• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH. Abstrak"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH

Abstrak

Aktivitas spermatogenesis dan kualitas semen pada muncak diduga

berhubungan erat dengan periode pertumbuhan ranggahnya seperti yang

dilaporkan pada spesies rusa lainnya. Sejauh mana keterkaitan tersebut perlu

dilakukan kajian untuk mengetahui tahapan spermatogenik pada periode

ranggah keras (RK); spermatogenesis dan kualitas semen pada periode casting

(C), ranggah velvet (RV), dan ranggah keras (RK). Jaringan testis diperoleh dari

seekor muncak jantan dewasa pada periode RK yang diproses menjadi sediaan

histologi dan diwarnai dengan pewarna hematoksilin-eosin (HE). Fragmen testis

dan semen (ejakulat) diperoleh dari dua ekor muncak jantan dewasa, yaitu ♂#2

dan ♂#3 selama periode C, RV, dan RK. Fragmen testis diperoleh dengan

metode core needle biopsy, diproses secara histologi dan diwarnai dengan

periodic acid

Schiff (PAS), sedangkan semen dikoleksi menggunakan metode

elektroejakulasi. Hasil pengamatan dengan metode morfologi tubular (pewarnaan

HE), ditemukan delapan tahap epitel tubuli seminiferi (tahap I-VIII) pada muncak

dengan frekuensi masing-masing tahapan yang bervariasi. Frekuensi tahap pre

meiosis

(tahap I-III), meiosis (tahap IV), dan post meiosis (tahap V-VIII)

berturut-turut adalah 47.75%, 6.87%, dan 43.37%, dengan durasi setiap tahapan adalah

5.07 hari, 0.73 hari, dan 4.81 hari. Aktivitas spermatogenesis ditemukan pada

ketiga periode ranggah (C, RV, dan RK), ditandai dengan adanya reaksi PAS

positif (warna magenta) pada akrosom round dan elongated spermatid. Lingkar

skrotum (cm) kedua muncak memperlihatkan perbedaan pada ketiga periode

ranggah, yaitu 13.05 ± 0.91 (C), 13.86 ± 0.51 (RV), dan 15.76 ± 0.30 (RK). Hasil

evaluasi semen pada periode C, RV, dan RK memperlihatkan adanya

spermatozoa motil dengan konsentrasi berbeda. Rataan konsentrasi

spermatozoa kedua muncak tertinggi (juta/ml) ditemukan pada periode RK

(506.25 ± 61.87), dan sedikit menurun pada periode C (288.75 ± 37.12), dan RV

(362.60 ± 17.68). Dapat disimpulkan bahwa aktivitas spermatogenesis untuk

menghasilkan spermatozoa tetap berlangsung walaupun muncak berada pada

periode C dan RV. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya spermatozoa

motil pada semen kedua muncak pada periode C dan RV.

Kata kunci: spermatogenesis, periode ranggah, muncak jantan, spermatozoa

Abstract

There was possibility that spermatogenic activity and quality of semen in

male muntjaks showed correlation to the antler cycle periods as reported in other

deer species. In order to know that correlation, the study concerning

spermatogenesis according to the identification of spermatogenic stages in hard

antler (RK) periods; spermatogenesis and semen quality in casting (C), velvet

antler (RV), and RK periods were important to be investigated. Testicular tissue

was found from an adult male muntjaks in hard antler period

and processed to

histological preparation that subsequently stained with hematoxylin-eosin (HE).

Additionally, testicular fragmen and semen were obtained from two adult male

muntjaks:

♂#2 and ♂#3 during C, RV, and RK periods. Core needle biopsy

method was applied to obtain testicular fragmen that processed histologically and

stained with periodic acid Schiff (PAS), whereas semen (ejaculate) was collected

(2)

using electroejaculation method. The results showed that there were eight stages

of seminiferi tubules epithelium (Stage I-VIII) according to the tubular morphology

method using HE staining in male muntjak with differentiation of frequency and

duration in each of stage. The frequency of pre meiosis (stage I to III), meiosis

(stage IV), and post meiosis (stage V to VIII) was 47.75%, 6.87%, and 43.37%

with duration 5.07, 0.73, and 4.81 days respectively. Spermatogenic activities

were observed in C, RV, and RK periods which were marked by PAS positive

staining (magenta) in round and elongated spermatid acrosomes. Scrotal

circumference (cm) differed in each antler periods: 13.05 ± 0.91 (C), 13.86 ± 0.51

(RV), and 15.76 ± 0.30 (RK). In addition, based on semen evaluation in C, RV,

and RK periods, motile spermatozoa were found with different concentration. The

highest amount of sperm (x 10

6

spermatozoa/ml) in both of muntjaks was

appeared in RK (506.25 ± 61.87), and slightly decreased in C (288.75 ± 37.12),

and RV periods (362.60 ± 17.68). In conclusion, spermatogenesis to produce

spermatozoa is taken place while muntjaks are in C and RV periods that provable

with the existency of motile spermatozoa from ejaculates in both of male

muntjaks during C and RV periods.

Keywords: spermatogenesis, antler periods, male muntjak, spermatozoa

Pendahuluan

Spermatogenesis merupakan proses pembelahan dan diferensiasi sel

dengan produk akhir spermatozoa yang berlangsung di tubuli seminiferi testis.

Proses tersebut melibatkan sel-sel germinal testis, yaitu spermatogonia,

spermatosit dan spermatid serta didukung oleh sel somatis (sel Sertoli) dan sel

Leydig di jaringan interstisial. Spermatogenesis terbagai atas tiga proses penting,

yaitu spermatositogenesis (pembelahan mitosis), meiosis, dan spermiogenesis

(diferensiasi spermatid) (Johnson et al. 2000). Tahapan tubuli seminiferi

didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang terjadi pada suatu kelompok sel

germinal di sepanjang tubuli seminiferi. Satu siklus spermatogenik atau siklus

epitel tubuli seminiferi adalah seluruh perubahan yang terjadi di antara dua

proses spermiasis pada bagian tertentu dari tubuli seminiferi (de Kretser dan

Kerr 1994; Johnson et al. 2000).

Identifikasi dan penentuan tahapan tubuli seminiferi diperlukan untuk

mengetahui durasi satu siklus epitel tubuli seminiferi testis. Selain itu dapat pula

diketahui frekuensi dari tiap tahapan tubuli seminiferi (Bitencourt et al 2006).

Tahapan epitel tubuli seminiferi, frekuensi dan durasi masing-masing tahapan

pada muncak sampai saat ini belum dilaporkan. Ada dua metode yang umum

digunakan untuk mengamati tahapan epitel tubuli seminiferi. Metode pertama

adalah dengan melakukan pengamatan terhadap karakteristik komponen tubuli

seminiferi yang dikenal dengan metode morfologi tubular. Pewarnaan yang

(3)

sering digunakan untuk metode tersebut adalah pewarnaan hematoksilin-eosin

(HE) (Almeida et al. 2006). Metode kedua adalah pengamatan terhadap

diferensiasi spermatid pada proses spermiogenesis menggunakan pewarnaan

periodic acid

Schiff (PAS) (Dreef et al. 2007). Pengamatan spermatogenesis

pada periode ranggah keras dilakukan dengan metode morfologi tubular,

sedangkan untuk mengetahui aktivitas spermatogenesis pada periode casting

(C), ranggah velvet (RV), dan ranggah keras (RK) digunakan metode identifikasi

terhadap diferensiasi spermatid dengan pewarnaan PAS.

Produk akhir spermatogenesis adalah spermatozoa. Untuk mengetahui

karakteristik dan kualitas spermatozoa perlu dilakukan evaluasi terhadap semen.

Kualitas semen yang meliputi spermatozoa dan plasma semen merupakan salah

satu parameter pendukung untuk menentukan pola reproduksi pada Cervidae

jantan termasuk muncak. Pada red deer yang hidup di wilayah beriklim sedang,

kualitas semen menunjukkan perbedaan pada setiap periode reproduksinya,

yaitu pada periode pre-mating, mating dan post-mating. Kualitas semen terbaik

ditemukan pada saat periode musim kawin (mating) yang berlangsung dari akhir

September sampai akhir Oktober saat rusa tersebut berada pada periode RK.

Kondisi tersebut ditandai dengan tingginya libido rusa jantan untuk mengawini

betina (Gizejewski 2004). Handarini et al. (2004) menyatakan bahwa rusa timor

memiliki kualitas semen terbaik dan konsentrasi spermatozoa tertinggi saat rusa

tersebut berada pada periode RK.

Perbedaan kualitas semen pada setiap periode ranggah dapat dilihat dari

beberapa parameter pengamatan makroskopis seperti volume, warna dan

konsistensi dan pengamatan mikroskopis seperti: gerakan massa, motilitas,

konsentrasi, persentase hidup dan abnormalitas spermatozoa. Data yang

diperoleh dari pengamatan spermatogenesis dan kualitas semen, khususnya

karakteristik dan kualitas spermatozoa pada periode C, RV, dan RK dapat

digunakan untuk menentukan fertilitas muncak jantan selama satu siklus

ranggah. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menentukan jumlah

tahapan tubuli seminiferi, frekuensi dan durasi masing-masing tahapan pada

periode RK; 2) mengetahui aktivitas spermatogenesis melalui pengamatan

diferensiasi spermatid pada periode C, RV, dan RK; 3) menentukan kualitas

semen khususnya spermatozoa pada periode C, RV, dan RK. Informasi awal

terkait spermatogenesis dan kualitas spermatozoa muncak selama periode

pertumbuhan ranggah dapat digunakan untuk mendukung program

(4)

pengembangbiakan muncak, baik yang dilakukan dengan kawin alam maupun

penerapan teknologi reproduksi seperti inseminisasi buatan dengan

memanfaatkan semen segar atau semen hasil preservasi.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi

(URR) Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi serta di Laboratorium Riset

Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi,

Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dimulai dari bulan Januari 2009 sampai Juli 2010.

Hewan Penelitian

Tiga ekor muncak jantan dewasa digunakan pada penelitian ini, yaitu :

muncak ♂#1 (umur sekitar 4 tahun, bobot badan 19 kg); muncak ♂#2

(umur 5 tahun, bobot badan 19.5 kg); dan muncak ♂#3 (umur 3 tahun, bobot

badan 17 kg). Ketiga muncak dinyatakan sehat secara klinis dan memperlihatkan

aktivitas reproduksi yang berjalan normal. Penggunaan muncak sesuai dengan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.

23/Menhut-II/2011. Muncak berasal dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan dipelihara di

kandang individual berukuran 1 x 2 m

2

yang dilengkapi dengan kandang terbuka

(kandang exercise) selama penelitian berlangsung. Pakan diberikan dua kali per

hari, pagi dan sore, berupa irisan wortel, rumput dan pelet, sedangkan air minum

diberikan secara ad libitum. Selama penelitian berlangsung, kedua muncak diberi

akses untuk berdekatan dengan muncak betina dewasa.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi: anastetikum xylazine HCl 2% (Seton

®

)

dan ketamin HCl 10% (Ketamil

®

), kapas, kertas tisu, larutan iodin, antibiotik, NaCl

fisiologis, paraformaldehid 4%, larutan Bouin, alkohol dengan konsentrasi

bertingkat (70, 80, 90, 95 % dan absolut), silol, parafin, akuades, pewarna

hematoksilin-eosin (HE), pewarna periodic-acid Schiff (PAS), air sulfit, pewarna

Meyer’s hematoksilin dan bahan perekat Entelan®, pewarna eosin-negrosin,

pewarna William, kloramin 0.5%, glutaraldehid 2.5%, bahan perekat Neofren®

(5)

2%, asam tanin 2%, osmium tetraoksida (OsO

4

), 1%, larutan t-butanol dan

platinum-paladium.

Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah: spuit ukuran 5 ml, alat biopsi

tipe core needle biopsy (Dr. Japan

®

, Toray) dengan jarum berukuran 14 gouce

(14G), pinset, wadah penyimpan jaringan, tissue cassette, gelas objek dan

penutup, inkubator 37

O

C, inkubator parafin, blok kayu, bunsen, mikrotom, water

bath

, hot plate, termometer, pena parafin, kamera digital, micro caliper digital

(mm), pita ukur (cm), spuit 5 ml, elektroejakulator, tabung penampung semen

berskala, gelas objek dan gelas penutup, hot plate, gelas objek kecil ukuran

0.5 x 0.5 cm

2

, pipet, hemositometer dan kamar hitung Neubauer, microtube,

sentrifus, micropipet, freeze dryer, ion coater, mikrometer eye piece, mikroskop

cahaya (Olympus CH30), mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital,

kamera digital (Sony Cybershoot DSC-W30) dan mikroskop elektron (scanning

electron microscope)

tipe JSM-5310LV, Japan.

Metode Penelitian

Penelitian ini terbagi atas beberapa kegiatan, yaitu: 1) pengamatan

tahapan epitel tubuli seminiferi testis, frekuensi dan durasi setiap tahapan pada

periode RK, 2) pengamatan spermatogenesis pada periode C, RV, dan RK, dan

3) pengamatan karakteristik dan kualitas spermatozoa muncak pada periode C,

RV, dan RK.

Spermatogenesis pada periode ranggah keras

Kegiatan ini menggunakan sampel testis dari seekor muncak jantan

dewasa (♂#1) yang berada pada periode RK. Jenis pewarnaan yang digunakan

pada kegiatan ini adalah pewarnaan HE. Prosedur dimulai dengan pembuatan

sediaan testis dengan urutan kerja seperti yang dilakukan pada penelitian I

1. Penentuan tahapan epitel tubuli seminiferi dan frekuensinya

Pengamatan tahapan epitel tubuli seminiferi menggunakan metode

morfologi tubular berdasarkan perubahan morfologi sel germinal yang ditemukan

di dalam sayatan melintang tubuli seminiferi testis. Selanjutnya, dilakukan

identifikasi dan penghitungan jumlah tahapan spermatogenesis. Untuk

menentukan frekuensi relatif dari masing-masing tahapan dilakukan

penghitungan terhadap 800 tubuli seminiferi. Penentuan durasi dari

masing-masing tahapan dilakukan dengan mengalikan nilai persentase masing-masing-masing-masing

tahapan tersebut dengan nilai durasi satu siklus epitel tubuli seminiferi kambing,

(6)

yaitu 10.6 hari (França et al. 1999). Hasil yang diperoleh merupakan suatu

asumsi nilai durasi spermatogenesis pada muncak.

2. Pengukuran diameter inti sel germinal testis

Pengukuran diameter inti sel germinal pada masing-masing tahapan

epitel tubuli seminiferi, dilakukan terhadap foto histologi testis dengan

perbesaran lensa objektif 40 kali dan telah dilengkapi dengan skala mikrometer

untuk perbesaran yang sama. Pengukuran inti sel germinal tubuli seminiferi

meliputi inti sel spermatogonia; spermatosit primer dalam fase leptotene,

pachytene

, zygotene dan diplotene; serta spermatid (round dan elongated

spermatid) menggunakan software ImageJ (McMaster Biophotonic Facility).

Jumlah inti sel yang diukur adalah 20 inti sel untuk setiap tipe sel.

Prosedur anastesi dan pengukuran morfometri testis

Pada kegiatan ini digunakan dua muncak, yaitu ♂#2 dan ♂#3. Kedua

muncak terlebih dahulu dianastesi menggunakan kombinasi anastetikum xylazin

HCl dan ketamin HCl, dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan

(Dradjat 2000). Muncak yang telah teranastesi ditempatkan pada posisi terbaring

pada sisi kanan agar rumen berada di bagian dorsal. Pengambilan data

morfometri testis muncak dalam skrotum meliputi panjang, lebar, dan lingkar

skrotum. Pengukuran morfometri menggunakan micro caliper digital dan pita

ukur. Selain itu juga dilakukan palpasi testis untuk mengetahui konsistensinya.

Kegiatan ini dilakukan pada periode C, RV, dan RK

Spermatogenesis selama periode pertumbuhan ranggah

Aspirasi fragmen testis kedua muncak dilakukan setelah pengukuran

morfometri testis dan skrotum. Metode biopsi yang diaplikasikan adalah metode

biopsi tertutup menggunakan alat biopsi tipe core needle biopsy (CNB). Biopsi

dilakukan sekali per periode pertumbuhan ranggah, yaitu periode C, RV, dan RK.

Dalam keadaan teranastesi, jarum biopsi ditusukkan ke bagian testis yang telah

ditentukan melewati kulit skrotum. Tekanan negatif dari alat (gun) biopsi

dilepaskan apabila jarum telah berada di dalam testis yang bertujuan untuk

memotong jaringan testis. Jaringan testis yang diperoleh selanjutnya difiksasi di

dalam larutan Bouin selama 24 jam dan diproses hingga menjadi preparat

histologi. Pembuatan preparat tersebut sama dengan prosedur pada kegiatan

(7)

sebelumnya. Preparat histologi testis dengan ketebalan sayatan 2-3 µm

selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan PAS dengan prosedur sebagai berikut:

1. Preparat histologi dideparafinisasi dalam larutan silol dengan tiga kali

ulangan dan dilanjutkan dengan rehidrasi dalam alkohol dari konsentrasi

absolut sampai konsentrasi 70%.

2. Perendaman preparat dalam larutan periodic acid selama 5 menit dan

dibilas dengan akuades.

3. Inkubasi dengan larutan Schiff (Schiff reagent) selama 30 menit pada

temperatur ruangan. Setelah reaksi positif terbentuk, dilakukan

pembilasan dengan air sulfit dan dilanjutkan dengan akuades.

4. Pewarnaan latar (counterstain) dengan larutan Meyer’s hematoksilin, dan

dibilas dengan akuades.

5. Dehidrasi preparat dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat dan

clearing

dalam larutan silol.

6. Tahap terakhir adalah penutupan jaringan dengan gelas penutup

(mounting)

menggunakan bahan perekat Entellan®.

Pengamatan hasil pewarnaan dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan

perbesaran objektif 40 kali. Reaksi PAS positif ditandai dengan terbentuknya

warna merah-keunguan (magenta) pada akrosom spermatid.

Karakteristik dan Kualitas Semen Muncak

Koleksi semen

Koleksi semen muncak ♂#2 dan ♂#3 dilakukan sekali per periode

ranggah (C, RV, dan RK) yang ditampung sebelum aspirasi jaringan testis.

Penampungan semen menggunakan elektroejakulator dengan stimulator AC

100 Hz dan probe rektal berdiameter 1.5 dengan empat elektroda sirkular

(Fujihira, FHK), mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh Dradjat (2002) dan

Prasetyaningtyas et al. (2006), yaitu:

1. Penis dikeluarkan dari preputium dan dicuci dengan NaCl fisiologis

hingga bersih.

2. Tabung gelas penampung semen yang dilengkapi dengan skala ukuran

volume semen terlebih dahulu disterilkan. Selanjutnya ujung penis

ditempatkan di tengah tabung gelas penampung.

(8)

3. Probe ejakulator diberi vaseline dan dimasukkan kedalam rektum dengan

kedalaman sekitar 10 cm dengan posisi elektroda probe mengarah ke

bagian ventral ruang pelvis.

4. Stimulasi listrik dilakukan secara bertahap dengan voltase antara

3 V sampai 7 V selama 5 detik per voltase dan diulangi sebanyak tiga

kali ulangan dengan interval setiap ulangan selama 5 detik. Proses ini

dilakukan hingga semen diperoleh. Setelah semen terkumpul, stimulasi

listrik dihentikan atau setelah 2 menit walaupun semen tidak berhasil

dikoleksi.

Evaluasi semen

Cairan semen yang terkumpul pada tabung pengumpul, selanjutnya

dievaluasi secara makroskopis untuk mengetahui warna, volume, dan pH dan

secara mikroskopis untuk menentukan konsentrasi spermatozoa, motilitas

spermatozoa, prosentase spermatozoa hidup dan abnormalitas, serta morfologi

spermatozoa individual. Prosedur evaluasi mikroskopis terhadap semen muncak

adalah:

1. Konsentrasi spermatozoa

Pengamatan terhadap konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan

menggunakan hemositometer dan kamar hitung Neubauer. Semen diteteskan

pada ujung gelas penutup yang berada di atas gelas objek. Cairan yang mengalir

diamati dengan penghitungan pada kamar hitung, dengan ketentuan: konsentrasi

spermatozoa adalah jumlah spermatozoa yang diperoleh dikalikan dengan faktor

pengencer serta faktor hemositometer.

2. Motilitas spermatozoa

Semen diteteskan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup,

selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan melihat aktivitas gerak progresif

spermatozoa per individu. Penilaian dilakukan dengan skoring dalam kisaran

0–100% pada skala 5%.

3. Presentase spermatozoa hidup dan abnormalitas

Semen diteteskan pada gelas objek dan diwarnai dengan eosin 2% dan

dibuat preparat ulas secara tipis dan merata, kemudian diamati dibawah

mikroskop. Spermatozoa yang mati akan menyerap warna eosin, sedangkan

yang mati tidak menyerap warna eosin. Abnormalitas spermatozoa dapat diamati

dari morfologi spermatozoa.

(9)

4. Morfologi spermatozoa individual

Pengamatan terhadap morfologi spermatozoa secara individual dilakukan

dengan dua metode, yaitu 1) preparasi semen dengan pewarnaan William untuk

pengamatan morfologi dan morfometri spermatozoa menggunakan mikroskop

cahaya, dan 2) preparasi semen untuk pengamatan ultrastruktur spermatozoa

menggunakan SEM.

Prosedur pewarnaan William terhadap sampel semen muncak mengacu

prosedur yang dilakukan Yudi et al. (2010). Pengamatan morfologi dilakukan

dengan mikroskop cahaya dengan mengamati bentuk kepala dan ekor

spermatozoa normal dan abnormal dan selanjutnya difoto dengan kamera

mikroskop. Pengukuran morfometri spermatozoa individual yang meliputi

panjang dan lebar kepala, serta panjang ekor dari 100 spermatozoa kedua

muncak pada periode RV dan RK. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan

mikrometer eye piece yang telah dikalibrasi sesuai dengan tipe mikroskop yang

digunakan pada perbesaran lensa objektif 40 kali. Prosedur preparasi SEM

yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada prosedur yang dilakukan

Prasetyaningtyas et al. (2004).

Analisis Data

Data pengamatan spermatogenesis dan tahapan epitel tubuli seminiferi

atau tahapan spermatogenik testis dianalisis secara deskriptif dan disajikan

dalam bentuk gambar, sedangkan untuk nilai durasi spermatogenesis dan

ukuran diameter inti sel germinal ditabulasikan dalam nilai rataan ± SB. Data

pengamatan spermatogenesis pada periode C, RV, dan RK dengan pewarnaan

PAS dianalisis secara deskriptif dengan pemberian skor. Kriteria skor terdiri

atas: +++: banyak; ++: sedang; + sedikit, dan -: tidak ditemukan. Kualitas

semen dianalisis secara diskriptif dalam bentuk rataan dan gambar.

(10)

Gambar 44 Bagan alir disain penelitian IV: spermatogenesis dan kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah. Casting (C), ranggah keras (RK), ranggah velvet (RV), hematoksilin dan eosin (HE), periodic acid Schiff (PAS), scanning electron microscope (SEM).

Pengamatan dan Pemotretan

Data Morfologi Spermatozoa Pewarnaan William dan SEM Data

Pewarnaan HE Pewarnaan PAS

Preparat Histologi Makroskopis : volume, warna, pH Mikroskopis: motilitas (%), gerakan massa (+, ++), konsentrasi

spermatozoa (%), persentase hidup dan abnormalitas (%)

Muncak Jantan ♂#2 dan ♂#3

Biopsi metode tertutup

(core needle biopsy)

Fragmen testis Testis Muncak Jantan ♂#1 Exanguinasi (Penelitian I) Fiksasi (Bouin, 24 jam) Fiksasi (Paraformaldehid 4%) Koleksi Semen (Elektroejakulator) Evaluasi Semen Semen Spermatogenesis pada Periode RK Spermatogenesis pada Periode C, RV, RK Muncak Jantan ♂#2 dan ♂#3 Kualitas Semen pada

(11)

Hasil dan Pembahasan

Spermatogenesis pada Periode Ranggah Keras

Penentuan tahapan (staging) dari satu siklus spermatogenik atau siklus

epitel tubuli seminiferi testis muncak dilakukan berdasarkan karakteristik

morfologi komponen tubuli seminiferi (Gambar 45). Terdapat delapan tahap

epitel tubuli seminiferi pada muncak yang diamati pada periode ranggah keras

dengan gambaran masing-masing tahapan sebagai berikut:

Tahap I

Pada tahap ini ditemukan spermatid berinti bulat atau round spermatid

(R) dengan granul preakrosom (PG) yang membentuk beberapa lapis sel pada

epitel tubuli. Nuklei sel Sertoli dapat diamati dengan sitoplasma pucat dan

nukleoli berukuran kecil. Pada membran basal tubuli ditempati oleh

spermatogonia, sedangkan spermatosit primer tipe pachytene (P) yang terletak

diantara spermatogonia dan inti sel Sertoli (Gambar 45A).

Tahap II

Karakteristik tahap ini adalah munculnya spermatid berinti lonjong atau

elongated

spermatid (E) yang berdiferensiasi dari spermatid R dengan posisi

ujung kepala mengarah ke nukleus sel Sertoli. Sel lainnya adalah spermatogonia

dan spermatosit primer tipe leptotene (L) dan P (Gambar 45B).

Tahap III

Pada tahap ini spermatid tipe R mulai mengumpul (berkelompok) dengan

posisi kepala mengarah ke membran basal dan nukleus sel Sertoli. Spermatosit

primer beriferensiasi membentuk spermatosit tipe L dan P. Selain itu

spermatogonia dan sel Sertoli juga ditemukan pada tahapan ini (Gambar 45C).

Tahap IV

Ciri khas tahap ini adalah terjadinya proses pembelahan meosis dari

spermatosit diplotene (D) menjadi spermatosit sekunder (haploid) yang akan

berdiferensiasi menjadi spermatid tipe R. Spermatosit primer tipe P juga

ditemukan di lapisan atas sel spermatogonia (Gambar 45D).

Tahap V

Pada tahap ini ditemukan spermatid R yang berasal dari pembelahan

meiosis spermatosit sekunder. Ukuran dan bentuk inti sel antara spermatosit

sekunder dan spermatid R sangat mirip, sehingga keduanya sulit dibedakan.

(12)

Kumpulan spermatid tipe E juga ditemukan dengan beberapa sel yang berada

hampir mendekati membran basal dan nukleus sel Sertoli serta diantara sel-sel

epitel tubuli. Sama seperti tahap sebelumnya, spermatogonia dan sel Sertoli juga

dapat diamati. Sedangkan spermatosit primer ditemukan dengan tipe zygotene

(Z) dan D (Gambar 45E).

Tahap VI

Gambaran

tahap

VI ini mirip dengan tahap sebelumnya (tahap V), yaitu

tubuli seminiferi diisi oleh spermatid tipe R dan E, spermatosit primer tipe Z dan

D, spermatogonia dan sel Sertoli. Ciri khas dari tahap ini adalah ditemukannya

kumpulan spermatid tipe E yang mulai memisahkan diri dan mengarah ke lumen

tubuli (Gambar 45F).

Tahap VII

Spermatid tipe E yang berkelompok dengan bentuk kepala dan ekor yang

semakin jelas berada pada posisi sejajar di permukaan lumen tubuli seminiferi

sebelum dilepaskan ke dalam lumen tubuli seminiferi. Sel germinal lainnya

adalah spermatogonia, spermatosit primer tipe Z dan D, spermatid tipe E dengan

PG, serta sel Sertoli (Gambar 45G).

Tahap VIII

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari siklus tubuli seminiferi testis

muncak. Ciri khas pada tahap ini adalah ditemukannya tahap akhir diferensiasi

spermatid tipe E dan terjadinya porses pelepasan spermatozoa dari epitel tubuli

menuju lumen tubuli. Selain itu ditemukan pula badan residu (residual bodies)

yang merupakan sisa sitoplasma spermatid yang telah mengalami spermiasis.

Sel lainnya adalah spermatid tipe R dengan PG, spermatosit primer P dan

spermatogonia di membran basal tubuli (Gambar 45H).

(13)

Gambar 45 De (P (M Ta elapan tahapan e P), dan round spe M), R, dan E. Tah ahap VIII (VIII): S

epitel tubuli semin ermatid (R). Taha hap V (V): Sg, Z, g, spermatosit pr niferi muncak. Ta ap II (II): Sg, L, P , P, R, E, dan se releptotene (Pl), P

ahap I (I): sperma P, dan E. Tahap I el Sertoli (S). Tah P, R, S, residual b atogonia (Sg), spe III (III): Sg, Z, D, hap VI (VI): Sg, P bodies (Rb), dan ermatosit primer dan E. Tahap IV P, R, E, dan S. T spermatozoa (Sz leptotene (L), sp V (IV): Sg, Z, D, p Tahap VII (VII): z). Pewarnaan HE ermatosit pachyt pembelahan meio Sg, P, R, E, dan E. Skala: 30 µm. ene osis n S.

139

(14)

Gambar 46 Skema delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak. Tahap I-VIII dicirikan dengan tipe sel spesifik yang berdiferensiasi untuk menghasilkan spermatozoa. Spermatogonia A (A), dan spermatogonia B (B); spermatosit primer: preleptotene (Pl), leptotene (L), zygotene (Z), pachytene (P), dan diplotene (D); spermatid sekunder (Ss); spermatid bulat/round spermatid (R) dan elongated spermatid (E); spermatozoa (Sz); dan residual bodies (Rb). Pewarnaan HE, skala 30 µm (tahap I-VIII).

Delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak pada periode

ranggah keras dapat diidentifikasi dengan jelas berdasarkan pengamatan

karakteristik sel-sel epitel germinal pada setiap tahapan. Metode ini sebelumnya

telah diaplikasikan pada beberapa spesies mamalia seperti babi (França dan

Cardoso 1998), kambing (França et al. 1999), babi liar (Almeida et al. 2006), dan

domba garut (Basrizal 2007). Ada delapan tahapan epitel tubuli seminiferi yang

diidentifikasi pada ruminansia dan beberapa spesies mamalia seperti kambing

(França et al. 1999; Onyango et al. 2000), babi landrace (Garcia-Gil et al. 2002),

keledai (Neves et al. 2002), roe deer (Schoen et al. 2004), babi liar

(Almeida et al. 2006), puma (Leite et al. 2006), da rusa timor (Handarini 2006;

(15)

Gambar 46 memperlihatkan perkembangan sel germinal tubuli seminiferi

testis muncak yang dimulai dari spermatogonia sampai spermatozoa (tahap

I-VIII). Perkembangan sel germinal selama spermatogenesis pada muncak

memperlihatkan kemiripan dengan beberapa spesies lainnya, yaitu kerbau rawa

(McCool et al. 1988), keledai (Neves et al. 2002), puma (Leite et al. 2006), babi

(Almeida et al. 2006), serta kucing, jaguar, dan cougar (Costa et al. 2006).

Spermatogonia A yang berada pada membran basal tubuli (tahap I-VI)

berdiferensiasi menjadi spermatogonia B pada tahap VII, dengan bentuk nukleus

yang lebih tebal dan struktur kromatin yang mulai memadat. Pada tahap VIII,

spermatogonia B berdiferensiasi menjadi spermatosit primer tipe preleptotene.

Perubahan tipe spermatogonia pada tahap VI dan perkembangan menjadi

spermatosit primer pada tahap VIII berbeda dengan ruminansia lainnya seperti

kambing (Franca et al. 1999). Pada spesies tersebut ditemukan spermatogonia

tipe intermediate pada tahap V dan VI. Spermatogonia intermediate selanjutnya

berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B pada tahap VII dan VIII.

Spermatosit primer tipe preleptotene berkembang menjadi spermatosit

primer tipe leptotene pada tahap I dan II, serta spermatosit primer tipe zygotene

pada tahap III-V. Pada tahap V, spermatosit primer tipe zygotene berkembang

menjadi tipe pachytene (tahap V-VIII, serta tahap I-II), dan selanjutnya pada

tahap III berdiferensiasi menjadi spermatosit pachytene, dan diplotene yang

ditandai dengan ukuran inti lebih besar dari pada pachytene. Spermatosit

diplotene

mengalami pembelahan meiosis menjadi spermatosit sekunder pada

tahap IV yang memiliki ukuran hampir sama dengan spermatid bulat (round

spermatid)

, namun spermatosit sekunder sulit ditemukan karena waktu

pembelahan yang singkat (Senger 2005) dan akan segera berdiferensiasi

menjadi spermatid bulat yang ditemukan pada tahap V–VIII, dan tahap I. Pada

tahap II spermatid bulat mulai memanjang dan terus berdiferensiasi sampai

tahap VIII. Pada tahap VII dan VIII, inti spermatid memanjang dengan ukuran inti

sel lebih kecil, karena adanya suatu mekanisme fisiologi pemadatan inti yang

telah diselubungi oleh akrosom dan akhirnya berdiferensiasi menjadi

spermatozoa yang dilepaskan ke lumen tubuli pada tahap VIII (Kwan 2002).

Dalam satu sayatan melintang tubuli seminiferi muncak terkadang dapat

ditemukan beberapa tahapan (multistage), seperti yang ditemukan pada primata

(Wistuba et al. 2003). Hal ini terjadi karena ukuran sel hasil pembelahan mitosis

(spermatogonia dan spermatosit primer) yang baru masih berukuran kecil,

(16)

sehingga ada ruang untuk berkembangnya sel-sel spermatogenik baru dengan

tahap satu tingkat lebih rendah dibandingkan dengan tahap yang telah

berkembang sebelumnya (Ehmcke et al. 2005). Teramatinya satu atau lebih

tahapan dalam satu sayatan melintang tubuli seminiferi, tidak menunjukkan tinggi

rendahnya kemampuan spermatogenesis atau kemampuan fertilisasi

spermatozoa hewan jantan (Wistuba et al. 2007). Pada muncak, dalam satu

sayatan melintang tubuli seminiferi, umumnya hanya ditemukan satu tahapan,

walaupun ada beberapa tubuli yang memiliki dua sampai tiga tahapan. Hal yang

sama dilaporkan pada ruminansia lain, seperti kambing (Onyango et al. 2000)

dan sapi bali (McCool 1989) serta pada mamalia lain, seperti babi hutan

(Garcia-Gil et al. 2002), keledai (Neves et al. 2003), puma (Leite et al. 2006), dan

rodensia (Paula et al. 1999).

Frekuensi dan durasi tahapan tubuli seminiferi

Frekuensi relatif dari setiap tahapan (tahap I-VIII) dikelompokkan menjadi

tahap pre meiosis (tahap I-III), tahap meiosis (tahap IV), dan tahap post meiosis

(tahap V-VIII). Frekuensi relatif setiap tahapan disajikan pada Tabel 13 dan

Gambar 47. Frekuensi tahapan epitel tubuli seminiferi tertinggi ditemukan pada

tahap III (17.75%), sedangkan yang paling rendah terdapat pada tahap IV

(6.87%). Frekuensi tahap pre-meiosis (tahap I-III) adalah 47.75 %, tahap meiosis

(tahap IV) adalah 6.87 %, dan tahap post-meiosis (tahapan V-VIII) adalah

45.37%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada muncak frekuensi tahap pre-meiosis

memiliki nilai lebih besar dibandingkan tahap meiosis dan post-meiosis. Hasil ini

mirip dengan frekuensi per tahap pada kerbau rawa (McCool et al. 1988), sapi

bali (McCool 1989), kambing (França et al.1999, Onyango et al. 2000) dan

domba garut (Basrizal 2007). Perbedaan nilai frekuensi tahapan

spermatogenesis bersifat spesifik spesies yang disebabkan oleh adanya

pengaruh genetik, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai dewasa

kelamin, dan perilaku kawin (musiman atau terjadi sepanjang tahun)

(Neves et al. 2002).

Tahapan pre meiosis (tahap I-III) atau yang dikenal sebagai proses

spermatositogenesis, merupakan suatu proses proliferasi satu spermatogonia

secara mitosis dan menghasilkan dua spermatogonia lain dengan tipe sama dan

bersifat diploid. Durasi pada tahap IV menunjukkan proses tersingkat dalam

spermatogenesis muncak, yaitu proses meiosis. Meiosis merupakan suatu

(17)

s

s

Tubuli seminif Rataan Frekue (%) Durasi G

proses diha

bersifat dipl

spermiogen

spermatozo

proses sper

Tabel 13 F

I feri 119 n±SB 59.5±3 ensi 14.8 (hari) 1.58 Gambar 47 P e d S p ( s

asilkannya s

loid

. Tahapa

esis adala

a matang y

miasis (Sen

Frekuensi da

II 9 121 3.5 60.5±7.8 7 15.12 8 1.6 Perkembanga epitel tubuli s durasi, dan Spermatogoni preleptotene ( D); spermato spermatid lonj

spermatid h

an post meio

ah suatu

yang akan

ger 2005).

an durasi del

Tahapan III 142 71±5.7 27 17.75 1.89 an sel germina seminiferi mu huruf dalam ia A (A) d (Pl), leptoten osit sekunder jong (elongat

haploid

dari

osis

(tahap

proses d

dilepaskan

apan tahapa

n epitel tubuli IV V 55 5 7.5±4.9 29.5 6.87 7.3 0.73 0.7

al, durasi spe uncak. Lebar setiap kolo an spermato ne (L), zygote r (II); sperma ted spermatid

spermatos

V-VIII) atau

diferensiasi

ke lumen t

an epitel tub

i seminiferi V VI 9 99 ±3.5 49.5±3. 37 12.37 78 1.31 ermatogenesis tiap tahapan om menunjuk ogonia B (B ene (Z), pach atid bulat (ro d) (E); serta sp

it primer ya

u yang diken

spermatid

tubuli semin

buli seminifer

VII 104 .5 52±2.8 13.0 1.38 s, dan frekue n menunjukka kkan tipe se B); spermato hytene (P), da ound spermat permatozoa (

ang masih

nal dengan

menjadi

niferi pada

ri muncak

To VIII 101 80 50.5±3.5 12.62 10 1.34 10 ensi tahapan an lamanya el germinal. osit primer: an diplotene tid) (R) dan Sz). otal 00 00 0.6

(18)

Penetapan durasi spermatogenesis untuk tiap tahapan pada muncak,

dilakukan dengan menggunakan nilai durasi dari satu siklus epitel tubuli

seminiferi testis kambing, yaitu 10.6 hari (França et al. 1999). Hal ini bertujuan

untuk memprediksi durasi spermatogenesis atau waktu yang dibutuhkan untuk

satu siklus epitel tubuli seminiferi pada muncak. Pemilihan nilai durasi kambing

tersebut dikarenakan nilai durasi spermatogenesis kambing cenderung lebih

konstan dibandingkan rusa totol atau chital deer (Loudon dan Curlewis 1988).

Durasi tahapan epitel tubuli seminiferi tersingkat ditemukan pada tahap IV

(0.73 hari), diikuti tahap V (0.78 hari), sedangkan durasi terlama ditemukan pada

tahap III (1.89 hari). Tahap pre meosis merupakan tahap dengan durasi terlama

dibandingkan tahap meiosis dan post meiosis. Durasi ketiga tahap tersebut

berturut-turut adalah 5.07 hari, 0.73 hari, dan 4.81 hari.

Tahapan pre-meiosis memperlihatkan frekuensi lebih besar dan durasi

yang lebih panjang dibandingkan dengan tahapan meiosis dan post-meiosis. Hal

tersebut berhubungan dengan life span spermatosit primer yang lebih panjang

dibandingkan dengan life span spermatosit sekunder yang ditemui pada tahapan

post meiosis

(de Kretser dan Kerr 1994). Pada kondisi patologis, frekuensi relatif

dari tahapan pre-meiosis, meiosis, dan post-meiosis dapat digunakan sebagai

indikator

adanya

perubahan

kinetik

dari

proses

spermatogenesis

(Hess et al. 1990). Perubahan yang terjadi pada proses tersebut berpengaruh

terhadap produksi spermatozoa harian per gram testis (França dan Cardoso

1998; Johnson et al. 2000). Menurut Costa et al. (2008), pengetahuan mengenai

durasi spermatogenesis pada suatu spesies bermanfaat untuk menentukan

efisiensi spermatogenesis atau produksi spermatozoa harian yang dapat

dikomparasikan dengan spesies hewan lainnya.

Almeida et al. (2006) menyatakan, untuk mengetahui durasi

spermatogenesis secara tepat, diperlukan suatu metode khusus dengan

menginjeksi thymidine sebagai bahan pelacak pada proses pembelahan sel.

Thymidine

diinjeksikan secara intratestikular, kemudian setelah melalui periode

waktu tertentu, testis diambil dengan cara kastrasi (Costa et al. 2010) atau

melalui prosedur biopsi (Leite et al. 2006). Jaringan testis yang diperoleh

selanjutnya diproses menjadi preparat histologi dan diwarnai dengan pewarnaan

toluidine blue

. Metode lain yang umum digunakan menurut Nakai et al. (2004)

adalah penggunaan bromodeoxyuridine (BrdU) yang disuntikkan secara

intraperitoneal. Pada hewan eksotik dan dilindungi seperti muncak dengan

jumlah individu yang terbatas, metode tersebut belum dapat dilakukan, sehingga

(19)

diperlukan suatu asumsi durasi spermatogenesis kambing untuk memberikan

gambaran mengenai durasi spermatogenesis pada muncak.

Diameter inti sel germinal tubuli seminiferi testis

Diameter inti sel germinal pada setiap tahapan epitel tubuli seminiferi

ditampilkan pada Tabel 14

.

Diameter inti spermatogonia, spermatosit primer

preleptotene

hingga diplotene yang ditemukan pada tahapan tertentu mengalami

peningkatan. Diameter inti spermatogonia dari tahap I sampai tahap VIII

mengalami perkembangan dengan rataan diameter pada tahap I adalah

4.07 ± 0.89 µm. Diameter pada tahap VIII meningkat sebesar 4.5% menjadi

4.46 ± 0.66 µm. Diameter inti spermatosit primer preleptotene hanya dapat diukur

pada tahap VIII, yaitu 5.15 ± 0.66 µm. Ukuran tersebut sedikit lebih kecil

dibandingkan tahap leptotene dengan diameter terbesar pada tahap II, yaitu

5.33 ± 0.32 µm. Spermatosit primer zygotene juga mengalami perkembangan

sebesar 2.2% yang diamati pada tahap III-V. Spermatosit primer pachytene

ditemukan pada tahap I, II, dan tahap V-VII, dengan diameter terbesar ditemukan

pada tahap II, yaitu 7.81 ± 0.36 µm. Spermatosit primer diplotene merupakan tipe

spermatosit dengan ukuran inti sel terbesar dibandingka inti sel germinal lainnya,

yaitu 8.97 ± 1.0 µm yang hanya ditemukan pada tahap III dan IV. Diameter inti

sel spermatid bulat (round spermatid) relatif stabil pada kisaran 5.32-5.84 µm.

Secara umum, diameter inti sel germinal testis muncak lebih kecil

dibandingkan diameter inti sel germinal sapi pedaging. Diameter spermatogonia

B, spermatosit primer pachytene, dan spermatid sapi pedaging, berturut-turut

adalah: 9.2 ± 0.3 µm, 11.4 ± 0.4 µm, dan 7.5 ± 0.5 µm (Cerelli dan

Johnson 1999). Pengukuran inti sel germinal muncak pada periode RK penting

untuk dilakukan. Data yang diperoleh merupakan data awal untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan diameter inti sel germinal pada saat periode ranggah

lainnya (C dan RV). Selain itu, data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui

potensi produksi spermatozoa harian per gram testis (efisiensi spermatogenesis)

pada muncak, baik pada periode RK, maupun periode C, dan RV. Pada sapi

pedaging, data diameter inti germinal tersebut digunakan untuk mengetahui

pengaruh pemberian suplemen tertentu terhadap laju degenerasi sel germinal

yang berpengaruh terhadap produksi spermatozoa harian per gram testis (Cerelli

dan Johnson 1999; Johnson et al. 2000).

(20)
(21)

Tabel 14 Diameter inti sel germinal tubuli seminiferi testis muncak

No. Tipe sel germinal Ukuran inti sel (µm) / Tahap

I II III IV V VI VII VIII 1 Spermatogonia 4.07 ± 0.79 4.11 ± 0.13 4.09 ± 0.91 4.28 ± 0.44 4.33 ± 0.11 4.42 ± 0.17 4.50 ± 0.75 4.46 ± 0.66 2 Spermatosit primer a. preleptotene - - - 5.15 ± 0.66 b. leptotene 5.29 ± 0.25 5.33 ± 0.52 - - - c. zygotene - - 5.76 ± 0.42 5.98 ± 0.53 6.02 ± 0.89 - - - d. pachytene 7.18 ± 0.33 7.81 ± 0.36 - - 6.94 ± 0.41 6.39 ± 0.35 6.59 ± 0.29 6.92 ± 0.48 e. diplotene - - 8.97 ± 1.01 8.72 ± 0.17 - - - - 3 Round spermatid 5.32 ± 0.38 - - 5.84 ± 0.12 5.63 ± 0.41 5.32 ± 0.32 5.81 ± 0.37 5.56 ± 0.14 4 Elongated spermatid 4.35 ± 0.19 5.19 ± 0.43 5.44 ± 0.37 6.05 ± 0.36 6.43 ± 0.38 5.78 ± 0.53 5.71 ± 0.35

146

(22)
(23)

Spermatogenesis Selama Periode Pertumbuhan Ranggah

Deteksi spermatogenesis dari fragmen testis hasil biopsi yang diwarnai

dengan pewarnaan periodic acid-Schiff (PAS) pada setiap periode ranggah

(C, RV, dan RK) dapat diamati pada penelitian ini. Keberadaan spermatid yang

meliputi spermatid bulat (round spermatid) dan spermatid lonjong (elongated

spermatid)

pada tubuli seminiferi testis muncak ditampilkan pada Gambar 48 dan

Tabel 15 dan 16. Tahapan epitel tubuli seminiferi testis (I-VIII) pada periode

ranggah keras (RK), casting (C) dan ranggah velvet (RV) dapat diamati

(Tabel 15). Pada periode RK, ditemukan tahap I-VIII dari sayatan melintang

fragmen testis ♂#3, sedangkan pada ♂#2, tahap IV tidak ditemukan. Pada

periode C, ditemukan tahap I-VIII (♂#3), sedangkan pada ♂#2 hanya ditemukan

tahap I, II, III, VI dan VII. Dari ketiga periode ranggah, pada periode RV hanya

ditemukan tahap I-III dan V pada ♂#3, dan tahap I, II, V dan VI pada ♂#2.

Tabel 15 Tahapan epitel tubuli seminiferi testis pada setiap periode ranggah.

Muncak Periode

Ranggah

Tahapan epitel tubuli seminiferi

I II III IV V VI VII VIII

♂#2 RK +++ ++ ++ + + + + + C +++ ++ ++ + + + + + RV + + + - + - - - ♂#3 RK ++ + + - ++ + + + C ++ + ++ - - + + - RV + + - - + + - -

Keterangan: kriteria skoring tahapan epitel tubuli seminiferi testis: +++: banyak; ++: sedang; + sedikit dan -: tidak ditemukan.

Perbedaan pemunculan tahapan pada kedua muncak selama periode

RK, C, dan RV disebabkan oleh kecilnya ukuran sampel yang diperoleh dari

metode core needle biopsy (2-3 mm), sehingga dalam satu fragmen testis

gambaran tubuli seminiferi dengan tahap yang berbeda tidak ditemukan. Namun

demikian, aktivitas spermatogenesis tetap berlangsung. Hal tersebut dibuktikan

dengan ditemukannya kedelapan tahapan epitel tubuli seminiferi dari fragmen

testis ♂#2 pada periode RK dan C.

Gambar 47A - 47F memperlihatkan perkembangan sistem akrosom

spermatid berdasarkan adanya reaksi PAS positif saat berlangsungnya

diferensiasi spermatid bulat menjadi spermatid lonjong dan spermatozoa. Reaksi

PAS positif dengan visualisasi warna merah-keunguan (magenta) menandakan

keberadaan karbohidrat netral pada jaringan testis yang diperlukan selama

(24)

proses

sperm

pada f

Gamba

s spermato

matid bulat p

fase maturas

ar 48 Sperma ranggah velvet ( magent sperma

ogenesis be

pada fase go

si.

atogenesis pa h. Periode ra (RV) (E, F). ta) terjadi p atid, R: round

erlangsung.

olgi cap, fas

ada tubuli sem anggah keras Tanda pana pada proses spermatid. P

Reaksi po

se akrosom

miniferi testis s (RK) (A, B, ah menunjukk perkembang ewarnaan PA

ositif kuat d

dan berea

muncak pada , C); casting kan reaksi P gan spermat AS. Skala: 30

ditemukan

ksi positif le

a berbagai pe (D); dan ran PAS positif (w tid. E: elong 0 µm.

pada

emah

eriode nggah warna gated

(25)

Tabel 16 Tipe sel germinal tubuli seminiferi muncak yang ditemukan pada

jaringan testis hasil biopsi

Periode ranggah

Sel germinal

Spermatogonia Spermatosit Spermatid Spermatozoa round elongated

C √ √ √ √ √

RV √ √ √ √ -

RK √ √ √ √ √

Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras

Indikator lain yang memperlihatkan aktivitas spermatogenesis pada ketiga

periode ranggah adalah dengan keberadaan elongated spermatid (Tabel 16).

Indikator tersebut juga telah digunakan untuk menentukan tingkat fertilitas empat

spesies badak, yaitu badak hitam, badak putih, badak india dan badak sumatera

(Hermes et al. 2006). Prosedur biopsi testis pada badak tersebut dilakukan

dengan metode fine needle biopsy menggunakan jarum yang berukuran lebih

kecil (17-18G) dibandingkan ukuran jarum core needle biopsy (14G) yang

digunakan pada penelitian ini. Namun demikian, kedua metode biopsi yang

dilakukan pada badak dan muncak telah memberikan hasil yang dapat

menggambarkan aktiftas spermatogenesis untuk penentuan tingkat fertilitas

kedua satwa tersebut.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, aktivitas spermatogenesis

pada muncak tetap berlangsung walaupun muncak berada pada periode C dan

RV. Namun demikian aktivitas spermatogenesis pada kedua periode tersebut

mengalami sedikit penurunan. Adanya variasi aktivitas spermatogenesis pada

muncak berhubungan erat dengan perbedaan konsentrasi testosteron antara

periode C, RV, dan RK. Variasi tersebut juga dilaporkan pada spesies Cervidae

lainnya seperti, roe deer (Blottner et al. 1996), rusa timor (Handarini 2006), chital

deer

(Umapathy et al. 2007), dan formosan muntjak (Pei et al, 2009). Namun

demikian variasi tesebut bersifat spesifik spesies, bergantung pada wilayah

penyebaran spesies. Pada chital deer yang berada di wilayah beriklim sedang

(Texas, USA), elongated spermatid masih ditemukan saat rusa tersebut berada

pada periode RV, dan spermatozoa kauda epididimidis tetap ditemukan

sepanjang tahun (Willard dan Randel 2002). Laporan berbeda dilaporkan oleh

Umapathy et al. (2007) pada chital deer yang hidup di habitat asli (India), bahwa

fluktuasi konsentrasi testosteron plasma sangat berpengaruh terhadap aktivitas

spermatogenesis. Spermatozoa tidak ditemukan pada kauda epididimidis saat

(26)

chital deer

berada pada periode RV. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, seperti photoperiod untuk wilayah beriklim sedang dan pola curah

hujan tahunan untuk wilayah tropis (Mishra dan Wemmer 1987). Pada roe deer

(Blottner et al. 1996), dan eld’s deer (Monfort et al. 1993) yang tersebar di

wilayah beriklim sedang, aktivitas spermatogenesis hanya berlangsung pada

periode RK. Pada kedua spesies tersebut, photoperiod merupakan faktor utama

yang berpengaruh terhadap sintesis testosteron oleh sel Leydig testis yang

diperlukan untuk spermatogenesis dan aktivitas reproduksi lainnya.

Sejauh mana perbedaan aktivitas spermatogenesis pada setiap periode

ranggah juga dapat diketahui dari kualitas spermatozoa yang dihasilkan dari

proses spermatogenesis. Hasil yang diperoleh memperkuat laporan penelitian

Chapman dan Harris (1991) pada revees muntjak, dan Pei et al. (2009) pada

formosan muntjak

. Aktivitas reproduksi pada kedua muncak tersebut tetap

berlangsung walaupun berada pada periode RV yang ditandai dengan

ditemukannya spermatozoa pada kauda epididimidis. Namun demikian,

gambaran aktivitas spermatogenesis di level testikular tidak dilaporkan pada

kedua spesies tersebut.

Karakteristik dan Kualitas Semen Muncak

Morfometri testis pada priode casting, ranggah velvet, dan ranggah keras

Morfometri testis yang berada dalam kantong skrotum pada kedua

muncak selama periode, C, RV, dan RK tercantum pada Tabel 17. Rataan

panjang dan lebar testis dexter et sinister, dan lingkar skrotum menunjukkan

peningkatan pada setiap periode ranggah. Rataan ukuran panjang, lebar testis

dan lingkar skrotum terendah ditemukan pada saat kedua muncak berada pada

periode C, meningkat pada periode RV, dan tertinggi pada periode RK.

Peningkatan panjang dan diameter testis secara langsung berpengaruh terhadap

lingkar skrotum. Peningkatan lingkar skrotum ♂#2 dari periode C ke periode RV

adalah 1.7%, dan dari periode RV ke periode RK adalah 5.5%. Hal yang sama

juga ditemukan pada ♂#3, yaitu terjadi peningkatan sebesar 4.2% dari periode C

ke periode RV, dan 6.9% dari periode RV ke periode RK. Secara umum ♂#2

memiliki lingkar testis yang lebih besar dibandingkan ♂#3 pada setiap periode

ranggah, yaitu: 4.9% (C), 2.6% (RV), dan 1.3% (RK). Selain itu, konsistensi testis

juga berbeda antara ketiga periode ranggah. Konsistensi testis pada periode RK

lebih kenyal dibandingkan periode C dan RV.

(27)

Tabel 17 Morfometri testis dan skrotum muncak selama periode ranggah

Parameter pengukuran ♂#2 ♂#3 C RV RK C RV RK Testis: Panjang (mm) 61.7 ± 0.4 53.7 ± 0.5 75.8 ± 0.2 68.1 ± 2.8 76.6 ± 0,4 70.5 ± 1.1 Diameter (mm) 24.5 ± 0.3 24.3 ± 0.2 25.6 ± 0.7 25.7 ± 0.1 27.0 ± 0.1 26.9 ± 0.1 Lingkar skrotum (cm) 13.7 14.2 15.9 12.4 13.5 15.5

Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras

Perbedaan morfometri testis dan lingkar skrotum antara periode RK dan

RV juga dilaporkan pada Cervidae lainnya seperti rusa timor. Ukuran panjang,

diameter, dan lingkar testis rusa timor lebih besar dan berbeda nyata pada

periode RK dibandingkan periode RV. Konsistensi testis pada periode RK lebih

kenyal dibandingkan periode RV (Handarini 2006). Perbedaan morfometri testis

dan lingkar skrotum pada muncak dan Cervidae lainnya merefleksikan aktivitas

spermatogenesis pada tubuli seminiferi testis. Tingginya konsentrasi testosteron

pada periode RK menyebabkan aktivitas steroidogenesis dan spermatogenesis

testikular meningkat. Sebaliknya, penurunan konsentrasi testosteron pada

periode C dan RV mengakibatkan penurunan aktivitas spermatogenesis serta

produksi spermatozoa. Hubungan antara konsentrasi testosteron dengan ukuran

testis juga dilaporkan pada north american moose. Peningkatan testosteron pada

akhir musim panas meningkatkan ukuran testis dan aktivitas spermatogenesis

untuk menghasilkan spermatozoa yang diperlukan saat musim kawin yang

berlangsung pada musim gugur (Schwartz 1992). Korelasi yang sama juga

dilaporkan pada soay sheep yang berasal darii wilayah beriklim sedang, dimana

peningkatan ukuran testis, aktivitas spermatogenesis, dan konsentrasi

testosteron terjadi secara paralel pada musim kawin (Preston et al. 2011).

Morfologi dan morfometri spermatozoa muncak

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop

cahaya, ditemukan morfologi spermatozoa muncak yang mirip dengan morfologi

spermatozoa pada ruminansia lainnya (Gambar 49). Spermatozoa terbagi atas

kepala yang berbentuk oval, leher, ekor tengah (mid piece), ekor utama (principal

piece),

dan ujung ekor (end piece). Bentuk leher spermatozoa yang

menghubungkan kepala dan ekor tidak jelas teramati dengan pewarnaan

(28)

William

(Gamb

memp

(Gamb

Gamba Gamba

m. Gambara

bar 50). L

perlihatkan

bar 50B).

ar 49 Morfolo (2); eko ekor (en ar 50 Ultrastr (3) ekor electron

an tersebut d

Leher sperm

struktur y

gi spermatoz or tengah (mi nd piece) (5). ruktur sperma r utama (princ n microscope

dapat dilihat

matozoa te

yang lebih

zoa muncak d id-piece) (3); Pewarnaan atozoa munca ciple piece) (4 (SEM) 20 KV

t pada hasil

erletak di

tebal dib

dengan mikros ekor utama William. Ska ak. Kepala (1 4); dan ujung V. Skala:15 µ

pengamata

bagian dist

bandingkan

skop cahaya. (principal pie la: 10 µm. 1); leher (2); b ekor (end pie m (A); 2 µm (

an dengan

tal kepala

struktur

. Kepala (1); ce) (4); dan badan (mid p ece) (5). Sca (B dan C)

SEM

dan

ekor

leher ujung piece) nning

(29)

Morfometri spermatozoa individual meliputi ukuran panjang dan lebar

kepala serta panjang ekor pada ♂#2 dan ♂#3 selama periode RV dan RK,

ditampilkan pada Tabel 18. Secara umum morfometri spermatozoa pada kedua

periode pertumbuhan ranggah tersebut relatif sama. Panjang total spermatozoa

(panjang kepala dan ekor) ♂#2 adalah 50.98 µm pada periode RV dan 51.50 µm

pada periode RK. Muncak ♂#3 memiliki panjang spermatozoa total pada periode

RV adalah 51.57 µm dan 52.30 µm pada periode RK. Rataan panjang

spermatozoa keseluruhan ♂#2 dan ♂#3 pada periode RK adalah 51.90 µm, dan

51.27 µm pada periode RV.

Tabel 18 Morfometri spermatozoa muncak

Ukuran (µm) Periode ranggah ♂#2 ♂#3 RV RK RV RK Lebar kepala 2.89 ± 0.29 2.91 ± 0.26 2.86 ± 0.08 2.90 ± 0.20 Panjang kepala 5.76 ± 0.56 5.78 ± 0.25 5.77 ± 0.33 5.79 ± 0.24 Panjang ekor 45.22 ± 3.23 45.74 ± 4.85 45.80 ± 2.08 46.50 ± 4.85 Panjang total 50.98 51.50 51.57 52.30

Keterangan: RV: ranggah velvet, RK: ranggah keras

Rataan morfometri spermatozoa muncak pada periode RK, berukuran

lebih kecil dibandingkan morfometri spermatozoa rusa timor pada periode

ranggah yang sama. Panjang dan lebar kepala, panjang bagian tengah, dan ekor

spermatozoa rusa timor adalah: 7.71 ± 0.32 µm, 4.13 ± 0.09 µm, 13.35 ±

1.38 µm, dan 42.05 ± 0.86 µm (Handarini 2006), dengan panjang total 63.11 µm.

Gizejewski et al. (2002) melaporkan bahwa terdapat perbedaan panjang kepala

spermatozoa red deer antara periode pre mating season, mating season, dan

post mating season

, berturut-turut adalah: 8.40 ± 0.49 µm, 8.49 ± 0.48 µm, dan

8.17 ± 0.48 µm, dengan ukuran lebih panjang pada periode mating season.

Al-Makhzoomi et al. (2008) menyatakan bahwa perbedaan morfologi

spermatozoa dipengaruhi oleh kualitas ejakulat, umur, individu (pejantan), dan

musim. Faktor lain yang berpengaruh terhadap morfometri spermatozoa adalah

konsentrasi spermatozoa dalam ejakulat. Ejakulat Landrace boar dengan

konsentrasi spermatozoa lebih tinggi memiliki ukuran kepala spermatozoa lebih

kecil dibandingkan ejakulat dengan konsentrasi spermatozoa lebih rendah

(Wysokinska et al. 2009).

(30)

Panjang keseluruhan spermatozoa kancil adalah 36.52 ± 5.6 µm,

dengan panjang dan lebar kepala 5.55 ± 0.8 µm, dan 4.77 ± 0.5 µm.

(Prasetyaningtyas 2005), domba garut 49.19 µm (Rizal 2005), sedangkan

landrace boar

54.81 ± 1.87 µm (Wysokinska et al. 2009). Hasil perbandingan

dengan ruminansia tersebut memperlihatkan panjang keseluruhan spermatozoa

muncak pada periode RK dan RV lebih panjang dibandingkan spermatozoa

kancil, dan domba garut, namun lebih pendek dibandingkan spermatozoa sapi.

Menurut Handarini (2006), morfometri spermatozoa rusa timor pada periode RV

tidak dapat diukur, karena pada periode tersebut abnormalitas spermatozoa

mencapai 92% (pada salah satu individu rusa penelitian).

Kualitas Semen Muncak Selama Periode Ranggah

Kualitas semen muncak yang dikoleksi dengan elektroejakulator pada

periode C, RV dan RK dari kedua muncak penelitian dapat dilihat pada Tabel 19.

Dari pengamatan makroskopis, volume semen muncak yang diperoleh pada

ketiga periode ranggah berada pada kisaran 0.1-0.6 ml. Volume semen ♂#2

pada setiap periode pertumbuhan ranggah lebih tinggi dibandingkan volume

semen ♂#3. Sedangkan konsistensi semen bervariasi pada kedua muncak

tersebut, yaitu konsistensi encer pada periode C dan konsistensi sedang pada

periode RV dan RK, dengan warna antara krem muda pada periode C (♂#2 dan

♂#3), krem pada periode RV (♂#2 dan ♂#3), krem (♂#3) dan kuning (♂#2) pada

periode RK. Adapun pH semen berada pada kisaran 6.7-7.5.

Rataan volume semen muncak pada ketiga periode ranggah, yaitu

0.35 ± 0.07 ml (C), 0.3 ± 0.28 ml (RV), dan 0.4 ± 0.28 ml (RK), lebih rendah

dibandingkan rusa timor, yaitu 1.16 ± 0.45 ml pada periode RV, dan 1.88 ± 0.67

ml pada periode RK. Volume tersebut juga lebih rendah dibandingkan roe deer

pada periode RK, yaitu 1.1 ml (Goeritz et al. 2003), rusa sambar 1.3 ± 0.5 ml

(Cheng et al. 2004), domba 0.8-1.2 ml, sapi 5-8 ml, dan kuda 60-100 ml (Garner

dan Hafez 2000). Namun rataan volume semen muncak (periode RK) hampir

sama dengan volume semen sika deer, yaitu 0.5 ± 0.4 ml (Cheng et al. 2004).

Bila dibandingkan dengan rataan volume semen kancil, yaitu 19.44 ± 6.8 µl

(Prasetyaningtyas et al. 2006), rataan volume semen muncak pada ketiga

periode ranggah jauh lebih tinggi dibandingkan kancil.

Perbedaan volume dan kualitas semen pada ruminansia dan mamalia

lainnya disebabkan oleh faktor spesies, breed, musim, umur, dan frekuensi

(31)

koleksi semen (Kondracki et al. 2007; Al-Makhzoomi et al. 2008). Morfologi dan

morfometri tubuh muncak lebih kecil dibandingkan rusa timor, rusa sambar, dan

spesies Cervidae lainnya. Selain itu, kualitas dan kuantitas semen yang

diperoleh dengan metode penampungan alami dan vagina buatan lebih baik dan

lebih banyak dibandingkan dengan metode elektroejakulator (Asher et al. 2000).

Namun demikian, aplikasi metode elektroejakulasi untuk koleksi semen

menggunakan elektroejakulator pada satwa-satwa eksotik seperti Cervidae telah

menjadi prosedur rutin untuk mengetahui kualitas semen. Metode

elektroejakulasi telah diaplikasikan pada rusa sambar (Semiadi et al. 1994),

gazella

(Gomendio et al. 2000), roe deer (Goeritz et al. 2003), beruang hitam

(Okano et al. 2004), kancil (Prasetyaningtyas et al. 2006), red deer

(Gizejewski et al. 2004; Gizejewski et al. 2010), badak (Roth et al. 2005), rusa

timor (Handarini 2006, Nalley et al. 2012), chital deer (Umapathy et al. 2007),

anoa (Yudi et al. 2010), west african dwarf goat (Olugbenga et al. 2011), dan

spesies eksotik lainnya.

Pada pelaksanaannya, metode elektroejakulasi memerlukan tindakan

anastesi. Walaupun tindakan anastesi berisiko tinggi pada spesies-spesies

tersebut, namun metode ini lebih aman bagi operator dan lebih hemat waktu.

Pemilihan kombinasi anastetikum xylazine HCl dan ketamin HCl pada muncak

mengacu pada prosedur anastesi yang telah dilakukan pada rusa timor

(Handarini et al. 2004; Nalley et al. 2012), dan Axis deer (Sontakke et al. 2007).

Volume semen muncak yang berhasil dikoleksi menggunakan elektroejakulator

sangat memadai untuk keperluan evaluasi semen, sehingga kualitas semen

muncak selama periode ranggah dapat diketahui. Pada penelitian ini, periode

koleksi semen muncak terbatas, yaitu hanya sekali per periode ranggah. Hal ini

disebabkan karena tingginya risiko yang ditimbulkan pada muncak dengan

tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan Cervidae lainnya. Keterbatasan

koleksi semen sekali per periode ranggah juga dilakukan oleh Drajat (2000) pada

rusa timor yang berada pada periode RK dan RV.

(32)

Tabel 19 Kualitas semen muncak selama periode pertumbuhan ranggah

Kualitas semen ♂#2 ♂#3 C RV RK C RV RK Makroskopis: Volume (ml) 0.4 0.5 0.6 0.3 0.1 0.2 pH 6.7 7.2 6.7 7.5 7.2 6.7

Warna Krem Krem Kuning Krem Krem Krem

Konsistensi Encer Sedang Sedang Encer Sedang Sedang Mikroskopis: Gerakan massa + + ++ + + ++ Motilitas (%) 60 60 70 60 60 70 Konsentrasi (juta/ml) 315.0 375.1 462.5 262.5 350.1 550.0 Persentase hidup (%) 87.6 89.5 90.8 86.6 88.5 91.9 Abnormalitas (%) 14.0 12.5 7.2 10.9 13.5 6.2

Keterangan: C: casting; RV: ranggah velvet; RK: ranggah keras

Pada pengamatan secara mikroskopis, ditemukan variasi nilai dari setiap

parameter pemeriksaan semen muncak pada ketiga periode ranggah (C, RV dan

RK). Parameter motilitas spermatozoa pada periode C, RV, dan RK berkisar

antara 60-70% pada ♂#2 dan ♂#3. Nilai tersebut lebih baik dibandingkan kancil

(Prasetyaningtyas 2005), dan rusa timor pada periode RV, sedangkan pada

periode RK motilitas spermatozoa muncak dan rusa tersebut adalah 70% dan

72.76% (Handarini 2006). Konsentrasi spermatozoa memperlihatkan jumlah

yang cenderung meningkat dari periode C, RV dan RK. Peningkatan tersebut

ditemukan pada kedua muncak dengan konsentrasi tertinggi ♂#2 pada periode

RK adalah 462.5 juta/ml, dan menurun pada periode C (315.0 juta/ml). Pada

periode C, konsentrasi spermatozoa ♂#3 adalah 262.5 juta/ml; periode RV

adalah 350.11 juta/ml dan periode RK adalah 550.0 juta/ml. Secara umum

konsentrasi spermatozoa ♂#2 pada periode C dan RV lebih tinggi dibandingkan

konsentrasi spermatozoa ♂#3 kecuali pada periode RK, konsentrasi

spermatozoa ♂#3 lebih tinggi (550.0 juta/ml).

Parameter persentase hidup spermatozoa meningkat dari periode C ke

periode RV, dan RK. Muncak ♂#2 memiliki persentase spermatozoa hidup lebih

tinggi pada periode C dan RV (87.6% dan 89.5%) dari pada ♂#3. Pada periode

RK, persentase spermatozoa hidup ♂#3 lebih tinggi (91.9%) dibandingkan ♂#2.

Periode C dan RV juga memperlihatkan abnormalitas spermatozoa yang lebih

tinggi dibandingkan periode RK. Secara umum abnormalitas spermatozoa ♂#3

lebih rendah dibandingkan ♂#2, yaitu pada periode C dan RK. Menurut

Ake-Lopez (2010), perbedaan umur antara white-tailed deer jantan tidak berpengaruh

terhadap kualitas spermatozoa. Hal ini juga terjadi pada kedua muncak,

(33)

walaupun ♂#2 lebih tua dan dominan dari pada ♂#3, namun kualitas

spermatozoa ♂#2 tidak selalu lebih baik dibandingkan ♂#3, terutama pada

periode RK.

Perbandingan konsentrasi spermatozoa, persentase hidup dan

abnormalitas antara muncak dan rusa timor (Handarini 2006) memperlihatkan

pola yang berbeda. Rataan konsentrasi spermatozoa kedua muncak pada

periode RK jauh lebih rendah (506.25 ± 61.87 juta/ml) dibandingkan rataan

konsentrasi spermatozoa rusa timor (1055.95 ± 141.13) juta/ml). Namun

demikian, pada periode RV konsentrasi spermatozoa muncak lebih tinggi

(362.6 ± 17.68 juta/ml) dibandingkan rusa timor (199.56 ± 182.47 juta/ml).

Rataan persentase hidup spermatozoa muncak pada periode RK

(91.35 ± 0.77%) dan RV (89.0 ± 0.70%) lebih tinggi dibandingkan rusa timor pada

periode RK (79.40 ± 3.00%) dan RV (50.87 ± 6.55%). Perbedaan nilai

persentase abnormalitas antara muncak dan rusa timor juga memperlihatkan

pola yang sama dengan persentase hidup. Persentase abnormalitas muncak

pada periode RK (6.7 ± 0.70%) dan RV (13.00 ± 0.70%) juga lebih rendah

dibandingkan rusa timor, yaitu 9.80 ± 3.93% (RK), dan 35.59 ± 19.97% (RV).

Abnormalitas spermatozoa adalah penyimpangan morfologi spermatozoa

dari morfologi yang normal. Secara umum total abnormalitas spermatozoa per

ejakulat adalah 5-15% dan fertilitas hewan jantan masih tergolong normal.

Namun bila total abnormalitas berada di atas kisaran tersebut (>20%), dapat

dikatakan telah terjadi gangguan fertilitas (Senger 2005). Berdasarkan kisaran

nilai abnormalitas tersebut, abnormalitas spermatozoa muncak masih tergolong

rendah. Abnormalitas spermatozoa pada ketiga periode ranggah masih berada

pada kisaran 6.2-14%, walaupun kedua muncak berada pada periode C dan RV.

Baiknya kualitas spermatozoa muncak pada periode C dan RV

dibandingkan rusa timor, diduga disebabkan konsentrasi testosteron yang

dihasilkan pada kedua periode tersebut masih cukup tinggi (lihat data profil

metabolit testosteron pada penelitian III) dalam mempertahankan aktiftas

spermatogenesis, sehingga spermatozoa dengan kualitas yang cukup baik masih

ditemukan. Konsentrasi basal testosteron plasma rusa timor jantan yang diteliti di

Indonesia pada periode RV, berpengaruh terhadap rendahnya aktivitas

spermatogenesis dan diikuti dengan penurunan konsentrasi spermatozoa secara

drastis (Handarini et al. 2004; Handarini dan Nalley 2008). Hal yang sama juga

dilaporkan pada iberian red deer (Cervus elaphus hispanicus) (Malo et al. 2009)

Gambar

Gambar 44 Bagan alir disain penelitian IV: spermatogenesis dan kualitas semen muncak  selama periode pertumbuhan ranggah
Gambar 46 Skema delapan tahapan epitel tubuli seminiferi testis muncak. Tahap I-VIII  dicirikan dengan tipe sel spesifik yang berdiferensiasi untuk menghasilkan  spermatozoa
Tabel 14 Diameter inti sel germinal tubuli seminiferi testis muncak  No. Tipe  sel  germinal  Ukuran inti sel (µm) / Tahap
Tabel 15 Tahapan epitel tubuli seminiferi testis pada setiap periode ranggah.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Citra Landsat multitemporal mampu digunakan sebagai sumber data dalam memperoleh informasi perubahan garis pantai, khususnya di pesisir Surabaya, Sidoarjo dan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari data kuisioner diketahui bahwa layanan pustaka yang dilakukan oleh Digital Library UNY menurut persepsi

[r]

Ditambah dengan rentannya terjadi salah perhitungan, kesemua asumsi di atas menghasilkan tendensi bagi negara-negara untuk bersikap agresif terhadap satu sama lain

Sebagaimana difahami bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain,

Peserta didik dapat menentukan nilai dari variabel jika diketahui persamaan kuadrat memiliki akar-akar saling

Untuk mengetahui pengaruh inflasi dan tingkat suku bunga BI terhadap profitabilitas bank syariah jika dibandingkan dengan bank konvensional 1.4 Manfaat Penelitian.. Hal