• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala pada Badan Pemberdayaan Perempuan

3.3. Kendala Dalam Implementasi Program Pengarusutamaan Gender Pada Bidang Tenaga Kerja, Pendidikan dan Kesehatan

3.3.4. Kendala pada Badan Pemberdayaan Perempuan

Badan Pemberdayaan Perempuan merupakan salah satu bidang yang ada di BP2KB yang menangani masalah perempuan atau gender dan anak, oleh karenanya penting untuk mengetahui kendala yang ada di badan pemberdayaan perempuan ini. Ibu Darmawati selaku Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan mengatakan tidak ada kendala yang serius terjadi dengan mereka, karena program pengarusutaman gender sedang gencar-gencarnya di Kabupaten Batu Bara. Hal ini berdampak pada apabila mereka mengajukan program, pasti akan disetujui, karena baru tahun ini pemerintah Batu Bara mulai terbuka akan kebijakan pengarusutamaan gender. Kemungkinan adanya kendala pasti ada, namun untuk saat ini masih bisa diatasi dengan mudah. Sejauh ini kendala masih pada anggaran yang kurang, apabila ada program yang kekurangan dana makan BPP akan memaksimalkan dana tersebut agar kegiatan-kegiatan tetap berjalan.

Namun secara keseluruhan, kendala dalam pengimplementasian kebijakan pengarusutamaan gender pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pembangunan sumber daya manusia masih sangat terkungkung dalam budaya setempat, secara tidak disadari tindakan-tindakan yang lahir masih bias gender.

2. Adanya pengkotakan-pengkotakan peran berdasarkan relasi sosial bahwa perempuan “pekerja domestik”.

3. Lemahnya sosialisasi yang belum banyak menjangkau tingkat kecamatan/desa lain di Kabupaten Batu Bara.

4. Hambatan pada kelembagaan sumber daya manusia yang terbatas (implementator).

5. Belum tuntasnya pemahaman pengarusutamaan gender baik pada eksekutif maupun legislatif.

6. Kebijakan anggaran masih netral (buta) gender.

7. Kurangnya komitmen pimpinan terhadap kebijakan pengarusutamaan gender.

8. Minimnya ketersediaan data terpilah, dalam penelitian ini khususnya untuk kesehatan.

9. Pengarusutamaan gender masih dianggap sebagai pengaruh dari budaya barat.

10.Adanya stereotype bahwa pengarusutamaan gender identik dengan perempuan.

Implikasi teoritis merupakan keterlibatan pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumentasi. Implikasi teoritis dilakukan dalam penelitian ini dengan tujuan agar peneliti dapat membahas, mengaitkan atau melibatkan masalah yang ditemukan di lapangan dengan menggunakan teori kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, dan teori gender.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata implementasi berarti pelaksanaan dan penerapan. Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks, dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan ada dua pertanyaan krusial yang penting sekali untuk dipahami, yaitu; prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Seperti yang dikatakan George C. Edwards:

Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.60

      

 Hessel Nogi. S Tangkilisan. 2003. Implementasi Kebijakan Publik Transformasi Pikiran George Edwards. Yogyakarta: Lukman Offset. hal. 12-14 

Implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain, dan bagaimana variabel-variabel ini memengaruhi proses implementasi kebijakan. Edward mengemukakan adanya 4 variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi.  

Variabel pertama adalah komunikasi, mencakup: transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edward, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat disertai dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga pelaksana di lapangan tidak mengalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Selain itu, perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Apabila perintah yang disampaikan tidak konsisten dan jelas maka akan berakibat pada ketidakefektifan implementasi kebijakan.

Variabel kedua adalah ketersediaan sumber-sumber, mencakup jumlah staf yang memadai, memiliki keahlian untuk melaksanakan tugas mereka dan memiliki wewenang serta fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan agar dapat terealisir. Edward mengatakan bahwa ketersediaan sumber-sumber kebijakan sangat penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Tanpa ketersediaan sumber-sumber yang

memadai maka kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan hanya akan menjadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasi.

Variabel ketiga adalah disposisi-disposisi (kecenderungan-kecenderungan). Menurut Edward, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan. Sebaliknya, jika tingkah laku atau perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit.

Variabel keempat adalah struktur birokrasi. Menurut Edward, birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi, baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melaksanakannya, tetapi dalam pelaksanaannya mereka sering dihambat oleh struktur organisasi yang kompleks dan tersebar luas.

Menurut Edward, ada dua karakteristik birokrasi, yaitu Standar Operasional Prosedur (SOP) dan fragmentasi. SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari

pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit organisasi seperti legislatif, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi negara, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.

Implementasi pengarusutamaan gender di Kabupaten Batu Bara diawali dengan adanya political will atau adanya kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil kebijakan untuk mempercepat pelaksanaan pengarusutamaan gender dengan cara memasukkan isu gender sebagai salah satu isu strategis pada dokumen perencanaan daerah (RPJMD). Pada RPJMD Kabupaten Batu Bara Tahun 2014-2019, isu gender dituangkan melalui program-program yang ada di Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana. Adanya

political will ini sesuai dengan halnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa salah satu prasyarat kunci bagi terimplementasikannya pengarusutamaan gender adalah adanya political will dari pemerintah, dimana dapat menciptakan budaya kesetaraan gender sehingga muncul kesadaran publik akan pentingnya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Sebenarnya dengan sudah adanya political will ini, dapat mempercepat pengarusutamaan gender apabila dibarengi dengan anggaran yang responsif gender. Namun untuk Kabupaten Batu Bara, analisis gender dan anggaran yang responsif gender belum menjadi pedoman pemerintah sebagai bentuk pembangunan manusia terlebih perempuan.

Dengan adanya kebijakan publik dengan keadilan dan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan sebagai isu strategisnya, tidak langsung membuat kebijakan publik tersebut mudah diimplementasikan. Belum optimalnya pencapaian pembangunan responsif gender di Kabupaten Batu Bara dikarenakan kebijakan publik ini seringkali bertentangan dengan para birokrasi publik sebagai implementator kebijakan publik itu. Isu strategis sekelas pengarusutamaan gender hanya menjadi isu biasa saja ketika para sebagian implementator tidak mengetahui apa itu gender dan mengapa harus diarusutamakan di Kabupaten Batu Bara. Inilah yang tengah terjadi, bahwa sebenarnya ada sebagian pihak yang ingin melaksanakan kebijakan pengarusutamaan gender sebagai suatu isntruksi yang memang harus dilakukan, namun ada sebagian pihak yang merasa bahwa karena keadaan gender di Kabupaten Batu Bara tidak terjadi suatu masalah yang serius maka menyebabkan pembahasan tentang gender, anggaran responsif gender dan isu-isu lain seputar gender tidak menjadi prioritas yang harus diutamakan. Itu mengapa sejauh ini hanya Badan Pemberdayaan Perempuan yang gencar melakukan sosialisasi tentang gender dan memiliki program tentang gender meskipun masih tahap penguatan program.

Berdasarkan teori implementasi kebijakan publik oleh George C. Edward yang digunakan pada penelitian ini, akan dipaparkan mengenai keterhubungan ke-empat variabel yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dengan masalah gender yang terjadi di Kabupaten Batu Bara.

1. Komunikasi

 transmisi atau penerusan pesan; pada variabel ini ditemukan bahwa dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, Kemendagri Nomor 132 Tahun 2003, Permendagri Nomor 67 Tahun 2011, menjadikan Bappeda harus membuat program perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, yang mana Bappeda meneruskan instruksi ini ke BP2KB, lalu BP2KB berkewajiban melakukan sosialisasi ke dinas-dinas atau SKPD. Pada Badan Pemberdayaan Perempuan, telah dikeluarkannya program mengenai gender melalui regulasi atau pengaturan RPJMD dengan SKPD penanggung jawab BP2KB.

 kejelasan; sudah ada kejelasan pesan, yaitu mengenai sosialisasi ke SKPD, namun belum sampai tahap penyusunan GAP.

 konsistensi atau ketetapan dalam bertindak; dengan adanya perintah pelaksanaan, telah ditetapkannya secara konsisten dan jelas bahwa setiap SKPD harus memiliki 1 program responsif gender, namun temuan yang ada bahwa belum ada SKPD selain Badan Pemberdayaan Perempuan yang memiliki program responsif gender.

2. Sumberdaya

 staff; pemerintah Kabupaten Batu Bara belum memiliki staff yang mumpuni untuk melakukan pendampingan analisis gender dan

anggaran responsif gender. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia.

 skill atau kemampuan; ditemukan bahwa sumber daya manusia belum memiliki skill atau kemampuan yang cukup terkait konsep gender, analisis gender GAP dan anggaran responsif gender. Kurangnya mengikuti pelatihan menjadikan staff tersebut belum cukup berpengalaman. Baik itu pelatihan nasional ataupun dari BPP Kota Medan.

 pembiayaan; BP2KB atau BPP masih kekurangan dana untuk program-program mereka, terlebih dana untuk mendampingan tiap SKPD dalam menyusun program pengarusutamaan gender. Itu sebabnya program responsif gender ditiap SKPD belum ada secara teknis. Hambatan dana ini pula yang menjadikan sumber daya manusia pada tiap SKPD tidak bertambah.

 informasi; adanya informasi berupa panduan bagi tiap SKPD, namun pelaksanaannya masih jarang dilakukan. Meskipun sudah ada panduan, tak jarang SKPD masih sulit mengaplikasikannya karena keterbatasan kemampuan dalam mengenali isu-isu gender.

 wewenang; sejauh ini masih pada tahap sosialisasi, dan BPP sendiri juga masih ‘belajar’ sehingga belum ada terbentuk kelompok kerja untuk mengawasi atau berwenng dalam melakukan GAP dan anggaran responsif gender.

 fasilitas-fasilitas; lembaga penggerak sejauh ini sedah menyediakan fasilitas berupa petunjuk melakukan GAP dan anggaran responsif gender.

3. Disposisi

 dukungan para pelaksana; ditemukan bahwa dukungan pelaksana pada SKPD bervariasi, ada yang mendukung dan ada yang kurang mendukung. Hal ini tentunya mengakibatkan perumusan program menjadi terhambat.

Dokumen terkait