Model Optimalisasi Wakaf Produktif Melalui BUMDes
dalam Mewujudkan Sustainable Development Goal’s(SDG’S) di Pedesaan
Achmad Jufri, Hadri Kusuma
Program Studi Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
[email protected] [email protected]
Abstract
The implementation of productive waqf in Indonesia is scrimpy. This is because the majority of Indonesia's Muslim population still maintains the tradisonal thought pattern of waqf that waqf assets can only be managed consumptively such as for the construction of mosques, prayer rooms, Islamic boarding schools, schools or madrasas, cemeteries and others. In addition, they also still think that waqf assets are only static or immovable objects such as land and buildings. Even though the Indonesian Ulama Council has stated that waqf assets can be managed productively to generate profits that can be used to further expand the benefits of waqf assets. The portrait of waqf behavior occurs in rural areas in the form of land and the management tends to be consumptive. In addition, the authors chose rural objects because the percentage of the number of poor people in rural areas is still stratospheric. The method of writing in this scientific paper uses descriptive analysis method in which the author tries to comprehensively describe the management of waqf in Indonesia and alternative and practical solutions to overcome problems regarding waqf which are still consumptive. the author tries to optimize the management of the waqf land by making BUMDes as the driving agency. The results of the writing of this scientific paper indicate that the optimization of the management of waqf land can be carried out in collaboration with several parties, namely the Village Government, Nadzir, the Indonesian Waqf Agency (BWI), District Government, Village Communities, and Community Net Analysis (CNA). This effort has the potential to reduce unemployment and poverty and to realize sustainable community empowerment.
Keyword: Productive Waqf, Village-Owned Enterprises (BUMDes), Sustainable Development Goal’s
Abstrak
Implementasi wakaf produktif di Indonesia masih sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh mindset mayoritas penduduk muslim tentang wakaf bahwa harta wakaf hanya dapat dikelola secara konsumtif seperti untuk pembangunan masjid, musholla, pesantren, sekolah atau madrasah, kuburan dan lainnya. Selain itu, mereka juga masih menganggap bahwa harta wakaf hanya berupa benda statis atau tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Padahal Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan bahwa harta wakaf dapat dikelola secara produktif untuk menghasilkan keuntungan yang
dapat digunakan untuk lebih memperluas manfaat dari harta wakaf. Potret perilaku wakaf-mewakafkan banyak terjadi di pedesaan dalam asset statis berupa tanah dan pengelolaannya cenderung masih konsumtif. Selain itu, penulis memilih objek pedesaan sebab persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan masih cukup tinggi . Metode penulisan dalam karya ilmiah ini menggunakan metode analisis deskriptif dimana penulis berusaha menggambarkan secara komprehensif pengelolaan wakaf di Indonesia dan solusi alternatif dan praktis untuk mengatasi masalah-masalah tentang wakaf yang masih konsumtif. penulis berusaha untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah wakaf dengan menjadikan BUMDes sebagai lembaga penggeraknya. Hasil penulisan karya ilmiah ini menunjukkan bahwa optimalisasi pengelolaan tanah wakaf dapat dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa pihak, yakni Pemerintah Desa, Nadzir, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Pemerintah Kabupaten, Masyarakat Desa, dan Community Net Analysis (CNA). Upaya ini memiliki potensi untuk mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan serta mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.
Kata Kunci: Wakaf Produktif, Badan Usaha Milik Desa, Sustainable Development Goal’s Pendahuluan
Kemiskinan sampai saat ini tetap menjadi Pekerjaan Rumah (PR) pemerintah yang tak kunjung menemukan formula dan rumusan yang jitu untuk menyelasaikannnya. Baik negara maju maupun negara berkembang, kemiskinan tetap menjadi momok yang menakutkan sebab kemiskinan dapat menimbulkan berbagai masalah yang lain seperti meningkatnya tindakan kriminal, semakin rendahnya pendidikan masyarakat dan semacamnya. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang atau sekitar 9,78% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7,38% tersebar di daerah perkotaan atau 11,16 juta orang dan sebanyak 12,82% atau 15,26 juta orang tersebar di daerah pedesaan.1 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar dalam pemerataan distribusi pendapatan antara masyarakat kota dan desa. Dalam hal ini, masyarakat pedesaan membutuhkan perhatian lebih besar dari pemerintah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 meningkat 0,56% dari periode September 2019. Adapun pemicu dari kenaikan angka kemiskinan ini adalah kenikan harga sembako, seperti beras naik 1,78%, daging ayam ras naik 5,53%, telur ayam ras naik 11,10%, minyak goreng naik 7,06% dan gula pasir naik 13,35%. Kenaikan harga ini merupakan dampak dari kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan adanya pandemi Covid-19.2 Adanya pandemi menyebabkan perubahan terhadap perilaku dan aktivitas ekonomi masyarakat, terutama dalam hal berinteraksi. Sebagian besar pedagang kaki lima dan buruh mendapatkan dampak yang memperihatinkan, bahkan sampai hilangnya pekerjaan. Mereka yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan harian sangat merasakan dari adanya pandemi ini.
1 Ba da n Pusa t Sta tistik, Persentase Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, da la m www.bps.go.id dia kses pa da ta ngga l 24 Oktober 2020
2Ba da n Pusa t Sta tistik, Profil Kemiskina n di Indonesia Ma ret 2020 No. 56/07/XXIII , 15 juli 2020,
h. 7 da la m www.bps.go.id /pressrelea se/2020/07/15/1744/persenta se-penduduk-miskin-ma ret-2020 dia kses pa da 24 Oktober ret-2020
Tabel
Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah Periode Maret 2019-Maret 2020
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dalam upaya mengentas kemiskinan, pemerintah hadir dengan berbagai macam kebijakannya, baik fiskal maupun moneter. Secara teoritis, terdapat empat jenis kebijakan fiskal. Pertama, Pembiayaan Fungsional (The Functional Finance) guna meningkatkan kesempatan kerja dan peluang usaha. Kedua, Pendekatan Anggaran Terkendali (The Manage Budget Approach) guna mencapai kestabilan ekonomi. Ketiga, stabilitas anggaran (The Stabilizing Budget) dengan melakukan penyesuaian antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah secara otomatis dalam menstabilkan perekonomian tanpa adanya campur tangan pemerintah secara langsung. Keempat, Pendekatan Anggaran Belanja Berimbang (Balance Budget Aproach) untuk menyeimbangkan anggaran dalam jangka panjang dengan mempertahankan anggaran belanja yang seimbang.3 Kemudian keempat jenis kebijakan tersebut diturunkan kedalam beberapa program yang lebih spesifik sesuai dengan tujuan dan prioritas pemerintah kepada objek-objek yang membutuhkan peran pemerintah dalam upaya penanganan masalah tertentu.
Adapun beberapa kebijakan fiskal pemerintah yang dilaksanakan sampai Juli 2020 adalah antara lain menambahkan benefit Program Keluarga Harapan (PKH), memperluas cakupan Program Kartu Sembako, memberikan diskon listrik, Bansos tunai kepada masyarakat Non-Jabodetabek, Bansos sembako kepada masyarakat Jabodetabek, BLT Dana Desa, dan Kartu Prakerja.4 Beberapa program tersebut diatas merupakan beberapa upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak dari adanya pandemi Covid-19 yang menyebabkan angka kemiskinan meningkat sebesar 0,56% atau sekitar 1,63 juta orang terhitung September 2019 sampai Maret 2020.5
Sebagai agama yang komprehensif, Islam memiliki instrumen yang dapat membantu pemerintah dalam mengentas kemiskinan. Salah satunya adalah wakaf. Wakaf berpotensi mengentas kemiskinan secara sustainable apabila dikelola secara produktif. Selain itu, wakaf memiliki keunikan dibandingkan dengan jenis filantropi islam yang lain, yaitu terletak pada karakteristiknya yang abadi sehingga dapat 3 Ani Sri Ra ha yu, Penga nta r Kebija ka n Fiska l, (Ja ka rta : Bumi Aksa ra , 2010), hlm. 9
4 Ba da n Kebija ka n Fiska l, “Kemiskina n da n Ketimpa nga n Meningka t, Apa Pera n Kebija ka n Fiska l?” da la m www.fiska l.kemenkeu.go.id /ba ca /2020/07/24 dia kses 24 Oktober 2020
dimanfaatkan sampai kapanpun dan tidak terbatas penggunanya.6 Salah satu bukti potensi wakaf produktif ditunjukkan oleh studi Abdurrahman dalam Nailis Sa’adah bahwa universitas Al-Azhar mampu membiayai segala operasional pendidikannya seperti gaji dosen dan karyawan, dana penelitian, beasiswa akademik, sekolah dasar, lembaga riset serta perpustakaan karena memiliki aset wakaf yang banyak yang dikelola secara produktif.7
Tanah wakaf di Indonesia tersebar di 390.185 lokasi dengan akumulasi luas 52.246,33 hektar. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini pengelolaan harta wakaf masih cenderung bersifat konsumtif. Berdasarkan data Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia, tanah wakaf banyak digunakan untuk pembangunan masjid (44,18%), musholla (28,44%), sekolah (10,68%), makam (4,44%), pesantren (3,57%) dan sosial lainnya (8,69%).8 Sehingga potensi wakaf dalam rangka mengentas kemiskinan belum begitu dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Diagram
Penggunaan Tanah Wakaf di Indonesia
Sumber: Direktorat pemberdayaan zakat dan wakaf
Berangkat dari masalah di atas, perlu adanya upaya untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan asset wakaf berupa tanah agar lebih produktif. Oleh karena itu, penulis menawarkan konsep pemberdayaan dan pengoptimalan pengelolaan wakaf produktif di pedesaan melalui sebuah lembaga yang menjadi implementasi dari UU No. 6 tahun 2014 taentang Desa, yaitu Badan Usaha Milik 6 Isna na ini Ha ra hap dkk, Hadis-Hadis Ekonomi (Ja ka rta : Prena da Media Grup, 2015), hlm. 215. 7 Na lis Sa ’a da h da n Fa riq Wa hyudi, “Ma na jemen Wa ka f Produktif: Studi Ka sus Pa sa Ba itul Ma l di Kabupaten Kudus”, EQUILIBRIUM: Jurnal Ekonomi Syariah Volume 4, Nomor 2 (2016), hlm. 336.
8 Direktora t Pemberda ya a n Za ka t da n Wa ka f , Data tanah Wakaf, da la m siwa k.kemena g. go.id dia kses pa da ta ngga l 24 Oktober 2020
Desa (BUMDes) dengan mengambil judul “Model Optimalisasi Wakaf Produktif Melalui BUMDes dalam Mewujudkan Sustainable Development Goal’s (SDG’s) di Pedesaan”.
Metodologi Penulisan
Pendekatan yang penulis gunakan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran secara individual maupun kolektif. Sedangkan metode analisisnya adalah deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan analisis suatu hasil penelitian, tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Menurut Natzir, tujuan dari pendekatan kualitatif deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Dalam karya ilmiah ini, pendekatan kualitatif deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis konsep-konsep pengelolaan tanah wakaf secara produktif serta bagaimana hubungannya dengan Badan Usaha Milik Desa sebagai lembaga penggeraknya. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa catatan atau laporan baik yang terpublikasi maupun tidak terpublikasi9 dari situs-situs resmi pemerintah, buku, artikel dan lainya. Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan dalam karya tulis ilmiah ini adalah dengan studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari, mendalami, serta mengutip teori-teori dan konsep-konsep dari beberapa literatur terkait untuk kemudian disajikan dalam sebuah tulisan guna menggambarkan fenomena yang terjadi.
Pembahasan
Masalah-Masalah Pengelolaan Wakaf Di Indonesia
Sejak dahulu para fuqaha memberikan perhatian besar terhadap pengembangan harta wakaf agar manfaatnya tidak hanya bersifat konsumtif namun juga produktif sehingga potensi untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan umat dapat digalakkan melalui manajemen wakaf produktif. Seiring dengan berkembangnya perekonomian, kebutuhan masyarakat dalam hal transaksi ekonomi juga semakin bervariatif termasuk didalamnya masalah investasi yang melibatkan harta wakaf. Nota bene harta wakaf yang kurang produktif lebih disebabkan oleh pemahaman masyarakat terhadap fikih muamalah yang terlalu kaku sehingga pemanfaatan harta wakaf terjebak dalam satu aspek pengelolaan saja.
Untuk memberikan pemahaman tersebut, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan beberapa fatwa terkait pemanfaatan harta wakaf agar lebih produktif dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:10
1) Penukaran benda wakaf (istibdal al-waqf) diperbolehkan selama untuk mewujudkan kemaslahatan dalam mempertahankan dan menambah manfaat dari benda wakaf (istimrar baqai al-manfa’ah) dengan barang yang sama atau lebih baik. 2) Wakaf dalam bentuk benda dapat diubah menjadi uang dan sebaliknya dengan
ketentuan memiliki manfaat yang lebih besar dan situasi serta kondisi yang mengharuskan pengubahan tersebut.
9 Indria nto da n Ba mbang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. (Yogya ka rta : BPFE, 2002), ha l 147
10 Ma jelis Ula ma Indonesia , Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 (Ja ka rta : Erla ngga , 2011), hlm. 886-887.
3) Benda wakaf boleh dijual, dengan syarat menjaga niat awal wakif dan hasilnya digunakan untuk untuk membeli barang lain sebagai pengganti yang memiliki manfaat yang sama atau lebih baik.
4) Menfungsikan benda wakaf untuk tujuan lain diperbolehkan selama maslahatnya lebih besar
5) Nadzir harus memahami tugas pokok dan fungsinya serta memahami tatacara dan mekanisme investasi
Disisi lain, banyaknya tanah wakaf yang tidak diberdayakan secara produktif lebih sebabkan oleh tidak adanya dana untuk mengelola atau memberdayakannya. Pembiayaan menjadi penggerak utama dan syarat wajib yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar tanah wakaf dapat dikelola secara produktif.11 Hal ini merupakan tugas utama nadzir yang harus terlebih dahulu dipikirkan sebelum beralih pada manajemen pengelolaan tanah wakaf.
Menurut Mohammad Tsabit, pembiayaan terkait pengelolaan tanah wakaf dapat dilakukan oleh nadzir dengan melakukan kerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seperti Perbankan Syariah, Baitul Maal wa Tamwil dan semacamnya yang saat ini sudah menjamur atau dengan menggalang dana dari masyarakat umum (crowfunding) yang berupa wakaf uang, wakaf saham atau wakaf amal kolektif.12
Selain dari tidak adanya dana dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan wakaf produktif, Mutalib dan Mamoor juga menyebutkan bahwa kendala yang juga dihadapi terkait pengembangan aset wakaf adalah karena kemampuan nadzir yang kurang begitu paham terkait pengelolaan wakaf produktif. Menurut mereka, nadzir wakaf haruslah seorang yang ahli dan paham mengelola aset wakaf. Untuk itu, solusi yang mereka tawarkan dalam penelitiannya adalah nadzir harus diikutkan dalam sebuah pelatihan terkait manajemen pengelolaan aset wakaf dan pemerintah harus mendukung program tersebut dalam bentuk pemberian pembiayaan pelatihan sehingga nadzir-nadzir yang memiliki kesulitan dalam hal dana untuk belajar dapat teratasi melaui bantuan pemerintah tersebut.13
Pernyataan di atas selaras dengan penelitian A. Kasdi bahwa salah satu faktor tidak produktifnya aset wakaf karena nadzir adalah perseorangan yang tradisional. Dalam artian, mereka menjadikan profesi nadzir hanya sebagai pekerjaan sampingan dan mereka tidak diberi imbalan atas pekerjaan itu (84%). Sementara nadzir yang benar-benar fokus mengelola harta wakaf dan diberi imbalan atau upah sangatlah sedikit (16%).14 Dengan demikian, harta wakaf yang kebanyakan adalah benda statis tersebut dikelola oleh nadzir yang tradisional atau dapat pula dikatakan tidak profesional.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam pengelolaan wakaf adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman masyarakat, khususnya wakif yang masih kaku terhadap penerapan fikih muamalah terkait pengelolaan wakaf.
2. Kurangnya pendanaan atau pembiayaan dalam pengelolaan harta wakaf.
11 Ahma d Furqon, “Model-Model Pembia ya a n Wa ka f Ta na h Produktif”. Jurnal Economica:
Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam. Volume V. Edisi 1 (Mei, 2014), hlm. 2
12 Moha mma d, Moha mma d Ta hir Tsa bit Ha ji, “Alterna tive Development fina ncing Instruments for Wa qf Properties” Malaysian Journal of Real Estate, Volume 4 . No. 2. ( 2009), ha l.54
13 Ha syeilla Abd Muta lib da n Sela ma h Ma a mor, “Utiliza tion of Wa qf Property: Ana lyzing a n Institutiona l Mutawalli Cha llenges in Ma na gement Pra ctices”. International Journal of Economics and Financial Issues. Vol 6. Special Issue (S7). 2016, hlm. 40.
14 Abdurra hma n Ka sdi, “Pera n Na dzir da la m Pengemba nga n Wa ka f”, Jurnal Zakat dan Wakaf
3. Harta wakaf banyak dikelola oleh nadzir perseorangan yang tradisional atau tidak profesional.
Model Optimalisasi Wakaf Produktif Melalui BUMDes
Model SDG’s dalam karya ilmiah ini merupakan sebuah inovasi model pemberdayaan masyarakat yang sebagai pengembangan dari apa telah dirancang oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU No. 6 tahun 2014 yang berbentuk BUMDes.15 Sebagai upaya optimalisasi pengelolaan BUMDes, maka penulis memberikan model inovatif dengan memanfaatkan instrumen fiskal Islam, yaitu wakaf yang dikelola secara produktif. Model ini membutuhkan peran dari berbagai stakeholders yang terintegrasi dalam BUMDes, sebagai berikut:
Gambar
Alur Konsep Optimalisasi Pemberdayaan Tanah Wakaf
Pemerintah Desa sebagai institusi otoritatif dalam menentukan keputusan dan arah kebijakan terkait pengelolaan potensi desa melalui BUMDes. Sebagaimana tertera dalam UU nomor 6 tahun 2014 bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa bersama perangkat desa yang lain yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan desa.16 PemDes juga berperan sebagai salah satu sumber dana BUMDes yang diambil dari alokasi Dana Desa (DD) yang memang dialokasikan untuk aspek pemberdayaan. Keberadaannya juga berperan sebagai pihak yang memberikan akses koordinasi dengan pemerintah kabupaten.
Nadzir sebagai pihak yang telah dipercaya oleh wakif untuk menjaga dan mengelola harta wakafnya. Harta wakaf tersebar lebih banyak di daerah pedesaan (59%) sedangkan sisanya (41%) di daerah perkotaan.17 Nadzir di pedesaan biasanya menerima harta wakaf dalam bentuk tanah, sehingga kontribusi nadzir terhadap BUMDes adalah berupa aset tetap, yakni tanah wakaf yang dapat dijadikan lahan usaha BUMDes seperti untuk peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian dan sebagainya sesuai dengan potensi desa dan keahlian masyarakat desa.
15 Anom Surya Putra , Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa (Ja ka rta : Kementerian Desa , Pemba nguna n Da era h Tertingga l, Tra nsmigra si RI, 2015), hlm. 8.
16 Sa lina n Unda ng-Unda ng Republik Indonesia Nomor 6 Ta hun 2014 tenta ng Desa , da la m www.dpr.go.id/UU_2014_6 dia kses 24 Oktober 2020
17 Abdurra hma n Ka sdi… hlm. 214
Nadzir
PemDes BWI
Community
Net Analysis PemKab
Masyarakat Desa
BUMDes
Riset & eduka si Koordina si
Objek Pemberda ya an
Sumber Moda l Sumber Moda l
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen yang bertugas mengembangkan perwakafan di Indonesia18. Dalam hal ini BWI berperan sebagai salah satu sumber dana dan tambahan permodalan BUMDes guna mengembangkan usaha yang diambil dari wakaf uang.
Pemerintah Kabupaten sebagai pihak yang memfasilitasi sekaligus sebagai jalur koordinasi dari Pemerintah Desa yang dapat membantu kelancaran usaha dari aspek legalitas dan semacamnya.
Masyarakat Desa sebagai objek utama pemberdayaan memiliki peran yang sangat penting sebab dengan terintegrasinya masyarakat secara kolektif dalam BUMDes dapat menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun desa sehigga perekonomian masyarakat desa menjadi semakin kuat. Dengan adanya spirit usaha dari masyarakat desa, maka upaya untuk mewujudkan Sustainable Development Goal’s akan tercapai.
Community Net Analysis (CNA) sebagai elemen yang melakukan riset (researcher) atau penelitian untuk mengetahui secara komprehensif faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian masyarakat, baik faktor pendukung maupun faktor penghambat guna terus meningkatkan kualitas output dan pengelolaan BUMDes. CNA terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi Syariah. Selain melakukan riset CNA juga bertugas untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait wakaf produktif sehingga mindset awal tentang wakaf yang hanya berupa tanah dan bangunan dapat berubah.
Model optimalisasi di atas adalah untuk mensinergikan pengelolaan antara asset wakaf yang statis di pedesaan yang berupa tanah dan asset wakaf dinamis yang berupa uang. Tanah wakaf yang dimaksud dalam karya ilmiah ini adalah tanah yang belum dimanfaatkan sama sekali sehingga untuk tanah wakaf yang sudah dijadikan sebagai tempat pembangunan masjid, musholla, kuburan dan lainnya tidak termasuk kedalam kategori tanah wakaf yang dimaksud.
Adapun langkah-langkah praktis dan aplikatif yang harus dilakukan berdasarkan gambar diatas adalah sebagai berikut:
Pada tahap pertama, BUMDes bekerjasama dengan Pemerintah Desa untuk mendata jumlah wakif, nadzir dan asset wakaf yang ada di desa tersebut. Wakif yang dimaksud dapat dari wakif asli (orang yang mewakafkan hartanya pertama kali) maupun keturunan dari wakif tersebut (apabila wakif asli sudah meninggal dunia). Sedangkan nadzir di pedesaan biasanya adalah tokoh masyarakat, ulama, kyai, dan ustad dan bukan berupa Lembaga resmi dari pemerintah seperti BWI. Asset wakaf yang terdapat di pedesaan biasanya berupa tanah. Jarang sekali orang yang mewakafkan harta benda yang dinamis seperti uang, kendaraan dan lainnya.
Pada tahap kedua, setelah BUMDes dan PemDes mengetahui data wakif dan nadzir, keduanya dikumpulkan dalam sebuah forum diskusi untuk mensosialisasikan terkait wakaf produktif. Forum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada nadzir maupun wakif serta mengubah mindset mereka bahwa harta wakaf tidak hanya benda statis seperti bangunan, tanah dan lainnya, namun juga dapat berupa benda dinamis, seperti uang, kendaraan dan semacamnya. Hal ini dilakukan mengingat salah satu masalah yang terdapat dalam pengelolaan wakaf produktif adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang wakaf dapat dikelola secara produktif untuk menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, masyarakat desa membutuhkan edukasi dan sosialisasi terkait wakaf produktif. Upaya ini dilakukan oleh BUMDes dengan 18 Ba da n Wa ka f Indonesia , Profil Badan Wakaf Indonesia da la m di bwi.or.id pa da ta ngga l 23 Oktober 2020
bekerjasama dengan pihak yang memang sudah mumpuni dalam bidangnya seperti BWI dan CNA yang terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi syariah.
Pada tahap ketiga, BUMDes mengoptimalkan permodalannya dengan memperoleh kontribusi modal usaha dari PemDes, nadzir dan BWI. PemDes berkontribusi dengan menggunakan alokasi Dana Desa (DD). Sedangkan nadzir berkontribusi melalui tanah wakaf yang diamanahkan kepadanya serta BWI berkontribusi melalui wakaf uang yang terkumpul dari wakif di seluruh Indonesia.
Pada tahap keempat, BUMDes bersama dengan masyarakat desa menggunakan akumulasi dari kontribusi-kontribusi di atas untuk dijadikan modal usaha, baik usaha dilakukan oleh BUMDes bersama masyarakat maupun usaha dilakukan oleh masyarakat sendiri yang membutuhkan pembiayaan usaha. Usaha yang dilakukan disesuaikan dengan potensi tanah wakaf maupun potensi keahlian dari masyarakat desa terkait. Untuk membantu dalam kelancaran pengelolaan usaha oleh masyarakat, BUMDes bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten untuk menfasilitasi dari aspek legalitas usaha dan lainnya.
Pada tahap terakhir, BUMDes bekerjasama dengan CNA untuk mengevaluasi usaha sehingga dapat diketahui apa saja yang perlu ditingkatkan dari usaha yang dilakukan maupun kendala apa saja yang dihadapi agar dapat dilakukan langkah preventif minimalisasi risiko usaha. Dengan demikian, usaha yang dilakukan akan terus diupayakan untuk mencapai peningkatan, pencapaian dan prestasi yang diharapkan.
Potensi BUMDes sebagai Penggerak Pengelolaan Wakaf Produktif
Dengan adanya sinergitas dari beberapa pihak seperti nadzir, pemerintah desa dan kabupaten, BUMDes serta masyarakat desa sebagai objek pemberdayaan, sangat memungkinkan terjadinya optimalisasi pemberdayaan wakaf produktif untuk memajukan perekonomian suatu desa. Dengan adanya kolaborasi dari beberapa stakeholders diatas, akses menjadi lebih mudah terkait izin operasional, permodalan, tenaga dan untuk mencapai
Dalam pengelolaannya, BUMDes menerapkan sistem swakelola dimana semua pihak yang terlibat dalam usaha menggunakan tenaga dan keahlian masyarakat desa sendiri. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi jumlah pengangguran dalam lingkup desa tersebut sehingga angka kemiskinan lambat laun akan semakin berkurang. Selain itu, adanya pembiayaan yang dilakukan BUMDes akan merangsang iklim usaha di pedesaan sehingga terbukanya lapangan usaha tidak hanya dilakukan oleh BUMDes melainkan juga dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Selain itu, BUMDes juga memberikan program edukasi berupa pelatihan keterampilan dan pembinaan utamanya para pemuda sehingga proses kaderisasi akan terus berlanjut (sustainable) dan kualitas Sumber Daya Insani (SDI) akan semakin meningkat guna menghasilkan output lokal yang berdaya saing global.
Kesimpulan
Angka kemiskinan di pedesaan yang lebih tinggi dibandingkan di perkotaan tentunya membutuhkan perhatian dan penanganan yang lebih oleh pemerintah. Konsep optimalisasi kinerja BUMDes melalui wakaf produktif dapat membantu pemerintah dalam upaya tersebut. Untuk mewujudkannya dibutuhkan partisipasi aktif dari beberapa pihak diantaranya adalah Pemerintah Desa, Pemerintah Kabuaten, Nadzir, Badan Wakaf Indonesia, Community Net Analysis, dan Masyarakat Desa sebagai objek dan pelaku utama pemberdayaan ekonomi pedesaan. Sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan dapat direduksi. Selain itu, untuk menjaga keberlangsungan program pemberdayaan ini, BUMDes juga memberikan pelatihan
keterampilan dan pembinaan utamanya pada generasi muda guna meningkatkan kualitas SDI yang akan menghasilkan output lokal dengan daya saing global sehingga Sustainable Development Goal’s akan terwujud.
Daftar Pustaka
Badan Kebijakan Fiskal, “Kemiskinan dan Ketimpangan Meningkat, Apa Peran Kebijakan Fiskal?” dalam www.fiskal.kemenkeu.go.id /baca/2020/07/24 diakses 24 Oktober 2020
Badan Pusat Statistik, Persentase Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, diakses di www.bps.go.id pada tanggal 24 Oktober 2020
Badan Pusat Statistik, Profik Kemiskinan di Indonesia Maret 2020 No.
56/07/XXIII, 15 juli 2020, dalam www.bps.go.id
/pressrelease/2020/07/15/1744/persentase-penduduk-miskin-maret-2020 diakse pada 24 Oktober 2020
Badan Wakaf Indonesia, Profil Badan Wakaf Indonesia dalam di bwi.or.id pada tanggal 23 Oktober 2020
Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Data tanah Wakaf, dalam siwak.kemenag. go.id diakses pada tanggal 24 Oktober 2020
Furqon, Ahmad. “Model-Model Pembiayaan Wakaf Tanah Produktif”. Jurnal Economica: Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam. Volume V. Edisi 1 (Mei, 2014). Harahap, Isnanaini dkk. Hadis-Hadis Ekonomi. Jakarta: Prenada Media Grup. 2015. Indrianto, Bambang Supomo. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan
Manajemen. Yogyakarta: BPFE. 2002.
Kasdi, Abdurrahman. “Peran Nadzir dalam Pengembangan Wakaf”, Jurnal Zakat dan Wakaf (ZISWAF), Vol. 1, No. 2, (Desember, 2014).
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga. 2011.
Mohammad, Mohammad Tahir Tsabit Haji. “Alternative Development financing Instruments for Waqf Properties” Malaysian Journal of Real Estate, Volume 4. No. 2. ( 2009).
Mutalib, Hasyeilla Abd dan Selamah Maamor. “Utilization of Waqf Property: Analyzing an Institutional Mutawalli Challenges in Management Practices”. International Journal of Economics and Financial Issues. Vol 6. Special Issue (S7). 2016.
Putra, Anom Surya. Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi RI. 2015.
Rahayu, Ani Sri. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam www.dpr.go.id/UU_2014_6 diakses 24 Oktober 2020
Wahyudi, Nalis Sa’adah dan Fariq. “Manajemen Wakaf Produktif: Studi Kasus Pasa Baitul Mal di Kabupaten Kudus”, EQUILIBRIUM: Jurnal Ekonomi Syariah Volume 4, Nomor 2 (2016).