BAB III
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER PADA BIDANG TENAGA KERJA, KESEHATAN DAN PENDIDIKAN DI
KABUPATEN BATU BARA
Bab tiga berisi penjelasan mengenai hasil data yang diperoleh di lapangan
dan memperlihatkan hasil analisis dari data yang diperoleh dengan menggunakan
teori gender, kebijakan publik dan implementasi kebijakan publik. Untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan maka telah dilakukan wawancara dengan
Kepala Dinas, Kepala Badan, ataupun mereka yang mewakili dan mumpuni dalam
memberikan data yang berkaitan dengan kebijakan pengarusutamaan gender di
Kabupaten Batu Bara, diantaranya, Bapak H. Sailan Nasution selaku Pelaksana
Tugas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara, Bapak Drs. Darwis, M.Si.
selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Batu Bara, Bapak Parlindungan
Gultom selaku Kepala Tata Usaha Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara, Ibu
Darmawati, S.Pd. selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Kabupaten
Batu Bara yang menjabat sejak tahun 2012, Bapak Rubi Siboro selaku Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Batu Bara, dan Bapak Amat
Mukhtas selaku Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Batu Bara.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah pada penelitian ini,
Kebijakan Pengarusutamaan Gender Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan, dan
Kesehatan, dan Pengaruh Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender
Terhadap Perempuan Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan Dan Kesehatan di
Kabupaten Batu Bara. Sehingga secara umum bab tiga berisi mengenai upaya
pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara dalam melaksanakan kebijakan
pengarusutamaan gender pada bidang tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan.
Selain itu berisi mengenai hasil dan capaian daripada pengimplementasian
kebijakan pengarusutamaan gender sehingga mampu dirasakan bagi perempuan di
Kabupaten Batu Bara.
3.1. Pelaksanaan Kebijakan Pengarusutamaan Gender Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan Dan Kesehatan
Pelaksanaan kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) akan dijelaskan
dalam penelitian ini dengan tujuan agar dapat mengetahui proses dalam
merancang program-program responsif gender, sehingga nantinya dapat diketahui
apakah Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Batu Bara benar-benar melaksanakan/menerapkan kebijakan pengarusutamaan
gender sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Adapun upaya-upaya apa
saja yang dilakukan dinas tersebut sebagai bentuk telah diterapkannya kebijakan
Pelaksanaan mengenai kebijakan pengarusutamaan gender tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 di Buku II yang berisi:
“Pengarusutamaan gender sebagai strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan. Pengintegrasian perspektif gender dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan gender ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan proses pembangunan, serta mendapatkan manfaat dari kebijakan dan program pembangunan.”33
Melalui pembangunan yang mengintegrasikan perspektif gender tentunya
dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Dengan memberikan akses yang memadai, adil dan setara,
menjadikan laki-laki dan perempuan ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan
memanfaatkan hasil-hasil pembangunan tersebut, serta turut mempunyai andil
dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan.
Selain itu sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132
tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
Dalam Pembangunan di Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67
Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di
Daerah, juga menginstruksikan kepada semua unit pemerintah di bawah
koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah untuk mengintegrasikan
pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran responsif
gender (PPRG). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka setiap daerah baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu memiliki peraturan daerah atau
program-program yang responsive gender.34
Untuk mengawali pelaksanaan PPRG di daerah, pada tahun 2013 telah
dibentuk Sekretariat Bersama Nasional PPRG Daerah di bawah koordinasi
Kementerian Dalam Negeri serta telah disahkan Permendagri No. 67 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah dan Permendagri No. 27
Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana
Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2015. Di samping itu, telah disusun pedoman
pelaksanaan PPRG di berbagai bidang pembangunan di pusat dan daerah, seperti
bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, perdagangan, perindustrian, ilmu
pengetahun dan teknologi, kelautan dan perikanan, dan infrastruktur.35 Bahkan
pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara juga mengeluarkan Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/778/KPTS/2013 tentang Pembentukan
Sekretariat Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender, yang mana
34Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender Kabupaten Kendal.
http://bappeda.kendalkab.go.id/component/content/article/29-pemsosbud/83-penyusunan-rencana-aksi-daerah-pengarusutamaan-gender-kabupaten-kendal.pdf. Diakses pada tanggal 21 April 2015, pukul 10.23 WIB.
sekretariat ini bertugas meneliti kepastian pelaksanaan Pengarusutamaan Gender
dalam Rencana Kerja Anggaran SKPD dan menetapkan program utama untuk
dimasukkan pada awal penerapan PPRG. Sekretariat ini akan melakukan pelatihan
analisis gender dan menyusun lembar Anggaran Responsif Gender sampai ke
tingkat pemerintah daerah/kabupaten.36
PPRG merupakan langkah strategis untuk mencapai tujuan dari
pengarusutamaan gender. Melalui PPRG, pencapaian kesetaraan dan keadilan
gender akan semakin dekat untuk diwujudkan. Terdapat beberapa alat yang
digunakan dalam menyusun PPRG, yaitu teknik analisis gender Harvard,
Mozard, Strength- Weak- Oppotunities- Threat (SWOT), Gender Analisis
Pathway (GAP) dan Problem Based Approach (PROBA). Dari kelima alat ini,
yang diamanatkan oleh Permendagri No. 67 Tahun 2011 adalah GAP. GAP
adalah alat analisis yang bersifat evaluatif. Alat ini digunakan pada kegiatan yang
telah tercantum dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) atau Dokumen
Pelaksanaan Angaran (DPA).37 Pemerintah Daerah Kabupaten Batu Bara sendiri
belum pernah melakukan uji coba GAP ini, sehingga penggunaan PPRG sebagai
bagian dari strategi PUG belum dapat dikatakan berhasil dalam mengurai isu
gender yang ada di Kabupaten Batu Bara, terutama pada bidang tenaga kerja,
pendidikan dan kesehatan. Seperti yang dikutip dari wawancara dengan Ibu
Darmawati:
Sumatera Utara Sukses Dapatkan Penghargaan di Bidang Gender. http://satker-mccbappenas.blogspot.co.id/2014/05/sumatera-utara-sukses-dapatkan.html. Diakses pada tanggal 07 september 2016, pukul 17:36.
“Untuk GAP, Kita sebenarnya belum sampai tahap itu, instruksi dari Kita memang ada, tapi baru akan dimulai beberapa bulan kedepan, dan itu juga masih tahap pelatihan. Pelatihannya untuk setiap bagian program, lalu akan Kita panggil BPP yang di Medan yaitu Ibu Maryamah selaku Biro Pemberdayaan Perempuan di Medan, beliau akan diundang untuk melakukan pelatihan kepada Kami, seperti mengenai GAP ini atau Anggaran Responsif Gender ini, dan pelatihan lain seputar PUG. Mungkin setelah dilakukannya pelatihan itu, barulah Kami bisa menghimbau untuk membuat GAP-nya. Sekarang ini untuk pengarusutamaan gender di Kita masih memasuk-masukkan programnya saja dan tidak semua kegiatan bisa dimasukkan pengarusutamaan gender itu. Program kesetaraan gender juga masih tahap peningkatan disini.”38
Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Daerah, terdapat Pasal
4 Permendagri yang mengamanatkan; (1) Pemerintah daerah berkewajiban
menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan responsif gender yang
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD,
Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. (2) Penyusunan kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan responsif gender sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender. Maka dari itu Kabupaten Batu
Bara berkewajiban menyusun kebijakan program, dan kegiatan pembangunan
responsif gender, yang mana dalam hal ini dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD. Berikut data beserta
anggaran seputar gender dalam RPJMD Kabupaten Batu Bara Tahun 2014 –
2019:
Tabel 3.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Batu Bara Tahun 2014 - 2019
No. Program Prioritas Pembangunan
Target Capaian Setiap Tahun Kondisi Akhir
Sumber: Bappeda Kabupaten Batu Bara
Adapun SKPD penanggung jawab atas program ini adalah Badan
Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana (BP2KB). Pada Tabel
3.1. diatas menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang ditangani
oleh BP2KB adalah program tentang anak, keluarga berencana, dan gender yang
tentunya juga sangat melekat bagi perempuan. Anggaran responsif gender untuk
bidang tenaga kerja dan pendidikan tidak lah ada, tetapi anggaran untuk bidang
kesehatan cukup banyak, seperti Program Keluarga Berencana dengan anggran
Rp. 2.447.995.044,- Program Kesehatan Reproduksi Remaja dengan anggaran Rp.
584.340.004,- Program Pelayanan Kontrasepsi dengan anggaran Rp.
1.246.592.004,- Program pembinaan peran serta masyarakat dalam pelayanan
KB/KR yang mandiri dengan anggaran Rp. 428.578.334,- Program
pengembangan model operasional BKB-Posyandu-PADU dengan anggaran Rp. 13.
973.900.004,- Dan Program Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Keluarga
Berencana dengan anggaran Rp. 7.149.245.634,-
Program prioritas pembangunan mengenai kesetaraan gender yang
tertuang dalam RPJMD Kabupaten Batu Bara masih dalam tahap peningkatan
atau penguatan program, dalam pelaksanaannya juga memakan anggaran yang
tidak sedikit. Seperti pada program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas
Anak dan Perempuan dengan anggaran Rp. 701.208.004,- dan target capaian 98%,
program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak dengan
anggaran sebanyak Rp. 592.131.204,- di akhir periode RPJMD dengan target
97%. Selain itu ada juga program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan
Perempuan dengan anggaran sebanyak Rp. 311.648.004,- dan target capaian 96%,
dan program Peningkatan Peran Serta dan Kesetaraan Jender dalam Pembangunan
dengan angaran sebanyak Rp. 1.714.064.004,- dan target capaian 99%.
Program-program tersebut adalah program yang mendukung kebijakan
pengarusutamaan gender, meskipun Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak
hanya memiliki program ini namun upaya lebih untuk menggiatkan kebijakan
pengarusutamaan gender tetap dilakukan.
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Darmawati, alur pembuatan dan
pengajuan program pengarusutamaan gender oleh Badan Pemberdayaan
Perempuan pertama kali adalah dengan membuat program-programnya terlebih
badan dan kepala masing-masing bagian program. Setelah membahas dan
menetapkan program, maka akan diusulkan ke Bappeda. Oleh Bappeda, program
yang diusulkan akan ditinjau kembali. Biasanya program-program mengenai
pengarusutamaan gender banyak yang gugur ditahap ini, tetapi jika ada program
yang memenuhi syarat dan benar-benar penting maka Bappeda akan
mengajukannya ke DPRD. Dikatakan pula oleh Ibu Darmawanti, setiap program
memiliki jangka waktu, apabila pada periode pertama program itu berhasil maka
dapat diajukan lagi. Untuk masa sekarang, Badan Pemberdayaan Perempuan
memang sedang gencar-gencarnya membuat program pengarusutamaan gender,
namun program Kota Layak Anak adalah program yang tengah menjadi isu
hangat di Kabupaten Batu Bara.
Dalam menyusun program ataupun kebijakan, adapun pihak-pihak yang
terlibat adalah seperti pada kutipan wawancara berikut:
“Ada kepala badan, kepala bidang, sama bagian program. Masyarakat umum hanya dilibatkan ketika reses dan musrembang, Kita meminta masukan dan pendapat mereka baru Kita tuangkan keprogram Kita. Tapi selama ini belum ada sepertinya usulan yang datang itu tentang PUG”
Ibu Darmawati menambahkan:
terpakai tidak besar. Lagipula dana untuk PUG ini dari pemerintah pas-pasan.”39
Seputar anggaran pengarusutamaan gender, dalam membahas anggaran
Komisi C DPRD Kabupaten Batu Bara mengikuti mekanisme kelengkapan yang
disebut dengan badan anggaran yang dibentuk pada sidang paripurna. Banggar
akan membahas permasalahan dengan badan anggaran eksekutif dan badan
anggaran legislatif. Banggar eksekutif terdiri dari Satuan Kelengakapan Kerja
Daerah atau SKPD, sedangkan badan anggaran legislatif adalah DPRD. Dalam hal
ini SKPD lah yang memilki anggaran menyangkut masalah gender, seperti
BP2KB. Dimana usulan-usulan program dari BP2KB kepada DPRD akan dibahas
secara bersama-sama. Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Batu Bara mengatakan:
“Jadi Kita memberikan itukan dukungan atau tidak, kembali lagi kalau Saya sih berapa anggaran untuk BP2KB itu menjadi pertanyaan, seberapa penting anggaran itu dikeluarkan untuk perempuan. Kalau memang penting ya Kita setujui, atau mungkin masalah-masalah perempuan itu muncul atau sumbernya dari Kita. kalau Kita ini adalah masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat masalah gender, masalah pemberdayaan perempuan misalkan, untuk petani, nelayan, bagaimana ibu-ibu punya usaha yang bisa diberdayakan untuk tingkatkan ekonomi, ya ini berkaitan dengan bidang kesejahteraan sosial, koperasi, pelaku ekonomi kecil. Maka Kita sangat mendukung apabila pihak eksekutif memiliki program-program PP untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Jadi itukan berkaitan juga dengan tenaga kerja, berkaitan juga nantinya dengan kesehatan, dan pendidikan. Karena perempuan itu ada di lini ini.”40
Data berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Darmawati selaku Kepala Badan Pemberdayan Perempuan Kabupaten Batu Bara pada tanggal 1 Maret 2016, pukul 14.00 – 15.30 WIB, bertempat di Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Keluarga Berencana Kabupaten Batu Bara.
Dalam membahas seputar anggaran terlebih anggaran seputar gender, ialah
tergantung dari SKPD mana yang mengajukan program tersebut untuk dibahas.
Disinilah eksekutif dan legislatif akan bermitra untuk membahasnya. Untuk
pemberdayaan perempuan di Kabupaten Batu Bara masih berbentuk Kepala
Badan, Bapak Ali Mumthaz selaku Ketua Komisi C mengatakan sejauh ini
anggaran yang ada di BP2KB terpakai untuk sosialisasi dan menghadiri
pertemuan seputar gender dan anak di kota atau daerah lain. Disamping DPRD
prokatif terhadap program-program yang diajukan Badan Pemberdayaan
Perempuan, DPRD juga menunggu program yang datang dari eksekutif lain bila
mana dari pihak eksekutif memiliki program untuk peningkatan potensi
pemberdayaan perempuan. Namun sejauh ini belum ada dan apabila ada maka
DPRD akan melindungi dan membantu.
Dari hasil wawancara dengan Ibu Darmawati, adapun program yang bisa
diakses oleh laki-laki dan perempuan di Kabupaten Batu Bara diantaranya
program KB, program Human Trafficking, program KDRT, dan UMKM atau unit
koperasi. Selain itu, Ibu Darmawati juga menambahkan ada program-program
yang baru dilaksanakan tahun ini diantaranya program tentang ibu-ibu lanjut usia
dimana Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak memberi bantuan kepada
mereka berupa pelatihan agar lebih mandiri dan dapat menghasilkan uang.
Terdapat juga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan
atau terjadi KDRT atau Human Trafficking akan ada bantuan hukum bagi mereka,
untuk kasus tertentu juga diberikan terapi bagi yang mengalami trauma psikis.
Terkait upaya, adapun harapan Ibu Darmawati selaku Kepala Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengenai kebijakan pengarusutamaan
gender ini, yaitu:
“Harapan Kita supaya perempuan dan laki-laki di Kabupaten Batu Bara memiliki hak yang sama. Karena dengan banyaknya faktor-faktor kesenjangan di Batu Bara ini tentu membuat kebijakan atau program PUG sangat dibutuhkan. Khususnya untuk perempuan, karena adik sendiri lebih meneliti kepada perempuan, Saya berharap dinas-dinas terkait yang adik teliti itu lebih banyak lagi membuka peluang bagi wanita. Selain itu Saya selaku Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan ya tentunya ingin program PUG bertambah, dan jika sudah ada berjalan dengan baik. Anggarannya juga mendukung. Karena untuk Kabupaten Kita ini masih belum terbuka wawasannya tentang kesetaraan gender, makanya terkesan lambat kegiatan-kegiatannya. Kegiatan juga masih sosialisasi, seperti perlindungan anak, human trafficking, para lansia, dan payung hukum bagi anak dan korban
KDRT. Karena sudah banyak juga kejadian, cuman karena perempuan di Batu Bara ini masih tabu, jadi tidak melapor, bahkan mereka malu karena menganggap aib. Dan mohon maaf sekali untuk anggaran Saya tidak bisa menyebutkan, namanya Saya juga ada atasan ya. Gimanalah, anggaran ini sensitif. Kebetulan minggu ini Kami di BPP akan ke Bali, tujuannya untuk melihat kegiatan Kota Layak Anak yang diharapkan dapat diimplementasikan disini, dan hal ini masih dibahas.”41
Selanjutnya dalam RPJMD Kabupaten Batu Bara 2014 - 2019 untuk
Program Penguatan Pembangunan Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan dan
Dinas Pendidikan tidak ada menyebutkan program khusus mengenai
pengarusutamaan gender. Oleh karenanya pelaksanaan kebijakan
pengarusutamaan gender pada dinas tenaga kerja, dinas pendidikan dan dinas
kesehatan hanya memasukkan atau menerapkan kebijakan pengarusutamaan
gender secara implisit. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaksana tugas
dinas tenaga kerja, kepala dinas pendidikan dan kepala tata usaha dinas kesehatan,
secara tidak sengaja mereka menjawab dengan jawaban yang sama bahwa
kebijakan pengarusutamaan gender itu tidak pun dibuat secara khusus, tetapi
sudah dibahas dan diterapkan sejak lama. Pernyataan ini diperkuat oleh Bapak
Sailan selaku Pelaksana Tugas Dinas Tenaga Kerja:
“…kalau Disnaker berbarengan dengan instansi terkait sudah sejak dulu membahas dan melaksanakan PUG ini, bahkan Kami yang berbuat terlebih dahulu kalau masalah gender ini. Meskipun belum ada kebijakan secara tertulis yang khusus membahas masalah gender di tenaga kerja, tapi kan dari dulu sudah ada upaya dari Disnaker agar perempuan dan laki-laki mendapatkan pekerjaan yang adil. Saya kira seperti itu.”42
Bapak Darwis selaku Kepala Dinas Pendidikan menambahkan:
“Pelaksanaannya berjalan secara natural saja. Tanpa harus Kita utamakan gender itu, memang tidak utama, dan bahkan berlebih. Dalam pendidikan bisa Saya katakan sangat berlebih perempuannya, di kantor ini saja lebih banyak pegawai perempuan yang bekerja.”43
Bapak Parlindungan Gultom selaku Kepala Tata Usaha Dinas Kesehatan juga
menambahkan:
Data berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak H. Sailan Nasution selaku Plt. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara pada tanggal 8 Maret 2016, pukul 10.00 – 12.00 WIB, bertempat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara.
“…harus butuh dana untuk kegiatan secara resmi, kecuali ada kegiatan tidak resmi, seperti secara individu Kita ngomgong-ngomong sama masyarakat, Kita sampaikan secara langsung kegiatan-kegiatan yang ada pengarusutamaan gendernya, seperti pembagian kelambu untuk ibu hamil dan menyusui, program KB untuk para bapak, dan lain-lain. Kalau untuk melaksanakan program atau kegiatan ini kan tidak ada program khusus dari dinas kesehatan tentang gender itu, jadi ya diterapkan secara implisit saja.”44
Meskipun belum ada program pengarusutamaan gender yang dibentuk
oleh dinas tersebut, tetapi bukan berarti kegiatan-kegiatan responsif gender yang
selama ini disosialisasikan oleh BP2KB tidak dibahas. Penerapan kebijakan
pengarusutamaan gender untuk bidang tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan di
Kabupaten Batu Bara dianggap masih membutuhkan kajian yang lebih dalam,
sebab dari unsur sumber daya manusia baik implementatornya maupun
masyarakatnya belum mumpuni dalam menyerap informasi yang menjadikan
gender sebagai pokok pembahasan dan menjadikan perempuan sebagai unsur
pembangunan.45 Oleh karenanya Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan dan
Dinas Kesehatan melakukan beberapa kegiatan sebagai upaya untuk membangun
dan menyetarakan perempuan di Kabupaten Batu Bara.
3.1.1. Pelaksanaan Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Dinas Tenaga Kerja
Data berdsarkan hasil wawancara dengan Bapak Parlindungan Gultom selaku Kepala Tata Usaha Dinas Kesehatan Kaupaten Batu Bara pada tanngal 4 April 2016, pukul 09.00-10.30 WIB, bertempat di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara.
Pelaksanaan kebijakan pengarusutamaan gender pada bidang tenaga kerja
di Kabupaten Batu Bara sebelumnya didasari oleh isu-isu kesenjangan gender
yang terjadi di pasar kerja, diantaranya, kurangnya pendidikan dan pelatihan soal
kerja, kurangnya modal sosial, adanya beban tanggung jawab keluarga, terjadinya
diskriminasi yang dialami perempuan maupun laki-laki dalam memperoleh status
pekerjaan, dan merupakan pemicu adanya pengangguran. Sebelumnya juga telah
dipaparkan pada Bab I mengenai kondisi tenaga kerja perempuan di Kabupaten
Batu Bara, dimana perempuan yang bekerja di Kabupaten Batu Bara hanya
sebanyak 1,603 jiwa, tidak sebanding dengan pekerja laki-laki yang mencapai
11,385 jiwa.
Dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara mempunyai
program pembangunan ketenagakerjaan untuk menanggulangi pengangguran. Ada
empat bidang yang dikerjakan oleh Disnaker Kabupaten Batu Bara, yaitu 1).
Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan, adalah bidang untuk mengawasi peraturan
perundang-undangan agar berjalan sesuai dengan hubungan kerja. Yang dimaksud
dengan hubungan kerja ialah ada pemberi kerja, ada pekerja dan ada kompensasi
atau gaji. Dalam mengawasi peraturan perundang-undangan ini, terdapat pegawai
pengawas yang memiliki legitimasi mengawasi atau sebagai polisi proses
perundang-undangan tenaga kerja. 2). Bidang Hubungan Industrial, adalah bidang
mengenai perselisihan. Apabila terjadi perselisihan di perusahaan, akan
diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan ada mediator. 3).
pengangguran. Berdasarkan data jumlah pengangguran yang ada, Disnaker
memberi informasi lowongan pekerjaan dengan tujuan sebagai pengendali
pengangguran., dimana setiap orang yang merasa menganggur bisa mendatangi
kantor Disnaker. Mereka mengisi data yang nantinya apabila ada lowongan
pekerjaan akan panggil, sesuai dengan ketrampilan pencari kerja dengan
perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Dengan data tersebut, Disnaker
terbantu untuk bisa mengetahui jumlah pengangguran sebenarnya di Batu Bara.
Dan 4). Bidang Pelatihan, dimana pelatihan ini bertujuan meningkatkan kualitas
ketrampilan pencari kerja. Dalam bidang ini, Disnaker mempunyai Balai Latihan
Kerja yang mengatur beberapa kejuruan seperti ketrampilan dalam las, menjahit,
salon, memprosessing hasil-hasil pertanian, dan lain-lain. Dengan demikian
diharapkan outputnya para penganggur bisa mandiri dan bisa diserap oleh
perusahaan.
Terkait penanggulangan pengangguran di Kabupaten Bara Bara, Bapak
Sailan Nasution juga menambahkan :
teknologi tepat sama, apa bahan baku Kita disini, ini Kita kelola menjadi batako, paving block. Bisa Kita latih mereka dan ketika mereka sudah pandai, mereka bisa bekerja disitu.”46
Tidak terkecuali pengangguran pada perempuan, Bapak Sailan
mengatakan bahwa tidak ada pembedaan dalam menanggulangi masalah
pengangguran ini. Sebab sudah ada undang-undang ketenagakerjaan yang menjadi
pedoman Disnaker dan sebagai norma terhadap tenaga kerja, khususnya pekerja
perempuan. Undang-undang Ketenagakerjaan adalah produk daripada peraturan
internasional sebagai langkah untuk mengawasi, melindungi, menindaklanjuti
pegawai atau pekerja yang dirancang oleh PBB dan ILO. Bagi pekerja perempuan,
mereka harus terlindungi, dihargai kodratnya yang tentunya tidak sama seperti
pekerja laki-laki, hak-hak istimewa pekerja perempuan diberikan seperti cuti
hamil, cuti haid, dan apabila tidak diberikan perusahaan maka hal ini bisa
ditindak. Sebagai perlindungan fisik, pekerja perempuan juga harus merasa aman
seperti aman dari rumah ke tempat ia bekerja, dan jika mereka bekerja shift
malam, harus diberikan vitamin atau supplement tambahan.
Dengan adanya hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh,
tentunya ada upah, atau gaji yang dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesempatan atau
peraturan perundangan-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh.
Pengupahan yang diterapkan Disnaker Kabupaten Batu Bara mengacu pada Upah
Minimum Kabupaten. Pada Disnaker, terdapat dewan pengupahan, dimana dewan
pengupahan ini setiap akhir tahun bersidang menentukan UPK. Jadi bukan
Disnaker yang menentukan upah tiap pekerja/buruh, baik pekerja perempuan
ataupun pekerja laki-laki.
Dewan Pengupahan terdiri unsur Apindo (pengusaha), unsur serikat
pekerja, dan unsur pemerintah. Lalu mereka bersidang untuk menetapkan suatu
angka Upah Minimum Kabupaten. Menurut Bapak Sailan, contoh prosedurnya
misalkan 1 juta rupiah sebagai hasil rekomendasinya, nanti rekomendasinya ini
akan dikirim ke Bupati dan ditanda tangani, tapi Gubernur lah yang menetapkan.
Apabila telah ditetapkan, baru Disnaker menyebarkan bahwa untuk upah tahun ini
adalah 1 juta rupiah. Perusahaan-perusahaan wajib melakukan sidang penentuan
upah, apabila mereka tidak ikut sidang maka akan dievaluasi oleh Disnaker.
Apabila ada pengaduan dari pekerja, baik dalam hal gaji tidak setimpal, bekerja
tidak sesuai dengan jam kerja, dan masalah pekerjaan lain maka pekerja/buruh
dapat menyampaikan hal itu pada Disnaker untuk ditindaklanjuti.47
Terkait kebijakan pengarusutamaan gender pada bidang tenaga kerja ini,
meskipun penerapannya belum maksimal, namun nilai dan norma dalam
menghargai pekerja perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan
maupun anak agar memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki terus
digiatkan. Bapak Sailan mengatakan bahwa dalam dunia kerja bukan gender yang
menentukan, tapi bagaimana pendidikan mereka dan dalam perjalanannya sejauh
mana mereka pernah terserap, dan bertahan di dunia kerja. Namun Disnaker dan
perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten Batu Bara tetap mendukung
adanya kebijakan pengarusutamaan gender ini, seperti yang dikatakan Bapak
Sailan Nasution:
“Perusahaan-perusahaan lah yang mendukung, dari Dinas Pemberdayaan Perempuan juga mendukung. Kita juga menggunakan Dinas Pemberdayaan Perempuan sebagai narasumber. Kalau ada kegiatan PUG Kita diingatkan. Mereka ada sosialisasi ke masyarakat ya Kita juga diajak. Gender itu kan bisa dipertukarkan. Bias gender seperti stereotype, marginalisasi. Makanya gender jadi erat juga memang dengan tenaga kerja, cuman Kami perannya ya disitu norma perempuan dan anak, itu kaitannya dengan tenaga kerja. Kalau Kita sosialisasi ke perusahaan, Kita pasti bawa norma-norma tadi.”48
Bapak Sailan menyebutkan beberapa payung hukum sebagai bentuk
perlindungan pekerja perempuan yang dipakai Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Batu Bara adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang Dasar 1945 Pasal 27 dan Pasal 33,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara
Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003
Tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan
antara pukul 23.00 sampai dengan Pukul 07.00. dan mengenai ketentuan tentang
perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara merujuk pada Pasal 5 dan 6 UU No. 13
Tahun 2003.
Selanjutnya, upaya lain yang akan dilakukan oleh Disnaker adalah
memberikan pemahaman kepada semua stakeholder yang memperkerjakan
perempuan melalui sosialisasi, baik itu melalui brosur, seminar, diklat, radio,
maupun iklan televisi. Dengan tujuan agar masyarakat atau perempuan dan
perusahaan yang memperkerjakan perempuan memahami kebijakan
pengarusutamaan gender dan turut berperan dalam kebijakan ini. Bapak Sailan
menambahkan bahwa sosialisasi harus tetap dilakukan, sebab orang-orang seiring
waktu akan bertukar, pengusaha bertukar, buruh bertukar, pegawai dinas juga
bertukar, karenanya jangan pernah berhenti dalam member informasi seputar
pengarusutamaan gender ini.
3.1.2. Pelaksanaan Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Dinas Pendidikan
Pelaksanaan kebijakan pengarusutamaan gender pada bidang pendidikan
di Kabupaten Batu Bara juga menjadi kajian dalam penelitian ini. Menurut Bapak
Darwis, pendidikan di Kabupaten Batu Bara terpengaruh oleh topografi wilayah
dan budaya daerah. Baik itu di wilayah pesisir ataupun bukan pesisir, pengaruh
pola pikir atau mindset masyarakat masih buruk dalam memandang pentingnya
pendidikan, hal ini dapat dilihat dari tingkat buta huruf dan jenjang pendidikan
Pendidikan di Kabupaten Batu Bara secara keseluruhan apabila dilihat dari
segi gender bukan merupakan suatu masalah, sebab murid perempuan dan murid
laki-laki sudah hampir seimbang atau 50:50, namun untuk guru lebih didominasi
oleh guru perempuan yaitu sebanyak 70%. Hal ini dipegaruhi oleh mayarakat
terlebih kaum perempuan dalam memandang pendidikan dan memperhatikan
pendidikan daripada kaum laki-laki, terbukti apabila sekolah-sekolah mengundang
orang tua untuk sosialisasi mengenai ujian ataupun Ujian Nasional, hampir 80%
kaum ibu yang menghadiri sosialisasi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tingkat kualitas pendidikan antara murid perempuan dan murid laki-laki di
Kabupaten Batu Bara sudah hampir setara, bahkan murid perempuan lebih
mendominasi.
Sarana pendidikan di Kabupaten Batu Bara juga mudah dijangkau, bahkan
untuk tingkat Sekolah Dasar tidak ada lagi masalah sebab tidak ada sarana-sarana
yang rusak. Akan tetapi sarana guna meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten
Batu Bara masih rendah. Bapak Darwis mengatakan bahwa rendahnya mutu
pendidikan di Kabupaten Batu Bara adalah karena keterbatasan dana atau
anggaran Dinas Pendidikan, terlebih untuk mendanai guru-guru agar bisa
menguasai alat-alat teknologi masa kini. Terkait sarana dan prasarana pendidikan,
Bapak Darwis menambahkan:
di Medang Deras juga tidak ada. Jadi sangat sulit terjangkaunya. Karena Saya sudah menawarkan beberapa lembaga pelatihan itu, les tambahan sore contohnya, sering hal itu masih terkedala dengan beberapa hal, pertama pengajarnya, ongkosnya, dan syarat-syarat tertentu.”49
Dalam meningkatkan kualitas pendidikan baik perempuan maupun
laki-laki di Kabupaten Batu Bara, Dinas Pendidikan melakukan upaya seperti
memberikan pelatihan kepada guru-guru agar memiliki kualitas yang baik
dibidang akademis maupun kepribadian, namun terlebih dulu merubah mindset
para guru adalah hal yang paling penting dilakukan. Kemudian Dinas Pendidikan
me-manage sarana-sarana yang sangat vital atau sarana-sarana yang sangat
mendesak dan prioritas untuk dipenuhi kebutuhannya. Adapun upaya-upaya ini
tertuang dalam RPJMD Kabupaten Batu Bara dengan Program Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan dengan anggaran Rp. 5.930.542.379,-
Program Peningkatan Kualitas Pendidikan dengan anggaran Rp. 2.544.412.504,-
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dengan anggaran
Rp.139.505.811.098,- dan ada juga Program Pendidikan Non Formal dengan
anggaran Rp. 13. 950.581.698,-
Dalam membuat program atau kebijakan, Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten Batu Bara mengatakan selalu berpandangan pada keadilan dan
kesetaraan gender. Akan tetapi mereka lebih mengutamakan kemampuan tanpa
melakukan pembedaan, sebab perempuan dan laki-laki secara gender dalam
bidang pendidikan adalah sama dalam memperoleh ilmu. Pelaksanaan
program-program juga berjalan secara natural. Pencapaian program-program pengarusutamaan
gender dibidang pendidikan juga sudah berlebih. Masyarakat juga sudah dapat
merasakan program-program tersebut, bahkan bagi perempuan.
Terkait implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dibidang
pendidikan, Bapak Darwis selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Batu Bara
mengatakan sangat setuju untuk menerapkan kebijakan tersebut, namun beliau
menambahkan:
“…dengan catatan kesetaraan gender itu tidak merubah kodrat perempuan. Boleh menjadi perempuan modern, tapi yang tidak boleh ketika mereka para perempuan sampai tidak mau melahirkan. Soalnya banyak kejadian di negara-negara maju, yang malah menjadi problem di negara itu. Contoh di Jepang, saking majunya para perempuan, negara dipusingkan dengan tingkat kelahiran yang kurang. Intinya Saya setuju kalau perempuan ditingkatkan kemampuannya, wawasannya agar jauh lebih baik.”50
Menurut Bapak Darwis, upaya dalam menerapkan kebijakan
pengarusutamaan gender untuk pendidikan di Kabupaten Batu Bara tidak perlu
dilakukan lagi, karena secara eksplisit perempuan dibidang pendidikan sudah
setara dengan laki-laki dan bahkan berlebih. Upaya selanjutnya hanyalah
mempertahankan keseimbangan tersebut.
3.1.3. Pelaksanaan Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Dinas Kesehatan
Pelaksanaan kebijakan pengarusutamaan gender pada bidang kesehatan di
Kabupaten Batu Bara adalah berimbang. Menurut Bapak Parlindungan Gultom,
kondisi ini terjadi karena tidak ada pembedaan dalam hal melayani pasien, baik
itu pasien perempuan ataupun pasien laki-laki. Apabila terjadi hal pembedaan,
hanyalah dari segi kasus keparahan penyakit, penyakit mana yang harus ditangani
terlebih dahulu.
Indikator masyarakat dikatakan sehat adalah mereka mau memeriksakan
dirinya serta menjalankan pola hidup yang sesuai dengan prilaku hidup yang
sehat. Adapun indikator seorang perempuan dikatakan sehat adalah apabila
perempuan menikah muda, maka mereka harus memperhatikan faktor usia, cukup
usia, melakukan vaksinasi pra-nikah, dan memeriksakan kehamilannya. Terkait
kesenjangan gender pada akses ke kesehatan yang dapat dilihat dari jumlah angka
kematian ibu yang meningkat, Bapak Parlindungan Gultom mengatakan:
“Kalau masalah kesehatan ini tidak ada bahas berimbang-berimbang gitu. Cuman prediksinya, angka kumulatif dan angka perhitungan atau prediksinya itu yang bisa dilihat. beberapa tahun kemarin tingkat kematian masih cukup tinggi, tapi disini kejadian itu akibat si ibu lalai memeriksakan dirinya. Lalu prinsip masyarakat itu ibu ditolong di rumahnya, seharusnya di Puskesmas. Karena itu sangat mempengaruhi nyawa ibu, nyawa perempuan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang bukan di puskesmas atau rumah sakit, artinya kalau disana dilakukan persalinan, kan alat-alat tidak mendukung dan steril. Tapi kalau di puskesmas, apabila nyawa kritis, msih bisa diselamatkan.”51
Menurut Bapak Parlindungan Gultom, penerapan pengarusutamaan gender
pada bidang kesehatan juga bukanlah suatu isu yang harus dibeda-bedakan
berdasarkan laki-laki dan perempuan. Selama ini Dinas Kesehatan Kabupaten
Batu Bara hanya berpandangan pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, dimana mencantumkan tentang Kesehatan Reproduksi pada
bagian keenam Pasal 71 sampai dengan Pasal 77. Bapak Parlindungan Gultom
menjelaskan berdasarkan Pasal 71 Ayat 3 terdapat amanat bahwa kesehatan
reproduksi harus dilaksanakan melalui kegiatan yang promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif. Setiap orang termasuk remaja berhak memperoleh informasi,
edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Oleh sebab itu Dinas Kesehatan berkewajiban menjamin ketersediaan
sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu,
dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Setiap pelayanan
kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan harus dilakukan secara aman dan sehat
dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan,
dalam hal ini perempuan memang lebih ditekankan. Karena perempuan lah yang
pada umumnya melakukan aborsi sehingga dilarang kecuali yang memenuhi
syarat tertentu. Dinas Kesehatan berperan dalam melindungi dan mencegah
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Masalah kesehatan di Kabupaten Batu Bara hampir 70% dipengaruhi oleh
lingkungan, terlebih Kabupaten Batu Bara merupakan wilayah yang dibagi
menjadi daerah pesisir dan daerah bukan pesisir. Tendensi penyakit akibat
perbedaan wilayah ini, apabila dilihat dari klasifikasi secara umum adalah
malaria, tuberculosis paru, infeksi saluran nafas atas dan diare. Daerah pesisir
merupakan wilayah yang paling banyak terjadi masalah kesehatannya, hal ini
dikarenakan pantai pesisir yang pasang surut. Menurut Bapak Parlindungan
Gultom, setelah dilakukan investigasi langsung ke lapangan, keadaannya daerah
ini tidak cukup baik karena masih ditemukan rumah penduduk yang tidak sehat
dan layak dihuni. Ditemukan pula bahwa angka kesakitan lebih banyak
didominasi oleh laki-laki, hanya saja perempuan lebih peka dan inisiatif untuk
memerikakan diri ke rumah sakit, bidan, ataupun puskesmas.
Mengenai permasalahan tersebut, adapun upaya yang dilakukan Dinas
Kesehatan adalah dengan membuat program-program kesehatan, misalnya pada
kasus Demam berdarah Dengue atau DBD, karena penyakit DBD tahun ini cukup
meningkat dan angka kematian untuk DBD juga cukup tinggi, maka Dinas
Kesehatan melakukan tindakan dengan sosialisasi yang dimulai dari tingkat
kecamatan dengan mengundang kepala desa dan kepala lingkungannya untuk
melakukan bersih lingkungan. Selain itu diusahakan juga pencegahan DBD
terjadi kasus DBD, kader jematik terlebih dulu memantau apa penyebab DBD itu,
apakah dari lingkungan itu sendiri atau kasus import. Kemudian dilakukan
pengasapan, meskipun pengasapan ini terkesan terpaksa dilakukan sebab dapat
meracuni lingkungan mikroorganisme atau bakteri yang baik bagi lingkungan
namun ikut terbunuh, bahkan bagi individu juga bahaya, dapat menyebabkan
kanker, dan apabila sering diasapkan, nyamuk-nyamuk justru akan kebal.
Dalam RPJMD Kabupaten Batu Bara tahun 2013 – 2018, ada beberapa
program yang membahas mengenai upaya Dinas Kesehatan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat, seperti Program Upaya Kesehatan Masyarakat dengan
anggaran Rp.33.620.000.004,-.
Pada bidang kesehatan, penanganan kasus-kasus penyakit memang tidak
mengaitkan dengan gender. Namun pada kasus malaria, karena Dinas Kesehatan
gencar melakukan pendistribusian kelambu secara rutin, maka Dinas Kesehatan
memasukkan kebijakan pegarusutamaan gender pada program itu, sebab program
tersebut diutamakan bagi keluarga ibu hamil dan menyusui, dan yang memiliki
balita. Pada program ini, masih sedikit tingkat keberhasilannya sebab masyarakat
masih tabu dan sebagian masyarakat lain merasa iri karena hanya ibu hamil dan
menyusui saja yang diberikan kelambu. Oleh karen itu Dinas Kesehatan juga
membagikan kelambu secara massal yang ditujukan untuk umum pada waktu
Meskipun Dinas Kesehatan belum memilki program khusus untuk
pengarusutamaan gender, namun upaya seperti merencakan program sudah ada.
Terlebih program dari BP2KB juga sangat membantu. Menurut Bapak
Parlindungan Gultom, program-program pengarusutamaan gender untuk bidang
kesehatan hanya dimasuk-kan pada program kesehatan yang lain, karena dengan
cara ini tidak terlalu memakan anggaran. Terkait program pengarusutamaan
gender ini, Bapak Parlindungan Gultom menambahkan:
“Karena kegiatan gender ini tidak ada yang spesifik, PUG-nya jadi dimasuk-masukan ke program yang lain saja. Khusus atau tersendiri itu belum ada. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa dibuat. Sepertinya untuk dinas kesehatan belum ada kajian kesitu, belum cukup. Seperti yang Saya bilang diawal tadi kalau Pak Fuad lah yang mengikuti pertemuannya, artinya baru akan dibicarakan. Bisa dibuat untuk tahun-tahun berikutnya. cuman kan kegiatan PUG itu tidak harus langsung masuk, harus ada kajiannya lagi, dimanakah dia paling dibutuhkan, dibidang mana. Setahu Saya baru Pak Fuad lah yang baru kesana datang ke Medan. Kalau Saya sih tahu dari media saja, kalau untuk menghadiri acara-acara lain ada disampaikan tentang PUG itu ya Saya sedikit tahu.”52
Dijelaskan pula untuk tahapan dalam merancang suatu program atau
kegiatan dibidang kesehatan, berikut Bapak Parlindungan Gultom
menjelaskannya:
“Tahapan nya itu menyandang puskesmas, lalu puskesmas menyampaikan ke dinas kesehatan disini. Lalu Kita menyusun rencana kerja dan anggaran. Setelah itu dikumpulkan di dinas kesehatan untuk di rapatkan, baru Kita mengajukan ke Bappeda. Tapi yang tingkat puskesmas itu Kita juga melakukan musrembang tingkat kecamatan, musyawarah pembangunan tingkat kecamatan. Lalu dibahaslah apa-apa saja permintaan dari
masyarakat, apa rencana dari Kita. Sampai Bappeda, baru nanti di paripurnakan di DPRD.”53
Selaku Kepala Tata Usaha Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara, Bapak
Parlindungan Gultom menyatakan bahwa dalam hal membuat program atau
kebijakan, Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara tidak selalu berpandangan pada
keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan mereka lebih melihat dari
jenis programnya, apabila ada program yang dirasa sulit dilakukan perempuan,
maka program tersebut akan dialihkan untuk laki-laki. Koordinasi kebijakan
pengarusutamaan gender di Dinas Kesehatan juga masih kurang, oleh karenanya
koordinasi lintas sektor sangat dibutuhkan, agar instansi lain dapat diajak bekerja
sama dalam membahas program pengarusutamaan gender. Selama ini, Dinas
Kesehatan baru bekerjasama dengan PKK dan Badan Pemberdayaan Perempuan,
seperti melakukan sosialisasi mengenai imunisasi dan KB yang langsung
dilakukan ke kader Posyandu lalu ke masyarkat. Adapun upaya lain yang tengah
dilakukan Dinas Kesehatan adalah sosialisasi mengenai Pojok Laktasi yang
bekerja sama dengan dinas-dinas yang memperkerjakan perempuan (ibu
menyusui).
Karena program pengarusutamaan gender untuk bidang tenaga kerja,
pendidikan dan kesehatan belum ada, Bapak Ali Mumthaz mengatakan bahwa
memang tidak ada sesuatu yang urgent dalam hal kesetaraan gender di Kabupaten
Batu Bara, meskipun dalam pengaplikasiannya sudah ada di BP2KB. Dalam
pelaksanaan kerja di DPRD, adanya inisiatif bisa diambil berdasarkan temuan di
lapangan. Apabila tidak ada temuan, berarti tidak ada permasalahan gender.
Dalam hal ini, Komisi C belum pernah membahas secara detail termasuk
membahas INPRES Tahun 2000, dikarenakan belum pernah dihadapkan dengan
persoalan tentang persamaan gender yng serius, apabila ada maka BP2KB lah
yang pertama kali menangani. Sehingga hal ini menghambat peneliti untuk
mengetahui bagaimana proses pembuatan program responsif gender dari
masing-masing dinas.
Dalam menanggapi upaya yang tengah dilakukan Dinas Tenaga Kerja,
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dalam mengimplementasikan kebijakan
pengarusutamaan gender, DPRD selaku badan yang mempunyai tupoksi sebagai
pembuat peraturan perundang-undangan, pengawasan dan anggaran, hanya
melihat bagaimana pemanfaatan anggarannya saja, selain itu mengawasi
berjalannya suatu program dengan menggunakan anggaran yang sudah ditetapkan.
Adapun pelaksanaan program pengarusutamaan gender menurut DPRD Komisi C
terkait tenaga kerja, apabila terdapat persyaratan seperti diperlukannya sertifikasi
bagi pekerja laki-laki maupun perempuan, maka DPRD meminta Disnaker untuk
membuat balai pelatihan kerja, pada pembuatannya, apa-apa saja yang diperlukan
Disnaker untuk para pekerja itu maka akan dipenuhi anggarannya, dan akan
Untuk pendidikan, DPRD sangat mewajibkan Dinas Pendidikan untuk
terus melakukan program wajib belajar 9 tahun dan mengoptimalkan pelaksanaan
kurikulum 2013. Sebab DPRD beranggapan setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan dan negara wajib memfasilitasi sarananya. Sebab
anggaran yang dipakai untuk pendidikan di Kabupaten Batu Bara sebanyak 30%,
untuk itu DPRD sangat memantau penggunaan aggaran tersebut. Untuk bidang
kesehatan, DPRD selalu memantau pelaksanaan program BPJS Kesehatan.
Bagaimana pelayanan rumah sakit ataupun puskesmas bagi pengguna kartu ini
ataupun yang tidak menggunakan. Adapun dari 382.000 penduduk, 51% nya
sudah menggunakan kartu BPJS baik menggunakan uang pribadi atau uang
negara. Dalam memantau program ini, DPRD selalu memanggil direktur rumah
sakit, kepala dinas kesehatan dan juga pihak badan pengelola jaminan sosial
tersebut untuk selalu diingatkan agar memberikan pelayanan yang adil bagi semua
pasien.
3.2. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terhadap Perempuan Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan Dan Kesehatan
Pengaruh implementasi kebijakan pengarusutamaan gender akan
dijelaskan dalam penelitian ini dengan tujuan agar dapat mengetahui apakah
pengarusutamaan gender pada bidang tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan
memberikan dampak bagi perempuan, dan bagaimana hasil capaian dari
program-program berdasarkan dinas masing-masing, yaitu Dinas Tenaga Kerja, Dinas
Pendidikan dan Dinas Kesehatan.
Seperti yang diketahui bahwa kebijakan ataupun program yang
dikhususkan untuk pengarusutamaan gender di bidang tenaga kerja, pendidikan
dan kesehatan belum lah ada, kecuali program yang ada di Badan Pemberdayaan
Perempuan. Kepala Bappeda Kabupaten Batu Bara mengatakan bahwa
pemerintah daerah belum pernah membentuk peraturan daerah baru yang
dikhususkan untuk gender, berikut kutipan wawancaranya:
“Bappeda belum pernah membentuk perda baru tentang pengarusutamaan gender, hanya mengikuti Inpres yang sudah ada. Program-program sebagai upaya mengimplementasikan sudah ada dibeberapa dinas, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman, Bappeda, Dinas Kesehatan, Kantor Perizinan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pemberdayaan, Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana, dan Kantor Lingkungan Hidup. Karena isu gender di Kabupaten Batu Bara baru saja diangkat, sehingga belum ada tinjauan khusus untuk gender.”54
Dampak yang berarti pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik
negatif maupun positif dari pelaksanaan kebijakan pengarusutamaan gender ini,
meskipun hanya dilaksanakan hanya secara implisit oleh dinas tenaga kerja, dinas
pendidikan dan juga dinas kesehatan, namun berhasil memberi pengaruh bagi
perempuan di Kabupaten Batu Bara.
3.2.1. Pengaruh Pengarusutamaan Gender pada Dinas Tenaga Kerja
Untuk Dinas Tenaga Kerja, dengan dilaksanakannya program
penanggulangan pengangguran, program balai latihan kerja, adanya perlindungan
yang lebih bagi pekerja perempuan, dan diberikannya cuti khusus bagi
wanita/pekerja perempuan, merupakan akibat dari program pengarusutamaan
gender yang positif untuk perempuan. Berikut kutipan hasil wawancara mengenai
pengaruh implementasi kebijakan pengarusutamaan gender oleh Pelaksana Tugas
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara:
“Ada program tentang penyuluhan kepada perempuan, ada di pengawasan. Pengaruh programnya di Kabupaten Batu Bara bagus, apalagi yang dilakukan sama bidang pengawasan ketenagakerjaan, karena ya bidang pengawasan tadi memang bekerja disitu. Intinya terpangaruh lah kebijakan pengarusutamaan gender itu bagi perempuan. Perempuan jauh lebih terawasi dalam hal pekerjaan.”
Selain itu, dengan adanya upaya Dinas Tenaga Kerja untuk melibatkan
pengarusutamaan gender pada program-programnya, turut berpengaruh pada
partisipasi angkatan kerja perempuan meskipun tidak setinggi angkatan kerja pada
laki-laki. Berikut kutipn wawanacara dengan Bapak Sailan:
“Perannya aktif, bagus. Kalau Kita lihat trendnya perempuan ini
mau cari kerja. Saya kira untuk saat ini partisipasi dan peran perempuan sendiri itu lumayan tinggi di Kabupaten Batu Bara.” 55
3.2.2. Pengaruh Pengarusutamaan Gender pada Dinas Pendidikan
Untuk bidang pendidikan, pengaruh dari kebijakan pengarusutamaan
gender juga dirasakan oleh perempuan, berikut kutipan wawancara dengan Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten Batu Bara:
“Pengaruhnya luar biasa, keadaan sekarang ini 60 – 70 persen guru perempuan mendominasi pendidikan. Karena Saya kira perempuan itu
jauh lebih disiplin dalam mengajar, kemudian lebih semangat dalam berkompetisi. Jika dilakukan survey, sekolah-sekolah di Kabupaten Batu Bara ini ada yang memiliki 20 guru perempuan dan hanya ada 1 guru laki-laki. Sengaja atau tidak sengaja sudah terkondisi seperti itu. Jadi bukan pengarusutamaan lagi, ya memang sudah utama para perempuan di dunia pendidikan. Begitu juga untuk murid, Saya kira perempuan memiliki kompetisi yang kuat dibidang pendidikan, tidak terkcuali pula pada murid laki-laki.”56
Ditambahkan pula:
“…sekarang sudah dirasakan masyarakat, bahkan perempuan sendiri. Mau jadi guru di Batu Bara juga mudah, dengan persyaratan akademiknya. Tapi dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan, bahkan Kami malah sedang membatasi yang ingin jadi guru itu, terlebih guru perempuan.”57
Data berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak H. Sailan Nasution selaku Plt. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara pada tanggal 8 Maret 2016, pukul 10.00 – 12.00 WIB, bertempat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Batu Bara.
Pencapaian program pengarusutamaan gender dibidang pendidikan sudah
berlebih. Dikatakan bahwa untuk tingkat Sekolah Dasar, diperkirakan sudah
setara atau 50:50. Sedangkan secara keseluruhan, pendidikan di Kabupaten Batu
Bara apabila dilihat dari aspek gender juga sudah utama.
3.2.3. Pengaruh Pengarusutamaan Gender pada Dinas Kesehatan
Adapun dibidang kesehatan, indikator penilaian keberhasilan pelayanan
kesehatan dan program pembangunan kesehatan dapat dilihat dari angka
kematian, salah satunya AKI. Tingginya AKI pada tahun 2014 yang mencapai
153,30‰, terserangnya demam berdarah dan malaria pada ibu hamil dan menyusui, kurangnya penanganan yang professional bagi ibu melahirkan,
menjadikan perempuan sebagai korban terbesar dalam masalah kesehatan ini.
Dengan adanya kebijakan pegarusutamaan gender yang juga secara implisit
diterapkan oleh Dinas Kesehatan, sedikit memberi dampak yang baik bagi
perempuan. Berikut kutipan wawancara dengan Kepala Tata Usaha Dinas
Kesehatan Kabupaten Batu Bara:
“Saya pikir cukup besar juga. Cuman tergantung programnya. Misalnya
Kemudian ditambahkan pula:
“Kalau PUG program secara tertulis belum ada, karena yang ada saat ini seperti dibidang pelayanan kesehatan itu ada seksi rujukan, seksi pelayanan dasar dan seksi mata dan hati. Untuk bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, ada seksi kesehatan lingkungan, ada seksi wabah dan bencana dan seksi penyakit menular. Disitulah dimasukkan program-program termasuk PUG secara implisit, kalau secara teknik tidak ada.”
Mengenai pencapaian program pengarusutamaan gender dibidang
kesehatan, cukup mengapresiasi apabila dibandingkan dengan kabupaten lain.
Meskipun ada beberapa kasus yang disampaikan oleh masyarakat melalui media
tentang pelayanan kesehatan di Kabupaten Batu Bara, misal terlambatnya
penanganan kasus DBD, maka akan segera dilakukan aksi penanganan. Secara
keseluruhan program yang ada di Dinas Kesehatan, hasil dan capaian program
tersebut ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil. Berikut kutipan
wawancaranya:
“Ada beberapa program itu seperti malaria 100% karena angka penderita penyakit turun drastis. Karena Kita gencar melakukan pendistribusian kelambu. Itulah salah satu program yang Kita masukkan PUG, bagi keluarga ibu hamil dan yang memiliki balita. Jadi itu diutamakan. Jadi ada pendistribusian kelambu rutin dan ada yang massal. Yang rutin ini yang prioritas ibu hamil dan menyusui. Secara umum cukup berhasil di Batu Bara dengan keterbatasan yang ada. Tapi ada juga yang kurang berhasil, seperti masyarakat yang masih tabu, masalah lingkungan dan masalah dana.”58
3.3. Kendala Dalam Implementasi Program Pengarusutamaan Gender Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan dan Kesehatan
Kendala dalam implementasi program pengarusutamaan gender dibidang
tenaga kerja, pendidikan dan kesehatan akan dijelaskan dalam penelitian ini
dengan tujuan agar dapat mengetahui faktor atau keadaan apa saja yang
membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran dari kebijakan
pengarusutamaan gender di Kabupaten Batu Bara.
Berdasarkan penelitian dengan melakukan wawancara dengan Dinas
Tenaga Kerja, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Badan Pembedayaan
Perempuan, adapun kendala yang dijumpai dalam melaksanakan kebijakan
pengarusutamaan gender di Kabupaten Batu Bara adalah sebagai berikut:
3.3.1. Kendala pada Dinas Tenaga Kerja
Adapun kendala yang ditemui dalam melaksanakan kebijakan
pengarusutamaan gender di Dinas Tenaga Kerja ialah implementator yang belum
sepenuhnya mengerti mengenai kebijakan pengarusutamaan gender, terlebih
mengenai INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sailan Nasution hal ini terjadi
dikarenakan pegawai yang bekerja sangat cepat berganti, namun sosialisasi jarang
dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan. Informasi tentang gender lebih
mencari tahu sendiri. Keinginan untuk mengetahui juga masih kurang, karena
menganggap aturan main hal-hal ketenagakerjaan sudah ada dalam
Undang-undang Ketenagakerjaan. Kendala lain adalah dana, meskipun tidak ada program
pengarusutamaan gender di bidang tenaga kerja, tapi anggaran atau dana menjadi
hambatan terbesar bagi seluruh program tenaga kerja secara umum yang ada
dalam RPJMD.
Disamping kendala yang terjadi pada Dinas Tenaga Kerja, adapun kendala
yang ditemui dalam menerapkan program yang telah dibuat oleh Dinas Tenaga
Kerja ini adalah pada sumber daya manusia yang belum menguasai informasi baik
itu tentang kesenjangan gender, persamaan gender, bahkan arti dari gender itu
sendiri, dan sosialiasi mengenai hal ini pun masih sedikit. Menyangkut hambatan
yang terjadi pada Dinas Tenaga Kerja, Bapak Sailan mengatakan:
“Sampai saat ini tidak ada kendala yang rumit, mungkin karena rutin dikerjakan atau perusahaan-perusahaan juga sudah sangat memahami. Itulah kerja rutin Kami. Kalau ada pelanggaran pada pekerja perempuan, ya Kita cepat bertindak, Kita kirim pengawas kesana, makanya secara keseluruhan tidak terlalu banyak hambatan yang Kita peroleh. Paling hambatan dari segi personil aja, dan segi dana.”59
3.3.2. Kendala pada Dinas Pendidikan
Anggaran untuk program yang berpandangan pada keadilan dan
kesetaraan gender di Dinas Pendidikan tidak ada, namun secara umum kebutuhan
anggaran pendidikan belum cukup. Program-program yang diajukan Dinas
Pendidikan kepada Bappeda pun sering dipertimbangkan (tidak disetujui), karena
pendidikan di Kabupaten Batu Bara memakai APBD hampir 30%. Berikut
kutipan wawancara dengan Bapak Darwis mengenai program yang tidak disetujui:
“…contohnya Kami mau adanya pelatihan-pelatihan guru. Pemkab belum bisa menyetujui karena mungkin pendidikan membutuhkan dana yang besar. Dana di pendidikan itu memang besar, namun membagi-bagikannya juga besar. Kalau di SKPD lain dana banyak tapi yang dibagikan sedikit, tidak seperti Kami. Sebenarnya pendidikan ini kalau Kita mau bicara keadilan, porsinya harus berdasarkan pembagi.”
Kendala lain yang disebutkan Bapak Darwis ada pada kutipan wawancara
berikut ini:
“…seperti Saya membuat beberapa kebijakan di bidang pendidikan, salah satunya untuk kasus ujian tidak dibantu oleh guru. Problemnya di SLTA tidak boleh lagi ada guru yang ikut bermain dalam ujian yang kemudian berpengaruh pada nilai anak-anak Kita yang anjlok. Nah, akibat dari kebijakan ini ketika ada penerimaan kerja disuatu perusahaan contohnya INALUM kemarin, mereka menerapkan nilainya harus tinggi, hal ini membuat anak-anak Kita tidak mempunyai kesempatan mencari lapangan pekerjaan, padahal kalau kita tes belum tentu mereka tidak bisa. Saya agak kecewa saja dengan kebijakan yang memilih-memilih atau system ujian, karena mereka memilih hanya berdasarkan jumlah NEM, tapi kenapa harus diuji atau dites lagi, ya pakai nilai NEM itu saja. Sekarang kenataannya mereka membatasi jumlah NEM-nya, lah tapi diuji, kan dua kali kerja.”
Dijelaskan pula bahwa kendala tersebut terjadi pada saat Dinas Pendidikan
ingin melakukan kebijakan untuk peningkatan mutu agar murid-murid di
Kabupaten Batu Bara mejadi lebih giat belajar, Bapak Darwis sangat
pada murid-murid yang ingin melanjutkan sekolah ketahap yang lebih tinggi dan
menjadi pengahalang dalam mencari pekerjaan.
Bapak Darwis juga mengatakan bahwa belum semua instansi mendukung
program yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan, sebab untuk merubah dan
meyakinkan program-program tersebut sangatlah sulit, Bapak Darwis
mengatakan:
“Sebab merubah ini memang sulit. Tapi Saya istiqomah untuk terus melanjutkan kebijakan ini. 3 tahun ini anak-anak SLTA tidak dibantu. Dan hal ini belum sampai tingkat Bappeda dan DPRD, karena umumnya dari orang tua siswa.”
3.3.3. Kendala pada Dinas Kesehatan
Kendala yang dialami oleh Dinas Kesehatan, seperti yang dikatakan Bapak
Parlindungan Gultom adalah terletak pada sumber daya manusia. Baik itu yang
bekerja di Dinas Kesehatan, Puskesmas, ataupun Rumah Sakit. Kendala
berikutnya adalah pendanaan yang kurang memadai. Baik itu untuk program
secara umum atau program yang ditumpangi pengarusutamaan gender.
Selanjutnya adalah kendala untuk lintas program, sering ditemukannya kesulitan
oleh Dinas Kesehatan yang tidak sinkron dengan sektor lain, sebab sektor yang
lain belum tentu mau memasukkan program yang Dinas Kesehatan bentuk,
Karena Dinas Kesehatan merupakan sektor yang sering bekerja sama
dengan BP2KB, tidak jarang pula terjadi kendala bahwa BP2KB dan sektor lain
tidak memberikan dukungan pada mereka. Berikut kutipan wawancara dengan
Bapak Parlindungan Gultom:
“Ada beberapa instansi yang memberi dukungan, cuman butuh waktu untuk mensosialisasikannya dan butuh dana untuk membuat program itu. Artinya tidak gampang lah. Tapi upaya-upaya sudah dilakukan, sudah ada.”
3.3.4. Kendala pada Badan Pemberdayaan Perempuan
Badan Pemberdayaan Perempuan merupakan salah satu bidang yang ada
di BP2KB yang menangani masalah perempuan atau gender dan anak, oleh
karenanya penting untuk mengetahui kendala yang ada di badan pemberdayaan
perempuan ini. Ibu Darmawati selaku Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan
mengatakan tidak ada kendala yang serius terjadi dengan mereka, karena program
pengarusutaman gender sedang gencar-gencarnya di Kabupaten Batu Bara. Hal ini
berdampak pada apabila mereka mengajukan program, pasti akan disetujui, karena
baru tahun ini pemerintah Batu Bara mulai terbuka akan kebijakan
pengarusutamaan gender. Kemungkinan adanya kendala pasti ada, namun untuk
saat ini masih bisa diatasi dengan mudah. Sejauh ini kendala masih pada anggaran
yang kurang, apabila ada program yang kekurangan dana makan BPP akan
Namun secara keseluruhan, kendala dalam pengimplementasian kebijakan
pengarusutamaan gender pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembangunan sumber daya manusia masih sangat terkungkung dalam budaya setempat, secara tidak disadari tindakan-tindakan yang lahir masih bias gender.
2. Adanya pengkotakan-pengkotakan peran berdasarkan relasi sosial bahwa perempuan “pekerja domestik”.
3. Lemahnya sosialisasi yang belum banyak menjangkau tingkat kecamatan/desa lain di Kabupaten Batu Bara.
4. Hambatan pada kelembagaan sumber daya manusia yang terbatas (implementator).
5. Belum tuntasnya pemahaman pengarusutamaan gender baik pada eksekutif maupun legislatif.
6. Kebijakan anggaran masih netral (buta) gender.
7. Kurangnya komitmen pimpinan terhadap kebijakan pengarusutamaan gender.
8. Minimnya ketersediaan data terpilah, dalam penelitian ini khususnya untuk kesehatan.
9. Pengarusutamaan gender masih dianggap sebagai pengaruh dari budaya barat.
10.Adanya stereotype bahwa pengarusutamaan gender identik dengan
perempuan.
Implikasi teoritis merupakan keterlibatan pendapat yang didasarkan pada
penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumentasi. Implikasi
teoritis dilakukan dalam penelitian ini dengan tujuan agar peneliti dapat
membahas, mengaitkan atau melibatkan masalah yang ditemukan di lapangan
dengan menggunakan teori kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan
teori gender.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata implementasi berarti
pelaksanaan dan penerapan. Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang
kompleks, dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan ada dua
pertanyaan krusial yang penting sekali untuk dipahami, yaitu;
prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil?
Dan hambatan hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi
gagal? Seperti yang dikatakan George C. Edwards:
Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.60
Implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis
yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak ada
variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan
antara satu variabel dengan variabel lain, dan bagaimana variabel-variabel ini
memengaruhi proses implementasi kebijakan. Edward mengemukakan adanya 4
variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi.
Variabel pertama adalah komunikasi, mencakup: transmisi, konsistensi
dan kejelasan. Menurut Edward, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan
yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat disertai dengan
petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga pelaksana di lapangan tidak mengalami
kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain itu, perintah-perintah
pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Apabila perintah yang disampaikan tidak
konsisten dan jelas maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi
kebijakan.
Variabel kedua adalah ketersediaan sumber-sumber, mencakup jumlah staf
yang memadai, memiliki keahlian untuk melaksanakan tugas mereka dan
memiliki wewenang serta fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan
kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan agar dapat terealisir. Edward
mengatakan bahwa ketersediaan sumber-sumber kebijakan sangat penting bagi