6
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian
Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian (Sumber: www.maps.google.com , 2014)
Batas utara : Jl. Prof. Dr. Supomo Batas selatan : Jl. Raya Pasar Minggu
Batas timur : Jl. Letnan Jendral M.T. Haryono Batas barat : Jl. Jendral Gatot Subroto
2.2 Transportasi
Secara umum, definisi transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin (Nasution, 2004). Transportasi dapat dikatakan
sebagai sebuah kebutuhan turunan, karena transportasi timbul disebabkan adanya maksud atau tujuan yang ingin dicapai melalui transportasi.Misalnya pengiriman barang, berpergian, bekerja dan lain-lain.Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan antara asal dan tujuan.Perjalanan dilakukan melalui suatu lintasan tertentu yang menghubungkan asal dan tujuan, menggunakan alat angkut atau kedaraan dengan kecepatan tertentu.
2.3 Persimpangan
Persimpangan adalah titik pada jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan-lintasan kendaraan saling berpotongan. Persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah pemukiman. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu permasalahan lalu lintas yang biasa terjadi di persimpangan, antara lain:
1. Volume dan kapasitas, dimana secara langsung mempengaruhi hambatan 2. Desain geometrik, dan kebebasan pandangan
3. Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, dan lampu jalan 4. Parkir, akses dan pembangunan yang sifatnya aman
5. Pejalan kaki
6. Jarak antar persimpangan 2.4 Jenis Persimpangan
Lalu lintas yang bergerak pada persimpangan dapat dikendalikan dengan berbagai cara pengendalian. Pengendalian tersebut mengikuti urutan hirarki tertentu sesuai dengan jenis-jenis jalan yang saling berpotongan dan besarnya arus lalu lintas yang memasuki persimpangan. Hirarki ini dibagi atas 4 bagian besar, yaitu:
1. Persimpangan sebidang (at grade)
Persimpangan sebidang merupakan persimpangan yang kaki-kakinya berpotongan pada satu bidang datar, sehingga memungkinkan terjadinya konflik antar satu arus dengan arus yang lain yang berpotongan. Jenis sistem pengendaliannya meliputi:
a. Jenis tanpa pengaturan lalu lintas (uncontrolled) b. Jenis pengaturan berhenti atau prioritas (stop)
d. Jenis pengaturan dengan bundaran lalu lintas (
2. Persimpangan tidak
Persimpangan tidak sebidang merupakan persimpangan yang kaki
tidak berpotongan satu sama lain, melainkan saling bersilangan dengan ketinggian yang berbeda antara satu kaki dengan kaki lainnya.
3. Persimpangan tanpa pengaturan
Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan pada pertemuan jalan
masing kakinya kecil sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan dengan send tidakmemerlukan suatu pengendalian terhadap arus lalu lintas yang bergerak di persimpangan tersebut.
4. Persimpangan prioritas
Metode pengendalian terhadap pergerakan
persimpangan sangat diperlukan, dengan maksud agar kendaraa
melakukan pergerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep utama dalam sistem prioritas merupakan suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Sistem pengendalian ini mempunyai prinsip prinsip tertentu, yaitu:
Jenis pengaturan dengan bundaran lalu lintas (roundabout
Gambar 2.2 Jenis Persimpangan Sebidang Sumber: Morlok, E.K. (1991)
Persimpangan tidak sebidang (grade separate)
Persimpangan tidak sebidang merupakan persimpangan yang kaki
tidak berpotongan satu sama lain, melainkan saling bersilangan dengan ketinggian yang berbeda antara satu kaki dengan kaki lainnya.
Persimpangan tanpa pengaturan lalu lintas (uncontrolled)
Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan pada pertemuan jalan-jalan lokal perumahan yang arus lalu lintasnya pada masing masing kakinya kecil sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan dengan send tidakmemerlukan suatu pengendalian terhadap arus lalu lintas yang bergerak di persimpangan tersebut.
Persimpangan prioritas
Metode pengendalian terhadap pergerakan-pergerakan kendaraan pada persimpangan sangat diperlukan, dengan maksud agar kendaraa
melakukan pergerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep utama dalam sistem prioritas merupakan suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Sistem pengendalian ini mempunyai prinsip prinsip tertentu, yaitu:
roundabout)
Persimpangan tidak sebidang merupakan persimpangan yang kaki-kakinya tidak berpotongan satu sama lain, melainkan saling bersilangan dengan ketinggian
Persimpangan yang tidak dikendalikan ini umumnya hanya dapat digunakan jalan lokal perumahan yang arus lalu lintasnya pada masing-masing kakinya kecil sehingga konflik yang terjadi juga kecil dan dengan sendirinya tidakmemerlukan suatu pengendalian terhadap arus lalu lintas yang bergerak di
pergerakan kendaraan pada persimpangan sangat diperlukan, dengan maksud agar kendaraan-kendaraan yang melakukan pergerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep utama dalam sistem prioritas merupakan suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Sistem pengendalian ini mempunyai
prinsip-a. Aturan-aturan prioritas harus secara jelas dimengerti oleh semua pengemudi
b. Prioritas harus terbagi dengan baik, sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk bergerak
c. Prioritas harus terorganisasi, sehingga titik-titik konflik dapat teratasi dan diperkecil
d. Keputusan-keputusan yang dilakukan oleh pengemudi harus dijaga agar sesederhana mungkin
e. Jumlah total hambatan-hambatan terhadap lalu lintas harus diperkecil 2.5 Geometrik Persimpangan
Geometrik persimpangan merupakan dimensi yang nyata dari suatu persimpangan. Oleh karena itu, perlu di ketahui beberapa defenisi berikut ini :
1. Approach (kaki persimpangan), yaitu daerah pada persimpangan yang digunakan untuk antrian kendaraan sebelum menyeberangi garis henti.
2. Approach width (WA), yaitu lebar pendekat atau lebar kaki persimpangan.
3. Entry Width(Qentry), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang digunakan untuk memasuki persimpangan, diukur pada garis perhentian.
4. Exit width(Wexit), yaitu lebar bagian jalan pada bagian pendekat yang digunakan kendaraan untuk keluar dari persimpangan.
5. Width Left Turn On Red (WLTOR), yaitu lebar bagian pendekat yang digunakan kendaraan untuk belok kiri pada saat lampu merah.
Gambar 2.3 Sumber: 6. Effective approach width
dijelaskan dalam gambar berikut : a. Untuk pendekat
Gambar 2.
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
3 Geometrik Persimpangan dengan Lampu Lalu Lintas umber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Effective approach width (We), yaitu lebar efektif kaki persimpangan yang
dijelaskan dalam gambar berikut : (MKJI 1997) pendekattipe O dan P
Gambar 2.4 Lebar Efektif Kaki Persimpangan Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
engan Lampu Lalu Lintas Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
yaitu lebar efektif kaki persimpangan yang
Jika WLTOR > 2 m, maka : We = WA – WLTOR, atau
We = Wentry (digunakan nilai terkecil)
Jika WLTOR < 2 m, maka : We = WA, atau
We = Wentry(digunakan nilai terkecil)
b. Kontrol untuk approach tipe P
Wexit = Wentry (1 – PRT – PLT – PLTOR) Dimana :
PRT = Rasio volume kendaraan belok kanan terhadap volume total PLT = Rasio volume kendaraan belok kiri terhadap voluume total PLTOR = Rasio volume kendaraan belok kiri langsung terhadap volumetotal
2.6 Lampu Pengaturan Lalu Lintas
Lampu pengaturan lalu lintas merupakan alat sederhana yang berfungsi untuk mengatur para pengemudi untuk berhenti atau berjalan.Alat ini memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara berurutan (bergantian) dalam suatu periode waktu. Terdiri dari tiga buah lampu, yaitu merah, kuning, dan hijau (dengan waktu-waktu yang tepat dialokasikan kepada masing-masing pergerakan lalu lintas).
Menurut UU no. 22/2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan: Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas atau APILL, lampu lalu lintas adalah lampu yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan, tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas lainnya.
Berdasarkan cakupannya, jenis lampu lalu lintas dibedakan menjadi : 1. Lampu lalu lintas terpisah
2. Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya didasarkan pada suatu tempat persimpangan saja tanpa mempertimbangkan persimpangan lain.
3. Lampu lalu lintas terkoordinasi
4. Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya mempertimbangakan beberapa persimpangan yang terdapat pada arah tertentu.
6. Pengoperasian lampu lalu lintas yang pemasangannya mempertimbangkan beberapa persimpangan yang terdapat dalam suatu jaringan yang masih dalam satu kawasan.
Beberapa istilah yang digunakan dalam operasional lampu persimpangan bersinyal (Liliani, 2002)) :
1. Siklus
Merupakan urutan lengkap suatu lampu lalu lintas. 2. Fase (phase)
Pengaturan pemisahan arus lalu lintas Waktu Hijau EfektifPeriode waktu hijau yang dimanfaatkan pergerakan pada fase yang bersangkutan.
3. Waktu Antar Hijau
Waktu antara lampu hijau untuk satu fase, dengan awal lampu hijau untuk fase lainnya.
4. Rasio Hijau
Adalah perbandingan antara waktu hijau efektif dan panjang siklus. 5. Merah Efektif
Waktu selama suatu pergerakan atau sekelompok pergerakan secara efektif, tidak diijinkan bergerak. Dihitung sebagai panajng siklus dikurangi waktu hijau efektif.
6. Lost Time
Waktu hilang dalam suatu fase karena keterlambatan start kendaraan dan berakhirnya tingkat pelepasan kendaraan yang terjadi selama waktu kuning. 2.7 Fase Lalu Lintas (phase)
Dalam pengaturan lalu lintas pada persimpangan yang berupa konflik antara arus kendaran, dapat dilakukan dengan pemisahan waktu. Pengaturan pemisahan arus lalu lintas disebut fase (phase). Banyaknya fase ditentukan oleh banyak konflik yang harus diselesaikan pada persimpangan. Pada umumnya, di beberapa persimpangan terdapat lebih dari 2 konflik utama.Oleh karena itu, dibutuhkan juga lebih dari 2 fase. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, fase sinyal umumnya mempunyai dampak yang besar pada tingkat kinerja dan keselamatan lalu-lintas sebuah simpang, daripada jenis pengaturan. Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang, bila fase tambahan diberikan. Maka
sinyal akan efisien bila dioperasikan hanya pada dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama yang dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu-lintas, angka kecelakaan umumnya berkurang bila konflik utama antara lalu-lintas belok kanan dipisahkan dengan lalu-lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk lalu-lintas belok kanan.
Pergerakan arus lalu lintas pada persimpangan juga membentuk suatu manuver yang menyebabkan sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan, diantaranya adalah:
1. Berpencar (diverging)
2. Bergabung (merging)
3. Bersilangan (weaving)
4. Berpotongan (crossing)
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota (1999) 2.8 Persyaratan Persimpangan Sebidang
1. Persimpangan harus mempunyai kemudahan pandang ke arah memanjang dan menyamping, sesuai dengan jarak pandang masuk dan jarak pandang untuk keselamatan.
a. Jarak pandang masuk diperlukan untuk pengendara di jalan minor masuk ke jalanutama, didasarkan pada asumsi kendaraan pada jalan utama tidak mengurangikecepatan.
b. Jarak pandang aman persimpangan disediakan untuk kendaraan agar dapat berhentisebelum persimpangan.
2. Kelandaian relatif belokan persimpangan tidak lebih dari 2%, fungsi utama kelandaianuntuk mengalirkan air permukaan (run-off drainage).
3. Persimpangan pada daerah tikungan harus dihindarkan sejauh mungkin, minimal lebihbesar dari jarak pandang henti, yaitu dimulai dari titik peralihan tangen ke lengkung(TC/TS) sampai ke daerah persimpangan.
2.9 Jalan Layang (Fly Over)
Jalan layang adalah jalan yang dibangun tidak sebidang, melayang menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi permasalahan kemacetan lalu lintas, serta melewati persilangan kereta api untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas dan efisiensi. Jalan layang merupakan perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan karena konflik dipersimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit ataupun melalui kawasan rawa-rawa.
2.10 Kapasitas
Kapasitas jalan adalah kemampuan ruas jalan untuk menampung arus atau volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu, dinyatakan dalam jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam (kendaraan/jam), atau dengan mempertimbangan berbagai jenis kendaraan yang melalui suatu jalan digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam perhitungan kapasitas, maka satuan yang digunakan oleh kapasitas adalah satuan mobil penumpangper jam(smp/jam). Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas jalan raya menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997 adalah:
C = C0 x FCw x FCSP x FCSF x FCCS (smp/jam)………(2.1) Di mana:
C = Kapasitas (smp/jam), Co = Kapasitas dasar (smp/jam),
FCW = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas,
FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah,
FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan
2.10.1 Kapasitas Dasar C0
Kapasitas dasar C0 ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai yang
tertera pada tabel berikut. Tabel 2.1 Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Kapasitas dasar
(smp/jam) Keterangan Jalan 4 lajur
berpembatas median atau jalan satu arah
1.65 per lajur
Jalan 4 lajur tanpa
pembatas median 1.5 per lajur
Jalan 2 lajur tanpa
pembatas median 2.9
total dua arah Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Kapasitas dasar untuk jalan yang lebih dari 4 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan kapasitas per lajur pada tabel 2.1, meskipun mempunyai lebar jalan yang tidak baku.
2.10.2 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCSP)
FCSP ini dapat dilihat pada Tabel 2.2. Penentuan faktor koreksi untuk
pembagian arah didasarkan pada kondisi arus lalu lintas dari kedua arah untuk jalan tanpa pembatas median. Untuk jalan satu arah dan/atau jalan dengan pembatas median, faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah adalah 1.0.
Tabel 2.2 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah
Pembagian arah (%-%) 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
FCSP
2-lajur 2-arah tanpa
pembatas median (2/2 UD) 1.00 0.97 0.94 0.91 0.86 4-lajur 2-arah tanpa
pembatas median (4/2 UD) 1.00 0.99 0.97 0.96 0.94 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
2.10.3 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCW)
Faktor koreksi FCW ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat
dilihat pada tabel 2.3 berikut. Faktor koreksi kapasitas untuk jalan yang mempunyai lebih dari 4 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk kelompok jalan 4 lajur.
Tabel 2.3 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan Tipe Jalan Lebar Efektif Jalan (m) FCW
4 lajur berpembatas median atau jalan satu
arah Per lajur 3.00 0.92 3.25 0.96 3.50 1 3.75 1.05 4.00 1.09
4 lajur tanpa pembatas median Per lajur 3.00 0.91 3.25 0.95 3.50 1 3.75 1.05 4.00 1.09
2 lajur tanpa pembatas median Dua Arah 5 0.56 6 0.87 7 1 8 1.14 9 1.25 10 1.29 11 1.34
2.10.4 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCSF)
Faktor koreksi untuk ruas jalan yang mempunyai bahu jalan didasarkan pada lebar jalan efektif (WS) dan tingkat gangguan samping yang penentuan klasifikasinya
dapat dilihat pada Tabel 2.4. Faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.4 Klasifikasi Gangguan Samping Kelas
Gangguan Samping
Jumlah Gangguan per 200 meter per
jam (dua arah)
Kondisi Tipikal
Sangat Rendah < 100 Permukiman
Rendah 100 - 299 Permukiman, beberapa transportasi umum
Sedang 300 - 499 Daerah industri dengan beberapa toko di
pinggir jalan
Tinggi 500 - 899 Daerah komersial, aktivitas pinggir jalan
tinggi
Sangat Tinggi > 900 Daerah komersial dengan aktivitas
perbelanjaan pinggir jalan
Tabel 2.5 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping Untuk Jalan Yang Mempunyai Bahu Jalan
Tipe Jalan Kelas Gangguan Samping
Faktor Koreksi Akibat Gangguan Samping dan Akibat Lebar Bahu
Jalan Efektif LebarBahu Jalan Efektif
≤ 0.5 1.0 1.5 ≥ 2.0 4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2 D) Sangat Rendah 0.96 0.98 1.01 1.03 Rendah 0.94 0.97 1.00 1.02 Sedang 0.92 0.95 0.98 1 Tinggi 0.88 0.92 0.95 0.98 Sangat Tinggi 0.84 0.88 0.92 0.96
4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD) Sangat Rendah 0.96 0.99 1.01 1.03 Rendah 0.94 0.97 1.00 1.02 Sedang 0.92 0.95 0.98 1 Tinggi 0.87 0.91 0.94 0.98 Sangat Tinggi 0.8 0.86 0.90 0.95
2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD) atau jalan
satu arah Sangat Rendah 0.94 0.96 0.99 1.01 Rendah 0.92 0.94 0.97 1 Sedang 0.89 0.92 0.95 0.98 Tinggi 0.82 0.86 0.9 0.95 Sangat Tinggi 0.73 0.79 0.85 0.91
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Faktor koreksi kapasitas untuk gangguan samping untuk ruas jalan yang mempunyai kereb dapat dilihat pada Tabel 2.6 yang didasarkan pada jarak antara kereb dan gangguan pada sisi jalan (WK) dan tingkat gangguan samping.
Tabel 2.6 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping untuk Jalan yang Mempunyai Kereb
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur dapat diperkirakan dengan menggunakan faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur dengan menggunakan persamaan berikut:
FC6,SF = 1- 0.8 x (1 – FC4,SF) ……….. (2.2)
FC6,SF = faktor koreksi kapasitas untuk jalan 6 lajur
FC4,SF = faktor koreksi kapasitas untuk jalan 4 lajur
≤ 0.5 1.0 1.5 ≥ 2.0 Sangat Rendah 0.95 0.97 0.99 1.01 Rendah 0.94 0.96 0.98 1.00 Sedang 0.91 0.93 0.95 0.98 Tinggi 0.86 0.89 0.92 0.95 Sangat Tinggi 0.81 0.85 0.88 0.92 Sangat Rendah 0.95 0.97 0.99 1.01 Rendah 0.93 0.95 0.97 1.00 Sedang 0.90 0.92 0.95 0.97 Tinggi 0.84 0.87 0.90 0.93 Sangat Tinggi 0.77 0.81 0.85 0.90 Sangat Rendah 0.94 0.96 0.99 0.99 Rendah 0.92 0.94 0.97 0.97 Sedang 0.89 0.92 0.95 0.94 Tinggi 0.82 0.86 0.90 0.88 Sangat Tinggi 0.73 0.79 0.85 0.82
Faktor Koreksi Akibat Gangguan Samping dan Jarak Gangguan Kereb
Jarak: Kereb - gangguan
4-lajur 2-arah berpembatas median (4/2 D)
4-lajur 2-arah tanpa pembatas median (4/2 UD)
2-lajur 2-arah tanpa pembatas median (2/2 UD) atau jalan
satu arah
2.10.5 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCSF)
Faktor koreksi dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan faktor koreksi terebut merupakan fungsi dari jumlah penduduk kota.
Tabel 2.7 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota Ukuran Kota (juta
penduduk)
Faktor Koreksi untuk Ukuran Kota < 0.1 0.86 0.1 - 0.5 0.90 0.5 - 1.0 0.94 1.0 - 1.3 1.00 > 1.3 1.03
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Untuk perhitungan kapasitas ruas jalan untuk jalan antar kota dan jalan bebas hambatan, bentuk persamaan yang digunakan persis sama dengan persamaan (2.1), tetapi mempunya faktor koreksi kapasitas yang berbeda.
Tabel 2.8 Satuan Mobil Penumpang untuk Berbagai Jenis Jalan Kota
Tipe Jalan Kota
Arus Lalu Lintas Dua Arah (kend/jam) Smp Kendaraan Berat (koefisien) Sepeda Motor ≤ 6 m > 6 m
2 lajur tak terpisah 0 1.3 0.5 0.4
≥ 1800 1.2 0.35 0.25
4 lajur tak terpisah 0 1.3 0.4
≥ 3700 1.2 0.25
2 lajur 1 arah dan 4 lajur terpisah
0 1.3 0.4
≥ 1500 1.2 0.25
3 lajur 1 arah dan 6 lajur terpisah
0 1.3 0.4
≥ 1100 1.2 0.25
2.11 Karakteristik Lalu Lintas
2.11.1 Arus Lalu Lintas dan Volume
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997, arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam veh/h (Qveh), pcu/h (Qpcu) atau AADT (Lalu Lintas Rata-Rata
Tahunan).Menurut Direktorat Jenderal Bina marga (1997), arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik tertentu persatuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan perjam atau smp/jam. Arus lalu lintas perkotaan terbagi menjadi empat (4) jenis yaitu :
1. Kendaraan Ringan / Light Vehicle (LV)
Meliputi kendaraan bermotor 2 as, beroda empat dengan jarak as 2.0 – 3.0 m (termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, truk kecil, sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
2. Kendaraan Berat/ Heavy Vehicle (HV)
Meliputi kendaraan motor dengan jarak as lebih dari 3.5 m biasanya beroda lebih dari empat (termasuk bis, truk dua as, truk tiga as, dan truk kombinasi).
3. Sepeda Motor/ Motor cycle (MC)
Meliputi kendaraan bermotor roda 2 atau tiga (termasuk sepeda motor dan kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
4. Kendaraan Tidak Bermotor / Un Motorized (UM)
Meliputi kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia, hewan, dan lain-lain (termasuk becak, sepeda,kereta kuda, kereta dorong dan lain-lain sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
Sedangkan volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu penampang tertentu pada suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu tertentu. Volume lalu lintas rata-rata adalah jumlah kendaraan rata-rata dihitung menurut satu satuan waktu tertentu, bisa harian yang dikatakan sebagai volume lalu lintas harian rata-rata/LHR atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Average Daily Traffic Volume (ADT). Menurut Morlok, volume lalu lintas dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
t
n
q
=
……….. (2.3) Dimana : q = Volume lalu lintas yang melalui suatu titik
n = Jumlah kendaraan yang melalui titik itu dalam interval waktu pengamatan
t = Interval waktu pengamatan
Parameter arus lalu lintas dibagi menjadi 2 kategori:
a. Parameter makroskopik : Mencirikan arus lalu lintas secara keseluruhan.
b. Parameter mikroskopik : Mencirikan perilaku individual kendaraan yang di dalam arus lalu lintas satu sama lain saling memberi kesempatan.
Secara makroskopik, arus lalu lintas digambarkan / dicirikan oleh 3 parameter utama:
a. Volume atau tingkat arus (volume or rate of Flow) b. Kecepatan (speed )
c. Kerapatan (density )
Selain itu digunakan pula parameter headway (h), spacing (s), dan occupancy (R).Terkait pada headway dan spacing, ada parameter clearance (c) dan gap (g). Sedangkan pendekatan mikroskopik melihat respon dari setiap kendaraan secara terpisah-pisah dan berhubungan erat dengan faktor manusia (Khisty & Lall, 2003). 2.11.2 Kecepatan
Kecepatan merupakan besaran yang menunjukkan jarak tempuh kendaraan dibagi waktu tempuh. Kecepatan dapat diukur sebagai kecepatan titik, kecepatan perjalanan, kecepatan ruang dan kecepatan gerak.Sedangkan kelambatan merupakan waktu yang hilang pada saat kendaran berhenti, atau tidak dapat berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan karena adanya sistem pengendali atau kemacetan lalu-lintas. Adapun rumus untuk menghitung kecepatan (Morlok, E.K. 1991) :
t
d
V
=
………. (2.4)Dimana : V = kecepatan (km/jam, m/det) d = jarak tempuh (km, m) t = waktu tempuh (jam, detik) Terdapat 4 klasifikasi kecepatan pada lalu lintas: 1. Kecepatan titik/sesaat (spot speed)
Keadaan dimana kendaraan mengalami kecepatan yang stabil pada suatu titik. 2. Kecepatan perjalanan (journey speed)
Kecepatan rata-rata dimana nilainya dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi dengan total waktu perjalanan.
3. Kecepatan bergerak (running speed)
Kecepatan rata-rata kendaraan untuk melintasi suatu jarak tertentu dalam kondisi kendaraan tetap berjalan, yaitu kondisi setelah dikurangi oleh waktu hambatan terjadi (misalnya hambatan pada persimpangan). Kecepatan bergerak ini dapat ditentukan dari jarak perjalanan dibagi total waktu perjalanan yang telah dikurangi dengan waktu berhenti karena adanya hambatan yang disebabkan gangguan yang terjadi pada lalu lintas.
2.11.3 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) didefenisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan.Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Untuk menghitung derajat kejenuhan pada suatu ruas jalan perkotaan dengan rumus (MKJI 1997) sebagai berikut:
DS = Q/C ……….. (2.5) Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus maksimum (smp/jam) C = Kapasitas (smp/jam) 2.11.4 Hambatan Samping
Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktifitas samping segmen jalan. Banyaknya aktifitas samping jalan sering menimbulkan berbagai konflik yang sagat besar pengaruhnya terhadap kelancaran lalu lintas. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kelas hambatan samping dengan frekuensi bobot kejadian per-jam, per-200 meter dari segmen jalan yang diamati, pada kedua sisi jalan berdasarkan MKJI 1997 seperti tabel berikut :
Tabel 2.9 Penentuan Tipe Frekuensi Kejadian Hambatan Samping
Tipe Kejadian Hambatan Samping Simbol Faktor bobot
Pejalan kaki PED 0.5
Kendaraan parkir PSV 1.0
Kendaraan masuk dan keluar sisi jalan EEV 0.7
Kendaraan lambat SMV 0.4
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Untuk mengetahui nilai kelas hanmbatan samping, maka tingkat hambatan samping dibagi menjadi 5 kelas. Dari tingkat yang sangat rendah, sampai tingkat yang tinggi dan sangat tinggi.
Tabel 2.10 Nilai Kelas Hambatan Samping Kelas Hambatan
samping (SCF)
Kode Jumlah kejadian per 200 m perjam
Kondisi Daerah
Sangat rendah VL <100 Daerah pemukiman; hampir
tidak ada kegitan
Rendah L 100-299 Daerah pemukiman; berupa
angkutan umum, dasb
Sedang M 300-499 Daerah industri, beberapa toko
disi jalan
Tinggi H 500-899 Daerah komersial; aktifitas sisi
jalan yang sangat tinggi
Sabgat tinggi VH >900 Daerah komersial; aktifitas pasar di samping jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Dalam menentukan nilai Kelas hambatan samping digunakan rumus (MKJI 1997): SCF = PED + PSV + EEV + SMV ……….. (2.6) Dimana :
SFC = Kelas Hambatan samping, PED = Frekuensi pejalan kaki,
PSV = Frekuensi bobot kendaraan parker,
EEV = Frekuensi bobot kendaraan masuk/keluar sisi jalan, dan SMV = Frekuensi bobot kendaraan lambat
Adapun beberapa hal yang mempengaruhi besarnya hambatan samping pada suatu jalan adalah:
1. Faktor Pejalan Kaki
Aktifitas pejalan kaki merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai kelas hambatan samping, terutama pada daerah-daerah yang merupakan kegiatan masyarakat seperti pusat-pusat perbelanjaan. Banyak jumlah pejalan kaki yang menyeberang atau berjalan pada samping jalan, sehingga dapat menyebabkan laju kendaraan menjadi terganggu. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya kesadaran pejalan kaki untuk menggunakan fasilitas-fasilitas jalan yang tersedia, seperti trotoar dan tempat-tempat penyeberangan.
2. Faktor Kendaraan Parkir dan Berhenti
Kurang tersedianya lahan parkir yang memadai bagi kendaraan, dapat menyebabkan kendaraan parkir dan berhenti pada sisi samping jalan. Pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, kendaraan parkir dan berhenti pada samping jalan dapat memberikan pengaruh terhadap kelancaran arus lalu lintas. Keadaan tesebut akan mempengaruhi kapasitas lebar jalan, dimana kapasitas jalan akan semakin sempit akibatsisi samping jalan tersebut telah diisi oleh kendaraan parkir dan berhenti.
3. Faktor Kendaraan Masuk/Keluar Pada Samping Jalan
Banyaknya kendaraan yang masuk/keluar melalui samping jalan, sering menimbulkan berbagai konflik terhadap arus lalu lintas perkotaan. Pada daerah-daerah yang memiliki tingkat lalu lintas yang sangat padat, disertai dengan aktifitas masyarakat yang cukup tinggi, kondisi ini sering menimbulkan masalah dalam kelancaran arus lalu lintas. Dimana arus lalu lintas yang melewati ruas jalan tersebut menjadi terganggu dan dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan.
4. Faktor Kendaraan Lambat
Yang termasuk dalam kategori kendaraan lambat adalah becak, gerobak dan sepeda. Laju kendaraan yang berjalan lambat pada suatu ruas jalan dapat menggaggu aktifitas-aktifitas kendaraan yang melewati suatu ruas jalan. Oleh karena itu, kendaraan lambat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai kelas hambatan samping.
2.11.5 Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya.Hubungan antara kecepatan dan volume jalan perlu di ketahui karena kecepatan dan volume merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat pelayanan jalan. Menurut Warpani, (2002), tingkat pelayanan adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengan kondisi dan kapasitas jalan.
Morlok (1991) mengatakan, ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan antara lain: kenyamanan, keamanan, keterandalan, dan biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar).
Tabel 2.11 Standar Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat
Pelayanan jalan
Kecepatan Ideal
(km/jam) Karasteristik
A > 48.00 Arus bebas, volume rendah,
kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki B 40.00 – 48.00 Arus stabil, volume sesuai untuk
jalan luar kota, kecepatan terbatas C 32.00 – 40.00 Arus stabil, volume sesuai untuk
jalan kota, kecepatan dipengaruhi oleh lalulintas
D 25.60 – 32.00 Mendekati arus tidak stabil, kecepatan rendah
E 22.40 – 25.60 Arus tidak stabil, volume mendekati kapasitas, kecepatan rendah
F 0.00 – 22.40 Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti
2.11.6 Hubungan Antara Kecepatan, Kepadatan dan Volume Lalu Lintas Hubungan antara kecepatan, volume dan kerapatan dapat digambarkan secara grafis sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut.
(Sumber : www.ilmusipil.com)
Gambar 2.5 Hubungan antara kecepatan, kepadatan dan volume lalu lintas Dari kurva terlihat bahwa hubungan mendasar antara volume dan kecepatannya adalah dengan bertambahnya volume lalu lintas, maka kecepatan rata-rata ruangannya akan berkurang sampai volume maksimum tercapai. Hubungan antara kecepatan dan kerapatan menunjukkan bahwa kecepatan akan menurun apabila kerapatan bertambah. Hubungan antara volume dan kerapatan memperlihatkan bahwa kerapatan akan bertambah apabila volumenya juga bertambah.
2.11.7 Perhitungan Volume Lalu Lintas
Cara menghitung volume lalu lintas adalah dengan mengalikan jumlah kendaraan yang melewati suatu ruas dengan faktor konversi kendaraan yang telah ditetapkan.Kemudian dikonversikan ke dalam smp/jam.
2.11.8 Perhitungan Kecepatan Lalu Lintas Berikut merupakan persamaan dari kecepatan:
π
(2.7)
Di mana:
µ = Kecepatan (km/jam atau m/detik) d = Jarak tempuh (km atau m)
t = Waktu tempuh (jam atau detik)
Kecepatan rata rata dibedakan menjadi 2 menurut Soedirdjo (2002), yaitu: 1. Kecepatan rata-rata waktu, µ(Time Mean Speed)
Adalah kecepatan rata-rata dari seluruh kendaraan yang melewati suatu titik dari jalan selama periode waktu tertentu.
∑ (2.8)
2. Kecepatan rata-rata ruang µ (Space Mean Speed) ∑ (2.9)
Dari hasil studi yang dilakukan sebelumnya, untuk menghitung besarnya kecepatan rata-rata ruang dari keseluruhan lalu lintas kendaraan bermotor digunakan rumus :
. . .
(2.10)
Di mana :
µ = Kecepatan rata-rata ruang dari seluruh kendaraan (km/jam) n ! = Jumlah sampel sepeda motor
n"# = Jumlah sampel kendaraan ringan n$# = Jumlah sampel kendaraan berat
µ% ! = Kecepatan rata-rata ruang sepeda motor (km/jam) µ% "# = Kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam) µ% $# = Kecepatan rata-rata ruang kendaraan berat (km/jam)
2.11.9 Perhitungan Kerapatan Lalu Lintas
Dari nilai volume dan kecepatan yang telah didapat, maka nilai dari kerapatan dapat ditentukan: & ' ()* (2.10) Dimana: D = Kerapatan (smp/km)
V = Volume lalu lintas (smp/jam) Usr = Kecepatan rata-rata ruang (km/jam)
2.11.10 Ekivalen Mobil Penumpang
Ekivalen mobil penumpang adalah faktor yang menunjukkan berbagai tipe kendaraan yang dibandingkan dengan tipe kendaraan ringan lain, sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatannya dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan yang sasisnya mirip, emp = 1.0). Untuk UM (Kendaraan Tak Bermotor) nilai Emp-nya tidak ada karena termasuk hambatan samping (kendaraan lambat), yaitu sepeda, gerobak, becak, andong dan lain-lain.
Tabel 2.12 Ekivalen Mobil Penumpang
Jenis Kendaraan Jalan Raya Perkotaan
Mobil penumpang, taksi, pick up,
minibus 1 1
Sepeda Motor 0.5 - 1 0.2 - 0.5
Bus, truk 2 dan 3 sumbu 3 2
Bus tempel, truk > 3 sumbu 4 3
Tabel 2.13Emp Untuk Jalur Perkotaan Tak Terbagi
Tipe Jalan : Jalan Tak Terbagi Arus Lalu Lintas Total Dua Arah (Kend/Jam) Emp HV MC
Lebar Jalur Lalu Lintas Wc (m)
≤ 6 ≥ 6
Dua Lajur Tak Terbagi (2/2 UD)
0 1.3 0.5 0.4
≥ 1800 1.2 0,35 0.25 Empat Lajur Tak Terbagi
(4/2 UD)
0 1.3 0.4
≥ 3700 1.2 0.25 Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Tabel 2.14Emp Jalur Perkotaan Terbagi dan Satu Arah
Tipe Jalan : Jalan Satu Arah dan Jalan Terbagi
Arus Lalu Lintas Per Lajur (Kend/Jam)
Emp
HV MC
Dua lajur satu arah (2/1) 0 1.3 0.4
Empat lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1.2 0.25
Tiga lajur satu arah (3/1) 0 1.3 0.4
Enam lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1100 1.2 0.25