• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL- IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL- IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

MUH. ABDUL MUGHNI NIM : 062111012

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)
(3)
(4)

iv

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 3 Juni 2011 Deklarator

MUH. ABDUL MUGHNI NIM : 62111012

(5)

v

detail mengenai hukum kewarisan, erat hubungannya dengan asbabul furud, yang jelas pembagiannya masing-masing antra laki-laki dan perempuan. Tapi belum ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum waris bagi khuntsa.

Para ulama ahli fara’id berbeda pendapat mengenai kewarisan khuntsa musykil setelah penghitungan dua perkiraan (di perkirakan laki-laki dan perempuan). Oleh karna itu penulis mengankat sekripsi dengan tema “Studi Analisis Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil” yang disepesifikasikan dari kebanyakan pendapat madzhab Al-Syafi’i. yaitu “memberikan bagian paling sedikit kepada khuntsa dan ahli waris kemudian menangguhkan sisa harta hingga khuntsa menjadi jelas setatusnya”.

Adapun penulisan ini bertujuan 1) Untuk mengetahui pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil, 2) Untuk mengetahui metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris

khuntsa musykil.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dan dalam hal ini penulis mengkaji pendapat Al-Imam Al-Mawardi selaku ulama’Syafi’iyah, dalam kitabnya Al-Khawi Al-Kabir. Sebagai pendekatan penulis menggunakan usul fiqh dalam mendukung penelitiannya.

Pada dasarnya pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa

musykil sama dengan pendapat ulama’Syafi’iyah lainnya, tapi dalam hal ini ada

sedikit perbedaan dalam penyajiannya dengan pengembangan sebab yang menjadi dasar alasan hukum bagai mana Al-Imam Al-Mawardi mengatakan, dua sebab yang melatar belakangi konsep kewarisan madzhab Syafi’yah tersebut. Sebab pertama, orang yang mewaris tidak bisa mendapat hak warisnya, kecuali dengan ketentuan yang pasti dan meyakinkan tanpa adanya keragu-raguan di dalamnya, sebab kedua, pada dasarnya semua hukum itu tidak bisa dijalankan kecuali dengan yakin begitu pula mengenai ketentuan hukum waris tersebut haruslah dengan yakin.

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, para ahli hukum agama, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

(6)

vi

“Keyakinan, tidak hilang dengan keraguan”.

(“Sesungguhnya pewaris tidak bisa mendapat haknya, kecuali dengan kejelasan, tidak dengan keragu-raguan”).

(7)

vii

Ibunda dan Ayahanda tercinta dan tersayang

Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian

Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu.

Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid

Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk

menjadi insan yang ta’at dan berbakti.

Kakek dan Nenek yang saya ta’dzimi

Nasehat dan do’amu membangkitkan jiwa ku untuk menatap

masa depan.

Seluruh keluarga

Dukungan kalian adalah motivasi pembelajaran diri.

(8)

viii

menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Analisis Terhadap Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil dengan baik tanpa banyak menemui kendala yang berarti.

Shalawat dan Salam Allah SWT. semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikutnya yang telah membawa dan mengembangkan Islam hingga seperti sekarang ini.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada :

1. Bapak Imam Yahya, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

2. Drs. H. Ahmad Ghozali Ihsan, M. SI. dan Anthin Lathifah, M. Ag., selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II penulis skripsi ini, dengan penuh kesabaran telah mencurahkan perhatian yang besar dalam memberikan bimbingan.

3. Bapak/Ibu Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya.

4. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah ataupun dalam diskusi.

5. Kepada teman-teman satu angkatan dan satu pembelajaran Ahwal Al-Syahsiah/AS A06 pada khususnya, Al-Anam El-Kend inspirasi, semangat dan sastra “ALAS TUWO”, El-Kamto “Yanto” nggaslo tapi so pastilah, Gus Mus

(9)

ix

Vians”Generation low in AS A06, “Aneq” figur atlit As A06 dan temen yang selalu mengharapkan perubahan Your, “Mr. Blenco” dari generasi ke generasi intelegensi tinggi, El-Khanip sip…guys, Isnan “Mr. Sotank”, ngapak-ngapak wae ya, “para kaum hawa” As A06, Ni’mah, Lenny, Irma, Ani, Iinnayah dan Naeylul. Dan tak ketinggalan As B06, yang mungkin tak dapat ku sebutkan satu persatu, kalian adalah “my motivation”.

6. Teman-teman kos “BONDET” tercinta rumah ke2 bagi ku mengayuh kasih sayang, “Haris Petrucci” guru kecil ku yang penuh wawasan, “Mas Dhony” sebuah pijakan dan langkah merangkai sebuah simphony yang indah, dan kalian “my inspirasi”, Rifki “Keboe”, Rifki “Gaboe”, Hasan, Saekul, Toriq, Bom-bom, Imam “Bengkelers”, dan adik-adiku tersayang, Lutfi, Amien, Blendong, “The Young Generation” Eka F-Day, Sons “Ting Ki Wingki”, Wahyu MOYO, Ki2 Tegal, Fanny, and Afif.

7. Thanks telah memberi inspirasi baru bagiku, “METALLICA”, Helloween, SO7, Underground spracta99, Best Fuctural and tak ketinggalan Komplikasi Band.

8. Semua pihak yang ikut serta dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan do’a semoga Allah SWT, membalas segala jasa dan budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.

Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang semaksimal pula. Namun penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

(10)

x

Semarang, 2011 Penulis,

MUH. ABDUL MUGHNI Nim : 062111012

(11)

xi

HALAMAN NOTA PEMBIMBING . . . ii

HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . iii

HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . iv

HALAMAN ABSTRAKS . . . v

HALAMAN MOTTO . . . vi

HALAMAN PERSEMBAHAN . . . vii

HALAMAN KATA PENGANTAR . . . viii

HALAMAN DAFTAR ISI . . . x

BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan ……….1

B. Perumusan Masalah ………5

C. Tujuan Penelitian ………6

D. Telaah Pustaka ………6

E. Metode Penelitian ………...9

F. Sistematika Penulisan ………11

BAB II : Ketentuan Umum Tentang Waris Khuntsa Musykil A. Pengertian Warisan Khuntsa Musykil………...13

B. Harta Warisan Khuntsa Musykil………...24

C. Pendapat Ulama’ Tentang Waris Khuntsa Musykil..………..28

BAB III : Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil A. Biografi Al-Imam Al-Mawardi………...32

B. Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil………..38

C. Istinbath Hukum Al-Imam Al-Mawardi ………...47

(12)

xii

Musykil

A. Analisis Terhadap Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil………61 B. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Imam Al-Mawardi………...75 BAB V : Penutup A. Kesimpulan………82 B. Saran-saran………...84 C. Penutup………...84 DAFTAR KEPUSTAKAAN LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mawaris secara etimologi adalah bentuk jama‟ dari kata miras artinya warisan.1 Hukum kewarisan, merupakan salah satu aspek yang di atur secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan pada masyarakatnya.2 Oleh karna banyaknya permasalahan yang mendasari dinamika dan problematika sosial dalam dkehidupan masyarakat terutama dalam pembagian harta waris, hukum kewarisan Islam memberi solusi penyelesaian pengatur tatanan hidup masyarakat guna hal pembagian waris.

Dalam pembagian waris Islam terkait masalah genre (jenis kelamin), Islam sejak dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis kelamin seseorang. Sederhananya, bila alat kelamin salah satu jenis itu lebih dominan, maka dia ditetapkan sebagai jenis kelamin tersebut, misalnya bila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan sebagainya, maka berlaku padanya hukum-hukum syari‟at bagi laki-laki,, antara lain mengenai batas aurat, mahram, nikah, wali, warisan dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengan hukum-hukum syari‟at bagi laki-laki. Dan sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang lebih dominan dan berfungsi, maka

1 Ahmad Rofik, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 1.

2 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hal. 14.

(14)

jelas dia adalah wanita dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syari‟at sebagai wanita. 3

Namun ada juga yang dari segi dominasinya berimbang, dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil yakni orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.4 Khuntsa musykil dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah

hermafrodit (kelamin ganda).5 Jelas orang tersebut dinamakan khuntsa

musykil, karna sulit baginya untuk menentukan indentitasnya, dengan kedua

alat kelamin yang sama-sama berfungsi.

Salah satu permasalahan khuntsa musykil adalah dalam hal menentukan hak waris atau kewarisanya, dan juga menjadikan persoalan kepada penetapan status hak memperoleh bagian warisnya. Hukum waris di Indonesia telah di atur di dalam perundang-undangan yang telah ditetapkan, seperti dalam KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan juga dalam dasar kewarisan hukum Islam atau dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Namun baik dalam KUHPerdata maupun KHI tidak diterangkan mengenai ketentuan hukum waris bagi khuntsa, hal inilah yang mendorong penulis untuk mempelajari dan mengkaji tentang penentuan hukum waris bagi khuntsa. Seperti halnya qonun al-mawarits (kitab undang-undang hukum warisan mesir) di dalam menetapkan harta pusaka kepada khuntsa musykil mengambil dari

3Zunly Nadia, Antara Hermaproditif (Khuntsa) dan Transeksualitas (Mukhannats) http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/11727

4 Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Alma‟arif, hlm. 482. 5

(15)

pendapat Abu Hanifah. Pendapat tersebut dicantumkan dalam K.U.H.W, pada pasal 46.6

Dalam KHI tinjauan hukum waris yang digunakan adalah dasar-dasar dalam hukum Islam dan ijtihad para Fuqoha‟ (ulama-ulama ahli fiqih) dalam ilmu Faroid (ilmu Kewarisan).

Dalam salah satu riwayat di jelaskan.

Artinya :“Dari Abbas r.a, Rosulullah bersabda: “Bagikanlah harta pusaka

antara ahli waris menurut kitabullah (Al-Qur’an)” , HR. Muslim.7

Namun demikian masih ada masalah mengenai hukum waris yang tidak tercantum dalam Al-Qur‟an, sehingga menimbulkan beberapa pendapat, seperti pada permasalahan khuntsa musykil. Mengenai permasalahan kewarisan khuntsa musykil, para fuqoha‟ sepakat bahwa penentuan waris bagi

khuntsa musykil harus di tinjau secara biological (jasmaniah) bukan secara pesicological (kejiwaan).8

Para ulama‟ ahli faroid berbeda-beda pendapat mengenai cara-cara untuk memberikan bagian harta pusaka khuntsa musykil setelah di ketahui dua

6 Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin. 1993, hlm. 84. 7 Imam Muslim, Sakhih Muslim, Bairut: Darul Kutub Alamiah, 1992, Juz, 3, hlm. 23. 8

(16)

macam penerimaan berdasarkan perkiraan laki-laki dan perkiraan perempuan dan bagian para ahli waris lainnya.

Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat bahawa khuntsa musykil mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa musykil dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan)”.9

Menurut pendapat yang lebih unggul (madzhab Syafi‟iyah) khuntsa diperlakukan dengan perlakuan yang merugikan. Maka harus di perhatikan perolehan warisannya dengan perkiraan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.10

Sedangkan ulama‟ Hanafiyah berpendapat bahwa, khuntsa musykil mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua perkiraan tersebut di atas, dan tidak ada sisa untuk ditahan terlebih dahulu .11

Sedangkan pada kalangan ulama‟ Malikiyah berpendapat lain lagi,

khuntsa musykil mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan

dan demikian juga ahli waris lainnya”.12

Konsep penentuan hak waris khuntsa musykil menurut pendapat Ulama‟ Syafi‟iyah, seperti halnya Imam Mawardi, Imam Nawawi, Al-Imam As-Syarbaniy, dan ulama‟-ulama‟ Syafiiyah lainnya, di kerjakan dua kali, yang pertama dianggap sebagai lelaki dan yang ke dua dianggap sebagai

9

Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaris, Baerut: „Alamul Kutub hlm. 165.

10 Suhrawadi K. Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H., Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 1997, hlm. 165.

11 Ash-Shabuni, Ibid., hlm. 165. 12

(17)

perempuan. Kemudian si banci (khuntsa musykil) tersebut diberi bagian terkecil di antara dua bagian tadi, sisanya ditangguhkan menunggu sampai persoalannya jelas, atau sampai ada perdamaian antara para ahli waris, atau sampai pada si matinya banci dan hartanya di bagikan pada ahli waris yang ada.13

Makna pemberian hak khuntsa musykil dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqoha‟ mawarits mu’amalah bil adhar yaitu jika khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita, dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.14

Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak mengangkat tema ini dengan judul: “Studi Analisis Pendapat Imam Al-Mawardi Tentang Konsep Hukum Waris Khuntsa Musykil”.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15 Bertitik dari keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan.

1. Bagaimana pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris

khuntsa musykil ?

13

Suhrawadi K. Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, Ibid., hlm. 166.

14 Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995, hlm. 166.

15 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.

(18)

2. Bagaimana metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil .

2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khuntsa musykil .

D. Telaah Pustaka

Dari beberapa penulis atau peneliti terdahulu, baik dalam bentuk skripsi atau karya tulis ilmiah lain yang telah membahas seputar hukum waris yang penulis jumpai diantaranya:

1. Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Sunan Al-Kubro, yang menjelaskan bagimana tentang ketentuan hak waris bagi khuntsa musykil, dari sahabat Ali R.A, untuk menentukan hak waris bagi khuntsa musykil ialah dengan jalan melihat dari mana jalan air kencingnya.16

2. Al-Imam Al-Nawawi dalam kitabnya Raudho At-tholibin, juga di tegaskan adanya penangguhan harta bagi khuntsa untuk menungguh kejelasan status jenis kelamin bagi khuntsa itu sendiri.

16

(19)

3. Al-Imam Al-Sairozy dalam kitabnya Al-Muhadzab, di jelaskan ketika khuntsa tersebut tak dapat di tentukan setatusnya (musykil), maka pembagian harta warisnya dengan di perkirakan laki-laki atau perempuan kemudian sisa dari pembagian harta tersebut di tangguhkan.17

4. Ash-Sharbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj, ditegaskan juga mengenai pembagian waris bagi khuntsa musykil, “memberikan atas bagian yang terkecil dari yang lain, kemudian sisanya ditangguhkan dulu sampai kedudukannya menjadi jelas. Tapi jika si khuntsa menerima bagian yang sama banyak antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan, tidak menimbulkan kesulitan, masing-masing menerima menurut ketentuan mereka dan tidak ada sisa yang diragukan.”18

5. Muhamad Ali Ash-Shabuni, dalam kitabnya Al Mawaris fi Syariat Al-

Islamiyah Ala Dzawil Kitab Wa Sunnah di tegaskan bahwa, “untuk banci

(khuntsa musykil) menurut pendapat yang paling rajih hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.

6. Akhmad Khaerudin (2101184), dalam skripsinya yang berjudul”Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi‟i Tetang Warisan Orang Yang Hilang

17 Abu Ishak Al-Fairazy, Al-Muhadzab, Bairut: Darul Kitab Ilmiyah 674 H Juz 2. hlm. 419. 18 Syamsudin Ash-Sarbini, Al-Mughnil Mughtaj, Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1991, juz III, hlm. 29.

(20)

(Mafqud)”. Yang menjelaskan tentang kententuan waris bagi mafqud (orang yang hilang), sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i.

7. Agus Wildan (2197190) dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Sistem Pembagian Harta Waris Satu Banding Satu Di Kecamatan Bumi Jawa Kabupaten Tegal. Yang menjelaskan tentang konsep pembagian waris masyarakat Bumi Jawa, dalam konsep pembagian waris satu banding satu, yang dilihat dari sudut pandang hukum kewarisan Islam.

8. Nuruddin (2199129) dalam skripsinya yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Asuyuthi Tentang Cara Menentukan Jenis Kelamin Khuntsa. Yang menjelaskan tentang cara penentuan atau menentukan jenis kelamin khuntsa, melalui jalan keluarnya air kencing dan ketentuan-ketentuan lainnya.

Berdasarkan skripsi-skripsi di atas, mengenai definisi secara umum kewarisan dalam presepektif hukum Islam terdapat beberapa kesamaan dan salah satu dari skripsi di atas, juga menunjukkan persamaan pendapat tentang penentuan jenis kelamin khuntsa. Namun dalam skripsi ini penulis lebih mensefesivikasikan konsep hukum kewarisan bagi khunsa musykil, dan menfokuskan kajiannya pada salah satu dari pendapat ulama‟Syafi‟iyah yakni, Imam Al-Mawardi tentang konsep hukum waris khunsa musykil, sesuai dengan judul skripsi penulis, “Studi Analisis Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Konsep Hukum Waris Khuntsa musykil ”.

(21)

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian skripsi ini dapat di jelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data sebaik-baiknya, kemudian ditempuhlah teknik-teknik tertentu diantaranya yang paling utama adalah research yakni mengumpulkan bahan dengan membaca kitab-kitab, buku-buku dan bentuk-bentuk bahan lain yang lazim di sebut dengan penelitian melalui perpustakaan (library research) adalah salah satu penelitian melalui perpustakaan. 19

2. Sumber Data

Terdapat dua sumber data pada penelitian ini yaitu primer dan sekunder.

a. Primer

Sumber data primer adalah bahan orisinil yang menjadi dasar bagi peneliti lain, dan merupakan penyajian formal pertama dari hasil penelitian. Sumber primer yang digunakan adalah kitab-kitab karya ulama‟ Syafi‟iyah sebagai data pokok , seperti dalam kitab Hawi

Al-Kabir, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi

(Al-Imam Al-Mawardi). b. Sekunder

Sumber data skunder, adalah sumber yang mempermudah proses penilaian literatur primer, yang mengemas ulang, menata kembali,

19

(22)

menginterprestasi ulang, merangkum, mengindeks atau dengan cara lain ”menambah nilai”pada informasi baru yang dilaporkan dalam literature primer.20 Sedang sumber data sekunder yang dugunakaan adalah kitab “Raudho At-tholibin” karya Al-Imam Al-Nawawi,

“Muhadzab” karya Abu Ishak Ibrahim Sairazy,” Mughni Mughtaj” karya Ash-Sharbini, kitab “Mawaris fi Syariat Al-Islamiyah Ala Dzawil kitab Wa Sunnah “ karya Ash-Shabuni, dan kitab

ulama‟ Syafi‟iyah lainnya, buku-buku penunjang data pokok.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode ini penulis mengadakan riset kepustakaan (library

research) yaitu metode yang di lakukan dengan menghimpun data-data

dari berbagai literatur.21 Yang berupa sumber data primer dan sumber data sekunder, sumber data primer yakni data yang menjadi rujukan utama dalam pembahasan masalah waris bagi khuntsa musykil yang berupa kitab karya ulama‟ Syafi‟iyah yang mengkaji tentang waris khuntsa musykil sumber primer tersebut adalah kitab “Al-Hawi Al-Kabir” karya Abu Khasan Ibrahim Al-Mawardi. Sumber data sekunder yakni data yang menjadi penunjang data utama, seperti kitab-kitab ulama‟ Syafi‟iyah lainnya kitab “Raudho At-tholibin” karya Al-Imam Al-Nawawi,

“Al-Muhadzab” karya Abu Ishak Ibrahim Al-Sairazy, “Mughni Al-Mughtaj”

20 Lexi J. Moleong, Metode Penelitiani Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007, hlm. 11.

21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Paktek, Cet.12,PT. Rineca Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 206.

(23)

karya Ash-Sharbini, kitab “Al-Mawaris fi Syariat Al-Islamiyah Ala Dzawil

kitab Wa Sunnah “ karya Ash-Shabuni, dan yang berupa buku-buku

sebagai penunjang dalam analisis masalah tersebut seperti buku ilmu waris, karya Fatchur Rahman, dan lain sebagainya.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penelitian menggunakan analisis deskriptif yaitu metode yang menjelaskan suatu obyek permasalahan sistematis dan memberikan analisis secara cermat dan tepat terhadap objek kalian tersebut.22 Setelah mengetahui pendapat Imam Al-Mawardi dari kitab

“Al-Hawi Al-Kabir”, maka penulis juga mengambil pendapat ulama‟

Syafi‟iyah lainnya, selanjutnya melakukan analisis kritis.

F. Sistematika Penulisaan

Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka skripsi ini di sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab yang maarsing-masing menampakkan karakteristik berbeda namun dalam satu kesatuan tak terpisah, sebagai berikut:

Bab I : Berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

ijmali namun holistic dengan memuat: latar belakang masalah, pokok masalah, tinjauan penelitian, kegunaan

22

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009, hlm. 25.

(24)

penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II : Berisi tinjauan umum tentang waris khuntsa musykil yang meliputi pengertian waris, pengertian khuntsa musykil, konsep pembagian waris, pendapat ulama‟ tentang waris

khuntsa musykil.

Bab III : Berisi pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang khuntsa

musykil dalam pandangan hukum islam yang meliputi

biografi ulama‟ Syafi‟iyah, Al-Imam Al-Mawardi, Pendidikan dan karya-karyanya, pendapat Imam Al-Mawardi tentang khuntsa musykil (waris khuntsa musykil, konsep waris khuntsa musykil), metode istinbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil.

Bab IV : Berisi analisis pendapat Al-Imam Al-Mawardi tentang

kewarisan khuntsa musykil, metode istimbat hukum Al-Imam Al-Mawardi tentang kewarisan khuntsa musykil.

(25)

13

A. Pengertian Warisan Khuntsa Musykil 1. Pengertian Warisan

Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris.1 Sedang pengertian pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan yang sebagiannya akan diwariskan, kepada ahli waris. Begitupula ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.2

Undang-undang perdata barat (BW), dalam penempatannya pasal 528 dan 584 KUHPerdata Bab XII sampai dengan, Bab XVII KUHPerdata.3 Pada prinsipnya pewarisan terjadi karena adanya hubungan pewaris dengan sejumlah harta, hak-hak dan kewajiban di bidang harta kekayaan “beralih demi hukum”. Sedangkan hukum yang berkaitan dengan masalah kewarisan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) diatur dalam buku ke II, bab I ketentuan umum pasal 171, dalam ketentuan umum hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta.

1 Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: Al-Ma‟arif, 1981, hlm. 36. 2

Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Study Kasus Perbandingan Ajaran Syafi‟i

(Patrilinial) Hazairin (Bilateral) dan Praktek di Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hillco, hlm.

38-39.

3R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUHPerdata Bab XII s.d KUHPerdata Bab XVII pasal 582 dan pasal 584, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995. hlm. 84.

(26)

(tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.4

Sumber hukum kewarisan Islam adalah Al-Qur‟an, Sunnah Rosul, dan Ijtihad, bagaimana penggunaan tiga sumber ini di dasarkan pada salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini, dalam Al-Qur‟an surat An Nisaa‟ ayat 59:



























































Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. 5

Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mukmin diharuskan mengikuti atau taat kepada Allah, Rosul dan ulil amri. Hal ini dapat diberi pengertian, bahwa seorang mukmin dalam memecahkan bebrbagai aspek harus senantiasa mengikuti dan mendasarkan pendapatnya pada ketiga sumber tersebut. Karena itu pengertian taat kepada Allah di namakan

4 Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 203.

5 Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1995/1996, hlm. 195.

(27)

sumber Al-Qur‟an, sedangkan taat kepada Rosul dinamakan dengan sumber sunnah, dan ulil amri di namakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid.6

Dalam hukum waris Islam juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan kewarisan, yang harus di perhatikan dengan baik:

a. Rukun Waris

1) Mawarist, orang yang hartanya di pindahkan (ke orang lain). Ia adalah si mayit (orang yang meninggalkan harta warisan)

2) Waarist, orang yang di pindahkan harta tersebut kepadanya (orang yang berhak menerima warisan)

3) Mauruust, harta yang di pindahkan (harta warisan)7

b. Syarat-syarat Waris

1)

Orang-orang yang mewariskan hartanya telah meninggal, baik secara hakiki maupun secara hukum.







































































































Artinya :”Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah

(seseorang yang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan

6 Munawar Chalil, Ulil Amri, Semarang: Ramadhani, 1984, hlm. 20.

7 Abu Ihsan Al-Atsari, Panduan Praktis Hukum Waris, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2009, hlm. 27.

(28)

ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”(QS. an-Nisa‟:153).8

2) Ahli waris masih hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum.

3) Harta warisan si mati telah di kurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.

c. Sebab Menerima Waris

Pada dasarnya sebab-sebab seseorang mewarisi ada empat macam, tetapi dalam kasus tertentu dan waktu serta geografis tertentu, bisa dicukupkan pada dua macam saja.

1) Hubungan Kekerabatan

Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris yang disebabkan faktor kelahiran, seorang anak pada intinya memiliki hubungan kekrabatan dengan bapak, dan ibu yang melahirkannya. 9

8 R.H.A. Soenarjo, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Jakarta: Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, 1971, hlm. 153.

9

(29)

2) Hubungan Pernikahan

Nikah yaitu akad yang dilakukan suami istri secara sah. Dengan sebab akad tersebut suami mewarisi harta si istri dan si istri mewarisi harta si suami walaupun belum pernah melakukan hubungan badan dan berkhalwat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An Nisaa‟ ayat 12:





































































































Artinya :”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.

Keterangan diatas pada intinya antara saumi dan istri bisa saling mawirisi satu samalainnya, dengan ketentuan- ketentuan yang telah

10

(30)

ada. Bagi mana dinyatakan pada ayat diatas, suami mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan istri jika mereka tidak mempunyai anak, jika memiliki anak maka suami mendapat bagian seperempat dari peninggalan istri. Begitu pula istri mendapat seperempat harta dari peninggalan suami jika tidak mempunyai anak maka, jika memiliki anak maka istri mendapat seperdelapan dari harta peninggalan suami. 3) Hubungan Wala‟

Wala‟ artinya memerdekakan. Yakni bagian „ashabah orang yang

memerdekakan si mayit dan keluarga orang yang memerdekakan, mendapatkan „ashabah bi nafsihi .baik ia memerdekakan karena santunan ataupun di sebabkan kewajiban, seperti zakat, nadzar atau kafarat.11

4) Berlainan Agama.

Berlainan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwarist, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam.12

















Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (menguasai orang-orang yang beriman), ) QS. al-Nisa‟ : 141).13

11 Abu Ihsan Al-Atsari, op. cit., hlm. 31. 12 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 36. 13

(31)

d. Penghalang-Penghalang Waris.

1)

Hamba. Seorang hamba tidak mendapatkan pusaka dari sekalian keluarganya yang meninggal selama ia masih bersifat hamba, Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 75:

























































Artinya :”Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya

yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”.14

Maksud dari perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya.

2) Pembunuh, dalam kaitannya dengan hak waris mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris ia tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut.

3) Murtad, seorang yang keluar dari agama Islam tidak mewarisi dari keluarganya, yang masih tetap memeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya orang murtad tidak dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya yang masih memeluk agama Islam.

14 Mohamad Noer, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra,1996, hlm. 220.

(32)

4) Orang yang tidak memeluk agama Islam (kafir) tidak berhak menerima warisan, dari keluarganya yang beragama Islam.“tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama”.15

e. Urutan Ashabah

Ashabah adalah: ahli waris yang hannya mendapat sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang mendapat bagian tertentu.16 Menurut istilah ahli fiqh ashabah artinya: waris yang menerima semua harta warisan apabila ia sendirian, dan memnerima kelebihan yang dibagi apabila ia tidak sendirian.17 Waris yang menjadi ashabah ialah:

1) Anak Firman Allah:









...



Artinya:“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) anak-anakmu”. (QS. An-Nisa‟: 11)18

2) Ayah. Firman Allah:























…



15 Abu Ihsan Al-Atsari, op. cit., hlm. 42. 16

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.50 17 Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 184.

18 H.A.A. Dahlan, M. Zaka Alfarisi, Asbab An-Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002, hlm. 128.

(33)

Artinya:“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya

seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ½”.19

3) Anak laki-laki

4) Cucu laki-laki dari anak laki-laki. 5) Kakek.

6) Saudara laki-laki sekandung. 7) Kemudian saudara laki-laki seayah.

8) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 9) Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 10) Paman.

11) Anak laki-laki dari paman.

Kalau semuanya tidak ada maka terakhir ialah orangb yang memerdekakan.20

2. Pengertian Khuntsa Musykil

Lafadz khuntsa berasal dari lafadz al-khantsu, menurut bahasa artinya lemah atau pecah21. Khuntsa menurut Istilah, hampir semua ulama sama pendapatnya dalam mendefinisikan khuntsa. Menurut Ash Shobuni dan menurut Dr. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Khuntsa ialah : „Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya. Menurut penulis kitab Syarah Ar Rahbiyah yaitu Syaikh Muhammad bin

19 H.A.A. Dahlan, M. Zaka Alfarisi, loc. cit., hlm. 128. 20 Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, loc. cit., hlm. 184.

21Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 65.

(34)

Muhammad Dimasqi, kiranya sulit atau tidak mungkin bila tidak ada sama sekali alat dari keduanya, sehingga diartikan baginya lubang yang berfungsi untuk kencing atau lainnya.22

Kedua alat kelamin mempunyai urgensi yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-laki atau perempuan. Tidak ada kelamin yang lain yang dapat di gunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga. Tuhan telah menciptakan Nabi Adam a.s. dan Hawa sebagai cikal bakal manusia seluruhnya.

Adapun yang dimaksud Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai ayat Al Qur‟an seperti ayat 1 surah An Nisaa‟, ayat 13 surah Al Hujurat, ayat 49 -50 surah As Syura, ayat 45 surah An Najm dan lain sebagainya. Menurut ayat-ayat diatas dan ayat-ayat-ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan.23

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa‟ ayat 1:

22 Ash Shobuny, Muhammad Aly, Al Mawarist fis Syariatil Islamiyah Ala Dlauil Kitab

Was Sunnah, Syirkah Iqolatuddin, Makkah Al Mukarromah, 1388 H. hlm. 168.

23 Asy Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad , Nailul Authar, Mesir: Matbaah Al Halaly, 1952/1371. hlm. 189.

(35)



























































Artinya :“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”24

Begitu juga pendapat Al-Imam Al- Nawawi dalam Al Majmu‟ Syarah Al-Muhadzab yang menjelaskan bahwa khuntsa itu ada 2 (dua) macam, yaitu orang yang mempunya dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi ada lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya. Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam, misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki penis atau memiliki keduanya (penis dan vagina), ada juga yang memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya. Bahkan ada yang tidak

24

(36)

memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lobang vagina dan hanya lubang kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis. 25

Seorang anak khuntsa yang dapat di tentukan statusnya dengan tidak menimbulkan kesulitan, disebut dengan khuntsa ghoirul musykil, adapun jika ia membuang air kecil melewati kedua alat kelamin yang bersama-sama disebut khunsa musykil, termasuk juga dalam ketentuan ini seorang

khuntsa yang tidak mempunyai alat kelamin sama sekali, sehingga untuk

kepentingan membuang keperluan air kecil maupun air besar dibuat lubang tiruan. Oleh karenanya segala sesuatu yang berlaku bagi khuntsa

musykil berlaku juga untuknya.26

B. Harta Warisan Khuntsa Musykil

Setiap ahli waris berhak menerima bagian warisnya, setelah apa yang mereka harus penuhi telah terlaksana. Yaitu memenuhi hak-hak seperti halnya, biaya-biaya perawatan jenazah, pelunasan utang-utang dan penunaian wasiat simayit.27

Selain itu haruslah tidak ada penyebab yang dapat menghalangi untuknya mendapat warisan atau penghalang kewarisan. Jenis hukum yang tidak di bedakan antara laki-laki dan peremppuan sehingga tak perlu adanya

25 Imam An Nawawi, Al Majmu‟Syarah Al Muhadzab, Bairut: Darul Fakir juz,III, hlm. 103.

26 Asy-Syarbiny ,Mughni Al-Muhtaj, ,Bairut: Darul Kitab A-Alamiyah juz: II hlm. 29 27

(37)

pengkhususan masalah khuntsa musykil, seperti masalah zakat harta, zakat fitrah dan sejenisnya.

Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman. Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki.

Di dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala, telah banyak menjelaskan ayat-ayat tentang waris bagi laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya, tetapi tidak menjelaskan waris bagi khuntsa.untuk menghindari terjadinya ke vakuman hukum, para ahli faro‟id berijtihad, ijtihad mereka itu bertitik tolak dengan ketentuan yang telah ada. Ijtihad yang dilakukan adalah dengan jalan mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan.

Dalam mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan ada dua cara yang di gunakan.

(38)

Jika seorang anak membuang air kecil melalui dzakar atau farjinya, tapi air yang lewat dzakar lebih dahulu keluarnya dari pada yang lewat farji maka ia dianggap sebagai orang laki-laki, sebaliknya jika ia terlebih dahulu kencing melalui farji maka ia dianggap sebagai orang perempuan.28

Artinya :"Berikanlah warisan menurut kelamin mana ia pertama

kali buang air kecil”. (HR. Ibnu Abbas)30

Dikisahkan bahwa Amir Al-Adawany dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian menvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: “Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya.” Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. 31

28 Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 483.

29 Imam Al-Baehaki, Al-Sunan Al-Kubro, Dar Al-Fikr, tth., hlm. 261. 30

31

(39)

Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: “Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan.” Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.32

2. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya.

Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan lain yaitu meneliti kedewasaan bagi si khuntsa, sebagaimana diketahui adannya ciri kesamaan laki-laki dan perempuan juga ada ciri perbedaannya.

Bila seseorang mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya perempuan, sebab lelaki menurut kodratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa musykil. Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haidl teratur pada waktunya sampai umur monopose, kehamilan dan melahirkan.33

Bila seorang khuntsa talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau

32 As-Sayyid as-Syarif, Loc, Cit.

33 Asy Syaafi‟I, Muhammad bin Idris, Al Um, Beirut: Darul Marifah Kitabiyah wan Nasyr tth. hlm. 129

(40)

perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya.34

Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap musykil.35 Jika seorang khuntsa susah ditentukan jenisnya, baik dengan dua ketentuan atau cara di atas, begitu ditegaskan benar-benar kemusykilannya. Kesulitan menentukan jenis kelaminnya membawa kesulitan dalam menetapkan pembagian warisnya.

Para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan para ahli waris khuntsa musykil yang menimbulkan kemusykilannya dalam penyelesaian waris itu ada tujuh orang dan tercakup dalam empat jihat. a) Jihat Bunuwah (garis anak)

Terdiri dari dua orang yaitu anak dan cucu. b) Jihat Ukhuwah (garis saudara)

Terdiri dari saudara dan anak saudara. c) Jihat „Umumah (garis paman)

Terdiri dari paman dan anak paman (keponakan) d) Jihat Wala‟ (perwalian budak)

Yakni hanya satu orang maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan budaknya).36

34 Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Al Mirats fis Syariatil Islamiyah, Muassassatul

Risalah, Beirut, 1986/1407 H hlm.175.

35 Ibid., hlm. 175. 36

(41)

C. Pendapat Ulama’ Tentang Waris Khuntsa Musykil

Para ulama‟ telah sepakat mengenai ketentuan kadar perhitungan waris bagi khuntsa musykil dengan mengidentifikasi perkiraan sebagi laki-laki dan sebagai perempuan. Tapi kemudian mereka berselisih pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa musykil setelah di ketahui dua pekiraan.

Menurut para ulama‟ bahwa dari hasil dua perkiraan tidak terlepas dari lima keadaan keadan, sebagai berikut:

1. Baik dikira-kira laki-laki maupun perempuan, khuntsa menerima bagian yang sama besarnya.

2. Perkiraan laki-laki lebih banyak penerimannya dari pada perempuan. 3. Penerimaan atas perkiraan perempuan dari pada perkiraan penerimaan

laki-laki.37

Dari perkiraan penerimaan bagian laki-laki dan perkiraan bagian perempuan waris khuntsa musykil, para ulama‟ berbeda pendapat tentang cara-cara tau konsep pemberian waris terhadap khuntsa musykil. Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada

khuntsa musykil ini:

1) Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris khuntsa adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Namun halnya Imam Hanfi menentukan, untuk menunggu terlebih dahulu kejelasan si khuntsa tersebut, tapi jika masa tunggu telah berakhir

37

(42)

namun khuntsa pun tetap belum jelas (khuntsa musykil) maka perhitungannya seperti penjelasan di atas.38

2) Madzhab Malikiyah, Hanabilah, Syiah Zaidiyah dan Syi‟ah Imamiyah, dalam satu pendapatnya, pemberian hak waris kepada para khuntsa musykil hendaklah tengah-tengah (separoh) di antara kedua bagiannya.39 Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian khuntsa.

Syaikh Ibnu Jibrin, dalam fatawa Islamiyah, khuntsa atau orang yang belum jelas statusnya, apakah ia seorang laki-laki ataukah seorang perempuan. Jika ditinggal mati ketika masih kecil dan setelah besar pun masih belum jelas statusnya, maka diberikan kepadanya setengah bagian laki-laki dan setengah bagian perempuan. Jika tidak demikian, maka bisa diberikan berdasarkan status yang diyakini atau ditangguhkan pemberiannya sampai dia baligh sehingga statusnya jelas.40

3) Madzhab Syafi‟i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan khuntsa musykil diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat

38 Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah Wal Mirats Fil-Islam,Kairo: Darul Ma‟rifah, hlm. 352, tth.

39 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo, 1998, hlm. 146. 40

(43)

yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan ulama‟ Syafi‟iyah. 41 di perkuat dengan pendapat rajih ulama‟ Syafi‟iyah, Diantaranya itu Al-Imam Al-Mawardi.

Argument pendapat yang muncul dan berbeda-beda antra ulama‟-ulama‟ ahli faro‟id, menyuguhkan bermacam-macam konsep pembagin waris bagi khuntsa musykil, guna menghindari kevakuman hukum, dan berijtihad mencari penyelesaian masalah, suatu hal yang harus kita perhatiakan, baik kita kaji lebih dalam.

41 Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995, hlm. 59.

(44)

32

BAB III

PENDAPAT AL-IMAM AL-IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL

A. Biografi Al-Imam Al-Mawardi 1. Al-Imam Al-Mawardi

Nama lengkap Al-Imam Al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra 364 H/975 M, dan wafat di Bagdad 450 H/1058 M. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Al-Imam Al-Mawardi merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang terkenal, Ia juga merupakan tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i. ia menjadi hakim Agung (Qâdi al-Qudât) dalam pemerintahan Abbasiyah disaat al-Qadir berkuasa. Sungguhpun demikian, ia termasuk penulis produktif, cukup banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari ilmu bahasa, sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan. 1

Al-Imam Al-Mawardi mempunyai reputasi tinggi di kalangan orang-orang lama dalam barisan juru ulas Al-Quran. Ulasannya yang berjudul

Nukat-wa‟luyun mendapat tempat tersendiri diantara ulasan-ulasan klasik

dari Al Qusyairi, Al-Razi, Al-Isfahani, dan Al-Kirmani. Tuduhan bahwa

1 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI-Press, Jakarta, 1990, hlm. 61.

(45)

ulasan-ulasannya yang tertentu mengandung kuman-kuman pandangan Mu‟tazilah tidaklah wajar, dan orang-orang terkemuka seperti Ibn Taimiyah telah memasukkan karya Al-Imam Al-Mawardi ke dalam buku-buku yang bagus mengenai persoalannya. Ulasannya atas Al-Qur‟an popular sekali, dan buku ini telah dipersingkat oleh seorang penulis. Seorang sarjana Muslim Spanyol bernama Abul Hasan Ali telah datang jauh dari Saragosa di Spanyol, untuk membaca buku tersebut dari pengarangnya sendiri.2

Al-Imam Al-Mawardi juga menulis sebuah buku tentang perumpamaan dalam Al-Qur‟an, yang menurut pendapat As-Suyuti merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Imam Al-Mawardi menulis, “salah satu dari ilmu Qur‟an yang pokok adalah ilmu ibarat, atau umpama. Orang telah mengabaikan hal ini, karena mereka membatasi perhatiannya hanya kepada perumpamaan, dan hilang pandangannya kepada umpama-umpamanya yang disebutkan dalam kiasan itu. Suatu perumpamaan tanpa suatu persamaan (misal), ibarat kuda tanpa kekang, atau unta tanpa penuntun.”3

2. Guru-gurunya

Walaupun Al-Imam Al-Mawardi lahir di Basra, tapi ia dibesarkan di Bagdad. Dari ulama-ulama terkemuka di Baghad ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara guru-gurunya dalam bidang ilmu-ilmu agama :

2 Ibid, hlm. 62.

3

(46)

Bidang hadis adalah:

a. Hasan bin Ali bin Muhammad Jabali (sahabat Abu Hanifah Al-Jumahi)

b. Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri. c. Muhammad bin Al-Ma‟alli Al-Azdi

d. Ja‟far bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi. e. Abu Al-Qasim Al-Qushairi.

Bidang fiqh adalah:

1) Abu Al-Qasim Ash-Shumairi diBasrah.

2) Ali Abu Al-Asfarayni (Imam madzhab Syafi‟I di Baghdad).

Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri Imam Al-Mawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi‟i dalam kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.4

3. Murid-muridnya

4 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, , 1996, hlm. 1162.

(47)

Diantaranya adalah:

a. Imam besar, Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khatib Al-Baghdadi.

b. Abu Al-Izzi Ahmad bin kadasy.5

4. Buku-Buku Peninggalannya

Diantara buku-buku karangan Al-Imam Al-Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:

Pertama; Dalam fiqh,Yaitu:

a. Al-Hawi Al-Kabir b. Al-Iqna‟u

Dalam ilmu fiqih, inilah Al-Imam Al-Mawardi, menunjukkan suatu pemikarannya yang merujuk pada Al-Imam Al-Syafi‟i, atau condong pada pemikiran-pemikiran ulama‟ Syafi‟iyah, seperti dalam kitabnya, hawi

kabir. Buku ini ditulis oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib

Al-Imam Al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab

Mukhtashar al-Muzani karya Al-Imam Al-Muzani. Buku ini merupakan syarah Al-Mukhtashar yang sangat panjang. 6 Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, juga pendapat ashshab Imam Syafi‟i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh

5 AbdulAziz Dahlan, loc, cit. hlm. 1162.

6 Abu Khasan Al-Mawardi, Al-Basriy, Al-Hawi Kabir, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, tth. Jilid I, hlm. 3.

(48)

lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi‟iyah.

Kedua; Dalam fiqh politik, Yaitu:

1) Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah

2) Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Maliki

3) Tashilu An-Nadzari wa Ta‟jilu Adz-Dzafari fie Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasatu Al-Maliki

4) Siyasatu Al-Maliki 5) Nashihatu Al-Muluk

Ketigal; Dalam Tafsir, Yaitu:

a) Tafsiru Al-Qur‟anul Karim b) An-Nukatu wa Al-Uyunu c) Al-Amtsalu wa Al-Hikamu7

Kemudian ada juga kitab dalam bidang sastra diantaranya, Adabu Ad-Dunya wa Ad-Dini, kemudian ada juga dalam bidang aqidah yaitu kitab A‟lamu An-Nubuwah.8

5. Pujian Para Ulama Terhadapnya

7

Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,

http://errozzelharb.wordpress.com/2011/01/26/biografi-imam-mawardi/ 8

(49)

Sejarawan Ibnu Al-Atsir berkata: “ Al-Imam Al-Mawardi adalah seorang Imam.Abu Fadhl ibnu Khairun Hafidz berkata: Imam Al-Mawardi adalah orang hebat. Ia mendapatkan kedudukan tinggi dimata sulthan. Ia adalah salah seorang imam, dan mempunyai karya tulis bermutu dalam berbagai disiplin Ilmu. Khatib Baghdadi berkata: Imam Al-Mawardi termasuk tokoh ahli fiqh madzhab Al-Imam Al-Syafi‟i. Aku menulis darinya dan ia adalah orang yang berintegritas tinggi.9

Ada diantara para Ulama diantaranya adalah Al-Imam Ad-Dzahabi yang menuduhnya sebagai Mu‟tazili, tetapi oleh para ulama yang lain diantaranya Ibnu Al-Subki, dan Ibnu Hajr menyangkal hal itu. Walaupun memang benar bahwa ada sebagian pendapat-pendapatnya yang sejalan dengan pendapat sekte Mu‟tazilah, diantaranya adalah pertama, pendapatnya berkaitan tentang kewajiban hukum dan pengamalannya apakah hal tersebut berdasarkan syariat atau akal? Al-Imam Al-Mawardi berpendapat bahwa hal tersebut berdasarkan akal. Kedua, pendapatnya tentang penafsiran satu ayat Al – A‟raaf, ia berkata : “ Allah tidak menghendaki penyembahan berhala-berhala.10

Menurut beberapa muridnya, menjelang wafat Al-Imam Al-Mawardi pernah mengatakan:

“Buku-buku saya ada di si Fulan. Saya tidak akan mengeluarkannya, karena saya .khawatir saya tidak ikhlas . jika saya mati tolong pegang tangan saya. jika tangan saya bisa menggenggam, maka tulisan saya hanya sedikit yang dapat diterima, maka tolong ambil tulisan-tulisan

9 AbdulAziz Dahlan, op. cit, hlm. 1163.

10 Sirajuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi‟I, Jakarta: CV. Pustaka Tarbiyah, 2003, hlm. 213.

(50)

saya lalu buang ke suangai Trigis. Akan tetapi jika tangan saya terbuka, maka itu berarti diterima Allah”.

Si murid mengatakan:

“Kemudian saya laksanakan pesannya begitu beliau meninggal. Ternyata tangan beliau terbuka. Maka saya tahu karangan-karangannya diterima di sisi Allah. Lalu saya publikasikan”. 11

Al-Imam Al-Mawardi meninggal pada akhir bulan Rabi‟al Awal tahun 450 H dan di makamkan di Bab al Harb, Baghdad.

B. Pendapat Al-Imam Al-Mawardi Tentang Waris Khuntsa Musykil

Al-Imam Al-Mawardi dalam beberapa penjelasan dan keterangan mengenai ketentuan hukum waris bagi khuntsa musykil dan ketentuan-ketentuan hukum yang digunakan di dalamnya

Al-Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, Bab Mawaris Al-Khuntsa, menjelaskan:

11 Abdullah Mustofa Al Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, hlm. 152.

12

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan beliau di atas, tidak lepas dari dua argumen. Pertama , menurut beliau, dasar apa yang digunakan oleh ulama untuk memastikan bahwa pembunuhan tersebut

Dalam ketentuan hukum pidana Islam menurut pendapat jumhur ulama’ , bahwa untuk menetapkan hukuman qishash dapat diberlakukan kepada pelaku, jika pelaku

1. Wasiat kepada ahli waris menurut Imam Ibnu H}azm tidak diperbolehkan, karena Allah mencegah hal tersebut. Pendapat Imam Ibnu H}azm berdasarkan hadis larangan berwasiat

Sedangkan menurut Imam Ibnu Hazm dalam memaknai hadits Siti Aisyah yang dijadikan pijakan pada permasalahan izin wali menikahkan anak perawan, beliau menilai bahwa meminta

Dengan kehidupannya yang bersinggungan langsung dari berbagai suku, ras, dan budaya yang diantanya menyinggung tentang pemerintahan penulis duga sebagai hal yang

Kesaksian yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan, Jumhur ulama telah bersepakat tentang masalah ini seperti melahirkan, haid, cacat seorang perempuan yang ada

pembangkangan berasal dari pasangan suami istri. Para ulama fikih berkata, “jika terjadi persengketaan di antara pasangan suami istri, maka hakim lah yang melerai

Setelah mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah dan para Ulama yang mendukung bahwa saudara dan kakek dapat bersama-sama sebagai ahli waris, maka penulis dalam masalah kewarisan