• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing Peranakan Etawah (PE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing Kambing Peranakan Etawah (PE)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

3

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kambing

Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu domba memiliki

stockier bodies yang lebih besar daripada kambing. Kambing memiliki ekor yang

lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar, sedangkan domba melingkar dan berbentuk spiral. Kambing jantan dewasa memiliki janggut mengelurkan bau yang khas yang berasal dari kelenjar “bandot”, namun domba jantan tidak. Tengkorak domba mempunyai tulang air mata dan dekat kotak matanya terdapat kelenjar praeorbital. Kambing tidak memiliki kelenjar scent pada bagian muka dan kakinya, domba memiliki kelenjar tersebut (organ khusus yang menyekresikan substansi aroma (pheromone) untuk menarik betina). Biasanya kambing lebih aktif daripada domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan James, 1992).

Kambing diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Animalia; Phylum Chordata;

Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo Ruminantia; Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra dan Species hircus (Mileski

dan Myers, 2004). Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (Gall, 1981). Penyebaran kambing sangat luas dan hampir tersebar di seluruh dunia, karena beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh kambing, yaitu daya adaptasi yang baik dan tahan hidup pada daerah dengan hijauan terbatas (Gall, 1981) serta mampu memanfaatkan hijauan pakan secara efisien (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing Peranakan Etawah (PE)

Jenis kambing perah yang dipelihara peternak di Indonesia pada umumnya adalah Peranakan Etawah (PE). Kambing PE jika ditinjau dari namanya merupakan keturunan kambing Etawah (Capra Entawa) atau kambing Jamnapari yang diimpor

(2)

4 dari India pada tahun 1920-an (French, 1970). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dari India dengan kambing Kacang dari Indonesia.

Budidaya kambing PE berkembang sejak jaman pemerintah kolonial Belanda, hasilnya berupa susu, kambing pedaging (jantan muda) dan kambing kurban (jantan tua) yang lazim pula disebut bandot. Kambing PE banyak diternakkan di Kabupaten Purworejo (Jateng) dan Kabupaten Sleman serta Kulonprogo (DIY). Kambing PE di daerah Jateng dan DIY biasa disebut dengan kambing Gibas, kambing Benggolo atau kambing Koploh. Disebut dengan kambing Gibas karena bulu di bagian bawah ekor tumbuh memanjang. Disebut kambing Benggolo karena oleh masyarakat dianggap berasal dari "tanah Benggolo" (Bengali=India). Koploh berarti ukuran telinganya yang sangat panjang dan menggelantung ke bawah. Kambing PE telah berkembang dengan baik dan diterima oleh masyarakat (Heriyadi, 2004). Pemeliharaan kambing PE di Indonesia ditujukan untuk penghasil daging dan susu (dual purpose). Pemeliharaan kambing PE sebagai ternak penghasil daging dan susu memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki kemampuan adaptasi yang luas, yaitu dari daerah tropis hingga subtropis, sehingga mampu beradaptasi dengan baik terhadap iklim yang ada di Indonesia.

Kambing PE mudah sekali dibedakan dari kambing Kacang (kambing lokal) dengan melihat ukuran, bobot tubuh serta penampilannya. Kambing Kacang berukuran kecil (bobot jantan 35 kg) sedangkan kambing PE jantan kualitas baik bisa mencapai bobot 100 kg. Telinga kambing Kacang pendek dan tegak, sementara telinga kambing PE panjang dan menggantung. Tulang muka (dahi) kambing Kacang rata, kambing PE melengkung. Tanda yang paling mencolok pada kambing PE adalah adanya bulu yang panjang di bagian bawah ekornya dan tidak pernah terdapat pada kambing Kacang. Tingkat kemurnian (keaslian) kambing PE sangat dijaga oleh masyarakat Purworejo dan Kolonprogo dengan membentuk organisasi peternak dan menciptakan kriteria keaslian (standar mutu) kambing PE jantan maupun betina.

Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan dan betina dapat mencapai 90 dan 60 kg (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Kambing PE dengan umur potong 10-12 bulan dapat menghasilkan bobot potong 65-70 kg. Ciri-ciri spesifik kambing PE antara lain

(3)

5 bentuk hidung benguk, panjang telinga 25-30 cm menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna rambut bervariasi, kuping, kaki dan rambut yang panjang, memiliki ambing yang besar, dan produksi susu tinggi (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Kambing PE dapat beranak tiga kali dalam dua tahun dengan rataan jumlah sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak, 2001). Rataan bobot lahir kambing PE kelahiran tunggal betina dan jantan sebesar 3,2 dan 3,7 kg (Setiadi dan Sutama, 1997). Masa laktasi kambing perah sekitar 6-7 bulan. Meskipun hasil susu kambing sering direkomendasikan bisa mencapai 2-2,5 liter per ekor per hari, namun dalam praktiknya, para peternak kambing hanya mampu menghasilkan susu kambing sebnyak 1,2 liter per ekor per hari (Balai Penelitian Ternak, 2001). Kambing PE di Indonesia mampu menghasilkan susu 2-3 liter per ekor per hari dengan masa laktasi lebih dari 150 hari (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003).

Gambar 1. Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009)

Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari lembah Saane bagian baratdaya Switzerland. Bangsa kambing Saanen secara umum dikenal sebagai penghasil susu yang terbesar dan kambing Saanen dan persilangannya juga telah sangat populer sebagai kambing penghasil susu di Eropa, karena itu bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara (Devendra dan Burns, 1994).

(4)

6 Karakteristik kambing Saanen ditinjau dari ukuran tubuhnya adalah medium sampai besar dengan pertulangan yang tidak datar dan tingkah lakunya aktif. Kambing Saanen umumnya berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga dan ambing serta betina Saanen biasanya tidak memiliki tanduk (Greenwood, 1997). Rambut pada kambing Saanen pendek dan halus, telinganya tegak dan mengarah ke depan dan mukanya lurus (Ensminger, 1987). Kambing Saanen agak sulit berkembang di daerah tropis karena sensitif terhadap sinar matahari, oleh karena itu dalam pemeliharaannya perlu menggunakan naungan (Devendra dan McLeroy, 1982).

Rataan berat badan kambing betina dan jantan adalah 65 dan 75 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi betina dan jantan sekitar 81 dan 94 cm. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 1,80 ekor (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu 216 kg dengan panjang laktasi 275 hari (Gall, 1981). Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate prduksi susu dapat mencapai 5 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994)

(5)

7

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA)

Kambing Persilangan PE dan Saanen (PESA) merupakan bangsa kambing hasil persilangan antara PE betina dan Saanen jantan. Rachman (2010) menyebut kambing ini dengan nama SAPE. Bangsa kambing ini memiliki karakteristik atau sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing ini memiliki produksi susu harian yang lebih baik dari pada kambing PE, namun lebih rendah daripada Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al., 2005) karena mempunyai masa laktasi yang lebih pendek (Ruhimat, 2003). Noorcandratini (2004) melaporkan bahwa produksi harian kambing PESA di PT Fajar Taurus rata-rata sebesar 1,8 liter.

Gambar 3. Kambing PESA (Rachman, 2010)

Gen Growth Hormone (GH)

Growth hormone (GH) merupakan hormon peptida dengan rantai polipeptida

tunggal 190 atau 191 asam amino yang terdiri dari dua jembatan disulfida (Paladini

et al., 1983) yang mengatur pertumbuhan, perkembangan dan beragam aktivitas

metabolis (Sterle et al., 1995; Ran et al., 2004). Gen GH merupakan gen hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotropin pada lobus anterior kelenjar pituitary (Ayuk dan Sheppard, 2006). Gen GH pada semua mamalia memanjang sampai 2-3 kb dan terdiri dari lima exon yang dipisahkan oleh empat

intron (MacLeod et al., 1992; Golos et al., 1993). Exon pada suatu gen diketahui

mengkode suatu bagian tertentu (yang disebut domain) pada suatu protein, sedangkan intron merupakan bagian yang tidak mengkode urutan asam amino

(6)

8 (Yuwono, 2008). Sekuens gen GH kambing memiliki panjang 2544 pb (Kioka et al., 1989) dan masing-masing exon dan intron memiliki panjang sekuens nukleotida yang berbeda (Jakaria, 2008).

Pengaruh gen GH pada pertumbuhan telah diteliti pada beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Banyak penelitian pada ruminansia menguatkan peranan gen GH dalam mengatur pertumbuhan kelenjar ambing. Gen GH dengan fungsi dan posisinya yang potensial telah banyak dipakai sebagai marker. Gen GH memiliki panjang exon dan intron yang berbeda-beda. Rekonstruksi struktur gen GH Capra hircus berdasarkan data yang terdapat di GenBank (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/D00476.1) dapat dilihat pada Gambar 4 dan sekuens gen GH kambing secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan: Lokus : D00476 Panjang : 2544 bp Gen : 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064 Exon 1 : 432-444 = 13 bp Intron 1 : 445-691 = 247 bp Exon 2 : 692-852 = 161 bp Intron 2 : 853-1079 = 227 bp Exon 3 : 1080-1196 = 117 bp Intron 3 : 1197-1425 = 229 bp Exon 4 : 1426-1587 = 162 bp Intron 4 : 1588-1863 = 276 bp Exon 5 : 1864-2064 = 201 bp

Gambar 4. Rekonstruksi Struktur Gen GH pada Kambing

Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR merupakan suatu reaksi untuk menggandakan jumlah molekul DNA target secara in vitro dengan berulang melalui perpanjangan dua primer pada suatu areal DNA tertentu. Reaksi ini menghasilkan produk amplikasi (amplikon) dengan jumlah yang meningkat secara eksponensial dari jumlah DNA awal. Reaksi ini bekerja dengan cara menyintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase dan dua oligonukleotida sebagai primer (primer forward dan primer reverse).

Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4

Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5

Flanking region 5’

Flanking region 3’

(7)

9

Keterangan: Warna biru = daerah open reading frame (ORF) Huruf kapital = daerah exon

Huruf kecil = daerah intron

Cetak tebal = posisi primer gen GH exon 4

Gambar 5. Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011)

Sintesis rangkaian DNA yang baru memerlukan dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP). Reaksi PCR berlangsung dalam lima tahap, yaitu denaturasi awal, denaturasi akhir, penempelan primer (annealing), pemanjangan (extension) dan inkubasi. Proses denaturasi-penempelan-ekstensi disebut satu siklus dan proses ini biasanya berlangsung sebanyak 35-40 siklus (Muladno, 2002). Reaksi PCR dipengaruhi oleh reaksi campuran DNA template (yang mengandung sekuen yang

1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat 61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta 121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag 181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt 241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat 301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc 361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca 421 gctcaccaac tATGATGGCT GCAGgtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct 481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt 541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt 601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc 661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gGGCCCCGGA CGTCCCTGCT CCTGGCTTTC 721 ACCCTGCTCT GCCTGCCCTG GACTCAGGTG GTGGGCGCCT TCCCAGCCAT GTCCTTGTCC 781 GGCCTGTTTG CCAACGCTGT GCTCCGGGCT CAGCACCTGC ATCAACTGGC TGCTGACACC 841 TTCAAAGAGT TTgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt 901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca 961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat 1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagG 1081 AGCGCACCTA CATCCCGGAG GGACAGAGAT ACTCCATCCA GAACACCCAG GTTGCCTTCT 1141 GCTTCTCCGA AACCATCCCG GCCCCCACGG GCAAGAATGA GGCCCAGCAG AAATCAgtga 1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct 1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt 1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg 1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcagGACTT GGAGCTGCTT 1441 CGCATCTCAC TGCTCCTTAT CCAGTCGTGG CTTGGGCCCC TGCAGTTCCT CAGCAGAGTC 1501 TTCACCAACA GCCTGGTGTT TGGCACCTCG GACCGTGTCT ATGAGAAGCT GAAGGACCTG 1561 GAGGAAGGCA TCCTGGCGCT GATGCGGgtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct 1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag 1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt 1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg 1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg 1861 cagGAGCTGG AAGATGTTAC CCCCCGGGCT GGGCAGATCC TCAAGCAGAC CTATGACAAA 1921 TTTGACACAA ACATGCGGAG TGACGACGCG CTGCTGAAGA ACTACGGTCT GCTCTCCTGC 1981 TTCCGGAAGG ACCTGCACAA GACGGAGACG TACCTGAGGG TCATGAAGTG TCGCCGCTTC 2041 GGGGAGGCGA GCTGCGCGTT CTAGttgcca gccatctgtt gttacccctc cccgtgcctt 2101 cctagaccct ggaaggtgcc actccagtgc ccactgtcct ttcctaataa agcgaggaaa 2161 ttgcatcaca ttgtctgagt aggtgtcatt ctattctagg gggtggggtc aggcaggata 2221 gcgagaggga ggattgggaa gacaatagca gggatgctgt gggctctatg ggtacccagg 2281 tgctgaataa ttgacccggt tcttcctggg ccagaaggaa gcaggcacat ccccttctct 2341 gtgacacacc cggtcctcgc ccctggtcct tagttccagc cccactcata ggacactcat 2401 agctcaggag ggctctgcct tcagtcccac ccgctaaagt gcttggagcg gtttctcctt 2461 ccctcatcag cccaccaaac caaacctagc ctccaagagt gggaagaaat taaagcaaga 2521 caggctatga agtacagagg gaga

(8)

10 akan diamplifikasi), primer, campuran nukleotida dan berbagai senyawa biokimia lainnya dan enzim yang tahan terhadap panas yang disebut sebagai DNA

polymerase. Semua campuran reaksi tersebut berada dalam satu plastic tube

(Claverie dan Notredame, 2003).

Efisiensi amplifikasi PCR dapat ditingkatkan dengan memperkecil ukuran DNA target menjadi lebih kecil. DNA dapat dipotong secara fisik dengan meresuspensi atau mengocok DNA menggunakan ujung tips yang sempit atau secara kimia dengan menggunakan enzim restriksi. Pengecilan ukuran DNA target dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi denaturasi DNA target utas ganda menjadi DNA target utas tunggal (Gerhardt et al., 1994).

Komponen PCR antara lain DNA target, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, DNA polymerase untuk PCR dan buffer. Produk amplifikasi harus spesifik dan menghasilkan produk amplifikasi yang besar (efisien), sehingga perlu optimasi kondisi PCR termasuk pemilihan kondisi DNA target, konsentrasi dan jenis DNA polymerase, dNTP, perancangan primer yang baik, penetapan siklus yang sesuai dan pemilihan mesin PCR yang baik (Gerhardt et al., 1994).

Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism

(PCR-SSCP)

PCR adalah suatu metode in vitro untuk mensintesis sekuens DNA spesifik secara enzimatis dengan menggunakan kedua oligonukleatida sebagai primer yang berhibridisasi secara berlawanan pada sisi target utas DNA yang diinginkan (Muladno, 2002). DNA dapat diperbanyak melalui reaksi berantai polymerase dari sehelai rambut, setetes darah, semen, kuku dan lain-lain.

Bahan awal untuk PCR adalah DNA yang mengandung sekuens yang akan diamplifikasi. Jumlah DNA yang diperlukan untuk proses PCR sangat kecil, biasanya lebih kecil dari satu mikrogram. Inisiasi target DNA memerlukan dua oligonukleatida primer dan sebagai prekursor diperlukan campuran keempat deoksinukleotida trifosfat (dNTP) dan dibutuhkan juga enzim DNA polymerase. Konsentrasi Mg2+ pada buffer PCR yang cukup juga diperlukan. Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi atau perubahan struktur DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal, annealing atau penempelan primer pada sekuens DNA

(9)

11 komplementer yang akan diperbanyak dan extension atau pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002).

SSCP adalah metode elektroforesis yang populer untuk mengidentifikasi mutasi sekuens. Metode ini dianggap populer dengan asumsi dasarnya adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotida akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al., 2001) dan laju migrasi pada saat elektroforesis (Orita et al., 1989; Barroso et al,. 1999) walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida saja (Nataraj et al., 1999). Fragmen DNA untai tunggal yang mengalami perubahan pada susunan nukleotidanya akan membentuk suatu konformasi tiga dimensi yang kompleks dan berbeda dengan fragmen DNA yang tidak mengalami perubahan (normal). Konformasi yang berbeda akan mempengaruhi laju migrasi dalam gel poliakrilamida sehingga dapat diidentifikasi keragamannya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi sensitifitas SSCP, yaitu: (1) konsentrasi

crosslinker; (2) konsentrasi DNA dan panjang fragmen DNA; (3) konsentrasi buffer,

temperatur dan komposisi matriks gel (Beier, 1993); (4) komposisi produk PCR; (5) lama dan voltase elektroforesis dan (6) lokasi mutasi pada fragmen DNA (Barroso et

al., 1999).

Metode SSCP sering digunakan untuk mendeteksi keragaman gen karena memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan SSCP dibandingkan dengan metode lain, yaitu: (1) sederhana dan dapat dikerjakan di laboratorium biasa (Bastos et al., 2001); (2) dapat mendeteksi adanya mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999) sehingga dapat dibedakan dengan yang normal dan (3) visualisasi tidak perlu menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al., 1999). Namun demikian terdapat juga beberapa kekurangan metode SSCP, yaitu: (1) fragmen DNA yang dapat dianalisis terbatas ukurannya (lebih efektif pada ukuran panjang 100-250 bp); (2) perlu kondisi yang beragam untuk mendeteksi beberapa kemungkinan mutasi (Beier, 1993); (3) tidak efisien untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukloetidanya; (4) sulit untuk menginterpretasikan pita-pita yang dihasilkan dan (5) terbatas dalam menentukan jumlah alel (Prizenberg et al., 2005).

Gambar

Gambar 1.  Kambing PE (Kusuma dan Irmansyah, 2009)
Gambar 3.  Kambing PESA (Rachman, 2010)
Gambar 5.  Fragmen Gen GH Capra hircus pada GenBank (NCBI, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Namun kemudian, sebagai- mana dikemukakan oleh Muhammad Hami- dullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad, sistem sosial yang

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung permulaan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anak dalam hal berhitung seperti

Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota adalah arahan untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kota sesuai dengan RTRW kota melalui penyusunan dan

Nafar merupakan kegiatan rutin tahunan Majlis Tafsir Al-Qur'an yang diadakan pada setiap bulan Ramadhan yang bertujuan untuk mempererat ukhuwah atau hubungan kekeluargaan

Pembentukan pesan agar menjadi perhatian khalayak merupakan salah satu strategi efektif dalam komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, karena itu melalui

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala madrasah dan

penulis akan menciptakan sebuah karya seni yang bersifat fungsional berupa Softcase Drumset dengan berbahan dasar kulit nabati yang nantinya akan diproses

Daftar Pemilih Tetap Tambahan Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DPTbLN adalah susunan nama penduduk warga negara Republik Indonesia di luar negeri yang telah