• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

39

BAB IV

DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU

4.1 TINJAUAN UMUM

Diagenesis merupakan perubahan fisik atau kimia suatu sedimen atau batuan sedimen yang terjadi setelah pengendapan, tidak termasuk proses-proses yang melibatkan temperatur dan tekanan yang cukup tinggi yang dikenal sebagai metamorfisme (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

4.1.1 Proses dan Produk Diagenesis

Proses-proses utama yang terjadi selama diagenesis, yaitu mikritisasi mikrobial, dolomitisasi, sementasi, pelarutan, neomorfisme dan kompaksi, termasuk pressure dissolution (Tucker dan Wright, 1990).

4.1.1.1 Mikritisasi Mikrobial

Menurut Tucker dan Wright (1990), selaput mikrit (micritic envelopes) adalah produk dari mikritisasi mikrobial dan jika kegiatan ini intensif maka akan dihasilkan butiran yang termikritisasikan. Sedangkan mikritisasi mikrobial itu sendiri merupakan proses yang ditandai pada bioklas terubah selama di dasar laut oleh organisme alga, jamur atau bakteri. Menurut Longman (1980), proses ini merupakan proses yang penting dalam lingkungan stagnant marine phreatic zone dan active marine phreatic zone.

4.1.1.2 Dolomitisasi

Dolomitisasi adalah proses penggantian mineral kalsit (CaCO3) menjadi mineral dolomit (CaMg(CO3)2) akibat adanya kontak batugamping dengan air yang kaya magnesium pada batuan karbonat. Menurut Tucker dan Wright (1990), ada 5 model dolomitisasi pada lingkungan yang berbeda-beda, yaitu evaporative, seepage-reflux, mixing zone, burial, dan seawater.

Menurut Longman (1982), presipitasi dolomit dipengaruhi oleh besarnya rasio Mg/Ca pada mineral, besarnya kandungan karbondioksida, tingginya

(2)

40 temperatur dan pH, rendahnya kandungan sulfat, rendahnya kadar salinitas serta pengaruh material organik.

4.1.1.3 Sementasi

Sementasi adalah proses pengisian pori baik di antara butiran, di dalam butiran ataupun di dalam lubang yang dihasilkan oleh pelarutan aragonit. Menurut Tucker dan Wright (1990), jenis-jenis semen yang hadir pada batuan karbonat, yaitu aragonit, kalsit dengan kandungan Mg rendah, kalsit dengan kandungan Mg tinggi, dan dolomit.

4.1.1.4 Pelarutan

Proses pelarutan terjadi ketika terdapat perbedaan lingkungan diagenesis yang menyebabkan mineral tidak stabil akan larut dan membentuk mineral lain yang lebih stabil pada lingkungan yang baru. Menurut Longman (1980), proses pelarutan dapat terjadi pada lingkungan freshwater vadose maupun freshwater phreatic.

Proses pelarutan merupakan proses utama di dekat permukaan, meteorik, dan dapat menyebabkan pembentukan karst. Akan tetapi, proses ini dapat terjadi pada dasar laut dan selama deep burial.

4.1.1.5 Neomorfisme

Menurut Tucker dan Wright (1990), proses neomorfisme terdiri dari inversi, rekristalisasi dan coalescive neomorphism (aggrading/degrading neomorphism). Inversi merupakan perubahan satu mineral ke polimorf, sebagai contoh transformasi polimorph aragonit menjadi kalsit, alterasi kalsit Mg menjadi kalsit. Lain halnya dengan rekristalisasi yang merupakan perubahan dalam ukuran kristal tanpa perubahan dalam mineraloginya, misalnya membesar atau mengecilnya ukuran kristal kalsit. Umumnya, neomorfisme pada batuan karbonat memiliki tipe aggrading (agradasi), yaitu proses yang menghasilkan butiran spar yang lebih besar. Proses neomorfisme menyebabkan matrik (mikrit) telah terubah menjadi mikrospar. Proses ini dapat terjadi pada awal pemendaman freshwater phreatic dan deep burial.

(3)

41 4.1.1.6 Kompaksi

Menurut Tucker dan Wright (1990), kompaksi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu Kompaksi Mekanik dan Kimia. Kompaksi Mekanik terjadi ketika pembebanan semakin besar menyebabkan terjadinya retakan di dalam butir, butir saling berdekatan, porositas menurun. Sedangkan Kompaksi Kimia terjadi ketika antarbutir bersentuhan sehingga mengalami pelarutan yang menghasilkan kontak suture dan kontak concavo-convex, serta pada tahap lanjut akan menghasilkan stylolite.

4.1.2 Lingkungan Diagenesis

Lingkungan diagenesis berdasarkan Tucker dan Wright (1990), yaitu marine phreatic, mixing zone, meteoric phreatic, meteoric vadose dan burial (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Lingkungan diagenesis yang terjadi pada batuan karbonat (Tucker dan Wright, 1990).

Berdasarkan Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), semen pada lingkungan marine phreatic adalah kalsit dengan kandungan Mg yang tinggi dan aragonit. Morfologi dari kalsit dengan kandungan Mg tinggi, yaitu microcrystalline crusts dan fibrous sampai bladed rinds, sedangkan morfologi dari aragonit yaitu fibrous, mesh of needles, dan botryoidal, seperti pada Gambar 4.2.

(4)

42

Gambar 4.2 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan marine phreatic (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

Lingkungan mixing zone berada diantara lingkungan marine phreatic dan freshwater phreatic yang ditandai oleh air payau. Dolomit pada mixing zone ini berkisar pada penggantian mikrokristalin jernih pada zona penggantian dan zona semen. Semen dolomit yang sebenarnya sangat sulit dibedakan dari hasil dolomitisasi semen kalsit, kecuali dengan pengecekkan CL (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

Lingkungan meteoric phreatic dicirikan oleh proses pencucian, neomorfisme butir yang diikuti atau tanpa diikuti sementasi kalsit secara intensif. Ada beberapa kenampakkan variasi tekstur pelarutan (Choquette dan Pray, 1970 op.cit. James dan Choquette, 1990), seperti passages, channels, dan shafts. Selain tekstur tersebut, menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), kenampakkan lain tekstur pelarutan, seperti solution-enlarged fracture, sinkhole, caves, dan collapse breccias. Semen pada lingkungan meteoric phreatic adalah kalsit dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen pada lingkungan ini adalah isopachus dan blocky (Gambar 4.3). Menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), morfologi semen syntaxial overgrowth dapat terbentuk pada lingkungan marine, meteoric, dan burial.

(5)

43

Gambar 4.3 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan vadose zone dan phreatic zone (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

Menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), lingkungan meteoric vadose ditandai dengan tidak jenuh air menyebabkan air yang terdapat di lingkungan ini akan bertahan di antara butiran diakibatkan gaya kapilaritas atau di bawah butiran sebagai pendant drops. Semen pada lingkungan meteoric vadose adalah kalsit dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen yang dominan pada lingkungan ini, yaitu meniscus, pendant dan kalsit equant, seperti pada Gambar 4.3.

Lingkungan burial sangat dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan yang sangat mempengaruhi proses diagenesis. Lingkungan ini mewakili perubahan yang terjadi di bawah zona sirkulasi air dekat permukaan, berada di bawah zona pencampuran meteoric phreatic atau zona aktif sirkulasi air laut (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

Gambar 4.4 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan burial (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

(6)

44

Gambar 4.5 Jenis struktur pelarutan pada Lingkungan Burial (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003).

Berdasarkan Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), semen di daerah burial, antara lain coarse calcite spar dan dolomit Fe. Terdapat empat jenis mosaik semen coarse calcite spar pada lingkungan ini, yaitu drusy, kalsit poikilotopic, spari kalsit equant-equicrystalline mosaic dan spari kalsit syntaxial (Gambar 4.4). Terdapat tiga jenis struktur pelarutan, yaitu fitted fabric, dissolution seams, dan stylolites (Gambar 4.5).

Rongga yang terlarutkan pada lingkungan diagenesis burial (Choquette dan Pray, 1970 op.cit. Choquette dan James, 1990), dapat berupa tekstur fabric selective or not dan termasuk moldic, vugs, dan pembesaran rongga interpartikel akibat pelarutan. Rongga non-fabric selective dimulai sebagai rongga interpartikel atau moldic dan kemudian dengan cepat berkembang. Pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga juga merupakan bukti lingkungan diagenesis burial ini.

(7)

45 4.2 ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI BULU

4.2.1 Metode Penelitian

Analisis data dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan dan pendekatan petrografi menggunakan mikroskop polarisasi terhadap 20 sampel batugamping. Seluruh sayatan tipis diberi blue dye untuk menunjukkan keberadaan dan kelimpahan porositas. Seluruh sayatan juga diberi Alizarin red-S untuk membedakan antara kalsit dan dolomit.

Analisis yang dilakukan mencakup identifikasi butiran (cangkang fosil, fragmen litik, dan lain sebagainya), matriks, bentuk dan jenis semen, porositas primer dan sekunder, serta identifikasi produk diagenesis yang hadir. Penamaan batuan mengacu pada klasifikasi Dunham (1962). Identifikasi jenis, bentuk, dan ukuran porositas mengacu pada klasifikasi Choquette dan Pray (1970). Seluruh hasil analisis yang diperoleh akan digunakan untuk menentukan tahapan diagenesis dan menafsirkan sejarah diagenesis dengan mengacu pada beberapa referensi teori dasar, antara lain Longman (1980), Longman (1982), Tucker dan Wright (1990), Mcllreath dan Morrow (1990), serta Scholle dan Ulmer-Scholle (2003).

4.2.2 Petrografi Batugamping

Pengamatan petrografi bertujuan untuk mengamati secara mikroskopis sampel sayatan tipis batugamping berkaitan dengan tekstur, mineralogi, dan produk diagenesis. Hasil pengamatan petrografi (Lampiran A2) menunjukkan adanya 3 jenis batugamping, yaitu boundstone, grainstone, dan packstone. Pada Lampiran E4 akan teridentifikasi adanya perubahan jenis batugamping baik pada arah utara-selatan maupun arah barat-timur daerah penelitian. Boundstone dijumpai di bagian baratdaya daerah penelitian, semakin ke arah utara akan berubah menjadi batugamping packstone, sedangkan semakin ke arah timur akan berubah menjadi batugamping grainstone.

(8)

46 4.2.2.1 Boundstone

Foto 4.1. Singkapan batugamping masif di daerah Pancasona (lokasi E.9.12), menunjukkan adanya koral dalam posisi tumbuh. Foto diambil menghadap ke arah timur.

Batugamping boundstone dijumpai di bagian barat daya daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya bentukan bukit gamping dan memiliki koral dengan tekstur tumbuh (Foto 4.1). Pada penelitian ini dilakukan analisis petrografi pada 4 buah sampel boundstone, E.4.4, E.4.6, E.4.9, dan E.9.12 (Lampiran A2).

Berdasarkan pengamatan petrografi, batugamping boundstone ini tersusun oleh koral, foraminifera, algae merah, dan moluska. Di sampel E.4.9 juga terdapat fosil echinoid, pada pinggirannya terdapat semen syntaxial overgrowth calcite. Kamar fosil koral tersemenkan oleh mikrospar kalsit. Dinding luar cangkang foraminifera dan moluska mengalami mikritisasi, tampak dengan adanya selaput mikrit pada dinding cangkang tersebut. Kamar fosil foraminifera tersemenkan dengan mikrospar kalsit. Fosil algae merah dijumpai sebagai bioklas yang mengalami mikritisasi. Fosil moluska mengalami pelarutan membentuk porositas mouldic yang kemudian diisi oleh semen mikrospar kalsit.

Mineral opak dijumpai sebagai butiran dan ada juga yang dijumpai menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan boundstone. Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.4.9. Matriks dijumpai berupa lumpur karbonat, hampir semua terkristalisasi menjadi mikrospar.

U S

(9)

47 Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit. Bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan boundstone ini adalah blocky dan equant calcite. Porositas dijumpai berupa vug pada semua sampel sayatan boundstone.

Secara umum, proses diagenesis yang teramati pada keempat sampel sayatan, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi hanya terlihat pada sampel E.4.9 dan E.9.12.

4.2.2.2 Grainstone

Foto 4.2. Singkapan batugamping berlapis di Kali Penjalin (lokasi E.8.4). Foto diambil menghadap ke arah barat.

Batugamping grainstone dijumpai di bagian timur daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya batugamping berlapis (Foto 4.2) dan grain supported. Analisis petrografi pada 6 buah sampel grainstone (E.1.11, E.3.1, E.4.10, E.4.18, E.8.4, dan E.8.9) yang dapat dilihat pada Lampiran A2.

Secara umum, batuan grainstone memiliki tekstur klastik, terpilah buruk, grain supported, mempunyai komposisi fragmen fosil berupa foraminifera, algae merah, moluska, dan echinoid. Pada sampel E.1.11 terdapat fosil brachipod dan pada sampel E.4.18 terdapat pecahan fosil koral.

Fosil foraminifera dijumpai berbentuk utuh dan pecah-pecah, dinding luarnya mengalami mikritisasi, serta ruang kamarnya tersemenkan dengan mikrospar kalsit dan glaukonit. Fosil algae merah dijumpai sebagai bioklas yang mengalami

S U

(10)

48 mikritisasi. Fosil moluska dijumpai sebagai bioklas, berupa pecahan bivalve dan bentukan utuh gastropod, cangkang bivalve mengalami pelarutan, dan diisi oleh mikrospar kalsit. Pada pinggiran fosil echinoid terdapat semen syntaxial overgrowth calcite. Pada sampel E.1.11 tampak adanya bentukan semen syntaxial overgrowth berupa kalsit pada fosil echinoid yang telah digantikan oleh glaukonit dan juga tidak utuh lagi akibat pelarutan.

Mineral opak terlihat sebagai butiran (mineral detritus) dan ada juga yang menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan grainstone. Kuarsa dijumpai pada semua sampel sayatan kecuali sampel E.4.10 berupa mineral detritus, berbentuk menyudut-membundar tanggung, dan pemilahan baik. Glaukonit hadir pada sampel E.1.11, E.3.1, E.4.18, E.8.4, memiliki bentuk menyudut-membundar tanggung. Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.1.11, E.4.18, E.8.4, dan E.8.9.

Matriks dijumpai berupa lumpur karbonat, hampir semua terkristalisasi menjadi mikrospar. Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit yang mengisi ruang antarbutir dan kamar fosil pada semua sampel sayatan grainstone. Selain itu, semen glaukonit dijumpai mengisi kamar fosil foraminifera pada semua sampel sayatan kecuali sampel E.4.10, dan semen dolomit dijumpai mengisi ruang kosong berupa vug dan mouldic pada sampel E.1.11, E.4.10. Secara umum, bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan grainstone ini adalah blocky dan equant calcite. Namun, bentuk semen fibrous calcite dijumpai pada sampel E.1.11, bentuk semen fibrous to bladed calcite dijumpai pada sampel E.1.11, E.3.1, dan E.4.18, serta bentuk semen syntaxial overgrowth calcite dijumpai pada sampel E.1.11 dan E.3.1. Porositas dijumpai berupa vug yang secara umum terdapat pada sayatan grainstone dan porositas mouldic yang dijumpai pada sampel E.1.11 dan E.3.1.

Pada keenam sampel sayatan tersebut, proses diagenesis yang teramati, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi hanya terlihat pada sampel E.4.10 dan E.8.4.

(11)

49 4.2.2.3 Packstone

Foto 4.3. Singkapan batugamping masif di Bukit Goaterawang (lokasi E.9.8). Foto diambil menghadap ke arah barat laut.

Batugamping packstone ini dijumpai di bagian utara daerah penelitian. Batugamping ini ditandai dengan adanya batugamping masif yang mengalami pelarutan intensif (Foto 4.3) dan mud-grain supported. Pada penelitian ini dilakukan analisis petrografi pada 10 buah sampel packstone, antara lain pada sampel sayatan E.1.3, E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.5.9, E.6.5, E.6.14, E.9.4, E.9.8, dan E.9.13 (Lampiran A2).

Berdasarkan pengamatan sayatan petrografi (Lampiran A2), secara umum batuan packstone ini memiliki tekstur klastik, terpilah buruk, mud-grain supported, mempunyai komposisi butiran berupa fragmen fosil berupa foraminifera, algae merah, dan moluska. Pada sampel E.5.9 dijumpai fosil bryozoa, pada sampel E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.9.4 dijumpai fosil echinoid, dan pada sampel E.9.13, E.5.9 dijumpai pecahan fosil koral.

Pada dinding luar cangkang foraminifera mengalami mikritisasi, ruang kamar tersemenkan dengan mikrospar kalsit dan glaukonit. Fosil algae merah hadir sebagai bioklas dan mengalami mikritisasi. Fosil moluska hadir sebagai bioklas, berupa pecahan bivalve dan bentukan utuh gastropod, cangkang bivalve mengalami pelarutan, dan diisi oleh mikrospar kalsit. Pada pinggiran fosil echinoid terdapat semen syntaxial overgrowth calcite.

BD TL

(12)

50 Mineral opak terlihat sebagai butiran (mineral detritus) dan juga terdapat mineral opak yang menggantikan sebagian kecil cangkang fosil dan semen pada semua sampel sayatan packstone. Kuarsa dijumpai pada sampel E.1.3, E.4.16, E.4.20, E.6.14, E.9.4 berupa mineral detritus, berbentuk menyudut-membundar tanggung, dan pemilahan baik. Glaukonit dijumpai pada sampel E.4.20. Kenampakkan stylolite hanya dijumpai pada sampel E.1.3, E.4.16, E.4.20, dan E.6.14.

Matriks berupa lumpur karbonat, mulai terkristalisasi menjadi mikrospar. Semen kalsit dijumpai berupa spari kalsit dan mikrospar kalsit yang terdapat pada semua sampel sayatan packstone. Selain itu, semen glaukonit dijumpai mengisi kamar fosil foraminifera pada sampel E.4.16, E.4.20, E.6.14, dan E.9.4, dan semen dolomit dijumpai mengisi ruang kosong berupa vug pada sampel E.4.3, E.4.16, E.4.20, E.5.9, E.6.5, E.9.13. Secara umum, bentuk semen yang teramati pada sampel sayatan packstone adalah blocky dan equant calcite. Namun, bentuk semen fibrous calcite dijumpai pada sampel E.4.16, bentuk semen fibrous to bladed calcite dijumpai pada sampel E.4.16, E.4.20, dan E.5.9,, serta bentuk semen syntaxial overgrowth calcite dijumpai pada sampel E.4.3 dan E.4.16. Secara umum terdapat porositas vug pada semua sayatan packstone, porositas mouldic dijumpai pada sampel E.9.4, dan porositas channel dijumpai pada sampel E.6.14, E.9.13, dan E.9.8. Pada keenam sampel sayatan tersebut, proses diagenesis yang teramati, antara lain kompaksi, sementasi, mikritisasi mikrobial, pelarutan, dolomitisasi, dan neomorfisme. Proses dolomitisasi tidak dijumpai pada sampel E.1.3, E.6.14, E.9.4, dan E.9.8.

4.2.3 Analisis Produk Diagenesis

Berdasarkan pengamatan petrografi, maka diketahui bahwa produk diagenesis yang hadir (Lampiran A3) adalah mikritisasi mikrobial, sementasi, kompaksi, neomorfisme, dolomitisasi, dan pelarutan. Analisis produk diagenesis digunakan untuk menentukan tahapan diagenesis dan penafsiran lingkungan diagenesis.

(13)

51 4.2.3.1 Mikritisasi Mikrobial

Produk ini terlihat pada seluruh sayatan batugamping. Mikritisasi mikrobial membentuk selaput mikrit (micritic envelopes) pada fosil yang ada, seperti pada batas kamar foraminifera besar, dinding cangkang fosil moluska dan fosil lainnya. Hal ini ditafsirkan akibat organisme pembor yang melubangi bagian pinggir cangkang fosil yang kemudian terisi oleh mikrit (Foto 4.4). Selaput tersebut lebih resisten terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga pada saat cangkang terlarutkan, selaput tersebut memberikan bentukan cangkang.

// - Nicol // – Nicol

Foto 4.4. Sayatan batugamping sampel E.9.13, memperlihatkan gejala mikritisasi pada dinding fosil (C3, H3).

4.2.3.2 Sementasi

Pada pengamatan petrografi, jenis semen yang dijumpai, antara lain semen mikrospar-spari kalsit, semen dolomit, dan semen glaukonit. Semen mikrospar-spari kalsit hadir di sela-sela butiran yang mengikat antara butiran dengan matriks, mengisi kamar fosil, dan mengisi ruang kosong hasil pelarutan. Bentuk semen kalsit dijumpai berupa blocky (Foto 4.5 kiri) yang memiliki variasi ukuran semen mengkasar dari butiran atau matriks ke arah pusat pori. Semen kalsit blocky juga mengisi ruang kosong hasil pelarutan berupa mouldic (Foto 4.5 kanan).

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J 1 mm 0 0 1 mm

(14)

52 // - Nicol // – Nicol

Foto 4.5. Sayatan batugamping sampel E.1.3 (foto kiri) memperlihatkan semen kalsit blocky mengikat butiran dan matriks (B4). Sayatan E.4.6 (foto kanan) menunjukkan semen kalsit

blocky mengisi porositas mouldic (G4).

// - Nicol

Foto 4.6. Sayatan batugamping sampel E.1.11 memperlihatkan semen fibrous (C3).

Selain itu, bentuk semen lainnya, yaitu fibrous (Foto 4.6), fibrous to bladed (Foto 4.7), dan equant calcite (Foto 4.8). Semen fibrous dan fibrous to bladed ini merupakan early cement yang terbentuk pada awal proses diagenesis. Sedangkan semen equant calcite terbentuk pada lingkungan diagenesis yang berbeda dengan semen fibrous dan fibrous to bladed. Ketiga bentuk semen ini tidak banyak dijumpai pada sayatan karena telah banyak yang larut akibat tidak stabil dan perubahan

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J A B C D E 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 A B C D E 1 mm 0 0 1 mm 0 0,5 mm

(15)

53 kondisi lingkungan diagenesis, namun dibeberapa tempat terlihat berada pada pinggiran atau dinding fosil foraminifera besar.

Pada beberapa sayatan juga teramati adanya bentuk semen berupa syntaxial overgrowth (Foto 4.9) pada fosil echinoid. Syntaxial overgrowth ini berupa mineral kalsit. Namun, pada beberapa sayatan juga terekam adanya syntaxial overgrowth berupa mineral kalsit yang tergantikan oleh mineral glaukonit. Ini menandakan bahwa syntaxial overgrowth relatif lebih dahulu terbentuk daripada semen glaukonit.

// - Nicol // – Nicol

Foto 4.7. Sayatan batugamping sampel E.1.11 (foto kiri) dan E.3.1 (foto kanan) memperlihatkan semen fibrous to bladed (C2, H2).

// - Nicol

Foto 4.8. Sayatan batugamping sampel E.1.11, memperlihatkan semen equant calcite (C2).

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J A B C D E 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 A B C D E 0 0,5 mm 1 mm 0 0 0,5 mm

(16)

54 Dolomit (Foto 4.13) terekam sebagai semen yang mengisi ruang kosong berupa vug dan mouldic hasil dari pelarutan. Sedangkan semen glaukonit (Foto 4.10) hadir mengisi ruang di dalam kamar fosil-fosil yang ada, sebagian besar mengisi kamar fosil foraminifera besar.

Dijumpai pula adanya kalsit yang menusuk mineral glaukonit yang menunjukkan bahwa semen glaukonit mengisi rongga/kamar fosil terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pengisian oleh semen kalsit.

// - Nicol

Foto 4.9. Sayatan batugamping sampel E.1.11, memperlihatkan semen syntaxial overgrowth yang tidak utuh lagi akibat pelarutan (C3, I3, foto atas), juga ada bentuk semen syntaxial

overgrowth calcite yang digantikan oleh glaukonit (M3).

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J K L M N O // - Nicol 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 K L M N O 1 mm 0 0 0,5 mm 0 0,5 mm

(17)

55 // - Nicol // – Nicol

Foto 4.10. Sayatan batugamping sampel E.3.1 (foto kiri) dan E.1.11 (foto kanan) memperlihatkan semen glaukonit mengisi kamar fosil (B2, H3), terdapat kristal kalsit yang

menusuk ke glaukonit (H3).

Berdasarkan bentuknya, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima jenis semen, yaitu semen fibrous, fibrous to bladed, equant, blocky, dan syntaxial overgrowth.

4.2.3.3 Kompaksi

Proses kompaksi terdiri dari kompaksi mekanik (Foto 4.11 kiri) dan kompaksi kimia (Foto 4.12). Kompaksi mekanik diidentifikasi dari adanya butiran saling berdekatan, retakan di dalam butir, terjadi patahan pada butir, dan mengakibatkan adanya penurunan porositas. Hal ini diperkirakan akibat proses pembebanan. Patahan pada butir kemudian diisi oleh semen kalsit equant. Kompaksi kimia terdapat pada beberapa sampel sayatan dengan adanya pressure dissolution pada kontak suture, sehingga menghasilkan stylolite. Pada sayatan tampak stylolite memotong semen kalsit blocky dan aggrading neomorphism. Dijumpai pula adanya rekahan/fracture (Foto 4.11 kanan) yang diisi oleh semen kalsit equant.

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J 0 0,5 mm 0 0,5 mm

(18)

56 // - Nicol // – Nicol

Foto 4.11. Sayatan batugamping sampel E.9.8 (foto kiri), memperlihatkan cangkang fosil yang patah dan diisi oleh semen berbentuk equant (C4). Sayatan E.4.16 (foto kanan)

menunjukkan rekahan yang diisi oleh semen kalsit equant (G2).

// - Nicol // – Nicol

Foto 4.12. Sayatan batugamping sampel E.4.20 (foto kiri), memperlihatkan kontak suture (C3) yang menghasilkan stylolite. Sayatan E.6.14 (foto kanan) menunjukkan stylolite

memotong semen berbentuk blocky (H3) dan mikrospar hasil neomorfisme (I2).

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J 0 0,5 mm 1 mm 0 1 mm 0 0 0,5 mm

(19)

57 4.2.3.4 Dolomitisasi

Dolomitisasi dijumpai berupa pengisian ruang kosong hasil pelarutan (vug dan mouldic) oleh semen dolomit (Foto 4.13). Kristal dolomit berukuran 0,1-0,3 mm, berbentuk rhombic, bersih (clear), dan tidak berwarna (tidak bereaksi dengan alizarin red-S). Dolomit yang tampak pada pengamatan petrografi tidak banyak (5%) yang menandakan proses dolomitisasi yang terjadi kurang intensif pada batugamping di daerah penelitian.

// - Nicol // – Nicol

Foto 4.13. Sayatan batugamping sampel E.4.10, memperlihatkan kristal dolomit yang mengisi porositas vug (C3) dan mouldic (G3, I4).

4.2.3.5 Neomorfisme

Neomorfisme pada sayatan tipis batugamping dijumpai berupa pengasaran ukuran kristal pada mikrit (aggrading neomorphism), yang terjadi akibat rekristalisasi mikrit menjadi kristal-kristal yang lebih besar, yaitu mikrospar dan spar (Foto 4.14). Kristal-kristal yang terbentuk memiliki kenampakkan yang lebih keruh dibandingkan semen mikrospar dan spar biasa.

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J 0 0,5 mm 0 0,5 mm

(20)

58 // - Nicol

Foto 4.14. Sayatan batugamping sampel E.9.8, memperlihatkan aggrading neomorphism (D2).

4.2.3.6 Pelarutan

Pada sampel-sampel sayatan yang dianalisis, terlihat adanya proses pelarutan yang menghasilkan beberapa jenis porositas, seperti mouldic (Foto 4.15 kiri), channel (Foto 4.15 kanan), dan vug (Foto 4.16). Proses pelarutan pertama ditandai dengan terbentuknya mouldic yang kemudian diisi oleh glaukonit dan kalsit, tetapi juga dijumpai mouldic yang hingga saat ini masih terbuka, ditandai dengan warna biru akibat blue dye (Foto 4.15 kiri). Pelarutan selanjutnya membentuk vug dan mouldic yang kemudian diisi oleh dolomit. Proses pelarutan terakhir ditandai dengan pembentukan vug dan channel yang hingga saat ini masih terbuka (ditandai dengan warna biru akibat blue dye). Porositas channel terbentuk akibat pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga. Sedangkan porositas vug memiliki bentuk yang tidak beraturan (irregular) yang memotong butiran dan semen.

A B C D E 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 A B C D E 1 mm 0

(21)

59 // - Nicol // – Nicol

Foto 4.15. Sayatan batugamping sampel E.9.4 (foto kiri), menunjukkan adanya porositas

mouldic pada kamar foraminifera besar (B2). Sayatan batugamping sampel E.6.14 (foto

kanan), memperlihatkan porositas channel (H3).

// - Nicol

Foto 4.16. Sayatan batugamping sampel E.4.18, menunjukkan adanya porositas vug (C2).

4.2.3.7 Komponen Non-Karbonat

Komponen non-karbonat yang hadir (Foto 4.17), yaitu kuarsa, glaukonit, dan mineral opak. Kuarsa merupakan mineral allogenik, berukuran 0,1-0,4 mm, kelimpahan 2-7%, dan berbentuk menyudut tanggung-membundar.

A B C D E F G H I J 1 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 5 A B C D E F G H I J A B C D E 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 A B C D E 1 mm 0 0 1 mm 1 mm 0

(22)

60 Mineral glaukonit hadir sebagai mineral authigenik, berukuran 0,1-0,3 mm, kelimpahan 5-10%, berbentuk menyudut tanggung-membundar tanggung, berupa butiran dengan kenampakkan mirip dengan glaukonit yang mengisi kamar-kamar fosil. Kedua komponen non-karbonat tersebut hadir pada awal pengendapan. Mineral opak dijumpai sebagai butiran, berukuran 0,05-0,3 mm, kelimpahan 2-5%, dan berbentuk menyudut tanggung-membundar tanggung. Mineral opak dijumpai pula tersebar menggantikan sebagian kecil dari butiran, baik fosil maupun komponen non-karbonat lainnya, terlihat juga menggantikan sebagian kecil mikrit dan semen.

// - Nicol

Foto 4.17. Sayatan batugamping sampel E.3.1, memperlihatkan beberapa komponen non-karbonat, seperti kuarsa (E4), glaukonit (D2), dan mineral opak (A2).

4.2.4 Tahapan dan Lingkungan Diagenesis Batugamping Formasi Bulu

Tahapan diagenesis diperoleh berdasarkan hubungan antara satu produk diagenesis dengan produk diagenesis lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan potong-memotong, mengisi, dan diisi antarproduk diagenesis. Dengan memahami produk diagenesis yang hadir dan hubungannya satu dengan yang lain, maka akan membantu menafsirkan perubahan lingkungan diagenesis. Proses selanjutnya akan disusun penafsiran sejarah diagenesis batugamping Formasi Bulu.

A B C D E 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 A B C D E 0 0,5 mm

(23)

61 Adapun tahapan diagenesis yang terekam pada produk diagenesis dari yang paling awal hingga terakhir terbentuk adalah:

1. Mikritisasi mikrobial.

Mikritisasi mikrobial membentuk selaput mikrit (micritic envelopes) pada dinding cangkang fosil. Tahap ini merupakan tahap awal dari diagenesis yang terjadi setelah pengendapan pada lingkungan stagnant marine phreatic. Menurut Longman (1982), lingkungan stagnant marine phreatic merupakan zona pergerakan air yang relatif lambat dan proses sementasi yang jarang terjadi pada lingkungan ini.

2. Pembentukan semen fibrous + fibrous to bladed.

Tahap ini dicirikan oleh adanya sementasi intergranular oleh aragonit berserabut atau yang disebut early cement berupa semen fibrous dan fibrous to bladed. Tahap ini terjadi akibat perubahan lingkungan menjadi lingkungan active marine phreatic. Menurut Longman (1982), lingkungan active marine phreatic merupakan zona pergerakan air dengan proses sementasi lebih dominan.

3. Pembentukan semen syntaxial overgrowth pada echinoid.

Syntaxial overgrowth terbentuk pada fragmen echinoid dan tumbuh lebih cepat daripada semen butiran intergranular. Tahap ini berada pada lingkungan marine phreatic. Pada kondisi stabil, semen ini akan tumbuh secara simetri. Namun, pada sayatan terekam adanya semen syntaxial overgrowth yang asimetri pada fragmen echinoid, dan juga terdapat syntaxial overgrowth yang tidak utuh lagi akibat hasil pelarutan.

4. Pembentukan glaukonit.

Semen glaukonit ini menandakan suatu keadaan reduksi yang berada pada lingkungan marine phreatic. Mineral glaukonit ini merupakan mineral authigenik dan hadir pada tahap-tahap awal pembentukan batuan. Pada sayatan terekam adanya glaukonit yang menggantikan syntaxial overgrowth calcite. 5. Kompaksi mekanik.

Pembebanan (oleh pengendapan litologi lain) di atas batugamping akan membuat adanya tekanan beban (burial). Hal ini membuat butiran saling berdekatan dan bersentuhan satu sama lain. Cangkang-cangkang fosil banyak yang retak dan patah, kemudian bidang retakan dan patahannya diisi oleh semen

(24)

62 equant calcite. Rekahan pada sayatan juga terekam diisi oleh semen equant calcite.

6. Proses pelarutan fibrous dan fibrous to bladed, serta menghasilkan porositas mouldic.

Tahap ini merupakan tahap diagenesis yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic setelah berubah menjadi zona tidak jenuh aragonit. Aragonit (early cement) dan beberapa Mg-kalsit terlarutkan. Tahap ini juga menghasilkan porositas mouldic yang menyebabkan porositas meningkat.

7. Pembentukan semen equant calcite.

Semen equant terbentuk pada pinggiran/dinding luar butiran. Bentuk semen equant calcite diinterpretasikan menunjukkan lingkungan meteoric phreatic. 8. Pembentukan semen blocky.

Peranan pembebanan (burial) yang tidak begitu besar menyebabkan peran meteoric masih mempengaruhi tahap ini. Semen blocky mengisi ruang kosong setelah semen equant calcite.

9. Neomorfisme: aggrading neomorphism.

Proses yang terjadi merupakan perubahan ukuran dari mikrit menjadi mikrospar-spar. Tahap ini masih diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic karena belum adanya tanda-tanda pembebanan (burial) yang cukup besar, seperti stylolite.

10. Pembentukan Stylolite.

Stylolite merupakan bukti produk diagenesis pada lingkungan burial yang terbentuk akibat kompaksi kimia. Stylolite pada beberapa sayatan terekam memotong semen kalsit blocky dan mikrospar (hasil dari neomorfisme).

11. Proses pelarutan menghasilkan porositas vug dan mouldic

Proses pelarutan yang menghasilkan porositas mouldic dan vug berhubungan perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Tahap ini diinterpretasikan terjadi pada saat adanya gangguan tektonik yang menyebabkan Batugamping Formasi Bulu ini mengalami pengangkatan. Namun, litologi-litologi dari formasi lain telah tebal diendapkan di atas batugamping ini yang membuat batugamping ini masih dipengaruhi proses pembebanan (burial) dan juga tidak terjangkau oleh lingkungan meteoric phreatic.

(25)

63 12. Pembentukan dolomit

Pada tahap ini juga masih berada pada lingkungan burial. Tahap ini memungkinkan fluida pori dalam batuan untuk mengendapkan dolomit. Fluida tersebut diinterpretasikan memiliki kandungan Mg yang tinggi, sehingga akan membentuk semen dolomit yang mengisi ruang kosong hasil pelarutan pada tahap sebelumnya berupa mouldic dan vug.

13. Proses pelarutan memotong semen, matriks, fosil, dan pada bidang lemah menghasilkan porositas vug dan channel.

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses diagenesis batugamping di daerah penelitian yang diinterpretasikan adanya proses pengangkatan sehingga membuat Batugamping Formasi Bulu ini terangkat dan muncul ke permukaan (zona vadose) seperti keadaan sekarang. Perjalan batugamping ini dari lingkungan burial ke lingkungan vadose membuat perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Pada saat perjalanan perubahan lingkungan tersebut terjadi proses pelarutan yang menghasilkan porositas vug dan channel yang diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic. Porositas channel terbentuk akibat pelarutan disepanjang stylolite yang menghasilkan rongga. Sedangkan porositas vug memiliki bentuk yang tidak beraturan (irregular) yang memotong butiran dan semen. Bukti batugamping pada saat ini dipengaruhi oleh zona vadose dapat diamati pada skala singkapan, yaitu adanya pelarutan yang menghasilkan goa-goa karst dan mengendapkan stalagmite dan stalagtite (Foto 3.3).

4.2.5 Sejarah Diagenesis Batugamping Formasi Bulu

Berdasarkan pengamatan terhadap produk diagenesis yang hadir, maka dapat disimpulkan urut-urutan lingkungan diagenesis batugamping Formasi Bulu, yakni dengan urutan sebagai berikut: marine phreatic, shallow burial, meteoric phreatic, deep burial, meteoric phreatic, dan meteoric vadose.

Tahap pengendapan awal dari sedimen karbonat berada di lingkungan laut dangkal pada Kala Miosen Tengah. Sedimen tersebut tersusun oleh foraminifera, koral, alga, moluska, echinoid, komponen non-karbonat, dan mikrit juga hadir diantara butir.

(26)

64 Sejarah diagenesis (Gambar 4.6) diawali pada lingkungan stagnant marine phreatic. Pada lingkungan ini terjadi mikritisasi butiran oleh alga pembor dan jamur membentuk micrite envelopes. Menurut Longman (1982), lingkungan stagnant marine phreatic merupakan zona pergerakan air yang relatif lambat dan proses sementasi yang jarang terjadi pada lingkungan ini.

Selanjutnya terjadi perubahan lingkungan menjadi lingkungan active marine phreatic yang dicirikan oleh adanya sementasi intergranular oleh early cement berupa semen fibrous, fibrous to bladed. Menurut Longman (1982), lingkungan active marine phreatic merupakan zona pergerakan air dengan proses sementasi lebih dominan. Syntaxial overgrowth juga mulai terbentuk pada fragmen echinoid dan tumbuh lebih cepat daripada semen butiran intergranular. Kemudian pada lingkungan marine phreatic ini terbentuk semen glaukonit yang mengisi ruang kosong antarbutiran. Pada sayatan terekam adanya glaukonit yang menggantikan syntaxial overgrowth calcite.

Seiring dengan berlanjutnya pengendapan litologi lain di atas batugamping ini, maka terdapat adanya tekanan beban (burial) yang membuat batugamping ini berada pada lingkungan shallow burial. Tekanan beban (burial) membuat butiran saling berdekatan dan bersentuhan satu sama lain, cangkang-cangkang fosil banyak yang retak dan patah, serta dijumpai adanya rekahan. Porositas berkurang akibat sementasi intergranular dan kompaksi.

Tahap selanjutnya merupakan tahap diagenesis yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic setelah berubah menjadi zona tidak jenuh aragonit. Perubahan lingkungan diagenesis ini diinterpretasikan akibat proses pengangkatan pada Kala Akhir Miosen Tengah-Miosen Akhir. Pada tahap ini, aragonit (early cement) dan beberapa Mg-kalsit mengalami pelarutan (leaching), sehingga menghasilkan porositas mouldic yang menyebabkan porositas meningkat. Saat kondisi lingkungan telah stabil untuk proses sementasi, maka akan terbentuk semen equant yang terdapat pada pinggiran pori dan pinggiran dinding luar butiran. Ruang kosong yang tersisa diisi oleh semen blocky. Proses selanjutnya yang terjadi pada lingkungan meteoric phreatic ini adalah perubahan ukuran dari mikrit menjadi mikrospar-spar (neomorfisme).

(27)

65 Peranan proses pembebanan (burial) yang mulai dominan menyebabkan peran meteoric tidak lagi mempengaruhi tahap ini sehingga diinterpretasikan tahap selanjutnya berada pada lingkungan deep burial. Bukti produk diagenesis pada lingkungan deep burial adalah stylolite.

Tahap selanjutnya diinterpretasikan adanya pengangkatan pada Kala Pliosen Akhir yang menyebabkan Batugamping Formasi Bulu ini terangkat. Namun, litologi-litologi dari formasi lain telah tebal diendapkan di atas batugamping ini. Hal ini membuat batugamping ini masih dipengaruhi proses pembebanan (burial) dan juga tidak terjangkau oleh lingkungan meteoric phreatic. Proses pengangkatan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan diagenesis yang menyebabkan mineral menjadi tidak stabil sehingga terjadi proses pelarutan. Proses pelarutan menghasilkan porositas mouldic dan vug.

Pada tahap berikutnya, kondisi lingkungan memungkinkan fluida pori dalam batuan untuk mengendapkan dolomit. Fluida tersebut diinterpretasikan memiliki kandungan Mg yang tinggi, sehingga akan membentuk semen dolomit yang mengisi ruang kosong hasil pelarutan pada tahap sebelumnya berupa mouldic dan vug.

Tahap selanjutnya merupakan tahap terakhir dari proses diagenesis batugamping di daerah penelitian yang diinterpretasikan adanya proses pengangkatan sehingga membuat Batugamping Formasi Bulu ini terangkat dan muncul ke permukaan (zona vadose) seperti keadaan sekarang. Perjalanan batugamping ini dari lingkungan burial ke lingkungan vadose membuat perubahan kondisi lingkungan diagenesis. Pada saat perjalanan perubahan lingkungan tersebut terjadi proses pelarutan yang menghasilkan porositas vug dan channel yang diinterpretasikan berada pada lingkungan meteoric phreatic. Porositas vug memotong fosil, matriks, dan semen. Sedangkan porositas channel terbentuk akibat pelarutan di sepanjang stylolite.

Akhirnya pada saat ini, batugamping berada pada lingkungan meteoric vadose. Bukti batugamping pada saat ini dipengaruhi oleh zona vadose dapat diamati pada skala singkapan, yaitu adanya pelarutan yang menghasilkan goa-goa karst dan mengendapkan stalagmite dan stalagtite (Foto 3.3).

(28)

66

Gambar

Gambar 4.1 Lingkungan diagenesis yang terjadi pada batuan karbonat (Tucker dan Wright,  1990).
Gambar 4.4 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan burial (Scholle dan Ulmer- Ulmer-Scholle, 2003).
Foto 4.1. Singkapan batugamping masif di daerah Pancasona (lokasi E.9.12), menunjukkan  adanya koral dalam posisi tumbuh
Foto 4.2. Singkapan batugamping berlapis di Kali Penjalin (lokasi E.8.4). Foto diambil  menghadap ke arah barat.
+7

Referensi

Dokumen terkait