RiSIKO KELABU
ABU BATU BARA
RISIKO KELABU
ABU BATU BARA
APRIL 2021
RISIKO KELABU ABU BATU BARA BERSIHKAN INDONESIA
Bersihkan Indonesia adalah gabungan organisasi
masyarakat sipil, bersatu dengan misi untuk memfasilitasi perjuangan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia yang bersih, sehat, adil dan bebas dari pencemaran dan korupsi. Bersihkan Indonesia adalah media bagi rakyat Indonesia untuk secara aktif mendorong perubahan kebijakan energi, ekonomi dan lingkungan.
Cari tahu lebih lanjut di: www.bersihkanindonesia.org PENULIS
Margaretha Quina (Pengacara Lingkungan, Konsultan Independen)
Ahmad Ashov Birry (Direktur Program, Trend Asia) Lisa Evans (Penasihat Senior, EarthJustice) Jessica Lawrence (Staff Ilmuwan, Earthjustice) DISUNTING OLEH:
Sarah Burt (Deputi Pengelola Pengacara, Eathjustice) KREDIT FOTO:
NEXUS3 Foundation, Greenpeace Indonesia, LBH Padang DESAIN:
Kakiketjil (cetakbirudesain@gmail.com) PENGHARGAAN:
Kami hendak menyampaikan penghargaan serta rasa terima kasih kepada Arip Yogiawan (YLBHI), Bondan Adriyanu (Greenpeace Indonesia), Daru Rini (Ecoton), Dwi Sawung (WALHI Eksekutif Nasional), Fajri Fadhillah (Indonesian Center for Environmental Law), Lutfi Mubarok (LBH Yogyakarta), Meiki Paendong (WALHI Jawa Barat), Merah Johansyah (JATAM), Wendra Rona Putra (LBH Padang), Yuyun Ismawati (NEXUS3 Foundation), Zamzami (Trend Asia) atas masukan mereka terhadap laporan ini dan advokasi mereka yang tak kenal lelah yang menginspirasi studi kasus yang termuat dalam laporan ini. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Ardiano Budi Rahmawan, Danny Thiemann, Flora Champenois, Jenny Cassel, Jina Kim, Lisa Nessan, Mae Manupipatpong, Pete Harrison dan Sophie Lloyd, atas riset dan suntingannya. Untuk informasi lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi:
Surel: bersihkanidn@gmail.com Situs web: www.bersihkanindonesia.org IG: @bersihkanindonesia
Twitter: @bersihkan_indo FB: Bersihkan Indonesia #BersihkanIndonesia
CARILAH SARAN HUKUM MENGENAI PERKARA SPESIFIK Kendati kami telah berhati-hati dalam menyiapkan publikasi ini, publikasi ini bukanlah pengganti saran hukum untuk perkara individual. Bagi setiap pertanyaan yang spesifik, mohon untuk mencari saran hukum.
Tanggal terbit: 21 April 2021
Tumpukan abu batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia, April, 2019. Foto: Greenpeace Indonesia
RINGKASAN EKSEKUTIF & REKOMENDASI 2
1. APA ITU ABU BATU BARA? 6
2. JALUR PEMAJANAN DAN KERUGIAN YANG TERDOKUMENTASI 8
2.1. Air Tanah 8
2.2. Air Permukaan 9
2.3. Debu Larian Atau Pencemaran Udara 9
2.4. Tanah Dan Tumbuhan 9
2.5. Ikan Dan Ternak 9
3. PELAJARAN UNTUK INDONESIA: PRAKTIK TERBAIK DAN TERBURUK DARI PEMANFAATAN KEMBALI DAN
PEMBUANGAN DI SELURUH DUNIA 12
3.1. Pemanfaatan Kembali Abu Batu Bara 12 3.1.1. Praktik Terbaik: Pemanfaatan Kembali Terenkapsulasi 12 3.1.2. Bahaya: Pemanfaatan Kembali Tak Terenkapsulasi Sebagai Bahan Pembenah Tanah
(Soil Ameliator) Atau Abu Vermikompos 13 3.1.3. Bahaya: Abu Batu Bara Digunakan Sebagai Bahan Urug 13 3.1.4. Bahaya: Pengolahan Air Limbah 13
3.2. Pembuangan Abu Batu Bara 14
3.2.1. Pembuangan Yang Paling Tidak Berbahaya: Tempat Penimbusan Akhir (Landfill) Yang Kering,
Berlapis, Dan Direkayasa 14
3.2.2. Pembuangan Yang Paling Berbahaya: Penimbunan Permukaan (Surface Impoundment)
Atau Kolam 14
3.2.3. Berisiko Tinggi Untuk Membahayakan: Bahan Isian Lubang Tambang (Minefill) 14 4. PERATURAN DAN PENGELOLAAN ABU BATU BARA DI INDONESIA 16 4.1. Sejarah Deregulasi Sejak Tahun 2014 16 4.2. Penghasil Abu Batu Bara Di Indonesia 17 Boks: Uji Toksisitas Indonesia: Akurat Dan Dapat Diandalkan? 18 4.3. Tempat Penyimpanan Sementara Abu Batu Bara 18
4.4. Pengangkutan Abu Batu Bara 19
4.5. Pemanfaatan Kembali Abu Batu Bara 19
4.6. Pembuangan Akhir Abu Batu Bara 20
4.7. Kajian Indonesia Mengenai Paparan Abu Batu Bara 21
LAMPIRAN 1: STUDI KASUS 22
PLTU Cilacap: Debu Dan Pembuangan Ilegal 22 PT Indominco Mandiri: Pidana Denda Yang “Tak Berdampak” 23 PLTU Ombilin: Pemanfaatan Kembali Abu, Sebuah Solusi? 24 PLTU Panau: Klaster Kanker Masyarakat Dan Tumpukan Abu Yang Tersapu Tsunami 25 PT Pria: Hadiah Abu Batu Bara Dan Sumur Yang Terkontaminasi 26 PLTU Suralaya: Ratusan Hektar Fasilitas Pembuangan Dibutuhkan, Tapi Ada Di Manakah Mereka? 27 PT Indo Bharat Rayon: Diizinkan Untuk Membuang Namun Malah Memilih Pembuangan Ilegal 28
PT Nuryeni: Hilang Dalam Pengangkutan 28
FOOTNOTES 30
GAMBAR
Gambar 1: Warna Dan Tekstur Dari Abu Batu Bara 6 Gambar 2: Dampak-Dampak Kesehatan Manusia Dari Komponen-Komponen Beracun yang
DItemukan di Abu Batu Bara 10
bu batu bara adalah residu beracun yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik. Batu bara mengandung unsur kelumit (trace elements) yang membahayakan kesehatan manusia dan satwa liar. Ketika batu bara terbakar, komponen-komponen beracun terkonsentrasi di dalam abu.1 Sekalipun konsentrasi
racun-racunnya relatif rendah, seiring berjalannya waktu, dan dengan besarnya volume abu yang tersimpan di satu tempat, racun-racun yang berbahaya pada tingkat yang sangat rendah terlepas untuk mencemari air tanah dan air permukaan. Dalam banyak kasus di seluruh dunia, komponen-komponen karsinogenik, neurotoksik, dan beracun menjangkau manusia, ikan, dan satwa liar melalui pelbagai jalur, dalam konsentrasi yang jauh melebihi batas paparan aman.2
Listrik Indonesia sebagian besar berasal dari pembakaran batu bara. Pada tahun 2019, pembangkit listrik tenaga batu bara Indonesia menghasilkan 9,7 juta ton abu, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memproyeksikan bahwa angka itu akan mencapai 13,5 juta ton abu pada tahun 2023, dan 15,3 juta ton pada tahun 2028.3 Jumlah ini dapat mengisi sekitar 3.880
kolam renang Olimpiade pada tahun 2019 saja, meningkat menjadi lebih dari 6.000 kolam renang Olimpiade per tahun pada tahun 2028.4
Di mana semua abu racun itu berakhir? Sebagian besar, karena kurangnya publisitas data yang tersedia terkait manajemen abu batu bara di Indonesia, tidak diketahui. Industri batu bara sudah memperkirakan bahwa tingkat pemanfaatan kembali di Indonesia hanyalah serendah 1-2% dari total abu batu bara yang dihasilkan. Data tahun 2019 dari PLN, Perusahaan Listrik Negara, menunjukkan bahwa hanya 0,06% dari abu batu bara yang dihasilkan yang dimanfaatkan kembali,5 sementara hanya 25% abu
batu bara yang ditimbun, yang menimbulkan pertanyaan tentang nasib dari 75% sisanya – sekitar 7 juta ton abu beracun setiap tahun.6 Industri mengklaim bahwa 97%
abu disimpan di tempat penyimpanan sementara.
Kekhawatiran tentang penyimpanan, pengelolaan dan pembuangan abu batu bara termitigasi oleh fakta bahwa selama beberapa dekade, Indonesia mengatur abu batu bara sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dan mewajibkan para penghasil dan pihak ketiga pengelola untuk memperoleh izin dan mematuhi
persyaratan dalam aturan pada setiap tahap pengelolaan abu batu bara, mulai dari penyimpanan sementara di kompleks pembangkit, hingga pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pengaturan ketat abu batu bara ini tampaknya telah menghindarkan Indonesia dari tumpahan-tumpahan besar dan kontaminasi abu batu bara yang meluas yang telah terjadi di tempat lain di dunia. Namun demikian, pada bulan Maret 2021, pemerintah Indonesia mengubah status abu batu bara dari limbah B3 menjadi limbah non-B3 terdaftar. Keputusan untuk mengubah status abu batu bara merupakan keputusan yang signifikan. Pengelola abu batu bara tidak lagi diwajibkan untuk mematuhi persyaratan terketat dalam peraturan, dan karenanya peningkatan kontaminasi dan paparan sangat mungkin terjadi. Namun, di Indonesia, kurangnya uji kontaminasi dan investigasi kesehatan yang komprehensif berarti tidak terdokumentasinya tingkat paparan dan dampak-dampak kesehatan. Metode-metode uji laboratorium saat ini kemungkinan tidak cukup untuk memperkirakan secara akurat tingkat pelindian racun jangka panjang. Pemerintah Indonesia menjustifikasi keputusannya untuk menghilangkan abu batu bara dalam daftar limbah B3 sebagai langkah yang dibutuhkan untuk mempromosikan pemanfaatan kembali. Sekalipun pemanfaatan kembali abu secara “terenkapsulasi” dalam semen, batu bata dan pelapis jalan (paver) menghilangkan risiko kontaminasi logam berat dan merupakan pemanfaatan yang layak, publik tidak mungkin mengetahui dimana atau berapa banyak abu yang “dimanfaatkan kembali” secara tidak aman sebagai pengisi untuk daerah-daerah dataran rendah, jalan-jalan atau lokasi-lokasi kontruksi, dibuang ke tambang-tambang tua atau di atas lahan-lahan pertanian, atau ditinggalkan di dekat sungai-sungai, danau-danau,
RIngkASAn EkSEkuTIF
& REkomEnDASI
atau garis-garis pantai. Abu yang “dimanfaatkan kembali” tersebut kemungkinan akan bersentuhan dengan air dan perlahan-lahan melepaskan racun ke dalam air, tanaman pangan atau ikan tanpa diketahui siapa pun.
Aturan baru tersebut juga tidak memiliki pedoman yang membedakan dalam hal apa penimbunan di tempat penimbusan akhir atau penempatan kembali di area bekas tambang dilakukan. Persyaratan untuk pengujian dasar air tanah, pemantauan air tanah, keputusan penghentian untuk penutupan, dan persyaratan pemantauan
pasca-penutupan juga hilang. Dikombinasikan dengan penghapusan batas radioaktivitas, ketidakjelasan dan kurangnya pengawasan, aturan baru ini mengirimkan sinyal kepada para penghasil dan pihak-pihak ketiga untuk menggunakan metode pembuangan yang paling murah dan paling berisiko.
Laporan ini menyajikan bukti ilmiah terbaik dari seluruh dunia tentang abu batu bara dan bagaimana cara
mengurangi bahayanya. Sepuluh studi kasus memberikan gambaran tentang bagaimana abu batu bara dikelola di Indonesia. Beberapa operator membuang abu di dekat fasilitas-fasilitas mereka, di mana penduduk sekitarnya menderita akibat debu dan penyakit termasuk kanker. Pengelola limbah berbahaya telah secara sembarangan membiarkan abu diberikan sebagai pengisi pekarangan kepada penduduk. Protes dari masyarakat telah memicu beberapa pembersihan, namun penegakan hukum tetaplah lemah. Banyak operator pembangkit listrik di Indonesia menggunakan pihak ketiga untuk membuang abu mereka keluar, yang mana sebagian besarnya tidak dapat dilacak. Abu batu bara memiliki ancaman yang signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, dan masyarakat memiliki hak untuk mengetahui ancaman-ancaman ini. Para penghasil abu batu bara harus
bertanggung jawab untuk mengelola secara aman jumlah besar abu batu bara yang diproduksi di Indonesia setiap tahunnya. Dibandingkan dengan melakukan deregulasi abu batu bara, pemerintah Indonesia seyogianya mengambil langkah-langkah berikut untuk memastikan bahwa pembentukan abu batu bara dimitigasi dan abu batu bara dikelola dengan seaman dan setransparan mungkin. 1. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(KESDM) harus memitigasi dihasilkannya abu batu bara dengan memberikan insentif terhadap peralihan dari pembangkit listrik berbasis batu bara ke sumber listrik dari energi terbarukan.
2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memasukkan kembali abu batu bara sebagai limbah B3. Setiap keputusan terkait kategorisasi limbah dari abu batu bara harus didukung dengan penilaian risiko dan analisis biaya-manfaat yang meliputi biaya-biaya yang ditanggung oleh
pembayar pajak untuk bahaya-bahaya kesehatan dan kontaminasi lingkungan akibat paparan abu batu bara. 3. Presiden, KLHK dan Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) harus menyediakan kepada publik semua data terkait toksisitas abu batu bara, kontaminasi lingkungan, dan dampak-dampak kesehatan akibat paparan abu batu bara, termasuk:
a. Hasil pemantauan air tanah dari lokasi
penyimpanan sementara abu batu bara sementara dan pembuangan akhir;
b. Lokasi kontaminasi abu batu bara saat ini dan di masa lalu;
c. Semua hasil uji terkait toksisitas abu batu bara (termasuk yang diajukan industri dalam permohonan izin pemanfaatan kembali dan pembuangan serta permohonan pengecualian); d. Kajian tentang dampak terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan di lokasi di mana kontaminasi abu batu baru telah terjadi, termasuk kasus-kasus di mana jaksa memulai proses penegakan pidana (lihat Lampiran 1). 4. Presiden harus mengarahkan KLHK untuk
mengidentifikasi lokasi-lokasi yang terkontaminasi abu batu bara dan mengembangkan mekanisme untuk memastikan bahwa para pencemar membayar biaya-biaya pembersihan, termasuk menetapkan tanggung jawab untuk lokasi-lokasi yang ditinggalkan. Identifikasi ini harus mencakup investigasi terhadap dampak-dampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di lokasi-lokasi di mana insiden abu batu bara atau penegakan hukum telah terjadi.
5. KLHK harus mengundangkan aturan-aturan abu batu bara yang merefleksikan praktik-praktik terbaik untuk manajemen abu batu bara meliputi: a. Batas waktu yang jelas dan
persyaratan-persyaratan untuk penyimpanan sementara; b. Peningkatan ketertelusuran abu batu bara
dan ketentuan-ketentuan yang menuntut
pertanggungjawaban pengangkut atas keamanan pengangkutan abu batu bara, termasuk langkah untuk mengurangi debu larian, langkah darurat, dan cara-cara untuk memastikan rantai pengawasan abu selama pengangkutan; c. Mekanisme untuk memberikan insentif terhadap
praktik-praktik pemanfaatan kembali terbaik (yaitu pemanfaatan kembali yang terenkapsulasi) dan untuk mencegah atau melarang praktik-praktik pemanfaatan kembali terburuk (yaitu sebagai bahan pembenah tanah (soil ameliator) untuk tanaman yang dapat dimakan serta bahan urug);
l. Persyaratan pengujian dan pemantauan zat radioaktif dalam produk-produk yang dibuat dari abu batu bara yang dimanfaatkan kembali; dan
m. Persyaratan untuk pelaporan yang transparan tentang pemanfaatan kembali abu batu bara, menurut sumber dan jenis pemanfaatan kembali;
6. Kementerian Tenaga Kerja harus menetapkan pengamanan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan para pekerja yang terlibat dalam semua tahap pengelolaan abu batu bara, termasuk para pekerja yang terlibat dalam inisiatif “tanggung jawab sosial perusahaan” (Corporate Social Responsibility/ CSR) dan usaha-usaha kecil dan menengah, dan memastikan kepatuhan;
7. KLHK harus meningkatkan langkah-langkah penegakan abu batu bara, meliputi dengan: a. Memastikan sumber daya yang memadai untuk
pemantauan dan langkah penegakan hukum untuk memastikan kepatuhan, mendeteksi pelanggaran, dan menjaga kesehatan publik dan lingkungan; b. Mengevaluasi kemampuannya untuk memastikan
kepatuhan, termasuk dengan menganalisis ketidakpatuhan masa lalu, pola pengelolaan yang buruk dan tren penegakan;
c. Bekerjasama dengan Kemenkes untuk menginvestigasi dampak kesehatan dan mengambil langkah-langkah kesehatan publik yang diperlukan ketika dapat diduga ketidakpatuhan dapat menyebabkan kontaminasi.
d. Larangan terhadap praktik-praktik pembuangan akhir terburuk (yaitu penampungan basah) dan pedoman yang jelas tentang kapan pembuangan akhir di tempat penimbusan akhir (landfill) atau penimbunan kembali (backfill) diizinkan; e. Persyaratan-persyaratan pembuangan akhir
yang ketat seperti persyaratan-persyaratan fasilitas limbah B3 kelas I atau kelas II dan yang mencakup persyaratan penempatan fasilitas yang memperhitungkan risiko bencana dan persyaratan bahwa semua fasilitas pembuangan dilapisi dengan baik; f. Persyaratan bahwa para operator secara
teratur menguji air tanah dan air pori tanah terhadap kontaminasi abu batu bara di semua lokasi yang dapat memengaruhi air minum, ikan atau satwa liar, dan segera mempublikasikan hasil-hasilnya; g. Persyaratan bahwa semua izin, rencana
pembersihan, hasil pengujian, dan data kontaminasi tersedia untuk publik;
h. Pertanggungjawaban terhadap pelanggaran; i. Persyaratan untuk pengujian dan pemantauan
zat-zat radioaktif di dalam produk-produk yang dibuat dari abu batu bara yang dimanfaatkan kembali;
j. Persyaratan untuk pelaporan yang transparan tentang pemanfaatan kembali abu batu bara, menurut sumber dan jenis pemanfaatan kembali;
k. Mekanisme untuk partisipasi publik dalam semua pembuatan keputusan KLHK terkait penyusunan, perizinan, dan penegakan aturan terkait abu batu bara;
Tumpukan abu batu bara Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia, April, 2019. Foto: Greenpeace Indonesia
Warga Panau, Sulawesi Tengah memprotes tidak dijalankannya eksekusi keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan PT Pusaka Jaya Palu Power, pengelola PLTU Panau, bersalah menumpuk FABA di bantaran sungai Tawaeli, 2017. Foto: Yayasan Nexus3.
bu batu bara (juga disebut sebagai sisa-sisa pembakaran batu bara, limbah atau produk-produk), terdiri dari abu terbang (fly ash), abu dasar (bottom ash), kerak boiler (boiler slag), dan lumpur yang dikumpulkan dari pengendalian pencemaran, misalnya desulfurisasi gas buang.7
Sifat fisik dan kimia abu batu bara bervariasi bergantung pada karakteristik dari sumber batu bara (yang dapat sangat bervariasi bahkan dalam satu tambang), teknologi pembakaran, dan teknologi pengendalian pencemaran.8
Semakin efektif teknologi pengendalian pencemaran dalam menghilangkan logam berat dari gas buang, semakin tinggi kandungan logam berat pada abu terbang. Pada boiler batu bara tanpa desulfurisasi gas buang (flue gas desulfurization, ‘FGD’) scrubber, 80% hingga 90% abu adalah abu terbang, sedangkan 10% hingga 20% adalah abu dasar.9 Kehadiran FGD scrubber mengubah komposisi
abu menjadi 62% abu terbang, 18% abu dasar dan kerak boiler, dan 19% lumpur FGD.10 DI Indonesia, hanya 15 unit
(pada empat pembangkit) dari 177 unit yang beroperasi yang memiliki FGD scrubber.11 Penggunaan FGD dapat
meningkat dengan penerapan peraturan KLHK tahun 2019
yang memperketat standar emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara.12
Komponen beracun yang ditemukan di dalam batu bara meliputi barium, berilium, boron, kadmium, kromium, kobalt, timbal, litium, mangan, merkuri, molibdenum, radium, selenium, strontium, talium, uranium, dan vanadium, dan lain-lain.13 Ketika dibakar, racun-racun ini
menjadi lebih terkonsentrasi di dalam abu dibandingkan dengan batu bara asalnya.14
Batu bara Indonesia memiliki konsentrasi beberapa logam berat yang lebih rendah dibandingkan rata-rata konsentrasi di tempat-tempat di mana abu batu bara telah mengakibatkan kontaminasi lingkungan.15 Namun
demikian, beberapa batu bara Indonesia memiliki konsentrasi logam berat yang lebih tinggi dari pada AS atau rata-rata global, sebagai contoh, termasuk selenium, kromium, kobalt, mangan, merkuri, nikel, vanadium, dan boron.16 Dengan demikian, abu batu bara Indonesia
memiliki potensi pelindian yang lebih besar untuk delapan logam tersebut dibandingkan dengan abu batu bara di negara-negara lain yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan atau kesehatan manusia yang signifikan.
Sumber: US EPA TENORM Coal Combustion Residuals (2016); American Coal Ash Association.
1
APA ITu ABu BATu BARA
ABu DASAR kERAk kETEL RAgAm WARnA DARI ABu TERBAng
A
Tumpukan abu batu bara
Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia, April, 2019. Foto: Greenpeace Indonesia
2
JALuR PEmAJAnAn
DAn kERugIAn YAng
TERDokumEnTASI
Racun dalam abu batu bara dapat mencapaimanusia atau satwa liar melalui beragam jalur pemajanan, termasuk menghirup debu, paparan terhadap tanah, atau menelan air, ikan atau tanaman yang terkontaminasi.Jalur yang paling berbahaya untuk manusia adalah melalui penghirupan debu secara kronis, konsumsi air tanah secara kronis, atau konsumsi ikan yang dibesarkan di dalam air permukaan yang terkontaminasi.17 Jalur
yang paling berbahaya untuk satwa liar adalah melalui air permukaan atau sedimen.18 Di atas batas aman,
racun ini dapat membahayakan organ-organ utama di dalam tubuh manusia, menyebabkan kanker, penyakit ginjal, gangguan reproduksi, dan kerusakan sistem saraf, terutama terhadap anak-anak (lihat Gambar 2).19
Arsenik dan kromium heksavalen khususnya bersifat karsinogenik jika dikonsumsi – bahkan dalam jumlah yang sedikit – dalam jangka waktu yang lama.20 Arsenik,
litium dan molibdenum menimbulkan risiko terbesar terhadap kesehatan dari pembuangan abu basah, sedangkan arsenik menimbulkan risiko terbesar dari tempat pembuangan kering.21 Tertelannya arsenik
berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kulit, hati, kandung kemih dan paru-paru, serta mual, muntah, irama jantung tidak normal, dan kerusakan pembuluh darah.22 Tertelannya litium berhubungan dengan efek-efek
neurologis dan psikiatri, pengurangan fungsi tiroid, efek terhadap ginjal, efek terhadap kardiovaskular, erupsi kulit, dan efek terhadap pencernaan.23 Tertelannya molibdenum
berhubungan dengan anemia, gejala seperti asam urat, dan kadar asam urat yang lebih tinggi di dalam darah.24
Mangan, khususnya dalam konsentrasi yang tinggi yang
ditemukan di beberapa batu bara di Indonesia, dapat merusak sistem saraf, otak, testis dan hati.25 Demikian
pula, konsentrasi yang tinggi dari vanadium yang ditemukan di batu bara Indonesia dapat merusak ginjal, paru-paru, dan darah.26
2.1.
AIR TAnAH
Logam berat dari abu batu bara yang secara berkala terlindikan ke dalam air tanah pada tingkat yang melebihi standar air minum yang aman.27 Tingkat kontaminasi
bergantung pada volume dan karakteristik dari abu dan lingkungan pembuangan. Kajian di beberapa negara telah mendokumentasikan kontaminasi logam berat pada air tanah dari abu batu bara di dalam kolam, tempat penimbusan akhir (landfill), pengisian struktur dan penimbunan kembali (backfill) tambang.
Di Amerika Serikat, kontaminasi air tanah dari abu batu bara sebagian tidak terdeteksi hingga aturan tahun 2015 mewajibkan pembangkit listrik untuk mempublikasikan hasil pengujian air tanah.28 Sejak pelaporan dimulai
pada tahun 2018, lebih dari 91% pembangkit listrik yang melapor telah mengontaminasi air tanah di atas standar air minum yang aman.29
Ada setidaknya 24 kasus yang terdokumentasi di seluruh AS tentang kontaminasi sumur pribadi dari pembuangan abu batu bara. Kontaminasi air minum yang paling luas terjadi di Town of Pines, Indiana, berasal dari tempat pembuangan yang bocor dan penggunaan abu batu bara sebagai material urug di seluruh kota. Sebagai akibat
dari kontaminasi air, US Environmental Protection Agency (US EPA) mendeklarasikan Town of Pines sebagai lokasi Superfund pada tahun 2001, dan pembangkit yang bertanggung jawab terhadap abu batu bara tersebut akhirnya diharuskan untuk menyediakan air kota bagi sebagian besar penduduk dan menghilangkan abu batu bara dan tanah terkontaminasi dari kota.30
Di India, kontaminasi air tanah dari abu terbang ditemukan pada tahun 2019 pada 27 dari 27 lokasi yang diuji, dengan konsentrasi unsur kelumit, khususnya arsenik, melebihi batas-batas nasional dan Organisasi Kesehatan Dunia untuk [keamanan] air minum.31
Di Cina, kontaminasi air tanah dari pembuangan abu batu bara merupakan masalah besar, mencemari air tanah dengan logam berat dan membahayakan kesehatan publik melalui rantai makanan.32 Sebuah kajian pada tahun 2020
tentang air lindian dari abu terbang Cina menemukan tingginya risiko kontaminasi air tanah jika abu terpapar hujan asam.33
2.2
.
AIR PERmukAAn
Racun dari abu batu bara dapat mengkontaminasi air permukaan.34 Pada tahun 2015, US EPA
menemukan bahwa kontaminasi air permukaan dapat mengkontaminasi ikan pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia ketika ikan ini dikonsumsi.35 Risiko
kanker paling tinggi berasal dari paparan arsenik pada ikan; sedangkan risiko non-kanker berasal dari selenium, merkuri, talium, dan kadmium.36
2.3.
DEBu LARIAn ATAu
PEnCEmARAn uDARA
Abu batu bara kering, khususnya abu terbang dengan ukuran partikelnya yang kecil, mudah terbawa angin dan dapat berpindah keluar area penyimpanan abu. Meskipun penyemprotan teratur membantu mengurangi debu larian, struktur tertutup seperti silo jauh lebih efektif.
2.4.
TAnAH DAn TumBuHAn
Tanah dapat terkontaminasi oleh abu batu bara melalui debu larian dari penyimpanan atau pengangkutan, paparan dari cerobong asap yang menyimpan abu melalui gravitasi atau curah hujan, atau pencampuran langsung (pembuangan) abu ke tanah. US EPA telah menemukan bahwa banyak tanaman dan tanaman pakan ternak, termasuk gandum, wortel, selada, stroberi, semangka, alfalfa dan rumput, menyerap logam berat yang berasal
dari abu batu bara melalui akar mereka dan menuju bagian yang dapat dimakan.37
Di Cina, abu terbang dari pembangkit listrik tenaga batu bara telah menyebabkan kontaminasi logam berat, termasuk merkuri, timbal, arsenik, tembaga dan kadmium, terhadap tanah dan lahan pertanian. Dalam sebuah studi pada tahun 2017, lebih dari 90% kubis yang diuji melebihi kadar timbal yang diizinkan,38
sedangkan 30% melebihi kadar arsenik yang diizinkan. Studi lain di Cina menemukan merkuri dari abu terbang yang tidak terkendali dengan baik dari cerobong asap dari pembangkit listrik tenaga batu bara telah mengkontaminasi beras melebihi batasan yang diizinkan untuk merkuri.30
2.5.
IkAn DAn TERnAk
Abu batu bara dapat menyebabkan kerusakan ekosistem jangka panjang karena abu mengandung zat kimia persisten, bioakumulatif, dan beracun (PBT) yang bertahan terhadap degradasi dan bertahan di lingkungan untuk waktu yang lama. Kontaminan seperti selenium berakumulasi di organisme bentik (pengumpan bawah di ekosistem laut) dan memperbesar rantai makanan melalui ikan.40 Ketika zat kimia tersebut dikonsumsi, mereka
terbioakumulasi dalam jaringan lemak, tulang, dan otak dari organisme.
Di Amerika Serikat, kontaminasi abu di danau, sungai dan aliran air telah menyebabkan kematian besar-besaran ikan dan kehidupan perairan lainnya karena kerusakan reproduksi dan deformasi.41 Kasus kerusakan abu batu
bara yang paling banyak dipelajari terjadi di Belews Lake di Karolina Utara pada tahun 1970-an, ketika air yang terkontaminasi abu batu bara dari kolam abu di Duke Energy’s Belews Creek Steam Station menyebabkan keracunan selenium yang membunuh 19 dari 20 spesies ikan pada danau seluas 3800 Ha. Dampak buruk pada ikan dan burung bertahan selama beberapa dekade.42
Biaya langsung dan tidak langsung dari keracunan ikan dan satwa liar pada 21 badan-badan air yang terkontaminasi di AS diperkirakan telah melebihi $2,3 miliar.43
Kontaminan dari abu batu bara dapat terkonsentrasi pada ternak yang terpapar. Di dalam studi US EPA terhadap sapi-sapi yang terpapar bahan baku dan tanah yang terkontaminasi, ketika debu larian dan limpasan dari tumpukan abu dibiarkan tidak terkontrol, talium terakumulasi di dalam daging dan susu di atas tingkat yang dianggap aman bagi kesehatan manusia.44
BAHAYA TERHADAP
kESEHATAn mAnuSIA DARI
mEngHIRuP DAn mEnELAn
RACun ABu BATu BARA
Sumber:
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Dampak kesehatan paparan substansi, https://wwwn.cdc.gov/TSP/substances/ToxOrganSystems.aspx
Gambar 2: Dampak-Dampak Kesehatan Manusia dari
Komponen-Komponen Beracun yang Ditemukan di Abu Batu Bara
45mo Cr B Pb Hg Al B mn Cr Se mn Zn Sb ni Cr Se mn Sb Cd mn Zn Sb B As Cd Cr Pb Sb As Pm2.5 Tl Pb Va Sb B ni Cd Tl mn mo B ni Tl Cr Se Pb Va Al mn Sb ni As Cd Pm2.5 Tl Cr Se Pb Hg Al mn Zn B ni As Tl
kRomIum
Menelan dapat menyebabkan tukak lambung dan usus, anemia, dan kanker perut. Sering menghirup dapat menyebabkan asma, mengi, dan kanker paru-paru. Menghirup juga dapat mengiritasi hidung dan tenggorokan, mengakibatkan gejala seperti asma dan merusak septum hidung.
TImBAL
Paparan dapat menyebabkan pembengkakan otak, penyakit ginjal, masalah kardiovaskular, kerusakan sistem saraf, dan kematian. Tidak ada tingkat paparan timbal yang aman, terutama untuk anak-anak.
mAngAn
Paparan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Menghirup mengiritasi hidung, tenggorokan dan paru-paru, menyebabkan batuk, mengi, dan sesak napas. Dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan testis serta menurunkan kesuburan pada pria.
mERkuRI
Dampaknya termasuk kerusakan sistem saraf dan kerusakan perkembangan, seperti penurunan IQ. Menimbulkan risiko khusus bagi anak-anak, bayi, dan janin.
moLIBDEnum
Menelan menyebabkan asam urat (nyeri sendi) dan peningkatan kadar asam urat darah dan terkait dengan tekanan darah tinggi dan penyakit hati. Pertumbuhan yang melambat, berat badan lahir rendah, dan infertilitas ditemukan pada hewan.
nIkEL
Menghirup dapat mengiritasi dan merusak hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Paparan akut bisa menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, dan muntah. Kemungkinan karsinogen untuk kanker paru-paru. Dapat menyebabkan bronkitis kronis dan jaringan parut pada paru-paru. Paparan jangka panjang dapat membahayakan hati dan ginjal.
Pm2.5
Partikel kurang dari 2,5 mm dapat menempel jauh di dalam paru-paru dan menyebabkan kematian dini, serta penyakit paru-paru dan jantung, penurunan fungsi paru-paru, serangan asma, serangan jantung, dan aritmia jantung.
TALIum
Menelan menyebabkan kerusakan sistem saraf dan masalah paru-paru, jantung, hati, dan ginjal. Bahan utama racun tikus.
SELEnIum
Menghirup dapat mengiritasi hidung, tenggorokan, dan paru-paru, menyebabkan batuk, mengi, dan sesak napas. Bisa juga menyebabkan mual, diare, sakit perut, dan sakit kepala. Paparan berulang dapat menyebabkan iritabilitas, kelelahan, gigi berlubang, kehilangan kuku dan rambut, serta depresi.
VAnADIum
Iritan paru-paru. Paparan jangka panjang dapat menyebabkan serangan asma dengan sesak napas, mengi, batuk, dan dada sesak. Dapat merusak ginjal. Paparan tinggi yang berulang dapat menyebabkan anemia.
SEng
Menghirup dapat mengiritasi hidung dan
tenggorokan, serta menyebabkan mengi dan batuk. Tampaknya memengaruhi sistem reproduksi pria, termasuk jumlah sperma.
ALumInum
Paparan debu dalam jangka panjang dapat menyebabkan jaringan parut pada paru-paru (fibrosis paru) dengan gejala batuk dan sesak napas. Dapat terkait dengan demensia.
AnTImon
Menghirup dalam jangka panjang dapat
menyebabkan lubang di septum yang membelah hidung bagian dalam dan menyebabkan kerusakan paru-paru permanen. Dapat membahayakan kesuburan wanita dan merusak hati, ginjal dan jantung.
ARSEnIk
Menelan dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf, kerusakan kardiovaskular, dan kanker saluran kemih. Menghirup dan penyerapan melalui kulit masing-masing dapat menyebabkan kanker paru-paru dan kanker kulit.
BoRon
Menghirup dapat menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan dalam jangka pendek. Menelan dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan pada testis, usus, hati, ginjal, dan otak, dan akhirnya menyebabkan kematian.
kADmIum
Dapat menyebabkan kanker paru-paru dan prostat serta merusak sistem reproduksi. Menghirup dapat mengiritasi paru-paru. Menelan dapat menyebabkan mual, muntah, diare dan sakit perut.
Cr
Se
Pb
Va
Hg
Al
mn
Zn
mo
Sb
B
ni
As
Cd
Pm2.5Tl
embangkit listrik tenaga batu bara memiliki 2 (dua) pilihan dalam mengelola abu batu bara mereka: pembuangan akhir dan pemanfaatan kembali.46 Secara umum, pemanfaatan kembali
yang terenkapsulasi merupakan pilihan yang paling aman. Namun demikian, karena karakteristik, komposisi, dan mineralogi yang sangat bervariasi dari pelbagai tipe abu batu bara, penting untuk mempertimbangkan karakteristik khusus abu tersebut, [cara] pemanfaatan yang diusulkan, dan lokasi spesifik di mana abu itu akan dimanfaatkan kembali, sebelum mengasumsikan bahwa pemanfaatan kembali aman bagi lingkungan.47
Pembuangan menimbulkan risiko dan mensyaratkan pengelolaan yang terus-menerus untuk memastikan bahwa pembuangan tersebut tidak melarutkan kontaminan ke lingkungan.
3.1.
PEmAnFAATAn kEmBALI ABu
BATu BARA
3.1.1. Praktik Terbaik: Pemanfaatan kembali Terenkapsulasi
Akhir dari abu batu bara yang paling tidak berbahaya adalah enkapsulasi, di mana abu batu bara dimasukkan ke dalam subtrat padat sehingga potensi pelindian dari zat kimia beracun ke dalam air atau paparan kembali partikel ke udara tereduksi secara signifikan.48
US EPA mendefinisikan pemanfaatan terenkapsulasi yang bermanfaat 49 sebagai sesuatu yang mengikat
sisa pembakaran batu bara ke dalam matriks padat yang meminimalkan pergerakan ke lingkungan sekitar, termasuk, namun tidak terbatas pada: (1) pengisi atau agregat ringan pada beton; (2) pengganti untuk, atau bahan baku dalam produksi dari, komponen semen pada beton atau batako; (3) pengisi plastik, karet, dan produk-produk serupa; dan (4) bahan baku dalam produk-produksi papan dinding.50
Di Indonesia, pemanfaatan kembali yang terenkapsulasi juga termasuk blok tetra (pemecah ombak), pelapis jalan (paver), dan ubin.
Hingga 30% semen Portland dapat disubstitusi dengan tipe tertentu dari abu terbang dalam pembuatan beton.51 Abu
terbang dapat meningkatkan performa beton, termasuk meningkatkan daya tahan dan kekuatannya.52 Abu dasar
juga dapat dimanfaatkan kembali dalam produksi semen.53
US EPA mengevaluasi pemanfaatan abu terbang dalam beton dan papan diding gipsum dan menyatakan bahwa produk-produk ini tidak menimbulkan risiko pelindian logam berat yang lebih besar dari pada produk-produk serupa yang tidak terbuat dari abu terbang.54
Industri abu batu bara juga mempromosikan pemanfaatan abu terbang untuk memproduksi serat-serat anorganik untuk menggantikan wol batu, wol kaca, isolasi panas,
3
PELAJARAn unTuk
InDonESIA: PRAkTIk
TERBAIk DAn TERBuRuk
DARI PEmAnFAATAn
kEmBALI DAn PEmBuAngAn
DI SELuRuH DunIA
isolasi suara, atau untuk digunakan dalam penguatan beton, atau sebagai pengisi produk untuk produk-produk kertas bergelombang, karet atau plastik.55 Namun
demikian, walaupun telah dilakukan penelitian dan pengembangan, sebagian besar produksi serat dan geopolimer tetap berada pada skala laboratorium atau pembangkit listrik percontohan, sebagian dikarenakan konsumsi energi yang besar dan pembuatan peralatan yang sulit.56
Meski risiko pelindian logam berat berkurang secara substansial setelah enkapsulasi, radioaktivitas produk-produk yang dibuat dengan abu batu bara dapat menjadi risiko kesehatan masyarakat. Pada tahun 2017, ilmuwan-ilmuwan AS dan Cina menemukan abu batu bara dari deposit batu bara dengan uranium tinggi di Cina (lebih dari 10 ppm pada batu bara asalnya) tidak aman untuk dimanfaatkan kembali dalam bahan bangunan.57
3.1.2. Bahaya: Pemanfaatan kembali Tak Terenkapsulasi Sebagai Bahan Pembenah Tanah (Soil Ameliator) Atau Abu Vermikompos US EPA mendefinisikan pemanfaatan tak terenkapsulasi adalah pemanfaatan abu batu bara dalam bentuk partikulat atau lumpur yang tidak terikat dan melibatkan penempatan langsung abu di tanah, termasuk pengisian struktural, penggunaan di bidang pertanian sebagai pembenah tanah, dan agregat konstruksi.58 Pada tahun
2015, US EPA menyimpulkan bahwa “pemanfaatan tak terenkapsulasi secara umum menghadirkan isu yang lebih sulit dari pada pemanfaatan yang terenkapsulasi. [Sisa pembakaran batu bara, atau CCR] dapat melarutkan logam beracun pada tingkat yang mengkhawatirkan, jadi bergantung pada karakteristik abu, jumlah material yang ditempatkan, bagaimana penempatannya, dan kondisi lokasi, terdapat kemungkinan menimbulkan masalah lingkungan.59
Pembenah tanah:
Salah satu pemanfaatan abu batu bara adalah
penggunaan langsung ke tanah sebagai pembenah tanah. Abu batu bara mengubah sifat-sifat fisik tanah termasuk struktur tanah dan kapasitas untuk menahan kelembapan, dan sifat-sifat kimia termasuk pH, ketersediaan hara, dan salinitas (konduktivitas listrik).60 Lumpur FGD juga
digunakan sebagai pembenah tanah karena kandungan kalsium dan sulfurnya yang tinggi.61 Meskipun baru
ada beberapa studi tentang abu batu bara sebagai pembenah tanah, mereka telah mengidentifikasi risiko-risiko penting.62 Partikel-partikel halus abu terbang dapat
meningkatkan unsur kelumit racun yang larut di dalam tanah, meningkatkan ketersediaan hayati dari unsur racun tersebut, dan meningkatkan konsentrasi pembenah tanah dari logam-logam tersebut.63 Dampak terhadap pertanian
termasuk berkurangnya pertumbuhan tanaman di tanah yang dibenahinya, terutama setelah penggunaan jangka panjang, dan bioakumulasi dari beberapa logam beracun di dalam tanaman.64 Karena air tanah tidak dipantau
untuk kontaminan beracun pada lokasi pertanian, dampak terhadap keamanan air tidak diketahui.
Abu vermikompos:
Produk pertanian lain yang dibuat dari abu batu bara adalah abu vermikompos: pupuk yang dibuat oleh cacing tanah yang membuat kompos dengan campuran tiga bagian kotoran sapi dan satu bagian abu terbang. Sebuah studi pada tahun 2019 tentang abu vermikompos menunjukkan dampak positif terhadap tomat dan terong, hanya jika abu terbang mencapai 5% atau kurang dari campuran tanah.65 Pelbagai logam berat tidak meningkat
secara signifikan di dalam tanah setelah 120 hari. Namun, studi tersebut tidak menguji tanah terhadap merkuri atau selenium66 dan tidak menguji konsentrasi
logam pada tanaman, atau memeriksa potensi dampak jangka panjang.67 Mengingat kurangnya penelitian yang
mendalam terhadap dampak penggunaan abu batu bara atau abu vermikompos sebagai pupuk, penggunaan ini dapat menimbulkan risiko dampak lingkungan dan kesehatan publik yang signifikan dalam jangka panjang, dan harus dinilai dan dipantau secara cermat.
3.1.3. Bahaya: Abu Batu Bara Digunakan Sebagai Bahan urug
Karena abu batu bara diproduksi dalam jumlah yang besar dan mahal untuk dibuang secara benar, banyak operator pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh dunia membuang abu, khususnya abu dasar, sebagai bahan urug di area-area dataran rendah, tambang, landasan jalan, dan proyek konstruksi, termasuk proyek reklamasi pantai.68 Hal ini dapat sangat berbahaya
jika abu diletakkan di area air tanah dangkal, dekat air permukaan, dekat area berpenduduk, atau dibiarkan tidak tertutup di tempat yang dapat disebarkan oleh angin. Proyek pengurugan [dengan] abu batu bara menghadirkan bahaya yang sama terhadap kesehatan dan lingkungan seperti tempat pembuangan sampah yang tidak dilapisi, dan dapat menjadi lebih berbahaya, karena penduduk sekitar mungkin tidak menyadari penempatan abu tersebut, dan tidak ada perlindungan, seperti pemantauan atau lapisan kedap air, yang digunakan. Penempatan abu batu bara pada tanah tanpa perlindungan, seperti ketika digunakan sebagai bahan urug, haruslah dilarang. 3.1.4. Bahaya: Pengolahan Air Limbah Abu batu bakar alkalin juga dipromosikan sebagai pengolahan untuk menetralisir air asam tambang (acid mine drainage). Sebuah studi Afrika Selatan pada tahun 2018 menemukan bahwa abu terbang yang digunakan
ke air asam tambang dari tambang Afrika Selatan menghasilkan pelarutan boron, strontium, barium dan molibdenum yang signifikan, sehubungan dengan konsentrasi abu terbang.69 Studi merekomendasikan
pengolahan air tambahan untuk menghilangkan kontaminasi baru yang disebabkan oleh abu terbang. 3.2.
PEmBuAngAn ABu BATu BARA
3.2.1. Pembuangan Yang Paling Tidak Berbahaya: Tempat Penimbusan Akhir (Landfill) Yang kering, Berlapis, Dan Direkayasa Penelitian menyeluruh selama beberapa dekade telah menunjukkan bahwa tempat penimbusan akhir (landfill) abu batu bara kering dengan pengamanan yang direkayasa secara modern paling kecil kemungkinannya untuk mencemari air.70 Di Amerika Serikat, 76% tempat
pembuangan abu batu bara merembeskan racun.71
tempat penimbusan akhir (landfill) dapat dibangun di bawah dan di atas permukaan tanah, meskipun semuanya harus dibangun jauh di atas permukaan air tanah. Lapisan kedap air, sistem pengumpulan air lindian, dan sumur pemantauan air tanah merupakan komponen penting dari tempat pembuangan kering modern yang membantu mencegah kebocoran, menangkap kebocoran ketika itu terjadi, dan mendeteksi pelepasan zat kimia berbahaya ke air tanah. Tempat-tempat pembuangan biasanya dibangun di bagian yang disebut “sel”, di mana abu kering ditempatkan di atas lapisan sel “aktif” dan dipadatkan sampai sel terisi.72 Sel yang sudah selesai ditutup dengan
tanah dan bahan-bahan lain, dan selanjutnya sel dibuka. Tempat-tempat pembuangan biasanya merupakan cekungan-cekungan atau galian-galian alami yang secara bertahap diisi dengan limbah. Lapisan dari tempat pembuangan dapat mencapai jauh di atas permukaan alami.73 Jika air lindian dan limpasan yang terkontaminasi
tidak dikendalikan dengan baik, kontaminasi air akan terjadi.74 Debu larian juga dapat muncul pada tempat
pembuangan selama pemindahan.75 Tempat pembuangan
yang kering dan berlapis masih membutuhkan penempatan, desain, pengawasan, dan pengolahan air yang cermat yang dibutuhkan secara berkelanjutan.76
3.2.2. Pembuangan Yang Paling Berbahaya: Penimbunan Permukaan (Surface
Impoundment) Atau kolam
Penimbunan permukaan adalah cekungan-cekungan alami, kolam-kolam galian, atau cekungan tanggul yang berisi campuran abu batu bara dan air limbah.77 Abu
batu bara yang dibuang di penimbunan permukaan dialirkan dengan air dari pembangkit listrik ke kolam. Padatan secara berangsur-angsur mengendap dari bubur ini, terakumulasi di dasar penampung.78 Proses
ini meninggalkan lapisan air yang menggenang di permukaan. Abu batu bara yang terakumulasi di dasar cekungan dapat tertinggal di tempatnya atau cekungan tersebut dapat dikeringkan secara berkala dan padatan dipindahkan untuk dibuang di tempat lain atau dimanfaatkan kembali.79
Menurut US EPA, risiko terbesar terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dari pembuangan abu batu bara terjadi ketika abu batu bara dibuang di dalam penimbunan permukaan yang tidak dilapisi.80 Air limbah dari kolam
abu batu bara mengandung pelbagai tingkat zat kimia beracun dari abu batu bara. Ketika air limbah ini dibuang ke perairan permukaan terdekat, air tersebut mencemari air penerima dan dapat menyebabkan kontaminasi jangka panjang di danau dan sungai.81 Lebih dari 92% kolam abu
batu bara yang diteliti di AS, air lindian dari kolam-kolam mengkontaminasi air tanah yang mendasarinya.82 Karena
air tanah biasanya mengalir ke air permukaan terdekat, kontaminasi ini juga dapat merusak kualitas air dari aliran air dan waduk terdekat serta membahayakan kehidupan perairan.83 Juga terdapat potensi kehancuran tanggul
yang tidak direkayasa dan tidak dirawat dengan baik,84
sebagaimana telah terjadi di AS dan India.85
3.2.3. Berisiko Tinggi untuk membahayakan: Bahan Isian Lubang Tambang (minefill) Sebuah metode yang berbahaya untuk pembuangan abu batu bara adalah penempatan abu batu bara pada tambang terbuka atau lubang tambang bawah tanah sebagai tempat pembuangan.86 Abu batu bara dalam
jumlah besar dapat dibuang pada tambang terbuka yang aktif atau terbengkalai.87 Ketika ditempatkan
pada tambang permukaan, abu umumnya diendapkan di tambang sebagai material penimbunan kembali, dan dapat digabungkan dengan lapisan tanah penutup (tanah dan batu-batuan yang dikeluarkan dari tambang itu sendiri).88 Abu batu bara juga sudah dimanfaatkan
untuk membentuk ampas untuk mengisi tambang bawah tanah.89 Pembuangan di lubang tambang adalah hal yang
biasa ketika pembangkit listrik dan tambang lokasinya berdekatan satu sama lain.90 Pembuangan di lubang
tambang dapat menyebabkan kontaminasi air permukaan dan air tanah karena abu ditempatkan di zona yang sangat berfraktur atau langsung di kolam tambang yang mengalir ke aliran air atau akuifer.91 Selain mengkontaminasi
air tanah dan air permukaan, pembuangan abu di tambang terbuka mencegah rehabilitasi yang efektif dari lokasi tambang dan kemungkinan akan menghalangi penggunaan tanah secara produktif di masa depan dan akuifer yang mendasarinya.
US National Academy of Science (NAS) menilai masalah dalam penggunaan abu batu bara sebagai tempat
Timbunan FABA yang menggunung di bantaran Sungai Tawaili, Panau, Sulawesi Tengah hanya sebagian ditutupi plastik.
Foto: Yayasan Nexus3.
pembuangan, termasuk pencemaran air, debu larian, dan penyerapan racun oleh tanaman, dan merekomendasikan metode pembuangan atau pemanfaatan kembali
yang lebih aman.92 Secara khusus, hasil asesmen
merekomendasikan untuk menghindari tempat pembuangan dengan abu batu bara pada area dengan permukaan air yang dangkal atau subtrat berpori, dan merekomendasikan penempatan abu batu bara pada kedalaman yang sesuai dan penutupan dengan lapisan tanah penutup dan pemindahan tanah lapisan atas pada saat penambangan batu bara.93 Studi tersebut juga
memperingatkan untuk tidak membiarkan abu batu bara tidak tertutup di lubang karena satwa liar dapat langsung terpapar air yang terkontaminasi dengan dampak yang merusak, bahkan jika kontaminasi air berada dalam batas yang dianggap aman untuk konsumsi manusia.94 Vegetasi
pada lokasi tersebut juga dapat mem-bioakumulasikan logam, terutama boron dan selenium, ke konsentrasi yang beracun untuk satwa liar dan hewan ternak.95
Studi tersebut menyimpulkan bahwa “sebuah proses karakterisasi [sisa pembakaran batu bara] terintegrasi, karakterisasi lokasi, manajemen dan desain teknis aktivitas penempatan, dan desain serta penerapan pemantauan diperlukan untuk mengurangi risiko kontaminasi bergerak dari lokasi tambang ke lingkungan sekitar.96
Abu batu bara terkadang digunakan sebagai bahan isian lubang tambang (minefill) dengan tujuan untuk mencegah air asam tambang (acid mine drainage). Memahami apakah bahan isian lubang tambang (minefill) tersebut berkontribusi terhadap pencemaran air di lokasi ini dapat menjadi rumit karena adanya kemungkinan pencemaran dari aktivitas pertambangan masa lalu atau yang sedang berlangsung.97 Ada upaya gagal yang terdokumentasi
dengan baik untuk menggunakan abu batu bara ke lubang tambang untuk mencegah air asam tambang (acid mine drainage) di Amerika Serikat.98
4.1.
SEJARAH DEREguLASI SEJAk
TAHun 2014
Selama beberapa dekade, Indonesia mengelola abu batu bara sebagai limbah B3. Sejak Indonesia kali pertama mengatur tentang limbah B3 di tahun 1994, Indonesia telah mengategorikan abu terbang dan abu dasar dari pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai limbah B3.99
Indonesia terus mencantumkan abu batu bara sebagai limbah B3 dalam perubahan-perubahan aturan tersebut pada tahun 1999100 dan 2014.101 Para penghasil atau pihak
ketiga pengelola harus mengelola abu batu bara sebagai limbah B3 kecuali mereka memperoleh pengecualian untuk limbah individual mereka.102
Aturan tersebut mempunyai dua unsur penting: (1) setiap tahap pengelolaan abu batu bara diatur dan membutuhkan izin;103 dan (2) aktivitas yang tidak memiliki izin adalah ilegal
dan diancam dengan sanksi pidana.104
Sistem perizinan memungkinkan pemerintah untuk melacak abu batu bara dari awal hingga akhir. Peraturan mengharuskan para penghasil dan pihak ketiga pengelola105
untuk mematuhi persyaratan teknis dan legal yang mengatur pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau pembuangan akhir abu batu bara.106 Sebagai contoh,
peraturan-peraturannya termasuk:
(i) Pembatasan terhadap penyimpanan sementara yang tidak melebihi 365 hari dan kewajiban dokumentasi untuk pengelolaan abu lebih lanjut setelah penyimpanan sementara;107
(ii) Persyaratan bahwa penghasil hanya dapat berkontrak dengan pengangkut yang memiliki izin yang dilengkapi dengan surat muatan (manifest) dan pengamanan teknis lainnya untuk memindahkan abu batu bara;
(iii) Pembatasan pemanfaatan kembali berdasarkan karakteristik dari abu (sebagai contoh dengan membatasi abu batu bara ‘yang dapat dimanfaatkan kembali’ sebagai abu yang memenuhi tingkat
kontaminasi radioaktif dan konsentrasi aktivitas108) serta
persyaratan uji coba untuk beberapa jenis pemanfaatan kembali; dan
(iv) Tapak dan persyaratan teknis untuk pembuangan akhir, termasuk persyaratan bahwa tempat penimbusan akhir (landfill) harus dilapisi dengan layak.109
Gabungan antara persyaratan perizinan dan penuntutan pidana memungkinkan pemerintah Indonesia umemastikan pengelolaan abu batu bara yang tepat dan menghukum pengelolaan yang salah. Meskipun ada celah dan masalah dalam penerapannya, aturan tersebut memberikan tingkat perlindungan tertentu.
Saat Indonesia meningkatkan produksi listrik dengan bahan bakar batu bara, pemerintah mendapatkan tekanan yang lebih besar dari industri untuk melonggarkan peraturan abu batu bara. Tidak lama setelah Presiden Jokowi mengumumkan rencana untuk menambah produksi listrik sebesar 35.000 MW––sebagian besar berbasis batu bara––pada tahun 2014, asosiasi batu bara mulai mengadvokasi penghapusan abu terbang dan abu dasar dari daftar limbah B3.110 Pada tahun 2017, Jokowi menerbitkan
peraturan presiden untuk mempercepat program 35.000 MW yang mencakup pasal yang mengizinkan “PT PLN, anak perusahaan PLN atau pengembang pembangkit listrik” untuk “memanfaatkan limbah yang digunakan oleh pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil berupa batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.”111
4
PERATuRAn DAn
PEngELoLAAn ABu
Antara tahun 2018 dan 2020, Indonesia mengadopsi serangkaian perubahan peraturan untuk memberikan insentif kepada proyek bisnis dan infrastruktur. Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Online Single Submission pada tahun 2018,112 yang mempersingkat
proses perizinan limbah B3.113 Tidak lama setelahnya, KLHK
menerbitkan peraturan pelaksana untuk mempercepat semua perizinan di bawah kewenangannya,114 termasuk
menyederhanakan perizinan yang terkait dengan pengelolaan abu batu bara.
Terlepas dari perubahan ini, industri batu bara tetap mendorong penghapusan abu batu bara dari daftar limbah B3.115 Pada pertengahan tahun 2019, Kementerian
Perindustrian menyusun rancangan Peraturan Presiden untuk mengakomodir kepentingan industri abu batu bara.116 KLHK bekerja bersama PLN dalam menilai
opsi-opsi pemanfaatan kembali abu batu bara dan potensi ekonominya.117 Pada tahun 2020, KLHK menetapkan
peraturan yang memudahkan persyaratan bagi limbah B3, termasuk abu terbang, namun tidak menyentuh abu dasar.118
Pada akhir tahun 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengesahkan Omnibus Law tentang Cipta Kerja,119 yang
semakin melonggarkan pengamanan lingkungan, termasuk mencabut semua persyaratan perizinan untuk limbah B3 dan menghapus sanksi pidana bagi pengelolaan limbah B3 ilegal. Pada tahun 2021, Jokowi menandatangani empat puluh sembilan peraturan pelaksana [UU Cipta Kerja], termasuk sebuah peraturan yang mengklasifikasikan kembali abu batu bara dari pembangkit listrik––baik abu terbang maupun abu dasar––sebagai “limbah non-B3 terdaftar.”120
Meskipun masih mengatur abu batu bara sampai tahap tertentu, peraturan baru tersebut menghilangkan pengaturan pengamanan untuk pengelolaan abu batu bara yang
signifikan. Perubahan-perubahan yang paling penting adalah: (i) Penyimpanan, pemanfaatan kembali, dan pembuangan
tidak lagi memerlukan izin–– semua pengelolaan abu batu bara, kecuali untuk persyaratan pembuangan akhir, termasuk dalam “persetujuan lingkungan” yang diberikan kepada para penghasil atau pihak ketiga pengelola sebagai bagian dari izin usahanya;121
(ii) Penghapusan sanksi pidana untuk pengelolaan abu batu bara ilegal122 dan ketidakjelasan konsekuensi bagi
tindakan-tindakan yang dilarang;123
(iii) Tidak ada batasan terhadap penyimpanan sementara abu batu bara dan tidak ada larangan terhadap penyimpanan di area rawan bencana (meskipun, peraturan penyimpanan mensyaratkan keputusan penempatan untuk “mempertimbangkan jarak yang aman terhadap perairan seperti garis batas pasang tertinggi air laut, kolam, rawa, mata air, sungai, dan sumur penduduk”);124
(iv) Tidak ada pengaturan untuk pengangkutan abu batu bara, yang berarti bahwa, selain peningkatan risiko pelepasan selama pengangkutan, rantai pelacakan untuk penjagaan abu batu bara yang tidak ditangani dengan benar akan menjadi hampir tidak mungkin;
(v) Tidak ada pembatasan terhadap abu batu bara “yang dapat dimanfaatkan kembali” dan, meskipun peraturan tersebut mencakup penjabaran lebih detail terkait metode yang mungkin digunakan, peraturan tersebut tidak membedakan antara pemanfaatan kembali yang berisiko lebih tinggi atau lebih rendah.125
Di dalam peraturan yang baru, pengelola abu batu bara tetap harus mematuhi persyaratan yang berlaku untuk beberapa fasilitas-fasilitas pembuangan seperti tempat penimbusan akhir (landfill) limbah non-B3 terdaftar, penimbunan kembali di lubang tambang yang tidak direklamasi, dan bendungan penampung limbah tambang (tailing dam).126
Namun demikian, aturan terkait penempatan, struktur, dan pemantauan lingkungan dari fasilitas-fasilitas ini, serta [penentuan] jenis fasilitas yang sesuai untuk pelbagai jenis limbah, masih belum jelas. Yang terpenting, meskipun dibingkai sebagai bentuk promosi pemanfaatan kembali abu batu bara, tidak satupun [ketentuan] di dalam peraturan yang benar-benar membuat pemanfaatan kembali lebih menguntungkan dari pada penyimpanan sementara dan pembuangan akhir.
4.2.
PEngHASIL ABu BATu BARA DI
InDonESIA
Hampir setengah dari listrik Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dengan kapasitas produksi listrik berbahan bakar batu bara mencapai 34.608 MW pada tahun 2020, lebih dari 9,7 juta ton abu dihasilkan di tahun itu saja.127 Dengan rencana ambisius negara untuk
menambah 27.063 MW dari pembangkit listrik tenaga uap, yang sebagian besar berbasis batu bara, KESDM memproyeksikan penghasilan tahunan abu batu bara akan meningkat menjadi 13,5 juta ton abu pada tahun 2023, dan 15,3 juta ton pada tahun 2028.128
Tidak jelas berapa banyak abu batu bara yang berada di bawah pengawasan KLHK. Data KLHK menunjukkan bahwa hanya 2,9 juta ton abu batu bara yang dihasilkan oleh 44 pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2020, kurang dari sepertiga angka KESDM.129 Selain itu, tidak ada
data dokumentasikan total penghasilan abu batu bara sejak awal pembangkit listrik tenaga batu bara mulai dioperasikan di Indonesia yang dapat diakses publik, tidak ada pula data terkait pembuangan akhir limbah abu batu bara selama beberapa dekade.
Sebuah publikasi bersama pada tahun 2019 oleh KLHK dan PLN menyatakan bahwa hanya 0,06% dari abu batu bara PLN
yang dimanfaatkan kembali, sedangkan 25,08% ditimbun.136
Akhir dari 75% yang lainnya tidaklah jelas: 57,3% dari jumlah tersebut tercatat telah diangkut oleh pihak ketiga, tetapi publikasi tersebut tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dilakukan pihak ketiga terhadap abu batu baranya. Sisanya––hampir seperlima––tercatat sebagai sisa dalam pembuangan sementara,137 yang kemungkinan melanggar
waktu penyimpanan maksimum selama 365 hari. 4.3.
TEmPAT PEnYImPAnAn SEmEnTARA
ABu BATu BARA
Hampir seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia––sekitar 97.63 %––menyimpan sementara abu mereka di dalam fasilitas mereka138 sebelum
mengangkutnya ke lokasi-lokasi lain untuk dimanfaatkan kembali, diolah atau dibuang. Sebagian besar fasilitas penyimpanan sementara kemungkinan dirancang untuk menampung abu batu bara yang dihasilkan selama tidak lebih dari satu tahun, mengikuti persyaratan maksimum penyimpanan sementara.139
Abu batu bara dapat disimpan sementara di silo, tempat tumpukan limbah (waste pile), atau penampungan limbah (waste impoundment).140 Di masa lalu, pemerintah daerah
menentukan tipe fasilitas penyimpanan sementara dalam izin penyimpanan sementara limbah B3. Tidak ada data yang memperkirakan berapa banyak abu tersimpan di masing-masing tipe fasilitas, baik oleh pembangkit listrik ataupun secara kumulatif, yang tersedia untuk publik. Pada semua studi kasus yang dideskripsikan di Lampiran 1, pembangkit listrik menyimpan abu mereka di tempat tumpukan limbah (waste pile) atau silo, atau secara ilegal membuang abu di lokasi-lokasi yang tidak diizinkan.
Terlepas dari sifatnya yang sementara, penyimpanan membutuhkan lahan yang luas karena besarnya volume abu yang dihasilkan. Beberapa fasilitas, seperti PT Indominco Mandiri dan PLTU Mpanau, memiliki izin untuk fasilitas penyimpanan abu sementara yang terlalu kecil untuk menampung volume abu yang dihasilkan. Lahan abu PLTU Suralaya hanya 14 Ha untuk produksi listrik sebesar 4.025 MW, meskipun dengan perluasan 2.000 MW, operator berencana untuk menambah 15 Ha tambahan untuk tempat
Keputusan untuk menghapus abu batu bara didasarkan pada uji toksisitas sampel abu batu bara dari 19 unit pembangkit listrik tenaga batu bara yang menggunakan Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan LD50 (sebuah pengujian di mana 50% dari organisme terpapar yang diuji telah mati). Berdasarkan pengujian ini, Presiden dan KLHK menyimpulkan bahwa abu terbang dan abu dasar tidak berbahaya dan harus dikeluarkan dari daftar limbah B3. Namun demikian, ketergantungan pada TCLP, yang tidak dapat diandalkan untuk memprediksi perilaku pelindian dari abu batu bara di lapangan, dan tes LD50 yang relatif sedikit tidak cukup untuk menentukan risiko skenario pembuangan dan pemanfaatan kembali yang sebenarnya.
Pada tahun 1970-an, di masa awal peraturan limbah padat, US EPA mengembangkan TCLP untuk mengklasifikasikan limbah padat perkotaan untuk opsi pembuangan. TCLP menyimulasikan perilaku limbah ketika terpapar air dengan pH tertentu, yang disesuaikan dengan tingkat pH air di tempat pembuangan limbah padat perkotaan.130
Selama bertahun-tahun pengujian ini juga digunakan untuk abu batu bara, tetapi EPA di awal tahun 2000-an mulai untuk menyadari keterbatasan dari TCLP. Karenanya, EPA dan ilmuwan-ilmuwan lain dari AS dan negara-negara lain mengembangkan Leaching Environmental Assessment
Framework (LEAF), yang mencakup empat metode untuk menyimulasikan secara lebih akurat potensi pelindian pada kondisi lapangan yang beragam.131 Pada tahun 2015,
EPA membandingkan ratusan hasil tes TCLP dan LEAF dengan kondisi-kondisi lapangan yang sesungguhnya dan menemukan bahwa “prosedur pelindian tradisional (seperti Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Synthetic Precipitation Leaching Procedure (SPLP)) mungkin meremehkan tingkat pelindian yang sebenarnya dari konstituen beracun dari residu pembakaran batu bara pada kondisi lapangan yang berbeda-beda.132 EPA juga
telah menyimpulkan bahwa “metode LEAF menangkap karakteristik pelindian yang ditemukan di lapangan secara akurat. Perhitungan yang baik akan pH dari limbah pada kondisi lapangan serta rasio cair-padat dari pelindian dan limbah terbukti menghasilkan hasil lab yang sangat mirip dengan yang ditemukan di kondisi lapangan yang terkait.133 US EPA sekarang merekomendasikan untuk
merancang pengujian LEAF yang sesuai untuk semua pembuangan abu batu bara atau pemanfaatan kembali berdasarkan kondisi-kondisi realistis, dan pada tahun 2017 mempublikasikan panduannya terkait bagaimana cara merancang pengujian tersebut secara tepat.134 Studi-studi
ilmiah sejak tahun 2017 menggarisbawahi pentingnya kondisi sekitar terkait pelindian, dan merekomendasikan penilaian risiko berbasis situasi.135
uJI TokSISITAS InDonESIA:
AkuRAT DAn DAPAT DIAnDALkAn?
penyimpanan yang ada. Fasilitas penyimpanan yang tidak memadai sering kali mengakibatkan penyimpanan ilegal di lokasi-lokasi yang tidak diizinkan. Faktanya, keluhan masyarakat di Suralaya, Cilacap, dan Ombilin semuanya terkait dengan penyimpanan sementara abu di PLTU. Perkara pidana PT Indominco Mandiri, PLTU Mpanau, dan PT Indo Bharat Raya juga meliputi salah kelola penyimpanan sementara abu.
Berdasarkan peraturan limbah B3 tahun 2014, ketika fasilitas penyimpanan sementara penuh atau ketika abu mencapai waktu penyimpanan maksimum, penghasil harus mengangkut, memanfaatkan kembali, mengolah atau membuang abu batu bara atau berkontrak dengan pihak ketiga untuk mengelola abu tersebut.141 Namun demikian,
peraturan baru tahun 2021 tidak menentukan waktu penyimpanan maksimum. Dalam menetapkan aturan baru, KLHK tidak merilis data yang menilai sampai sejauh mana pemegang izin penyimpanan sementara telah memenuhi persyaratan waktu maksimum atau apakah fasilitas sementara cukup untuk menyimpan abu yang dihasilkan. Tidak jelas bagaimana pemerintah akan memastikan bahwa tempat penyimpanan abu sementara tidak berubah menjadi pembuangan akhir yang tidak layak.
4.4.
PEngAngkuTAn ABu BATu BARA
Para penghasil dapat menggunakan armada mereka untuk mengangkut abu batu bara atau dapat berkontrak dengan pihak ketiga. Berdasarkan aturan tahun 2014, pengangkut harus memiliki izin sebagai pengangkut limbah B3. Terdapat ratusan pengangkut yang memiliki izin di seluruh Indonesia. Abu batu bara menempuh pelbagai jarak, terkadang hingga ribuan kilometer, untuk dimanfaatkan kembali, diolah atau dibuang. Di beberapa area di mana fasilitas pemanfaatan kembali atau lokasi pembuangan akhir tidak tersedia, abu bergerak melintasi provinsi-provinsi, dan bahkan pulau-pulau. Saat abu diangkut melalui jalur darat, truk-truk sering melewati jalan-jalan umum dan melalui lingkungan masyarakat, menyebarkan debu di sepanjang rute. Masyarakat yang tinggal di rute transportasi mengeluhkan debu dari truk-truk yang tidak tertutup. Masyarakat juga mengeluhkan debu larian yang keluar dari lokasi penyimpanan di mana abu dimuat ke dalam kendaraan, seperti di Suralaya. Tongkang atau kapal yang mengangkut abu batu bara mengeluarkan debu larian di sepanjang rute mereka dan di pelabuhan.
Kami menemukan insiden-insiden pengangkutan ilegal dan tidak tepat, termasuk pengangkut yang dinyatakan bersalah atas pembuangan ilegal abu batu bara. (Lihat kasus PT Nuryeni yang dijelaskan pada Lampiran 1.) Namun demikian, tingkat kepatuhan dan penegakan hukum secara keseluruhan tidak jelas. Kami tidak menemukan dokumentasi atau sistem untuk memverifikasi bahwa
rantai pengawasan abu batu bara dipertahankan. Sebelum 2020, pemerintah tidak memiliki sistem yang dapat
diandalkan untuk melacak truk-truk, sehingga tidak mungkin untuk memverifikasi apakah abu mencapai tujuan yang diinginkan. Aturan baru tidak mensyaratkan pengangkut-pengangkut untuk mengambil langkah apa pun untuk mendokumentasikan atau melaporkan rantai pengawasan untuk abu yang diangkut.
Tanpa surat muatan pengangkutan dan persyaratan pelacakan, tidak jelas bagaimana cara pemerintah akan memastikan abu batu bara tidak hilang dalam pengangkutan, sehingga berpotensi untuk lolos dari semua persyaratan peraturan [yang mengatur] pemanfaatan kembali atau pembuangan. Ini merupakan langkah mundur yang besar untuk transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan lingkungan hidup dari risiko kontaminasi abu. 4.5.
PEmAnFAATAn kEmBALI ABu
BATu BARA
Selama beberapa dekade, Indonesia memiliki tingkat pemanfaatan kembali abu batu bara yang rendah. Sebuah publikasi gabungan antara KLHK dan PLN menyatakan bahwa hanya 0,06% dari abu batu bara PLN yang
dimanfaatkan kembali, sedangkan Asosasi Pertambangan Batu Bara Indonesia memperkirakan angka pemanfaatan kembali sebesar 1-2%.142 Tidak ada data mengenai
dokumentasi pelbagai tipe pemanfaatan kembali di Indonesia yang tersedia untuk publik, meskipun KLHK seharusnya memiliki data-data ini karena para penghasil dan pihak ketiga diwajibkan untuk melaporkan tipe-tipe pemanfaatan kembali abu.
Alasan dibalik rendahnya tingkat pemanfaatan kembali tidak jelas. Industri menyalahkan status abu batu bara sebagai limbah B3 untuk rendahnya tingkat pemanfaatan kembali.143
Pemerintah menyatakan alasannya untuk menghapus abu batu bara dari daftar limbah B3 adalah untuk mendorong pemanfaatan kembali.144 Namun demikian, aturan baru tidak
berisi ketentuan apapun yang memberikan insentif terhadap pemanfaatan kembali dibandingkan dengan penyimpanan atau pembuangan akhir. Faktanya, bahkan sebelum aturan baru tersebut, para penghasil dan pihak ketiga dapat memanfaatkan kembali abu batu bara setelah mendapat izin yang
memverifikasi abu batu bara dapat dimanfaatkan kembali, yang berarti memenuhi tingkat kontaminasi radioaktif dan konsentrasi aktivitas.145 Proses perizinan juga mensyaratkan
proses percobaan untuk menilai kelayakan dan keamanan dari beberapa tipe pemanfaatan kembali.146 Dengan aturan baru,
baik batas radioaktif dan persyaratan percobaan dihilangkan, yang membuat pemanfaatan kembali lebih berisiko.
Kekhawatiran lain terhadap aturan baru adalah kegagalannya untuk membedakan antara pemanfaatan kembali yang terenkapsulasi yang relatif aman dan
pemanfaatan kembali tak terenkapsulasi yang berisiko tinggi. Ini juga merupakan kelemahan dari rezim pengaturan sebelumnya, yang memungkinkan pemanfaatan kembali yang sangat merusak lingkungan walaupun abu batu bara diklasifikasikan sebagai limbah B3. Sebagai contoh, pada kasus PT PRIA, masyarakat setempat menggunakan abu batu bara yang seharusnya diolah oleh perusahaan sebagai bahan urug kavling pemukiman. Pada PLTU Ombilin, penghasil mendorong pemanfaatan kembali abu batu bara sebagai bahan pembenah tanah (soil ameliorator) di area di mana kelompok petani setempat menanam tanaman yang dapat dimakan dan membudidayakan ikan. PLTU Ombilin juga menggunakan abu batu bara dalam jumlah besar untuk menimbun kembali setidaknya satu lubang tambang yang tidak direklamasi dan tidak dilapisi. Pada tempat-tempat lainnya, para operator pembangkit listrik mempekerjakan masyarakat setempat untuk memproduksi blok-blok trotoar yang menggunakan abu batu bara tanpa atau dengan peralatan keamanan yang minim, yang dalam banyak kejadian dibingkai sebagai proyek “tanggung jawab sosial perusahaan”.
Aturan baru, walaupun mencantumkan pelbagai tipe pemanfaatan kembali dengan lebih detail, juga gagal untuk membedakan pemanfaatan kembali yang aman dari pemanfaatan kembali yang berisiko, dan karenanya memungkinkan pemanfaatan kembali sebagai bahan baku atau bahan baku pengganti untuk bahan-bahan konstruksi (yaitu beton, semen, batako, paving block, beton ringan) maupun sebagai bahan urug, bahan pembenah tanah (soil ameliorator), dan penggunaan pada kertas, plastik dan produk-produk lainnya.147
Aturan baru ini juga memungkinkan “bentuk lain” dari pemanfaatan kembali “sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”148 Hal ini tampaknya
memungkinkan bentuk-bentuk pemanfaatan kembali yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam aturan, termasuk pemanfaatan yang oleh KLHK dan PLN di dalam penilaiannya pada tahun 2019 diberikan peringatan dapat “bepotensi membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia,”149
seperti pengolahan air limbah dan abu vermikompos.150
Terakhir, meskipun aturan baru mensyaratkan sebagian besar produk abu batu bara untuk mematuhi standar produk,151 hanya ada empat standar nasional yang tersedia
terkait abu batu bara––semuanya bersifat sukarela dan hanya berlaku untuk pemanfaatan kembali abu terbang yang terenkapsulasi.152 Pembuatan standar produk merupakan
kesempatan penting untuk memberikan atau menghilangkan insentif pelbagai tipe pemanfaatan kembali.
4.6.
PEmBuAngAn AkHIR ABu BATu BARA
Kendati tidak dilarang, Indonesia secara historis tidak mengizinkan penampungan basah (wet impoundment)
untuk pembuangan akhir abu batu bara. Indonesia telah mengizinkan penampungan basah (wet impoundment) untuk pembuangan sementara. Persyaratan izin yang ketat untuk penampungan basah (wet impoundment) mungkin menjadi alasan mengapa metode pembuangan yang paling berbahaya ini belum banyak digunakan.153 Berdasarkan
aturan tahun 2014, otoritas perizinan mengevaluasi lokasi dan tipe fasilitas pembuangan; desain; teknologi; metode dan proses pembuangan; dan prosedur pembuangan.154
Abu batu bara dengan tingkat radioaktivitas dan konsentrasi tertentu harus dibuang pada tempat
pembuangan kelas 1 atau kelas 2155 (tempat pembuangan
berlapis dengan persyaratan tapak yang ketat). Aturan baru mempertahankan opsi-opsi pembuangan akhir untuk abu batu bara yang terbatas pada fasilitas tempat pembuangan limbah tidak berbahaya, penimbunan kembali di lubang tambang, atau penempatan pada bendungan penampung limbah tambang (tailing dam).156
Tidak jelas seberapa banyak lagi kelonggaran fasilitas pembuangan limbah tidak berbahaya dibandingkan dengan fasilitas limbah B3 yang dilapisi dan ditempatkan dengan cermat. Selain itu, kurangnya kejelasan seputar batas waktu penyimpanan sementara dapat menyebabkan penampungan basah (wet impoundment) yang besar menyimpan abu jauh lebih lama dari pada sementara. Aturan baru juga tidak memiliki pedoman seputar kapan untuk menimbun atau menempatkan kembali dan menghilangkan persyaratan untuk pengujian dasar air tanah, pemantauan air tanah, keputusan penghentian untuk penutupan, dan persyaratan pemantauan pasca-penutupan. Dikombinasikan dengan penghapusan batas radioaktivitas,157 ketidakjelasan dan kurangnya pengawasan
ini mengirimkan sinyal kepada para penghasil dan pihak ketiga untuk menggunakan metode pembuangan yang paling murah dan paling berisiko. PLTU Ombilin adalah contoh di mana abu yang ditimbun di lubang-lubang tambang dapat menyebabkan kontaminasi air tanah yang tidak terdeteksi karena tidak ada pemantauan air tanah yang dipersyaratkan atau dilakukan. Dalam menetapkan aturan baru, KLHK tidak mengeluarkan atau tidak mengevaluasi rona awal air tanah dan hasil-hasil pemantauan yang seharusnya dimilikinya. Dengan demikian, status kontaminasi air tanah dari fasilitas pembuangan akhir yang ada sebagian besar tidak diketahui. Terakhir, aturan baru tidak memiliki ketentuan yang cukup untuk memastikan kepatuhan, pendeteksian aktivitas ilegal, penegakan hukum, dan [pemberian] sanksi tegas terhadap pelanggar. Di masa lalu, bahkan operator yang memiliki izin melanggar hukum dengan sangat nyata. Sebagai contoh, PT Indo Bharat Rayon, pemegang izin pembuangan akhir limbah B3, dinyatakan bersalah secara pidana karena menimbun 252.200 ton abu batu bara secara ilegal selama satu dekade di salah satu rawa