• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) DALAM PELAYANAN KESEHATAN. Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) DALAM PELAYANAN KESEHATAN. Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN TERAPEUTIK (TRANSAKSI MEDIS) DALAM PELAYANAN KESEHATAN

A. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan

Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan pasien maupun dokter. Hukum merupakan sarana untuk menciptakan keserasian antara kepentingan dokter dan pasien guna menunjang keberhasilan pelayanan medis berdasarkan sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional yang dimaksud merupakan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal sebagai perwujudan kesejahteraan umum melalui program pembangunan kesehatan sebagai kesatuan yang menyeluruh, terarah terpadu serta berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan nasional. 40

Tujuan dan dasar pembangunan kesehatan di dalam Sistem Kesehatan Nasional dijabarkan sebagai berikut :

1. Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal, agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia. 2. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan

mempertinggi derajat kesehatan rakyat.

3. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukakn secara terpadu dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan.

4. Setiap bentuk upaya kesehatan harus berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mengutamakan

40

(2)

kepentingan nasional, rakyat banyak, dan bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan.

5. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotongroyongan serta semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.

6. Sesuai dengan asas adil dan merata, hasil yang dicapai dalam pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk.

7. Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi dan mentaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan.

8. Pembangunan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.

Pembangunan jangka panjang bidang kesehatan, yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional, diarahkan untuk mencapai tujuan utama sektor kesehatan. Tujuan utama kesehatan nasional tersebut meliputi : Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan, Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan, peningkatan status gizi masyarakat, Penguranngan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas), Pengembangan keluarga sehat dan sejahtera dengan semakin diterimanya norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. 41

Pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan secara mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Pelayanan

41

(3)

kesehatan menurut Benyamin Lumenta segala upaya kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan serta pemeliharaan kesehatan yang dilakukan oleh pranata sosial atau lembaga dengan suatu populasi tertentu, masyarakat atau komunitas. 42 Selanjutnya Hodgelts dan Casio, membedakan pelayanan kesehatan perorangan (personal health services) atau pelayanan kedokteran (medical services) atau pelayanan medis dan pelayanan kesehatan lingkungan (environmental health) atau pelayanan kesehatan masyarakat (public health services). 43

Leavel dan Clark menguraikan ciri-ciri kedua bentuk pelayanan kesehatan tersebut, sebagai berikut : pelayanan kesehatan perorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit (curative) dan memulihkan kesehatan (rehabilitatif) dengan sasaran utama perorangan dan keluarga; sedangkan pelayanan kesehatan lingkungan ditujukan untuk meningkatkan kesehatan (promotive) dan mencegah penyakit (preventif) dengan sasaran utama kelompok masyarakat.44

Berdasarkan sifat pelayanannya, jenis pelayanan kesehatan dapat dibedakan menjadi pelayanan dasar, pelayanan ekstramural (ambulatory) dan pelayanan intramural. Pelayanan dasar mencakup pelayanan kesehatan preventif dan kuratif, yang diselenggarakan khusus untuk diri sendiri dan untuk lingkungan sekitarnya,

42

Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius, Yogyakarta,1989, h. 15

43

Hodgelts dan Casio (1983) dalam Azrul Aswar, Pengantar Pelayanan Kesehatan

Dokter Keluarga, IDI, Jakarta 1995, h. 1 44

(4)

demi peningkatan kesehatan dan penghapusan ancaman gangguan kesehatan. Pelayanan ekstramural (ambulatory) mencakup pelayanan kesehatan spesialistis dan non spesialistis, yakni pasien memperoleh pelayanan kesehatan di sebuah lembaga atau di rumahnya tanpa opname. Pelayanan intramural, merupakan penyelenggaraan pelayanan medik umum dan spesialistis di dalam lembaga yakni pasien mendapat rawat inap dan pelayanan ini diberikan oleh berbagai rumah sakit umum.

Secara umum, ciri-ciri pelayanan kesehatan dikemukakan oleh Marius Widjajarta, meliputi : ketidaktahuan konsumen (consumer ignorance), pengaruh penyedia jasa kesehatan yang besar terhadap konsumen sehingga (konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih (supply induced demand), produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, pembahasan terhadap kompetisi, ketidakpastiaan tentang sakit dan sehat sebagai hak asasi.

Menurut Benyamin Lumenta, pelayanan kesehatan yang baik dapat terselenggara, jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Terbatas pada pelaksanaan pengobatan yang didasarkan atas ilmu kedokteran;

2. Menekankan pencegahan;

3. Menghendaki kerjasama yang wajar antara kaum awam (pasien) dengan para pelaksana ilmu pengetahuan kedoktersn (dokter);

4. Mengobati seseorang seutuhnya;

5. Memelihara hubungan pribadi antara dokter dengan pasien secara erat dan berkesinambungan;

6. Dikoordinasi dengan pembinaan kesejahteraan sosial; 7. Mengkoordinasi semua jenis (spesialisasi) pelayanan medis;

(5)

8. Memanfaatkan semua pelayanan yang diperlukan dan yang dapat diberikan ilmu pengetahuan kedokteran modern kepada masyarakat yang membutuhkan45.

Pelayanan kesehatan yang bermutu menurut Tabish :

Pelayanan Kesehatan berarti memberikan suatu produk pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan individu dan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dimulai dengan standar etika manajerial yang tinggi pula, meliputi: sistem untuk melakukan standar profesional; baik dari sudut tingkah laku, organisasi serta penilaian kegiatan sehari-hari, sistem pengamatan agar pelayanan selalu diberikan sesuai standar dan deteksi bila terdapat penyimpangan; serta sistem untuk senantiasa menunjang berlakunya standar profesional. 46

Mutu pelayanan kesehatan berkaitan dengan mutu dan tingkat kepuasan pasien sebagai konsumen. Jaminan atas pelayanan kesehatan yang bermutu adalah suatu proses pemenuhan standar mutu pengelolaan pelayaan kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga konsumen memperoleh kepuasan. Tujuannya adalah untuk memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan yang dijalankan oleh suatu saran pelayanan kesehatan secaran internal untuk mewujudkan visi dan misi serta memenuhi kebutuhan konsumennya.

B. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Perjanjian Sebagai Dasar Perikatan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenai hukum

45

Benyamin Lumenta, Op.Cit h. 113

46

Tabish (1998) dalam Tjandra yoga Aditama, Manajemen Administrasi Rumah

(6)

perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana didalamnya memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu sumber hubungan hukum perikatan yang diadakan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari (1) Perjanjian dan (2) Undang-undang. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut atau lebih yang dinamakan perikatan. Perikatan yang muncul karena perjanjian adalah mengikat para pihak yang membuatnya, seperti halnya perjanjian

(7)

sewa menyewa hanya mengikat pada yang menyewa dan yang menyewakan. Sedangkan perikatan yang muncul karena undang-undang contohnya adalah

Zakwarming/mengurus urusan orang lain, maka barang siapa memutuskan

mengurus orang lain. maka secara otomatis ia memiliki kewajiban tertentu. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Perjanjian yang tedapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata secara umum menyebutkan bahwa suatu hubungan antara 2 (dua) orang yang membuatnya. Dilihat dari bentuknya perjanjian itu dapat berupa suatu perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.47

Abdulkadir Muhammad, mengemukakan bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 (dua) orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan perikatan perikatan antara 2 (dua) orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.48 Sedangkan menurut Subekti hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber lain. 49 perjanjian memunculkan akibat hukum, yamg

47

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 4

48

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Indonesia, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 228

49

(8)

disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.

b. Unsur-unsur perjanjian

Oleh Salim HS Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikategorikan sebagai berikut: 50

1) Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2) Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3) Adanya Prestasi

prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu

prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.

4) Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5) Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat

50

Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,”, Sinar Grafika , Jakarta:, 2004 h. 3

(9)

hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya perjanjian dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

c. Karakteristik Perjanjian

Hukum perjanjian memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak. 51 Perjanjian dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice). 52

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah

51

Atiyah, The Law of Contract, London: Clarendon Press, 1983 h. 1

52

(10)

dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain. 53 Akan tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.

d. Azas-Azas Perjanjian

Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum. Asas-asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Didalam hukum perjanjian terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata, yaitu: 54

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. 2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian

53

Ibid, h. 13

54

Hardijan Rusli , Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1996, h. 16

(11)

adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni

itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang

memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdat berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka

(12)

yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukm didalam keseluruhan tertib hukum.

e. Resiko dalam perjanjian

Suatu peijanjian dibuat untuk dilaksanakan oleh para pihak, yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah, realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi, tujuan suatu perjanjian tidak dapat dicapai tanpa adanya pelaksanaan perjanjian oleh para pihak,

Pelaksanaan isi perjanjian bisa dilakukan sendiri oleh debitur, dilakukan dengan bantuan orang lain atau dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur. Hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh debitur dapat dilihat dari beberapa sumber, yaitu : undang-undang sendiri, akta atau surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan melihat tujuan (streking) serta sifat perjanjian yang dibuat.

Dalam pelaksanaan perjanjian, masing-masing pihak diharapkan berusaha secara sempurna .dan sukarela melaksanakan isi perj anj ian. Peiaksanaan perjanjian yang baik dan sempurna menurut M. Yahya Harahap didasarkan pada

(13)

'kepatutan' atau behorlijk, artinya debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang 'sepatutnya', serasi dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan yang telah mereka setujui bersama. 55

Inti pelaksanaan perjanjian adalah melaksanakan prestasi. Prestasi dalam perjanjian meliputi memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Namun demikian adakalanya salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi. Dalam Hukum Perdata, seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila : tidak melakukan prestasi sama sekali, melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi. Setiap wanprestasi yang menimbulkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (Pasal 1239 KUH Perdata). Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan dapat melakukan gugatan dengan kemungkinan tuntutan dengan cara : peiaksanaan perjanjian meskipun terlambat, penggantian kerugian, peiaksanaan perjanjian dan penggantian kerugian, dan pembatalan perjanjian. Selain karena wanprestasi, pelaksanaan perjanjian juga tidak dapat terwujud karena terjadinya risiko. Menurut Subekti, risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian, 56 sedangkan menunit Sri

55

M. Yahya Harahap. Scgi-Segi Hukutn Perjanjian,: Alumni, Bandung, 1986, hal. 56-57

56

(14)

Redjeki hartono risiko juga merupakan suatu ketidakpastian di masa yang akan datang tentang kerugian. 57

Mengenai risiko dalam perjanjian, berlaku ketentuan sebagai berikut : risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya (Pasal 1245 KUH Perdata), sedangkan risiko dalam perjanjian timbal balik mengakibatkan hapusnya perjanjian.

2. Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis)

Perjanjian merupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur atau nilai pengobatan.58 Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kesehatan.

Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. 59 Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif,

57

Sri Redjeki hartono. Hukum Asuransi dan Perusaliaan Asuransi, P.T.Sinar Grafika Jakarta , 2000 hal. 62

58

Subekti, Op. Cit h. 1

59

Hermien Hadiati Koeswadji. Makalah Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, h. 142

(15)

rehabilitatif maupun promotif, maka persetujuan ini disebut pejanjian terapeutik

atau transaksi terapeutik. Perjanjian Terapeutik juga disebut dengan kontrak terapeutik yang merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan. 60 Dalam hal ini Salim mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan Kontrak atau Perjanjian terapeutik dengan “kontrak dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspaningsverbintenis) jarang merupakan kontrak yang sudah pasti (resultastsverbintenis). 61

Perjanjian Terapeutik tersebut disamakan inspaningsverbintenis karena dalam kontrak ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya yang dilakukan belum tentu berhasil. Harmien Hadiati Koswadji mengemukakan bahwa :

Hubungan dokter dan pasien dalam transaksi teurapeutik (perjanjian medis) bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu :

(1) Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determinations) (2) Hak atas dasar informasi (the right to informations).62

Hal ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Veronica Keomalawati bahwa perjanjian terapeutik itu pada asasnya bertumpu dua macam hak asasi manusia, yaitu (1) Hak untuk menentukan nasib sendiri dan

60

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006, Hal 45

61

Ibid. h.45

62

Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah Simposium, Medical Law, Jakarta, 1993, h. 143

(16)

(2) Hak atas informasi. 63 Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak manusia yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa atas diri seseorang. Hak atas dasar informasi merupakan hak untuk memperoleh keterangan-keterangan yang berhubungan dengan kesehatan. Para pihak yang terlibat dalam kontrak teurapeutik atau perjanjian medis ini adalah dokter dan pasien.

Hubungan hukum dalam kontrak terapeutik oleh undang-undang kita diintepretasikan berbeda, walaupun secara prinsip hubungan hukum perjanjian terapeutik adalah sama yaitu hubungan antara pasien dengan petugas tenaga medis. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak terapeutik adalah pasien dengan tenaga kesehatan, sedangkan dalam Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak teurapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi.

Pengertian perjanjian terapeutik di atas oleh undang-undang dimaknai berbeda, karenanya Salim HS, menyempurnakan pengertian Perjanjian Terapeutik, yaitu sebagai:

Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien berkewajiban membayar biaya penyembuhannya. 64

63

Veronika Komalawati., Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, h.74

64

(17)

Dalam pengertiannya tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa unsur, yaitu:

(1) Adanya subjek perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan/ dokter/dokter gigi

(2) Adanya objek perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien

(3) Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan. 65

Dalam pelaksanaanya perjanjian teurapeutik ini harus didahului oleh adanya persetujuan tindakan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi terhadap pasien yang lazim disebut Informed consent. Istilah transaksi atau perjanjian

Terapeutik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam unsur yang terkandung dalam perjanjian teurapeutik juga dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya (Bab 1 buku III KUH Perdata).

Selain itu juga dalam ketentuan umum mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian (Bab II Buku III KUH Perdata) khususnya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 jo. Pasal 1320 KUH Perdata, dengan demikian untuk sahnya transaksi atau perjanjian terapeutik harus pula dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata dan akibat yang

65

(18)

ditimbulkannya yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung azas pokok perjanjian.

3. Konsep Hukum Dalam Perjanjian Terapeutik (Transaksi Medis)

Perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Demikian pula halnya transaksi atau perjanjian terapeutik tidak terlepas dari kedua sumber perikatan tersebut. Karena pada hakikatnya transaksi atau perjanjian terapeutik itu sendiri merupakan suatu perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Dan kedua sumber perikatan tersebut tidak perlu dipertentangkan, namun cukup dibedakan karena sesungguhnya keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi atau perjanjian terapeutik.

Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Buku KUH Perdata Bab II sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu persetujuan adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Ikatan

tersebut jelas ada dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang disebut dengan perjanjian terapeutik atau perjanjian penyembuhan. 66

Perjanjian terapeutik juga dikategorikan sebagai perjanjian untuk melakukan

66

Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 38

(19)

suatu pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata, maka dapat dikategorikan bahwa perjanjian terapeutik adalah termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Selain itu jika dilihat ciri yag dimilikinya yaitu pemberian pertolongan yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain (Zaakwaarneming) yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata maka transaksi terapeutik merupakan perjanjian sui generis (faktual).

Transaksi atau perjanjian merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subjek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan atas sikap saling percaya. Di dalam perjanjian terapeutik sikap saling percaya akan tumbuh apabila antara dokter dan pasien terjalin komunikasi yang saling terbuka, karena masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi atau perjanjian terapeutik yaitu kesembuhan pasien.

a. Unsur-unsur dalam Perjanjian Terapeutik

Perjanjian Terapeutik adalah perikatan yang dilakukan antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri-ciri khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Dalam suau perjanjian terapeutik sebagaimana dicantumkan dalam deklarasi Helsinki yang penyusunannya berpedoman pada The

(20)

Nuremberg Code yang semula disebut persetujuan sukarela, dikemukakan

mengenai 4 (empat) syarat sahnya persetujuan yang harus diberikan secara sukarela , yaitu : 67

(1) Persetujuan harus diberikan secara sukarela (2) Diberikan oleh yang berwenang dalam hukum (3) Diberitahukan; dan

(4) Dipahami.

Dibutuhkan Persetujuan dalam praktek kedokteran terutama untuk melindungi kepentingan pasien. Pada saat pasien melakukan konsultasi, keempat hal persetujuan tersebut diperlukan karena bentuk persetujuan pasien hanya dalam bentuk lisan sehingga kesepakatan yang terjadi merupakan kesepakatan dalam bentuk abstrak, dan pada saat dokter melakukan terapi maka persetujuan pasien yang abstrak berubah menjadi suatu persetujuan yang konkrit. Sehingga apabila setelah proses pengobatan terjadi hal-hal yang merugikan pasien, dimana dokter tidak melakukan keempat langkah diatas, maka pasien akan sulit untuk meminta pertanggung jawaban dari dokter.

b. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Perjanjian Terapeutik

Suatu perikatan atau tunduk pada asas-asas umum perikatan sebagaimana

67

(21)

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana disebutkan untuk syarat sahnya persetujuan ada 4 (empat) syarat, yaitu :

a. Sepakat mengikatkan diri b. Cakap membuat perikatan c. Ada hal tertentu

d. Karena sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak- pihak dalam pejanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu perjanjian. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak

mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Sehingga perjanjian

yang dibuat tersebut mengikat selama tidak dibatakan oleh keputusan pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. 68 Dengan demikian perjanjian yang demikian selalu mengandung resiko pembatalan atau disebut juga “Vernietigbaar”.

Hubungan terapeutik adalah hubungan yang khusus, karena apabila ada konflik atau sengketa antara penyedia jasa kesehatan dan penerima jasa pelayanan kesehatan, maka masing-masing pihak tunduk pada konsep hukum

68

(22)

yang mengaturnya. Karakteristik perikatan dalam transaksi terapeutik adalah

Inspanning, 69 yang berarti bahwa suatu perikatan terapeutik adalah tidak

didasarkan pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai kesembuhan pasien.

Hubungan Terapeutik adalah hubungan perdata antara dokter dengan pasien, pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu dua orang atau lebih”, menjelaskan bahwa adanya

hubungan ini. Sebagai akibat dari pihak yang saling setuju tersebut adalah timbulnya perjanjian, karena terdapat 2 (dua) pihak yang saling setuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu, mengakibatkan adanya perikatan antara dokter dan pasien.

Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, adalah pasien. Yang terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya. Kecakapan harus datang dari kedua belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan

69

Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek dokter, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta 1989, h. 84

(23)

pelayanan.70 Kalangan dokter harus mempunyai kecakapan yang memadai atau dituntut oleh pasien. Sedangkan dari pihak pasien tentu dituntut orang yang cakap membuat perikatan, yaitu orang dewasa yang waras. Bila lain dari itu tentu harus ada yang mengantar sebagai pendamping pasien. 71

Mengenai kecakapan membuat perikatan Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, apabila oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Lebih lanjut mengenai kecakapan ini, Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa kriteria orang-orang yang tidak cakap untuk membuat Perjanjian menurut undang-undang adalah :

1. Orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima layanan medis terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang

70

Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medik, Jakarta, 1997, h. 15

71

(24)

berada diawah umur, tetapi telah dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua atau walinya. 72

Objek daripada perjanjian adalah prestasi. Dalam Konteks hukum perdata, prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Sesuatu yang dapat dituntut adalah Prestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu :

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu, dan 3. Tidak berbuat sesuatu.

Dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien prestasi yang diutamakan adalah melakukan suatu perbuatan, baik dalam rangka pencegahan (preventif), penyembuhan (curatif), pemulihan (rehabilitatif), maupun peningkatan (promotif).73 Perjanjian terapeutik atau perjanjian penyembuhan

adalah suatu perjanjian yang objeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan.

Dalam hal ini Veronika Komalawati, mengemukakan bahwa :

Perjanjian terapeutik dilihat dari objeknya berupa upaya pemberian pertolongan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat dan tidak boleh dijamin kepastiannya oleh dokter. Lagipula, pelaksanaan upaya medik tersebut tidak semata-mata bergantung kesungguhan dan kecermatan dokter dalam memberikan pelayanan, tetapi

72

Veronika Komalawati, Op.Cit, h. 160

73

(25)

peran serta pasien dalam kerjasama yang baik yang berorientasi pada kepentingan pasien itu sendiri. 74

Sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam perjanjian terapeutik adalah dimana upaya penyembuhan (terapeutik), tujuan daripada upaya penyembuhan adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi atas asas kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kualitas kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Dengan demikian perikatan yang terjadi adalah dalam bidang pengobatan dan tidak melanggar hukum. 75 Dalam hal apabila terjadi perikatan yang menyangkut perjanjian teurapeutik namun didalamnya dilakukan secara melanggar hukum, maka tidak merupakan suatu perbuatan yang halal atau dapat dikategorikan perjanjian tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi unsur keempat dalam syarat sahnya perjanjian.

c. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik

Akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan hubungan timbal balik antara para pihak, yaitu kewajiban pada

74

Veronika Komalawati, Op.Cit, h. 145-146

75

(26)

pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pula sebaliknya kewajiban dari pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama.76

Pada suatu perjanjian para pihak mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu maksud dan tujuan. Dalam hal ini maka sebaiknya kehati-hatian para pihak diperlukan sebelum menyatakan kehendak untuk

menyetujui suatu perjanjian. Jadi harus terlebih dahulu dilihat apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang melaksanakan perjanjian

tersebut sehingga dikemudian hari apabila terdapat hal-hal yang merugikan salah satu pihak, segala sesuatunya sudah ditetapkan atau disepakati terlebih dahulu.

Ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut perjanjian diharuskan atau diwajibkan.77

Rumah Sakit adalah sebuah institusi yang didalamnya bernaung tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, dan lain-lain yang bertujuan menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada masyarakat. Perjanjian terapeutik yang terjadi di Rumah Sakit berlangsung dalam bentuk perjanjian tertulis berupa persetujuan tindakan medik (Informed Consent),

76

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 7

77

(27)

sehingga formulir yang telah ditandatangani oleh orang yang berhak memberikan informed consent, dapat digunakan menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apabila jika suatu ketika terjadi perbuatan melanggar hukum, maka pengadilan umumnya akan menerima hal tersebut sebagai alat bukti adanya kesepakatan.

C. Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik

Dalam pengertian perjanjian terapeutik di atas, disebutkan bahwa objek perjanjian terapeutik adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan. Menurut Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 menyebutkan bahwa pelayanan medis/tindakan medis adalah tindakan yang dilakukan terhadap pasien yang berupa tindakan diagnostik atau teurapeutik. Dari batasan itu dapat dipahami bahwa :

1. Tindakan medis yang berupa diagnostik dan terapeutik itu adalah tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dalam hal ini meliputi dokter, bidan dan perawat.

2. Tindakan itu dilakukan terhadap pasien.

Untuk mengetahui lebih jelas mengetahui para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi/perjanjian terapeutik, dapat dilihat pada uraian berikut:

(28)

a) Dokter, merupakan salah satu tenaga medis yang dapat diambil sebagai pihak yang melakukan atau melaksanakan pelayanan kesehatan. Pengertian dokter dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 52 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan bahwa dokter merupakan salah satu tenaga kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

b) Pasien, adalah merupakan orang sakit yang dirawat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya ditempat praktek atau rumah sakit. 78 Pasien adalah merupakan orang yang menjadi fokus ataupun sasaran dalam usaha-usaha penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

78

Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak Dan Kewajiban Pasien (dalam

(29)

Sebagai subjek hukum pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipahami baik oleh pasien, dokter maupun rumah sakit sebagai salah satu tempat diselenggarakannya profesi kedokteran demi tercapainya tujuan upaya kesehatan.

c) Rumah sakit, dapat diartikan sebagai sarana pelayanan kesehatan. Selain itu, rumah sakit juga dapat merupakan suatu tempat bagi tenaga medik berkumpul atau lokasi konsentrasi berbagai tenaga ahli atau padat karya dan juga merupakan lembaga padat moral, padat teknologi dan padat waktu.

Rumah sakit merupakan pusat pelayanan medis atau juga pelayanan kesehatan, sebagaimana meunurut Somers yang dikutip dalam buku A. Azwar dengan judul “Standar Pelayanan Medis”, bahwa untuk terselenggaranya pelayanan medis yang baik, banyak syarat yang harus dipenuhi, mencakup 8 (delapan) hal pokok, yaitu tersedia (available), wajar (appropriate), berkeseinambungan (continue), dapat diterima (acceptable), dapat dicapai (accesible), dapat dijangkau (affordable), efisien (efficient), dan bermutu (quality).79

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok

79

A. Azwar, Standar Pelayanan Medis Materi Penerapan Standar Pelayanan Rumah

(30)

atau masyarakat secara keseluruhan.80 Selain pelayanan kesehatan istilah lain dari pelayanan kedokteran adalah pelayanan medis, merupakan pelayanan

yang mencakup semua upaya dan kegiatan berupa pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif), peningkatan (promotif), dan pemulihan (rehabilitatif) kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual anatara para ahli di bidang kedokteran dengan individu yang membutuhkannya.81

Layanan Kesehatan terdiri dari beberapa jenis pelayanan, baik berupa pelayanan rawat inap (hospitalization) dan juga pelayanan rawat jalan (ambulatory services). Pelayanan rawat jalan mempunyai arti yang lebih penting daripada pelayanan rawat inap. Sesuai dengan perkembangan yang terjadi, maka saaat ini terdapat berbagai bentuk perawatan rawat jalan. Menurut Feste (Tengker, 1991 : 33-34), dalam buku Veronika Komalawati yang berjudul “Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik” bahwa pelayanan rawat jalan dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:81

1) Pelayanan Rawat Jalan Klinik Rumah sakit. Bentuk pelayanan rawat jalan ini diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit (hospital based ambulatory cars), yang terdiri dari : Pelayanan gawat darurat (emergency services), Pelayanan rawat jalan peripurna (comprehensive hospital outpatient services), pelayana rujukan (referral services), pelayanan bedah jalan (ambulatory surgency

services).

80

Veronica Komalawati, Op.Cit, h. 78

81

Ibid, h. 79-80

81

(31)

2) Perawatan rawat jalan klinik mandiri. Bentuk perawatan jalan ini diselenggarakan oleh klinik mandiri, yaitu yang tidak ada hubungan organisatoris dengan rumah sakit (freestanding ambulatory centers) Rawat jalan bertujuan untuk melakukan observasi, diagnosis, pengobatan rehabilitasi dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap, keuntunganya pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap (opname).

D. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

Ketentuan mengenai informed consent yang digunakan sebagai pedoman dalam pelayanan medis, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MEN.KES/PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) berasal dari 2 (dua) hal dasar dari hak pasien, yaitu hak menentukan nasib sendiri dan hak untuk informasi

medis.82

Hak untuk menentukan nasib sendiri, erat hubungannya dengan hak atas informasi yang merupakan hak yang mendasari adanya informed consent. Dengan pemberian informasi dari dokter, maka pasien dapat mengadakan beberapa alternatif pemilihan penilaian tentang suatu tindakan medis. Dengan demikian, seorang pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak tindakan medis itu.

Tenaga kesehatan (dokter, perawat dan rumah sakit) memerlukan izin atau

82

(32)

pesetujuan dari pasien atau keluarga pasien, yatu apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan sebagaimana mestinya, maka dokter, rumah sakit, dan unit pelaksana fungsional rumah sakit mempunyai alat untuk menangkis tuduhan yang mungkin diajukan oleh pasien maupun keluarga pasien.83

Di tinjau dari aspek hukum perdata, maka masalah informed consent banyak terkait dengan ketentuan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang perjanjian secara umum. Dalam Hukum Perdata, informed consent merupakan suatu toesteming (Kesepakatan/ perizinan sepihak) dari pihak pasien kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis terhadap dirinya, dimana persetujuan itu dilandasi oleh suatu informasi yang cukup dari dokter kepada pasiennya. Karena hanya berfungsi sebagai toesteming itulah maka persetujuan itu dapat dicabut setiap saat jika pasien menghendakinya. Dengan demikian, informed

consent hanya sebagai syarat terjadinya suatu transaksi terapeutik dan bukan

merupakan syarat sahnya. Sebab sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Selanjutnya apabila dilihat dari bentuk persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien kepada tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi dapat diberikan dalam bentuk lisan dan juga dalam bentuk tertulis (Pasal 45 UUNo. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Mengenai hal ini Salim HS., menjelaskan bahwa :

83

(33)

Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau dalam bentuk anggukan kepala yang diartikan sebagai ucapan setuju. Persetujuan tertulis adalah sautu bentuk persetujuan yang diberikan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, dimana isi persetujuan tersebut berbentuk formulir.84

Informed consent yang telah dibakukan ini dinamakan perjanjian standar.

Sedangkan bentuk persetujuan untuk “tindakan medis beresiko tinggi” harus dibuat dalam bentuk tertulis. Tindakan medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.85

Informasi merupakan suatu keterangan yang diberikan tenaga kesehatan kepada pasien dan keluarganya tentang risiko yang akan terjadi dalam suatu tindakan medis. Persetujuan adalah suatu persesuaian pernyataan kehendak antara pasien dengan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Sementara itu, tindakan medis adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa diagnosa (penentuan jenis penyakit) atau terapeutik (pengobatan penyakit).

Pasal 1 huruf a Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.

Dibuatnya persetujuan tindakan medik adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan secara hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan. Perlindungan yang

84

Ibid, h. 61-62. 85

(34)

diberikan kepada pasien adalah agar pasien mendapat pelayanan kesehatan secara optimal tenaga kesehatan yang menanganinya. Sedangkan bagi tenaga kesehatan adalah untuk melindungi gugatan dari pasien atau keluarga pasien apabila terjadi kelalaian dalam melaksanakan kewajiban.

Walaupun Persetujuan Tindakan Medis yang diatur dalam Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 lebih ditekankan pada persetujuan untuk tindakan medik yang invasif dan beresiko yang sering dihadapi oleh dokter bedah86, namun pengetahuan tentang Persetujuan Tindakan Medis perlu juga diketahui oleh kalangan kesehatan yang lain. Dalam persetujuan tindakan medis juga terdapat tiga unsur yaitu (1) Adanya informasi dari tenaga kesehatan/ dokter/dokter gigi, (2) Adanya persetujuan dan (3) Adanya tindakan medis.87

a. Bentuk Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

Dilihat dari bentuknya menurut Salim HS, persetujuan tindakan medis dapat dibagi dalam 2 (dua)88, yaitu :

1) Implied consent (dianggap diberikan),

Umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan/ diberikan pasien89. 86 Ibid, h. 31 87 Salim HS. Op.Cit. h. 59 88 Ibid, h. 31 89 Ibid, h. 32

(35)

2) Express consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan dan dapat pula dinyatakan secara tertulis. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa bentuk persetujuan yang diberikan pasien terhadap tenaga kesehatan/dokter/dokter gigidapat diberikan secara tertulis maupun lisan.

Adapun yang perlu disoroti dalam penerapan doktrin hukum informed

consent di Indonesia adalah cara dilakukannya pernyataan kehendak yang isinya

berupa persetujuan tindakan medis termaksud.dalam hal ini erat kaitannya dengan sistem hukum yang berlaku, khususnya bidang hukum perikatan90.

Veronika Komalawati mengemukakan dalam bukunya “Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter” bahwa :

Informed consent baik dalam pelayanan medis maupun dalam penelitian

kedokteran jika didasarkan pada prinsip hukum perikatan, maka pada hakikatnya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar masing-masing pihak dapat memenuhi kewajiban hukumnya sesuai dengan harkat dan martabatnya yaitu sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab. 91

Persetujuan Tindakan medis dilakukan oleh pasien ataupun dapat dilakukan oleh keluarganya, apabila pasien dianggap tidak mampu memberikan persetujuan.

90

Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Op.Cit, h. 109

91

(36)

Dalam Pasal 8 sampai 11 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medik, ditentukan kelompok empat orang yang berwenang memberikan persetujuan tindakan medik, yaitu (1) orang dewasa, (2) wali/kurator, (3) orang tua/wali/keluarga terdekat, dan (4) keluarga terdekat.

Dalam pelaksanaan perjanjian medis antara tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dengan pasien dahulu merupakan hubungan yang tidak seimbang, karena pasien sebagai pihak yang meminta pertolongan benar-benar pasrah kepada tenaga medis (dokter, bidan, perawat) yang memberi perawatan. Dengan berkembangnya masyarakat dan ilmu pengetahuan kesehatan, hubungan yang bersifat tidak seimbang ini secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi karena :

1. Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran;

2. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental, dan sosial;

3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien.2192

Dengan demikian, pasien mempunyai kedudukan yang sama dengan medis, sehingga sebelum upaya penyembuhan dilakukan, tenaga medis harus melaksanakan informed consent sebagai perwujudan dari hak atas persetujuan dan hak atas informasi pasiennya. Hal yang serupa juga terjadi pada saat pasien

92

Soerjono Soekanto, Kontrak Terapeutik Antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital, Jakarta, 1987, h. 31

(37)

berobat kepada rumah sakit, rumah sakit juga harus mendapat persetujuan tindakan medis dari pasien terkait dengan upaya penanganan medis yang berhubungan dengan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.

Pada saat pasien berobat kerumah sakit, timbul hubungan hukum yang mendasari timbulnya perjanjian antara Rumah sakit sebagai sebuah institusi dan pasien sebagai stakeholders. Secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) macam perjanjian yang terjadi antara pasien dengan pihak rumah sakit, yaitu :

1. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.

2. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspannisngs verbintenis).2293

Dari hubungan hukum tersebut, diketahui bahwa rumah sakit turut bertanggung jawab terhadap semua tindakan medis maupun nonmedis di rumah sakit. Apabila tanggung jawab rumah sakit tersebut dikaitkan dengan hal pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed consent), maka tanggung jawab rumah sakit meliputi 3 (tiga) hal, yaitu :

1. Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia

Personalia dari sebuah rumah sakit dapat dibedakan atas tenaga kesehatan perawat (termasuk tenaga paramedis lainnya) serta karyawan non perawat. Rumah sakit secara umum bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas masing-masing.

93

(38)

Khususnya mengenai tindakan dokter dan bidan, maka dokter dan bidan dalam hubungannya dengan rumah sakit dapat dibedakan atas :

a. Dokter-in atau purna waktu (full time)

Dokter ini mendapat gaji dari rumah sakit yang bersangkutan dan ia merupakan karyawan dari rumah sakit itu, sehingga pasien hanya mempunyai perikatan perawatan dengan rumah sakit. Hal ini menyebabkan rumah sakit turut bertanggung jawab atas tindakan dokternya.

b. Dokter-out atau dokter tamu

Dalam hal ini pasien selaim mempunyai perikatan medis dengan dokter atau bidan yang mengobatinya, juga mempunyai perikatan perawatan dengan pihak rumah sakit. Dokter out ini tidak diberi gaji oleh rumah sakit tempat ia membuka praktek, sehingga tindakan dokter tersebut di luar tanggung jawab rumah sakit.

Dalam kaitannya pelaksanaan informed consent, apabila dokter out atau dokter tamu itu tidak melaksanakan prosedur informed consent bagi suatu tindakan medis yang diambil, maka hanya dokter itu yang bertanggung jawab (Pasal 12 ayat (1) Permekes RI No. 585 Tahun 1989), dan hal ini berarti ayat (2) yang menyatakan bahwa pemberian persetujuan tindakan medis yang dilaksanakan di rumah sakit/klinik tersebut ikut bertanggung jawab, tidak berlaku bagi dokter out itu.

2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan informed consent, maka rumah sakit bertanggung jawab untuk menyediakan formulir-formulir yang dibutuhkan. Namun dalam masalah formulir tidak dalam hal penyediaan saja, tetapi juga mengenai penyimpanan formulir itu harus dilakukan dengan baik dan rapi, sehingga apabila formulir itu dibutuhkan akan mudah untuk diperoleh.

3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care

Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini

sebenarnya terletak dalam bidang medis dan perawatan, sehingga penilaiannya juga harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Namun, rumah sakit tetap bertanggung jawab apabila ada pemberian pelayanan yang tidak lazim atau di bawah standar.94

94

(39)

Dari perjanjian di atas dapatlah dipahami bahwa pihak dalam perjanjian terapeutik adalah tenaga medis (dokter, bidan dan perawat) dan pasien. Apabila perjanjian itu dihubungkan dengan pelaksanaan informed consent, maka rumah sakit turut bertanggung jawab terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, bidan dan perawat) yang bekerja tetap di rumah sakit tersebut.

E. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien

Dahulu dokter dianggap tahu segalanya, dan dalam pandangan sehari-hari seorang pasien senantiasa menjalankan suatu peran yang sangat lemah, pasif, dan sangat tergantung kepada pihak lain akibat sakit yang dideritanya. Selain itu pasien juga dianggap tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesehatan dan penyakit yang dideritanya.

Keadaaan pasien yang demikian secara limitatif telah mengalami pengurangan, hal ini diakibatkan dengan perkembangan arus informasi dan komunikasi yang semakin global menimbulkan bertambahnya kecerdasan masyarakat yang menjadi kritis, sehingga kenyataan tersebut memperkecil kesenjangan ilmu pengetahuan anatara dokter dengan pasien. Dengan demikian, baik dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-Undang sehingga kedudukan hukumnya seimbang dan sederajat.

(40)

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:

Pasal 4 :

“Setiap orang berhak atas kesehatan” Pasal 12

“Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya”

Menurut Kin. Jr dalam buku karangan Veronica Komalawati dengan judul “Peranan Informed Consent Dalam Transakasi Terapeutik”: 95.

Terdapat 2 (dua) teori hukum yang menunjang hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yaitu contract theory dan undertaking theory. Menurut

contract theory apabila seorang dokter menyatakan persetujuan untuk

merawat seseorang dengan imbalan honor tertentu, maka dapat diciptakan suatu pengaturan kontraktual yang disertai hak dan tanggung gugatnya. Jika para pihak secara nyata mencapai suatu persetujuan mengenai perawatan, maka dapat timbul suatu kontrak nyata (tegas). Sedangkan menurut

Undertaking theory, jika seorang dokter merelakan diri untuk memeberikan

perawatan kepada seseorang, maka tercipta suatu hubungan profesional yang disertai kewajiban perawatan kepada pasien. 96

Selain itu, Pohan juga mengatakan bahwa :

Hubungan dokter dengan pasien dalam pemberian pertolongan didasarkan atas persetujuan antara dokter dengan pasien atau pihak ketiga, sehinga dokter berkewajiban memberikan perwatan dan pengobatan. Hal ini disebut sebagai perjanjian medis, dan dianggap sebagai perjanjian untuk melakukan beberapa pekerjaan sebagaiman dimaksud dalam pasal 1601 KUH Perdata, atau sebagai suatu perjanjian Sui generis97.

95

Veronica Komalawati, Op. Cit , h. 85

96

Veronica Komalawati, Op. Cit h. 85

97

Pohan,M, Tanggung Gugat Advocat, Dokter, Dan Notaris, Bina Ilmu, Surabaya 1985, h. 86

(41)

Kemudian J. Gunadi juga mengemukakan bahwa timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien dimulai saat pasien datang ke tempat praktek dokter dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter98.

Hubungan yang sederajat merupakan titik pangkal dari hubungan perjanjian yang meghendaki adanya kesepakatan antara para pihak yang saling memberikan prestasi atau jasa. Masing-masing pihak dianggap mempunyai pengetahuan yang sama tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya, sehingga apabila salah satu pihak merasa tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya atau tidak puas terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, masing-masig pihak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian tersebut.

Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan. Kepatuhan pasien terhadap proses pengobatan dan nasihat yang diberikan oleh dokter akan tercapai bila dokter dapat mengadakan komunikasi timbal balik yang baik terhadap pasiennya. Dokter yang bersedia mendengarkan pendapat dan keluhan pasien, akan menyebabkan pasien lebih bersedia mematuhi proses upaya penyembuhan sehingga tujuan perjanjian yaitu kesembuhan dapat tercapai.

98

Referensi

Dokumen terkait

Unsur ketiga, adalah hal tertentu yang diperjanjikan (prestasi) yang harus dipenuhi dalam perjanjian. Sebagaimana perjanjian pada umumnya yang memuat objek yang

Dalam Hukum Perdata, informed consent merupakan suatu toesteming (Kesepakatan/ perizinan sepihak) dari pihak pasien kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis

Metode penelitian yaitu dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji berbagai norma-norma aturan atau peraturan perundang-undangan yang