• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RELEVANSI KITAB AYUB DENGAN PENDAMPINGAN PASTORAL KEDUKAAN. sampai kehilangan yang sangat menyesakkan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV RELEVANSI KITAB AYUB DENGAN PENDAMPINGAN PASTORAL KEDUKAAN. sampai kehilangan yang sangat menyesakkan."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

54

BAB IV

RELEVANSI KITAB AYUB DENGAN PENDAMPINGAN PASTORAL KEDUKAAN

Pengertian kedukaan.

Setiap manusia pernah mengalami kehilangan. Kehilangan dapat terjadi mulai dari yang dianggap remeh dan sederhana, misal kehilangan uang receh sampai kehilangan yang sangat menyesakkan.

Kehilangan dapat berupa berujud banyak, mulai dari dari hal-hal kecil sampai hal yang menyangkut kehidupan. Kehilangan dapat berupa sakit, baik yang ringan maupun yang tak tersembuhkan, yang menyebabkan kehilangan kesehatan. Kehilangan dapat berupa kematian dari orang-orang di sekitar kita dan orang-orang terdekat. Kehilangan dapat melanda seluruh aspek kehidupan manusia.

Kehilangan menimbulkan kedukaan. Kamus webster’s ninth New Collegiate Dictionary, kata grief (kedukaan) berarti a deep and poignant distress caused by or as if by bereavement, kedukaan adalah penderitaan batin yang sangat dalam karena peristiwa kehilangan. Kedukaan adalah reaksi terhadap suatu kehilangan.

Baker Encyclopedia of Psychology, memberi definisi bahwa kedukaan (grief) adalah the cognitive anda emotional process of working throught a significant loss, kedukaan adalah proses kognitif (pikiran, logika) dan emotif

(2)

55

(perasaan) dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang berharga. Totok Wiryosaputra (2003) menambahkan bahwa bukan hanya kognitif dan emotif, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, mental: kognitif dan mental, spiritual dan sosial).

Robert E. Neale dalam Loneliness: Depression, Grief, and Alienation, mengutip pendapat Maris tentang kedukaan. Kedukaan adalah akibat dari suatu kehilangan dan merupakan proses peralihan dari situasi terkejut dan ketidakmampuan melupakan masa lalu menuju situasi sedih yang sangat dalam atas peristiwa kehilangan itu, kemudian berusaha memanfaatkan apa yang berharga pada masa lalu sebagai dasar pola hubungan yang baruyang berguna. Maris menggambarkan kedukaan sebagai suatu proses peralihan dari tahap terkejut, tidak dapat menerima kenyataan dan merasakan kesedihan yang sangat dalam sampai mencapai keseimbangan yang baru: bertumbuh.

Granger Westberg (1971) menyebut kedukaan sebagai nafas. Kedukaan seperti gerakan simultan dalam bernafas, ada nafas ringan, ada nafas berat. Demikian juga dengan kedukaan, ada kedukaan ringan dan ada kedukaan berat. David A. Tomb (1981) menyebutkan kedukaan sebagai sebuah reaksi normal terhadap peristiwa kehilangan atas sesuatu yang berharga. Ia mengartikan kedukaan kecil sebagai kedukaan normal dan kedukaan besar sebagai kedukaan abnormal atau kedukaan yang tidak terpecahkan.

Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika sedang mengalami peristiwa kehilangan. Kedukaan bukan hanya

(3)

56

merupakan tanggapan seseorang secara kognitif dan emotif terhadap kehilangan, tetapi juga merupakan tanggapan secara holistik terhadap kehilangan atas sesuatu yang dianggap bernilai, berharga atau penting. Tanggapan secara holistik berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia: fisik, mental, spiritual dan sosial. Kedukaan merupakan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya sebagai satu kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah peristiwa kehilangan yang terjadi.1

Kedukaan adalah fakta universal. Kedukaan adalah fakta dalam kehidupan manusia dalam semua kurun waktu, budaya, ras, maupun agama. Kedukaan adalah proses normal dalam kehidupan manusia. Orang yang berduka akan melewati proses kedukaan (normal grief) dengan wajar pada kurun waktu tertentu.2 Proses kedukaan dapat dikatakan selesai apabila orang yang berduka sudah dapat mengingat dan menceriterakan dengan jelas peristiwa kehilangan tanpa perasaan sedih atau dalam penderitaan batin dan dapat menyesuaikan diri lagi dengan kehidupan barunya secara normal. Orang yang telah menyelesaikan kedukaaannya berarti telah mengalami pengalaman kedukaan secara penuh dan utuh.3

Kedukaan bisa menjadi kedukaan yang tidak normal ( pathological grief) apabila orang yang berduka tidak mampu mengelola kedukaannya, sehingga hidupnya terganggu. Gangguan itu dapat berupa perubahan perilaku, tindakan

1 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan Duka (Yogyakarta: Kanisius, 2023), 24-25.

2 Totok S. Wiryasaputra memberikan ancar-ancar waktu sekitar 1 tahun,ibid, sedangkan Yakub B. Susabda memberikan batas waktu paling lama 3 tahun (Yakub B. Susabda, Pastoral

Konseling,jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 2008).

(4)

57

yang berbeda sesudah dan sebelum peristiwa kehilangan. Biasanya gejala-gejala kedukaan patogenik muncul secara berkepanjangan. Kedukaan patogenik menunjuk pada kedukaan normal yang berubah menjadi kedukaan yang tidak terselesaikan (unresolved grief). Kedukaan patogenik adalah kedukaan yang menjerat sehingga orang tidak dapat melepaskan dari keterikatan emosinya dengan yang hilang.4

C.M. Parker menyebutkan ada empat fase yang umumnya dialami oleh setiap orang yang berduka:5

1. Fase numbness. Fase yang berupa pengalaman shock atas berita kehilangan, diikuti dengan masa di mana realita kehilangan itu belum dapat menyentuh dan menggerakkan emosi. Pada fase ini rasio dan emosi belum bekerja secara harmonis, salah satu bentuknya adalah penduka berusaha menangis tetapi air mata belum dapat keluar. Fase ini biasanya terjadi pada kehilangan secara mendadak.

2. Fase Yearning. Fase di mana penduka mencoba mengatasi realita kehilangan. Hal ini bisa diekspresikan dalam bentuk penyangkalan diri (denial), tawar menawar (bargaining), menutup diri (isolation).

3. Fase disorganization dan despair. Pada fase ini penduka mulai menyadari realita yang tidak dapat diubah dan tidak ada lagi tuntutan untuk membatalkan realita tersebut.

4. Fase reorganization. Fase penyesuaian dengan kondisi yang baru

4 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling,jilid 2, buku Pegangan untuk Pemimpin Gereja (Malang: Gandum Mas, 2008), 100.

(5)

58

Faktor –faktor yang memengaruhi kedalaman kedukaan.kedalaman kedukaan dipengaruhi: pertama, obyek yang hilang: kasat mata (maujud) dan tidak kasat mata (mujarad). Semakin bernilai obyek yang hilang semakin dalam kedukaan yang ditimbulkan dan kehilangan yang tidak kasat mata lebih mendalam daripada yang kasat mata. Kedua, cara kehilangan: biasa atau tragis. Kehilangan secara tragis menimbulkan kedukaan yang lebih dalam dibandingkan kehilangan secara biasa. Ketiga, jangka waktu kehilangan: sementara atau selamanya. Kehilangan untuk waktu selamanya menimbulkan kedukaan yang lebih dalam dibandingkan kehilangan untuk sementara. Keempat, lapisan kedukaan: tunggal atau bertumpuk. Kedukaan yang disebabkan karena kehilangan secara bertumpuk, lebih dalam dibandingkan yang tunggal. Kelima, nilai obyek yang hilang: rendah atau tinggi. Semakin tinggi nilai obyek yang hilang menimbulkan kedukaan yang lebih dalam dibanding yang rendah.6

Orang yang mengalami kedukaan membutuhkan pendampingan. Pendamping yang dibutuhkan adalah orang yang mampu mengerti, mampu mendengar, dan memperhatikan (caring) dibanding dengan nasehat-nasehat verbal. Pendamping akan mampu mendampingi orang yang berduka (terdamping) apabila mampu:7

1. Mendorong terdamping untuk mengekspresikan dengan perasaan dan pikirannya atas kehilangan yang dialami. Mampu mengerti apa yang

6 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif Mengelola Perasaan Duka (Yogyakarta: Kanisius, 2023), 27.

7 Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling, buku Pegangan untuk Pemimpin Gereja (Malang: Gandum Mas, 2008), 104-105.

(6)

59

dirasakan dan dipikirkan terdamping akan menjadi modal bagi terdamping untuk berani menghadapi realita.

2. Terdamping dapat merasakan bahwa pendamping menyertai dan siap membantu. Kehadiran pendamping dengan maksud siap membantu pada saat dibutuhkan.

3. Pendamping mampu menempatkan diri sebagai pendengar dan teman bicara. terdamping dalam kedukaannya ingin mengungkapkan pikiran dan perasaannya berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya. Diperlukan pendamping yang mau dan mampu mendengar tanpa interupsi dan tanpa keinginan untuk cepat-cepat memberi jawab, resep dan nasehat, teguran-teguran.

Pengertian dan fungsi pendampingan pastoral.

Kata pendampingan umumnya dikaitkan dengan kata care yang artinya asuhan, perawatan, penjagaan, perhatian penuh. Istilah pastoral berasal dari bahasa Latin pastor, yang berarti gembala. Jika kata ini dikaitkan dengan pelaku atau seseorang yang bersifat pastoral artinya seseorang yang mempunyai sifat gembala, yang bersedia merawat, menjaga, memelihara, melindungi dan menolong orang lain. Pendampingan pastoral mempunyai arti sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang yang bersedia untuk memberikan perhatian, perawatan, pemeliharaan, perlindungan kepada seseorang yang membutuhkan.

Bagi umat Kristen, Tuhan Yesus menjadi acuan dan ukuran dalam melakukan tindakan pastoral. Beberapa kali Tuhan Yesus diperkenalkan sebagai sebagai gembala yang baik (Yohanes 10). Makna gembala yang baik adalah

(7)

60

seseorang yang lemah lembut, yang bersedia menjadi penolong, pemelihara manusia, sekaligus pada waktu yang sama memberikan kebebasan kepada manusia yang ditolongnya untuk mengambil sikap dan mengambil keputusan sendiri. Tuhan Yesus memandang manusia yang ditolong dan didampingi-Nya sebagai pribadi yang utuh.8

Aart Van Beek memberikan pengertian pendampingan pastoral adalah suatu kegiatan kemitraan, bahu membahu, menemani, berbagai dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan yang bersifat pastoral. Pendampingan pastoral merupakan bentuk pertolongan kepada sesama yang utuh mencakup jasmani, mental, sosial dan spiritual (Aart Van Beek, 2007).

William A. Clebsch memberi pengertian pendampingan pastoral (pastoral care) sebagai tindakan pelayanan pertolongan yang dilakukan orang Kristen yang memiliki kemampuan, yang bertujuan untuk menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), mengarahkan (guiding) dan memulihkan (reconsciling) orang yang memiliki masalah yang ultima (ultimate meaning).

Penyembuhan adalah fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Setiap orang yang mengalami penderitaan tidak dapat menerima apa yang terjadi terutama perubahan dari fungsi hidupnya. Luka batin, kerusakan tubuh seringkali tidak memampukan seseorang menerima keadaannya dengan baik,

8

Aart Van Beek, Konseling Pastoral, Sebuah Buku Pegangan bagi Para Penolong di

(8)

61

mereka merasa tidak berguna dengan keadaan yang dialami. Fungsi penyembuhan menyakinkan kembali bahwa masih ada pengharapan baru didalam kerusakan tubuhnya atau luka batinnya.

Penopangan berarti, menolong orang lain yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya. Penopangan dilakukan supaya orang yang mengalami penderitaan berat tidak mudah kehilangan keyakinannya terutama kepada Tuhan. Seseorang yang sudah tua dan mengalami penyakit menahun seringkali menghadapi situasi yang demikian. Oleh karena itu bagi yang menderita dan orang-orang terdekat ditopang supaya mampu mempertahankan semangat hidupnya, agar tetap bertahan dalam pengharapannya.

Pembimbingan, berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Seseorang yang mengalami penderitaan baik kehilangan anggota tubuhnya, kehilangan keluarganya, kehilangan harta bendanya seringkali mengalami situasi sulit untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kebanyakan seseorang yang kehilangan tidak siap menerima perubahan yang terjadi akibatnya mereka menjadi kehilangan arah. Fungsi pembimbingan memampukan mereka yang kehilangan agar dapat menentukan pilihan yang paling baik untuk kelanjutan hidupnya.

(9)

62

Pendamaian, berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.

Howard Clinebell menambahkan satu fungsi pendampingan pastoral yaitu: pemeliharaan atau pengasuhan (nurturing). Pengasuhan bertujuan untuk memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang kehidupan manusia.

Di sisi lain, menurut Totok S. Wiryasaputra di dalam bukunya Ready to Care, Pendampingan dan Konseling Psikologi, manusia dapat dipahami sebagai mahluk holistik dan mahkluk perjumpaan.

Manusia sebagai mahkluk holistik adalah manusia dalam kondisi seutuhnya yang meliputi aspek fisik, mental, spiritual dan sosial. Pengertian manusia yang sehat berarti manusia memiliki kondisi sehat secara utuh, sejahtera dalam aspek fisik, mental, spiritual dan sosial. Aspek fisik berkaitan dengan bagian yang nampak (badan, wadhag, Jawa) dari hidup manusia. Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya. Dengan aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur. Kedua, aspek mental. Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan

(10)

63

kepribadian manusia. Aspek mental ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan integrasi diri manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan bagian dalam dari dirinya (batin, jiwa). Se-sungguhnya, aspek ini tidak tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh, dan diukur. Aspek mental memampukan manusia berhubungan dengan diri sendiri dan lingkungannya secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan diri sendiri. Aspek spiritual. Dalam hal ini, aspek spiritual berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus dapat berhubungan dengan sang Pencipta sejati, Allah. Aspek ini mengacu pada hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar jangkauannya. Aspek ini juga tidak tampak. Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar dirinya, dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, yang transenden. Aspek sosial. Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin berdiri sendiri. Dia tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungannya dengan pihak luar secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. la harus berada bersama dengan sesuatu atau seseorang lain. la selalu hidup dalam sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Seluruh aspek hidup manusia saling berkaitan dan mempengaruhi secara sistemik dan sinergik membentuk eksistensi manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai

(11)

64

kepenuhannya. Kita dapat membedakan satu aspek dari aspek yang lain, namun pada dasarnya kita tidak dapat memisahkannya.9

Manusia juga merupakan makhluk perjumpaan, artinya keberadaannya adalah bersama dengan sesuatu atau seseorang yang lain. Hakikat keberadaan manusia adalah selalu berhadapan dengan yang lain. Manusia bertumbuh dalam proses menjumpai dan dijumpai.10 Pendampingan merupakan bentuk langsung dari hakekat manusia sebagai makhluk perjumpaan.

Ketrampilan dalam Pendampingan Pastoral.

Pendampingan pastoral sebagai tindakan membutuhkan ketrampilan. Ketrampilan merupakan kemampuan pendamping dalam proses pendampingannya. Ketrampilan dasar yang harus dimiliki pendamping adalah:11

1. Hadir. Pendamping hadir baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, melalui penampilannya pendamping meyakinkan terdamping, bahwa ia “ada dengan” (being with) terdamping secara total. Pendamping siap bersama terdamping dengan konsentrasi penuh. Secara psikologis, pendamping mampu mendengarkan terdamping dengan penuh perhatian dan konsentrasi. Pendamping mampu mendengarkan yang tersurat (lisan) maupun tersirat (non lisan) dari terdamping yang didampinginya.

9 Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care (Yogyakarta: Galangpress, 2006), 39-40. 10 Ibid, 47.

11 Mesach Krisetya, Tahap-tahap Konseling Pastoral Jangka Panjang, dalam Aart Van Beek, Konseling Pastoral, Sebuah Pegangan bagi Para Penolong di Indonesia (Semarang: Penerbit Satyawacana, 1987), 33-37.

(12)

65

2. Empati. Secara etimologis kata empati berasal dari bahasa Yunani, em dan pathete yang berarti di dalam dan merasakan. Empati berarti turut merasakan dan memasuki serta memahami dunia terdamping sebagaimana adanya dalam rangka menolong terdamping untuk memecahkan masalahnya sendiri. Dengan empati, pendamping mampu melihat dunia terdamping dari perspektif dan kerangka terdamping (discriminate) dan mampu mengkomunikasikan bahwa pendamping telah menangkap perasaan dan tingkah laku serta pengalaman terdamping (communicate).

3. Ketrampilan – ketrampilan lain, antara lain :

- Penghargaan: pendamping menghargai terdamping, menerima dan ada untuk menolong dan melayani.

- Keaslian: kesediaan untuk menolong adalah asli, bukan kepura-puraan.

- Konfrontasi : pendamping menantang hal-hal yang tidak jelas bagi terdamping, dengan tujuan menolongnya mengembangkan pengertian yang membawa kepada tingkah laku yang konstruktif.

Kedukaan Sebagai Bagian dari Krisis Hidup Manusia.

Krisis dipahami sebagai suatu situasi, di mana manusia ada dalam persimpangan jalan untuk mengambil keputusan atau tindakan. Krisis terjadi ketika manusia mengalami goncangan batin yang melewati ambang batas

(13)

66

mekanisme pertahanan psikologisnya, sehingga dapat mengganggu kondisi batin seorang, yang menyebabkan tidak dapat berfungsi normal.12

Krisis terutama berkaitan dengan aspek mental. Aspek mental terdiri dari perasaan (afeksi), pikiran (kognisi) dorongan (motivasi) dan kepribadian. Secara holistik aspek mental juga berkaitan dengan aspek fisik, spiritual dan sosial.

Pada umumnya krisis berkaitan dengan penderitaan, keprihatinan, gangguan, konflik, ketidaknyamanan batin dan kesedihan yang dialami oleh seseorang. Secara konkrit krisis berkaitan dengan kehilangan, kedukaan, sakit berkepanjangan, kegagalan hidup baik dalam relasi dengan sesama (pacar, keluarga, masyarakat) maupun karena pekerjaan.

Ada tiga kategori kritis. Pertama, krisis perkembangan (developmental crisis). Krisis ini berkaitan dengan tahap perkembangan hidup manusia, dari lahir, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, pernikahan, tengah baya, matang, lanjut usia dan meninggal. Kedua, krisis situasional (situasional/accidental crisis), krisis yang tejadi karena adanya yang dianggap kecelakaan (accident), misalnya sakit, kehilangan jabatan, perceraian, tidak lulus ujian, kematian pada usia muda. Ketiga, krisis eksistensial (existensial crisis). Krisis eksistensial berkaitan dengan konflik dan tekanan batin yang disebabkan kehilangan harga diri, tidak mendapat kesempatan dalam pengambilan keputusan, perendahan nilai-nilai kemanusiaan.13

12 Ibid.

(14)

67

Kedukaan merupakan bagian dari krisis hidup manusia. Kedukaan dapat dipahami penderitaan batin yang sangat dalam karena suatu peristiwa kehilangan.14 Menurut Totok S. Wiryasaputra kedukaan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia (aspek holistik). Aspek itu adalah: aspek fisik, mental (kognitif dan emotif), spiritual dan sosial.

Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan. Sebenarnya, kedukaan bukan hanya merupakan tanggapan seseorang secara kognitif dan emotif terhadap kehilangan, tetapi juga merupakan tanggapan seseorang secara holistik terhadap kehilangan atas sesuatu yang dianggap bernilai, berharga, atau penting. Tanggapan secara holistik berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, mental, spiritual, dan sosial). Kedukaan merupakan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya sebagai satu kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah peristiwa kehilangan yang terjadi.

Dr. Elisabeth Kubler-Ross, menyimpulkan bahwa orang yang berduka mengalami lima fase kedukaaa (stages of grief). Fase-fase itu adalah: Pertama, Penolakan dan isolasi (Denial and Isolation). Fase ini adalah fase di mana orang yang berduka menolak atas peristiwa yang terjadi padanya dan karena penolakan itu kemudian menutup diri. Kedua, marah (anger) merupakan fase di mana orang yang berduka merasa bahwa keterkejutan, ketidakpercayaan dan isolasi yang dilakukan tidak berpengaruh apa-apa. Meskipun secara rasional

14 Definisi asli dari kamusWebster’s Ninth New Collegiate Dictionary: “a deep and

poingnant distress caused by or as if by bereavement, dikutip dari Totok S. Wiryasaputra dalam

(15)

68

penderita dapat menerima tetapi secara emosional, perasaan hatinya memberontak, kecewa dan menimbulkan kemarahan. Rasa marah dapat ditujukan pada diri sendiri, pada orang-orang terdekat, pada orang lain bahkan kepada Tuhan. Ekspresi kemarahan dapat dimunculkan dengan nyata, atau dalam bentuk kemarahan yang tersembunyi. Ketiga Tawar menawar (bargaining). Pada fase ini orang yang berduka mulai mengadakan tawar menawar . "kalau boleh ...", merupakan ungkapan yang dilontarkan . Tahap tawar menawar dapat diarahkan kepada siapa saja baik perorangan, lembaga bahkan kepada Tuhan. Tahap tawar menawar ini biasanya tidak bertahan lama. Keempat, depresi (depression), fase depresi adalah fase di mana orang yang berduka merasa sangat tertekan secara psikologis. Secara psikologis, gejala-gejala depresi antara lain, diam, tidak mau beraktivitas, tidak ada semangat hidup, tidak ada napsu makan, tidak dapat berpikir jernih, merasa sendirian, dan sebagainya. Kelima, penerimaan (acceptance). Tahap ini dapat disebut pasrah atau berserah. Pasrah dalam tahap ini adalah pasrah yang positif. Orang yang berduka dapat menerima keadaannya, ia siap menjemput masa depan.15

Relevansi Kitab Ayub dengan Pendampingan Pastoral Kedukaan.

Kitab Ayub adalah sebuah kitab kebijaksanaan dengan tema utama tentang penderitaan. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub adalah seseorang yang hidupnya benar yang mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Penderitaan yang dialami

15

Catatan: Fase-fase tersebut di atas tidak selalu nampak Jelas, kadang fase-fase itu bisa melompat-melompat,atau kembali ke fase-fase sebelumnya.

(16)

69

Ayub merupakan penderitaan karena kehilangan semua yang menjadi miliknya dan yang sangat berarti baginya.16 Dalam pengertian kedukaan, penderitaan yang dirasakan dan dialami karena kehilangan yang dianggap berharga dan berarti dimengerti sebagai kedukaan. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub adalah tokoh yang mengalami kedukaan.

Relevansi kitab Ayub dengan pendampingan pastoral kedukaan :

1. Kitab Ayub sebuah kitab kebijaksanaan tentang penderitaan. penderitaan adalah suatu fakta universal. Penderitaan terjadi pada setiap manusia dalam berbagai jaman, ras, agama, jenis kelamin. Apa yang dialami tokoh Ayub bisa juga dialami oleh setiap manusia pada level yang berbeda-beda. 2. Tokoh Ayub adalah kita. Tokoh Ayub dalam kitab Ayub bukanlah figur

historis.17 Karena bukan figur historis, pengalaman penderitaan Ayub adalah pengalaman penderitaan kita sebagai manusia. Setiap manusia dapat menjadi Ayub ketika mengalami penderitaan.

3. Penderitaan yang dialami Ayub menimbulkan kedukaan. Penderitaan Ayub adalah penderitaan karena kehilangan hal-hal yang sangat berarti dan berharga. Kedukaan adalah penderitaan batin yang sangat dalam karena peristiwa kehilangan. Kedukaan merupakan reaksi terhadap suatu

16

Dalam kitab Ayub 1:13-2:13, digambarkan bentuk kehilangan yang dialami Ayub berupa: harta-benda, anggota keluarga (anak-anak), kesehatan, keberadaan dan identitas sosialnya.

17

Dalam ceritera-ceritera rakyat di daerah Mesopotamia, Timur Tengah, babel, ada ceritera tentang Ayub yang digambarkan sebagai sheik yang kaya-raya yang hidupnya benar, yang mengalami penderitaan. Tokoh dalam ceritera rakyat itu dipakai oleh pengarang Kitab Ayub untuk menggambarkan penderitaan, mempermudah pengertian pembacanya dan sebagai legitimasi pemahaman pengarang tentang penderitaan.

(17)

70

kehilangan. Dengan demikian Ayub yang mengalami penderitaan adalah juga Ayub yang mengalami kedukaan.

4. Kedukaan Ayub juga dapat terjadi pada setiap manusia, sama seperti penderitaan, kedukaan adalah fakta universal.

5. Ayub yang berduka membutuhkan pendampingan. Kedukaan yang dialami adalah kedukaan penuh, karena kedukaan itu menyentuh seluruh aspek kehidupannya. Ayub kehilangan harta-benda (fisik-ekonomi), kehilangan anak-anak karena kematian (mental), kehilangan penghargaan dari istri, masyarakat (sosial) dan kehilangan dengan goyahnya keyakinan akan kebaikan Allah (spiritual). Kedukaan Ayub adalah kedukaan yang mendalam, ia kehilangan segala-galanya dan bahkan semua terjadi secara beruntun. Ayub mengalami krisis dalam hidupnya. krisis yang terjadi menyebabkan Ayub mengalami depresi.18 Dalam situasi tersebut di atas, dibutuhkan pertolongan dari pihak lain. Pertolongan itu berujud pendampingan.

6. Dalam perspektif pendampingan, ada dua bentuk pendampingan yang ada dalam kitab Ayub:

1. Pendampingan yang dilakukan ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad dan Zopar). Pada awalnya tindakan yang dilakukan teman-teman Ayub menunjukkan ketrampilan pada awal pendampingan yaitu “hadir” (Ayub 2:11). Teman-teman Ayub hadir secara fisik, tetapi tidak hadir secara psikologis yang nampak dalam

18 Ayub 3 dapat dilihat sebagai ungkapan dalam situasi depresi yang dialami tokoh Ayub.

(18)

71

ketidakmampuan untuk “mendengar” keluhan dan pergumulan dibalik kondisi Ayub. Para teman Ayub tidak memiliki ketrampilan empati, yang mereka miliki hanyalah simpati,19 seperti yang nampak dalam Ayub 2:12-13:

”Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi.lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya dan menaburkan debu di kepala terhadap langit. Lalu mereka duduk bersama-sama dia selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya”. Kegagalan berempati menyebabkan teman-teman Ayub tidak dapat memahami yang dirasakan Ayub. Mereka menjadi subyektif melihat persoalan yang dialami Ayub dan mendasarkan persoalan yang dialami Ayub tersebut dengan perspektif pemahaman mereka. Teman-teman Ayub melakukan kesalahan dalam pendampingan yaitu, dalam perspektif mereka tentang penderitaan, mereka menuduh, mendakwa, bahkan menghakimi Ayub dengan vonis: penderitaan Ayub karena dosa yang dilakukan. Pendampingan yang dilakukan teman-teman Ayub merupakan gambaran pendampingan yang gagal dalam perspektif pendampingan pastoral. Pemulihan kedukaan tidak

19 Simpati diartikan larut dan menjadi bagian dari hal-hal yang dialami orang lain, sehingga tertarik amat kuat dalam situasi yang dialami, yang menyebabkan tidak dapat berlaku obyektif.

(19)

72

terjadi bahkan kedukaan menjadi semakin mendalam, karena tuduhan dan dakwaan yang merusak integritas.

2. Pendampingan yang dilakukan Allah sendiri. Allah mendampingi dalam ujud : “hadir”, kehadiran-Nya bukan dalam ujud fisik saja tetapi juga psikologis, melalui ungkapan sabda:”Apakah engkau memperhatikan hambaku Ayub...”(Ayub 2: 3a). Kehadiran Allah juga nampak dalam ungkapan ciptaan-ciptaan-Nya (Ayub 38-39). Allah juga menunjukkan empati kepada Ayub. Menurut penulis ungkapan sabda:”... ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun

engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk

mencelakakannya tanpa alasan” (Ayub 2: 3c) dan “Maka berfirmanlah TUHAN kepada iblis:”Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya” (Ayub 2:6), menunjukkan empati Allah. Allah turut merasakan dan memasuki serta memahami dunia Ayub. Ketrampilan lain yang ditunjukan oleh Allah adalah “menghargai”. Penghargaan Allah ditunjukkan dengan kesediaan-Nya untuk berbicara dengan Ayub (Ayub 38-39). Allah juga menampakkan ketrampilan „menantang‟. Allah menantang Ayub untuk melihat keberadaanya yang sesungguhnya (Ayub 40-41). Dengan ketrampilan yang ditampilkan dalam pendampingan-Nya, Ayub dapat melihat dirinya dengan lebih baik dan mampu mengambil keputusan untuk masa depannya. “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam

(20)

73

debu dan abu” (Ayub 42:6). Pendampingan yang dilakukan Allah berhasil memulihkan kedukaan Ayub dan ia bersiap menyongsong masa depan: “Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu” (Ayub 42:10).

7. Melalui kitab Ayub bukan saja menolong kita untuk memahami makna penderitaan tetapi juga dapat belajar untuk dapat melakukan pendampingan pastoral bagi sesama yang berduka karena penderitaan yang dialami.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam percobaan ini, akan dipelajari stoikiometri reaksi antara logam tembaga dengan larutan gram besi (III) dalam suasana asam dengan menganalisa hasil reaksi secara

[r]

Fraksi pati yang berukuran kecil memiliki keteraturan struktur amilopektin yang cukup tinggi sehingga memiliki struktur kristal yang padat dan kristalinitas yang relatif

Jumlah warna minimum yang dapat digunakan untuk mewarnai simpul disebut  bilangan kromatik graf G, disimbolkan dengan  x(G) yang mempunyai bilangan. kromatis

· Meningkatkan ketajaman penalaran siswa yang dapat membentu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. · Meningkatkan kemampuan

Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi asli seperti duh urethra dan nyeri atau itching  pada urethra (akibat urethritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang

Adapun penelitian terdahulu yang menggunakan dua metode tersebut pada data microarray yaitu prediksi waktu tahan hidup pasien penyakit jantung koroner dengan

Sebuah Skripsi yang Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. © Acit Darsita 2016