• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (Higler, 1997).

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Dhingra, 2007; Soetjipto et al, 2007).

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare m.kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dam.nasalis dan m.depressor septi (Hwang & Abdalkhani, 2009).

(2)

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Dhingra, 2007)

Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang dipisahkan oleh septum nasi. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau koana (Dhingra, 2007; Soetjipto & Wardani, 2007).

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka inferior dan dasar hidung dinamakan meatus inferior. Celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior (Soetjipto & Wardani, 2007).

Kavum nasi terdiri dari (Hwang & Abdalkhani, 2009; Dhingra, 2007; Soetjipto, 2007):

1. Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

(3)

2. Atap hidung: terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, prosesus frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.

3. Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.

5. Meatus nasi: diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

(4)

Gambar 2. Penampang Lateral Hidung (Dhingra, 2007)

2.1.2 Pendarahan Hidung

Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri

karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung (Dhingra, 2007)

2.1.2.1 Pendarahan arteri karotis interna

Arteri optalmikus yang berasal dari arteri karotis interna bercabang menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum bagian posterior dan dinding lateral hidung(Dhingra, 2007; Hwang & Abdalkhani, 2009).

2.1.2.2 Pendarahan arteri karotis eksterna

Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung melalui foramen

(5)

sphenopalatina yang terletak sebelah lateral ujung posterior konka media. Di dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi lateral nasal artery yang mendarahi dinding lateral hidung dan posterior septal nasal artery yang mendarahi septum nasi. Arteri karotis interna juga bercabang menjadi arteri fasialis lalu menjadi arteri labialis superior (Dhingra, 2007; Lee, 2008; Hwang & Abdalkhani, 2009).

Pada bagian anterior septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri spenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri labialis superior, arteri palatina mayor yang disebut plexus kieselbach. Letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan hidung (Dhingra, 2007).

Pada bagian posterior konka media terdapat anastomose arteri spenopalatina dan ascendeing pharyngeal artery (woodruff’s area). Daerah ini sering menyebabkan epistaksis posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Representasi skematis anatomi arterial normal region sinonasal. ACA mengindikasikan anterior cerebral artery; AEA, anterior ethmoidal artery; APA, ascending palatine artery; APhA, ascendeing pharyngeal artery; DPA, sescending palatine artery; ECA, external carotid artery; FA, facial artery; ICA, internal carotid artery; ILT, inferior lateral trunk; IMA, internal maxillary artery; OFA, orbotofrontal artery; OphA, ophthalmic artery; PEA, posterior ethmoidal artery; SLA, superior labial artery; SPA sphenopalatine artery

(6)

Gambar 3. Sistem pendarahan hidung (Willems, 2009)

2.1.3 Persarafan hidung

Bagian antero-superior rongga hidung dan septum mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior sedangkan bagian postero-superior rongga hidung dan septum oleh nervus etmoidalis posterior. Keduanya merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus. Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya ke bagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui foramen insisivus (Hwang & Abdalkhani, 2009; Lee, 2008). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Gambar 4. Sistem persarafan hidung (Dhingra, 2007)

(A) Lateral wall. Sphenopaltine ganglion situated at the posterior end of middle turbinate supplies most of posterior teo-thirds of nose. (B) nerves on the medial wall

(7)

2.1.4 Anatomi sinus paranasal

Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus. Sinus maksila memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat bagian yakni dinding anterior yang dibentuk dari permukaan wajah dari maksila dan berhubungan dengan jaringan lunak pipi. Dinding posterior berhubungan dengan bagian infratemporal dan fosa pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan bagian pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini dinding sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari maksila dibentuk dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila dan terletak kira –kira 1 cm di bawah dasar hidung (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani, 2009).

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Soejipto & Mangunkusumo, 2007)

Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun, etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).

Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid terbagi menjadi dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

(8)

Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis . Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kira –kira 15 % dari orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur 3 tahun ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

2.1.5 FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Soetjipto & mangunkusumo, 2000).

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,

(9)

melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal: A. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak

mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

B. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

C. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

D. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

(10)

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

F. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

2.1.6 Klasifikasi Tumor di Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

Secara garis besar tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terbagi atas dua yakni: (Bailey, 2006, Marentette et al, 2009, Lund et al, 2010).

1. Tumor Jinak 2. Tumor Ganas 1. Tumor Jinak Chondroma Craniopharyngioma Fibrous Dysplasia Inverted Papilloma Lymphangioma Meningioma Neurofibroma

(11)

Ossifying fibroma Osteoma Osteoblastoma Hemangioma Schwannoma 2. Tumor Ganas

Adenoid cystic carcinoma Basaloid carcinoma Chondrosarcoma Chordoma Esthesioneuroblastoma Fibrosarcorma Hemangiopericytoma Lymphoma

Malignant fibrous histiocytoma Osteosarcoma

Rhabdomyosarcoma Malignant schwannoma Sinonasal melanoma

Sinonasal undifferentiated carcinoma Squamous cell carcinoma

2.2 EPIDEMIOLOGI

Swamy & Gowda ( 2004) dalam penelitiannya dari tahun 2000 sampai dengan 2001 di Bangalore melaporkan 30 kasus tumor jinak hidung dan sinus paranasal dimana yang terbanyak adalah squamous papilloma sebanyak 4 kasus (13,33%), diikuti inverted papiloma (13,31%), hemangioma

(12)

(10%), ossifying fibroma (6,6%), Fibroma dan Fibrous dysplasia sebanyak 3,33%. Laki-laki memiliki kekerapan lebih tinggi (73,33%) dibanding perempuan (26,67%). Lokasi tumor terbanyak kavum nasi (66,66%), sinus paranasal ( 20%), septum (6%), hidung luar (6%).

Lund et al (2009) melaporkan osteoma adalah tumor jinak terbanyak yang ditemukan di hidung dan sinus paranasal. Osteoma biasanya muncul pada dekade ke -2 dan ke -6. Rasio lelaki dan perempuan 1,3 – 1 : 2.

Prevalensi inverted papiloma dilaporkan sekitar 0,5 – 4 % dari seluruh tumor hidung yang ada. Insiden berkisar antara 0,75 – 1,5 % dari 100.000 kasus pertahun. Laki – laki lebih banyak dari perempuan yakni sekitar 3 :1 dan lebih sering menyerang ras kaukasia. Inverted Papiloma sering menyerang dekade ke 5- sampai dekade 7 (Thapa , 2010). Tetapi, insiden bisa terjadi pada usia yang lebih muda, dilaporkan pada usia 10 tahun (Lyngdoh et al, 2006).

Hemangioma biasanya menyerang populasi perempuan dengan insiden tertinggi pada dekade ke-3. Lokasi hemangioma terbanyak pada porsi anterior di nasal septum dan bagian konka (Lund et al, 2010).

Tumor jinak biasanya menyebabkan obstruksi nasal seperti squamous papilloma yang berasal dari vestibulum. Inverted papiloma biasanya berasal dari dinding lateral dan tumbuh ke dalam hidung dan sinus. Hemangioma dari tipe kapiler berasal dari nasal septum sebagai polip yang berdarah. Fibroma biasanya jarang. Osteoma biasanya berasal dari sinus frontal dan jarang berasal dari sinus etmoid dan sinus maksilaris (Iqbal & Hussain, 2006).

Insiden tumor kavum nasi dan sinus paranasal (tumor ganas sinus parasanal) rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada wanita). Insiden tertinggi keganasan sinus parasanal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di Departemen

(13)

THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2005 sampai dengan Desember 2009 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 51 kasus terdiri dari 30 laki- laki dan 21 perempuan (Salim, 2010).

2.3 ETIOLOGI

Kavum nasi dan sinus paranasal merupakan daerah yang jarang untuk tumor di daerah kepala dan leher. Sejumlah faktor berupa paparan industri, termasuk nikel, kromium, debu kayu, kulit, formaldehide, minyak mineral, isopropil,radium,iradiasi dan merokok. Hubungan antara faktor makan dan keganasan dari kavum nasi dan sinus paranasal serta alkohol dan makanan diasinkan meningkatkan terjadi resiko. Selain itu, Human Papiloma virus (HPV) dianggap memiliki hubungan dengan inverted papiloma dan karsinoma sel skuamosa (Chukuezy & Nwosu, 2010).

2.4 Gambaran Klinis

Tumor yang berasal pada kavum nasi dan sinus paranasal merupakan tumor yang jarang. Gejala pada tumor bisa menjadi samar dan pasien sering didiagnosa dengan rinosinusitis. Keterlambatan yang signifikan pada diagnosa tumor ini terjadi sampai usaha pengobatan rinosinusitis dengan obat –obatan tidak berhasil ataupunditemukan pemeriksaan tambahan berupa anjuran pemeriksaan radiologi (Marentette et al, 2009).

(14)

Pada penelitian Swamy dan Gowda (2001) menemukan gambaran klinis terbanyak pada pasien tumor jinak yakni hidung tersumbat (56%), epistaksis (53%) dan hidung berair (50%).

Tanda dan gejala klinis pada pasien dengan tumor ini terbagi menjadi dua yakni gejala dini dan gejala lanjut. Tanda dan gejala klinis berupa epistaksis, hidung tersumbat dan hidung berbau. Hidung tersumbat di salah satu sisi merupakan indikator yang paling penting untuk membedakan tumor dengan penyakit peradangan di kavum nasi dan sinus paranasal. Epistaksis ringan maupun berat biasanya terjadi tumor ganas yang tidak berdefferensiasi dan karsinoma sel skuamosa (Marentette et al, 2009).

Gejala lanjut pada tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berupa parasthesia, gangguan penciuman, nyeri ketika membuka mulut, gangguan pendengaran, proptosis dan maloklusi. Parasthesia disebabkan karena tumor meluas ke cabang dari saraf trigeminal. Gangguan penciuman terjadi karena perluasan tumor di kedua kavum nasi, sedangkan proptosis disebabkan oleh invasi tumor ke orbita (Marentette et al, 2009). Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).

2.5 Diagnosis

(15)

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan adanya tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal meliputi pemeriksaan kepala dan leher yang komplit.

1. Kavum nasi dan sinus paranasal

Pemeriksaan dari kavum nasi dan sinus paranasal dapat menunjukkan adanya massa pada kavum nasi. Septum dapat ditandai sebagai tanda apakah terjadi deviasi kontralateral disebabkan karena ekspansi dari tumor karena erosi tumor biasa meluas ke daerah kontralateral. Pada evaluasi dengan endoskopi berguna pada tumor jinak seperti inverted papiloma untuk mengevaluasi mukosa dari tumor sehingga dapat dibedakan dibedakan dengan polip..

2. Kavum oris.

Gigi dan palatum perlu diperiksa untuk melihat apakah ada invasi ke maksila.

3. Wajah dan mata

Pembengkakan pada wajah, pipi dan kulit hidung merupakan indikasi bahwa tumor telah meluas ke dinding jaringan melalui dinding tulang anterior. Proptosis biasanya meluas melalui lamina papirasea menekan periorbital pada yang tumor jinak seperti mukokel dan bisa disebabkan karena keganasan yang melibatkan invasi intraorbital. Diplopia biasanya terlihat dengan proptosis dan kehilangan penglihatan dapat menjadi tanda terjadi keterlibatan penekanan saraf optikus.

4. Saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial merupakan kelanjutan dari invasi tumor di kavum nasi dan sinus paranasal. Gangguan saraf kranial olfaktorius (I) biasanya terjadi pada esthesioneuroblastomas. Saraf kranial lain melibatkan saraf optikus (II), saraf okulomotorius( III), saraf trokhlearis

(16)

(IV), saraf abdusen ( VI) dan supraorbital serta cabang maksilaris dari saraf trigeminal.

5. Penemuan fisik lain

Penemuan fisik lain yang dapat bisa berupa otitis media serosa karena keterlibatan tuba eustahius dan massa di leher karena metastase tumor ke kelenjar getah bening (Mandpe, 2008 ).

2.5.2 Radiologi

Deteksi dengan tomografi komputer pada kavum nasi dan sinus paranasal (CT scan) lebih akurat daripada foto polos untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinus paranasal dan dengan simptom persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan potongan aksial dan koronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinus paranasal dan dasar tomografi tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid (Bailey, 2006).

MRI dipergunakan untuk membedakan tumor sekitar dengan jaringan lunak, membedakan sekresi di dalam kavum nasi dan sinus paranasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan pencitraan pada potongan sagital dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. MRI potongan koronal dipergunakan untuk mengevaluasi foramen rotundum, kanal vidian, foramen ovale dan kanal optik. Potongan sagital berguna untuk menunjukkan pergantian sinyal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave berintensitas tinggi pada lemak di dalam fossa pterigopalatina oleh sinyal tumor yang mirip dengan otak (Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).

(17)

Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk menetukan stadium dan angka ketahanan hidup. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomi yang jelas membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor (Bailey, 2006).

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal (Roezin, 2007).

2.6 Tumor Jinak Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

Chukuezy dan Nwosu (2010) pada penelitiannya selama 10 tahun di Nigeria melaporkan tumor jinak lebih banyak dibandingkan tumor ganas, yakni sekitar 58,97%. Tumor jinak terbanyak yang ditemui adalah hemangioma (30,78%), inverted papiloma (15,38%), epitelial papiloma (5,13%). Sementara London et al (2002) menemukan osteoma adalah tumor jinak tebanyak yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi.

Barandafar et al (2006) pada penelitiannya pada 105 pasien di tahun 1997 – 2003 menemukan tumor jinak terbanyak adalah inverted papiloma (24 pasien), lesi fibroseus ( osteoma, fibrous dysplasia, ossyfing fibroma ) sebanyak 23 pasien dan hemangioma sebanyak 6 pasien.

Chuekezy dan Nwosu (2010) menemukan penderita tumor ganas sebanyak 51,28% pria dan 48,72% adalah perempuan dengan rasio 1,1 : 1. Swamy (2004) melaporkan penelitiannya terhadap 30 orang , menemukan jenis kelamin terbanyak adalah pria 22 orang dan wanita 8 orang. Dengan tempat tumor terbanyak di kavum nasi 66,6%, sinus paranasal 20 %, septum 2%, hidung bagian luar 2%. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah sumbatan hidung (51 %), massa si hidung (47%), epistaksis (38%), hidung berair (25% dan pipi bengkak sebanyak 8% (Iqbal & Hussain, 2006),

(18)

sedangkan penelitian lain oleh Swamy et al ( 2004) menemukan sumbatan di hidung (56,6%), hidung berair (50%), massa di hidung (40%) dan epistaksis (50 %).

2.6.1 Inverted papiloma

Inverted papiloma didefinisikan sebagai tumor jinak epitelial yang terdiri dari diferensiasi sel epitel kolumnar atau sel epitel silia respiratori yang memiliki variabel diferensiasi skuamosa. (Thapa, 2010). Tumor ini sangat menarik, karena meskipun jinak, tumor ini memiliki kecenderungan untuk rekuren dan cenderung menjadi ganas (Lund et al, 2009).

Insiden terjadinya belum pernah dilaporkan sebelumnya pada studi epidemiologi pada grup populasi normal. Inverted papiloma berkisar 0,5-4% dari tumor hidung yang dioperasi dengan onset umur berkisar antara 15 -96 tahun dengan insiden tertinggi pada dekade ke 5 dan 6 (Lund et al, 2009). Tempat tersering dari inverted papiloma adalah dinding lateral dari kavum nasi, dan dinding medial dari sinus maksila, meskipun demikian bisa ditemui di sinus lainnya.(Thapa, 2010).

Gejala yang ditimbulkan meliputi sumbatan hidung, epistaksis, hidung berair, dan sinusitis yang rekuren. Meskipun gejala tersering dari tumor ini adalah sumbatan hidung yang unilateral. Keterlibatan kedua sinus dilaporkan sebanyak 1-9% pada pasien dengan inverted papiloma (Thapa, 2010 ; Iqbal et al, 2008).

CT Scan diperlukan untuk melihat adanya erosi tulang sehingga dapat memberitahukan kepada kita kemungkinan untuk terjadinya keganasan. Sedangkan MRI sangat penting untuk membedakan mukus atau papiloma lainnya. (Lund et al , 2009).

Secara histopatologis, inverted papiloma berupa penebalan lapisan epitel dengan invaginasi kriptiform yang ditopang oleh stroma. Klasifikasi epitel terdiri atas skuamus, transisional dan tipe apikal. (Kim, 2001).

(19)

Klasifikasi inverted papiloma menurut Han et al :

Stadium Perluasan

Stadium 1 Tumor terbatas di kavum nasi, dinding hidung lateral sinus maksila medial, sinus etmoid dan sinus sfenoid .

Stadium 2 Seperti stadium 1 kecuali tumor meluas dari lateral ke dinding medial maksila

Stadium 3 Tumor telah melibatkan sinus frontal

Stadium 4 Tumor telah meluas keluar dari sinus ( orbita dan intra kranial)

Penanganan inverted papiloma meliputi rinotomi lateral atau midfacial degloving dan pendekatan secara endoskopik (Thapa, 2010).

2.6.2 Tumor Fibro-oseus dan tulang

Tumor fibro-oseus termasuk tumor jinak dengan abnornalitas tulang yang dapat terjadi di region kavum nasi dan dan sinus paranasal. Tumor fibro-oseus ini terbagi menjadi tiga grup besar yakni Fibrous dysplasia, ossifying fibroma dan osteoma. Etiologi sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti (Lund et al, 2009).

Insiden pada fibrous dysplasia biasanya terjadi pada dekade pertama dan kedua dari kehidupan dimana laki-laki dan perempuan memiliki rasio yang sama. Pada ossifying fibroma biasanya terjadi pada dekade kedua dan keempat dari kehidupan. Dimana rasio antara laki-laki dan perempuan sebesar 1:5. Pada osteoma dengan rasio antara laki-laki dan perempuan antara 1,5-1 sampai 3,1-1. Osteoma dapat di temukan pada semua usia, namun sering ditemukan pada dekade ketiga dan keempat kehidupan (Lund et al , 2009).

(20)

Gejala paling sering yang dikeluhkan pasien pada fibrous dysplasia adalah ketidaksimetrisan wajah yang diikuti rasa nyeri, gejala okuler dan gangguan neurologis. Pada diagnosis fibrous dysplasia ditegakkan dengan CT Scan yakni tampak gambaran groundglass pada tulang. Penanganan pada kasus fibrous dysplasia berupa pembedahan yaitu pembedahan dengan bantuan endoskopik. Sedangkan pada ossifying fibroma gejala bergantung pada perluasan tumor. Gejala meliputi nyeri pada wajah, pembengkakan pada wajah, sumbatan di hidung, gejala okuler dan rinosinusitis kronis. Draft et al melaporkan bahwa penanganan ossifying fibroma berupa pembedahan dengan endoskopik sehingga mengurangi terjadi komplikasi (Lund et al, 2009).

Gejala juga bergantung pada perluasan tumor. Sejumlah penulis melaporkan bahwa osteoma menimbulkan gejala orbita seperti diplopia, epifora, bahkan sampai kebutaan . Penanganan berupa pembedahan dengan endoskopik.(Lund et al, 2009).

2.6.3 Hemangioma

Hemangioma adalah tumor jinak pada hidung yang etiologinya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Etiologinya dihubungkan dengan kehamilan, kontrasepsi oral dan trauma (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008). Gejala paling sering dari hemangioma adalah hidung tersumbat dan hidung berdarah. Hemangioma kadang – kadang sulit dibedakan dengan polip yang berdarah dan polip angimatous . Hemangioma paling sering terjadi di anterior nasal septum (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008).

Hemangioma bisa terjadi pada semua dekade, tetapi insiden paling tinggi pada dekade ketiga dari kehidupan dan lebh sering mengenai perempuan dibanding laki – laki (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008) Secara makroskopis, hemangioma digambarkan sebagai lesi polipoid dengan permukaan yang licin (Lazar et al, 2004) sedangkan secara histopatologis, hemangioma

(21)

digambarkan sebagai vaskularisasi sub mukosal pada lobus ataupun kluster yang terdiri dari kapiler – kapiler sentral (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008). Penatalaksanaan dari hemangioma adalah eksisi luas dari tumor termasuk batas dari mukosa sehat dan perikondrium (Lazar et al, 2004).

2.7 Tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal

Fansula dan Lasisi (2007) pada penelitian menemukan 59,42% dari 138 tumor ganas sinus parasanal selama periode 1996 sd 2006. Pada penelitian ini, ditemui 56(68,29%) laki- laki dan 26 (31,71%) perempuan. Usia sekitar 4 sd 69 tahun dengan umur rata- rata 4- 69 tahun.

Analisis histopatologis menjelaskan bahwa sekitar 91,46% adalah tumor ganas epitelial dan 8,54% adalah tumor non epiehelial. Karsinoma sel skuamosa sekitar 90,67 % dari tumor epitelial dan 82, 93 % dari tumor ganas sinus parasanal sedangkan Rhabdomyosarcoma sekitar (14, 29%) dari sekitar tumor non epitelial (Fansula & Lasisi, 2007)

Gambaran dari tumor ganas sinus parasanal 55% dari sinus maksilaris, 35% dari kavum nasi, 9% dari sinus etmoid, dan sisanya berasal dari sinus frontal dan sinus sfenoid (Fansula & Lasisi, 2007). Pada penelitian, ditemui 92 % dengan kasus karsinoma sel skuamosa , dimana adenokarsinoma sekitar 10 -25 % dari seluruh keganasan dan limfoma sekitar 57,14% dari seluruh keganasan non epitelial di sinus paranasal. Iqbal (2006) pada penelitiannya yang dilakukan di tahun 1995 sd 1998 menemukan bahwa 85% adalah karsinoma sel skuamosa dan 60 % ditemui di maksila, 30 % di kavum nasi dan 10 % melibatkan sinus etmoid. Adenokarsinoma biasanya ditemui pekerja kayu dan 5 – 20% dari tumor ganas sinonasal melibatkan sinus etmoid. Gejala yang paling sering dari tumor ganas sinus parasanal adalah sumbatan hidung (42%), diikuti epistaksis (31%) dan nyeri wajah (27%).

(22)

Karsinoma sel skuamosa merupakan karsinoma tersering yang ditemukan pada keganasan di sinus paranasal (Bailey, 2006)

Karsinoma sel skuamosa terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), kavum nasi (sekitar 10-15%), sinus sfenoidalis dan frontalis sekitar 1% (Dhingra, ; Adams, 1997).

Secara histopatologis, karsinoma sel skuamosa dibagi menjadi 2 tipe yakni : keratinizing dan non keratinizing. Dalam karsinoma sel skuamosa keratinizing, sel tumor menunjukkan keratinisasi antar jembatan dan gambaran seperti mutiara. Sel tumor biasanya memiliki inti membesar, hiperkromatik, dengan inti anaplastik. Sedangkan pada karsinoma sel skuamosa non keratinizing berbentuk padat, bersarang dengan ukuran bervariasi, sering dengan perbatasan yang smooth. Sel tumor secara individual menunjukkan inti besar yang seragam, bulat atau oval dengan nukleolus yang menonjol (Thomson, 2006).

2.7.2 Undifferentiated Carcinoma

Tumor ini sangat jarang dan sangat agresif berdiferensiasi menunjukkan pleomorphism dan nekrosis. Pada pasien dengan tumor ganas sinus parasanal berdiferensiasi, gejala biasanya sulit dibedakan dengan tumor lain. Umur rata – rata pada pasien ini biasanya pada dekade ke- 6 dan dengan predominan laki – laki sebagai penderita terbanyak. Secara histopatologis, Sel-sel tersebut diatur dalam sarang, lobulus dan lembaran tanpa diferensiasi skuamosa atau kelenjar. Sel-sel memiliki rasio nuklir untuk sitoplasma tinggi dengan medium sampai besar inti yang dikelilingi oleh sedikit sitoplasma. Nukleolus biasanya menonjol dan yang paling sering adalah comedonekrosis. Angka mitosis biasanya meningkat. Invasi limfe- vaskular biasanya sering ditemukan (Thomson, 2006).

(23)

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di Negara barat, umumnya dijumpai di negara-negara Asia. Karakteristik morfologi dari limfoma ini adalah nekrosis masif dan apaptosis, serta di jumpai infasi pembuluh darah dan angiodestruksi oleh sel neoplastik. Sel ini agak memanjang dengan inti slender dengan inti kromatin. Sel-sel ini biasanya dijumpai dengan sel-sel blastoid (Kitamura et al, 2005).

2. 7.4 Adenokarsinoma

Adenokarsinoma pada sinus paranasal dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simptom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Abecasis et al, 2004 ).

Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).

2.7.5 Melanoma Maligna

Melanoma maligna dari mukosa sinus adalah penyakit yang jarang dan memiliki angka kehidupan yang rendah. Diagnosis sering terlambat dikarenakan onset yang tiba-tiba dan pasien telah datang pada stadium lanjut. Tumor biasanya sangat jarang berasal dari sinus paranasal dibandingkan kavum nasi. Secara histopatologis kebanyakan sel dengan eosinofil dalam jumlah banyak dengan sitoplasma yang mengelilingi inti menunjukkan inti eosinofil ataupun sel spindle (Lund et al, 2009).

(24)

2.7.6 Penatalaksanaan tumor ganas 2.7.6.1 Pembedahan

Jaringan dapat diambil dengan bantuan pembedahan endoskopik sinus atau melalui prosedur transkutan/ trans oral seperti pada antrostomi Caldwell-Luc dan rinotomi. Prosedur endoskopik dipilih dengan alasan untuk mendapatkan akses yang baik pada operasi dan kontrol hemostatik yang baik sehingga dapat menurunkan morbilitas dan tidak mengkontaminasi jaringan lunak lainnya (Bailey, 2006)..

2.7.6.2. Drainase/Debridement

Drainase adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).

2.7.6.3 Reseksi Tumor

Pembedahan dengan reseksi selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Eksisi paliatif dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi yang besar, atau untuk membebaskan penderita dari perasaan minder akan pembesaran tumor tersebut. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinus parasanal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam pencitraan preoperatif, intraoperative image-guidance system,instrumen dengan endoskopik dan material untuk hemostasis, teknik endonasal untuk mengangkat tumor kavum nasi dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam rongga kavum nasi, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. (Nicolai et al, 2008 ; Lund et al, 2007; Bailey, 2006; Zinreich, 2006).

(25)

2.7.6.4 Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan prosthesis pada gigi atau rekontruksi dengan bantuan flap seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous dan flap kutaneus (Bailey, 2006).

2.7.6.5 Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

2.7.6.6 Kemoterapi

Kemoterapi untuk penanganan pada tumor dari daerah kavum nasi dan sinus paranasal biasanya berupa terapi paliatif, menggunakan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan sumbatan. Samant et al pada tahun 2004 melaporkan penggunaan cisplatin intra-arteri dengan radiasi konkomitan pada pasien dengan tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal dengan angka ketahanan hidup kira –kira 53%. Pasien dengan prognosa yang buruk yang tidak bisa dilakukan tindakan operasi sebaiknya menggunakan protokol kombinasi kemoterapi dan radiasi (Bailey, 2006). 2.8 Klasifikasi TNM dan Sistem Staging Tumor Ganas

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium, yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi AJCC 2010 yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk

(26)

sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Definisi sistem TNM nya adalah sebagai berikut.

Sinus maksila

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor terbatas pada sinus maksila

T2 : Tumor menyebabkan erosi tulang termasuk palatum durum dan meatus media, tanpa

penyebaran ke dinding posterior sinus maksila.

T3 : tumor menginvasi dinding posterior sinus maksila, jaringan subkutaneus, dinding medial dan dasar orbita, fossa pterygoid, sinus etmoid.

T4a : tumor menginvasi dinding anterior orbita, kulit pipi, fossa intratemporal, lempeng pterygoid, plate cribiformis, sinus frontal dan sfenoid .

T4b : Tumor menginvasi atap orbita, dura, kranial, fosa media kranial, saraf kranial.

Kavum nasi dan Sinus etmoid

Tis : Carcinoma in situ

T1 :tumor terbatas pada satu sisi,

Regional Lymph Nodes (N)

N0 : tidak ada penyebaran ke KGB leher

N1 : Metastase single KGB leher ipsilateral, dengan ukuran ≤ 3cm N2a : metastase ke single KGB leher ipsilateral, dengan ukuran 3≤x<6 cm

N2b : metastase ke multiple KGB leher ipsilateral, dengan ukuran 3≤x<6 cm

N3 : metastase ke single/multiple KGB leher, dengan ukuran ≥ 6 cm

Distant Metastasis (M)

M0: tidak ada metastase jauh M1 : ditemukan metastase jauh

STAGE GROUPING 0 Tis N0 M0 I T1 N0 M0 II T2 N0 M0 III T3 N0 M0 T1 N1 M0 T2 N1 M0

(27)

dengan atau tanpa destruksi tulang.

T2 : tumor menginvasi dua sisi termasuk complex nasoethmoidal, dengan atau tanpa destruksi tulang.

T3 : tumor meluas ke dinding medial dan dasar orbita, sinus maksila, palatum atau plate cribiformis.

T4a : tumor menginvasi orbita anterior, kulit dari hidung dan pipi, ekstensi minimal dari fossa kranial anterior, plate pterygoid, sinus sfenoid dan frontal.

T3 N1 M0 IVA T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N2 M0 T4a N2 M0 IVB T4b Any N M0 Any T N3 M0 IVC Any T Any N M1

(28)

2.9 Kerangka Konsep

Kotak biru = variabel dalam penelitian

Faktor predisposisi: • Alkohol • Merokok Etiologi : • Virus • Karsinogen lingkungan • Hormonal

Tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus parasanal. • Pembedahan • Kemoterapi • radioterapi Tumor Jinak Pembedahan Tipe Histopatologis Tumor ganas • Jenis Kelamin • Umur • Suku bangsa • Keluhan Utama • Lokasi tumor

Gambar

Gambar 2. Penampang Lateral Hidung (Dhingra, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

&amp;at golongan ini dikenal +uga dengan nama golongan statin dan digunakan untuk menurunkan kolesterol dengan 1ara menurunkan ke1epatan produksi LDL :kolesterol

Sedangkan hadis mudalas adalah apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan pengencer skim kuning telur, tris kuning telur dan Andromed ® dapat

Maka diperlukan perancangan antenna dipole yang dapat meningkatkan jangkauan pada frekuensi 2,4 GHz dengan menggunakan software Ansoft HFFS 14.0 dari antena chip

Apakah Anda memerlukan balikan berupa contoh silabus dan RPP IPA (beserta segala kelengkapannya)? Suplemen Unit 4 ini dirancang untuk menyediakan contoh silabus

SNI Wajib di bidang pertanian (beserta produk yang berbasis karet) sudah tersedia di beberapa lingkup, seperti minyak goreng sawit, tepung terigu, gula, pemanis buatan,

Makna pappaseng tomatoa dalam masyarakat Bugis Sinjai tentunya mengandung hal-hal yang baik dan berguna bagi kehidupan, tentunya dalam lontara pappaseng yang ada

Menurut ideologi domestikasi, bahwa penerjemahan yang benar, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan teks