KATA PENGANTAR
Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia. Tidak hanya di Negara-‐negara berkembang, tetapi juga di Negara-‐negara maju, sampah selalu menjadi masalah. Indonesia secara umum dan khususnya Kabupaten Klungkung memiliki tantangan tersendiri dalam penanganan sampah.
ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian khusus untuk masing-‐masing jenis zat.
Kajian Kelayakan TPA Sente ini merupakan salah satu upaya untuk penanganan masalah sampah di Kabupaten Klungkung. Seiring dengan desakan oleh penduduk sekitar TPA dan mempertimbangkan kondisi TPA yang memiliki keterbatasan dalam menampung sampah, dibutuhkan kajian untuk merumuskan penanganan sampah dan penentuan alternatif pengelolaan sampah di masa yang akan datang.
Laporan ini merupakan bentuk tanggungjawab pelaksana pekerjaan dalam pelaksanaan Pengkajian Kelayakan TPA Sente. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan semua pihak dalam penyelesaian Laporan Akhir ini.
Denpasar, Desember 2015 Tim Peneliti
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv
BAB I PENDAHULUAN
BAB II DASAR TEORI
2.1. Pendekatan Sistem Pengelolaan Persampahan ... 3
2.1.1. Beberapa Prinsip dan Pertimbangan ... 3
2.1.2. Beberapa Prinsip dan Pertimbangan ... 4
2.2. Aspek Pengelolaan Sampah ... 5
2.2.1. Aspek Teknis Operasional ... 5
2.2.2. Aspek Institusi ... 10
2.2.3. Aspek Pembiayaan Sumber Pembiayaan ... 11
2.2.4. Aspek Peraturan ... 12
2.2.5. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Kemitraan Peran Serta Masyarakat ... 13
2.3. Dampak Pencemaran Akibat Sampah ... 14
2.3.1. Potensi Dampak ... 14
2.3.2. Resiko Lingkungan ... 19
2.4. Tempat Pembuangan Akhir ... 19
BAB III KAJIAN PENGELOLAAN TPA SENTE 3.1. Aspek Sejarah ... 25
3.2. Identifikasi Kondisi Persampahan di Kabupaten Klungkung ... 26
3.3. Identifikasi Pengelolaan Sampah di TPA Sente ... 28
3.4. Persepsi dan Aspirasi Aktor ... 31
3.5. Perumusan Alternatif Pengelolaan Persampahan di TPA Sente ... 39
3.6. Analisis Pertimbangan Alternatif Pengelolaan Persampahan di TPA Sente ... 41
3.7. Rekomendasi penetapan alternatif lokasi TPA di Klungkung ... 43
BAB IV PENUTUP DAFTAR PUSTAKA
Lampiran -‐ Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kriteria Kelayakan Regional ... 23 Tabel 2 Kriteria Kelayakan Penyisih ... 24 Tabel 3 Identifikasi Aktor, Tafsir dan Persepsi terhadap TPA Sente serta
Aspirasinya. ... 37 Tabel 4. Pemangku Kepentingan Pengelolaan Sampah ... 41
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani sampah yang dihasilkan penduduknya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat. Pada awalnya, pemukiman seperti pedesaan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah. Secara alami tanah / alam masih dapat mengatasi pembuangan sampah yang dilakukan secara sederhana (gali urug). Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, sampah tidak dapat lagi diselesaikan di tempat; sampah harus dibawa keluar dari lingkungan hunian atau lingkungan lainnya. Permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional.
Saat ini pengelolaan persampahan menghadapi banyak tekanan terutama akibat semakin besarnya timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat baik produsen maupun konsumen. Hal ini menjadi semakin berat dengan masih dimilikinya paradigma lama pengelolaan yang mengandalkan kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan; yang kesemuanya membutuhkan anggaran yang semakin besar dari waktu ke waktu; yang bila tidak tersedia akan menimbulkan banyak masalah operasional seperti sampah yang tidak terangkut, fasilitas yang tidak memenuhi syarat, cara pengoperasian fasilitas yang tidak mengikuti ketentuan teknis.
Pada akhirnya berbagai masalah tersebut akan bermuara pada rendahnya kuantitas dan kualitas pelayanan dan tidak diindahkannya perlindungan lingkungan dalam pengelolaan; yang bila tidak segera dilakukan perbaikan akan berdampak buruk terhadap kepercayaan dan kerjasama masyarakat yang sangat diperlukan untuk menunjang pelayanan publik yang mensejahterakan masyarakat.
Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dengan masalah yang kompleks, diperlukan adanya suatu system
pengelolaan yang mencakup lembaga atau institusi yang dilengkapi dengan peraturan, pembiayaan / pendanaan, peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu system, disamping kesadaran masyarakat yang cukup tinggi. Dengan terbitnya Undang-‐undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menegaskan bahwa penanganan sampah di tempat pengolahan akhir dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) tidak diperbolehkan lagi, maka Pemerintah Kabupaten Klungkung merencanakan pembangunan TPA baru dengan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill).
Langkah awal pembangunan TPA sistem sanitary landfill adalah penentuan lokasi TPA yang harus mengikuti persyaratan dan ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan tata ruang kota serta peraturan-‐peraturan pelaksanaan lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat menentukan lokasi TPA yang memenuhi persyaratan tersebut diperlukan analisis berbagai parameter lingkungan dengan menggunakan berbagai metode dan teknik penilaian (Lane and McDonald, 1983 dalam Alesheikh and Eslamizadeh, 2008). Menurut Setiawan (2010), apabila analisis tersebut dilakukan dengan metode konvensional berupa survey dan pemetaan secara terestris, maka akan memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang besar.
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Pendekatan Sistem Pengelolaan Persampahan
2.1.1. Beberapa Prinsip dan Pertimbangan
• Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu pada proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.
• Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.
• Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak sumber akan memberikan dampak positif paling menguntungkan yang berarti peran serta masyarakat perlu dijadikan target utama
• Sampah B3 rumah tangga perlu mendapat perhatian dalam penanganannya agar tidak mengganggu lingkungan maupun kualitas sampah dalam pengolahan di hilirnya.
• Karakteristik sampah dengan kandungan organik tinggi (70-‐80 %) merupakan potensi sumber bahan baku kompos sebagai soil conditioner dan energi (gas metan) melalui proses dekomposisi secara anaerob
• Daur ulang oleh sektor informal sejauh memungkinkan diupayakan menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah perkotaan
• Insinerator sebaiknya hanya dilakukan untuk kota-‐kota yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam penyediaan lokasi TPA dan memiliki karakteristik sampah yang sesuai, serta menerapkan teknologi yang ramah lingkungan
• Tempat Pembuangan Akhir merupakan alternatif terakhir penanganan sampah mengingat potensi dampak negatif yang tinggi. Pemanfaatan secara berulang sebaiknya diupayakan dengan memperhatikan kualitas produk “kompos” yang dihasilkan.
2.1.2. Beberapa Prinsip dan Pertimbangan
Pada dasarnya pengelolaan sampah ada 2 macam, yaitu pengelolaan/ penanganan sampah setempat (individu) dan pengelolaan sampah terpusat untuk suatu lingkungan pemukiman atau kota.
a. Penanganan Setempat
Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah pekarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.
Hal ini dimungkinkan bila daya dukung lingkungan masih cukup tinggi misalnya tersedianya lahan, kepadatan penduduk yang rendah, dll.
b. Pengelolaan Terpusat
Pengelolaan persampahan secara terpusat adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu wilayah / kota. Pengelolaan sampah secara terpusat mempunyai kompleksitas yang besar karena cakupan berbagai aspek yang terkait. Aspek – aspek tersebut dikelompokkan dalam 5 aspek utama, yakni aspek institusi, hukum, teknis operasional, pembiayaan dan retribusi serta aspek peran serta masyarakat. 2.2. Aspek Pengelolaan Sampah
2.2.1. Aspek Teknis Operasional
1) Komposisi Sampah
Komposisi fisik sampah mencakup prosentase dari komponen pembentuk sampah yang secara fisik dapat dibedakan antara sampah organik, kertas, plastik, logam dan lain-‐lain. Komposisi sampah ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan kelayakan pengolahan sampah khususnya daur ulang dan pembuatan kompos serta kemungkinan penggunaan gas landfill sebagai energi alternatif.
Sebagai gambaran pada umumnya negara-‐negara berkembang memiliki komposisi organik yang lebih tinggi dari negara dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Komosisi sampah di Indonesia rata-‐rata mengandung organik yang cukup tinggi (70 – 80 %) dan anorganik 20 – 30 %
2) Karakteristik Sampah
Data mengenai karakteristik kimia sampah dapat dilakukan dengan cara analisa di laboratorium. Data ini erat kaitannya dengan komposisi fisiknya, apabila komposisi organiknya tinggi, maka biasanya kandungan airnya tinggi, nilai kalornya rendah, kadar abunya rendah, berat jenisnya tinggi. Karakteristik sampah di Indonesia rata-‐rata memiliki kadar air 60 %, nilai kalor 1000 – 1300 k.cal/kg, kadar abu 10 – 11 % dan berat jenis 250 kg/m3
Data ini penting dalam menentukan pertimbangan dalam memilih alternatif pengolahan sampah dengan cara pembakaran (insinerator). Sebagai contoh sampah yang memiliki kadar air tinggi (> 55 %), nilai kalor rendah (< 1300 kcal / kg), berat jenis tinggi (> 200 kg / m3) tidak layak untuk dibakar dengan insinerator.
Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai acuan, yaitu: Sumber sampah yang berasal dari daerah perumahan Sumber sampah yang berasal dari daerah komersial. Sumber sampah yang berasal dari fasilitas umum Sumber sampah yang berasal dari fasilitas sosial
Klasifikasi kategori sumber sampah tersebut pada dasarnya juga dapat menggambarkan klasifikasi tingkat perekonomian yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah dan menentukan pola subsidi silang.
Daerah Perumahan (rumah tangga)
Sumber sampah didaerah perumahan dibagi atas : Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income) Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income) Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah / daerah kumuh (Low income / slum area)
Daerah komersial.
Daerah komersial umumnya didominasi oleh kawasan perniagaan, hiburan dan lain-‐lain. Yang termasuk kategori komersial adalah pasar pertokoan hotel restauran bioskop salon kecantikan industri dan lain-‐lain
Fasilitas umum
Fasilitas umum merupakan sarana / prasarana perkotaan yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori fasilitas umum ini adalah perkantoran, sekolah, rumah sakit, apotik, gedung olah raga, museum, taman, jalan, saluran / sungai dan lain-‐lain.
Fasilitas sosial
kepentingan sosial atau bersifat sosial. Fasilitas sosial ini meliputi panti-‐panti sosial (rumah jompo, panti asuhan) dan tempat-‐tempat ibadah (mesjid, gereja pura, dan lain-‐lain)
Sumber lain
Dari klasifikasi sumber-‐sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi jenis sumber-‐sumber sampah yang lain sesuai dengan kondisi kotanya atau peruntukan tata guna lahannya. Sebagai contoh sampah yang berasal dari tempat pemotongan hewan atau limbah pertanian ataupun buangan dari instalasi pengolahan air limbah (sludge), dengan catatan bahwa sampah atau limbah tersebut adalah bersifat padat dan bukan kategori sampah B3.
4). Pola Operasional
Pola operasional penanganan sampah dari sumber sampai TPA dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan dan pembuangan akhir
Pewadahan
Pembuangan Akhir
a. Wadah sampah individual (disumber) disediakan oleh setiap penghasil sampah sendiri sedangkan wadah komunal dan pejalan kaki disediakan oleh pengelola dan atau swasta. spesifikasi wadah sedemikian rupa sehingga memudahkan operasionalnya, tidak permanen dan higienis. Akan lebih baik apabila ada pemisahan wadah untuk sampah basah dan sampah kering
b. Pengosongan sampah dari wadah individual dilakukan paling lama 2 hari sekali sedangkan untuk wadah komunal harus dilakukan setiap hari
Pengumpulan
Pengumpulan sampah dari sumber dapat dilakukan secara langsung dengan alat angkut (untuk sumber sampah besar atau daerah yang memiliki kemiringan lahan cukup tinggi) atau tidak langsung dengan menggunakan gerobak (untuk daerah teratur) dan secara komunal oleh mayarakat sendiri (untuk daerah tidak teratur)
Penyapuan jalan diperlukan pada daerah pusat kota seperti ruas jalan protokol, pusat perdagangan, taman kota dan lain-‐lain
Pemindahan
Pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke alat angkut (truk) dilakukan di trasnfer depo atau container untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan
Lokasi pemindahan haru dekat dengan daerah pelayanan atau radius ± 500 m
Pemindahan skala kota ke stasiun transfer diperlukan bila jarak ke lokasi TPA lebih besar dari 25 km
Pengangkutan
Pengangkutan secara langsung dari setiap sumber harus dibatasi pada daerah pelayanan yang tidak memungkinkan cara operasi lainnya atau pada daerah pelayanan tertentu berdasarkan pertimbangan keamanan maupun estetika dengan memperhitungkan besarnya biaya operasi yang harus dibayar oleh pengguna jasa
Penetapan rute pengangkutan sampah harus didasarkan pada hasil survey time motion study untuk mendapatkan jalur yang paling efisien. Jenis truk yang
digunakan minimal dump truck yang memiliki kemampuan membongkar muatan secara hidrolis, efisien dan cepat. Penggunaan arm roll truck dan compactor truck harus mempertimbangkan kemampuan pemeliharaan
Pengolahan
Pengolahan sampah dimaksudkan untuk mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke TPA serta meningkatkan efisiensi penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan
Teknologi pengolahan sampah dapat dilakukan melalui pembuatan kompos, pembakaran sampah secara aman (bebas COx, SOx, NOx dan dioxin), pemanfaatan gas metan dan daur ulang sampah. Khusus pemanfaatana gas metan TPA (landfill gas), dapat masuk dalam CDM (clean developmant mechanism) karena secara significan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada iklim global.
Skala pengolahan sampah mulai dari individual, komunal (kawasan), skala kota dan skala regional.
Penerapan teknologi pengolahan harus memperhatikan aspek lingkungan, dana, SDM dan kemudahan operasional
Pembuangan akhir
Pemilihan lokasi TPA harus mengacu pada SNI 03-‐3241-‐1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA. Agar keberadaan TPA tidak mencemari lingkungan, maka jarak TPA ke badan air penerima > 100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke airport 1500 m (untuk pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet). Selain itu muka air tanah harus > 4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K < 10-‐6 cm/det.
Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan controlled landfill (untuk kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill (untuk kota besar dan metropolitan) dengan “sistem sel”
drainase keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer zone) Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul lindi, pengolahan lindi dan ventilasi gas / flaring atau landfill gas extraction untuk mngurangi emisi gas.
Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat (buldozer, excavator, loader dan atau landfill compactor) dan stok tanah penutup
Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala dengan ketebalan 20 -‐ 30 cm. Penyemprotan insektisida harus dilakukan apabila penutupan sampah tidak dapat dilakukan secara harian. Penutupan tanah akhir harus dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan bekas TPA
Kegiatan pemantauan lingkungan harus tetap dilakukan meskipun TPA telah ditutup terutama untuk gas dan efluen leachate, karena proses dekomposisi sampah menjadi gas dan leahate masih terus terjadi sampai 25 tahun setelah penutupan TPA
Manajemen pengelolaan TPA perlu dikendalikan secara cermat dan membutuhkan tenaga terdidik yang memadai Lahan bekas TPA direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan terbuka hijau.
2.2.2. Aspek Institusi
Penyelenggara pembangunan prasarana dan sarana persampahan dapat dilakukan secara sendiri atau terpadu oleh Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, Swasta dan masyarakat
Bentuk institusi dan struktur organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara umum bentuk institusi yang ada adalah perusahaan daerah kebersihan (PDK), dinas kebersihan (DK), dinas kebersihan dan pertamanan (DKP), seksi kebersihan dan lain-‐lain. Struktur organisasi sebaiknya mencerminkan kegiatan utama penangan sampah dari sumber sampei TPA termasuk memiliki bagian perencaan, retribusi, penyuluhan dan lain-‐lain.
dengan instansi terkait termasuk PLN (untuk kerjasama penarikan retribusi) dan kerja sama antar kota untuk pola penangangan sampah secara regional dan kerja sama dengan masyarakat atau perguruan tinggi.
SDM sebaiknya memiliki keahlian bidang persampahan baik melalui pendidikan formal (ada staf yang memiliki latar belakang pendidikan teknik lingkungan, ekonomi, ahli manajemen dll) dan training bidang persampahan.
Kegiatan pengelolaan sampah yang tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat, menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus dilaksanakan secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan instansi terkait, LSM dan perguruan tinggi
2.2.3. Aspek Pembiayaan Sumber Pembiayaan
Pengelolaan persampahan dapat dibiayai dari swadaya masyarakat, investasi swasta dan APBN / APBD
Tata cara pembiayaan mengikuti ketentuan yang berlaku. Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembangunan prasarana dan sarana persampahan dalam bentuk dana maupun aset kepada masyarakat. Pembiayaan penyediaan dan pemeliharaan pewadahan individual menjadi tanggung jawab penghasil sampah
Tarif Retribusi
Biaya untuk penyediaan prasarana dan sarana pengumpulan serta pengelolaannya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dikenakan pada anggota masyarakat yang mendapat pelayanan dalam bentuk iuran (besarnya ditentukan melalui musyawarah dan mufakat) dan dikordinasikan dengan pihak instansi pengelola persampahan
Biaya untuk pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau swasta untuk kepentingan masyarakat dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk retribusi kebersihan. Biaya pengelolaan tersebut meliputi biaya investasi dan biaya operasi dan pemeliharaan Penentuan tarif retribusi disusun berdasarkan asas keterjangkauan /willingness to pay (secara
umum kemampuan masyarakat membayar retribusi adalah 1 -‐2 % dari income) dan subsidi silang dari masyarakat berpenghasilan tinggi ke masyarakat berpenghasilan rendah dan dari sektor komersial ke non komersial tanpa meninggalkan prinsip ekonomi / cost recovery (minimal 80 %, 20 % merupakan subsidi Pemerintah kota/kab untuk pembersihan fasilitas umum). Mekanisme penarikan retribusi selain dilakukan langsung oleh instansi pengelola juga dapat dilakukan melalui kerjasama dengan PLN, PDAM, RT/RW dan lain-‐lain sesuai dengan kondisi daerah pelayanan.
2.2.4. Aspek Peraturan
a. Undang-‐Undang (UU) yang berkaitan dengan persampahan adalah UU No 7 / 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No 23/1997 tentang Pokok-‐Pokok Lingkungan Hidup, UU No 24 /1992 tentang Penataan Ruang, UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1992 Perumahan dan Permukiman
b. Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan masalah persampahan adalah PP tentang Badan Layanan Umum, PP No 16 / 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum , PP No.27 tahun 1999 tentang Amdal, PP No. 18 jo 85/1999 tentang Limbah B3 dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem penyediaan Air Minum
c. Agenda 21 berkaitan dengan program optimaalisasi minimalisasi limbah secara bertahap sampai tahun 2020, Kyoto Protocol tentang CDM (clean development mechanism), MDGs tentang upaya pencapaian target pengurangan jumlah orang miskin dan akses terhadap air minum dan sanitasi (target 10 dan 11)
2454-‐ 1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, SNI tentang Spesifikasi Controlled Landfill, SK SNI S-‐04-‐ 1992-‐03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Kota Sedang dan Kota Kecil, SNI 03-‐3242-‐1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman, SNI 03-‐3241-‐1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, SNI 19-‐3964-‐1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah.
e. Pengaturan penyelenggaraan pembangunan bidang persampahan dilakukan melalui peraturan daerah (perda) yang pada umumnya terdiri dari perda pembentukan institusi, ketentuan umum kebersihan dan retribusi. Selain itu juga diperlukan perda yang mengatur mengenai peran serta swasta, penanganan limbah B3 / rumah sakit dan lain-‐lain.
2.2.5. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Kemitraan Peran Serta Masyarakat
Peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan diperlukan sejak dari perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan
Peran serta masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dapat berupa usulan, saran, pertimbangan, keberatan serta bantuan lainnya atau pelaksanaan program 3R baik untuk skala individual maupun skala kawasan.
Peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan formal sejak dini, penyuluhan yang intenssif, terpadu dan terus menerus serta diterapkannya sistem insentif dan disinsentif
Masyarakat bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pewadahan dan atau meyelenggarakan pengumpulan / pengolahan
sampah Kemitraan Pemerintah memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana persampahan serta dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif Kemitraan dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh kegiatan sistem pembangunan persampahan, termasuk melakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan. Pola kemitraan dapat dilakukan melalui studi kelayakan dengan memperhatikan keterjangkauan masyarakat, kemampuan Pemda, peluang usaha dan keuntungan swasta. Kemitraan dapat dilakukan dengan sistem BOO, BOT, kontrak manajemen, kontrak konsesi dan lain-‐lain.
2.3. Dampak Pencemaran Akibat Sampah 2.3.1. Potensi Dampak
Dalam kenyataannya banyak pengelola kebersihan menghadapi berbagai masalah dan kendala sehingga mereka tidak dapat menyediakan pelayanan yang baik sesuai dengan ketentuan teknis dan harapan masyarakat. Disana sini sering terjadi pencemaran akibat pengelolaan yang kurang baik sehingga menimbulkan berbagai masalah pencemaran selama pelaksanaan kegiatan teknis penanganan persampahan yang meliputi: pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Berbagai potensi yang menimbulkan berbagai dampak dapat meliputi :
a. Perkembangan vektor penyakit Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat Penampungan Sementara / Container juga merupakan tempat berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya. Vektor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung
sampai radius 1-‐2 km dari lokasi TPA
b. Pencemaran Udara Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-‐lain. Pembakaran sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi menimbulkan masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air lindi dari bak kendaraan.
Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat pencemar ke udara dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya berupa : partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-‐lain. Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan lain-‐lain yang secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di udara, mendorong terjadinya pemanasan global, disamping efek yang merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya.
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak memenuhi syarat teknis.
Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik.
secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.
c. Pencemaran Air. Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran.
Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada.
d. Pencemaran Tanah. Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.
e. Gangguan Estetika. Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya.
Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.
Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya
Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui. Lokasi TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi / tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.
f. Kemacetan Lalu lintas. Lokasi penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-‐lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas.
Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-‐upaya khusus untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-‐jam kedatangan.
Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.
g. Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari mesin-‐mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-‐lain yang dapat mengganggu daerah-‐daerah sensitif di sekitarnya.
Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder).
Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada. h. Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah-‐langkah aktif untuk menghindarinya.
Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup:
a. Geo-‐fisik-‐Kimia; yang meliputi: kuantitas dan kualitas air tanah/permukaan, kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan b. Biologis: baik keanekaragaman maupun kondisi flora/fauna c. Sosio ekonomi budaya; yang meliputi: kependudukan, kesehatan
masyarakat, pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap proyek, nilai jual tanah, situs sejarah, adat, dan lain-‐lain
d. Prasarana umum: jalan, saluran drainase, jaringan PLN/Telkom, perpipaan air bersih / air limbah, dll
2.4. Tempat Pembuangan Akhir
TPA merupakan fasilitas fisik yang digunakan untuk tempat pengolahan akhir sampah. Pada TPA sistem sanitary landfill, sampah yang diolah akan ditimbun merata secara berlapis, kemudian dipadatkan dan ditutup dengan tanah atau material lain pada setiap akhir hari operasi (Tchobanolous dkk., 1993). Sampah yang ditimbun di TPA akan mengalami reaksi fisik, kimia dan biologi secara bersama-‐sama serta saling berhubungan melalui proses dekomposisi sampah yang kemudian akan menghasilkan gas landfill (CO2, CH4, dan H2S) dan cairan lindi sampah (leachate). Leachate menjadi hal yang penting diperhatikan dalam pengoperasian dan pengelolaan TPA karena memiliki sifat mudah bereaksi dengan air, tanah maupun udara sehingga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. Sedangkan gas landfill yang terbentuk akan meningkatkan tekanan internal TPA yang dapat menyebabkan terjadinya self combustion, keretakan dan bocornya tanah penutup.
Untuk meminimalkan resiko lingkungan tersebut, maka penentuan lokasi TPA harus memenuhi syarat-‐syarat kelayakan lingkungan. Menurut Rahman dkk.
(2008), penentuan lokasi TPA harus memperhatikan karakteristik lokasi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, ekologi dan faktor penggunaan lahan. Rahmatiyah (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa proses pemilihan lokasi TPA perlu mempertimbangkan tiga hal penting, yaitu :
1. pertimbangan operasional; secara operasional TPA memerlukan lahan yang cukup untuk menampung segala jenis sampah dan zonesi ketersediaan lahan harus memperhatikan rencana regional serta aspek aksesibilitas (keterjangkauan);
2. pertimbangan ekologi; yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA setelah tidak dipergunakan lagi;
3. pertimbangan topografi, geologi dan hidrologi; lebih mengarah pada aspek persyaratan fisik lahan, misalnya berdasarkan relief atau topografi dapat dipilih lokasi-‐lokasi yang bebas dari bahaya banjir ataupun erosi dan berdasarkan aspek hidrologi, lokasi TPA harus berada di wilayah dengan muka air tanah yang dalam, sehingga lindi sampah tidak mencemari air tanah.
Di Indonesia, penentuan lokasi TPA dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-‐3241-‐1994 yang membagi kriteria pemilihan lokasi TPA menjadi tiga, yaitu :
(a) kelayakan regional untuk menentukan zone layak atau zone tidak layak, (b) kelayakan penyisih untuk menentukan tingkat kesesuaian dari
beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap pertama,
(c) kelayakan rekomendasi untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya.
berdasarkan SNI 03-‐ 3241-‐1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Pada penelitian ini ditetapkan 15 kriteria pemilihan lokasi TPA, yang dikelompokkan dalam dua kategori kelayakan, yaitu ;
(a) kelayakan regional, meliputi ; kemiringan lereng, kondisi geologi, jarak terhadap badan air, jarak terhadap permukiman penduduk, jarak terhadap kawasan budidaya pertanian, jarak terhadap kawasan lindung, jarak terhadap lapangan terbang, dan jarak terhadap perbatasan daerah,
(b) kelayakan penyisih, meliputi ; luas lahan, zona penyangga, permeabilitas tanah, kedalaman muka air tanah, intensitas hujan, bahaya banjir dan transportasi sampah.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan dan olah data spasial masing-‐masing kriteria tersebut dengan memanfaatkan peta tematik. Penentuan lokasi TPA dilakukan melalui tiga tahap penilaian. Penilaian tahap pertama dilakukan dengan metode
binary untuk menentukan zone layak atau tidak layak sebagai lokasi TPA
berdasarkan delapan kriteria penilaian kelayakan regional. Pada lahan yang memenuhi kriteria penilaian diberi nilai 1 dan lahan yang tidak memenuhi kriteria penilaian diberi nilai 0. Sehingga zone layak TPA ditetapkan apabila nilai lahan mencapai jumlah maksimal (delapan). Penilaian tahap kedua dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Weighted Linear Combination (WLC) untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian tahap pertama berdasarkan tujuh kriteria penilaian kelayakan penyisih. AHP digunakan untuk menentukan bobot dan nilai dari masing-‐masing kriteria penilaian, sedangkan WLC digunakan untuk operasi perhitungan nilai kesesuaian sebagai lokasi TPA.
Hasil penilaian tingkat kesesuaian lahan masing-‐masing lokasi dikelompokan dalam 5 tingkat kesesuaian, yaitu : sangat rendah (30-‐41), rendah (42-‐53), sedang
(54-‐65), tinggi (66-‐77) dan sangat tinggi (78-‐90). Penilaian tahap ketiga (kelayakan rekomendasi) dilakukan dengan metode overlay peta hasil penilaian tahap sebelumnya dengan Peta Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Klungkung untuk menetapkan lokasi terbaik dari beberapa alternatif lokasi yang telah diperoleh pada penilaian sebelumnya.
BAB III
KAJIAN PENGELOLAAN TPA SENTE
3.1. Aspek Sejarah
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Dusun Sente, Desa Pikat Dawan Kabupaten Klungkung telah beroperasi sejak tahun 1994. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan, pada awalnya lokasi tersebut bukanlah didesain secara sengaja sebagai TPA oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung. Karena lahan tersebut merupakan salah satu aset Puri Klungkung dan kebetulan pada saat itu salah seorang tokoh dari Puri Klungkung sedang mengemban tugas di pemerintah daerah, berinisiatif untuk mengatasi kelangkaan tempat guna mengatasi problema sampah yang mulai muncul, dengan memanfaatkan lahan aset Puri tersebut sebagai tempat menampung sampah. Akhirnya, sampai saat ini lokasi tersebut terus digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Dikarenakan adanya latar belakang historis yang berkaitan dengan Puri, masyarakat di sekitar TPA sungkan untuk mengungkapkan ketidaksetujuan ketika di sekitar lingkungan mereka difungsikan sebagai tempat pembuangan sampah.
Secara empiris, berdasarkan observasi langsung di lokasi, kondisi TPA Sente memang tampak tidak disiapkan atau direncanakan secara matang sebagai TPA. Dengan luas sekitar 0,98 hektar (Ha), TPA Sente jauh dari standar luas lahan TPA yang idealnya seluas 4 Ha. Nuansa darurat juga semakin kentara ketika terlihat adanya kesan tambal sulam dalam menangani volume sampah yang sudah overload. Gunungan sampah yang tampak meninggi, sering meluber ke lahan yang dimiliki masyarakat dan terkadang masuk ke sungai yang mengalir tak jauh dari TPA, terutama ketika musim hujan tiba. Penanganan yang dilakukan Pemkab Klungkung yaitu dengan membangun pagar penahan (gronjong), yang sering jebol karena tidak mampu menahan desakan sampah.
Ditinjau dari aspek pemilihan lokasi, luas lahan dan penanganan tambal sulam dalam mengatasi melubernya sampah, mengindikasikan adanya perencanaan yang tidak matang, karena memang pada awalnya lokasi tersebut tidak dimaksudkan sebagai TPA secara profesional, akan tetapi secara historisnya berpijak pada kondisi darurat. Artinya, segala permasalahan yang timbul baik dari dimensi fisik maupun sosial budaya tidak diprediksi sedari awal, dan penanganannya pun bersifat post factum (setelah ada kasus baru ditindaklanjuti). Perkembangan saat ini, TPA Sente sempat mengalami ledakan sehingga menimbulkan keresahan masyarakat sekitarnya, terutama mereka yang bermukim di Banjar Sente. Letaknya yang tidak terlalu jauh dan berada persis di bawah TPA menyebabkan masyarakat banjar ini merasa sebagai pihak yang paling mendapatkan efek buruk dari beroperasinya TPA Sente. Selama hampir 20 tahun masyarakat merasa kualitas kesehatan mereka menurun, karena banjar mereka hampir selalu diselimuti asap hasil pembakaran sampah. Pun, mereka mengeluhkan serbuan lalat dan aroma kurang sedap yang acapkali terhirup. Pasca adanya ledakan, Masyarakat Banjar Sente sempat mengajukan protes yang ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Klungkung, dan menuntut agar TPA tersebut ditutup. Berkat kesigapan Pemkab, dengan diadakannya audiensi antara pemerintah yang langsung diwakili oleh Bupati Klungkung, aspirasi masyarakat diakomodir, sehingga gejolak sosial tersebut dapat diredam.
3.2. Identifikasi Kondisi Persampahan di Kabupaten Klungkung
Berdasarkah hasil evaluasi kebersihan kota-‐kota di Indonesia, disimpulkan bahwa tidak seluruh sampah dibuang ke TPA. Menurut Damanhuri,(2004), hal tersebut disebabkan pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan sistem kumpul-‐angkut-‐buang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi beban dalam penanganan sampah yaitu dengan mereduksi volume sampah baik dari sumber maupun di tempat pengolahan sampah. Sampah mempunyai potensi untuk didaur ulang. Proses daur ulang harus memperhatikan komposisi dan
karakteristik sampah yang dominan. Proses daur ulang juga dilakukan di sumber timbulan dan TPS atau pada skala kawasan, sehingga dapat meminimalkan biaya pengangkutan ke TPA .
Pengelolaan sampah terintegrasi atau terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-‐teknik, teknologi, dan program-‐program manajemen yang sesuai untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik pengelolaan sampah. Menurut Tchobanoglous, (1997), pengelolaan sampah terpadu yakni: pengurangan sampah di awal sumber (source reduction), daur ulang (recycling), pengolahan limbah (waste transformastion) dan landfilling. Namun, pada intinya, setiap elemen pada konsep pengelolaan sampah terpadu/terintegrasi harus berjalan dengan semestinya dan terus dikembangkan karena saling berkesinambungan serta saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Contohnya, tahap kegiatan daur ulang baru bisa berjalan ketika kegiatan pengurangan sampah di awal sumber telah berjalan. Sama halnya dengan pengolahan limbah dapat dilakukan setelah kegiatan daur ulang telah berjalan, sehingga sampah yang diolah hanyalah sampah yang tidak dapat didaur ulang. Sesuai dengan Permen PU 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Persampahan, yang diperlukan suatu perubahan paradigma yang lebih mengedepankan proses pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, yaitu dengan melakukan upaya pengurangan dan pemanfaatan sampah sebelum akhirnya dibuang ke TPA (target 20% pada tahun 2010). Paradigma baru tersebut adalah konsep 3R dalam konsumsi dan pola produksi di semua tingkatan dengan memberikan prioritas tertinggi bagi pengolahan limbah yang berorientasi pada timbulan sampah, minimasi limbah dengan memanfaatkan barang yang dapat digunakan lagi dan barang yang dapat didekomposisi secara biologis,dan penerapan pembangunan limbah yang ramah lingkungan.
Menurut data dari Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Klungkung, karakteristik sampah yang dihasilkan dibedakan atas sampah organik (
dedaunan,kertas) dan sampah anorganik ( plastic, besi dan sebagainya). Umumnya sampah organik di Bali adalah sekitar 75% dan selebihnya sampah anorganik sekitar 25 %. Perbedaan karakteristik sampah ini akan mempengaruhi strategi dan cara pengolahan sampah sehingga sampah-‐sampah yang dihasilkan benar-‐benar dapat menjadi sumberdaya yang akan memberikan nilai tambah dan peningkatan penghasilan bagi masyarakat.
Volume Timbulan Sampah Di Kabupaten Klungkung berdasarkan hasil perhitungan dan penelitian di lapangan, menghasilkan rata-‐rata sebanyak 123,7 m3 /hari dengan kepadatan sampah (densitas) sebesar 0.704 kg/L. Rata-‐rata komposisi fisik sampah dari tiap-‐tiap komposisi sampah pemukiman berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Komposisi fisik sampah di Kecamatan Banjarangkan didominasi oleh sampah basah yaitu sebesar 59%. sedangkan sampah plastik sebesar 22%, sampah kertas sebesar 7%, sampah kayu sebesar 6%, dan sampah karet/kulit sebesar 6%.
3.3. Identifikasi Pengelolaan Sampah di TPA Sente
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Klungkung berdampak pada perubahan pola hidup masyarakatnya, yang menjadi lebih konsumtif. Hal ini menyebabkan meningkatnya produksi sampah, yang harus dikelola dengan baik, terutama dalam pengangkutannya ke TPA.
Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten di Bali yang berkembang dalam kesenian dan industri kecil dan mempunyai permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Bali, yaitu sampah. Pengelolaan pengangkutan sampah yang ada masih bermasalah karena belum terangkutnya seluruh sampah oleh kendaraan pengangkut sampah dan tingkat penggunaan angkutan sampah yang tersedia juga belum optimal.
Peningkatan pelayanan bagi masyarakat perlu dilakukan dengan perbaikan sistem pengelolaan pengangkutan sampah dari segi waktu, rute, dan jumlah