• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI PADA ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR DWI MURNI MUJIYANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI PADA ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR DWI MURNI MUJIYANTI"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI PADA

ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR

DWI MURNI MUJIYANTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ABSTRACT

DWI MURNI MUJIYANTI. Level of Mother’s Knowledge and Consumption Pattern in Children with Autism in Bogor. Under direction of TIURMA SINAGA

and EDDY S. MUDJAJANTO.

Autism is a developing disorder which is caused by brain destruction. Brain destruction makes some disorder in communication, behavior, and social ability. Most children with autism have metabolic problem, such as enzyme deficiencies and leaky gut condition which allows proteins gluten and casein can not be absorbed as in normal children. So, intervention of diet especially diet GFCF (Gluten Free Casein Free) is one of the most common solution given. Mother’s knowledge is one important thing that affects child consumption. The general purpose of this research was to determine the relationship between mother’s knowledge and consumption pattern in children with autism in Bogor. The research uses cross sectional study from April to May 2011. The number of 93% samples have a frequency of eating 3 meals a day and only 17% given cycle menu. The number of 10% samples have an allergy to food served cold, orange, shrimp, and honey. The number of 26,67% samples taking supplement. Most of the samples do not consume foods containing gluten or casein. Food that contain gluten and casein are the most frequently consumed by the samples are biscuit, milk, cheese, and yogurt. Intakes of both calories and proteins were adequate in the majority of children, but the proteins was higher than Recommended Dietary Allowence (RDA). The average intake of vitamin A and magnesium were normal. However, the following nutrients did not meet the RDA requirements at all : vitamins C, calcium, and zinc. The result showed that nutritional status of 30% sample were normal and 40% sample were obesity. The result showed that mother’s knowledge related to the frequency of consumption of food containing gluten and casein in children. Samples which have a less knowledgeable mothers, likely to consume food that contain gluten for more than or equal to 3 times a week. However, samples with less knowledgeable mothers, reducing the consumption of food containing casein to less than 3 times a week. The result showed no relationship between mother’s knowledge with energy and nutrition adequacy level, as well as nutritional status of sample. The result also indicate that there is no relationship between adequacy level of energy and protein with nutritional status.

Keyword : Autism, gluten free casein free, mother’s knowledge, energy and nutrition adequacy level, food consumption

(3)

RINGKASAN

DWI MURNI MUJIYANTI. Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor. Dibimbing Oleh TIURMA SINAGA dan EDDY S. MUDJAJANTO.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga, 2) mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis, 3) mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis, 4) menilai status gizi anak autis, 5) menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis, 6) menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis, 7) menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis, 8) menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis.

Penelitian dilaksanakan di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu, dan SDN Perwira Kota Bogor. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah anak autis yang melakukan bimbingan belajar di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu serta bersekolah di SDN Perwira Kota Bogor yang bersedia ikut serta dalam penelitian. Penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling. Responden adalah ibu yang merupakan sumber informasi untuk menambah data.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi (1) karakteristik anak (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan), (2) karakteristik orang tua (pendapatan, pendidikan, besar keluarga, usia), (3) pola konsumsi (frekuensi makan, jenis bahan pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, konsumsi selama tiga hari, makanan yang biasa dikonsumsi, makanan yang disukai, dan alergi). Pola konsumsi dan konsumsi pangan anak dinilai dengan menggunakan Food Frequency Questionares (FFQ)

dan Food Record (3x24 jam), wawancara, serta pengamatan langsung. Data sekunder meliputi keadaan umum dan profil yayasan dan sekolah.

Contoh sebagian besar (76,7%) berjenis kelamin laki-laki dan berusia pada kisaran 8-9 tahun sebanyak 43,3%. Keluarga contoh sebagian besar (70%) merupakan keluarga kecil, dengan usia ibu 80,0% tergolong usia dewasa awal (31-40 tahun) dan usia ayah 70,0% tergolong kategori dewasa madya (41-50 tahun). Pendidikan terakhir SMA pada ibu sebesar 40% dan pada ayah sebesar 33,33%. Ayah contoh sebagian besar (36,67%) bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibu contoh sebagian besar (76,67%) merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga contoh sebagian besar (30%) berada pada rentang Rp. 5.000.001-Rp. 7.500.000.

Responden sebagian besar (73,33%) sudah mengetahui informasi awal mengenai autis. Tindakan awal responden ketika pertama kali menyadari anaknya mengalami autis sebagian besar (86,67%) langsung berkonsultasi dengan dokter. Responden sebagian besar (56,67%) memperolah informasi dari media televisi, koran, majalah, atau internet. Responden sebagian besar (50%)

(4)

umumnya langsung menerapkan informasi yang ia peroleh tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional.

Jenis pelayanan kesehatan yang umumnya digunakan oleh ibu adalah rumah sakit atau puskesmas (73,33%). Sebanyak 33,33% responden mengaku sering datang ke dokter/ terapis minimal 1 kali seminggu. Alasan responden yang membawa anaknya ke terapis sebagian besar atas anjuran dari dokter (73,33%). Responden sebagian besar (60%) mengaku pernah mengikuti seminar atau penyuluhan tentang anak autis untuk menambah pengetahuan tentang autis. Menurut hasil perhitungan 66,67% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik.

Contoh sebagian besar (93,33%) mengonsumsi makanan lengkap sebanyak tiga kali makan utama dalam sehari. Ibu sebagian besar tidak menerapkan siklus menu bagi anaknya sehingga cenderung memberikan makanan sesuai dengan bahan pangan yang tersedia. Makanan yang biasa dikonsumsi hampir sama seperti anak yang tidak mengalami autis. Contoh hanya tidak boleh mengonsumsi jenis makanan tertentu sesuai diet yang dijalani dan alergi yang dialami. Contoh yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu sebanyak 10%. Sebanyak 26,67% contoh mengonsumsi suplemen. Contoh sebagian besar tidak mengonsumsi gluten maupun kasein. Rata-rata konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh adalah 43,33% tidak pernah mengonsumsi pangan sumber gluten dan 66,67% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber kasein. Jenis pangan sumber gluten yang paling sering diberikan yaitu mie, roti, dan biskuit masing-masing sebanyak 3x dalam seminggu. Sementara jenis pangan sumber kasein yang masih diberikan diantaranya susu sapi, susu skim, susu bubuk, mentega, keju, yoghurt, dan biskuit/wafer yang mengandung susu.

Berdasarkan hasil perhitungan 40% contoh memiliki tingkat kecukupan energi normal dan 80% contoh memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh, sebanyak 60% telah cukup baik. Kondisi sebaliknya ditemukan pada tingat kecukupan vitamin C. Sebagian besar contoh (70%) masih berada dalam kategori kurang. Contoh sebagian besar termasuk dalam kategori kurang untuk tingkat kecukupan kalsium dan zinc. Masing-masing dengan persentase 80% untuk kalsium dan zinc. Sementara tingkat kecukupan magnesium sebesar 93,33% dari contoh sudah cukup. Indeks BB/U menunjukkan bahwa 73,33% contoh berstatus gizi baik. Indeks TB/U menunjukkan bahwa 83,33% contoh memiliki status gizi normal. Status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U berkisar pada status gizi normal (30%) dan obesitas (40%).

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta status gizi (p>0,05). Hasil analisis korelasi Pearson juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh. Hasil uji epidemiologi dengan menghitung Odds Ratio

(OR) diketahui bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein pada anak. Anak dengan ibu yang berpengetahuan kurang berpeluang mengonsumsi pangan sumber gluten ≥3 kali seminggu 4 kali lebih sering dibandingkan anak dengan ibu

berpengetahuan baik. Kondisi sebaliknya terjadi pada hubungan antara pengetahuan ibu dengan konsumsi makanan sumber kasein. Kelompok ibu berpengetahuan kurang menurunkan konsumsi pangan sumber kasein pada anak 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan ibu berpengetahuan baik.

(5)

TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN POLA KONSUMSI

ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR

DWI MURNI MUJIYANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(6)

Judul : Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor

Nama : Dwi Murni Mujiyanti NIM : I14070068

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Tiurma Sinaga, B. Sc., MFSA Ir. Eddy S. Mudjajanto NIP. 19610521 198312 2 001 NIP. 19601119 198803 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alah SWT karena atas rahmat, hidayah, dan keridhaan-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik. Penyusunan tugas akhir penulis yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor” disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pada kesempatan ini ingin berterima kasih kepada : 1. Tiurma Sinaga, B. Sc., MFSA dan Ir. Eddy S. Mudjajanto selaku dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritik, dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh kesabaran.

2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan.

3. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing akademik. 4. Ibu dan bapak tercinta, serta Kakak tersayang, Nopiyanti atas dukungan,

cinta, kasih sayang, doa, nasihat, dan semangatnya.

5. Keluarga besar Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), SDN Perwira, SDN Semeru 6, LSC Sekolah Alam Bogor serta orang tua dan adik-adik yang telah bersedia untuk berpartisipasi dan membantu kelancaran penelitian.

6. Sahabat-sahabatku (Novi L, Siti M, Siti H, Tia, Welli, Ivi, Rysda, Cipit, Susi, Muthe, Ayu, Dita, Yid, Stefanie, Nonly, Siti Astuti, Nope, dan Ila) dan teman-teman Luminaire (GM 44) atas doa, kebersamaan, kebaikan dan dukungannya selama ini.

7. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan informasi bagi semuanya.

Bogor, Desember 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 13 Oktober 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Mujakir dan Ibu Eti Maryati. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cilolohan 1 Tasikmalaya setelah sebelumya bersekolah di Taman Kanak-kanak Cangkurileung Tasikmalaya. Penulis melanjutkan studinya di SMPN 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah di SMAN 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007.

Bulan Juli 2007, Penulis dinyatakan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, mayor Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia. Selain mempelajari mayor Ilmu Gizi penulis juga mengambil minor Perkembangan Anak dari jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Institut Pertanian Bogor.

Selama menempuh masa pendidikan di IPB, penulis pernah aktif sebagai anggota divisi Mentoring Club Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) periode 2008-2009. Penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Keuangan Majalah Emulsi (Majalah Peduli Pangan dan Gizi) periode 2008-2010. Selain itu, Penulis juga pernah terlibat dalam berbagai kepanitiaan, antara lain

Nutrition Fair (2009), Seminar dan Pelatihan Jurnalistik (2010), dan Seminar Gizi Nasional “Senzational” (2010).

Pada tahun 2008-2009 penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan beasiswa Supersemar pada tahun 2009-2010. Bulan Juni sampai dengan Agustus 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sukadamai, Kabupaten Bogor. Selain itu, Penulis juga melaksanakan Internship Dietetic (ID) di RSUD Cibinong, Bogor pada bulan Juni 2011.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 4 Kegunaan ... 4 TINJAUAN PUSTAKA Autis ... 5

Pengertian dan gejala ... 5

Jenis-jenis Autis ... 7

Klasifikasi Autis ... 8

Etiologi dan Patofisiologi ... 9

Mekanisme Terjadinya Autis ... 12

Faktor Resiko Kejadian Autis ... 14

Jenis-jenis Terapi ... 16

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 18

Besar Keluarga ... 18

Pendidikan ... 18

Pendapatan ... 18

Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan ... 19

Kebiasaan Makan ... 21

Konsumsi Pangan... 21

Diet untuk Penderita Autis ... 22

Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) ... 23

Penilaian Konsumsi Pangan ... 24

Food Frequency Questinaires (FFQ) ... 25

Food Record ... 26

Status Gizi ... 26

KERANGKA PEMIKIRAN ... 28

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat ... 30

Jumlah dan Cara Penarikan Sampel ... 30

Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 30

Pengolahan dan Analisis Data ... 31

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 36

Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII) ... 36

SDN Perwira ... 36

Karakteristik Anak Autis ... 37

Usia Anak ... 37

Jenis Kelamin ... 37

Karekteristik Keluarga Anak Autis ... 38

Besar Keluarga ... 38

Usia Orang Tua ... 39

Pendidikan Terkahir ... 40 Pekerjaan ... 40 Pendapatan Keluarga ... 41 Akses Informasi ... 42 Pengetahuan Ibu ... 45 Konsumsi Pangan ... 49

Frekuensi Konsumsi Pangan ... 50

Siklus Menu ... 50

Makanan yang Disukai ... 51

Makanan yang Biasa Dikonsumsi ... 51

Konsumsi Suplemen ... 53

Alergi Makanan ... 54

Konsumsi pangan sumber gluten dan kasein ... 55

Konsumsi Zat Gizi ... 59

Tingkat Kecukupan Gizi ... 60

Status Gizi ... ... 62

Hubungan antara Pengetahuan Gizi dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi ... 66

Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Contoh ... 66

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi ... ... 67

Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Konsumsi Pangan Sumber Gluten dan Kasein ... 68

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 70

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Cut off pengkategorian pengetahuan gizi ... 20

Tabel 2 Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ... 31

Tabel 3 Distribusi jenis kelamin contoh berdasarkan usia ... 37

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 39

Tabel 5 Sebaran usia orang tua contoh ... 39

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua ... 40

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua... 41

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga ... 41

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan informasi dan tindakan awal ibu, sumber informasi dan penerapannya ... 43

Tabel 10 Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, dan keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan ... 44

Tabel 11 Distribusitingkat pengetahuan ibu berdasarkan tingkat pendidikan ... 46

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi .... 53

Tabel 13 Distribusijenis makanan penyebab alergi berdasarkan klasifikasi autis ... 54

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein per kelompok makanan ... 56

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi ... 59

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein... 59

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin ... 61

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral ... 62

Tabel 19 Distribusistatus gizi (indeks BB/U dan TB/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis ... 63

Tabel 20 Distribusistatus gizi (indekas IMT/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis ... 64

Tabel 21Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ... 66

Tabel 22Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi ... 67

Tabel 23 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi ... 67

Tabel 24 Distribusikonsumsi gluten dan kasein berdasarkan pengetahuan ibu ... 69

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran tingkat pengetahuan ibu dan

pola konsumsi pada anak autis di kota Bogor ... 29 Gambar 2 Perbandingan sebaran status gizi contoh dengan grafik

normal status gizi (IMT/U) menurut WHO 2007 ... 64 Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) ... 65 Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan presentase jawaban benar

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Angka kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat

gizi pada contoh ... 78 Lampiran 2 Persentase jawaban pengetahuan ibu ... 80 Lampiran 3 Frekuensi makanan sumber gluten yang biasa dikonsumsi .. 81 Lampiran 4 Frekuensi makanan sumber kasein yang biasa dikonsumsi . 82 Lampiran 5 Data status gizi contoh yang diambil ... 83 Lampiran 6 Kuesioner ... 84

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada pada satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak mengalami rentang pertumbuhan dan perkembangan yang terdiri dari rentang cepat dan lambat. Proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat A 2004). Pada beberapa kondisi terdapat anak-anak yang mengalami masalah perkembangan. Salah satu kelainan yang diderita anak yang menjadi sorotan saat ini adalah autis.

Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, serta perilaku yang luas dan berat. Gejala autis mulai tampak pada anak usia 18-36 bulan. Penyebabnya adalah gangguan pada perkembangan susunan syaraf pusat yang menyebabkan terganggunya fungsi otak. Autis bisa terjadi pada siapapun, tanpa ada perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa (Indiarti MT 2007).

Kasus autis belakangan ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%. Apabila angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun. Jumlah anak laki-laki penyandang autis dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009). Jumlah anak penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000-200.000 anak.

Langkah untuk mengurangi gejala dari autis salah satunya adalah dengan memberikan intervensi diet. Intervensi diet dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala autisme, meningkatkan kualitas hidup, serta memberikan status nutrisi yang baik. Intoleransi dan alergi makanan merupakan salah satu faktor pencetus yang perlu diperhatikan terhadap anak autis. Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku. Terdapat beberapa terapi diet autis yang telah diajukan untuk memperbaiki atau menyembuhkan gangguan ini. Strategi diet autis yang telah diusulkan sebagai penanganan diantaranya yaitu:

(15)

diet bebas jamur, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), diet bebas bahan aditif, dan diet suplemen.

Diet yang paling sering diberikan adalah diet Gluten Free Casein Free

(GFCF). Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten dan kasein termasuk protein yang tidak mudah dicerna. Enzim pencernaan pada anak autis sangat kurang hingga membuat makanan tidak dicerna dengan sempurna. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur (Suryana 2004). Hasil penelitian Latifah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 68,42% anak autis di Kota Bogor yang menerima diet GFCF menunjukkan adanya perbaikan perilaku terutama dalam hal hiperaktivitas.

Dokter biasanya menyarankan untuk memperhatikan makanan untuk anak yang telah dinyatakan autis. Diet yang dianjurkan yaitu harus bebas gluten dan kasein. Dokter sering lupa bahwa ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang bebas gluten dan kasein, sehingga tidak sedikit orang tua yang akhirnya kebingungan dalam memilih bahan makanan. Anak menjadi memiliki pilihan makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah terserang penyakit atau mengalami gizi kurang (Kusumayanti et al. 2005).

Seorang ibu harus bersikap lebih selektif dalam mengatur pola makan bagi anaknya. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan anak untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pilihan makanan untuk anak autis. Berdasarkan hasil penelitian Mashabi NA dan Tajudin NR pada tahun 2009, diketahui bahwa tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis. Penelitian Kusumayanti et al. tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar anak penyandang autis yang di terapi di RS Sanglah Denpasar belum dapat melaksanakan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Salah satu alasan yang dikemukan ibu dari penyandang autis adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang diet GFCF (Gluten Free Casein Free) bagi anak autis.

Oleh karena itu pengetahuan ibu tentang pangan apa saja yang boleh dikonsumsi oleh anak autis sangat penting bagi terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik

(16)

untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak autis khususnya pangan sumber gluten dan kasein dan pengetahuan ibu pada anak autis di kota Bogor.

Perumusan Masalah

Anak penyandang autis jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, bukan hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian Central of Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa perbandingan anak penyandang autis sebesar 1 dari 150 kelahiran. Angka yang sama juga diperkirakan terjadi di tempat lain termasuk Indonesia. Penanganan yang tepat sangat diperlukan baik dari segi psikososial maupun asupan makanan yang sehat dan bergizi. Salah satu terapi diet yang umum dianjurkan pada anak penderita autis adalah diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Ibu memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak, termasuk dalam pemilihan asupan makanan yang tepat sesuai kebutuhan anak. Pengetahuan yang cukup terutama tentang diet yang tepat bagi anak penyandang autis sangat diperlukan agar dapat memberikan penanganan yang tepat dan memastikan anak mendapat asupan makanan yang cukup.

Tujuan Tujuan umum :

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor.

Tujuan khusus :

1. Mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga.

2. Mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis.

3. Mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis.

4. Menilai status gizi anak autis.

5. Menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak autis.

(17)

6. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis.

7. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis.

8. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dan digunakan sebagai dasar dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi contoh.

3. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh.

4. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi atau diet yang selama ini telah dilakukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para orang tua anak penyandang autis tentang pentingnya pengetahuan dan pemberian makanan yang tepat bagi anak autis. Penulis dan masyarakat umumnya diharapkan dapat mengetahui lebih banyak tentang permasalahan-permasalahan anak autis, serta bagi terapis atau pengajar dapat menjadikan sebagai bahan masukan untuk orang tua tentang cara pemberian makan yang tepat untuk anak autis.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Autis

Pengertian dan Gejala

Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata autisme ini digunakan di dalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik diri. Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins. Ia memakai istilah autis yang secara sosial tidak mau bergaul dan tenggelam dengan kerutinan, anak-anak yang harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak jarang menyimpan bakat intelektual tinggi. Berdasarkan penelitian terkini, gejala autis disebabkan beberapa faktor yaitu genetik, infeksi virus rubella atau

galovirus saat dalam kandungan, faktor makanan seperti makanan yang mengandung gluten dan kasein, gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan pada sistem limbik (bagian otak yang mengatur emosi), kondisi ibu yang merokok pada saat hamil, serta pencemaran terhadap logam berat terutama timbal (Kanner L 2007 dalam Latifah 2004).

Sari ID (2009), berpendapat istilah autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunia sendiri. Autis diduga akibat kerusakan saraf otak yang bisa muncul karena beberapa faktor, di antaranya : genetik dan faktor lingkungan. Menurut Sutadi (2003), secara sederhana masalah atau karakteristik yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut: (1) Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa. (2) terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,perabaan dan lain-lain), (3) masalah gerak/motorik. (4) kelemahan kognitif, (5) perilaku yang tidak biasa, dan (6) masalah fisik.

Menurut Yuliana & Emilia (2006), Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kelompok gangguan perkembangan anak yang terdiri dari Attention Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan

PervasiveDevelopmental Disorder (PDD). PDD adalah diagnosis yang diberikan kepada anak-anak apabila menunjukkan gejala autis tetapi masih memiliki sedikit kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi. Seorang anak yang didiagnosis dengan ADD memiliki kesulitan dalam mempertahankan kemampuan memusatkan perhatiannya. Seorang anak hiperaktif dengan ADD dinamakan ADHD. Keduanya dianggap sebagai bentuk ASD yang lebih ringan. Asperger 's

(19)

Syndrome adalah bentuk autis yang paling ringan karena mempakan anak-anak yang cerdas. Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara khas, tetapi memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan banyak kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger 's Syndrome bisa sangat ahli mengenai masalah mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya hal yang dibicarakan.

Gejala-gejala yang terlihat pada anak yang menderita autis adalah diare atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, adanya gas dan kembung, buang air besar yang berbau busuk dan bewarna lebih muda, dan kesulitan tidur setiap malam yang disebabkan oleh saluran usus yang mengalami gangguan sepanjang malam akibat asam lambung naik dan membakar esopaghus, yaitu tempat dilaluinya makanan menuju perut (Yuliana & Emilia E2006).

Menurut Acocella (1996) dalam Lubis MU. (2009), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :

1. Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada.

2. Kelemahan kognitif :

Anak autis sebagian besar (± 70%) mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh karena itu, retardasi mental pada anak autis, terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial.

3. Kekurangan dalam bahasa

Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau potongan kata yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sendiri sebagai orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya anak autis tidak

(20)

dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal

4. Tingkah laku stereotif

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan adanya kerusakan fisik, misalnya adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatan sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik pada bagian-bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

Menurut Handojo (2003), deteksi dini autis pada anak yang dianjurkan untuk diwaspadai oleh para orang tua adalah sebagai berikut :

1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi 2. Hiperaktif dan acuh kepada orang tua dan orang lain 3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya 4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang

Jenis-jenis

Menurut Faisal Y (2003) dalam Hidayat (2004), autisme terdiri dari tiga jenis yaitu persepsi, reaksi, dan yang timbul kemudian.

1. Autisme persepsi

Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat menimbulkan kecemasan.

2. Autisme reaktif

Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh dan mudah terpengaruh oleh dunia luar.

3. Autisme yang timbul kemudian

Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya kerena sudah melekat atau ditambah adanya pengalaman yang baru.

(21)

Sedangkan menurut Sari ID (2009), autis terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

1. Autisme klasik.

Autis sejak lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika (keturunan) (CDC 2000). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil, ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak janin.

2. Autisme regresif

Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Anak tadinya sudah bisa membuat kalimat dua sampai tiga kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata. Kalangan ahli menganggap autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling disorot.

Klasifikasi Autis

Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008) autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Seringkali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu, Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan

non verbal, aktivitas, konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :

a). Autis ringan

Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.

(22)

Tindakan-tindakan yang dilakukan, seperti memukulkan kepalanya sendiri, mengigit kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya.

b). Autis sedang

Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereotipik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

c). Autis berat

Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.

Etiologi dan Patofisiologi

Menurut Sari ID (2009), autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Faktor genetika

Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal tersebut diduga karena adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak selalu berada pada kromosom yang sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini.

(23)

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).

2. Kelainan anatomis otak

Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,

serebelum serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak. Kelainan khas juga ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif.

3. Disfungsi metabolik

Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis

(24)

mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan

neurotransmiter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan apel.

4. Infeksi Kandidiasis

Strain Candida ditemukan di saluran pencernaan dalam jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung

yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi

Candida albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. Tetapi Dr Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.

5. Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan gluten.

Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna pasien autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien.

Teori lain yang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri

(25)

dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Akan tetapi, semua faktor tersebut mungkin hanya merupakan pemicu, yang bisa terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat genetik. Teori yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan diantara berbagai teori tersebut.

Mekanisme Terjadinya Autis

1) Mekanisme Racun Logam Berat

Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam berat mengubah fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang berhubungan dengan sistem saraf pusat dan sekitamya. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam berat disebabkan oleh perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri dari elektron yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari molekul lainnya. Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi dengan oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila seseorang terpapar logam berat atau anak-anak memiliki defisiensi antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak jaringan di seluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003).

2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi

Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting. Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks antarasistem imun, kelenjar endoktrin, dan saluran pencemaan. Imun tubuh adalah pemimpin pertahanan tubuh menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus.

Sistem imun juga dapat membedakan antarmolekul asing (Foreign) dan molekul tubuh sendiri (self) dan menggerakkan sel-sel dan antibodi untuk menghadapi molekul asing. Sistem imun seharusnya bereaksi apabila ada masalah, tetapi anak autis mempunyai sistem imun yang malfungsi. Seringkali perubahan fungsi ini menyebabakan tubuh salah mengidentifikasi sel-sel sendiri dan molekul asing. Malfungsi ini menyebabkan terjadinya peradangan saluran cerna (McCandless 2003). Saluran cerna merupakan penghalang penting antara patogen yang datang dari luar dan organ-organ dalam, dimana

(26)

sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan.

3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran Cerna Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen, tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri pelindung (probiotik) usus. Diare kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab spektrum autis (McCandless 2003).

4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi

Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, terasuk sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome), sembelit yang kronis atau diare (Walsh 2003 dalam Yuliana & Emilia E 2006). Salah satu racun hasil sampingan ini adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali lubang di dinding usus yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan leaky gut. Racun-racun yang diproduksi oleh jamur ini benar-benar mengebor lubang-lubang pada dinding usus dan meresap ke dalam aliran darah anak. Substansi racun ini dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan rusaknya kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku. Sawar darah otak merupakan suatu dinding yang impermeabel. Sawar darah berfungsi melindungi otak dari berbagai gangguan yang dapat menyebabkan disfungsi otak.

Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus dapat menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang sehat akan mampu mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya ke dalam bentuk yang dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian diubah menjadi energi melalui metabolisme tubuh (McCandless 2003). Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicema berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E. 2004).

(27)

Lubang-lubang yang berukuran abnormal di antara dinding-dinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat beracun lainnya merembes memasuki aliran darah (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E. 2004). Racun-racun ini tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka sistem imun mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus yang masuk dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan oleh munculnya reaksi imun. Akan tetapi pecahan dinding sel patogen yang telah dihancurkan ini dapat menyebabkan peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri. Substansi racun tersebut dapat merusak bahkan melampaui kemampuan hati untuk membersihkan racun tersebut apabila terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Penumpukan patogen tersebut dapat menimbulkan kehilangan memori dan kebingungan.

Faktor Resiko Kejadian Autis

Penyebab autis secara pasti sampai saat ini belum diketahui. Para ahli hanya meyakini disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti: faktor genetik, abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal), polusi lingkungan, disfungsi imunologi, gangguan metabolisme (inborn error), gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas susunan syaraf pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi. Adapun faktor-faktor resiko yang diduga menjadi penyebab dari autis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tokoplasmosis

Tokoplasmosis yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa tokoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi parasit ini melalui makanan yang mengandung parasit. Ibu hamil yang mengalami keguguran berulang dapat dipastikan penyebabnya tokoplasma. Toplasmosis ibu dapat menyebabkan abortus, kematian janin, pertumbuhan janin terhambat, partus prematus dan kematian neonatal. Bayi yang terkena biasanya berat badan lahirnya rendah, memperlihatkan gejala penyakit neurologi dengan konvulasi, hidrocefalus atau

mikrocefalus dan kalsifikasi pada parenkim otak. Kalsifikasi pada parenkim otak dapat menyebabkan pertumbuhan sel-sel otak dan pembentukan cabang sel otak terhambat sehingga komunikasi antar sel

(28)

terganggu, sehingga di kemudian hari anak akan mengalami hambatan dalam perkembangan otak.

2. Pendarahan antenatal

Pendarahan antenatal adalah kondisi dimana ibu hamil mengalami perdarahan yang dapat disebabkan karena gangguan plasenta. Gangguan pada plasenta akan menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan glukosa pada janin. Suplai yang tidak mencukupi akan membuat perkembangan otak janin terganggu.

3. Hiperemesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang sering pada kehamilan trimester I yang menyebabkan keadaan umum menjadi buruk. Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi, kekurangan cairan yang diminum dan kekurangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraselular dan plasma serta natrium dan klorida dalam darah turun. Dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi sehingga aliran darah ke jaringan berkurang demikian pula aliran darah ke janin berkurang sehingga suplai oksigen dan glukosa untuk otak janin berkurang.

4. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

BBLR adalah suatu kejadian dimana berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR dapat disebabkan karena gizi yang kurang saat dalam kandungan. Bayi BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipoksia, keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga otak mengalami kerusakan pada periode perinatal.

5. Trauma lahir

Trauma lahir adalah trauma akibat pertolongan pada persalinan misalnya trauma karena tindakan forsep dan vakum. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, subdural hematon yang mengakibatkan gangguan otak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi gangguan aliran darah. 6. Asfiksia

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksi dapat terjadi selama kehamilan akibat

(29)

kondisi atau kehamilan yang diderita ibu seperti gizi yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung. Asfiksi dapat terjadi juga secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama persalinan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia dan hipoksia janin dan berkahir dengan asfiksia bayi.

7. Kejang demam

Kejang demam adalah keadaan dimana bayi mengalami kejang yang didahului oleh panas badan karena suatu penyakit infeksi yang diderita bayi. Kejang demam menyebabkan peningkatan metabolisme dalam tubuh, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan glukosa, oksigen, dan berkurangnya aliran darah otak sehingga terjadi gangguan sel. Apabila berlangsung lama dapat terjadi kerusakan neuron. 8. Mump, Measles, dan Rubella (MMR)

Vaksinasi MMR merupakan vaksin kombinasi yang terdiri dari vaksin hidup yang dilemahkan, yaitu vaksin campak, rubella, dan gondongan. Bahan pengawet vaksin menggunakan thimerasol, suatu senyawa merkuri organik yang telah lama digunakan sebagai pengawet dan stabilizer dalam vaksin. Efek kumulatif yang terjadi pada pemberian berbagai macam vaksin yang mengandung thimerasol dalam waktu singkat seperti pada program vaksinasi akan meningkatkan sensitivitas yang tinggi pada beberapa anak terhadap merkuri. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan merkuri adalah demielinisasi dendrit otak.

Berdasarkan hasil penelitian Muhartomo H (2004) dengan melakukan study case control diperoleh hasil bahwa perdarahan antenatal dan asfiksia lahir terbukti sebagai faktor resiko autis.

Jenis-jenis Terapi

Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autis selain terapi biomedis yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi-terapi tersebut diantaranya yaitu:

a. Terapi Wicara

Terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak autis berbicara lebih baik (Suryana 2004).

(30)

b. Terapi Perilaku

Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovass (Handojo 2003).

c. Terapi Okupasi

Terapi untuk melatih motorik halus anak autis. Terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan ototnya (Suryana 2004).

d. Terapi Bermain

Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan (Sutadi 2003).

e. Terapi Sensory Integration

Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang bermakna (Sutadi 2003).

f. Terapi Auditory Integration

Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna (Suryana 2004).

g. Terapi Pijat

Terapi pijat anak autis efektif memperlancar peredaran darah yang berfungsi mendistribusikan oksigen, nutrisi, dan mengangkut racun tubuh sehingga tidak mengendap dan menimbulkan penyakit. Fokus pemijatan untuk anak autis terletak di beberapa titik di bagian kepala, seperti seperti puncak kepala, tengkuk dibagian leher, pangkal tulang kepala dan area

sclap atau area puncak ke samping kepala bersambung kearah telinga. Orangtua yang cukup aktif melakukan pemijatan dalam waktu satu bulan memperlihatkan perkembangan anak yang cukup signifikan. Terlebih lagi jika terapi pijat diberikan lebih dini kepada anak karena titik meridian akupunkturnya masih mudah dibentuk sehingga aliran darah tetap stabil. Level pemberian terapi pijat, disesuaikan dengan kondisi anak. Satu seri akupuntur yaitu 10-12 kali dalam 1 minggu, tergantung tingkat keparahan. Level autis terparah membutuhkan terapi sampai 3 seri (Hoedijono S 2011).

(31)

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Data besar keluarga berdasarkan BKKBN 1998 dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu keluarga kecil yang terdiri dari ≤ empat orang, keluarga

sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga sebanyak ≥ tujuh orang.

Besar keluarga didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.

Kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga yang memiliki anggota lebih kecil. Hal ini terjadi karena, jika besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 2003).

Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004).

Tingkat pendidikan orang tua mempunyai korelasi positif dengan cara mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga. Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995).

Pendapatan

Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.

Penurunan pendapatan terkait erat dengan penurunan tingkat ketahahan pangan dan terjadinya masalah gizi kurang. Keterkaitan ketahanan pangan dan ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel dimana saat

(32)

terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan alokasi semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, alokasi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000).

Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk.

Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan akan membuat seseorang mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga meningkatkan pengetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai sesuatu. Jika peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan terjadi perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik.

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Menurut Paterrson dan Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan dan terdapat jenjang kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1989). Selain pengetahuan gizi, akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008).

(33)

Satu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kebutuhan energi, (3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003).

Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya kualitas makanan yang dikonsumsi.

Penyuluhan pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan.

Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek terkait di dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk mengetahui dampak intervensi penyuluhan gizi yang berupa berubahnya pengetahuan gizi seseorang. Penggunaan multiple choice test dapat dilakukan untuk mengukur berbagai aspek yang meliputi pemahaman terhadap suatu istilah, fakta yang spesifik, metode dan prosedur, penerapan suatu prinsip, dan sebab akibat (Khomsan 2000).

Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi pada tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategoriaan dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Menurut Khomsan (2000), untuk keseragaman maka digunakan cut off point sebagai berikut :

Tabel 1 Cut off point pengkategorian pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi Skor

Baik >80%

Sedang 60-80%

(34)

Kebiasaan Makan

Model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak yang dikembangkan oleh Lund dan Burk (1969), mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi karena ada motivasi (needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam proses kognitif mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk bertindak. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya mencakup tiga macam yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan sosial. Selain ketiga macam kebutuhan tersebut, ada faktor lain yang berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu pengetahuan dan kepercayaan anak-anak terhadap makanan dan sikap serta penilaian anak terhadap makanan (Suhardjo 1989).

Lund dan Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan keluarga yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Empat variabel utama yang perlu diperhatikan dari lingkungan keluarga mencakup pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan serta sikap keluarga terhadap makanan. Kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh variabel primer sosial ekonomi seperti status ekonomi keluarga. Sementara faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah yang dapat dianggap penting dalam menentukan pola kebiasaan makan anak-anak adalah pengalaman dan pendidikan di sekolah serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarkan (Suhardjo 1989) .

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).

Makanan sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, setiap makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh pada status gizi dan kesehatan. Makanan mengandung berbagai zat gizi yang penting yang dibutuhkan tubuh untuk kecukupan energinya, pertumbuhan, dan perkembangan, tingkah laku normal, terhindar dari berbagai macam penyakit, dan untuk perbaikan jaringan tubuh. Konsumsi harian zat gizi yang penting

(35)

dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al.

2004).

Cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik, budaya, dan sosial dikenal sebagai kebiasaan makan. Kebiasaan makan kadang-kadang disebut pola makan, kebiasaan pangan, atau pola pangan (Suhardjo 1989). Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh sangat besar terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut memiliki anak autis (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009).

Anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu.

Diet untuk Penderita Autis

Kunci kesembuhan anak autisme yang terbaik ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. ABA dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Salah satu penyebab autis adalah gangguan metabolisme, maka pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebagai salah satu metode intervensi biomedis. Makanan juga berguna untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh kembang (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).

Anak autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan. Kenyataan ini membuat saluran cerna sebagai organ sistem imun terbesar dalam tubuh manusia (McCandless 2003). Pola makan pada anak terutama anak autis harus

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi   pada Anak Autis di Kota Bogor
Tabel 2  Jenis, variabel dan cara pengumpulan data
Tabel 10  Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, alasan kedatangan, dan  keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan
Tabel  19    Distribusi  status  gizi  (indeks  BB/U  dan  TB/U)  contoh  berdasarkan  klasifikasi  autis
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PBI tentang Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu pada pasal 1 angka 10 yang

Seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pergeseran peran lingkungan keluarga ini berimbas pada proses pendidikan dan hasil pendidikan, dapat dilihat dari

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala keluarga dan minat belajar dengan

73.08 Structures (excluding prefabricated buildings of heading 94.06) and parts of structures (for example, bridges and bridge-sections, lock-gates, towers, lattice masts,

Kepada seluruh Pengurus Dewan Paroki Harian, Para Koordinator Wilayah, Ketua Lingkungan, Ketua Seksi, Kepala Bagian, Ketua Komunitas Kategorial dan Seluruh Pengurus OMK

Pada skripsi ini dirancang wireless air mouse sebagai alat bantu presentasi menggunakan sensor inersia yang terdiri dari akselerometer dan giroskop sebagai

Agar aktifitas yang dilakukannya lebih bermanfaat maka dari itu dengan membiasakan anak – anak membaca buku pop up cerita dongeng Cindelaras, yang diharapkan anak –