• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an. Oleh : Venti Wijayanti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an. Oleh : Venti Wijayanti"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an

Oleh : Venti Wijayanti

Usaha untuk menemukan filsafat Nusantara tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan adanya dominasi kuat peradaban Barat yang sudah dilanggengkan sebagai bentuk hegemoni atas budaya Timur. Sehingga yang lebih dikenal dan dipakai adalah bentuk pemikiran filsafat Barat yang sudah mapan secara scientific. Bentuk-bentuk kajian filsafat yang biasanya dilakukan hanya menempatkan identitas maupun sejarah Indonesia sebagai studi kasus atau bisa dikatakan sebagai objek semata. Dan menempatkan pemikiran filsafat Barat sebagai subjek untuk menganalisis fenomena yang terjadi di Indonesia. Hal ini penting untuk dicermati kembali sebagai bentuk evaluasi kritis, bahwa filsafat Nusantara merupakan kajian yang dapat berdiri sebagai bentuk narasi dari pemikiran filsafat bukan hanya sebagai potongan-potongan fenomena sosial yang perlu dievaluasi. Keberadaan dari filsafat Nusantara perlu ditata dan dirumuskan kembali, sehingga dapat menjadi fondasi pemikiran filsafat secara universal.

Filsafat Nusantara berusaha untuk mengungkap ke-jatidiri-an alam pikiran Nusantara. Landasan yang digunakan sebagai sumber dari pemikiran filsafat Nusantara adalah kebudayaan yang terdapat dalam lingkup geografis. Kebudayaan dalam lingkup geografis terdapat pada sistem sosial, politik, ekonomi, bahasa, seni yang dilatar belakangi oleh adanya sejarah panjang yang bisa disebut sebagai peradaban bangsa. Bentuk-bentuk tersebut merupakan bentuk dari kearifan lokal untuk merumuskan sistem nilai filsafat Nusantara. Usaha yang dapat dilakukan untuk merumuskan filsafat Nusantara adalah dengan berpikir logis dan berpikir simbolis. Berpikir logis (Sutrisno, 2005: 1) adalah berpikir dengan cara mengurai kenyataan menurut aturan ‘logos’ yaitu kebenaran rasionalitas budi. Cara kerjanya dimulai dari menggolongkan, menguraikan secara rasional, mengklasifikasikannya dalam kategori sebab dan akibat atau antara logis yang bisa disistematisasi menggunakan rasio dan illogis yang tidak bisa ditemukan penalaran logisnya. Sedangkan berpikir simbolis adalah menggunakan penalaran untuk mengetahui, memahami kenyataan dengan melalui simbol-simbol atau tanda-tanda yang disusun sedemikian rupa sehingga orang dapat paham maksudanya. Susunan tanda tersebut disebut kode yang harus dipahami secara keseluruhan.

(2)

Penggabungan cara berpikir logis dan simbolis dapat memberikan pemahaman logika kebenaran rasional. Terdapat dua karakter utama pada pemahaman logis, yaitu: pertama, bercirikan mengurai dengan cara menganalisis dengan penggolongan kategori akal budi (logos) yang tergantung dengan sistematika yang dipilih. Kedua, mengatur dalam sebuah sistematisasi (clear and distinct). Jadi karakter berpikir logis adalah mengurai, menganalisis dengan sistematis. Sedangkan untuk pemahaman simbolis memiliki ciri utama, yaitu berupaya merajutkan secara simbol atau tanda nuansa, suasana, atau bagian-bagian realitas yang belum sempat atau tak mampu dirumuskan secara logis. Jadi bahasa yang dipakai mengambil kode sebagai susunan simbol untuk membahasakan celah-celah ruang melampaui penataan logis rasionalitas budi. Ciri utama pemahaman simbolik adalah merajut, menenun, sintesis, mengutuhkan (Sutrisno, 2005: 2). Keberadaan ilmu filsafat menurut Damardjati Supadjar adalah menyumbangkan hal-hal prinsipil, yang terang dan wijang, yang Qur’ani dan Furqoni (clearly and distinctly) (Supadjar, 2005: 7).

Damardjati Supadjar melalui pemikiran filsafatnya telah berusaha merumuskan bentuk dari karakteristik filsafat Nusantara yang dilandaskan dari sistem kebudayaan Jawa. Keunikan kebudayaan Jawa dipandang sebagai bentuk luhur dari titik tolak perkembangan peradaban rasional. Pengaruh sistem nilai melekat pada peradaban kebudayaan Jawa sehingga dapat dikembangakan menjadi pemikiran filsafat Nusantara. Pemikiran Damardjati meliputi filsafat ketuhanan yang mensinkretiskan antara Islam dengan budaya Jawa, filsafat manusia, filsafat kebudayaan, epistemologi, filsafat sosial, metafisika, kosmologi, etika, logika, filsafat politik dan filsafat Jawa sebagai pandangan hidup. Rumusan pemikiran filsafat Damardjati sangatlah beragam yang berlandaskan dari pemikiran Jawa dan Islam, sehingga sosok ini patut dijadikan sebagai filsuf Indonesia.

Reformasi ke-Jawa-an merupakan buah pikiran Damardjati Supadjar dalam bukunya yan berjudul “Mawas Diri” yang terbit pada tahun 2001. Reformasi ke-Jawa-an bisa dikatakke-Jawa-an sebagai bentuk refleksi dari kejatidirike-Jawa-an mke-Jawa-anusia dalam identitas Jawa yang membungkusnya. Laku dari manusia Jawa dalam tantangan sosial politik yang dirumuskannya dalam pemikirannya sebagai jalan untuk menuju manusia yang selalu memperbaiki diri dalam proses. Manusia diharapkan tahu diri perihal ambang batas antara Makhluq (yang terbatas) dan Khaliq (yang tak terbatas), sebagai

(3)

contohnya adalah ketika Kepala Negara pasti akan turun tahta, seperti yang terjadi saat lengsernya Soeharto (Supadjar, 2001, Mawas Diri: xii).

Konsep laku dari Damarjdati Supadjar adalah sebuah metode dalam berproses untuk mencapai suatu yang baik dalam artian hal yang absolut. Jalan untuk mencapai hal absolut adalah dengan proses laku yang selalu diterapkan sebagai hal yang utama. Laku yang berasal dari bahasa Jawa, memiliki arti jalan untuk mencapai tujuan mulia dengan kebulatan tekad. Laku hanya bisa dilakukan dengan cara berproses untuk menjadi, sehingga manusia yang menjalani laku selalu berperoses memperbaiki diri dengan melakukan hal baik untuk mencapai tujuan yang kekal. Hal-hal yang ditegaskan dalam konsep laku adalah keikhlasan dengan mengutamakan keharmonisan dan keserasian alam baik secara mikrokosmos dan makrokosmos. Sehingga Damardjati sendiri pun, meyakini adanya Awal – Akhir dan Lahir – Batin. Semuanya menyakini adanya bentuk kesinambungan dalam berproses.

Bentuk konsep laku yang diyakini Damardjati dalam Serat Dewa Ruci yang dikutip pada pidato pengukuhan Guru Besar di Fakultas Filsafat UGM (2005), isinya adalah sebagai berikut;

Yen wus mudheng pratingkah puniki Den awingit lawan den asasab Andhap asor panganggone Nanging ing batinipun Ing sakedhap tan kena lali Lahire sasabana

Kawruh patang dhapur Padha anggepen sadaya Kalimane kang siji iku permati Kanggo ing kene-kana

Yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

Apabila telah memahami metode/laku ini, harap agar “sedikit bicara” dan tidak menampakkan diri, pakailah tabiat merendah. Tetapi secara batiniah, sekejap saja pun tidak boleh lalai; secara lahiriah tutupilah dengan ilmu empat macam, yang kesemuanya dipergunakan, kelimanya, yakni yang satu itu yang terlebih utama, baik untuk di “sini” atau pun di “sana”.

(4)

Laku yang digambarkan pada Serat Dewa Ruci bisa dipahami sebagai bentuk sikap hidup untuk menjalani tujuan yang sebagaimana diinginkan. Hal yang paling utama untuk dipahami, bahwa laku adalah bentuk spiritual manusia. Spiritual adalah bentuk kepercayaan yang tak terhingga dan bisa disederhanakan sebagai kepercayaan kepada-Nya. Kepada hal yang absolut dan tunggal. Budaya spiritual Jawa memiliki ungkapan yang berhubungan dengan ini, yaitu “Sangkan Paraning Dumadi”, yang berpusat pada “Kawula Gusti”. “Sangkan Paraning Dumadi” artinya adalah pangkal atau asal mula dan arah tuju dari semua kejadian, yang menggambarkan suatu filsafat proses, kesinambungan awal-akhir, bagaimana atau darimana permulaannya, demikian juga kesudahannya. Sebagaimana yang terungkap dari kata-kata :Guru bakal, Guru dadi”. Proses “dumadi” yang memiliki makna aktualisasi potensi. Di balik proses akan memperoleh pernyataan-Nya yang terungkap melalui kejadian-kejadian, sehingga setiap kejadian sesungguhnya mengambil peran serta di dalam proses aktualisasi potensi tersebut (Supadjar, 2001: 58).

Ajaran “Sangkan Paraning Dumadi” menurut Franz Magnis Suseno merupakan inti dari Serat Dewa Ruci, dan juga sebagai pengungkap ajaran “Kawula Gusti” sampai pada jarak yang sedekat-dekatnya (Supadjar, 2001: 67). Ajaran ini diharapkan dapat diamalkan sebagai pedoman hidup praktis sehari-hari, sehingga konsep laku manusia menjadi semakin nyata dalam keharmonisan. Konsep harmonisasi sosial dalam budaya Jawa merupakan identitas ke-Jawa-an adalah hasil dari proses yang panjang, melalui seleksi kualitatif, yang berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan. Konsep harmonitas terungkap melalui pernyataan-pernyataan: Sangkan Paraning Dumadi, Hamemayu Hayuningrat, Pamoring Kawula Gusti; kesemuanya itu merupakan suatu metafisika khusus ketuhanan, kosmologis serta antropologis. Pandangan hidup Jawa mengisyaratkan suatu filsafat proses, yang dimaksudkan di sini adalah Tuhan sebagai Pandoming Dumadi, demikian juga pada hal kosmologis, alam semesta sebagai Pandoming Dumadi. Pada permasalahan sosial kemanusiaan, asas kearifan terungkap melalui kata-kata merupakan Pandoming Dumadi (Supadjar, 2001: 266). Hal ini menunjukan bahwa segalanya memiliki patokan yang jelas, sehingga bisa dijadikan sebagai bentuk pengingat laku manusia.

Manusia sebagai bentuk subjek kedirian, di dalam bahasa Jawa identifikasi diri itu sangat penting, yakni subjek kedirian yang sub-jek terhadap ob-jek penuh

(5)

rendah hati. Hakikat dari kesayaan terletak pada kadar ke-sahaya-an saya terhadap-Nya, sehingga bentuk kejatidirian selalu berkaitan dengan Sang pemberi nama yaitu Sang Aji. Bentuk tersebut direfleksikan pada bangsa Indonesia yang jatidirinya berasal dari Pancasila. Momentum kemerdekaan 1945 menyadari betapa pentingnya jatidiri, jadi Pancasila merupakan sistem kedirian, ke-aku-an kita bersama, kualitas kesahayaan kita bersama terhadap-Nya. Maka jatidiri kita itu terbuka terhadap aspirasi kultural universal sekaligus inspirasi religius. Sistem kesahayaan digambarkan sebagai Semar dalam lakon wayang. Semar sebagai jatidiri Kerakyatan kita bersama, sehingga yang dimaksud di sini adalah bahwa sila ke-empat merupakan problem paling aktual, dengan sila ke-satu, ke-dua, ke-tiga sebagai latar belakang, serta ke-lima sebagai latar depan (Supadjar, 2001, Mawas Diri: 11). Hal ini sebenarnya memiliki makna bahwa manusia merupakan jati diri sebagai individu tunggal dan sebagai individu sosial dalam Negara, yaitu bangsa. Jati diri sebagai individu memiliki makna hakikat diri, sehingga manusia diharapkan bisa mengenali harkat dan martabatnya, kodrat dan dayanya di dalam struktur kenyataan di mana dia berada. Jati diri manusia adalah bentuk kesatuan (unitas) dan sekaligus keberagaman (kompleksitas) yang tidak mungkin disangkal kebenarannya (Hadi, 1996: 26). Sistem sosial di Indonesia memiliki landasan dasar Pancasila sebagai laku diri, sehingga hal yang paling utama adalah sila ke-empat yang memposisikan manusia sebagai makhluk sosial.

Konsep jati diri Damardjati Supadjar dalam “Mawas Diri” sebagai hakikat yang merupakan tingkatan syariat dan tarekat dan merupakan tahapan awal dari tingkatan tertinggi, yang disebut sebagai makrifat. Posisi syariat pada tingkatan informatif, sedangkan tarekat pada tingkatan transformatif. Hakikat berada dalam posisi konfrontatif dalam ke-diri-an dan ke-aku-an. Sistem kedirian dan keakuan yang terus menerus ditransformasi ke arah kualitas kedirian yang keakuannya diakui-Nya. Inilah yang disebut sebagai tarekat yang mencapai hakikat. Hal yang perlu diperhatikan dari kebinekaan itu ternyata dimungkinkan dicapainya paham ke-eka-an yang dimaksudkan bahwa semuanya itu menjunjung sistem kedirian ke-aku-an. Ini merupakan pangkal tepa sarira paska nandhing sarira (Supadjar, 2001, Mawas Diri: 9).

(6)

Pemikiran kefilsafatan Damardjati Supadjar memiliki asumsi dasar filsafat, yaitu: asumsi metafisis, asumsi epistemologis, asusmsi aksiologis. Asumsi metafisis yang melandasi metode berfilsafat dapat dilacak dari keyakinannya bahwa realitas itu bersistem, berstruktur, berjenjang, dan berproses secara organis meliputi awal-akhir (dimensi temporal), lahir dan batin (dimensi sparsial) (Santoso, 2010: 34). Contoh dari penerapan pandangan asumsi metafisis adalah analisis Damarjdati tentang sila pertama “ketuhanan” sebagai suatu yang sangat batiniah yang harusnya diwujudkan dalam suatu yang sangat lahiriah, yaitu “keadilan” pada sila ke lima. Asumsi epistemologis merupakan konsekuensi dari keyakinan metafisik, bahwa untuk menggapai hakikat realitas tertinggi, sesungguhnya mensyaratkan tahapan, jenis, dan jenjang pengetahuan yang bertingkat. Hal ini dijelaskan pada, “luasnya dunia sangat terkait dengan luasnya kesadaran sang subjek di dalam memaknai dunianya” (Santoso, 2010: 35). Asumsi aksiologis dipengaruhi oleh pandangan metafisik dan epistemologisnya, contohnya pada inti ajaran moralitas yang diajarkan adalah moralitas berkembang menuju ke arah kesempurnaan (Santoso, 2010: 38).

Tujuan dari metode berfilsafat Damarjdati adalah membantu mengarahkan orang pada peningkatan kualitas ke arah realitas yang paling hakiki, melalui tahapan jenjang-jenjang kenyataan, pengetahuan, dan moralitas menuju Tuhan Yang Maha Ada, Maha Tahu, dan Maha Baik. Bentuknya menuju pada Manunggaling Kawula Gusti. Keunikan metode berfilsafat Damardjati adalah pada penerapan tata langkah dalam menyatukan antara yang lahir dan yang batin, yang awal dan yang akhir dalam suatu proses menuju kesempurnaan. Keunikan lainnya adalah pada kekuatan metode untuk memaknai istilah-istilah simbolik yang berasal dari tembang-tembang Jawa yang secara etimologis didapatkan melalui metode interpretasinya melalui kaidah bahasa Jawa dengan menawarkan makna-makna baru.

Bentuk reformasi ke-Jawa-an Damardjati menggabungkan cara berpikir logis dan simbolik dengan menganalisis bentuk kebudayaan Jawa dari serat, gendhing, dan lakon pewayangan yang memiliki unsur-unsur simbolis. Perumusan tersebut dikomparasi dengan fenomena aktual yang terjadi di Indonesia berdasarkan alur berpikir dan tumindak ke-Jawa-an. Alasan utama Damarjdati Supadjar patut dijadikan sebagai sosok filsafat Indonesia adalah karena kontribusi pemikirannya yang orisinil untuk menggali kasanah budaya Jawa. Damardjati mengemukakannya dalam

(7)

rangkaian pemikiran filsafat yang kontroversial karena merevitalisasi pemikiran filsafat Jawa dan filsafat Pancasila dalam berbagai persoalan fundamental filsafat.

Daftar Pustaka

Hadi, Hardono,. 1996. Jatidiri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme A.N. Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.

Santoso, Heri,. 2010. Berfilsafat ala Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Yogyakarta: Pustaka Rasmedia.

Supadjar, Damardjati,. 2001. Mawas Diri. Yogyakarta: MedPrint Offset.

_________________,. 2001. Nawangsari (Butir-Butir Renungan Agama-Spiritual-Budaya). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Supadjar, Damardjati,. 2005. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Rukun Ihsan. dalam teks pidato pengukuhan jabatan Guru Besar di Fakultas Filsafat UGM.

Sutrisno, Mudji,. 2005. Indonesia di Antara Rekatan Kebhinekaan, Sejarah Filsafat Nusantara Alam Pikiran Indonesia. Yogyakarta: Galangpress.

Referensi

Dokumen terkait

Profil Noda Uji Stabilitas pada Pengamatan 24 Jam untuk Komponen (A) Herba Seledri Maserasi Etanol, (B) Herba Seledri Maserasi Air, (C) Perasan Herba Seledri Segar, (D) Apiin,

Dimana perbedaan antara balok beton bertulang dengan balok komposit adalah untuk momen positif, pada beton bertulang gaya-gaya tarik yang terjadi pada elemen struktur dipikul

Beberapa komponen yang diperlukan untuk proses PCR adalah alat PCR, DNA sampel yang akan diamplifikasi, dNTP yaitu bahan baku nukleotida saat polimerisasi yang terdiri dari

Perlu dicatat bahwa dalam tahap ini sebenarnya seorang peneliti tidak sekedar mencocokkan model pembacaan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam acuan teoritis

Dengan menggunakan analisis regresi dan asumsi klasik maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Perubahan laba memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap return saham. (2)

1.2.8 Apakah faktor jenis kelamin akan mempengaruhi niat mahasiswa dalam. mengejar

Berdasarkan data vegetasi, kondisi perairan, fauna, dan sosial masyarakat yang didapatkan, akan ditentukan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukam untuk pengelolaan