• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS (Ramaiah, 2008). Target dari HIV adalah sistem kekebalan tubuh dan melemahkan sistem pertahanan terhadap infeksi. Fungsi kekebalan tubuh biasanya diukur dengan jumlah CD4 (Anonim, 2013c). Virus HIV tidak sama dengan virus-virus lainnya karena tubuh manusia tidak dapat menghilangkan HIV, dengan kata lain orang yang terinfeksi HIV akan terus memiliki HIV di dalam tubuhnya seumur hidup. Pengobatan untuk HIV biasanya disebut terapi antiretroviral (ARV). Terapi ARV dapat memperpanjang hidup banyak orang yang terinfeksi HIV dan mengurangi risiko menularkannya kepada orang lain (Anonim, 2014a).

Permasalahan kesehatan masyarakat global akibat HIV terus menjadi hal yang utama (Anonim, 2013c). Kasus HIV yang terjadi di Indonesia, berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementerian Kesehatan R.I., pada tahun 2013 sejumlah 29.037 kasus dan kasus AIDS sejumlah 5.608 kasus. Kasus HIV dan AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2013, secara kumulatif terdapat 127.427 kasus HIV, 52.348 kasus AIDS, dan 9.585 meninggal akibat AIDS (Anonim, 2014b).

(2)

Data yang ada menunjukkan bahwa secara global, jumlah orang yang menerima terapi ARV meningkat tiga kali lipat selama lima tahun terakhir. Sejak tahun 2005, peningkatan secara tajam pada jumlah orang yang menerima terapi ARV telah terjadi di semua wilayah dunia, dengan pengecualian di Eropa Timur, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Pada Desember 2012, diperkirakan 9,7 juta orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menerima terapi ARV (Anonim, 2013b).

Di Indonesia, 97.602 penduduk memenuhi syarat terapi ARV dan terdapat 73.774 penduduk yang masuk rumah sakit dengan terapi ARV. Terdapat 1.854 penduduk di Provinsi DIY yang memenuhi syarat terapi ARV dan 1.707 penduduk masuk rumah sakit dengan terapi ARV (Anonim, 2014b).

Terapi untuk penyakit HIV/AIDS ini sudah mulai berkembang. Kombinasi obat ARV yang telah ada sejak tahun 1996 bekerja dengan memperlambat, menghentikan, dan bahkan melawan proses dari HIV (Pinsky dan Douglas, 2009). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS, dan meningkatkan harapan masyarakat. Pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan karena adanya terapi ARV (Anonim, 2011a). Oleh karena itu, untuk mendapatkan manfaat-manfaat tersebut sebaiknya dilakukan pengobatan HIV lebih awal (Anonim, 2013b).

(3)

Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) biasanya dilakukan dengan kombinasi lebih dari dua obat agar terapi HIV/AIDS menjadi lebih efektif (Highleyman, 2007). Efek samping ARV bervariasi pada tiap obat dan dari satu orang dengan yang lain. Banyak orang yang mengalami efek samping jangka pendek yang bersifat ringan dan sementara seperti anemia, diare, pusing, lelah, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri dan masalah pada syaraf, dan ruam (Anonim, 2009). Disamping itu juga ada yang mengalami efek samping yang lebih berat dan menetap (Pinsky dan Douglas, 2009) seperti lipodistrofi, resistensi insulin, kelainan lipid, penurunan kepadatan tulang, asidosis laktat (Anonim, 2009), dan neuropati perifer (Anonim, 2007a).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa regimen HAART yang paling sering diresepkan merupakan kombinasi zidovudine, lamivudine dan nevirapine. Efek samping dari HAART dilaporkan dialami oleh 52% dari pasien. Persentase pasien harus mengubah regimen awal mereka karena adanya toksisitas obat yaitu 23,85%. Mual (15,6%), vertigo (14,7%), penurunan hemoglobin (11,9%), ruam kulit/ alergi (9,2%) adalah efek samping utama yang pernah dilaporkan oleh pasien. Selain beberapa efek samping seperti mual, vertigo dan lain-lain, penurunan tingkat hemoglobin setelah terapi HAART juga terlihat (Sapkota dkk, 2012).

Efek samping yang dapat terjadi dari penggunaan ARV dapat menyebabkan menurunnya kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam melakukan terapi sehingga outcome terapi yang dihasilkan tidak optimal. Hal inilah yang menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian mengenai jenis dan penatalaksanaan

(4)

efek samping ARV yang terjadi pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009 – 2013.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, dapat dilakukan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran penggunaan regimen ARV dan efek samping yang terjadi dari terapi ARV pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2013?

2. Bagaimana penatalaksanaan efek samping dari terapi ARV dan keberhasilan terapi efek samping pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2013?

C. Pentingnya Penelitian Dilakukan

Manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian ini yaitu:

1. Sebagai sumber informasi bagi para pasien HIV/AIDS, tenaga kesehatan, maupun masyarakat luas mengenai efek samping yang dapat terjadi dari terapi ARV.

2. Sebagai sumber informasi bagi para tenaga kesehatan dalam penanganan efek samping yang dapat terjadi dari terapi ARV pada pasien HIV/AIDS.

3. Sebagai data pembanding maupun sumber pustaka untuk penelitian selanjutnya.

(5)

D. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui gambaran penggunaan regimen ARV dan jenis efek samping yang terjadi dari terapi ARV pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2013.

2. Mengetahui penatalaksanaan efek samping dari terapi ARV dan keberhasilan terapi efek samping pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2013.

E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit HIV/AIDS

a. Definisi

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu respon penyakit yang merusak kemampuan seseorang dalam melawan penyakit dan tubuh lebih mudah diserang oleh infeksi biasa yang tidak berbahaya (Pinsky dan Douglas, 2009). Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi penyebab terjadinya AIDS yang merupakan stadium akhir dari infeksi. Virus ini menginfeksi beberapa jenis sel darah putih, terutama sel CD4 (juga disebut sebagai sel pembantu/helper cell atau sel T4) dan monosit/makrofag. Sel CD4 dan makrofag keduanya memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh (Pinsky dan Douglas, 2009). Ketika virus menghancurkan dan merusak fungsi sel-sel kekebalan tubuh, orang yang terinfeksi akan mengalami defisiensi imun secara bertahap (Anonim, 2013c).

(6)

b. Epidemiologi

Para peneliti mengidentifikasi jenis simpanse di Afrika Barat sebagai sumber dari infeksi HIV pada manusia. Mereka percaya bahwa immunodeficiency virus versi simpanse tersebut (disebut Simian Immunodeficiency Virus atau SIV) ditularkan pada manusia dan bermutasi menjadi HIV saat manusia memburu simpanse ini dan melakukan kontak dengan darah simpanse yang terinfeksi. Studi menunjukkan bahwa HIV diperkirakan berpindah dari simpanse kepada manusia pada akhir tahun 1800-an. Selama bertahun-tahun, virus tersebut perlahan-lahan menyebar di Afrika hingga belahan dunia yang lain (Anonim, 2014a).

Sejak tahun 1981, AIDS ditemukan pada lima orang pria homoseksual di Los Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Tahun 2001 secara global, diestimasikan 30 juta orang yang hidup dengan HIV, terdapat 3,4 juta orang baru yang terinfeksi HIV, dan 1,9 juta orang yang meninggal akibat AIDS. Pada tahun 2012, kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan. Estimasi orang yang hidup dengan HIV 35,3 juta orang, terdapat 2,3 juta orang baru terinfeksi HIV, dan 1,6 juta orang meninggal akibat AIDS (Anonim, 2013b).

Berdasarkan laporan terakhir, sejak pertama kali ditemukan di tahun 1987 sampai dengan Desember 2013, kasus HIV/AIDS tersebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 1987 hingga Desember 2013. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali (1987), sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Jumlah kasus HIV yang dilaporkan 1 Januari hingga 31 Desember 2013 terdapat 29.037 orang dan dari jumlah tersebut,

(7)

terdapat 5.608 orang menderita AIDS. Secara kumulatif, kasus HIV dari pertama kali dilaporkan terjadi (1 April 1987) hingga Desember 2013 adalah 127.427 kasus dan 52.348 kasus AIDS. Dari jumlah tersebut, terdapat 9.585 kasus kematian akibat AIDS (Anonim, 2014c).

Berdasarkan data statistik, jumlah kumulatif kasus HIV di Yogyakarta dilapor sampai Desember 2013 adalah 2.179 kasus dengan 916 diantaranya merupakan kasus AIDS, sedangkan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk di Yogyakarta yaitu 26,49% (Anonim, 2014d).

Gambar 1. Jumlah Kasus HIV dan Kumulatif di Indonesia yang Dilaporkan per Tahun hingga Desember 2013 (Anonim, 2014b)

859 7,195 6,048 10,362 9,793 21,591 21,031 21,511 29,037 859 8,054 14,102 24,464 34,257 55,848 76,879 98,390 127,427 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 s.d. 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 HIV Series 3 Kumulatif

(8)

Gambar 2. Jumlah Kasus AIDS dan Kumulatif di Indonesia yang Dilaporkan per Tahun hingga Desember 2013 (Anonim, 2014b)

c. Etiologi

Pada dasarnya, AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh, disebabkan oleh HIV (Sepkowitz, 2001). Seseorang yang terinfeksi HIV disebut sebagai positif HIV (HIV+). Seorang HIV+ bisa asimptomatik, yang berarti dia tidak memiliki gejala apapun akibat terinfeksi (Stolley dan Glass, 2009). Pada tahun 1983, Luc Montagnier dari Pasteur Institute dan partnernya, Jean-Claude Cherman mengisolasi HIV dari pasien limfadenopati (Gallo, 2002).

Virus HIV termasuk ke dalam family lentivirus (Volberding dkk, 2012). Masa inkubasi (awal terpapar hingga timbul gejala) dari lentivirus cukup lama, minimal 6 bulan sampai lebih dari 7 tahun (McManus, 2010). Virus HIV memiliki dua tipe lapisan lemak: Glikoprotein-120 (GP-120) dan GP-41. Peran GP-120 yaitu membantu virus untuk melekat pada sel dan menyerangnya, sedangkan

GP-5,003 3,531 4,462 4,995 5,986 6,867 7,286 8,610 5,608 5,003 8,534 12,996 17,991 23,977 30,844 38,130 46,740 52,348 0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 s.d. 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 AIDS Series 3 Kumulatif

(9)

41 memiliki peran saat virus telah siap untuk menyerang sel. Di bawah lapisan lemak yang mengandung glikoprotein tadi, terdapat dua lapisan protein yang disebut P-24 dan P-17. Protein yang berada di dalam kulit dan dicurigai dalam memproduksi lapisan permukaan HIV adalah P-17, sedangkan P-24 merupakan protein inti dan mengelilingi RNA untai ganda (Ramaiah, 2008).

Ada dua tipe HIV yang telah diketahui, yaitu HIV-1 dan HIV-2 (Gilbert dkk, 2003). Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen, lebih mudah menular dibandingkan HIV-2 dan menjadi penyebab utama infeksi HIV secara global. Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat. Semakin rendah infektivitas HIV-2 dibandingkan HIV-1 menyiratkan bahwa lebih sedikit dari mereka yang terkena HIV-2 (Reeves dan Doms, 2002).

Virus HIV menginfeksi sel-sel vital pada sistem imun manusia, seperti sel T helper (sel T CD4+), makrofag, dan sel dendritik (Cunningham dkk, 2010). Sel T CD4+ memiliki beberapa fungsi, mulai dari aktivasi sel-sel sistem kekebalan tubuh bawaan, B-limfosit, sel T sitotoksik serta sel-sel non-imun, dan juga berperan penting dalam penekanan reaksi kekebalan tubuh (Luckheeram dkk, 2012). Infeksi HIV menyebabkan rendahnya tingkat sel T CD4+ melalui beberapa mekanisme termasuk apoptosis sel yang tidak terinfeksi (Garg dkk, 2012), lisis pada sel T CD4+, dan kematian sel selama replikasi virus dan produksi virion (Kumar, 2012).

(10)

Gambar 3. Siklus Replikasi HIV (Anonim, 2013g)

HIV hanya dapat melakukan replikasi dengan memanfaatkan sel inangnya. Siklus replikasi HIV dari awal masuk ke dalam sel tubuh hingga menyebar ke seluruh tubuh melalui 7 tahapan, yaitu (Anonim, 2006):

1) Sel-sel target mengenali dan mengikat HIV

a) HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel target

b) Glikoprotein-41 (gp 41) membran HIV merupakan mediator proses fusi c) RNA virus masuk ke dalam sitoplasma

(11)

d) Proses dimulai ketika gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan ko-reseptor

2) RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase

3) HIV DNA berpenetrasi ke dalam membran inti sel target

4) DNA virus berintegrasi ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase

5) Ekspresi gen-gen virus

6) Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan enzim protease

7) Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion.

Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun sejak awal terinfeksi jika tidak dilakukan pengobatan (Pinsky dan Douglas, 2009).

d. Transmisi

Penelitian menyimpulkan bahwa HIV bukan virus yang menyebar lewat udara seperti virus influenza, yang berarti seseorang tidak akan terinfeksi HIV, contohnya, dengan duduk disamping seseorang yang positif HIV, menyentuh, memeluk, atau berjabatan tangan (Stolley dan Glass, 2009). HIV diketahui menular melalui (Pinsky dan Douglas, 2009):

(12)

HIV tidak dapat masuk ke dalam kulit yang tertutup. HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui membran mukosa yang melapisi vagina, rectum, uretra, maupun mulut. Adanya kerusakan pada membran mukosa dapat meningkatkan resiko penularan HIV.

2) Injeksi darah yang terinfeksi

HIV dapat ditularkan melalui injeksi intravena, intramuscular, atau subkutan darah yang terinfeksi. Penularan dari darah ke darah dapat terjadi dengan cara: a) Penggunaan jarum suntik secara bergantian.

b) Transfusi darah dan produk darah yang terkontaminasi. 3) Transmisi vertikal atau perinatal (ibu ke janin)

HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke janinnya selama masa kehamilan dan selama melahirkan. Terapi ARV yang digunakan di waktu yang tepat selama kehamilan dapat mengurangi resiko penularan dari ibu ke janin. Selain itu, dengan menggunakan metode-metode tertentu saat melahirkan (seperti bedah caesar) dapat mengurangi penularan. HIV juga dapat ditularkan melalui ASI sehingga menghindari pemberian ASI pada bayi dapat mengurangi transmisi vertikal.

e. Diagnosis

Seseorang dikatakan terinfeksi HIV jika melakukan tes menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay). Pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi

(13)

(>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifitas tinggi (≥99%) (Anonim, 2011a

).

Tabel I. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1 (Anonim, 2011a)

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut

A1 (-) atau A1 (-) A2 (-) A3(-)

Non-reaktif

a. Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan LEBIH DARI tiga bulan sebelumnya maka pasien diberi konseling cara menjaga tetap negatif b. Bila belum yakin ada tidaknya faktor risiko

dan atau perilaku berisiko dilakukan

DALAM tiga bulan terakhir maka dianjurkan untuk TES ULANG dalam 1 bulan

A1 (+) A2 (+) A3 (-) atau A1 (+) A2 ) A3 (-) Intermediate

Ulang tes dalam 1 bulan

Konseling cara menjaga agar tetap negatif ke depannya

A1 (+) A2 (+) A3 (+)

Reaktif atau Positif

Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk mendapatkan paket layanan PDP

Tes yang paling banyak digunakan untuk memastikan adanya infeksi HIV adalah Western Blot test. Tes ini juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Pada Western Blot test dikatakan positif jika hasil tes menunjukkan reaksi terhadap antigen sekurang-kurangnya dua dari komponen virus berikut ini: P-24, GP-41, dan GP-160. Hasil tes negatif jika tidak ada indikasi antibodi dari komponen-komponen virus yang telah disebutkan di atas. Jika terdapat reaksi pada satu atau lebih antigen saja, atau jika terjadi reaksi yang lemah, maka hasil tes diragukan (Ramaiah, 2008).

Dari segala jenis tes yang ada, tes yang paling bagus dan reliabel adalah dengan tes darah. Ada dua jenis tes darah yang paling penting, yaitu tes jumlah CD4 (helper count, T helper count) dan viral load plasma HIV (tes viral load) (Conway, 2011a):

(14)

1) Tes Jumlah CD4

Jumlah CD4 pada orang normal tanpa terinfeksi HIV biasanya antara 500 sampai 1.600. Sebagian besar para ahli setuju bahwa saat jumlah CD4 dibawah 350, akan berisiko besar terhadap berkembangnya penyakit berbahaya (Goldman, 2009).

Tabel II. Penjelasan Jumlah CD4 (Goldman, 2009)

Healthy 500 - 1,660

Borderline Low 350 - 500

Low 200 - 350

Extremely Dangerous 0 - 200

2) Tes Viral Load

Tes viral load yang memberikan perkiraan berapa banyak HIV yang beredar dalam darah. Setelah pengobatan HIV dimulai, tes ini adalah ukuran yang baik untuk mengetahui seberapa baik obat HIV yang digunakan bekerja. Tes viral load mengukur jumlah HIV dalam jumlah kecil (mililiter, atau mL) darah. Tes viral load sekarang dapat mendeteksi sedikitnya 50 kopi HIV per mililiter darah. Ketika tes viral load menunjukkan bahwa terdapat kurang dari 50 kopi / mL HIV, dokter akan memberitahu bahwa viral load berada "di bawah batas deteksi," atau "tidak terdeteksi", yang berarti bahwa tidak ada HIV di dalam tubuh (Goldman, 2009).

f. Stadium klinis

Penyakit HIV seperti yang telah diketahui, bersifat progresif. Jika terinfeksi dan tidak dilakukan pengobatan, HIV akan berakibat fatal karena akhirnya akan menguasai sistem kekebalan tubuh dan menjadi AIDS.

(15)

Tahapan yang terjadi seperti berikut (Anonim, 2009): 1) Transmisi virus

Virus memasuki tubuh melalui membran mukosa atau pembuluh darah dan dibawa ke jaringan limfoid lokal (Pinsky dan Douglas, 2009).

2) Infeksi akut

Periode ini juga biasa disebut infeksi HIV primer (Pinsky dan Douglas, 2009) dan terjadi dalam waktu 2 – 4 minggu setelah terinfeksi HIV. Gejala yang muncul hampir sama seperti flu dan biasanya berakhir setelah 1 hingga 2 minggu. Gejalanya meliputi demam, kelenjar membengkak, sakit tenggorokan, ruam samar, koreng pada mulut dan terkadang di sekitar anus, penurunan berat badan, dan nyeri otot atau sendi (Pinsky dan Douglas, 2009).

Selama periode infeksi ini, sejumlah besar virus sedang diproduksi di dalam tubuh. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk bereplikasi dan menghancurkan sel CD4 tersebut. Akibatnya, viral load meningkat (Pinsky dan Douglas, 2009) dan jumlah CD4 berkurang drastis pada 2 hingga 3 bulan pertama terinfeksi HIV. Akhirnya, respon imun akan memulai untuk menurunkan viral load ini hingga mencapai level yang disebut viral set point yang merupakan tingkat virus saat relatif stabil di dalam tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai meningkat, tapi kemungkinan tidak dapat kembali pada level pra-infeksi.

Sebagian besar orang memiliki hasil positif pada tes antibodi sekitar 3 minggu setelah terinfeksi. Namun, cara untuk mendiagnosis infeksi akut yaitu melakukan tes viral load dengan tes antibodi dan terkadang dengan tes antigen

(16)

p24. Pada periode infeksi akut ini, tes antibodi mungkin menunjukkan hasil yang negatif ketika viral load sangat tinggi (Pinsky dan Douglas, 2009). 3) Latensi klinis

Terkadang periode ini disebut juga infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala) atau infeksi HIV kronis. Meskipun tanpa gejala, selama fase ini HIV semakin berkembang. Periode ini dapat bertahan hingga 8 tahun atau lebih dan dapat menularkan HIV kepada orang lain. Menjelang pertengahan hingga akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah CD4 mulai menurun. 4) Infeksi HIV simptomatik

Setelah beberapa tahun, berbagai jenis gejala klinis akan muncul, biasanya berkaitan dengan kelainan kulit dan pencernaan. Viral load terus meningkat dan jumlah CD4 menunjukkan penurunan yang tajam sekitar 1,5 hingga 2 tahun sebelum berkembang menjadi AIDS (Pinsky dan Douglas, 2009).

(17)

Tabel III. Stadium Klinis Infeksi HIV (Anonim, 2011a) Stadium 1

1. Tidak ada gejala

2. Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2

3. Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

4. Infeksi saluran pernapasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)

5. Herpes zoster 6. Keilitis angularis

7. Ulkus mulut yang berulang

8. Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption) 9. Dermatitis seboroik

10. Infeksi jamur pada kuku Stadium 3

11. Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

12. Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan 13. Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya

14. Kandidiasis pada mulut yang menetap 15. Oral hairy leukoplakia

16. Tuberkulosis paru

17. Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,

piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)

18. Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis 19. Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8 g/dl), netropeni (<0,5 x 109/l)

dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l) Stadium 4

20. Sindrom wasting HIV

21. Pneumonia Pneumocystis jiroveci 22. Pneumonia bakteri berat yang

berulang

23. Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau visceral di bagian manapun)

24. Kandidiasis esophageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru) 25. Tuberkulosis ekstra paru

26. Sarkoma Kaposi

27. Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening) 28. Toksoplasmosis di sistem saraf pusat 29. Ensefalopati HIV*

30. Pneumonia Kriptokokus

ekstrapulmoner, termasuk meningitis 31. Infeksi mycobacteria non tuberculosis

yang menyebar

32. Leukoencephalopathy multifoca progresif

33. Cyrptosporidiosis kronis 34. Isosporiasis kronis

35. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

36. Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)

37. Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)

38. Karsinoma serviks invasif 39. Leishmaniasis diseminata atipikal 40. Nefropati atau kardiomiopati terkait

HIV yang simtomatis Keterangan:

*Ensefalopati HIV: Gangguan kognitif dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai oleh penyakit penyerta lain selain HIV.

(18)

5) AIDS

Bila jumlah CD4 mulai menurun hingga dibawah 200 sel/mm3 darah, diagnosis AIDS sudah dapat ditegakkan (jumlah CD4 normal antara 500 dan 1.600 sel/mm3). Tahap ini adalah tahap infeksi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak parah dan rentan terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang didiagnosis dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah seseorang memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup akan menjadi sekitar 1 tahun.

Tabel IV. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV (Anonim, 2011a) Keadaan Umum

a.Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar

b.Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral >37,5˚C) yang lebih dari satu bulan

c.Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan d.Limfadenopati meluas

Kulit

PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV.

Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

Infeksi Infeksi jamur

a. Kandidiasis oral* b. Dermatitis seboroik* c. Kandidiasis vagina berulang

Infeksi viral a. Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)*

b. Herpes genital (berulang) c. Moluskum kontagiosum d. Kondiloma

Gangguan pernapasan

a. Batuk lebih dari satu bulan b. Sesak napas

c. Tuberkulosis d. Pneumonia berulang

e. Sinusitis kronis atau berulang Gejala

neurologis

a. Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya)

b. Kejang demam

c. Menurunnya fungsi kognitif

(19)

2. Terapi Antiretroviral a. Prinsip terapi

Obat ARV mencegah virus bereplikasi dan dengan demikian akan memperlambat perkembangan penyakit (Conway, 2011b). Jika virus dapat dikontrol dengan terapi ARV, sistem imun dapat berfungsi dengan baik dan infeksi oportunistik tidak akan berkembang (Pinsky dan Douglas, 2009). Namun, HIV biasanya menjadi resisten terhadap obat ARV ketika mereka digunakan sendiri setelah beberapa hari sampai beberapa tahun, tergantung pada jenis obat dan individu. Pengobatan menjadi paling efektif bila setidaknya 2 dari obat tersebut diberikan dalam bentuk kombinasi (Conway, 2011b). Penggunaan kombinasi ARV diperlukan untuk menekan replikasi HIV dan mencegah virus menjadi resisten terhadap obat (Pinsky dan Douglas, 2009).

Dengan demikian, tujuan utama dari ARV untuk (Anonim, 2012a):

1) Mengurangi morbiditas terkait HIV dan memperpanjang durasi dan kualitas hidup.

2) Mengembalikan dan menjaga fungsi imunologi. 3) Mengoptimalkan penekanan viral load HIV plasma. 4) Mencegah penularan HIV.

b. Pengetahuan dasar penggunaan antiretroviral

Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan ARV adalah sebagai berikut (Anonim, 2006):

(20)

1) Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk sepuluh milyar virus setiap hari, namun karena waktu paruh (half life) virus bebas (virion) sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat, sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa terapi ARV selama kekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan baik.

2) Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.

3) Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4 menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. 4) Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.

Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau mengubah regimen terapi ARV.

5) Tingkat progresivitas penyakit pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat berbeda-beda. Keputusan pengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit total dan bila memungkinkan jumlah CD4.

6) Terapi kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat

(21)

dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal.

7) Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi, tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat yang pernah dipakai.

8) Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. 9) Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa,

walaupun pengobatan pada anak perlu perhatian khusus.

10)Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetap dianggap menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak aman, atau penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain.

11)Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan.

12)Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan seumur hidup.

13)Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus diobati.

(22)

c. Indikasi terapi

Pedoman Amerika Serikat merekomendasikan bahwa pengobatan HIV dimulai jika jumlah CD4 antara 350 dan 500 atau jika memiliki infeksi oportunistik. Tetapi banyak ahli percaya bahwa penderita HIV dapat melakukan pengobatan lebih awal (Goldman, 2009). Tabel V menunjukkan saat memulai terapi ARV yang direkomendasikan oleh Ditjen PP dan PL pada pasien HIV/AIDS.

Tabel V. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa (Anonim, 2011a) Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi ODHA* dewasa Stadium klinis 1

dan 2

> 350 sel/mm3 Belum mulai terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan < 350 sel/mm3 Mulai terapi Stadium klinis 3

dan 4

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi Pasien dengan

ko-infeksi TB** Apapun Stadium klinis Berapapun jumlah sel CD4 Mulai terapi Pasien dengan

ko-infeksi Hepatitis B Kronik Aktif Apapun Stadium klinis Berapapun jumlah sel CD4 Mulai terapi

Ibu Hamil Apapun Stadium klinis

Berapapun jumlah sel CD4

Mulai terapi Keterangan:

*ODHA: Orang Dengan HIV/AIDS **TB: Tuberkulosis (TBC)

Berdasarkan Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretoviral pada Orang Dewasa (Anonim, 2011a), untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 dibawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan kotrimoksazol (1x960 mg sebagai pencegahan infeksi oportunistik) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: 1) Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat.

(23)

2) Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol. Selain itu, kotrimoksazol juga diberikan pada ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui.

d. Jenis dan mekanisme antiretroviral

Antiretroviral dibagi dalam beberapa kelas, yaitu (Princeton, 2003):

1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), menghambat replikasi (penggandaan) HIV dengan menghalang enzim reverse transcriptase. Enzim ini mengubah bahan genetik (RNA) HIV menjadi DNA. NRTI atau analog nukleosida meniru bahan yang dipakai oleh reverse transcriptase untuk membuat DNA sehingga DNA yang dibuat menjadi cacat dan tidak dapat dipadukan dalam DNA sel induk (Anonim, 2011b). Obat yang masuk dalam kelas ini antara lain zidovudine (AZT), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine (d4T), lamivudine (3TC), abacavir (ABC).

2) Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI), menghambat sintesis DNA virus dengan cara berikatan kepada sebuah saku non substrat hidrofobik spesifik dari trancriptase HIV-1. Bagian perlekatan ini berbeda dengan sisi perlekatan NRTI tapi tetap menghambat replikasi virus. Sisi perlekatan NNRTI berada dekat dengan sisi katalitis reverse transcriptase; ikatan alosterik menginaktifasi reverse transcriptase HIV-1 dengan merubah

(24)

bentuk penyesuaiannya (Max dan Sherer, 2000). Obat yang masuk dalam kelas ini antara lain nevirapine (NVP), delavirdine (DLV), efavirenz (EFV). 3) Protease Inhibitors (PI), berikatan secara reversible dengan enzim protease

yang mengkatalisis pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain (Anonim, 2006). Obat yang masuk dalam kelas ini antara lain saquinavir (SQV), ritonavir (RTV), indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), amprenavir (APV), lopinavir + ritonavir (LPV/r).

Tiga golongan diatas merupakan obat yang lama digunakan. Ada tiga golongan obat yang merupakan agen tambahan, yaitu (McNicholl, 2012): 1) Fussion Inhibitors, bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP-41

selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Contoh obat golongan ini adalah envuvirtid (T-20) (Anonim, 2006).

2) Chemokine Coreceptor Antagonist

Contoh obat golongan ini yaitu maraviroc. 3) Integrase Inhibitors

Contoh obat golongan ini yaitu raltegravir dan elvitegravir. 4) Pharmacokinetic Enhancers

Obat ini sedang dikembangkan sebagai pendorong protease inhibitor (elvitegravir). Contoh obat ini adalah cobicistat (Coffey, 2010).

(25)

e. Terapi antiretroviral lini pertama

Umumnya, jika seseorang belum pernah diterapi menggunakan ARV, direkomendasikan memulai terapi kombinasi yang terdiri dari 3 obat. Ada 2 pilihan kombinasi, yaitu (Pinsky dan Douglas, 2009):

1) Dua NRTI dan satu PI (tetapi kombinasi stavudine dengan zidovudine tidak dianjurkan). Kombinasi tersebut tidak dianjurkan karena dapat menurunkan jumlah sel CD4 dan aktivitas dari stavudine (Havlir dkk, 2000).

2) Dua NRTI dan satu NNRTI.

Berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2011), anjuran pemilihan obat ARV lini pertama adalah 2 NRTI + 1 NNRTI seperti yang tertera pada Tabel VI.

Tabel VI. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama (Anonim, 2011a)

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +

Nevirapine) ATAU

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine +

Efavirenz) ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP (Tenofovir + Lamivudine (atau

Emtricitabine) + Nevirapine) ATAU TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau

Emtricitabine) + Efavirenz

Penggunaan obat ARV pada setiap pasien HIV/AIDS tidak sama sehingga terdapat kombinasi terapi ARV yang direkomendasikan untuk populasi tertentu yang tercantum pada Tabel VII.

Pada wanita hamil, obat ARV yang tidak dianjurkan adalah EFV karena memiliki efek teratogenik dan menurut Food and Drug Administration (FDA) masuk dalam kategori D yang berarti ada bukti positif terjadinya risiko pada janin manusia berdasarkan data penelitian, pemasaran, atau studi pada manusia, tetapi adanya potensi keuntungan dapat menjamin penggunaan obat meskipun potensi

(26)

berisiko. Nevirapine dan tenofovir masuk ke dalam kategori B yang berarti studi pada hewan tidak menunjukkan risiko pada janin, namun penelitian pada ibu hamil belum dilakukan. Zidovudine, lamivudine, dan stavudine masuk ke dalam kategori C yang berarti studi pada hewan telah menunjukkan efek buruk pada janin dan tidak ada studi yang memadai pada manusia, tetapi potensi keuntungan dapat menjamin penggunaan obat meskipun potensi berisiko (Jose, 2014).

Tabel VII. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (Treatment-naïve) (Anonim, 2011a)

Populasi Target Pilihan yang

direkomendasikan Catatan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV atau NVP

Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien Gunakan FDC jika tersedia Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau

NVP

Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama

TDF bisa merupakan pilihan Ko-infeksi

HIV/TB

AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu) Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan Ko-infeksi HIV/Hepatitis B kronik aktif TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan paduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV Keterangan: AZT: Zidovudine TDF: Tenofovir 3TC: Lamivudine FTC: Emtricitabine EFV: Efavirenz NVP: Nevirapine ARV: ARV

FDC: Fixed-dose Combination (kombinasi obat ARV dengan dosis yang yang telah ditetapkan).

HBsAg: Hepatitis B Surface Antigen (antigen permukaan virus hepatitis B), merupakan penanda awal infeksi Hepatitis B.

Penggunaan ARV nevirapine pada pasien tuberculosis (TBC) perlu diperhatikan karena penggunaan nevirapine dan rifampisin bersama-sama akan

(27)

mengurangi kadar nevirapine dalam darah dan juga sebagian besar ARV golongan PI. Faktor selanjutnya yaitu nevirapine harus digunakan dengan dosis yang lebih rendah pada dua minggu pertama pengobatan untuk mengurangi risiko toksisitas, sehingga selanjutnya akan meningkatkan risiko penurunan nevirapine ke tingkat yang tidak optimal ketika digunakan bersama dengan rifampisin. Untuk alasan ini, pedoman pengobatan sekarang merekomendasikan penggunaan regimen ARV berbasis efavirenz (Alcorn, 2010).

f. Toksisitas

Metode pengobatan HAART sudah diterapkan dalam pengelolaan HIV sejak diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) tahun 1996. Penggunaan obat secara kombinasi pada regimen ini juga menjadi penyebab timbulnya banyak komplikasi dan efek samping (Sapkota dkk, 2012). Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/atau menghentikan pengobatan ARV (Anonim, 2011a). Padahal, ketika pasien gagal untuk melakukan pengobatan, HIV memiliki kesempatan untuk memproduksi variasi sendiri, termasuk strain yang resisten terhadap obat ARV (Anonim, 2010).

Substitusi individual dari obat ARV harus berasal dari kelas ARV yang sama seperti yang tertera pada Tabel IX. Ada tingkatan toksisitas yang timbul dari obat ARV, mulai dari toksisitas ringan hingga mengancam jiwa. Tanda dan gejala yang terjadi pada toksisitas tertera pada Tabel VIII. Bila toksisitas yang

(28)

mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan paduan terapi ARV yang lain (Anonim, 2011a).

Tabel VIII. Tingkat Toksisitas Obat ARV (Anonim, 2011a)

Derajat Keadaan Tanda dan Gejala Tatalaksana

1 Reaksi Ringan

suatu perasaan tidak enak yang tidak menetap; tidak ada keterbatasan gerak

tidak perlu perubahan terapi

2 Reaksi Sedang

Sedikit ada keterbatasn bergerak kadang-kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan

tidak perlu intervensi medis, kalau perlu sangat minimal

3 Reaksi Berat Pasien tidak lagi bebas bergerak; biasanya perlu bantuan dan perawatan

perlu intervensi medis atau perawatan di rumah sakit Substitusi obat penyebabnya tanpa menghentikan terapi ARV

4 Reaksi berat yang mengancam jiwa

Pasien terbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan di rumah sakit

Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada (dengan terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebabnya pada saat pasien sudah mulai tenang kembali

Golongan NRTI biasanya memiliki efek samping asidosis laktat dan lipodistrofi. Gejala dari asidosis laktat yaitu kelelahan, mual, muntah, nyeri perut, diare, dan peningkatan serum hati akibat steatosis hepatik. Lipodistrofi meliputi lipoatrofi (hilangnya lemak subkutan pada wajah) dan lipohipertrofi (akumulasi lemak pada daerah perut). Golongan NRTI yang banyak digunakan adalah zidovudine, lamivudine, emtricitabine, dan tenofovir. Efek samping dari zidovudine yaitu penekanan sumsum tulang belakang, mual, muntah, lelah, dan sakit kepala. Lamivudine dan emtricitabine masih memiliki efek samping yang rendah. Tenofovir memiliki efek samping yang berhubungan dengan disfungsi ginjal.

(29)

Tabel IX. Substitusi Obat ARV Individual pada Kejadian Toksisitas dan Intoleransi (Anonim, 2011a)

Obat ARV Toksisitas yang Sering Terjadi Anjuran Substitusi AZT Anemia berat atau netropenia

Intoleransi GI yang persisten

TDF d4T Asidosis laktat

Lipoatrofi/ sindrom metabolik, neuropati perifer

TDF, AZT

TDF Toksisitas renal (disfungsi tubuler)

AZT EFV Toksisitas SSP persisten dan

berat

NVP. Jika NVP tidak dapat diberikan karena adanya riwayat hepatotoksik atau hipersensitifitas berat, dapat di pertimbangkan disubstitusi dengan PI

Potensi teratogenik (pada kehamilan trimester pertama atau perempuan tanpa kontrasepsi yang memadai)

NVP Hepatitis EFV. Jika EFV tidak dapat

diberikan karena tetap menyebabkan hepatotoksikt, dapat di pertimbangkan disubstitusi dengan PI Reaksi hipersensitif tidak berat

(derajat 1- 2)

Jika memburuk dengan diteruskannya NVP, substitusi dengan EFV. Jika tetap memberikan reaksi hipersensitivitas, dapat di pertimbangkan disubstitusi dengan PI

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Stevens-Johnson syndrome)

Hentikan NVP dahulu, lalu NRTI dihentikan 7 hari kemudian. Substitusi dengan PI Keterangan: AZT: Zidovudine d4T: Stavudine TDF: Tenofovir EFV: Efavirenz NVP: Nevirapine

Golongan NNRTI (nevirapine dan efavirenz) memiliki efek samping ruam dan gangguan pada lipid. Nevirapine dapat menimbulkan efek samping hepatotoksisitas, sedangkan efavirenz memiliki efek samping pada sistem syaraf pusat (SSP) seperti gangguan tidur dan kognitif. Efavirenz juga menyebabkan hiperlipidemia dan toksisitas hati, dan tidak direkomendasikan untuk ibu hamil. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan ARV golongan PI yaitu

(30)

intoleransi gastrointestinal, lipohipertrofi, intoleransi glukosa atau diabetes mellitus, dan gangguan pada lipid (Reust, 2011).

g. Monitoring efek samping antiretroviral

Setiap obat kemungkinan memiliki efek samping. Tujuan dari pengobatan HIV adalah untuk menemukan kombinasi pengobatan yang tepat pada dosis yang tepat yang cukup untuk melawan HIV dalam tubuh tetapi tidak menimbulkan banyak efek samping (Anonim, 2009). Kejadian efek samping banyak dilaporkan dalam penggunaan obat ARV. Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab individu mengalami efek samping obat ARV antara lain (Anonim, 2013a):

1) Penggunaan obat dengan toksisitas yang bersifat tumpang tindih (overlapping) dan aditif.

2) Kondisi komorbiditas yang dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping (sebagai contoh, pecandu alkohol atau adanya koinfeksi dengan virus hepatitis dapat meningkatkan resiko hepatotoksisitas).

3) Interaksi obat dengan obat yang dapat menyebabkan peningkatan toksisitas obat (sebagai contoh, interaksi akibat penggunaan bersama statin dengan protease inhibitor [PI]).

4) Faktor genetik yang dapat memicu reaksi hipersensitivitas.

Kejadian efek samping dari ARV dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Anonim, 2009):

1) Short-term side effects (efek samping jangka pendek), seperti anemia; diare; pusing; lelah; sakit kepala; mual dan muntah; nyeri dan masalah saraf; ruam.

(31)

2) Long-term side effects (efek samping jangka panjang):

a) Lipodistrofi:masalah pada tubuh dalam memproduksi, menggunakan, dan menyimpan lemak (redistribusi lemak). Perubahan ini dapat mencakup kehilangan lemak di wajah, dan penambahan lemak di bagian perut dan belakang leher (Anonim, 2009). Sering kali hal tersebut terkait dengan penggunaan d4T dan dapat pula disebabkan oleh penggunaan PI baik sendiri atau dalam kombinasi dengan NRTI. Penimbunan lemak dapat terjadi di dalam rongga abdomen, punggung atas, leher, dada dan jaringan subkutan dan biasanya terkait dengan peggunaan paduan berbasis PI, meskipun dapat pula pada paduan non-PI (Anonim, 2007a).

b) Resistensi insulin: suatu kondisi dimana terjadi kelainan pada kadar gula darah, seperti diabetes. Tes laboratorium untuk melihat kadar gula darah menjadi indikator yang baik untuk mengetahui resistensi insulin (Anonim, 2009). Beberapa PI (IDV, RTV, LPV/ r) dan d4T dapat menyebabkan resistensi insulin dan kelainan metabolisme glukosa dengan mengakibatkan munculnya diabetes (Anonim, 2007a).

c) Kelainan lipid: peningkatan kolesterol atau trigliserida. Sama seperti resistensi insulin, tes laboratorium (kolesterol dan trigliserida) menjadi indikator yang baik untuk mengetahui kelainan lipid (Anonim, 2009). Dislipidemi dapat disebabkan oleh ke tiga kelas ARV: PI, NRTI dan NNRTI. Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserid disebabkan oleh d4T lebih tinggi dibanding yang disebabkan oleh TDF. Abacavir (ABC) lebih cenderung meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserida (TG) dibanding

(32)

AZT. Golongan NNRTI menyebabkan kenaikan kolesterol total dan sedikit TG (Anonim, 2007a).

d) Penurunan kepadatan tulang: dapat menjadi masalah yang signifikan, terutama pada pasien HIV dewasa. Hal ini dapat menyebabkan meningkatkan resiko cedera dan patah tulang.

e) Asidosis laktat: penumpukan laktat dan produk limbah sel dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan masalah mulai dari nyeri otot hingga gagal hati (Anonim, 2009). Stavudine (d4T), didanosine (ddI) (dan kadang kadang NRTI lain seperti AZT, 3TC dan ABC) dapat menyebabkan asidosis laktat yang mengancam jiwa karena adanya toksisitas mitokondrial dari obat-obat tersebut (Anonim, 2007a).

f) Neuropati perifer: terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dengan gejala seperti: hilang rasa atau kebas, diikuti dengan rasa kesemutan dan rasa terbakar dan kemudian nyeri, yang biasa dimulai dari ekstremitas bawah. Neuropati perifer sering disebakan oleh penggunaan d4T (Anonim, 2007a).

F. Keterangan Empirik

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi mengenai efek samping yang dialami pasien HIV/AIDS meliputi gambaran penggunaan regimen ARV, jenis efek samping yang terjadi, tatalaksana efek samping yang dilakukan, dan keberhasilan dari tatalaksana terapi efek samping di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2009-2013.

(33)

Keterangan: ART: Antiretroviral Therapy

Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian Efek samping Outcome ART Pasien HIV/AIDS Terapi tambahan Penggantian regimen Outcome tatalaksana Tatalaksana ARV penyebab Dosis Frekuensi Karakteristik pasien: 1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Domisili 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Faktor resiko 7. Stadium klinis

Gambar

Gambar 1. Jumlah Kasus HIV dan Kumulatif di Indonesia yang Dilaporkan  per Tahun hingga Desember 2013 (Anonim, 2014 b )
Gambar 2. Jumlah Kasus AIDS dan Kumulatif di Indonesia yang Dilaporkan  per Tahun hingga Desember 2013 (Anonim, 2014 b )
Gambar 3. Siklus Replikasi HIV (Anonim, 2013 g )
Tabel I. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1 (Anonim, 2011 a )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi adalah tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinuitas pelayanan), serta menjaga

Jarak Trayek Medan-Doloksanggul kira-kira 327 km.Metode yang dilakukan untuk mengevaluasi tarif terhadap Biaya Operasional Kendaraan adalah metode perhitungan biaya pokok bus

Data yang akan diambil dari penelitian tersebut adalah data penumpang angkutan umum kota Medan yang dijadikan responden dalam penelitian Kajian Pemilihan Moda Transportasi antara

Dari hasil penelitian yang dilakukan Reynold R.Ubra (2012) di Kabupaten Mimika Provinsi Papua menunjukkan bahwa responden yang mendapatkan dukungan keluarga 4 kali

Sedangkan untuk anak usia lebih dari 18 bulan pengujian dilakukan dengan tujuan untuk diagnosis dengan prosedur seperti yang dilakukan pada orang dewasa yaitu

Untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap perubahan tingkat pengetahuan dan sikap ibu hamil dalam mengikuti program Prevention Of Mother To Child Transmission (PMTCT)

d. Saat kejadian kapal menabrak benda keras, Saksi sedang dinas jaga di kamar mesin bersama dengan Masinis II, kemudian setelah diketahui adanya kebocoran Saksi membantu

Sehingga kemudian berpikir positif tidak hanya meningkatkan kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan harga diri dan kesehatan mental bagi individu (Shokhmgar, 2016),