• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Basidiomycetes, dekolorisasi, ph, Remazol Brilliant Blue R, dan waktu inkubasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci : Basidiomycetes, dekolorisasi, ph, Remazol Brilliant Blue R, dan waktu inkubasi."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

AbstrakBasidiomycetes menghasilkan enzim ligninolitik untuk merombak zat warna anthraquinon dengan mengoksidasi senyawa karbon menjadi CO2 dan H2O. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan 22 isolat Basidiomycetes koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi ITS sebagai agen biodekolorisasi zat warna RBBR. Uji dekolorisasi zat warna RBBR dilakukan pada Medium Basal Chloramphenicol (MB-C) yang mengandung 100 ppm RBBR dan diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 592 nm. Penelitian ini dianalisa menggunakan deskriptif kuantitatif secara destruktif. Hasil penelitian menunjukkan semua isolat mampu mendekolorisasi RBBR. Prosentase dekolorisasi terbesar pada hari ke 4, dengan pH 4 adalah LM 3002 (Climacodon septentrionalis) sebesar 72,35%, pada pH 5 adalah LM 3001 (Climacodon septentrionalis) sebesar 70,28%, dan pada pH 6 adalah LM 3015 (Inonotus rheades) sebesar 69,93 %. Sedangkan pada hari ke 8, dengan pH 4 adalah LM 3011 (Ganoderma applanatum) sebesar 98,65 %, pada pH 5 adalah LM 3002 (Climacodon septentrionalis) sebesar 97,91 %, dan pada pH 6 adalah LM 3013 (Inonotus hispidus) sebesar 96,95 %.

Kata Kunci : Basidiomycetes , dekolorisasi, pH, Remazol Brilliant Blue R , dan waktu inkubasi.

I. PENDAHULUAN

ndustri dan produk tekstil merupakan salah satu bidang yang sangat berkembang di Indonesia. Nilai ekspor dan produk tekstil (TPT) meningkat sepanjang tahun. Tahun 2002 tercatat ekspor TPT mencapai US$ 6,88 milyar, kemudian naik terus menjadi US$ 10,4 milyar pada tahun 2008 (Kemenperin, 2010). Hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan asli daerah, meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan mengurangi jumlah pengangguran masyarakat.

Terlepas dari peran sebagai komoditi ekspor yang diandalkan, ternyata industri tekstil menimbulkan masalah yang bagi lingkungan, terutama masalah yang

diakibatkan oleh limbah cair yang dihasilkan dari proses pewarnaan. Zat warna pada limbah tekstil yang terbuang ke perairan, dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan mengalami akumulasi. Air yang berwarna akan menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam perairan, yang menyebabkan kondisi anoksik-anaerob. Dampak lanjutannya adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme anaerob yang menghasilkan produk-produk yang berbau tak sedap.

Beberapa metode yang dikembangkan untuk merombak zat warna pada limbah tekstil antara lain dengan cara fisika seperti teknologi membran, radiasi, adsorpsi menggunakan karbon aktif, silika, dan biomaterial. Secara kimia contohnya seperti reaksi oksidasi, reaksi anaerob dan reaksi fotokatalisis, ozonasi, koagulasi, dan cara biologi seperti biodegradasi dan bioadsorpsi (Engade et al., 2010). Zat warna RBBR merupakan zat warna yang sudah umum digunakan dalam industri pencelupan tekstil dan tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun fotolitik. Zat warna RBBR (Remazol Brilliant Blue R) merupakan seyawa heterosiklis yang unsur pembentuknya dari quinone yang umum ditemukan di semua organisme (ubiquitos). Anthraquinone muncul sebagai warna alami di alam, terdiri dari cincin benzene dengan gugus hidroksil yang disebut phenol. Phenol sangat tahan terhadap oksidasi karena formasi dari gugus karbonil akan menyebabkan hilangnya stabilitas aromatis. Struktur 1,2- dan 1,4 dihidroksibenzena yang disebut hidroquinone, dapat dioksidasi menjadi quinone. Oksidasi dapat berlangsung dengan agen pengoksidasi yang lemah, seperti Ag+ atau Fe3+, dan bersifat reversible (Murugesan et al., 2007). Dengan demikian, limbah zat warna RBBR harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan.

Jamur lapuk putih merupakan kelompok jamur Basidiomycetes penghasil enzim ligninolitik

Potensi Basidiomycetes Koleksi Laboratorium

Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi ITS sebagai

Agen Biodekolorisasi Zat Warna RBBR

(

Remazol Brilliant Blue R

)

Syayyida Muslimah, Nengah Dwianita Kuswytasari.

Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

E-mail : kuswytasari@bio.its.ac.id

(2)

ekstraseluler yang mampu digunakan untuk merombak berbagai macam senyawa hidrokarbon poliaromatik senyawa fenolik dan zat warna (Hakala, 2007). Perombakan zat warna oleh enzim ligninolitik diawali dari oksidasi enzim ligninolitik oleh oksigen dan selanjutnya enzim ligninolitik dalam keadaan teroksidasi tersebut mengoksidasi zat warna tekstil. Enzim ligninolitik ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur lapuk putih adalah mangan peroksidase (MnP), lignin peroksidase (LiP) dan laccase (Yesiladali et al., 2006). Enzim ini bersifat non-spesifik sehingga mampu bekerja pada spektrum luas. Enzim ligninolitik dapat merombak senyawa aromatik, polimer sintetik, dan zat warna melalui reaksi redoks, di mana enzim ligninolitik akan mengoksidasi secara sempurna senyawa-senyawa karbon menjadi CO2 dan H2O (Siswanto et al, 2007).

Sumber karbon dan nitrogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur terutama terhadap konversi biomassa. Jamur dapat mengambil O2 secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum. Pada umumnya, jamur lebih menyukai suasana yang asam untuk pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk sebagian jamur pelapuk kayu ialah 4.5-5.5 (Nicholas, 1973). Beberapa jamur yang sudah banyak digunakan diantaranya Phanerocaete chrysosporium, Bjerkandera adusta, Irpex lacteus, dan

Hypoxylon fragiforme, Trametes villosa dan Trametes pycnoporus serta Aspergillus. sp. Perombakan limbah tekstil menggunakan jamur pendegradasi kayu dipengaruhi oleh jenis jamur yang digunakan dan kondisi lingkungan seperti pH, suhu dan waktu inkubasi. Keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas enzim lignolitik ekstraseluler jamur pelapuk putih, dan proses dekolorisasi pada basidiomycetes (Nicholas, 1973). Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim dapat teramati dari profil isoenzim dan tingkat aktivitasnya, sedangkan pH berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecepatan pertumbuhan (Theerachat et al., 1973). Selain pH, faktor lain yang mempengaruhi proses dekolorisasi zat warna tekstil adalah jenis jamur dan lama inkubasi.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai Maret 2013 di Laboratorium Mikologi dan Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi FMIPA ITS Surabaya.

A. Persiapan Kultur Basidiomycetes

Isolat jamur basidiomycetes yang berasal dari kultur murni koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan

Bioteknologi ITS diinokulasi pada media PDA-C (Potato Dextrose Agar - Chloramphenicol) sebagai kultur kerja dan kultur stok. Kultur stok akan disubkultur setiap satu bulan sekali. Kemudian subkultur isolat diinkubasi pada suhu 30°C hingga tumbuh merata selama 7 hari.

B. Pembuatan Medium Basal Chloramphenicol (MB-C)

Sebanyak 2 gr ekstrak yeast, 1 gr MgSO4. 7H2O, 1,5 g KH2PO4, 0,2gr MnSO4.H2O, 0,2 gr FeSO4. 7H2O, 0,2 gr CaCl 2H2O, 0,5 gr chloramphenicol, dan 20 gr bubuk agar ditambahkan akuades hingga volume 1 L dididihkan dengan magnetic stirer. Setelah itu dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C 1,5 atm selama 15 menit. Sedangkan untuk membuat medium basal broth chloramphenicol tidak perlu ditambahkan bubuk agar.

C. Pengamatan Pertumbuhan Koloni Basidiomycetes

Medium PDA-C (Potato Dextrose Agar - Chloramphenicol) ditambahkan dengan 100 mg/ L zat warna RBBR (Sigma) dan dituang pada cawan Petri masing – masing sebanyak 20 ml. Kemudian basidiomycetes diinokulasi pada medium, diinkubasi pada suhu 30° C selama 7 hari dan dilakukan pengamatan pertumbuhan koloni basidiomycetes. Kontrol negatif adalah medium PDA-C tanpa inokulasi basidiomycetes.

D.Pembuatan Starter

Biakan basidiomycetes umur 7 hari pada medium PDA-C diambil sebesar diameter 1 cm, dilarutkan pada aquades steril 10 ml pada tabung reaksi, dan sebanyak 1,5 ml diinokulasikan ke 13,5 ml medium MBB-C dalam erlenmeyer 50 ml. Kemudian kultur diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari dengan goyangan 130 rpm di atas rotary shaker. Setelah 7 hari, miselium yang tumbuh pada medium MBB-C ini kemudian disebut sebagai starter jamur.

E. Uji Dekolorisasi pada Medium Cair

Sebanyak 22 isolat akan diuji potensi dalam mendekolorisasi zat warna. Starter diinokulasikan sebanyak 10% (v/v) yaitu dengan memasukkan 15 ml starter ke dalam 135 ml medium MBB-C pada erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 100 ppm zat warna tekstil RBBR secara duplo kemudian diinkubasi pada suhu ruang dengan variasi pH 4, 5, dan 6. Kontrol adalah medium tanpa penambahan isolat basidiomycetes. Kultur basidiomycetes setelah inkubasi 4 dan 8 hari diambil supernatan sebanyak 5 ml dan diukur nilai serapan zat warna menggunakan spektrofotometer (Techom UV Vis 1100, Jepang) pada panjang gelombang 592 nm. Kemampuan dekolorisasi zat warna ditentukan

(3)

berdasarkan panjang gelombang maksimum (λ592 nm) dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kemampuan dekolorisasi dalam mendegradasi zat warna tersebut berupa data absorbansi dengan satuan persentase. Pada perlakuan kontrol tidak ditambahkan isolat basidiomycetes. Berikut rumus persentase penurunan serapan zat warna:

Keterangan :

X = hari ke 4 dan 8.

F. Rancangan Penelitian

Uji dekolorisasi zat warna pada medium padat menggunakan metode deskriptif kuantitatif untuk mengetahui pertumbuhan koloni basidiomycetes tercepat. Uji dekolorisasi zat warna pada medium cair menggunakan metode deskriptif kuantitatif secara destruktif untuk mengetahui prosentase dekolorisasi terbesar pada 22 isolat basidiomycetes. Penelitian terdiri atas tiga perlakuan pH yaitu 4, 5, dan 6 dengan waktu inkubasi 4 dan 8 hari. Penelitian diulang sebanyak dua kali.

G.Analisa Data

Data penelitian uji dekolorisasi zat warna pada medium padat dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Uji dekolorisasi zat warna pada medium cair dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif.

III. HASIL DAN DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan 22

isolat Basidiomycetes koleksi

Laboratorium

Mikrobiologi

dan

Bioteknologi

Biologi ITS sebagai agen biodekolorosiasi zat

warna RBBR. Isolat tersebut berjumlah 22 isolat

yang terdiri dari 10 spesies yaitu

Climacodon

septentrionalis

,

Climacodon

pulcherrimus

,

Fomitopsis pinicola,

Ganoderma applanatum

,

Inonotus dryadeus

,

Inonotus hispidus

,

Inonotus

radiatus

,

Inonotus rheades

,

Piptoporus betulinus

,

dan

Schizophyllum commune

. Medium yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

Medium

Basal Agar

Chloramphenicol

(MBA-C) yang akan

dimanfaatkan oleh jamur sebagai sumber nutrisi.

Isolat jamur yang memiliki enzim ligninase akan

memecah zat warna RBBR pada medium menjadi

senyawa yang sederhana seperti CO

2

, H

2

O, dan

asam organik yang kemudian diabsorbsi oleh hifa

secara langsung

(Theerachat et al., 1973).

Isolat basidiomycetes diinokulasi dari medium PDA-C sebesar 1 titik menggunakan jarum tanam tajam pada bagian tengah cawan Petri yang berisi 20 ml Medium Basal Agar Chloramphenicol (MBA-C) yang mengandung 100 ppm RBBR. Pertumbuhan koloni jamur diamati setiap hari selama 7 hari. Gambar 1 merupakan grafik pertumbuhan basidiomycetes pada medium MBA-C yang mengandung 100 ppm RBBR.

Gambar 1. Pertumbuhan diameter koloni basidiomycetes.

Keterangan :

LM 3001 Climacodon septentrionalis LM 3014 Inonotus hispidus LM 3002 Climacodon septentrionalis LM 3015 Inonotus hispidus LM 3003 Climacodon septentrionalis LM 3016 Inonotus hispidus LM 3004 Climacodon septentrionalis LM 3017 Inonotus hispidus LM 3005 Climacodon septentrionalis LM 3018 Inonotus hispidus LM 3006 Climacodon pulcherrimus LM 3019 Inonotus radiatus

LM 3009 Fomitopsis pinicola LM 3020 Inonotus radiatus LM 3010 Fomitopsis pinicola LM 3021 Inonotus radiatus

LM 3011 Ganoderma applanatum LM 3022 Inonotus rheades

LM 3012 Inonotus dryadeus LM 3023 Piptoporus betulinus

LM 3013 Inonotus hispidus ` LM 3024 Schyzophyllum

commune

Berdasarkan pengamatan diameter koloni setiap hari selama 7 hari (Gambar 1), terlihat bahwa spesies yang berbeda bahkan isolat yang berbeda menunjukkan rata-rata pertumbuhan basidiomycetes yang berbeda pula. Pertumbuhan diameter koloni basidiomycetes tercepat yaitu Climacodon septentrionalis (LM 3002). Hal tersebut menunjukkan bahwa C. septentrionalis mampu memanfaatkan, sumber karbon dan nitrogen pada Persentase dekolorisasi zat warna :

= Nilai serapan awal (nm) – Nilai serapan hari ke X (nm) x 100% Nilai serapan awal

(4)

medium untuk konversi biomassa serta dapat mengambil O2 secara bebas pada medium untuk keperluan respirasi sehingga pertumbuhannya optimum.

Menurut Yuwono (2008), jamur memiliki kecenderungan untuk menggunakan satu sumber karbon saja. Jika terdapat dua karbon yang berbeda kompleksitas molekulnya maka pertumbuhannya akan menunjukkan pola diauksik. Pada pertumbuhan diauksik, sumber karbon yang lebih mudah dimetabolisme oleh sel akan digunakan terlebih dahulu. Setelah sumber karbon tersebut telah habis barulah jamur memanfaatkan sumber karbon yang lain yang lebih kompleks. Pola pertumbuhan diauksik disebabkan oleh adanya represi katabolit yakni mekanisme pengambatan ekspresi gen yang mengkode sintesis enzim – enzim yang digunakan untuk metabolisme suatu sumber karbon karena ada sumber karbon lain yang lebih mudah dimetabolisme oleh jamur.

Pertumbuhan koloni basidiomycetes pada medium basal agar chloramphenicol yang mengandung 100 ppm zat warna RBBR terlalu cepat, sehingga tidak dapat dilakukan pengamatan rasio zona bening pada penelitian ini. Pengamatan dekolorisasi pada medium padat dapat diamati dengan adanya pemudaran warna yang terjadi pada medium. Medium Basal Agar Chloramphenicol

(MBA-C) yang berisi miselium jamur warnanya menjadi jauh lebih pudar dibandingkan dengan media MBA-C tanpa jamur (kontrol) (Gambar 2). Pemudaran warna menunjukkan bahwa jamur tersebut telah menghasilkan enzim ligninolitik yang berperan penting pada proses perombakan zat warna tekstil RBBR. Menurut Wilkolazka et al., (2006), bahwa terbentuknya clearing zone atau zona pemudaran pada media merupakan indikasi awal, bahwa isolat jamur tersebut mempunyai potensi sebagai jamur pendegradasi zat warna.

Gambar 2. Pemudaran warna isolat LM 3002 pada medium MBA-C a) kontrolb) tampak depan c) tampak belakang.

Uji dekolorisasi zat warna RBBR pada medium basal broth chloramphenicol diukur berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 592 nm. Menurut Kiran et al., (2012), besarnya persen penurunan nilai dekolorisasi zat warna menyatakan seberapa besar kemampuan enzim dalam menguraikan RBBR. Kontrol merupakan medium MBB-C tanpa diinokulasikan isolat basidiomycetes.

Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan starter yang bertujuan untuk tahapan adaptasi jamur terhadap medium basal, sehingga jamur dapat tumbuh dengan baik pada medium basal. Pertumbuhan starter

basidiomycets pada medium basal broth

chloramphenicol mengalami pertumbuhan yang pesat dan miselium jamur dapat memenuhi media pada hari ke- 7.

Media dikondisikan dengan berbagai pH dan waktu inkubasi untuk mengetahui pengaruh pH dan waktu optimum yang diperlukan basidiomycetes untuk menguraikan zat warna RBBR secara optimal. Penelitian ini menggunakan variasi pH 4, 5, dan 6 karena pada umumnya, jamur lebih menyukai suasana yang asam untuk pertumbuhannya. Menurut Nicholas (2003), keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas enzim lignolitik ekstraseluler jamur pelapuk putih. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim dapat teramati dari profil isoenzim dan tingkat aktivitasnya, sedangkan pH berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kecepatan pertumbuhan.

Analisis kemampuan dekolorisasi zat warna oleh basidiomycetes pada medium basal yang mengandung 100 ppm RBBR dilakukan pada inkubasi hari ke 4 dan hari ke 8. Waktu inkubasi selama 8 hari dipilih karena jamur ini dapat tumbuh maksimal dan miseliumnya dapat memenuhi medium serta dapat beradaptasi dengan medium cair yang telah disediakan. Selama inkubasi, proses agitasi atau penggojokan dengan menggunakan shaker sangat diperlukan karena dapat memperbesar prosentase dekolorisasi dibandingkan dengan kondisi statis. Menurut Wilkolazka et al., (2002), proses agitasi mampu meningkatkan masa dan memperbesar transfer oksigen antara sel dan medium, sehingga mampu menghasilkan enzim ekstraseluler oksidatif yang optimal pada basidiomycetes.

Tahap selanjutnya adalah dilakukan pemisahan supernatan menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit, untuk mendapatkan enzim ligninolitik. Enzim ligninolitik termasuk enzim ekstraseluler karena berperan dalam proses dekolorisasi. Sehingga dapat dideteksi dengan mengambil supernatan setelah dilakukan sentrifugasi. Fungsi utama enzim ekstraseluler (eksoenzim) adalah melangsungkan perubahan-perubahan seperlunya pada nutrien di sekitarnya, sehingga memungkinkan nutrien tersebut memasuki sel (Howard et al., 2003) dan dapat diserap langsung oleh hifa jamur.

Basidiomycetes merupakan salah satu

mikroorganisme yang mampu mendekolorisasi zat warna RBBR dengan adanya enzim ligninase. Penentuan kualitatif dan kuantitatif UV spektrofotometri menggunakan panjang gelombang maksimal 592 nm

(5)

karena RBBR mempunyai puncak penyerapan pada panjang gelombang 592 nm (Kiran et al., 2012).

Kemampuan dekolorisasi zat warna RBBR dari 22 isolat basidiomycetes pada pH 4, 5, dan 6 serta pada waktu inkubasi hari ke 4 dan hari ke 8 menunjukkan nilai absorbansi dan prosentase penurunan zat warna yang berbeda-beda. Berikut ini merupakan nilai prosentase hasil uji dekolorisasi zat warna Remazol Brilliant Blue R (RBBR) dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 592 nm (Gambar 3 dan 4).

Gambar 3. Prosentase dekolorisasi zat warna RBBR hari ke 4.

Gambar 4. Prosentase dekolorisasi zat warna RBBR hari ke 8.

Keterangan :

LM 3001 Climacodon septentrionalis LM 3014 Inonotus hispidus LM 3002 Climacodon septentrionalis LM 3015 Inonotus hispidus LM 3003 Climacodon septentrionalis LM 3016 Inonotus hispidus LM 3004 Climacodon septentrionalis LM 3017 Inonotus hispidus LM 3005 Climacodon septentrionalis LM 3018 Inonotus hispidus LM 3006 Climacodon pulcherrimus LM 3019 Inonotus radiatus

LM 3009 Fomitopsis pinicola LM 3020 Inonotus radiatus LM 3010 Fomitopsis pinicola LM 3021 Inonotus radiatus

LM 3011 Ganoderma applanatum LM 3022 Inonotus rheades

LM 3012 Inonotus dryadeus LM 3023 Piptoporus betulinus

LM 3013 Inonotus hispidus ` LM 3024 Schyzophyllum

commune

Prosentase kemampuan dekolorisasi dari 22 isolat basidiomycetes koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi ITS ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4. Terlihat bahwa spesies yang berbeda, bahkan isolat yang berbeda akan menyebabkan penurunan zat warna yang berbeda pula. Prosentase dekolorisasi zat warna diperoleh berdasarkan selisih antara nilai absorbansi awal dengan nilai absorbansi hari ke 4 dan ke 8. Nilai absorbansi awal pada medium basal broth chloramphenicol adalah sebesar 1,150 U/ ml.

Isolat pendegradasi zat warna RBBR tertinggi pada hari ke 4 dengan kondisi pH 4 yaitu Climacodon septentrionalis (LM 3002) sebesar 72.35%, pada pH 5 yaitu Inonotus dryadeus (LM 3012) 71.89% , dan pada pH 6 yaitu Fomitopsis pinicola (LM 3009)sebesar 70,82 %. Sedangkan pada hari ke 8 berdasarkan lampiran 9, prosentase penurunan zat warna terbesar pada pH 4 yaitu

Ganoderma applanatum (LM 3011)sebesar 98,65%, pH 5 yaitu Climacodon septentrionalis (LM 3002) sebesar 97,91 % dan pada pH 6 yaitu Inonotus hispidus (LM 3013)sebesar 95,95 %.

Isolat basidiomycetes dengan prosentase dekolorisasi yang besar diasumsikan memiliki aktivitas enzim yang besar pula. Perbedaan prosentase dekolorisasi zat warna pada variasi pH disebabkan oleh perubahan aktivitas pertumbuhan jamur. Pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, pertumbuhan jamur akan terhambat bahkan mati. Disamping pertumbuhan jamur, aktivitas enzim dalam merombak zat warna juga dipengaruhi oleh pH. Tiga enzim yang berperan dalam perombakan yaitu laccase, mangan peroksidase dan lignin peroksidase. Pada kondisi pH yang menguntungkan, aktivitas enzim berlangsung optimal sedangkan aktivitas enzim akan menurun pada kondisi yang kurang sesuai (Wilkolazka

et al., 2002).

Variasi pH pada medium menghasilkan perubahan bentuk ionik pada sisi aktif dan perubahan aktifitas enzim serta berpengaruh pada laju reksinya. Perubahan pH juga dapat merubah bentuk tiga dimensi dari enzim tersebut sehingga enzim sangat aktif pada berbagai pH. Kondisi optimum untuk menghasilkan aktifitas enzim laccase yang maksimum, ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya substrat, oksigen dan kandungan nitrogen. Selain itu enzim memiliki pH optimum yang

(6)

khas, yaitu pH yang menyebabkan aktifitas maksimal. Profil aktifitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang diinginkan. pH optimum enzim tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit berada di atas atau di bawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim didalam sel dapat diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan (Hatakka, 2001).

Lignin peroksidase (LiP) mengoksidasi unit non fenolik melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin aromatik. MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ (Hofrichter, 2002). Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti dengan dekomposisi secara spontan. Laccase mengoksidasi cincin fenolik menjadi radikal fenoksil (Hatakka, 2001).

Genus Climacodon termasuk dalam famili Meruliaceae, terdiri atas dua species yaitu C.

septentrionalis dan C. pulcherrimus. Perbedaan dasar kedua spesies ini adalah C. pulcherrimus berukuran lebih kecil (4-11 cm) dan berwarna lebih coklat daripada

C. septentrionalis yang bisa mencapai ukuran 30 cm dan berwarna pucat. Selain itu permukaan tudung (cap) dan daging, C. pulcherrimus dapat berubah menjadi pink hingga merah akibat reaksi kimia terhadap penambahan KOH (Meliawati, 2013).

Hasil uji dekolorisasi spesies C. septentrionalis

menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada kelima isolat yang diuji. Hal ini diduga dikarenakan kelima isolat C. septentrionalis tersebut berbeda varietas. Nilai tertinggi yaitu LM 3002 pada hari ke 8 dan pH 5 yaitu sebesar 97.91%. Hasil uji dekolorisasi spesies C.

pulcherrimus (LM 3006) yang berasal dari 1 isolat saja, pada pH 5 hari ke 8 sebesar 78,43% (Gambar 5). Menurut Howard et al., (2003), aktivitas enzim mempengaruhi perubahan ionisasi dalam gugus ionik enzim pada sisi aktif sehingga dapat bekerja lebih efektif dengan mengikat dan mengubah substrat menjadi produk. Penelitian mengenai uji dekolorisasi zat warna tekstil RBBR pada C. septentrionalis dan C.

pulcherrimus belum banyak dilakukan, sehingga hasil penelitian ini belum bisa dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian Meliawati (2013) menunjukkann bahwa C. septentrionalis mampu mendegradasi komponen lignin pada pH 4 hari ke 10 yaitu sebesar sebesar 89.81% dan C. pulcherrimus

mampu mendegradasi komponen lignin pada pH 4 hari ke 10 yaitu sebesar sebesar 82.86%.

Gambar 5. Prosentase dekolorisasi genus Climacodon (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Genus Fomitopsis termasuk famili

Hymenochaetaceae. Hanya satu spesies yang berasal dari genus Fomitopsis yaitu Fomitopsis pinicola dan terdiri dari dua isolat. Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies F. pinicola sebesar 95.78 % yang berasal dari isolat LM 3009 pada pH 6 hari ke 8. Sedangkan pada isolat LM 3010 sebesar 85.43% (Gambar 6). Hal ini dimungkinkan kedua isolat tersebut berbeda varietas.

Gambar 6. Prosentase dekolorisasi genus Fomitopsis (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Menurut penelitian Wilkołazka et al., (2002), di Polandia, Fomitopsis pinicola mampu mendekolorisasi zat warna Basic Blue 22 secara efektif pada 5 hari inkubasi yaitu sebesar 92,8 % dan Acid Red 183 selama 11 hari inkubasi sebesar 90,5%. Fomitopsis pinicola

mengandung manganese, enzim lakase dan lignin peroksidase. Enzim lakase akan mengoksidasi senyawa fenolik, menciptakan radikal fenoksi dengan potensial redoks yang tinggi dan senyawa non-fenolik akan dioksidasi oleh LiP dan MnP melalui mekanisme radikal kation.

LiP adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, mempunyai potensial redoks yang luar biasa besar dan pH optimum yang rendah. MnP merupakan heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya. MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+, yang kemudian mengoksidasi struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. Mn3+ yang terbentuk sangat reaktif dan membentuk kompleks dengan chelating asam organik seperti asam oksalat atau malat (Hattaka, 2001). Dengan bantuan chelator, ion Mn3+ distabilkan dan dapat menembus ke dalam jaringan substrat. Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang pada akhirnya melepaskan CO2. Enzim ekstraseluler ini biasanya mempunyai berat 40-50 Kda

(7)

dan pH yang beragam dari asam, 3 sampai netral, 7 dan biasanya berkisar antara 3-4 (Hofrichter, 2002).

Oksalat disintesis oleh dua enzim ekstraseluler yaitu glikosilat dehidrogenase (GLOXDH) dan oksaloasetase (OXA), menggunakan senyawa perantara dalam siklus Krebs dan glikosilat (siklus Kornberg). Reaksi pertama adalah oksidasi oleh GLOXDH pada glikosilat membentuk oksalat. Reaksi kedua, enzim OXA menghidrolisis oksalosetat yang memiliki 4 atom karbon, menghasilkan oksalat dan asetat dengan 2 atom karbon (Munir, 2005).

Fomitopsis memiliki mekanisme berbeda dalam biosintesis asam oksalat, tidak seperti respirasi aerob. Jamur mengoksidasi glukosa yang dikonsumsi menjadi asam oksalat yang terakumulasi dalam medium sampai 11,5 g/liter. Penurunan glukosa dalam medium sejalan dengan penumpukan asam oksalat dan penurunan pH. Enzim yang dapat mengoksidasi oksalat di antaranya adalah oksalat oksidase, oksalat dehidrogenase, format dehidrogenase. Enzim oksalat dekarboksilase berperan untuk dekomposisi asam oksalat menghasilkan asam format dan CO2. Asam format dioksidasi jadi karbondioksida dan NADH oleh format dehidrogenase. Koenzim berperan menghidroksi senyawa quinon (Munir, 2005).

Enzim – enzim ekstraseluler yang disekresi jamur terlalu besar untuk dapat melewati pori – pori dinding sel yang berukuran kecil. Kalsium akan diikat oleh asam oksalat yang dihasilkan jamur dan selanjutnya dapat merusak integritas dinding sel dan menyebabkan terbentuknya pori - pori dinding sel untuk memberikan kesempatan pada enzim lignolitik untuk bereaksi. Disamping itu penurunan pH akibat penumpukan asam oksalat yang dihasilkan jamur dapat menyebabkan degradasi secara non enzimatis melalui pembentukan radikal – radikal oksigen. Penghambatan sintesis asam oksalat dengan menggunakan inhibitor spesifik menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jamur (Munir, 2005).

Penelitian Siripong et al., (2009), di Thailand, menujukkan bahwa Fomitopsis pinicola termasuk brown rot fungi, tidak hanya mampu mendekoloriasi zat warna tekstil saja, tetapi Fomitopsis pinicola juga mampu mendegradasi senyawa DDT ( Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) setelah 15 hari inkubasi dengan prosentase sebesar 87%.

Genus Ganoderma termasuk dalam famili Ganodermataceae. Hanya satu jenis spesies yang berasal dari genus Ganoderma yaitu G. applanatum. Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies G. applanatum

optimum pada pH 4 selama 8 hari inkubasi, yaitu sebesar 98.65% yang berasal dari 1 isolat saja (Gambar 7). Kemampuan jamur Ganoderma applanatum tersebut merombak zat warna karena mampu mengekskresikan

enzim ligninolitik terutama laccase, mangan peroksidase dan lignin peroksidase yang berperan penting dalam merombak senyawa-senyawa fenolik, hidrokarbon poliaromatik maupun zat warna tekstil. Menurut Hofrichter (2002), lakase merupakan fenol oksidasi yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase yang dihasilkan akan mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu electron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP.

Menurut Howard et al., (2003), prosentase dekolorisasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pH lingkungan, konsentrasi substrat dan lama waktu kontak serta ketersediaan nitrogen.

Gambar 7. Prosentase dekolorisasi genus Ganoderma (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Perbedaan prosentase dekolorisasi zat warna pada variasi pH disebabkan oleh perubahan aktivitas pertumbuhan jamur. Pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, pertumbuhan jamur akan terhambat bahkan mati. Disamping pertumbuhan jamur, aktivitas enzim dalam merombak zat warna juga dipengaruhi oleh pH. Pada kondisi pH yang menguntungkan, aktivitas enzim berlangsung optimal sedangkan mengalami penurunan aktivitas pada kondisi yang kurang sesuai.

Prosentase dekolorisasi zat warna juga dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi zat warna yang akan dirombak oleh jamur. Perbedaan prosentase dekolorisasi di berbagai konsentrasi zat warna berhubungan dengan faktor toksisitas zat warna dan kinetika reaksi perombakan. Efek toksik zat warna yang tinggi menyebabkan prosentase dekolorisasi cenderung menurun. Sedangkan, prosentase dekolorisasi zat warna azo yang tidak toksik atau toksik rendah cenderung meningkat sampai pada konsentrasi tertentu dan selanjutnya menurun sejalan dengan meningkatnya toksisitas zat warna dan jenuhnya sisi aktif enzim. Menurut Pandey et al,. (2007), Ganoderma applanatum

mampu merombak zat warna secara maksimum sampai konsentrasi 100 mg/L. Prosentase dekolorisasi zat warna remazol black B dan remazol red RB oleh G. applanatum selama 7 hari inkubasi masing-masing sebesar 92,54% dan 95,88%.

Penelitian yang dilakukan oleh Sukarta (2010), pada perombakan zat warna tekstil menggunakan jamur

(8)

optimum terjadi pada pH 5 dengan prosentase dekolorisasi remazol black B sebesar 90,26 % dan

remazol red RB sebesar 93,53%.

Genus Inonotus termasuk dalam famili Hymenochaetaceae, terdapat empat species diantaranya yaitu I. hispidus, I. radiatus, I. dryadeus dan I. rheades. Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies I.

hispidus menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada kelima isolat yang ditemukan. Nilai tertinggi yaitu LM 3013 pada hari ke 8 pH 4 sebesar 96.81%. Hal ini diduga dikarenakan kelima isolat tersebut berbeda varietas.

Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies I.

radiatus menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada ketiga isolat. Nilai tertinggi yaitu LM 3019 pada pH 5 hari ke 8 sebesar 95.58%. Hal ini diduga dikarenakan ketiga isolat tersebut berbeda varietas. Sedangkan hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies I. dryadeus

(LM 3012) pada pH 5sebesar 94.54 % yang berasal dari 1 isolat saja. Penelitian mengenai uji dekolorisasi zat warna RBBR pada I. radiatus dan I. dryadeus belum banyak dilakukan, sehingga hasil penelitian ini belum bisa dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR pada 2 isolat spesies I. rheades terbesar yaitu LM 3022 pada pH 5 sebesar 79.04% dan LM 3015 pada pH 5 sebesar 94,37 %. Dari gambar 10 dapat dilihat bahwa I. hispidus

memiliki prosentase penurunan zat warna terbesar dari keseluruhan isolat yakni 96.81 % (Gambar 8). Perbedaan pH optimum yang dibutuhkan jamur untuk menghasilkan enzim ligninolitik pada fermentasi cair ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya fisiologi jamur, strain jamur dan tipe substrat yang digunakan (Singh, 2006).

Gambar 8. Prosentase dekolorisasi genus Inonotus (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Dominguez (2001), menambahkan pH yang paling baik untuk menghasilkan MnP dan LiP optimum pada

Phanerochaeta chrysosporium adalah 4,5 dengan menggunakan fermentasi padat dan 3,5 untuk menghasilkan MnP optimum pada Trametes versicolor.

Keseluruhan enzim kemungkinan berisi grup negatif dan positif yang berbeda tergantung pH yang diberikan. Seperti halnya ionizable grup yang sering berperan sebagai bagian dari sisi aktif. Variasi pH pada medium menghasilkan perubahan bentuk ionik pada sisi aktif dan

perubahan aktifitas enzim serta berpengaruh pada laju reksinya. Perubahan pH juga dapat merubah bentuk tiga dimensi dari enzim tersebut. Dengan alasan inilah, enzim sangat aktif pada berbagai pH.

Genus Piptoporus termasuk dalam famili Hymenochaetaceae. Hanya satu spesies yang berasal dari genus Piptoporus yaitu P. betulinus. Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies P. betulinus (LM 3023) pada pH 5 yaitu sebesar 69.36 % yang berasal dari 1 isolat saja (Gambar 9). P. betulinus merupakan salah satu brown rot fungi. Menurut Rogers (1979), P.

betulinus mampu menghasilkan enzim lakase, lignin peroksidase, dan mangan peroksidase yang dapat mengakibatkan white rot pada kayu dengan mendegradasi komponen selulosa dan lignin.

Gambar 9. Prosentase dekolorisasi genus Piptoporus (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Penelitian Gao et al., (2011), di China menunjukkan bahwa Piptoporusbetulinus mampu memproduksi enzim lakase pada inkubasi hari ke 2 dan maksimum pada hari ke 10 inkubasi sebesar 484.72 U/ml. Kemudian pada hari berikutnya akan mengalami penurunan terus menerus. P. betulinus juga mampu menghasilkan LiP dan MnP. Lignin peroksidase (LiP) pertama kali muncul pada hari ke 2 sebesar 0.31 U/ml dan mencapai puncak sebesar 7.28 U/ml pada hari ke 12, hari selanjutnya akan mengalami penurunan. Sedangkan aktivitas mangan peroksidase (MnP) dimulai pada hari ke 4 sebesar 0.73 U/ml, kemudian akan mencapai puncak pada hari ke 8 setelah kultivasi sebesar 3.81 U/ml. Senyawa polimerik RBBR merupakan turunan anthracene, yang biasa digunakan sebagai pewarna tekstil dan menunjukkan senyawa yang toksik dan bersifat recalcitrant organopollutan. Hasil penelitian Gao et al., (2011),

menunjukkan bahwa P. betulinus mampu

mendekolorisasi zat warna RBBR, selain itu juga dapat mendekolorisasi dua pewarna polimerik lain yaitu

aniline blue dan phenol red.

Menurut Howard et al., (2003), penurunan aktivitas enzim dapat disebabkan karena adanya residu asam amino pada substrat untuk mempertahankan struktur tersier dan kromofor enzim. Perubahan struktur tersier mengakibatkan sisi hidrofobik yang tersimpan dalam molekul enzim menjadi terbuka sehingga kelarutan enzim berkurang dan menurunkan aktivitas katalitik enzim.

(9)

Genus Schizophyllum termasuk dalam famili Schizophyllaceae. Hanya satu jenis spesies yang berasal dari genus Schizophyllum yaitu S. commune. Hasil uji dekolorisasi zat warna RBBR spesies S. commune (LM 3024) pada pH 6 hari ke 8 sebesar 78.84% yang berasal dari 1 isolat saja (Gambar 10).

Gambar 10. Prosentase dekolorisasi genus Schizophyllum (a) hari ke 4 dan (b) hari ke 8.

Schizophyllum commune merupakan salah satu white rot fungi yang bersifat kosmopolit, dapat ditemukan di belahan benua manapun. Penelitian Ashger et al., (2008) di Pakistan, menyebutkan bahwa dekolorisasi zat warna tekstil Solar Golden Yellow dengan menggunakan S. commune menunjukkan prosentase penurunan warna sebesar 73% selama 6 hari inkubasi pada pH 4.5 dan suhu 35 °C. Hal tersebut menunjukkan bahwa

Schizophyllum commune bekerja optimum pada medium asam.

Schizophyllum commune IBL-06 dapat mensintesis ketiga enzim lignolitik diantaranya yaitu mangan peroksidase, lakase, dan lignin peroksidase. Aktivitas mangan peroksidase (MnP) maksimum sebesar 764U/ml, enzim lakase sebesar 179 U/ml, dan enzim lignin peroksidase (LiP) sebesar 96 U/ml. MnP dan lakase merupakan enzim utama yang terlibat pada oksidasi zat warna Solar Golden Yellow dengan menggunakan S. commune. Namun setiap white rot fungi

memiliki pola dan profil enzim yang berbeda pada keterlibatan dan kemampuan dalam mendekolorisasi senyawa tekstil yang berbeda pula. White rot fungi

menunjukkan pertumbuhan terbaik pada fase log. Pada fase ini, sel mulai membelah dan memasuki masa pertumbuhan atau penambahan jumlah sel secara logaritmik (Ashger et al., 2008). Menurut Yesilada et al., (2001), reproduksi seluler dan metabolisme sel terjadi sangat aktif pada fase ini. Sedangkan pada fase stasioner, tingkat pertumbuhan melambat, jumlah sel yang mati mengimbangi jumlah sel yang mati. Aktivitas metabolisme juga melambat, hal demikian dapat diakibatkan karena kurangnya nutrisi dan akumulasi produk sisa.

Pada daerah promotor gen terdapat beberapa elemen pengatur yang mengkode enzim ligninolitik dan dianggap bertanggung jawab untuk aktivasi transkripsi. Elemen yang merupakan faktor transkripsi untuk gen penyandi enzim ligninolitik diantaranya MREs (Metal response elements), ACE (Activation protein of cup1 expression), XREs (Xenobiotic responsive elements) dan

CRE (cAMP respons elemets). Faktor tersebut berfungsi sebagai induser enzim selama terbatasnya sumber karbon dan sumber nitrogen jamur penghasil enzim ligninolitik tersebut (Gaskell, 1994). Gen penyandi enzim tersebut dapat diketahui melalui beberapa metode di antaranya adalah Southern blot, Northern blot, RT-PCR dan Uji Nuclease Protection.

Penelitian Gaskell et al., (1994) tentang gen penyandi enzim ligninolitik, menyatakan bahwa terdapat 10 gen penyandi enzim LiP yang ditemukan pada P.

chrysosporium yaitu lipA sampai lipJ. Analisis Northern blot menunjukkan pada tahap steady-state lipD terdapat lebih sedikit dari pada lipA ketika dalam kondisi kekurangan karbon, sedangkan dalam kondisi nitrogen terbatas yang terjadi sebaliknya yaitu lipA lebih banyak dari pada lipD. Analisis gen penyandi MnP menunjukkan 5 kode MnPs ditandai berdasarkan jumlah dan posisi intron yaitu mnp1, mnp2, mnp3, mnp4 dan

mnp5.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan prosentase penurunan zat warna dari 22 isolat yang terdiri dari 10 spesies, semua isolat mampu berperan sebagai agen biodekolorisasi zat warna RBBR. Isolat tersebut adalah yaitu Climacodon septentrionalis, Climacodon pulcherrimus, Inonotus hispidus, Inonotus radiatus, Schizophyllum commune,

Ganoderma applanatum, Piptoporus betulinus,

Fomitopsis pinicola, Inonotus dryadeus dan Inonotus rheades. Prosentase dekolorisasi terbesar pada hari ke 4, dengan pH 4 adalah LM 3002 (Climacodon septentrionalis) sebesar 72,35%, pada pH 5 adalah LM 3001 (Climacodon septentrionalis) sebesar 70,28%, dan pada pH 6 adalah LM 3015 (Inonotus rheades) sebesar 69,93 %. Sedangkan pada hari ke 8, dengan pH 4 adalah LM 3011 (Ganoderma applanatum) sebesar 98,65 %, pada pH 5 adalah LM 3002 (Climacodon septentrionalis) sebesar 97,91 %, dan pada pH 6 adalah LM 3013 (Inonotus hispidus) sebesar 96,95 %.

(10)

V. LAMPIRAN

Pengamatan koloni basidiomycetes a. Genus Climacodon

Gambar 3. a) Climacodon septentrionalis LM 3001, (b) Climacodon septentrionalis LM 3002, (c) Climacodon septentrionalis LM 3003, (d) Climacodon septentrionalis LM 3004, (e) Climacodon septentrionalis LM 3005, dan (f) Climacodon pulcherrimus LM 3006.

b. Genus Fomitopsis

Gambar 4. (a) Fomitopsis pinicola LM 3009, (b) Fomitopsis pinicola LM 3010.

c. Genus Ganoderma

Gambar 5.Ganoderma applanatum LM 3011.

d. Genus Inonotus

(g) (h) (i)

(j) (k)

Gambar 6. (a) Inonotus dryadeus LM 3012, (b) Inonotus hispidus LM 3013, (c) Inonotushispidus LM 3014, (d) Inonotushispidus LM 3015, (e) Inonotushispidus LM 3016, dan (f) Inonotushispidus LM 3017, (g) Inonotus hispidus LM 3018, (h) Inonotus radiatus LM 3019, (i) Inonotusradiatus LM 3020, (j) Inonotusradiatus LM 3021, dan (k) Inonotusrheades LM 3022.

e. Genus Piptoporus

Gambar 7.Piptoporus betullinus LM 3023. f. Genus Schyzophyllum

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis S.M mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Mikologi, Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Biologi FMIPA ITS yang telah diyang telah mengizinkan penggunaan fasilitas selama penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ashger M., Kausar., S., Bhatti H., Shah S., and Ali M. 2008. Optimizing of Medium for Decoloization of Solar Golden Yellow R Direct Textile by Schizophyllum commune IBL-06. Journal of International Biodeterioration and Biodegradation. 61. 189-193.

Domı´nguez, A., Rivela, I., Couto, S.R., and Sanroma´n, M. 2001. Design of a new rotating drum bioreactor for ligninolytic enzyme production by Phanerochaete chrysosporium grown on an inert support. Process Biochemistry. 37 : 549–554. Engade, K. B., Gupta, S., and Ruehl, G. 2010.

Decolorization of Textile Effluent by Immobilized Aspergillus terreus. Journal of Environmental Biotechnology. 1. 1-3.

Gaskell, J., Stewart, P., Kersten, P.J., Covert, S.F., Reiser, J., and Cullen, D. 1994. Establishment of genetic linkage by allele-specific polymerase chain reaction—application to the lignin peroxidase gene family of Phanerochaete chrysosporium. Biotechnology. 12:1372-1375.

Gao H., Wang Y, Mu Z. 2011. Isolation, Identification, and Application in Lignin Degradattion of an Ascomycetes GHJ-4. Journal of Biotechnology Vol. 10 (20).

Hakala, T. K. 2007. Characterization of the Lignin-Modifying Enzymes of the Selective White-Rot Fungus Physisporinus rivulosus. Dissertation. Department of Applied Chemistry and Microbiology. University of Helsinki.

Hattaka, A. 2001. Modifying Enzymes from Selected White-Rot Fungi: Production and Role in Lignin Degradation. Microbiology. 13 : 125-135.

Hofrichter, M. 2002. Lignin Conversion by Manganese Peroxidase (MnP). Enzyme Microbiology and Technology. 30: 454-466.

Howard, L., Abotsi L., Jansen, R. E., and Howard S. 2003. Lignocellulose Biotechnology : Issues of

Bioconcersion and Enzyme Production. African Journal Biotechnology. 2 : 602-619.

Kemenperin, 2010. Data Peningkatan Ekspor Industri Tekstil. diakses pada 16 Oktober 2012 pukul 12.46 WIB

Kiran, S., Ali, S., Asgher, M., and Anwar, F. 2012.

Comparative Study on Decolorization of Reactive Dye 222 by White Root Fungi Pleurotus ostreatus IBL-02 and Phanerochaete chrysoporium IBL-03.

Journal of Microbiology Research Vol. 6 (15) 3639-3650.

Meliawati, D. 2013. Isolasi dan Identifikasi Jamur Kayu Lignolitik dari Vegetasi Mangrove Wonorejo Surabaya. Tugas Akhir. Biologi FMIPA ITS, Surabaya.

Murugesan, K, Nam, Young-Mo Kim, and Yoon-Seok Chang. 2007. Decolorization of Reactive Dyes by a Thermostable Laccase Produced by Ganoderma lucidum in Solid State Culture. Journal of Enzyme and Microbial Technology 40 (2007) 1662–1672. Munir, E, Yoon JJ. Tokimatsu T. Hattori T and Shimada

M. 2001. A physiological role of oxalic acid biosynthesis in the wood-rotting basidiomycetes Fomitopsis polustris.

Nicholas DD. 1973. Biological Control of Decay in Standing by Preservative Treatments. Journal of Wood Science 7:6-9.

Pandey, A., Selvakumar, P., Soccol, C. R., and Nigam, P. 1999. Solid State Fermentation for the Production of Industrial Enzymes. Current Science. 77. 149-162.

Ramzay, M., Anusha, B., Kalavathy, S., and Devilaksmi, N. 2007. Biodecolorization and Biodegradation of Reactive Blue by Aspergillus sp. African J.

Biotechnol. 6. 1441-1445.

Rogers, J.D. 1979. The Xylariaceae : Systematic, Biological and Evolutionary Aspects. Mycologia Vol. 71 : 1-42.

Singh, H. 2006. Mycoremidiation. John Wiley & Sons, Inc, Amerika.

Siripong P., Oraphin B., Sanro T., and P. 2009.

Screening of Fungi from Natural Sources in Thailand for Degradation of Polychlorinated

(12)

Hydrocarbonds. Journal of Agriculture and Environmental Science., 5 (4): 466-472.

Siswanto, Suharyanto, dan Rosy, F. 2007. Produksi dan Karakterisasi Laccase Omphalina sp. Menara Perkebunan. 75. 107-110.

Theerachat, M., Morel, S., Guieysse, D., and Simeon, M. 2012. Comparison of Synthetic Dye Decolorization by Whole Cells and a Laccase Enriched Extract from Trametes versicolor DSM11269. African Journal of Biotechnology Vol. 11(8), pp. 1964-1969.

Wilkolazka A., Rdest J., Malarczyk E., Wardas W., and Leonowicz A. 2002. Fungi and their Ability to Decolourize Azo and Anthraquinone Dyes. Journal of Enzyme and Microbial Technology. 30. 566-572.

Yesilada, O., Asma, D., and Cing, S. 2003.

Decolorization of Textile Dyes by Fungal Pellets. Journal of Process Biochemistry 38, 933–938.

Yesiladali, S. K, Pekin, G. L., Bermek, H., Alaton, I. A., Orhon, D., and Tamerler, C. 2006. Bioremediation of Textile Azo Dyes by Trichophyton rubrum LSK-27. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 22. 1027-1031.

Yuwono, T. 2005. Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait