T i l i k SllmlJullg
Basuki Abdulah "Rambllt nau Terurai" Knpllr Pastel di Mas kertas
49 x 63 C1II 1958
mempelajari seni lukis melalui pendidikan formal di Den Haag, Belanda. Karena itu pelukis ini tidak hanya meneruskan tradisi seni lukis pemandangan alamo Ia melukis pula berbagai obyek lain termasuk manusia. Antara tahun 1930-1940, Basuki Abdullah menjadi salah seorang pelukis ternama, dan ia termasuk pelukis yang paling aktif berpameran. 13)
Karena latar belakang pendidikannya Basuki Abdullah memahami aspek estetik dan latar belakang seni lukis dalam bingkai Barat. Berdasarkan pemahaman ini ia menafsirkan keindahan sebagai kecantikan dan sensualitas - terlihat dari tern a dan kecenderungan pada lukisan-lukisannya. Lukisan-lukisannya yang realistik menampilkan gambar wanita cantik, model telanjang, dan wanita dalam legenda dan mitologi. Pelukis ini seorang pemuja keagungan. Sepanjang hidupnya ia melukis kehidupan kaum elite di istana-istana, dan juga potret kaum kaya, potret orang-orang penting.
Bagi Soedjojono, konsep melukis Basuki Abdullah mengukuhkan seni lukis mas a koloniaI sebagai seni lukis yang berkembang di kalangan masyarakat feodal-kolonial. Pad a tahun 1939, Soedjojono mengeritik pameran Basuki Abdullah dengan sangat tajam. 14)
Pada tulisannya Soedjojono mengeritik kecemasan Basuki Abdullah akan habisnya obyek-obyek untuk dilukis. Soedjojono mencela pandangan Basuki Abdullah yang menganggap hanya obyek-obyek tertentu saja yang mempunyai nilai seni yang tinggi untuk diangkat menjadi obyek lukisan. Menurut Soedjojono,
-obyek lukisan yang dianggap Basuki Abdullah bernilai seni tidak berakar pad a
kebenaran tapi terbentuk karen a konvensi (di kalangan masyarakat kolonial dan
kaum bangsawan). 15)
Mempertimbangkan reaksi Soedjojono pad a "konvensi" dalam seni lukis
Hindia Belanda, akhir seni lukis masa kolonial bukan ditandai seni lukis
pemandangan alam, melainkan seni lukis realistik Basuki Abdullah, yang diakui
masyarakat kolonial Belanda (seni lukis realistik ini berkembang sejak seni lukis pemandangan alam). Di Bandung di mana ia tinggal, ia sering berpameran di
Sosieteit Concordia (kini Gedung Merdeka) perkumpulan masyarakat kolonial elite
di Bandung. 16)
Reaksi Soedjojono memperlihatkan sikap menentang nilai-nilai konvensional dalam seni lukis realistik itu, yang dianggapnya mengabaikan realitas pad a masyarakat luas. Ia berpaling dari sensibilitas yang dihela oleh kaidah-kaidah
keindahan konvensional kaum bangsawan, ke sensibilitas yang dilandasi
"kejujuran". 17)
Pandangan Soedjonono itu menunjukkan kepercayaan, bahwa keindahan dalam seni tidak senantiasa berkaitan dengan idealisasi, citra keindahan yang konvensional, sensualitas dan kecantikan. Keindahan bisa juga didasari gejolak emosional (empati, simpati) yang bangkit ketika melihat kenyataan yang pahit dalam kehidupan rakyat sisi gelap kehidupan dan kehidupan yang keras
-S. Soedjojono
"Meugllugsi"
enl Mi!lyak di alns knill
9S x 149 (III 1947
i i
yang menurut konvensi kaum bangsawan dan masyarakat kolonial tidak indah
(katanya, sebagai obyek lukisan, Hamengkubuwono dan sepatu butut tidak ada
bedanya). Bagi Soedjojono, justru kehidupan rakyat ini yang bisa membangkitkan
getaran emosi dan karena itu adalah sumber inspirasi seni. 18)
Pandangan Soedjojono, tidak bisa disangkal mempunyai latar belakang sosial
dan berkaitan dengan pergerakan kebangsaan pada masa itu. Inilah "realisme Soedjojono", realisme yang berkaitan dengan kerakyatan dan nasionalisme.
Realisme ini menampilkan pembaruan dalam perkembangan seni lukis di
Indo-nesia. Memperlihatkan diskontinuitas. Arus baru yang terbentuk kemudian mengikuti sebagian besar pandangannya ini. Karena itu saya melihatnya sebagai awal seni lukis modern Indonesia.
Saya sadar, saya tidak mengikuti teori-teori seni rupa yang lazim digunakan
'untuk menetapkan munculnya seni rupa modern, yaitu pandangan yang melihat munculnya pengaruh Post-impresionisme dan Kubisme sebagai awal seni lukis modern. Realisme, Fauvisme dan Ekspresionisme Jerman, yang mempengaruhi Soedjojono adalah pemikiran-pemikiran yang berkembang pada Abad ke 19
S.Soedjojono
"Kawtll1-kIlWtlll Revo{lIsi"
((If Millvak di Iltll~ kaili
Konfeks
sebelum Post-impresionisme/Kubisme, karena itu tidak lazim dilihat sebagai awal seni rupa modern.
Namun Modernisme (dengan "M" besar) sebagai dasar kelahiran seni rupa modern, menurut pendapat saya hanya berlaku bagi seni rupa Barat. Di luar masyarakat Barat modernisme (dengan "m" keciD lebih berkaitan dengan
"modernitas" yang dasar-dasarnya muncul pada Abad ke 18 bersama Revolusi
Prancis, Revolusi Industri dan tumbuhnya demokrasi di Amerika. Dalam konteks Indonesia, modernitas ini menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan kemudian nasionalisme. 19) Maka realisme Soedjojono adalah paradigma modernisme
In-donesia.
Realisme itu tidak terbatas pada pandangan Soedjojono yang personal.
Realisme ini mencerminkan arus perubahan yang lebih mendasar dalam
perkembangan seni lukis Indonesia. Untuk melihat perubahan yang mendasar
ini, kita perlu mengamati lebih mendalam sikap kritis Soedjojono pada seni lukis realistik yang dipraktekkan Basuki Abdullah.
Kritik Soedjojono pada seni lukis realistik, tidak terbatas pada coraknya. Ia mengeritik pula latar belakang seni lukis ini. Yang perlu diamati secara khusus adalah kritiknya tentang latar belakang pendidikan seni lukis ini. Soedjojono menulis, "Dalam tempo beratus-ratus tahun jarang orang dapat seorang seniman
sebagai Van Gogh. Tetapi dalam waktu 6 bulan saja orang bisa mencitak 20
or-ang berdiploma Lager Acte dengan bayaran
f
20 sebulan asal saja kandidat-kandidatnya mempunyai talent menggambar." 20) Di bagian lain tulisannyaSoedjojono mengemukakan, "Resoeltat-nya hanya suatu academische zwierigheid
saja yang cerdas mencontoh teknik Rembrant, Ingres, Murillo, Velaquez, Locatelli
dan Adolf saja ... " 21)
Sikap kritis Soedjojono pada pendidikan itu, tidak lepas dari pertentangan pelukis pribumi dengan pelukis masyarakat kolonial pad a masa itu. Catatan
sejarah menunjukkan, pelukis-pelukis pengikut Soedjojono adalah pelukis
otodidak, yang tidak diakui masyarakat kolonial sebagai pelukis. Semen tara
pelukis-pelukis yang diakui masyarakat kolonial Belanda umumnya pelukis yang
mengenal pendidikan melalui pengajaran di studio-studio pelukis Belanda/
Eropa yang bermukim di Indonesia.
Dalam wacana seni rupa modern, seni lukis realistik (dikenal pula sebagai akademisme) memang senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai konvensional karen a itu ditentang. 22) Berdasarkan keyakinan ini pula Soedjojono percaya,
pelukis sebenarnya tidak perlu mendapat pendidikan untuk menjadi pelukis.
Sikap Soedjojono menentang diskriminasi, mendapat legitimasi: seni lukis
akademik yang kebetulan menjadi "cap" masyarakat kolonial, tidak ada gunanya lagi. Inilah dasar terputusnya seni lukis modern Indonesia dari seni lukis realistik/ akademik mas a Hindia Belanda.
T i t i k Sall1bllllg
perkembangan seni lukis Indonesia. Untuk memungkinkan mediasi kita justru perlu melihat secara kritis terputusnya hubungan ini. Khususnya mengamati sikap Soedjojono menentang seni lukis realistik dan seni lukis akademik.
Menurut pendapat saya ia tidak sesungguhnya memahami seni lukis yang ditolaknya. Terlihat dalam tulisannya berjudul"Copie". 23) Saya juga sangsi apakah
ia sesungguhnya menentang seni lukis realistik, karena pada tahun 1950 ia justru menyatakan "kembali ke realisme" yang maksudnya kembali ke seni lukis realistik.
Soedjojono, menurut pendapat saya, terpaku pada konsep-konsep perkembangan pemikiran seni rupa Eropa Abad ke 20. Ia nyaris tak memperhitungkan aspek rupa di balik pemikiran-pemikiran seni rupa itu. Ia tidak menyadari bahwa bahasa rupa (idiom) dalam perkembangan baru yang diamatinya (Realisme, Fauvisme, Ekspresionisme Jerman) tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sebelumnya, yaitu seni lukis realistik/ seni lukis akademik. Namun, adaptasi yang tidak lengkap ini merupakan gejala umum dalam perkembangan seni rupa di luar Eropa/ Amerika. Perkembangan seni rupa Eropa/ Amerika yang" ditransfer" ke luar melalui teori-teori sejarah, umumnya hanya menampilkan konsep-konsep dan mengabaikan tinjauan aspek rupa. Masuk akal apabila pengaruh yang muncul menjadi kacau balau.
Kepentingan teori sejarah melihat kontradiksi dalam perkembangan seni lukis Eropa (ini salah satu dasar historiografi teori sejarah seni rupa) mengakibatkan berbagai pertentangan konsepsional dipertajam dan dikontraskan. Akibatnya, berbagai nuansa perkembangan yang berkaitan dengan masalah rupa, hilang. Padahal perkembangan seni rupa yang dikaji teori-teori sejarah itu mengandung perkembangan aspek rupa (kaitan dengan perkembangan sebelumnya) yang penting dikemukakan untuk pemahaman.
Pad a Realisme, misalnya terlihat nuansa perubahan seni lukis realistik. Terjadi perubahan gradual dari teknik melukis realistik yang cermat ke teknik melukis yang menampilkan sapuan kuas (pada awal Realisme idiom yang digunakan bahkan masih seni lukis realistik). Pada Impresionisme dan Ekspresionisme Jerman, sapuan kuas yang semakin kasar berkembang ke teknik menumpukkan cat/ warna tanpa nuansa (perkembangan teknik ini dilihat sebagai deformasi yang ditinjau melalui teori-teori ekspresi dan teori warna/ cahaya/ optik yang rumit). Pada Kubisme susunan bidang-bidang warna (petak-petak geometrik) merupakan pengembangan struktur bidang warna dan bidang gelap-terang seni lukis realistik.
Pandangan Soedjojono ten tang pentingnya emosi - kejujuran, jiwa, temperamen dalam ungkapan seni lukis - tidak lepas dari aspek idiom dan teknik melukis. Aspek visual teknik melukis ekspresif ini "ditemukan" Soedjojono dan pelukis-pelukis lain pad a pameran-pameran (karya asli) pelukis-pelukis Eropa - khususnya Vincent van Gogh - yang diselenggarakan Kunstkring di
Jakarta.
Pemutusan hubungan dengan seni lukis realistik dalam perkembangan seni lukis modern Indonesia, mengakibatkan banyak pelukis-pelukis modern Indo-nesia tidak melihat pentingnya perkembangan bahasa rupa. Karena itu gay a dan corak lukisan mereka seringkali tidak jelas asal muasalnya. Pelukis yang karya-karyanya menampilkan perkembangan idiom, seperti misalnya Soedjojono sendiri, Affandi, Trubus, Henk Ngantung dan Barli Sasmitawinata, adalah pelukis-pelukis yang mengenal seni lukis realistik melalui pendidikan.
Pemutusan hubungan seni lukis realistik (masa Hindia Belanda) dengan seni lukis modern Indonesia berlanjut ke penyusunan "sejarah" seni lukis Indonesia yang bukannya mengoreksi pandangan Soedjojono, tapi malah terpengaruh. Akibatnya seni lukis realistik nyaris tak pernah dikaji dalam perkembangan seni lukis modern kita - seringkali sekadar dicerca sebagai kuno tanpa sesungguh-nya paham di mana letak ke-kuno-ansesungguh-nya. Gejala inilah yang terutama
menghilangkan peluang mediasi dalam pembentukan wacana.
Hilangnya wacana seni lukis realistik itu mengakibatkan pemiskinan pemahaman idiom pada masa awal perkembangan seni lukis modern kita. Berbagai deformasi (ini salah satu masalah idiom) yang ditampilkan karya-karya pelukis modern kita tidak jelas dasarnya. Ketika pada pertengahan 1950' an seni lukis modern Indonesia menampilkan perkembangan bahasa rupa melalui masuknya pengaruh Kubisme (muncul di Yogyakarta melalui lukisan G. Sidharta Soegiyo, Handrio dan di Bandung melalui lukisan Achmad Sad ali, Mochtar Apin) para pelukis dan kritikus kita tidak memahaminya - mereka menyangkalnya
Raden Saleh
"Pcrbllrlln,," 5kc/;" 1958
sebagai perkembangan seni lukis Indonesia.
Hingga kini pemahaman kita tentang perkembangan bahasa rupa (idiom) seni
lukis tidak berkembang dan masih tetap miskin. Terlihat pada terbentuknya tradisi menentang semua jenis perkembangan bahasa rupa. Percobaan
menggunakan media batik, media campuran (mixed media), kolase, barang jadi
(ready mades), instalasi dan seni rupa pertunjukan (performance art) sebagai idiom
- semuanya merupakan perkembangan bahasa rupa - tercatat mendapat kritik
keras, bahkan tentangan.
Seni lukis akademik tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan
Soedjojono. Tidak mudah mengidentifikasi seni lukis ini, khususnya dalam
perkembangan seni lukis masa Hindia Belanda. Dalam garis besarnya, seni lukis
ini bisa dilihat sebagai bercorak realistik dan representatif (merepresentasikan
kenyataan). Selain Klasisisme dan Naturalisme, seni lukis ini memang sering
disebut-sebut sebagai seni lukis akademik atau akademisme. Dalam
perkembangan seni lukis Barat seni lukis akademik ini sebuah tradisi yang
perkembangannya diwarnai pencarian metode dan teknik melukis. Tradisi ini
diturunkan melalui pengajaran/ pelatihan secara sistematis - berkembang sejak
Abad ke 14/15. 24)
Sen,i lukis akademik itu yang hasilnya lukisan realistik/representatif,
mencapai puncak perkembangannya antara abad ke 16/17 di Eropa. Pada awal
Abad ke 19 (khususnya di Prancis) akademisme ini disebut-sebut sebagai seni
lukis konservatif yang menghambat perkembangan baru - pada awal Abad ke
19 itu tumbuh embrio pemikiran seni lukis modern yang menempatkan
Raden Saleh "PerbftrJInll" Cat Minynk di nfns kallvns
KOllleks
perubahan dan pembaruan sebagai dasar perkembangannya. 25)
Pengajaran seni lukis akademik itu muncul di Indonesia di sekitar 1820 dengan datangnya pelukis A.A. Payen. Pengajaran ini bertujuan meluaskan kemampuan menggambar/melukis untuk kepentingan pembuatan dokumentasi tumbuh-tumbuhan di Indonesia, arsitektur tradisionat reruntuhan candi dan adat istiadat
masyarakat. Namun sangat sulit untuk menemukan dasar-dasar akademisme
pada seni lukis Hindia Belanda. Karena penekanan fungsi dokumentasi, terjadi
sejumlah pergeseran. Paling tidak hilangnya latar belakang estetiknya (tidak
terdapat dokumen yang memperlihatkan adanya pembahasan latar belakang ini).
Ketika seni lukis ini diterapkan Payen dalam seni lukis pemandangan alam,
misalnya, terlihat adanya perbedaan antara lukisan pemandangan alam Payen
dengan lukisan pemandangan yang aslinya, yang terutama berkembang di
Inggris. 26)
Raden Saleh yang menjadi murid Payen, menguasai seni lukis akademik
setelah ia belajar ke Belanda pada tahun 1839. Dalam seluruh perkembangan
seni lukis masa kolonial, Raden Saleh tercatat sebagai pelukis Hindia Belanda
yang paling menguasai teknik seni lukis akademik -lebih baik dari gurunya. 27)
Nampaknya ada kesadaran pada Raden Saleh tentang perlunya
pelukis-pelukis Hindia Belanda menguasai seni lukis akademik yang sebenarnya.
Sekembalinya dari Eropa (1851), ia bersama K.F. Holle, seorang pencinta seni
menerbitkan buku pelajaran menggambar /melukis pada tahun 1863. Buku yang
memuat contoh gambar dan lithografi Raden Saleh ini dicetak sebanyak 1000
eksemplar. 28) Karena buku ini tidak bersisa tidak dapat dipastikan bagaimana
K.F Holle dan Raden Saleh menguraikan metode seni lukis akademik pada buku itu.
Catatan sejarah menunjukkan seni lukis akademik berkembang pada masa
Hindia Belanda melalui pengajaran informal- di studio-studio pelukis Belanda/
Eropa. Pad a masa Hindia Belanda tidak satu pun akademi seni rupa didirikan.
Melalui metode pengajaran informal pula seni lukis ini sampai ke pelukis-pelukis
pribumi di luar masyarakat kolonial. Seperti pada masa A.A. Payen, pengajaran
seni lukis akademik ini terbatas pada memperkenalkan bagaimana menggambar / melukis tanpa secara mendalam mengkaji prinsip-prinsip estetiknya - misalnya
pemikiran tentang lukisan realistik sebagai representasi kenyataan.
Baru pada Abad ke 20, tiga pelukis Indonesia sesungguhnya mempelajari seni
lukis realistik berikut latar belakangnya. Mereka adalah Basuki Abdulah, Barli
Sasmitawinata dan Lee Man Fong. Ketiga pelukis ini belajar secara formal di
Belanda. Sebelumnya, mereka mempelajari seni lukis secara informal di Indone-sia seperti pelukis lainnya.
Sebenarnya dari ketiga pelukis itu bisa dikaji wacana seni lukis realistik
-dasar-dasar estetiknya dan penerapannya di Indonesia. Namun pengkajian itu
T i t i k 5 a !If l! II S
dalam perkembangan seni lukis kita. Berbagai aspek perkembangan, yang
sebenarnya penting untuk memahami tumbuhnya'prinsip-prinsip mendasar seni
rupa modern, ikut hilang.
Pemikiran di balik seni rupa modern lahir antara lain melalui
pandangan-pandangan yang menentang seni lukis realistik/representatif. Yang mendasar,
menentang kepercayaan: lukisan (realistik) adalilh representasi realitas yang obyektif atau absolut. Pandangan baru yang muncul: seni lukis senantiasa mengandung persepsi yang personal dan individual, karena itu tidak pernah obyektif. Inilah dasar individualitas dalam seni rupa modern. Soal representasi kenyataan, Emile Zola, tokoh Realisme dalam Sastra mengetengahkan, "Karya seni, adalah gambaran sebuah sudut kecil alam raya yang digubah dengan temperamen." 29)
Tidak bisa disangkal, pandangan Emile Zola dekat dengan pandangan Soedjojono tentang "watak" dan "jiwa" dalam seni lukis. Dalam salah satu tulisannya, Soedjojono pernah menuliskan dialog Vincent van Gogh dengan Emile Zola.30)
Semua pelukis kita, saya kira, sadar bahwa karyanya mengandung
kanan
Basuki Abdullah "Gadis di bawah si1Jar blllall pI/mama"
Cat rllillyak di alas kallvns 119,5 x 119,5 em
kir;
Soedjojono liD; Dep(w Kelall1bll
Terbuka"
Cat Millyak di alas kaill 86 x 66 [111
K o n t c k s
kll IIIl II
Roland Strasser
"Wall ita Bali" Cal Mil/yak di atas kaill 100.r 58 CI//
kin' Affandi