• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN. B.J. Habibie merupakan suatu keputusan yang seperti pedang bermata dua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V KESIMPULAN. B.J. Habibie merupakan suatu keputusan yang seperti pedang bermata dua."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

74

BAB V

KESIMPULAN

Pemberian Referendum terhadap Timor-Timur yang dikeluarkan Presiden B.J. Habibie merupakan suatu keputusan yang seperti pedang bermata dua. Dimana satu sisi mendapat pertentangan dari dalam negeri dan di sisi lain membawa dampak postif di forum internasional. Referendum meskipun bukan menjadi faktor utama yang secara siknifikan meningkatkan kredibilitas Indonesia secara langsung serta menempatkan Indonesia menjadi negara yang demokratis, disebabkan embargo yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat terjadi karena adanya kerusuhan pasca jajak pendapat tersebut dan berdasarkan pelanggaran HAM sebelumnya ditahun 1991 atas insiden Santa Cruz, akan tetapi referendum tersebut menjadi elemen penting yang menyertai berbagai dinamika reformasi di segala bidang di Indonesia. Terutama pelaksanaan pemilu yang demokratis tahun 1999 dan keberhasilan Indonesia untuk lepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada waktu itu.

Keputusan yang melatarbelakangi Habibie untuk memberikan referendum atas Timor-Timur disamping adanya tekanan dunia internasional atas masalah HAM yang terjadi juga untuk mendapatkan kepercayaan dunia internasional sebagai bagian untuk bisa melepaskan diri dari krisis multi dimensi di Indonesia pada tahun 1998. Dampak dari keputusan itu dari secara eksternal mengangkat kepercayaan Internasional atas Indonesia dan Indonesia perlahan-lahan dapat

(2)

lepas dari krisis yang terjadi dan menjadikan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia internasional sebagai negara yang demokratis dan menjunjung tinggi HAM.

Dalam konteks pilihan rasional, setiap kebijakan dan pilihan elite politik dalam pemerintahan, sangat dipengaruhi pula oleh motif-motif mencari keuntungan dan kemanfaatan diri dari si pelaku (elite politik), yang tidak jarang berseberangan nilai-nilai reformasi demokrasi. Hal tersebut terlihat bagaimana Amerika Serikat dan Australia dalam menempatkan dualisme posisi mereka akan Timor-Timur. Dari sini dapat dipahami juga terjadinya tumpang tindih antara motif kepentingan pribadi dan tekanan menjalankan misi politik pencitraan dalam

menempatkan nation image dan nation interest mereka, hal tersebut disebut oleh

Barbara Geddes sebagai “dilemma politisi”.91 Elite dalam pemerintahan tidak

lepas dari dilemma semacam ini. Geddes menyatakan bahwa perilaku bernegara sebagai hasil akhir dari pilihan rasional yang dilakukan oleh para pejabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi, yang bertindak dalam kerangka

institusi tertentu dan dalam konteks yang nyata.92 Statement yang dikeluarkan

Clinton maupun tekanan yang dilakukan oleh Howard kepada Indonesia akan masalah Timor-Timur sejalan dengan pendapat Geddes tersebut.

Referendum bisa memiliki dampak yang lebih luas dalam mendapatkan pengakuan dunia Internasional bahwa Indonesia mampu untuk mengambil sikap yang tegas dan mampu untuk mengatasi masalah domestiknya. Habibie disini bersikap untuk mengamankan Indonesia supaya terhindar dari sanki Internasional yang lebih berat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran dari Couloumbis dan

91

Barbara Geddes,( 1994). “Politician's Dilemma, Building State Capacity in Latin America”, Barkeley: University of California Press. Hal. 8.

92

(3)

Wolfe yang mana menempatkan keputusan politik luar negeri dalam dua kategori

utama berdasarkan sifatnya, yaitu:93

 Bersifat krisis, yaitu keputusan yang dibuat selama masa krisis, waktu

untuk menanggapinya terbatas, dan ada elemen yang mengejutkan yang membutuhkan respon yang telah direncanakan sebelumnya. Keputusan referendum dari Habibie yang diambil pada masa pemerintahan transisionalnya merupakan keputusan yang tidak populis secara internal tetapi membawa dampak positif di kancah Internasional.

 Bersifat taktis, adalah keputusan penting yang umumnya bersifat

pragmatis dan memerlukan evaluasi, revisi, dan pembalikan. Tidak mudah bagi Habibie untuk mengambil keputusan akan referendum akan tetapi keputusan itu dibuat dengan harapan akan mendapat reaksi yang positif dari dunia Internasional.

Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang ditulis oleh Philips J. Vermonte dalam jurnalnya Demokratisasi dan politik luar negeri Indonesia, yang menganggap politik luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak

atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya.94 Dimana

tindakan B.J. Habibie dalam mengambil keputusan atas referendum Timor-Timur disamping untuk melepaskan diri dari asumsi bahwa beliau merupakan perpanjangan tangan dari rezim sebelumnya juga sebagai landasan pokok dalam menerapkan agenda reformasi yang berseberangan dengan dengan rezim orde

93

Couloumbis, T. A., & Wolfe, J. H. (1990). “Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan

Power”. (M. Marbun, Trans.) Bandung: Abardin. Hal 129.

94

Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan politik luar negeri Indonesia” essay dalam

(4)

baru dan mengarahkan opini internasional untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang lebih demokratis.

Penulis juga melihat tindakan Habibie yang memberikan referendum kepada Timor-Timur terjadi karena tekanan-tekanan internasional khususnya dari Australia, dimana John Howard berhasil mempengaruhi Habibie dalam mengambil keputusan tersebut. Howard berhasil memadukan dua kebijakan pemerintahannya yang saling bertentangan dimana disatu sisi mendukung kemerdekaan Timor-Timur dan disaat yang sama berupaya menghindari perang dengan Indonesia. Kondisi Indonesia yang labil dikarenakan krisis multi dimensi

waktu itu menghadapkan Habibie pada rational choice yang dalam keputusannya

mengabaikan opini dalam negeri untuk mempertahankan Timor-Timur. Habibie memandang dukungan dari dunia internasional lebih memiliki arti dalam melepaskan diri dari krisis ekonomi dengan mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia, dengan tujuan untuk menarik investor asing untuk kembali ke Indonesia. Disini perbaikan ekonomi lebih di kedepankan untuk mengatasi krisis finansial Indonesia.

Habibie melihat besarnya beban negara dalam memberikan alokasi dana untuk Timor-Timur sangat besar. Negara menanggung 93% APBD Timor-Timur dimana hal ini jauh berbeda dengan bantuan pemerintah pusat untuk provinsi lainnya. Alokasi dana dari pusat tersebut diperuntukkan untuk membangun provinsi ke-27 tersebut yang seluas 14.609 km². Pemerintah pusat mengucurkan dana pembangunan daerah dan dana sektoral yang masing-masing berjumlah

(5)

350,7 miliar dan Rp 602,4 miliar untuk mendorong kemajuan di Timor Timur.95 Dari dana tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, mengurangi masyarakat yang buta huruf, pengaspalan jalan, sampai pembangunan infrastruktur rumah sakit. Ketika Timor-Timur akan melakukan referendum, pemerintah pusat masih mengeluarkan alokasi APBN sebesar Rp 187,3 Miliar untuk pembangunan provinsi, kota, desa, dan jaringan pengaman sosial, serta

untuk menanggulangi kemiskinan.96 Hal inilah yang menjadikan Timor-Timur

banyak menguras pengeluaran negara.

Atas dasar pandangan tersebut penulis juga setuju dengan ulasan dari Devania Annesya dalam jurnal Masalah Timor-Timur dan Politik Luar Negeri

RI,97 dimana terjadinya gejolak internal yang terjadi di Indonesia berpengaruh

besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang pada saat itu ditandai dengan krisis ekonomi. Kasus Timor-Timur sendiri , terlihat sebagai upaya internasionalisasi konflik domestik yang berujung pada pengokohan intervensi asing untuk memisahkan wilayah konflik dari Indonesia. Sehingga politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga persatuan bangsa dan

stabilitas nasional.98

Kepercayaan kembali dunia internasional terhadap Indonesia khususnya Amerika Serikat dan Australia dalam membuka kembali kerjasama terlepas dari

95

Dina I. Setiawan,(2012). "Mengenang Kasus Lepasnya Timor Timur Dari Indonesia" http://kumsej.blogspot.com/2012/11/sejarah-lepasnya-timor-timur.html (diakses tanggal 21 Juli 2014).

96Ibid.

97Devania Annesya, 2010. “Masalah Timor Timur dan Politik Luar Negeri RI” dalam Jurnal

Phobia,Loc Cit.

98

(6)

faktor kepentingan kapital disini, (dimana dicabutnya embargo senjata, lebih

cenderung sebagai bentuk dari kebijakan security cooperation yang bertujuan

mempromosikan dan mempertahankan kepentingan Amerika Serikat dalam

bentuk kebijakan politik serta strategi pertahanan dan keamanannya.)99 merupakan

suatu hal yang berdampak cukup positif dalam menempatkan posisi tawar Indonesia di forum internasional. Multi-track diplomasi yang di jalankan pemerintah Indonesia dalam mengembalikan citra bangsa membawa pengaruh bagi kepentingan nasional Indonesia. Indonesia yang dahulunya menempatkan militer dalam menyelesaikan masalah seperti yang terjadi di Timor-Timur yang

berujung pada masalah HAM, sekarang mulai menempatkan soft power dalam

semua penanganan masalah konflik dalam dalam negeri seperti dalam penganan masalah separatisme atas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Di forum internasional Indonesia juga ikut aktif dalam penanganan masalah-masalah HAM seperti pembentukan badan HAM di ASEAN.

Terlepas dari itu semua, penulis melihat satu elemen mendasar yang menjadi fenoma internasional, yaitu faktor kepentingan memainkan peranan pokok menembus batas-batas rasionalitas norma dan agenda yang ada. Terlihat disini kepentingan Amerika Serikat terhadap Indonesia dalam pencabutan embargo tidak melulu dihadapkan pada keberhasilan Indonesia mengatasi masalah HAM dan memberikan referendum terhadap Timor-Timur, akan tetapi ada kepentingan bisnis yang bermain didalamnya yaitu Amerika tidak mau kehilangan

99

Chakra Pratama Winarso, 2013. “Hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia Sebelum dan Sesudah Embargo Senjata, Dikaji Dalam Bidang Militer, Jurnal Atdikbud-USA”. Loc Cit.

(7)

Indonesia sebagai pasar terbesarnya dalam perdagangan Alat Utama Sistem

Senjata (Alutsista) yang membawa devisa yang besar bagi Amerika Serikat.

Pandangan ini sejalan dengan tulisan Chakra Pratama,100 dimana Amerika Serikat

dalam menjalin kembali hubungannya dengan Indonesia dilandasi juga oleh

kebijakan security cooperation sebagai bagian untuk melindungi asset-asset

Amerika Serikat di Indonesia seperti FreePort McMoran di Papua dan Exxon

Mobile di Aceh.

Begitupun dengan Australia yang memiliki kepentingan yang lebih besar terhadap Indonesia. Kepentingan atas Australia itu terlihat dari pernyataan Menteri Pertahanan bayangan dari Partai Buruh Australia Steve Martin yang menyatakan bahwa kerjasama pelatihan sebenarnya tidak pernah berhenti

meskipun perjanjian kerjasama di bidang militer di kedua negara di batalkan.101

Serta tekanan John Howard terhadap Habibie untuk penanganan masalah Timor-Timur. Kepentingan Australia ini ditengarai sebagai kekhawatiran mereka atas Indonesia yang suka atau tidak suka memegang peranan peranan penting di Asia tenggara, Australia sendiri sangat berkepentingan atas eksistensinya di Asia Tenggara sebagai pasar perekonomiannya.

Penanganan masalah Timor-Timur oleh pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh TNI membawa andil atas ketidak percayaan dan intimidasi masyarakat Timor-Timor. Disini keterlambatan melakukan operasi teritorial juga menguatkan rasa disintegrasi bagi masyarakat Timor-Timur. Penghargaan atas

100 Ibid.

(8)

jasa kelompok pro integrasi juga rendah. Penanganan masalah Timor-Timur lebih efisien apabila lebih mengutamakan pembangunan karakter sejak dini dan melakukan pembinaan khusus yang mengacu pada budaya dan adat istiadat setempat. Sedangkan di level internasional, kekakuan diplomasi Indonesia pada saat itu juga merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian khusus. Deplu yang

pada waktu itu lebih mengutamakan first-track diplomacy dianggap tidak efisien

karena state actor tidaklah bisa mengakomodir semua mobilitas internasional.

Pemberian Nobel bagi Ramos Horta dan Uskup Belo mengindikasikan hal

tersebut. Indonesia kurang memperhitungkan second track diplomacy sehingga

kinerja para diplomat kita terkondisikan akan diplomasi yang dilakukan oleh Ramos Horta maupun Uskup Belo. Indonesia dapat berhasil dalam mempertahankan Timor-Timur apabila tidak hanya menempatkan diplomat kita

sebagai pembawa national interest. Second track diplomacy dengan multi-track

Referensi

Dokumen terkait

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu

Aktivitas guru dalam pembelajaran menggunakan media grafis bagan, Aktivitas siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan media grafis bagan dalam

Skripsi ini disusun sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Bisnis Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Widya

Alquran merupakan sebuah petunjuk yang berasal dari Allah Swt yang harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia yang beriman kepada Allah Swt. Di dalam Alquran

[r]

(2) Untuk mendapatkan cuti sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang

Jika diperlukan, tekan source [sumber] (pada proyektor atau remote) untuk melihat sumber.. Anda mungkin harus menekannya lebih

Yang terpenting, meskipun dibingkai sebagai bentuk promosi pemanfaatan kembali abu batu bara, tidak satupun [ketentuan] di dalam peraturan yang benar-benar membuat