9 BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Keagenan
Teori keagenan menjelaskan tentang pemisahan kepentingan atau pemisahan pengelolaan perusahaan. Pemilik (principal) melimpahkan wewenang pengelolaan perusahaan kepada manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa pemisahan kepemilikan atau pengelolaan antara principal dan agent bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pemilik perusahaan (principal) karena perusahaan dikelola oleh tenaga profesional (manajemen). Pemisahan pengelolaan perusahaan tersebut menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan terdiri dari 3 jenis, yaitu (1) biaya yang terkait dengan fungsi pemantauan terhadap agen atau monitoring cost, (2) biaya untuk menjamin bahwa agen akan bertindak sesuai dengan keinginan pemilik atau bonding cost, dan (3) berkurangnya kesejahteraan pemilik sebagai dampak dari perbedaan kebijakan antara pemilik dan manajemen atau residual loss.
Pemisahan pengelolaan tersebut berpotensi memunculkan masalah. Salah satunya adalah adanya kemungkinan manajemen bertindak oportunis sehingga tidak sesuai dengan keinginan atau kepentingan pemilik. Manajemen perusahaan dalam kenyataannya cenderung mementingkan kesejahteraannya sendiri. Manajemen cenderung bertindak oportunis dengan
10
melakukan manipulasi laba untuk menunjukkan prestasinya dalam meningkatkan laba perusahaan.
Selain itu, kebijakan pajak dalam rangka menghindari pajak dan kebijakan lainnya yang mengarah pada earning management tentu menyimpang dari kebijakan pemilik dalam mencapai tujuan perusahaan. Hal tersebut menimbulkan residual loss yang berdampak pada berkurangnya kesejahteraan pemilik. Langkah yang diambil manajemen tersebut dalam jangka panjang jelas akan merugikan pemilik, perusahaan bahkan negara.
Potensi dilakukannya penyimpangan oleh manajemen dapat dicegah melalui monitoring terhadap kinerja manajemen. Penerapan good corporate governance merupakan langkah dalam mengawasi manajemen perusahaan. Good corporate governance juga bertujuan untuk menjamin aset pemegang saham. Hal tersebut sejalan dengan Nasution dan Setiawan (2007) yang menyatakan bahwa corporate governance merupakan konsep yang bertujuan untuk menjamin pemegang saham mengenai akuntabilitas manajemen melalui fungsi supervisi dan pengawasan kinerja manajemen berdasarkan kerangka peraturan.
2.1.2. Corporate Governance
Corporate governance merupakan sarana untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara efisien. Corporate governance menjadi isu yang sangat penting dikalangan principal, organisasi-organisasi, konsultan suatu perusahaan, dan regulator (pemerintahan) karena berbagai fenomena yang terjadi. Saat ini, corporate governance telah berkembang menjadi suatu
11
prinsip yang berlaku secara internasional. Penerapan prinsip good corporate governance dapat mencegah terjadinya bentuk kecurangan dan penyimpangan yang dapat merugikan emegang saham.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menyebut good corporate governance sebagai salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Praktik corporate governance di Indonesia diatur dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG. Good Corporate Governance menurut KNKG harus meliputi 5 (lima) asas, yaitu transparansi (transparency), independensi (independency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), kewajaran dan kesetaraan (fairness).
Pemerintah menjadikan penerapan peraturan corporate governance sebagai alat untuk mengatasi kecurangan yang merugikan negara. Selain itu, penerapan good corporate governance juga digunakan sebagai penjamin aset yang dimiliki pemegang saham serta menjaga karakter relevance dan faithful representation dari informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
2.1.2.1. Dewan Komisaris
Dewan komisaris memiliki peran sebagai supervisor atau melakukan pengawasan (monitoring) terhadap kinerja dewan direksi atau manajemen. Dewan komisaris dan dewan direksi bertanggung jawab serta menjadi otoritas dalam pengambilan keputusan atau menetapkan kebijakan berkaitan dengan tujuan perusahaan. Dewan komisaris memiliki otoritas dan posisi lebih tinggi daripada dewan direksi, Namun, dewan komisaris memiliki kelemahan yaitu hanya sedikit mengetahui informasi tentang situasi dan kondisi perusahaan
12
dibandingkan dewan direksi. Oleh karena itu, dewan komisaris harus mengawasi kinerja dewan direksi.
Fama dan Jensen (1983) mengatakan bahwa dewan komisaris merupakan elemen vital dalam menerapkan corporate governance yang bertujuan untuk melindungi dan mengawasi aset pemegang saham yang diberikan kepada perusahaan. Selain itu, tidak ada mekanisme pengawasan kinerja manajemen yang lebih efektif daripada pengawasan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan atau pemegang saham.
2.1.2.2. Komisaris Independen
Dewan komisaris independen di Indonesia diatur melalui Ketentuan Peraturan Bapepam No. I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat ekuitas dan Pedoman Umum Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG. Jumlah dewan komisaris independen minimal adalah 30%. Aturan tersebut berpengaruh terhadap pengendalian dan pengawasan kinerja manajemen dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan. Komisaris independen mampu mencegah manajemen melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan yang dapat memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan perusahaan.
Klein (2002) menyatakan bahwa dewan yang independen yang berasal dari luar perusahaan mampu manjadi alat pengawasan yang lebih efektif. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang saham. Nugroho dan Eko (2011)
13
menyatakan bahwa komisaris independen harus memiliki kontribusi terhadap corporate governance.
2.1.2.3. Komite Audit
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dan bertanggung jawab langsung kepada dewan komisaris dengan tugas melakukan pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Selain itu, menurut Trisnawati (2009) komite audit adalah penghubung antara manajemen perusahaan, dewan komisaris dan pemegang saham dalam menangani masalah pengendalian dalam perusahaan.
Komite audit memiliki tugas khusus dan dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh dewan komisaris. Kusumaning (2004) menyebutkan bahwa keberadaan komite audit diharapkan mampu segera mengatasi permasalahan perusahaan yang signifikan atau penting karena komite audit memiliki tugas untuk mengatasi masalah-masalah perusahaan yang membutuhkan integrasi dan koordinasi. Komite audit memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap laporan keuangan, audit eksternal maupun internal dan sistem pengendalian internal.
2.1.2.4. Kepemilikan manajerial
Kepemilikan saham manajerial yang tinggi akan mendorong manajemen melakukan fungsinya dengan baik, karena hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham dan untuk
14
kepentingannya sendiri sebagai pemegang saham. Secara teoritis, rendahnya kepemilikan manajerial berdampak pada meningkatnya cost untuk melakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya perilaku opportunistik manajer. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial yang meningkat menyebabkan manajer perusahaan memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemegang saham.
Kepemilikan manajerial diukur dengan perbandingan antara porsi saham biasa yang dimiliki oleh pihak manajemen dengan jumlah lembar saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Menurut Putri dan Nasir (2006), kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan saham oleh manajer terhadap total saham yang beredar. Iturriaga dan Sanz (2000) berpendapat bahwa struktur kepemilikan manajerial dapat menjadi alat untuk mengurangi konflik keagenan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik (pemegang saham) dan sebagai cara untuk mengurangi konflik kepentingan.
Meningkatnya kepemilikan saham manajerial akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga mendorong manajer untuk meningkatkan nilai perusahaan. Selain itu, konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham berkurang karena resiko bisnis perusahaan bukan hanya menjadi tanggungan pemilik utama, namun manajer juga akan ikut menanggungnya.
2.1.3. Tax Avoidance
Tax avoidance adalah usaha menghindari pajak yang dilakukan dengan cara yang legal atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang
15
ada. Menurut Prakosa (2014) Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu a) Memindahkan subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara-negara yang memberikan perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven country) atas suatu jenis penghasilan (substantive tax planning). b) Usaha penghindaran pajak dengan mempertahankan substansi ekonomi dari transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak yang paling rendah (formal tax planning). c) Ketentuan Anti Avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan controlled foreign corporation (Specific Anti Avoidance Rule), serta transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (General Anti Avoidance Rule).
Uppal (2005) menjelaskan bahwa tax avoidance yang sering dilakukan di negara berkembang adalah melaporkan pendapatan kena pajak menjadi lebih rendah sehingga tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Penghindaran pajak berdampak pada anggaran negara karena pajak merupakan pemasukkan terbesar bagi negara. Dampak tersebut disebabkan oleh menyempitnya basis pajak sehingga potensi pendapatan pajak menurun.
2.1.4. Earning Management
Manajemen laba adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk menaikan atau menurunkan laba periode berjalan yang didasari oleh kepentingan pribadi ataupun kepentingan tertentu perusahaan. Nuryaman (2008) menjelaskan bahwa manajemen laba merupakan intervensi oleh kepentingan manajemen perusahaan dalam proses penyusunan laporan keuangan. Widyaningdyah (2001) menyebut manajemen
16
laba sebagai tindakan mengubah pelaporan laba oleh manajer dengan cara meningkatkan atau mengurangi laba tanpa adanya peningkatan ataupun penurunan manfaat ekonomi jangka panjang.
Rahman, Moniruzzaman dan Sharif (2013) membagi motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba menjadi 3 (tiga). Motivasi manajemen laba tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bonus Plan Hypothesis
Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa bonus yang dijanjikan kepada manajer perusahaan menjadi memotivasi manajer melakukan kecurangan. Manajer melakukan kecurangan dengan cara memanipulasi laporan keuangan dengan tujuan seolah-olah kinerja manajemen meningkat sehingga mendapatkan bonus yang dijanjikan.
b.Debt (Equity) Hypothesis
Debt (equity) hypothesis menyatakan bahwa perusahaan dengan rasio Debt to equity yang lebih besar cenderung memilih metode akuntansi yang memberikan laba lebih tinggi. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi perusahaan. Selain itu, tindakan tersebut dilakukan supaya perusahaan lebih mudah dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur.
a. Political Costs
Political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahan memiliki kecenderungan untuk memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi tertentu dengan tujuan membuat laba lebih rendah dari seharusnya. Tindakan tersebut dilakukan untuk meminimalkan beban pajak.
17 2.2. Pengembangan Hipotesis
2.2.1. Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Earning Management
Good Corporate governance memiliki berbagai komponen yang digunakan untuk memberikan pengawasan terhadap kinerja manajemen sehingga mengurangi resiko dilakukannya earning management. Ukuran dewan komisaris menjadi salah satu komponen yang berpengaruh. Menurut KNKG, dewan komisaris merupakan pemegang kendali sistem pengelolaan internal sebuah perusahaan yang berperan menjalankan aktivitas pengawasan. Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki peran penting dalam efektivitas proses monitoring kinerja manajemen. Keberadaan dewan komisaris diharapkan mampu membatasi celah yang dapat digunakan manajemen untuk melakukan kecurangan.
H1: Ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap earning management.
2.2.2. Pengaruh Komisaris Independen terhadap Earning Management Selain dewan komisaris, keberadaan komisaris independen juga merupakan elemen penting dalam proses monitoring atau pengewasan terhadap kinerja manajemen. Nasution dan Setiawan (2007) mengemukakan bahwa semakin banyak komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan semakin berkualitas karena adanya pihak independen dalam perusahaan yang akan lebih menuntut transparansi pelaporan keuangan perusahaan. Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan
18
keefektifan pengawasan terhadap kualitas pelaporan keuangan sehingga praktik earning management di perusahaan dapat ditekan.
H2: Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap earning management.
2.2.3. Pengaruh Komite Audit terhadap Earning Management
Dewan komisaris independen masih tergolong terlalu kecil untuk melakukan pengawasan terkait pihak internal saja, namun pihak eksternal juga termasuk. Oleh karena itu, keberadaan komite audit akan lebih membantu kerja dewan komisaris. Kusumaning (2004) menyatakan bahwa komite audit bertugas untuk mengatasi masalah-masalah perusahaan yang membutuhkan integrasi dan koordinasi.
KNKG menerangkan bahwa komite audit bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap laporan keuangan, audit internal dan eksternal, serta memastikan sistem pengendalian internal berjalan dengan baik. Pengawasan yang dilakukan komite audit pada laporan keuangan adalah menjamin laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum (PABU). Keberadaan komite audit diharapkan mampu memperketat pengawasan sehingga memperkecil peluang terjadinya penyimpangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dirumuskan hipotesis berikut.
H3: Komite audit berpengaruh negatif terhadap earning management.
2.2.4. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Earning Management Monitoring kinerja yang dilakukan oleh dewan komisaris yang di dalamnya terdapat komisaris independen dan dibantu oleh komite audit dapat
19
berdampak positif pada perusahaan. Selain hal tersebut, dalam melakukan monitoring kinerja terdapat beberapa opsi dan salah satunya adalah pemberian saham kepada pihak manajemen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial yang meningkat menyebabkan manajer perusahaan memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemegang saham.
Kepemilikan saham oleh pihak manajemen mampu mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham karena resiko bisnis perusahaan bukan hanya menjadi tanggungan pemilik utama, namun manajer juga akan ikut menanggungnya. Manajemen perusahaan akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan akuntansi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dirumuskan hipotesis berikut.
H4: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap earning management.
2.2.5. Pengaruh Tax Avoidance terhadap Earning Management
Pajak menjadi beban bagi perusahaan. Hardika (2007) menyatakan bahwa perusahaan menganggap pajak sebagai beban yang akan mengurangi laba bersih. Oleh karenanya, manajemen termotivasi melakukan berbagai cara untuk menurunkan beban pajak. Namun, manajemen lebih memilih cara yang aman dalam melakukannya. Tax avoidance merupakan cara aman untuk menghindari pajak karena tidak dilarang oleh regulasi (legal) dan memiliki pengaruh besar pada laba bersih yang dihasilkan (Prakosa, 2014).
Rahman, Moniruzzaman dan Sharif (2013) salah satu motivasi dari earning management adalah meminimalkan pajak. Penelitian Wang dan Chen
20 H1(-) H2(-) H3(-) H4(-) H5(+)
(2012) membuktikan adanya hubungan positif antara earning management dan tax avoidance. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dirumuskan hipotesis berikut. H5: Tax Avoidance berpengaruh positif terhadap earning management.
2.3. Kerangka Teoritis
Gambar 2.1
Kerangka Teoritis Hubungan Antar Variabel
Corporate Governance 1. Ukuran Dewan Komisaris 2. Komisaris Independen 3. Komite Audit 4. Kepemilikan manajerial Tax Avoidance Earning management Variabel Independen Variabel dependen