Penglipuran terkenal berkualitas baik sehingga sangat baik untuk bahan bangunan.

Gambar 4. Tampak bangunan tradisional yang masih asli Sumber: Dwijendra A,2010

(16)

157 Seiring dengan perkembangan teknologi dan tingkat pendidikan warganya, perubahan-perubahan fisik banyak terjadi di Desa Penglipuran. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih efisien, praktis, dan cepat membuat penduduk desa ini menyesuaikan bangunan rumahnya dengan teknologi modern. Beberapa bentuk teknologi yang digunakan dalam kehidupan seharri-hari antara lain: kendaraan bermotor, mesin cuci, peralatan dapur modern, televisi, peralatan sanitair, dan peralatan dapur lainnya. Perilaku yang berubah dalam sistem sanitasi juga merupakan faktor yang mendorong perubahan bentuk rumah. Secara tradisional penduduk melakukan aktifitas sanitasi di bagian Teba. Namun berkat pendidikan dan pengetahuan yang meningkat saat ini semua rumah memiliki toilet untuk kepentingan tersebut. Dalam skala rumah, kebutuhan anak-anak akan ruang tidur pribadi juga menambah dimensi rumah. Dengan demikian bale-bale tradisional tidak memadai lagi untuk dipertahankan untuk memenuhi tuntutan kehidupan modern.

Gambar 5. Beberapa teknologi modern yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari Sumber: Survei Lapang, September 2016

Selain peralatan rumah modern yang digunakan serta tutuntan privasi di atas,, perubahan fisik yang terjadi disebabkan adanya perubahan fungsi yang dikembangkan dalam unit pekarangan rumah. Fungsi baru yang paling menonjol yang mengakibatkan perubahan bangunan adalah fungsi komersial. Masuknya pariwisata yang mengundang kehadiran wisatawan di Desa Penglipuran dimanfaatkan oleh penduduk untuk membuat warung dalam pekarangannya. Masuknya fungsi komersial ini merubah seluruh tatanan spasial dan arsitektural pekarangan di Desa Penglipuran ini.

(17)

158

Gambar 6 Beberapa bentuk warung yang dikembangkan dalam pekarangan rumah Sumber: Survei Lapang, September 2016

Salah satu fungsi lain yang dikembangkan di desa ini adalah home stay atau penginapan. Walaupun belum banyak dikembangkan namun dengan semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi desa ini memungkinkan fungsi ini untuk terus berkembang dalam pekarangan lainnya.

(18)

159 Gambar 7. Salah satu bentuk pekarangan yang berubah menjadi “home stay”

Sumber: Survei Lapang, September 2016

Fungsi dalam pekarangan di atas dirubah seluruhnya menjadi penginapan dengan menyesuaikan bentuk bangunan lama dengan fungsi baru. Tampak dari luar bangunan home stay ini menggunakan bentuk bangunan lama. Dinding menggunakan bambu demikian juga atapnya. Namun dinding bata tersebut hanyalah “ornamen” belaka karena dinding yang sesungguhnya adalah dinding batu.

POLA DAN BENTUK BANGUNAN SAAT INI

Masuknya fungsi-fungsi baru di Desa Penglipuran menyebabkan perubahan tata ruang dan tata bangunan dalam pekarangan. Selain fungi baru bertambahnya jumlah anggota keluarga juga merubah pola dan tata ruang pekarangan. Teba yang tadinya berfungsi untuk kebun sebagian besar sudah menjadi perumahan anggota keluarga. Pada pekarangan di sisi timur jalan bangunan-bangunan baru dikembangkan di sebelah bangunan Paon sedangkan di pekarangan bagian barat jalan rumah baru dibangun di sebelah bangunan Merajan.

(19)

160

Gambar 8 Perubahan pola dan bentuk bangunan dalam salah satu pekarangan di sisi barat jalan Sumber: Survei Lapang, September 2016

Paon L

Zona komersial

(20)

161

Gambar 9. Berbagai variasi perubahan bangunan pada pekarangan di sisi timur jalan Sumber: Survei Lapang, September 2016

Perubahan yang terjadi dalam pekarangan-pekarangan di Desa Penglipuran bukan hanya menyebabkan tingkat kepadatan yang tinggi namun juga sebagian menyebabkan kekumuhan dalam pekarangan. Bukan hanya wujud saja yang berubah, namun dimensi, warna, tekstur, posisi, orientasi yang berubah Ching (1979:50). Bila di jalan utama (core) permukiman suasana desa tampak rapi, bersih, dan indah maka tidak semua bagian dalam pekarangan

(21)

162

PEMBAHASAN

Konservasi Vs Dinamika perubahan Budaya

Seperti pepatah terkenal bahwa yang paling abadi di dunia ini adalah perubahan. Perubahan yang terjadi di Desa Penglipuran menunjukkan hal itu. Cepat atau lambat perubahan budaya telah dan akan terus terjadi. Perubahan pola dan bentuk bangunan merupakan hasil dari perubahan sosial maupun teknologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kingley Davis dan William F Ogburn (dalam Soekanto, 2006), bahwa perubahan kebudayaan mencakup perubahan unsur-unsur kebudayaan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, filsafat, kesenian dan sebagainya sedangkan perubahan sosial mencakup system nilai sosial, stratifikasi sosial, pola perilaku maupun perubahan nilai/norma di masyarakat.

Perubahan yang terjadi di Desa Penglipuran juga tidak sekaligus terjadi. Pernah ada masanya pengendalian dilakukan sangat ketat sehingga warga tidak boleh merubah bangunan dalam pekarangannya. Kemudian perubahan boleh dilakukan sehingga wajah koridor jalan sudah tidak seragam lagi. Warga menjebol dinding pagarnya untuk membuka warung. Angkul-angkul juga mulai banyak yang dirubah. Kondisi ini memprihatinkan banyak pihak sehingga desa adat Penglipuran membuat aturan yang memungkinkan 2 hal terjadi: konservasi dan pengembangan. Konservasi dilakukan terhadap pagar, angkul-angkul, merajan, dan dapur inti. Ketiganya tidak boleh berubah. Bangunan lain boleh berubah asal tetap berada di dalam pagar yang dikonservasi. Dengan kompromi tersebut wajah koridor menjadi lebih indah seperti yang dapat dilihat saat ini.

Gambar 10. Bangunan Dapur inti yang dikonservasi Sumber: Survei Lapang, September 2016

(22)

163 merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi serta adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Proses perubahan yang terjadi di Desa Penglipuran berasal dari beberapa sumber yaitu masyarakat Desa Penglipuran, Desa Adat Penglipuran, Pemerintah Kabupaten Bangli dan Provinsi Bali, serta masyarakat pecinta arsitektur Desa Penglipuran. Masyarakat Desa Penglipuran yang sekalipun cinta pada warisan budaya nenek moyangnya mereka membutuhkan kehidupan yang lebih efisien, cepat, dan mudah. Selain itu tuntutan privasi dalam menjalankan kehidupan pribadi mereka tidak bisa diakomodasi dalam bangunan lama. Sehingga merubah bangunan rumah tinggal adalah penting. Komposisi bangunan yang telah dirubah memperkuat argumen tersebut. Semua bangunan yang mewadahi kehidupan keluarga telah berubah. Bangunan yang relatif tetap adalah bangunan untuk kepentingan ritual dan upacara adat. Antara konservasi dan dinamika perubahan budaya mampu diwadahi dalam pekarangan rumah di Desa Penglipuran sehingga menghasilkan harmoni antara bentuk dan pola ruang desa dengan sistem sosial budaya masyarakat masa kini. Sesuai dengan pendapat Ranjabar (2008) perubahan yang terjadi tersebut merupakan cermin ciri-ciri terjadinya perubahan sosial.

Adaptive re-use, genius loci dan kearifan lokal

Perubahan memang tidak dapat dihindari. Manusia memiliki dinamika kehidupan yang tidak bisa dikonservasi seperti mengembangkan sebuah kebun binatang. Namun perubahan bisa dikendalikan untuk memenuhi tujuan pembangunan. Perubahan yang terjadi dalam pekarangan di Desa Penglipuran sebagian besar tidak mengikuti model bangunan tradisional setempat. Banyak faktor yang menghambat masyarakat untuk menggunakan model arsitektur lokal untuk hunian mereka. Material bambu yang tidak seawet material batu, pemeliharaan yang mahal, serta selera masyarakat yang beragam. Semua faktor tersebut memicu perubahan pola dan bentuk bangunan seperti yang telah diuraikan di atas. Namun satu faktor yang semestinya bisa menjadi motivasi masyarakat lokal untuk mengembangkan arsitektur lokal adalah kecintaan secara total terhadap kearifan lokal. Bila hal ini ditanamkan terus menerus dan dikembangkan maka keuntungan ekonomi akan semakin meningkat. Daya tarik Desa Penglipuran akan semakin meningkat.

Model yang dikembangkan dengan metode adaptive re-use berupa penginapan merupakan contoh yang sangat baik untuk ditiru oleh hunian lain. Penggunaan dinding bambu sekalipun hanya “tempelan” saja mampu menciptakan wajah asli Desa Penglipuran tanpa mengurangi kebutuhan masyarakat akan privasi dan penggunaan peralatan modern.

(23)

164

Sumber: Survei Lapang, September 2016

Model adaptive re-use ini sangat sesuai untuk mempertahankan genius loci yang bersumber dari kearifan lokal. Adaptive re-use yang dimengerti sebagai modifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan fungsi yang ada atau fungsi yang diusulkan (ICOMOS,1999). Jogja Heritage Society (2009) merumuskan adaptive reuse sebagai aktifitas menggunakan struktur lama untuk fungsi baru. Pada umumnya dilakukan rehabilitasi eksterior atau interior. Melalui pendekatan model ini bukan hanya secara fisik kearifan lokal dipertahankan, namun secara spirit modernitas yang berupa dinamika budaya manusia bisa dicapai.

“Cloning” sebagai pemecahan masalah kepadatan

Kepadatan yang terjadi di dalam pekarangan rumah di Desa Penglipuran yang mengakibatkan “ke kumuhan”bila tidak dicarikan solusinya di masa depan akan menjadi masalah besar dalam menciptakan tata ruang. Model yang dilakukan “saudara tua”nya yaitu Desa Bayung Gede bisa ditiru. Di Desa Bayung Gede hanya 1 anak yang bisa tinggal di perumahan tersebut sehingga kepadatan bisa dikendalikan. Model ini lahir dari permasalahan yang sama dengan Desa Penglipuran yaitu kepadatan.

Model lain yang bisa dikembangkan adalah membuat “Desa Penglipuan” di tanah milik desa bagi anak-anak desa yang tidak mendapatkan tempat di desa lama. Dengan meng”cloning” pola dan bentuk yang sama, kesempatan bagi warga “Desa Penglipuran Baru” untuk memperoleh manfaat ekonomi yang sama dengan saudara mereka dapat dirasakan. Pengaturan organisasi dan administrasi tentu akan menjadi bagian dari model ini sehingga akan tercapai keadilan bagi seluruh warga Desa Penglipuran.

SIMPULAN DAN SARAN

Pola dan bentuk bangunan dalam pekarangan di lingkungan Desa Penglipuran menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Perubahan tersebut utamanya terjadi karena tuntutan kehidupan modern dan penggunaan teknologi baru. Faktor lain yang memicu perubahan adalah pertambahan jumlah anggota keluarga. Perubahan menjadi bagian yang mayoritas dalam pekarangan karena yang dikonservasi adalah pagar dengan angkul-angkulnya, merajan, dan dapur inti. Bila dibiarkan terus maka keunikan desa ini akan berkurang. Perlu dilakukan

(24)

165 hidup masa kini.

Model adaptive re-use yang digunakan dalam pengembangan penginapan sangat tepat dikembangkan di desa ini. Bila semua bangunan bisa mengadaptasi model ini suasana lingkungan secara menyeluruh akan bisa dikembalikan. Permasalahan keawetan material bambu bisa diatasi dengan teknologi material terkini. Kerjasama dengan institusi pendidikan untk mengembangkan dan mensosialisasikan teknik pengawetan bambu akan sangat baik demi mendukung model ini.

REFERENSI

Ahmadi, A. 2006. Masa lalu dalam Masa Kini: Arsitektur Indonesia. Jakarta: Gramedia Ching, FDK. 2000. Arsitektur: Bentuk Ruang Dan Susunannya. (Paulus Hanoto Adjie, Pentj).

Jakarta: Erlangga

Dwijendra, A. 2010. Arsitektur Kebudayaan Bali Kuno, Denpasar: Udayana University Press Hall, ET. 1966. The Hidden Dimension. New York: Double Day

International Charter for The Conservation And Restoration Of Monuments And Sites. 1999. Burra Charter. Australia.

Jogja Heritage Society. 2009. Pedoman Pelestarian Pasca Bencana Kawasan Pusaka Kotagede Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: GONG Grafis

Li, X. 2005. “Adaptive Reuse in Beijing’s Traditional Neighborhoods”, Thesis. Cottbus: Brandenburg University of Technology.

Ranjabar, J. 2008. Perubahan Sosial dalam Teori Makro: Pendekatan Realitas Sosial. Bandung: Alfabeta

(25)
(26)

Gambar

Gambar 1. Pola Desa Adat Penglipuran  Sumber: Dwijendra A,2010 dan Google Earth, 2016
Gambar 2 Pola dan Bentuk Awal Rumah Tradisional Penglipuran  Sumber: Dwijendra A,2010
Gambar 3. Salah satu variasi tata letak rumah di Penglipuran  Sumber: Ahmadi A., 2006
Gambar 5. Beberapa teknologi modern yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari  Sumber: Survei Lapang, September 2016
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain, “sehat-sakit” berupa keseimbangan antara badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (spirit). Apabila tidak terjadi kesimbangan antara body-mind-spirit maka terjadilah

Pada langkah selanjutnya, penulis berkeliling mengecek kegiatan peserta di- dik saat mengerjakan postes, dan memberikan penjelasan terhadap peserta didik yang kurang

 Semua staf akademik dan staf pentadbiran perlu mencapai tahap kompetensi yang tinggi dalam penggunaan sistem yang berkaitan dengan tugas.  Sistem yang sedia ada perlu dikaji

disarankan untuk arus listrik dan faktor daya. 2) Kapasitor seri digunakan dalam rangkaian kapasitif atau sirkit ganda. Dalam hal kegagalan kapasitor yang dipasang seri,

Melalui diskusi serta tayangan youtube tentang peran serta Indonesia dalam bidang social budaya dalam lingkup ASEAN, siswa dapat menyebutkan 3 peran Indonesia

Kemampuan penyakit untuk berpindah dari satu orang ke orang lainnya atau untuk menyebar di dalam populasi disebut sebagai daya tular (communicability) penyakit itu. Daya

Gambar 4.18 menunjukkan bahwa dari 80 petani bawang merah, 60% menyatakan bahwa menabung di bank adalah mudah sedangkan 40% merasa kesulitan untuk menabung di bank. Karakteristik

Jika sistem terdahulu yaitu pascabayar, pembayaran atau tagihan di bayar diakhir bulan maka pada prabayar pembayaran dilakukan pada saat ingin menggunakan listrik