Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 1. Prof. DR. Dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, KAI 2. Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD, KHOM 3. Prof. DR. Dr. Sudarto Ronoatmojo, M.Sc 4. Drg. Diah Erti Musti kawati , MPH 5. Dr. Evy Yunihastuti , Sp.PD 6. DR. Dr. Pandu Riono, Ph.D, MPH 7. Dr. Darma Imran, Sp.S
8. Dr. Dyah Agusti na Waluyo 9. Dr. Nia Kurniati , Sp.A 10. Dr. Dina Mukti arti , Sp.A 11. Dr. Erlina Burhan, Sp.P 12. Dr. Janto G. Lingga, Sp.P 13. Dr. Hariadi Wisnu Wardhana
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Preventi on Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 1. Terapi ARV diberikan sebagai bagian dari intervensi pengobatan
dan perawatan, yang juga meliputi profi laksis kotrimoksasol, penatalaksanaan infeksi oportunisti k dan komorbiditas lainnya, dan juga dukungan nutrisi dan perawatan paliati f.
2. Nilai batas hitung CD 4 sebaiknya jangan mulai menunggu hitung CD4 < 200/mm3 namun sebaiknya CD 4 < 350/mm3 Alasan menaikkan ambang CD 4 adalah pada kadar yang lebih ti nggi diharapkan dengan pemberian ART maka sistem imunitas akan pulih lebih baik sehingga akan meningkatkan kualitas hidup odha.
3. Kombinasi rejimen ARV pada keadaan khusus (hepati ti s, tuberkulosis, pengguna napza, anak).
4. Interaksi obat ARV dengan obat-obatan lainnya.
5. Untuk memperluas akses terapi dan penemuan kasus baru maka bagi petugas kesehatan dianjurkan untuk melakukan Provider Initi ati ed HIV Testi ng and Counselling (PITC).
6. Usulan Rekomendasi PAPDI :
Seti ap dokter penyakit dalam menganjurkan untuk tes HIV pada semua pasiennya.
Semua pasien yang menderita Hepati ti s C, dokternya diwajibkan menganjurkan tes HIV
7. Usulan Rekomendasi POGI:
Semua pasien hamil disarankan tes HIV mengingat transmisi verti kal dari ibu ke bayi 90 %
Semua pasien yang telah diketahui Hepati ti s C, wajib diperiksa HIV 8. Beberapa rekomendasi dari Rapid Advice WHO on ART for
HIV infecti on in adults and adolescents November 2009 telah ditambahkan pada bab yang terkait dalam panduan ini.
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Preventi on Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 3TC Lamivudin
ABC Abacavir
AIDS Acquired Immunodefi ciency Syndrome/ Sindrom Imuno
ART Terapi Anti retroviral ARV Obat Anti retroviral
AZT Zidovudin (juga disingkat ZDV) ATV Atazanavir
Hitung CD 4 Hitung kadar Limfosit T CD 4+ d4T Stavudin
ddI Didanosin EFV Efavirenz FTC Emtresitabin
HBsAg Hepati ti s B surface anti gen HBV Virus Hepati ti s B
HCV Virus Hepati ti s C
HIV Human Imunnodefi ciency Virus IFN Interferon
IRIS Sindrom Infl amasi Pulih Imun LPV Lopinavir
NNRTI Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NRTI Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NVP Nevirapin
IO Infeksi Oportunisti k
Odha Orang yang hidup dengan HIV/AIDS
PI Protease Inhibitor
PPP Profi laksis Pasca Pajanan RBV Ribavirin
RTV Ritonavir SQV Saquinavir TB Tuberkulosis
TLC Total Lymphocyte Count/Hitung Limfosit Total
1.
Situasi HIV/AIDS di Indonesia
2.
Pedoman ART yang berlaku di
Indonesia
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 3
1.1. Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Penyakit HIV/AIDS di Indonesia saat ini telah menjadi salah satu masalah kesehatan nasional. Jumlah kasus AIDS hingga akhir Juni 2009 adalah 17,699 kasus yang dilaporkan dari 33 propinsi di seluruh Indonesia (Subdit AIDS, Laporan Triwulan II 2009). Esti masi populasi rawan tertular pada tahun 2006 adalah 193,000.
Metode penularan HIV/AIDS di Indonesia terutama adalah : heteroseksual (48,8% kasus kumulati f), penggunaan napza sunti k (41,5% kasus kumulati f) , Laki-laki seks dengan laki-laki (3,3% kasus kumulati f). Infeksi oportunisti k yang sering dialami oleh odha : TB paru, kandidiasis oral dan esofagus, diare kronis, infeksi susunan saraf pusat (SSP) baik oleh jamur, bakteri maupun parasit. Koinfeksi dengan penyakit lainnya : TB paru, Hepati ti s B dan C.
Indonesia masih termasuk negara dengan sumber daya terbatas (limited resources country) untuk penanggulangan HIV/AIDS. Pendanaan berasal dari APBN/APBD maupun bantuan lembaga donor asing.
Pemerintah telah menetapkan 235 rumah sakit/RS sebagai pusat rujukan untuk perawatan dan pengobatan HIV/AIDS pada tahun 2007,termasuk dalam memberikan obat anti retroviral lini 1 dan beberapa diantaranya juga memberikan lini 2.
Terapi ARV diberikan sebagai bagian dari intervensi pengobatan dan perawatan, yang juga meliputi profi laksis kotrimoksasol, penatalaksanaan infeksi oportunisti k dan komorbiditas lainnya, dan juga dukungan nutrisi dan perawatan paliati f.
1.2. Pedoman ART yang berlaku di Indonesia
Pedoman ART menurut Departemen Kesehatan diterbitkan pada tahun 2006. Hingga kini terdapat berbagai pemutakhiran pedoman ART di negara-negara lain maupun perhimpunan profesi kedokteran bahwa :
Nilai batas hitung CD 4 sebaiknya jangan mulai menunggu hitung CD4 < 200/mm3 namun sebaiknya CD 4 < 350/mm3
Alasan menaikkan ambang CD 4 adalah pada kadar yang lebih ti nggi diharapkan dengan pemberian ART maka sistem imunitas akan pulih lebih baik sehingga akan meningkatkan kualitas hidup odha.
1.
Rendahnya cakupan ARV di
Indonesia
2.
Kemampuan dan keterampilan
tenaga kesehatan dalam peresepan
ARV
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 7
2.1. Rendahnya cakupan ARV di Indonesia
Menurut data yang dikeluarkan oleh Subdit AIDS, yaitu Laporan Triwulan II tahun 2009, disebutkan bahwa hingga periode tersebut terdapat 12,493 odha yang telah mendapat ARV dari 28,050 odha yang memenuhi syarat terapi. Sementara itu data esti masi odha secara keseluruhan untuk tahun 2009 adalah 314,500 (baik yang belum memenuhi maupun yang telah memenuhi syarat pengobatan).
Melihat kenyataan di atas maka jelaslah bahwa antara data esti masi dengan data terapi terdapat kesenjangan yang jauh. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kemungkinan pelaporan dan pencatatan yang kurang baik, atau memang angka cakupan kita yang rendah.
Untuk itulah maka melalui panduan ini bersama dengan panduan tes dan konseling HIV dan PMTCT diharapkan tenaga kesehatan dapat memperluas cakupan dengan melakukan konseling dan tes HIV bagi pasien dengan perilaku berisiko, menemukan kasus baru HIV baik dari rawat jalan maupun rawat inap dan menatalaksana kasus HIV sederhana serta melakukan rujukan yang baik dan benar.
2.2. Kemampuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam
peresepan ARV
Kemampuan peresepan obat anti retroviral oleh dokter dapat dikembangkan melalui pelati han dan magang Kemampuan ini penti ng dalam melakukan pengobatan bagi pasien HIV. Dokter perlu memahami golongan obat ARV, dosis dan indikasinya.
Disamping itu masalah interaksi obat, penggunaan ARV pada keadaan khusus dan lainnya juga harus dipahami dengan baik. Selain melalui pelati han, seorang tenaga kesehatan juga dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya melalui magang di insti tusi kesehatan yang berpengalaman dalam merawat pasien HIV.
1. Prasyarat
2. Persiapan
pasien
3.
Kepatuhan minum obat/ Adherence
ARV
4. Resistensi
ARV
5.
Indikasi pemberian ART
6. Obat
Anti retroviral
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 11
3.1. Prasyarat
Berikut ini adalah layanan yang diperlukan sebelum memulai terapi yaitu :
1. Layanan konseling dan tes HIV sukarela (VCT) 2. Layanan konseling kepatuhan berobat 3. Layanan medis
4. Layanan laboratorium
5. Ketersediaan obat ARV dan obat infeksi oportunisti k serta penyakit lainnya
Sebelum memulai terapi ARV, pasien perlu dilakukan : 1. Konseling pra ART
2. Penilaian status klinis
3. Riwayat penyakit termasuk koinfeksi 4. Pemeriksaan fi sis
5. Pemeriksaan laboratorium : kadar CD 4, jumlah virus dalam darah (viral load/VL)
3.2. Persiapan
pasien
Konseling Pra ART, Konseling Kepatuhan Berobat, Konseling Efek Samping ART.
Pasien perlu mendapat informasi mengenai efek samping obat ARV yang mungkin ti mbul saat memulai ART, terutama pada masa 3 bulan pertama meminum ART.
3.3. Kepatuhan minum obat/ Adherence ARV
Kepatuhan minum obat ARV merupakan komponen penti ng untuk mencapai keberhasilan pengobatan. Kepatuhan/adherens yang ti nggi dalam minum obat ARRV diperlukan untuk supresi virologis yang opti mal. Peneliti an mengindikasikan bahwa dengan 90-95% dosis harus diminum untuk supresi opti mal, dibawah angka tersebut dikhawati rkan akan ti mbul kegagalan virologis. Menjaga adherens cukup sulit. Adherens yang ti dak lengkap sering terjadi dan survei menunjukkan bahwa seperti ga dari pasien terlupa minum obat selama 3 hari.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
12 13
Faktor-faktor yang berhubungan dengan adherens yang kurang adalah hubungan dokter pasien yang kurang, beban minum pil yang ti nggi, lupa meminum obat, depresi mental, kurangnya edukasi terhadap pasien, keti dakmampuan pasien untuk mengenal terapi yang dijalaninya, toksisitas obat dan sakit berat.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjamin kepatuhan adalah :
1. Pemberian Informasi
2. Konseling – secara individual
3. Memecahkan persoalan dan menyusun rencana pengobatan
3.4. Resistensi
ARV
Kegagalan Terapi : kriteria gagal terapi Defi nisi kegagalan terapi :
a. Kegagalan secara klinis : Timbulnya infeksi oportunisti k baru atau rekuren sesuai dengan stadium WHO 4 setelah paling sedikit 6 bulan minum ARV.
Perkecualian adalah infeksi TB, kandidiasis esofagus dan infeksi bakteri berat yang ti dak selalu menunjukkan kegagalan ART. Perlu melihat respon terhadap terapi pertama dan jika respon
baik, ti dak perlu mengganti rejimen.
b. Kegagalan virologik: Ditandai dengan kadar virus dalam darah/ viral load > 10,000 kopi/mL setelah paling sedikit 6 bulan minum ARV.
Kegagalan ART ti dak hanya didiagnosis berdasarkan kriteria klinis saja dalam 6 bulan dalam ART. Kejadian klinis yang juga terjadi selama 6 bulan terapi seringkali merupakan IRIS dan bukan gagal terapi.
c. Kriteria Imunologis :
Pola 1 : Hitung CD 4 < 100 sel/mm3 (beberapa ahli menyarankan < 50 sel/mm3) setelah 1 tahun terapi.
Pola 2 : Hitung CD 4 yang kembali atau turun ke hitung awal sebelum menjalani terapi setelah 1 tahun terapi.
Pola 3 : Penurunan dari nilai CD 4 puncak (terti nggi) saat terapi sebesar 50% (jika diketahui nilainya).
3.5. Indikasi pemberian ART
Setelah semua persyaratan dan persiapan dipenuhi maka indikasi pemberian ART dapat mengikuti panduan berikut menurut WHO tahu.n 2006
Klasifi kasi Stadium Penyakit Terkait HIV Klasifi kasi dari Stadium HIV
secara Klinis
Stadium Klinis WHO
Asimtomati k 1
Ringan 2
Lanjut 3
Berat 4
Stadium klinis diperuntukkan saat infeksi HIV telah ditegakkan dengan tes anti bodi HIV. Hal ini perlu menjadi bagian penilaian awal (kunjungan pertama) saat masuk perawatan dan pengobatan dan digunakan untuk membantu pengambilan keputusan saat memulai profi laksis kotrimoksasol dan saat memulai atau switch ART pada keadaan dimana ti dak terdapat tes CD 4.
Kriteria Hitung CD 4 untuk memulai ART pada dewasa dan remaja
Kadar CD 4 (sel/mm3) Rekomendasi Pengobatan
< 200 Diobati tanpa memperhati kan
stadium klinis
200 – 350 Perti mbangkan untuk
mengo-bati dan inisiasi pengobatan sebelum kadar CD 4 turun di bawah 200 sel/mm3
> 350 Jangan memulai pengobatan
Jangan memulai pengobatan Bila tersedia pemeriksaan CD 4 : •
Stadium IV tanpa melihat kadar CD 4, •
Stadium III dengan jumlah CD 4 < 350/mm3 sebagai petunjuk •
dalam mengambil keputusan,
Stadium I atau II dengan CD 4 < 200/mm3 •
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
14 15
Bila ti dak terdapat pemeriksaan CD 4 maka dapat dilakukan dengan melihat hitung limfosit total (Total Lymphocyte Count/TLC). Bila hitung limfosit total ≤ 1.200/mm3 maka nilai ini ekivalen dengan CD 4 ≤ 200/mm3. Namun perlu diperhati kan bahwa hitung TLC ini berkorelasi buruk dengan kadar CD 4 pada pasien asimtomati k, namun dengan menggabungkan dengan stadium klinis telah dilaporkan bahwa TLC adalah penanda/marker yang berguna untuk prognosis dan kesintasan/survival.
Hitung TLC berguna dalam menentukan kapan memulai ART pada pasien simtomati k dengan stadium klinis WHO 2. Namun ti dak berguna dan direkomendasikan untuk memonitor respons ART atau kegagalan terapi.
Rekomendasi terakhir dari WHO (dalam Rapid Advice on ART, November 2009), disebutkan bahwa :
1. Memulai terapi ARV pada semua pasien HIV dengan hitung CD 4 ≤ 350 sel/mm3, tanpa memperhati kan stadium klinis.
2. Karenanya pemeriksaan CD 4 diperlukan untuk mengidenti fi kasi pasien untuk diagnosis HIV dan pada stadium klinis WHO 1 dan 2 untuk memulai terapi ARV.
3. Memulai terapi ARV pada semua pasien HIV dan stadium klinis WHO 3 dan 4 tanpa memperhati kan hitung CD 4.
Rekomendasi ini disusun dengan perti mbangan untuk menurunkan angka kemati an, kesakitan dan penularan melebihi perti mbangan biaya dan ketersediaan logisti k obat.
3.6. Obat
Anti retroviral
3.6.1. Jenis-jenis obat anti retroviral yang terdapat di Indonesia
Golongan Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Golongan NNRTI adalah obat yang poten dan merupakan golongan kunci dari ARV dan dikombinasikan dengan 2 obat golongan NRTI lainnya untuk terapi lini 1 dan menjadikan rejimen pengobatan sederhana. NNRTI efavirenz dan nevirapin menunjukkkan efi kasi klinis saat diberikan dalam kombinasi yang sesuai. Namun terdapat
perbedan dalam profi l toksisitas, interaksi dengan obat lain dan biaya yang harus diperti mbangkan saat memilih NNRTI.
Nevirapin (NVP) tersedia secara luas (termasuk dalam sediaan kombinasi dosis tetap) dan lebih murah dari EFV. Lebih lanjut, pengalaman dari negara dengan sumber daya terbatas menunjukkan keberhasilan yang signifi kan. Namun, angka kejadian ruam yang berhubungan dengan NVP lebih ti nggi dibanding dengan EFV. Ruam akibat NVP lebih berbahaya dan dapat terjadi Sindroma Stevens-Johnson. NVP juga dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Hal ini membuat NVP kurang sesuai untuk mengobati pasien yang mendapat obat yang memiliki potensi hepatotoksisitas lainnya juga.
Memulai terapi NVP bersamaan dengan obat baru lainnya juga dapat menyebabkan ruam (misalnya kotrimoksasol) sehingga harus dihindari sedapat mungkin. Pada kasus reaksi kulit dan hati yang berat, NVP harus dihenti kan secara permanen dan ti dak diulang pemberiannya. NVP menjadi pilihan bagi peremputan jika terdapat potensi kehamilan atau selama trimester I kehamilan, saat EFV ti dak dapat digunakan kerena efek teratogeniknya.
Nevirapin (NVP) : dosis 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg seti ap 12 jam.
Efavirens (EFV) dapat digunakan sehari sekali dan biasanya ditoleransi dengan baik. Namun harga sedikit lebih mahal dan ketersediaannya masih terbatas dibandingkan dengan NVP. Toksisitas EFV berupa gangguan SSP, teratogenik dan ruam kulit. Ruam akibat EFV biasanya ringan, sembuh spontan dan ti dak sampai menghenti kan minum obat.
Gejala SSP berkurang setelah 2-4 minggu pada mayoritas pasien. EFV harus dihindari pada pasien dengan riwayat gejala psikiatri berat, potensi adanya kehamilan (kecuali jika kontrasepsi yang efekti f telah dilakukan) dan saat trimester pertama kehamilan. Pada keadaan diatasNVP adalah pilihan terbaik. EFV adalah golongan NNRTI pilihan pada kasus koinfeksi TB/HIV yang mendapat OAT yang mengandung rifampisin.
Efavirenz (EFV) : dosis 600 mg sekali sehari
Golongan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) Lamivudin (3TC) telah dan masih menjadi bagian penti ng untuk semua rejimen ARV lini pertama pada keadaan dengan sumber
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
16 17
daya terbatas. Lamivudin adalah komponen inti untuk NRTI ganda pada semua kombinasi ARV. Obat ini terbukti aman, profi l toksisitas yang baik, ti dak teratogenik, dan efekti f terhadap infeksi hepati ti s B, relati f murah diproduksi dan tersedia luas termasuk dalam bentuk kombinasi dosis tetap/FDC. Lamivudin (3TC) : 150 mg seti ap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
Emtrisitabin (FTC) adalah obat NRTI yang baru dan telah dimasukkan dalam rejimen lini pertama WHO. FTC merupakan alternati f yang ekivalen untuk 3TC karena secara struktur mirip 3TC, sehingga memiliki efi kasi yang sama terhadap HIV dan virus Hepati ti s B dan juga profi l resistensinya. Tersedia dalam kombinasi dosis tetap dengan TDF, dan saat ini dengan formulasi dengan TDF dan EFV sebagai obat “three in one” telah disetujui untuk digunakan. Namun FTC belum masuk daft ar obat esensial WHO dan belum digunakan juga di Indonesia.
Zidovudin (AZT) termasuk dalam golongan NRTI llini pertama yang disukai. Umumnya ditoleransi baik dan tersedia secara luas dalam bentuk FDC. Efek samping obat adalah sakit kepala dan mual, dan juga anemia berat serta netropenia. Pemantauan kadar hemoglobin dianjurkan sebelum dan selama pengobatan dengan AZT. Hal ini khususnya penti ng di wilayah dengan prevalensi ti nggi malaria, dengan kejadian anemia yang umum. AZT berhubungan dengan komplikasi metabolik seperti asidosis laktat dan lipoatrofi namun lebih ringan dibandingkan dengan stavudin. Zidovudin (AZT atau ZDV) : dosis 300 mg ti ap 12 jam
Tenofovir (TDF) saat ini juga dimasukkan untuk NRTI lini pertama, namun di Indonesia masih digunakan untuk lini kedua. TDF memilliki efi kasi yang baik, mudah digunakan dan keamanan yang baik. TDF memiliki waktu paruh intraselular yang panjang dan dapat digunakan sebagai rejimen satu kali sehari. TDF ditoleransi dengan baik dan beberapa studi mengatakan bahwa ti dak sering berhubungan dengan disfungsi ginjal dibandingkan dengan obat ARV lainnya. Namun dosis TDF harus diturunkan pada pasien dengan insufi siensi ginjal.
Karena data yang terbatas dan perhati an mengenai efek samping potensial pada tulang janin, beberapa ahli memperti mbangkan penggunaan TDF pada perempuan hamil harus hati -hati dan diperti mbangkan untuk menggunakan alternati f lainnya.
Abacavir (ABC), TDF di negara dengan sumber daya terbatas saat ini masih kurang namun diharapkan obat ini akan lebih mudah
tersedia dan dengan biaya yang terjangkau.
Abacavir telah digunakan pada pedoman WHO terbaru sebagai alternati f golongan NRTI lini pertama. Kombinasi ARV dengan NRTI yang mengandung ABC memberikan efekti vitas NRTI dengan NNRTI atau sebagai bagian dari rejimen tripel nukleosida. Dari semua obat golongan NRTI, ABC memiliki efek paling sedikit terhadap deplesi DNA mitokondria (berhubungan dengan lipoatrofi , neuropati perifer dan asidosis laktat) dan menjadi salah satu pengganti untuk d4T atau AZT pada pasien yang mengalami asidosis laktat saat menerima rejimen yang mengandung d4T atau AZT.
ABC dapat menjadi pengganti AZT pada keadaan intoleransi. Namun ABC berhubungan dengan reaksi hipersensiti vitas berat pada kira-kira 2-5% dari pasien-pasien yang mendapat obat ini.
Dua alasan untuk memasukkan ABC pada rekomendasi lini pertama untuk dewasa adalah :
1. Hasil peneliti an klinis pada pasien naïve/belum pernah mendapat obat menunjukkan efi kasi yang baik.
2. Merupakan satu dari beberapa obat yang tersedia untuk formulasi pediatri.
Stavudin (d4T) merupakan obat yang dikenal untuk menyelamatkan jiwa/life saving, memiliki peranan penti ng dalam ART karena ketersediaannya dalam bentuk kombinasi dosis tetap dengan harga yang terjangkau. Stavudin juga disukai daripada AZT karena ti dak memerlukan atau terbatas dalam pemantauan laboratoriumnya. Namun d4T sering menimbulkan asidosis, lipoatrofi dan neuropati perifer. Neuropati perifer bersifat kumulati f dan seringkali ireversibel. Sti gma yang ti mbul akibat lipoatrofi dapat berakibat pasien mundur dari pengobatan atau menolak untuk mulai pengobatan. Untuk hal ini memerlukan pengamatan yang ketat terhadap toksisitas d4T, hal ini mencakup pelati han tenaga kesehatan dan informasi yang adekuat bagi paien mengenai tanda dan gejala asidosis laktat, lipoatrofi dan neuropati perifer.
Pengenalan dini dari efek samping d4T dan mengubah/switching ke NRTI lainnya (seperti AZT) dapat mengurangi beratnya toksisitas obat ini. Dosis harian stavudin (d4T) : 40 mg seti ap 12 jam
Didanosin (ddI) : 250 mg sehari jika BB < 60 kg dan bila diberikan bersama tenovofi r
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
18 19
Tenofovir (TDF) : 300 mg sekali sehari (golongan Nucleoti de Reverse Transcriptase Inhibitor)
Golongan Protease Inhibitor (PI)
Golongan protease inhibitor di Indonesia masih disediakan sebagai obat lini 2 untuk kegagalan terapi dengan lini 1.
Golongan protease inhibitor/PI ini diperkuat kerja obatnya dengan menambahkan ritonavir.
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) memiliki kelebihan dalam bentuk kombinasi dosis tetap,lebih lanjut, saat ini tersedia dalam bentuk yang stabil terhadap panas dan ti dak memerlukan pendingin untuk penyimpanannya. Alternati f lain untuk LPV/r adalah SQV/r. ATV/r dan FPV/r.
Dosis LPV/r :400 mg/100 mg seti ap 12 jam
3.6.2. Pemberian ARV lini 1 dan 2
Berikut ini adalah rekomendasi ARV lini pertama untuk dewasa dan remaja menurut WHO tahun 2006.
Rekomendasi Rejimen Komentar
Rekomendasi Rejimen
AZT + 3TC + NVP AZT dapat me-nyebabkan anemia, intoleransi gastroin-testi nal, netropenia, hepatotoksisitas, ruam kulit berat d4T + 3TC + NVP Neuropati terkait
d4T, pankreati ti s, lipodistrofi , gang-guan profi l lipid, hepatotoksisitas, ruam kulit berat AZT + 3TC + EFV Intoleransi
gastro-intesti nal dari AZT, anemia, netropenia, toksisistas pada SSP, potensi teratogenik pada EFV
d4T + 3TC +EFV Neuropati terkait d4T, pankreati ti s, lipodistrofi , gang-guan profi l lipid, hepatotoksisitas, ruam kulit berat, potensi teratogenik pada EFV
Rejimen ARV lini 2 TDF atau ABC + ddI + LPV/r atau SQV/r
Rekomendasi dalam Rapid Advice WHO 2009, untuk memulai terapi ARV pada individu yang belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya dapat diberikan kombinasi (perlu diperhati kan keadaan di Indonesia) :
AZT + 3TC + EFV AZT + 3TC + NVP
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 21 Rekomendasi Rapid Advice WHO 2009 untuk ART lini 2 adalah :
1. Golongan boosted protease inhibitor (PI/r) ditambah 2 golongan NRTI direkomendasikan untuk ART lini 2.
2. ATV/r dan LPV/r adalah pilihan dari golongan boosted PI untuk ART lini 2.
3. Penyederhanaan dari pilihan NRTI kedua direkomendasikan : • Jika d4T atau AZT telah digunakan sebagai ART lini 1, gunakan
TDF + 3TC atau FTC sebagai golongan NRTI utama dalam lini 2.
• Jika TDF telah digunakan sebagai ART lini 1, gunakan AZT + 3TC sebagai golongan NRTI utama dalam lini 2.
Pemberian ARV lini 2
3.7. Kombinasi ARV yang ti dak disarankan :
Kombinasi ARV Alasan
Monoterapi atau terapi ganda untuk pengobatan HIV jangka panjang
Resistensi cepat ti mbul
d4T + AZT Berlawanan kerjanya
(antago-nis); menurunkan dosis dari kedua obatnya
d4T + didanosin Toksisitas yang overlap/tumpang ti ndih(pankreati ti s, hepati ti s, lipoatrofi )
Kemati an dilaporkan pada perempuan hamil
3TC + FTC Dapat saling
ditukar/inter-changeable, namun ti dak boleh digunakan bersamaan TDF + 3TC + ABC atau TDF +
3TC + ddI
Kombinasi ARV ini akan men-ingkatkan mutasi gen K65R dan berhubungan dengan insiden kegagalan virologis yang ti nggi
TDF + ddI + golongan NNRTI Insiden kegagalan virologis yang ti nggi
Periode 6 bulan pertama minum ART adalah masa yang penti ng. Perbaikan klinis dan imunologis harus bermanifestasi namun bisa jadi ti dak terlalu nyata dan toksisitas obat dapat ti mbul. Beberapa pasien gagal berespon baik seperti yang diharapkan atau bahkan dapat menunjukkan perburukan klinis pada awal terapi. Hal ini memberikan tantangan untuk semakin menyederhanakan pengobatan Komplikasi pada beberapa minggu pertama memulai ART umum terlihat pada pasien dengan imunokompromais berat. Kegagalan yang nyata dari seorang pasien dengan HIV lanjut untuk membaik ti dak selalu mencerminkan respon terhadap ART yang buruk. Perlu waktu untuk sistem imun untuk pulih dan ART untuk dapat mengendalikan replikasi virus HIV.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
22
Penti ng untuk memberikan waktu yang cukup saat terapi sebelum memutuskan efekti vitas dan memperti mbangkan ti mbulnya sindrom pulih imun/IRIS pada pasien dengan perburukan penyakit dalam beberapa bulan pertama minum ART. Pada keadaan ini mengganti ART ti dak tepat.
Pemulihan CD 4
Pada kebanyakan pasien, kadar CD 4 menaik dengan inisiasi terapi dan pemullihan sistem imun. Hal ini dapat berlangsung terus hingga beberapa tahun dengan terapi yang efekti f, meskipun hal ini dapat terhenti jika kadar CD 4 awal sangat rendah. Namun bahkan pada pasien dengan kadar CD 4 dibawah 10 sel/mm3 dapat menaglami pemulihan CD 4 yang efekti f, memberikan waktu yang cukup setelah inisiasi ART.
Pada pasien yang mencapai respons puncak, terjadinya penurunan progresif hitung CD 4 tanpa adanya penyakit yang menyertai menandakan kegagalan imunologis. Kadar CD 4 awal dan berikutnya dinilai seti ap 6 bulan untuk mengetahui kegagalan imunologis. Pada minoritas pasien dengan penyakit lanjut dan hitung CD 4 rendah saat terapi dimulai, hitung CD 4 dapat ti dak menaik
atau sedikit menurun bahkan dengan adanya perbaikan klinis.
1. Kegagalan Terapi
2. Mengganti (switching) ART dari lini
1 ke lini 2
Bab I
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 25
4.1. Kegagalan Terapi
Kegagalan Terapi : kriteria gagal terapi Defi nisi kegagalan terapi :
a. Kegagalan secara klinis : Timbulnya infeksi oportunisti k baru atau rekuren sesuai dengan stadium WHO 4 setelah paling sedikit 6 bulan minum ARV.
Perkecualian adalah infeksi TB, kandidiasis esofagus dan infeksi bakteri berat yang ti dak selalu menunjukkan kegagalan ART. Perlu melihat respon terhadap terapi pertama dan jika respon
baik, ti dak perlu mengganti rejimen.
b. Kegagalan virologik: Ditandai dengan kadar virus dalam darah/ viral load > 10,000 kopi/mL setelah paling sedikit 6 bulan minum ARV.
Kegagalan ART ti dak hanya didiagnosis berdasarkan kriteria klinis saja dalam 6 bulan dalam ART. Kejadian klinis yang juga terjadi selama 6 bulan terapi seringkali merupakan IRIS dan bukan gagal terapi.
c. Kriteria Imunologis :
Pola 1 : Hitung CD 4 < 100 sel/mm3 (beberapa ahli menyarankan < 50 sel/mm3) setelah 1 tahun terapi.
Pola 2 : Hitung CD 4 yang kembali atau turun ke hitung awal sebelum menjalani terapi setelah 1 tahun terapi.
Pola 3 : Penurunan dari nilai CD 4 puncak (terti nggi) saat terapi sebesar 50% (jika diketahui nilainya).
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
26
4.2. Mengganti (switching) ART dari lini 1 ke lini 2
Alasan pengganti an adalah : Toksisitas
Toksisitas terkait dengan keti dakmampuan untuk menahan efek samping obat ARV sehingga terjadi gejala dan tanda akibat disfungsi organ.
Derajat toksisitas ART : Penatalaksanaan toksisitas ART berdasarkan skala toksisitas (tabel terlampir)
• Derajat/Grade 1 : Reaksi ringan : ti dak ada terapi yang
diperlukan.
• Derajat/Grade 2 : Reaksi sedang : perti mbangkan melanjutkan ART selama memungkinkan. Jika ti dak ada perbaikan dengan pengobatan simtomati k, perti mbangkan pengganti an obat tunggal (single drug substi tuti on).
• Derajat/Grade 3 : Reaksi berat: pengganti an obat lainnya terhadap obat yang menimbulkan gejala tanpa menghenti kan ART.
• Derajat/Grade 4 : Reaksi sangat berat dan mengancam jiwa : segera henti kan ART dan tangani gejala medis (terapi simtomati k dan suporti f) dan kembali berikan ART dengan rejimen yang dimodifi kasi dengan mengganti obat-obat yang dicurigai sebagai penyebab saat pasien telah stabil.
Kegagalan terapi Telah dibahas di atas.
Rekomendasi dari Rapid Advice WHO 2009 mengenai pengganti an/switch ART adalah :
1. Bila tersedia, lakukan pemeriksaan kadar virus dalam darah/ viral load untuk konfi rmasi adanya kegagalan terapi.
2. Bila tersedia ruti n, lakukan pemeriksaan kadar virus dalam darah seti ap 6 bulan untuk mendeteksi replikasi virus
3. Kadar virus dalam darah yang persisten diatas 5,000 kopi/mL menandakan adanya kegagalan terapi.
4. Jika ti dak tersedia pemeriksaan kadar virus dalam darah, gunakan kriteria imunologis untuk konfi rmasi kegagalan terapi.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 29 Toksisitas yang terjadi setelah memulai ART lini 1
Efek samping dan toksisitas T dan saat terjadinya
Waktu Efek samping dan toksisitas Penyebab umum Jangka
pendek (beberapa minggu pertama)
Toksisitas saluran cerna termasuk mual dan muntah,
diare
AZT, TDF, golongan PI Ruam
Kebanyakan ruam terjadi dalam 2-3 min-ggu pertama
NVP, EFV, ABC, golongan PI (jarang) Hepatotoksisitas
Kebanyakan terjadi jika terjadi koinfeksi dengan hepati ti s
B atau C
NVP, EFV, golongan PI
Mengantuk, pusing, konfusi dan mimpi buruk
berhubungan dengan penggunaan EFV. Umumnya dapat sembuh sendiri namun memerlukan
waktu berminggu-minggu hingga berbu-lan-bulan EFV Jangka menengah (beberapa bulan pertama)
Anemia dan netropenia
Supresi sumsum tulang akut dan men-dadak karena AZT
dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama terapi
atau ti mbul sebagai anemia progresif lambat pada
beberapa bulan
AZT
Hiperpigmentasi kulit, kuku dan membran mukosa
AZT Asidosis laktat dapat terjadi kapan saja
Lebih sering terjadi setelah beberapa bulan pertama
d4T, ddI, AZT
Neuropati perifer dapat terjadi kapan saja Lebih sering terjadi setelah beberapa bulan pertama
d4T, ddI
Pankreati ti s dapat terjadi kapan saja ddI
Jangka panjang (setelah 6-18 bulan)
Lipodistrofi dan lipoatrofi d4T, ddI, AZT, golongan PI Dislipidemia d4T, EFV,
golon-gan PI
Diabetes Indinavir (IDV)
Abnormalitas kulit, kuku dan rambut Golongan PI, khususnya IDV
Penatalaksanaan toksisitas ARV berdasarkan gejala
Toksisitas Obat ARV penyebab Anjuran Pankreati ti s
akut
d4T dan ddI Henti kan ART. Berikatn terapi supor-ti f dan monitor
laboratorium. Lanjutkan ART dengan golongan
NRTI dengan risiko toksisitas pank-reas yang rendah
(AZT, ABC, TDF) Diare ddI (sediaan buff er),
NVF, lopinavir/ritonavir (LPV/r),
saquinavir/ritonavir (SQV/r)
Biasanya sembuh sendiri, tanpa menghenti kan
ART. Pengobatan simtomati k diper-lukan
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 30 31 Erupsi obat (ringan sampai berat, ter-masuk sindrom Stevens-Johnson atau Nekrolisis Epidermal Toksik)
NVP, EFV (jarang) Pada kasus ringan, berikan anti histamin.
Ruam sedang, ti dak progresif dan tanpa
keterlibatan mukosa atau tanda sistemik,
perti mbangkan untuk meng-ganti komponen NNRTI
tunggal (misalnya NVP dengan EFV). Pada kasus
sedang dan berat, henti kan ART dan berikan
pengobatan suporti f. Setelah membaik, lanjutkan
ART dengan 3 golongan NRTI atau 2 NRTI + rejimen PI Dislipi-demia, resistensi insulin dan hiperg-likemia Golongan PI EFV
Perti mbangkan pengganti an golongan PI yang
dicurigai dengan obat yang memiliki toksisitas
metabolik yang lebih rendah Intoleransi
saluran cerna
Semua obat ARV Biasanya sembuh sendiri, ti dak perlu menghenti kan ART. Pengobatan simtomati k dapat diberikan. Toksisitas hematologi (khususnya anemia dan lekopenia)
AZT Jika berat (Hb < 6,5 g% dan/ atau hitung netrofi l
absolut < 500 sel/mm3) ganti dengan ARV dengan
toksisitas minimal atau ti dak ada terhadap sumsum tulang (misalnya d4T, ABC atau TDF) dan
perti mbangkan transfusi darah pada keadaan umum yang buruk.
Hepati ti s Semua ARV (khususnya NVP dan
golongan PI/r)
Jika kadar ALT> 5 kali nilai awal, henti kan ART dan pantau lebih lanjut. Setelah kembali normal,
ganti lah obat yang dicurigai sebagai penyebab
dengan obat lain.
Hiperbiliru-binemia (indirek)
Atazanavir (ATZ) Umumnya asimtomati k, na-mun dapat menimbulkan ikterus sklera (tanpa pening-katan ALT). Ganti ATV
dengan obat golongan PI lain-nya.
Reaksi hipersensi-ti vitas
ABC Henti kan ABC dan jangan
diberikan kembali.
Berikan terapi simtomati k. Pemberian kembali
dapat menimbulkan reaksi yang berat dan
mengancam jiwa. Asidosis laktat Semua golongan NRTI (khususnya d4T dan ddI)
Henti kan ART dan berikan terapi suporti f. Setelah keadaan klinis membaik, lan-jutkan ART dengan
mengganti obat NRTI pe-nyebab. ABC, TDF dan 3TC memiliki potensi yang lebih kecil untuk
mencetuskan hal ini. Lipoatrofi dan Lipodistrofi Semua golongan NRTI (khususnya d4T)
Pengganti an dini terhadap obat ARV yang dicurigai (misalnya d4T dengan TDF atau ABC).
Perti mbangkan terapi esteti ka dan lati han fi sik
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
32
Perubahan neurop-sikiatri
EFV Biasanya sembuh sendiri,
tanpa harus menghenti kan ART. Toksisitas
ginjal (nefroliti a-sis)
IDV Jika meminum IDV, henti kan
IDV dan berikan
hidrasi yang cukup, peman-tauan laboratorium dan pengobatan simtomati k (ti ng-kat rekurens 50%).
Perti mbangkan mengganti IDV dengan golongan PI lainnya. Toksisitas ginjal (disfungsi tubulus ginjal)
TDF Henti kan TDF dan berikan
terapi suporti f. Setelah perbaikan klinis, lanjutkan ART, ganti kan obat yang diduga dengan obat lainnya. Neuropati
perifer
d4T dan ddI Perti mbangkan pengganti an dengan NRTI dengan
obat yang memiliki efek neu-rotoksisitas minimal
atau ti dak ada sama sekali (AZT, TDF atau ABC). Pengobatan simtomati k mungkin diperlukan.
Menghenti kan NNRTI (efavirenz atau nevirapin) perlu memperhati kan hal berikut :
1. Henti kan NVP dan EFV
2. Lanjutkan meminum 2 obat yang tersisa (golongan NRTI, bila dalam lini 1) selama 7 hari lalu henti kan semua obat.
3. Hal ini dilakukan untuk menutup waktu paruh yang panjang dari golongan NNRTI sehingga mengurangi risiko resistensi NNRTI akibat monoterapi (penghenti an secara bersamaan menyebabkan hanya golongan NNRTI saja yang masih beredar dalam plasma darah pasien/monoterapi).
1.
Koinfeksi TB dan HIV
2. Koinfeksi
Hepati ti s dan HIV
3.
Pengguna napza sunti k
4.
Pencegahan Pasca Pajanan
5.
ARV pada anak ARV pada anak
Bab V
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 35
5.1. Koinfeksi TB dan HIV
Diagnosis Koinfeksi TB pada penderita HIV Defi nisi kasus :
1. Suspek TB : Seti ap orang yang datang dengan gejala atau tanda mengarah/sugesti f TB, khususnya, batuk dalam waktu yang lama (>2-3 minggu).
2. Kasus TB : Pasien dengan konfi rmasi bakteriologi TB atau diagnosis oleh doker. Seti ap orang yang mendapat terapi TB harus dicatat. Pengobatan ad juvanti bus TB yang ti dak lengkap jangan digunakan sebagai metode diagnosis.
3. Kasus defi niti f/pasti TB : Pasien dengan pemeriksaan sputum BTA 2 kali positi f. Pada negara-negara dimana terdapat pemeriksaan kultur ruti n, pasien dengan kultur Mycobacterium tuberculosis positi f juga dianggap kasus defi niti f.
Lokasi predileksi TB (paru dan ekstra paru)
TB paru/pulmoner : penyakit TB yang mengenai parenkim paru. Karena itu, limfadenopati intratoraks TB (mediasti num dan/atau hilus) atau efusi pleura TB, tanpa abnormaliti pada paru (radiologi), termasuk dalam TB ekstra paru. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru diklasifi kasikan sebagai TB paru.
TB ekstra paru : penyakit TB pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran kemih, kulit dan tulang, meningen. Diganosis ditegakkan dengan spesimen jaringan dengan kultur positi f, atau secara histologis dan bukti klinis yang kuat mengarah pada TB ekstra paru akti f, diikuti dengan keputusan dokter untuk mengobati dengan rejimen OAT.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
36 37
Kategori rejimen pengobatan TB Kategori
diagnosti k TB
Tipe pasien TB
Alternati f rejimen terapi Fase intensif (harian atau 3 kali seminggu)(a) Fase lanjutan (harian atau 3 kali seminggu) I Kasus baru-BTA
positi f; Kasus baru-BTA negati f dengan keterlibatan paren-kim yang luas; pe-nyakit penyerta HIV berat atau TB ekstra paru berat
2 RHZE (b) 4 RH atau 6 HE (c)
II Pernah diobati -BTA positi f :
• Relaps
• Gagal terapi (d) • Pengobatan setelah putus obat
2 RHZES / 1 RHZE
5 RHE
III Kasus baru – BTA negati f (selain kategori I); TB ekstra paru yang lebih
ringan
2 RHZE (e) 4 RH atau 6 HE seti ap hari (c)
IV Kasus kronik dan resisten multi obat/MDR TB (BTA positi f setelah pengobatan ulang yang diawasi) (f)
Rejimen dirancang per individu
Keterangan :
R: rifampisin; H: isoniazid; E : etambutol; Z: pirazinamid; S: streptomisin. Seti ap rejimen terdiri dari 2 fase pengobatan. a. Pengawasan langsung minum obat diperlukan pada fase
intensif pada kasus BTA positi f, dan rejimen selalu mengandung rifampisin.\
b. Streptomisin dapat digunakan disamping etambutol. Pada meningiti s TB, etambutol diganti dengan streptomisin.
c. Rejimen ini berhubungan dengan kegagalan terapi yang ti nggi dan relaps dibandingkan dengan rejimen 6 bulan dengan rifampisin pada fase lanjutannya.
d. Kapanpun bila dimungkinkan, uji kepekaan obat direkomendasikan sebelum memberikan pengobatan kategori II pada kasus gagal. Direkomendasikan pada pasien yang terbukti sebagai MDR TB maka diobati dengan kategori IV. e. Etambutol dapat ti dak diberikan selama fase intensif
pengobatan pasien dengan TB paru BTA negati f, tanpa kaviti yang diketehui HIV negati f, pasien yang terinfeksi dengan bakteri TB yang masih susepti bel/peka dan anak yang lebih muda dengan TB primer.
f. Kontak pasien dengan MDR TB yang dibukti kan dengan kultur harus diperti mbangkan untuk uji sensiti viti dan kultur dini. Pengobatan ART direkomendasikan pada pasien HIV yang menderita TB dengan hitung CD 4 < 200/mm3, dan perlu diperti mbangkan bila hitung CD 4 < 350/mm3.
Perhati an perlu diberikan karena interaksi antara rifampisin dengan obat ARV terutama golongan NNRTI dan PI.
Rekomendasi dalam Rapid Advice WHO 2009 menganjurkan : 1. Memulai ART pada semua pasien HIV dengan TB akti f tanpa
melihat hitung CD 4.
2. Memulai terapi TB terlebih dahulu, kemudian ART sesegera muingkin setelah memulai terapi TB.
3. Menggunakan efavirenz (EFV) sebagai pilihan golongan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV saat dalam terapi TB.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
38 39
5.2 Koinfeksi
Hepati ti s dan HIV
Infeksi Hepati ti s B
Prinsip Terapi Koinfeksi Hepati ti s C dan HIV
Terapi HCV Tidak ada obat ARV yang akti f langsung terh-adap virus HCV. Namun, ART dapat memper-lambat progresifi tas penyakit hati akibat HCV pada koinfeksi HCV/HIV. Terapi satu-satunya yang efekti f adalah IFN pegilasi dan RBV, yang umumnya sulit tersedia di negara dengan sumber daya terbatas.
Hasil Terapi Hasil peneliti an :
• Genoti pe HCV 1 : respons virologis yang baik mencapai 15-28%
• Genoti pe HCV 2 dan
Efek samping IFN Sampai 60% individu yang diterapi dengan IFN akan mengalami
masalah kesehatan jiwa, umumnya depresi. Diperlukan
pemantauan kejiwaan yang ketat Waktu untuk
pengobatan HCV
• EFV adalah pilihan NNRTI
• NVP digunakan dengan pengawasan teratur dan ketat pada pasien dengan koinfeksi HIV/HBV dan peningkatan ALT/AST grade 1,2 dan 3.
• NVP ti dak direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan ALT/AST grade 4 atau lebih
Rejimen Lini 2 3TC harus dilanjutkan sebagai bagian reji-men ART lini 2 bila terjadi kegagalan terapi, bahkan jika telah digunakan sebagai rejimen lini 1.
Resistensi HBV • Secara ideal, 3TC digunakan dengan atau tanpa kombinasi dengan TDF.
• Hal ini ti dak mudah dilakukan pada keadaan dengan sumber daya terbatas.
• Resistensi HBV terhadap 3TC akan ti mbul pada 50% pasien setelah 2 tahun dan pada 90% setelah 4 tahun pengobatan jika 3TC hanya satu-satunya obat anti HBV akti f pada rejimen ART
Hasil Terapi Serokonversi HBV (hilangnya HBeAg dan ti m-bulnya anti bodi terhadap HBe) terjadi pada 11-22% pasien HIV dengan HBeAg positi f yang mendapat terapi 3TC selama 1 tahun Hepati c Flare • Dapat ti mbul seggera setelah memulai ART
sebagai bagian dari IRIS
• Penghenti an 3TC dapat pula menyebabkan hepati c fl are
FTC (emtresit-abin)
FTC memiliki ti ngkat supresi HBV yang serupa dan profi l keamanan dan resistensi mirip dengan 3TC
Hepati c Flare
Flare hepati k dapat terjadi pada :
• Saat awal memulai ARV sebagai bagian dari IRIS • Saat ART dihenti kan
Flare umumnya ti mbul dengan peningkatan kadar ALT/AST dan gejala-gejala hepati ti s (fati g, nausea, nyeri abdomen dan ikterus) dalam waktu 6-12 minggu memulai ART. Flare dapat sulit dibedakan dengan hepatotoksisitas akibat ART. Obat yang akti f terhadap HBV tetap dilanjukan jika fl are dicurigai. Jika ti dak mungkin untuk membedakan antara fl are hepati ti s B yang serius dan toksisitas obat grade 4, semua ART dihenti kan hingga kondisi pasien stabil.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 41 Rekomendasi menurut Rapid Advice WHO 2009 untuk terapi
ARV pada koinfeksi HIV/HBV adalah :
1. Memulai ART pada semua pasien HIV dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi HBV, tanpa memperhati kan hitung CD4 atau stadium klinis WHO.
2. Memulai rejimen ART TDF dan 3TC atau FTC pada pasien koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi.
5.3 Pengguna napza sunti k
Komponen utama untuk perawatan komprehensif pada penasun adalah :
1. Penilaian dan penatalaksanaann komorbiditas fi sik dan psikologis termasuk hepati ti s virus dan kondisi psikiatris (seperti depresi). 2. Penilaian prioritas pengobtan pasien, tujuan dan kesiapan untuk
memulai ART jika telah memenuhi syarat indikasi medis. 3. Penyediaan terapi substi tusi opioid
4. Penyediaan jarum sunti k steril dan kondom 5. Penatalaksanaan masalah kesehatan lainnya.
Kriteria klinis, laboratorium pada penasun untuk pemberian ART ti dak berbeda dengan rekomendasi umum.
Memulai terapi ART pada pasien penasun
Memulai ART Kriteria untuk memulai ART pada penasun/ pecandu napza adalah sama dengan pasien HIV pada umumnya.
Sebelum memulai ART, faktor spesifi k yang dapat mempengaruhi waktu memulai dan pilihan ART harus diperti mbangkan. Hal ini termasuk insta-bilitas sosial, pengguna zat yang akti f dan adanya komorbiditas seperti masalah mental dan koin-feksi dengan virus hepati ti s.
Keti daktersediaan terapi substi tusi atau sebagai pengguna zat yang akti f ti dak berpengaruh terh-adap akses ART bagi penasun.
Jaringan yang efekti f antara program ART dengan program harm reducti on lainnya penti ng. Kecuali dalam keadaan sakit berat, inisiasi/me-mulai ART bukanlah hal yang urgent/darurat. Waktu yang cukup untuk mempersiapkan minum ART, mengerti tujuan pengobatan, adherens dan pengobatan bersifat seumur hidup akan memak-simalkan hasil pengobatan.
Pilihan ART Rejimen pengobatan nasional dapat dipilih untuk mayoritas penasun. Pilihan ART yang lebih khusus tergantung pada :
• Komorbiditas (terutama hepati ti s B/C dan gangguan kejiwaan)
• Interaksi obat (metadon)
• Menggunakan kombinasi dosis tetap dan jika mungkin, rejimen ARV dosis sekali sehari Rejimen lini 1
terpilih
AZT + 3TC + (EFV atau NVP) AZT dapat diganti kan oleh d4T
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
42 43
Pilihan golon-gan NNRTI
Infeksi hepati ti s B dan C paling umum pada pe-nasun. Pemantauan terhadap hepatotoksisitas sangat dianjurkan pada penasun yang mendapat ART berbasis/dengan golongan NNRTI, khusus-nya NVP.
EFV
EFV direkomendasikan oleh beberapa ahli karena ti ngginya prevalensi koinfeksi hepati ti s B dan C pada penasun, dan rendahnya komplikasi dibandingkan dengan NVP. EFV dianjurkan pada pasien dengan bukti klinis dan/atau laboratorium adanya disfungsi hati yang signifi kan (grade 3 atau 4). EFV digunakan dengan perhati an pada pasien-pasien dengan depresi atau kondisi keji-waan signifi kan lainnya.
NVP
NVP direkomendasikan pada pasien tanpa ko-morbiditas lainnya yang signifi kan, pasien tanpa adanya tanda klinis disfungsi hepar atau pen-ingkatan enzim transaminase (grade 3 atau 4). Jika hanya NVP yang tersedia, gunakan dengan pemantauan klinis dan laboratorium (enzim hati ) yang ketat.
Pilihan Alter-nati f Rejimen Lini 1
TDF + (3TC atau FTC) + (EFV atau NVP)
Pasien dengan HBs-Ag positi f dan obat TDF terse-dia
Rejimen Lini 2
Rekomendasi sama untuk semua pasien dengan HIV. (ddI atau TDF) + ABC + PI/r atau TDF + 3TC (± AZT) + PI/r
Adherens Dengan staf yang berpengalaman dan dukungan yang adekuat, penasun dapat memiliki ti ngkat adherens yang baik terhadap ART dan hasil pen-gobatan yang baik dibandingkan dengan pasien non penasun
Metadon Pemberian metadon dengan EFV, NVP atau RTV menurunkan kadar metadon dalam plasma, yang dapat mencetuskan gejala putus opiat. Pasien yang mendapat metadon dan memulai ART memerlukan peningkatan dosis metadon DOT Direct Observed Therapy/DOT dimungkinkan
dengan rejimen yang diminum satu hari sekali. DOT yang dimodifi kasi dengan pengawasan mi-num obat pada siang hari dan pada malam hari dengan obat yang dibawa pulang dapat menjadi pilihan terapi.
Pada penasun dengan terapi metadon perlu diperhati kan interaksi metadon dengan EFV, NVP atau ritonavir karena dapat menurunkan kadar metadon dalam darah sehingga dapat mencetuskan gejala putus obat. Dalam hal ini, kadar metadon perlu diti ngkatkan.
5.4. Pencegahan Pasca Pajanan
Pajanan okupasional adalah pajanan terhadap potensi infeksi yang menular lewat darah (blood-borne infecti on) dan berhubungan dengan pekerjaan/tugas.
Profi laksis pasca pajanan adalah penanganan komprehensif yang diberikan untuk meminimalkann risiko infeksi akibat pajanan potensial terhadap patogen yang ditularkan lewat darah (HIV, HBV, HCV). Hal ini mencakup konseling, penilaian risiko, pemeriksaan laboratorium yang relevan dengan informed consent baik dari sumber pajanan maupun orang yang terpapar, pertolongan pertama dan tergantung dari penilaian risiko dapat dilakukan pemberian obat ARV jangka pendek (4 minggu) dengan follow up dan dukungan.
Pajanan dapat terjadi pada tenaga kesehatan sehingga berisiko terinfeksi oleh penyakit yang ditularkan lewat darah, dan didefi nisikan sebagai :
• Luka/jejas per kutan (misalnya tertusuk jarum sunti k, tersayat instrumen tajam).
• Kontak dengan kulit yang ti dak utuh/intak (khususnya saat kulit yang terpapar terabrasi, terluka atau sedang mengalami dermati ti s) atau
• Kontak jangka lama (misalnya beberapa menit atau lebih) dengan kulit yang utuh terkontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya yang berpotensi menularkan.
Siapa saja yang berisiko ?
Tenaga kesehatan yang berpotensi terpapar adalah : dokter, mahasiswa kedokteran, ahli bedah, ahli kandungan, petugas kamar bersalin, petugas gawat darurat, dokter gigi, laboran, petugas otopsi, petugas kebersihan dan penanganan limbah medis.
Cairan tubuh yang infeksius
Potensi Tinggi Potensi Sulit diten-tukan Potensi Rendah (selama ti dak terkontaminasi darah) Darah Serum Semen Sekret vagina Sputum Cairan Amnion Cairan Pleura Cairan Peritoneal Cairan Perikardial Cairan Sinovial LCS Air mata Muntahan Keringat Mukosa serviks Feses Urin
Berapakah rata-rata risiko terinfeksi HIV, HBV atau HBC setelah pajanan okupasi?
Risiko rata-rata terkenan infeksi HIV cukup rendah bila dibandingkan dengan risiko terinfeksi hepati ti s B atau C. Dalam hal ini pajanan okupasi yang penti ng adalah tertusuk jarum sunti k (0,3% untuk HIV, 9-30% untuk hepati ti s B dan 1-10% untuk hepati ti s C) dan pajanan pada membran mukosa (0,09% untuk HIV).
Beberapa contoh ti ndakan yang dapat meningkatkan risiko tertusuk jarum antara lain :
• Menutup kembali spuit/recapping
• Memindahkan cairan tubuh dari satu wadah ke wadah lainnya • Pembuangan jarum bekas yang ti dak tepat dan bukan di wadah
tahan tusukan
• Penanganan limbah medis yang buruk Penatalaksanaan pada orang yang terpapar
Lakukan Jangan Lakukan
Bukalah sarung tangan, jika sesuai keadaan
Jangan panik Cucilah bagian tubuh yang
terpapar seluruhnya dengan air mengalir
Jangan masukan jari yang ter-tusuk ke dalam mulut
Irigasikan dengan air atau larutan garam fi siologis jika bagian mata atau mulut yang terpapar
Jangan memencet/meremas luka supaya darah keluar
Cucilah kulit dengan sabun dan air
Jangan gunakan pemuti h, klorin, alkohol, betadin, yodium atau anti septi k/deterjen pada luka Lakukan : Konsultasi kepada dokter segera untuk penatalaksanaan pajanan okupasional sesuai dengan panduan sarana kesehatan. Persyaratan untuk pengobatan pasca pajanan :
1. Pajanan kurang dari 72 jam, dan
2. Orang yang terpajan ti dak diketahui terinfeksi HIV, dan
3. Sumber pajanan adalah dengan status HIV diketahui maupun ti dak, dan
4. Pajanan terhadap darah, jaringan tubuh, cairan yang mengandung darah terlihat, virus yang terkonsentrasi, cairan serebrospinal, cairan sinovial, cairan pleura, cairan peritoneum, cairan perikardium atau cairan amnion, dan
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
46 47
5. Pajanan berpenetrasi ke dalam kulit dengan perdarahan spontan atau tusukan dalam, atau terpercik dengan jumlah yang signifi kan pada membran mukosa, atau kontak yang lama pada kulit utuh terhadap bahan yang berisiko, dan
6. (Jika kulit terpenetrasi) Pajanan berasal dari jarum dengan ukuran yang dalam atau obyek tajam lainnya yang secara kasat mata terkontaminasi darah.
Penilaian pajanan pada kulit dan mukosa Perlukaan Kulit
Status infeksi dari sumber pajanan Jenis
Pajanan HIV positi f ti ngkat 1 HIV positi f ti ngkat 2 Tidak dike-tahui status HIVnya Tidak diketahui sumbernya HIV negati f Kurang
Berat Dianjur-kan pen-gobatan dasar 2 obat PPP Anjuran pengo-batan dengan 3 obat PPP Umumnya ti dak perlu PPP, per-ti mbangkan 2 obat PPP bila sumber berisiko Umumnya ti dak perlu PPP Tidak perlu PPP Lebih
Berat Pengo-batan dengan 3 obat PPP Anjuran pengo-batan dengan 3 obat PPP Umumnya ti dak perlu PPP perti m-bangkan 2 obat PPP bila sumber berisiko Umumnya ti dak perlu PPP Tidak perlu PPP
Pajanan pada Lapisan Mukosa atau Pajanan Pada Luka di Kulit Status infeksi sumber pajanan
Volume Sedikit (beberapa tetes) Perti m-bangkan pengoba-tan dasar 2 obat PPP Anjuran pengo-batan dengan 3 obat PPP Umumnya ti dak perlu PPP, per-ti mbangkan 2 obat PPP bila sumber berisiko Umumnya ti dak perlu PPP Tidak perlu PPP Volume banyak (tumpah-an b(tumpah-anyak darah) Dianjur-kan pen-gobatan dasar 2 obat PPP Anjuran pengo-batan dengan 3 obat PPP Umumnya ti dak perlu PPP, per-ti mbangkan 2 obat PPP bila sumber berisiko Umumnya ti dak perlu PPP Tidak perlu PPP
Rejimen ARV untuk Profi laksis Pasca Pajanan
Jenis Rejimen Pilihan Alternati f
Rejimen 2 obat (Rejimen PPP dasar) Pilihan pertama : AZT + 3TC Pilihan kedua d4T + 3TC
Rejimen 3 obat (Rejimen PPP yang diperluas ) : Konsultasikan dengan dokter ahli sebelum memulai obat keti ga, misalnya LPV/r, NFV, IDV.
Tidak Dianjurkan Kombinasi ddI + d4T
Golongan NNRTI seperti NVP ti dak digu-nakan untuk PPP
5.5. ARV pada anak ARV pada anak
Rejimen ARV lini 1 pada bayi dan anak :
d4T atau AZT + 3TC + NVP atau EFV Bila usia < 3 tahun atau BB < 10 kg pilihan adalah NVP
Bila usia ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg pilihan adalah NVP atau EFV
5.6. Interaksi obat ARV dengan obat lain
Jenis ARV NVP EFV LPV/r SQV
Obat Anti mikobaterium
1. Rifampisin kadar NVP
hingga 20-58%. Konsekuensi virologis ti dak di-pasti kan; potensi terjadinya hepa-totoksisitas tamba-han. Pengawasan ketat saat diberi-kan bersamaan Kadar EFV hingga 25%. Dosis standar EFV dianjur-kan AUC LPV/r 75%. Tidak boleh diberikan bersamaan (koadminis-trasi) Kadar SQV 84 %. Gangguan hati berat bila diberikan bersa-maan. Tidak boleh diberikan bersa-maan (koadmin-istrasi)
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
48 49
2.
Klaritromisin
Tidak ada Kadar klaritromisin 39%. Monitor efi kasi atau gunakan obat alter-nati f lainnya AUC Klaritromi-sin 75%, perlu pe-nyesuaian dosis jika terdapat gangguan ginjal Tanpa ritonavir, kadar klari-tromisin hingga 45%, kadar SQV hingga 177% Ritonavir dapat Kadar klari-tromisin 75%. Obat anti jamur 1.Ketokonazol 2. Flukonazol 3. Itrakonazol Kadar ke-tokonazol 63% Nevirapin 15-30%. Koad-ministrasi ti dak disarankan Cmaks, AUC, Cmin nevirapin 100% Tidak ada perubahan ka-dar fl ukonasol.
Tidak ada data
Tidak ada peruba-han kadar ketokonazol atau efa-virenz Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data Kadar itrakonazol. Jangan melebihi 200 mg/ hari untuk itrakonazol Tidak ada data Tidak ada data Interaksi 2 arah telah diobservasi. Perlu untuk menurunkan dosis intra-konazol. Per-ti mbangkan monitroing kadar SQV (khususnya bila diberi-kan tanpa ritonavir)
Jenis ARV NVP EFV LPV/r SQV
Obat Kon-trasepsi Eti nilestradiol
Kadar eti ni-lestradol 20% Gunakan metode lain kontrasepsi Kadar eti nilestra-diol 37%. Gunakan metode lain kontrasepsi Kadar eti nilestra-diol 42%. Gunakan metode lain kontrasepsi Tidak ada data untuk SQV yang ti dak diper-kuat/boosted Ritona-vir dosis pengobatan dapat kadar eti nilestra-diol 41% Obat anti
kon-vulsan Karbamazepin Fenitoin
Gunakan secara hati -hati . Satu kasus menun-jukkan konsen-trasi EFV yang rendah dengan fenitoin Tidak dike-tahui, guna-kan dengan hati -hati Kemungki-nan banyak interaksi : Karbamaze-pin : kadarnya saat diberikan bersama dengan RTV. Gunakan dengan hati -hati . Pantau kadar obat anti konvul-san dalam darah. Fenitoin: kadar dari LPV, RTV dan kadar fenitoin saat diberikan bersama. Hindari penggunaan bersamaan atau pantau kadar LPV Tidak diketa-hui, namun dapat secara ber-makna kadar SQV
Pantau kadar obat anti konvulsan dan perti mbangkan kadar SQV. Penghambat pompa proton (PPI). Semua ARV golongan PI dan EFV dapat kadar sisaprid dan anti histamin non sedati f (astemizol, terfenadin), yang dapat menyebabkan toksisitas jantung. Pemberian bersamaan ti dak dianjurkan.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
50
Interaksi antara metadon dan obat ARV
ARV Efek terhadap
metadon Efek pada ARV Komentar
Golongan NRTI Didanosin (ddI) ( tablet buff -ered dan kapsul salut enterik) Belum dilapor-kan Konsentrasi menurun 60% saat tablet buff -ered diminum namun ti dak den-gan kapsul salut enterik
Hindari peng-gunaan tablet buff ered ddI Gunakan kapsul salut enterik jika tersedia Golongan NNRTI Efavirenz (EFV) Menurunkan kadar metadon 60% Gejala putus obat opiat umum terjadi
Tidak diketahui Observasi ge-jala putus obat metadon dan ti ngkatkan dosis seperlunya Perti mbangkan peningkatan dosis metadon 50% biasanya diperlukan Nevirapin (NVP) Menurunkan kadar metadon 50% Gejala putus obat opiat umum terjadi Belum dilaporkan Golongan PI Lopinavir/ ritonavir (LPV/r) Menurunkan kadar metadon 50%
Belum dilaporkan Memerlukan peningkatkan dosis metadon Ritonavir (RTV) Menurunkan kadar metadon 37% Penyesuaian dosis diperlukan Peneliti an masih terbatas Pengamatan tanda putus obat metadon Interaksi antara metadon dan obat lainnya
Obat Indikasi Efek terhadap
metadon Komentar
Rifampisin OAT Menurunkan
kadar metadon 33-68% dan da-pat menginduksi gejala putus obat opiat Peningkatan dosis metadon diperlukan jika gejala putus obat ti mbul Sertralin Anti depresan Meningkatkan
kadar metadon 26%
Berhubungan dengan gang-guan irama jan-tung, hati -hati keti ka diguna-kan bersama metadon
Obat Indikasi Efek terhadap
metadon Komentar Perti mbangkan menggunakan natrium val-proat sebagai alternati f
Interaksi antara buprenorfi n dan obat ARV
ARV Efek terhadap
buprenorfi n Efek pada ARV Komentar
Golongan NRTI/NNRTI
Tidak ada interaksi yang signifi kan Golongan PI Ritonavir (RTV) Inhibisi me-tabolisme buprenorfi n mengakibat-kan penurunan buprenorfi n yang bermakna secara klinis
Belum dilaporkan Dosis bu-prenorfi n perlu diturunkan Atazanavir
(ATZ)
1. Testi ng HIV
2.
Sarana Kesehatan yang Dapat
Memberikan/Meresepkan ARV
3.
Pelati han dan Clinical Mentoring
4. Distribusi obat ARV
Bab VI
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 55
6.1. Testi ng HIV
1. Kebijakan testi ng HIV :
Secara umum untuk diagnosis saat ini masih digunakan strategi III WHO. Namun seiring dengan semangat untuk memperluas akses terapi dan penemuan kasus baru maka bagi petugas kesehatan dianjurkan untuk melakukan Provider Initi ati ed HIV Testi ng and Counselling (PITC).
Jika ada pasien yang berkunjung ke dokter / fasilitas kesehatan dengan gejala klinis mengarah kepada HIV/AIDS (misalnya infeksi oportunisti k, TB-HIV dan lainnya) maka dokter / petugas kesehatan wajib memberikan informasi keterkaitan sakitnya dengan HIV dan mendiskusikannya dengan pasien dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien. Informasi meliputi penularan dan pencegahan HIV, HIV dapat berlanjut menjadi AIDS, tata laksana pemeriksaan dan terapi, konfi densialitas , informed consent, dan perlunya pemeriksaan HIV guna memasti kan keterkaitan infeksinya dengan HIV. Testi ng HIV dilakukan jika pasien ti dak menolak untuk diperiksa. Sesudah menerima hasil, dokter harus mediskusikan hasilnya, prognosisnya, dan tatalaksana terapi selanjutnya. Jika terjadi gejolak mental emosional pasien yang memungkinkan pasien sulit bekerjasama dalam terapi, seperti terjadinya depresi, ti dak adherence, dan gangguan mental emosional lainnya, pasien dirujuk pada konselor VCT.
Untuk kasus-kasus baru asimtomati k/ti dak bergejala, maka tenaga kesehatan juga dapat berperan dengan menganjurkan tes dan melakukan konseling bagi :
1. Kelompok masyarakat berisiko 2. Pasangan dari kelompok berisiko 3. Ibu hamil
4. Orang-orang yang kembali dari daerah dengan prevalensi HIV ti nggi.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral Panduan Layanan Terapi Anti retroviral
56 57
Usulan Rekomendasi PAPDI :
Seti ap dokter penyakit dalam menganjurkan untuk tes HIV pada semua pasiennya.
Semua pasien yang menderita Hepati ti s C, dokternya diwajibkan menganjurkan tes HIV
Usulan Rekomendasi POGI:
Semua pasien hamil disarankan tes HIV mengingat transmisi verti kal dari ibu ke bayi 90 %
Semua pasien yang telah diketahui Hepati ti s C, wajib diperiksa HIV
2. Kualifi kasi reagen : sesuai dengan Kebijakan Depkes
6.2. Sarana Kesehatan yang Dapat Memberikan/Meresepkan
ARV
Untuk Rumah Sakit (RS), Puskesmas dan Klinik Praktek Swasta adalah telah merawat dan mengobati odha, memiliki staf medis yang terlati h, sarana dan prasarana yang memadai/adekuat.
6.3. Pelati han dan Clinical Mentoring
Pelati han : dilakukan bagi tenaga kesehatan dari sarana yang belum pernah mendapatkan pelati han dan memiliki kebutuhan untuk perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasien HIV/AIDS.
Tujuan adalah meningkatkan jumlah tenaga kesehatan yang terlibat dan terampil dalam bidang HIV/AIDS.
Kriteria/syarat untuk mengikuti pelati han : komitmen untuk merawat kasus HIV/AIDS, jumlah prevalensi HIV/AIDS yang ti nggi di wilayah kerjanya.
Untuk pelati han harus disiapkan : • Buku acuan : teori, TIU, TPK
• Buku untuk peserta : identi fi kasi maslah di lapangan
Buku untuk pelati h :
• Up date : penyampaian masalah pro & kontra : di akhir pelati han
Clinical Mentoring/Mentoring Klinik : merupakan kegiatan untuk menambah dan menyegarkan kembali ilmu dan keterampilan tenaga kesehatan dalam merawat, mengobati dan menatalaksana pasien HIV/AIDS.
6.4. Distribusi obat ARV
Obat anti retroviral saat ini masih didistribusikan melalui RS rujukan ARV/Odha termasuk untuk satelit layanan (RS, Puskesmas).
Skema manajemen dan distribusi ARV : special access scheme, yaitu melalui satu pintu (melalui Subdit AIDS dan PMS, Depkes RI). Kriteria sarana kesehatan untuk dapat memberikan ARV :
Kemungkinan pengembangan di masa depan, sarana kesehatan lain yang dapat memberikan ARV : apoti k, klinik swasta, dan lainnya.
Panduan Layanan Terapi Anti retroviral 59
Daft ar Pustaka
1. WHO. Management of HIV Infecti on and Anti retroviral Therapy in Adults and Adolescents. New Delhi, Regional Offi ce for South-East Asia, 2007.
2. Departemen Kesehatan RI, Dirjen P2PL. Pedoman Nasional Terapi Anti retroviral, Edisi Ke 2. Jakarta, 2007.
3. WHO. Rapid Advice Anti retroviral Therapy for HIV Infecti ons in Adults and Adolescents. November 2009.
Panduan ini juga didukung oleh : Aliansi Organisasi Profesi Kedokteran