• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja 1. Pengertian Psychological Well-Being

Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan filsuf Aristoteles mengenai paham eudaimonisme, yang mengatakan bahwa psychological well-being berisi tentang memenuhi dan mewujudkan daimon atau sifat dasar manusia melalui proses aktualisasi diri akan potensi-potensi yang dimilikinya (Gough dalam Purwaningrum, 2016). Eudaemonia merupakan salah satu pendekatan yang fokus pada keberfungsian penuh dari diri individu untuk bertumbuh dan berarti di dalam mewujudkan tujuan yang dapat dicapai oleh diri sendiri, sehingga individu dapat merasa damai, dan dapat mengapresiasi kehidupannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Konsep Ryff tentang psychological well-being sendiri merujuk pada Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasaan hidup, serta kriteria positif individu yang bermental sehat yang dikemukakan johanda (dalam Ryff, 1989).

Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff pada tahun 1989 berusaha membuat sebuah teori yang dapat menggambarkan eudaemonia, dengan melibatkan ahli filsafat dan psikologi (perkembangan, klinis, humanistik) untuk

(2)

menggambarkan makna dari fungsi positif manusia, sehingga terbentuklah teori psychological well-being yang digunakan hingga saat ini (Ryff & Singer dalam Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff & Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya.

Konsep pychological well-being ini merupakan gambaran dari kesehatan psikologis seseorang. Tingkat kesehatan psikologis ini didasarkan pada pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh para ahli psikologi (Ryff, 1989). Selanjutnya, menurut Seligman (dalam Saputra, Goei, & Lanawati, 2016), menjelaskan well-being berdasarkan dari dimensi eudaimonic well-being mencakup seberapa bahagia individu, seberapa engaged individu dengan hidupnya, sejauh mana individu memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, apakah individu memiliki makna hidup, dan sebanyak apakah pencapaian yang dapat membanggakan individu. Sedangkan, menurut Diener (dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008; 804), psychological well-being dapat didefinisikan sebagai sebuah perasaan subjektif akan kenyamanan atau kebahagiaan dari hasil evaluasi seseorang atas kehidupannya.

Berdasarkan beberapa teori tentang psychological well-being diatas maka pada penelitian ini, definisi dari psychological well-being yang digunakan

(3)

peneliti merupakan definisi dari Ryff & Keyes (1995) sehingga dapat diambil kesimpulan, psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya.

2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Dimensi psychological well-being menurut Ryff (1989) terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta pertumbuhan pribadi (personal growth). Dimensi-dimensi tersebut akan berkembang dengan cara yang bervariasi pada individu dalam upaya untuk dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1995 dalam Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002 dalam Djabumir, 2016). Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari :

a. Penerimaan diri (self-acceptance).

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dari individu dalam mencapai aktualisasi diri, berfungsi secara optimal, dan dewasa. Individu dapat mencapai aktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang ketika individu mampu menerima diri baik kelebihan maupun kekurangannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan

(4)

menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1995) menandakan psychological well-being yang tinggi.

Individu yang memiliki tingkat yang tinggi pada penerimaan diri ditandai dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya termasuk sifat positif maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalu. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan rendah pada dimensi ini mereka memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806)

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya membina hubungan yang baik dengan orang lain, yaitu individu yang memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian terhadap orang lain. Memiliki hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari sebuah kedewasaan (Djabumir, 2016).

(5)

Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan antara sesama manusia. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki sedikit hubungan dengan orang lain dan dapat dipercaya, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap orang lain tidak berniat membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan orang lain (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

c. Kemandirian (autonomy).

Kemandirian digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang mandiri adalah dapat mengevaluasi kemampuannya sendiri sehingga dapat berusaha secara optimal (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Dimensi otonomi mencerminkan kemandirian (autonomy), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri.

Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik ditandai dengan sikap yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan berperilaku dengan cara tertentu, serta mampu mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Sedangkan individu yang memiliki otonomi yang rendah ditandai dengan selalu memikirkan tuntutan dan evaluasi orang

(6)

lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain serta cenderung mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery).

Dimensi penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, yang dapat diartikan sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Dimensi ini menekankan pada kemampuan individu untuk maju dengan caranya sendiri dan sampai sejauh mana individu tersebut peka terdapat peluang-peluang yang ada di lingkungannya.

Individu yang memiliki penguasaan yang baik terhadap lingkungan ditandai dengan kemampuannya dalam memilih atau memanipulasi keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan

memanfaatkannya secara maksimal. Individu juga mampu

mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik dan mental. Sebaliknya individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu yang kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, hanya memiliki sedikit tujuan atau target, kurang memiliki kontrol pada dunia luar serta tidak merasa mampu untuk mengubah apa yang ada diluar dirinya serta tidak peka terhadap peluang-peluang yang ada dilingkungannya (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

(7)

e. Tujuan hidup (purpose in life).

Dimensi ini berbicara tentang keyakinan individu bahwa hidup ini bermakna. Individu mencari makna dan tujuan kehidupannya sendiri sehingga dapat mencapai kesehatan mental dan juga proses perkembangan yang matang (Rachmayani & Ramdhani, 2014).

Individu yang memiliki perasaan bahwa hidupnya bermakna adalah individu yang memiliki keterarahan dalam hidupnya, mempunyai perasaan bahwa kehidupan disaat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan yang membuat tujuan hidupnya lebih berarti, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam hidup. Sedangkan individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kurang memaknai tujuan hidupnya, tidak memiliki tujuan hidup/ target yang ingin dicapai, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupanya dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidupnya lebih berarti, tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna pada kehidupan (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806).

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth).

Dimensi pertumbuhan pribadi berbicara mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan diri, dan keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru.

(8)

Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki perasaan untuk terus berkembang dan melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus bertumbuh, menyadari potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam pertumbuhan dirinya akan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang baru, mempunyai perasaan sebagai pribadi yang stagnan dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu serta tidak tertarik dengan kehidupan yang sedang dijalaninya (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman , 2011 ; 806).

Berdasarkan uraian aspek psychological well-being dari Ryff (1989) diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa aspek psychological well-being terdiri dari penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Dalam penelitian ini, dimensi psychological well-being dari Ryff (1989) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu antara lain:

(9)

Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff (1989) menemukan beberapa faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

a. Usia

Dalam penelitian Ryff, ditemukan bahwa perbedaan usia ternyata memiliki pengaruh terhadap perbedaan dimensi-dimensi psychological well-being. Selanjutnya Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa beberapa dimensi psychological well-being, seperti penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari dewasa muda hingga dewasa akhir. Sebaliknya pada dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup cenderung menurun dari usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

Individu yang berada dalam usia dewasa muda memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah, selanjutnya bagi individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001).

(10)

b. Jenis kelamin.

Menurut Ryff dalam penelitiannya menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi dimensi psychological well-being. Ditemukan perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik daripada pria. Ryff & Singer (dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap adanya perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74), wanita menunjukkan angka psychological well-being yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat aspek psychological well-being lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Ryff & Singer dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008). c. Status Sosial Ekonomi

Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) mengemukakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan profil psychological well-being individu. Dari penelitian diketahui bahwa profil psychological well-being yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi, dijumpai pada individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi baik pada wanita maupun pria. Selanjutnya psychological well-being yang tinggi juga ditemui pada individu yang mempunyai status pekerjaan yang tinggi.

(11)

d. Budaya

Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa adanya perbedaan psychological well-being antara masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti dalam dimensi penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang termasuk dalam dimensi hubungan positif dengan orang yang bersifat kekeluargaan.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau organisasi masyarakat (Sarafino dalam Lakoy, 2009). Tujuannya adalah memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan support pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Menurut Davis (dalam Kartikasari, 2013) individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi.

3. Daur hidup keluarga

Sejumlah peneliti telah melakukan studi dengan menggunakan indikator psychological well-being seperti konsep diri, kesehatan mental, ketegangan peran dan kepuasan hidup, untuk mempelajari hubungan antara daur hidup

(12)

keluarga dengan psychological well-being dari anggota keluarga (Lakoy, 2009). Selanjutnya masa perahlian dari satu periode ke periode berikutnya, dianggap sebagai saat yang penuh dengan stres karena masing-masing anggota keluarga saling menyesuaikan kembali hubungan, peran dan pengharapan.

Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut :

1. Kepribadian

Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being, Schumutte & Ryff (dalam Kasturi, 2016) menemukan sifat neurotik, ekstrovet dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi psychological well-being khususnya dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Ryff (dalam Kasturi, 2016) menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat

mempengaruhi psychological well-being. Tipe extroversion,

conscientiousness, low neuroticism, berpengaruh secara signifikan terhadap psychological well being. Faktor yang dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life. Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap positive relationship with others, sementara low neuroticism akan mempengaruhi autonomy. Selanjutnya keterbukaan terhadap pengalaman baru akan berpengaruh kuat terhadap personal growth.

(13)

2. Religiusitas

Najati (dalam Bestari, 2016) menjelaskan bahwa kehidupan seseorang yang religius dan sesuai dengan keagamaannya dapat membantu individu tersebut untuk menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam dirinya. Ellison menjelaskan bahwa antara religiusitas dengan psychological well-being memiliki korelasi yang kuat, dengan tingkat religiusitas yang tinggi akan membantu individu untuk mencapai psychological well-being-nya. Individu akan lebih mudah merasakan peningkatan psychological well-being ketika memiliki tingkat religiusitas yang baik walaupun individu tersebut memiliki kecenderungan ekstraversi yang rendah (Bestari, 2016).

3. Psychological Capital (Modal Psikologis)

Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan menunjukkan bahwa kesejahteraan (well-being) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Avey, Luthans & Jensen dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Penelitian Singh & Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya psychological well-being. Ini berarti bahwa psychological capital merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi, baik meningkatkan atau menurunkan tingkat psychological well-being pada individu.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya psychological well-being pada individu terjadi karena beberapa faktor yang

(14)

mempengaruhi meliputi faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya), dukungan sosial, daur hidup keluarga, kepribadian, religiusitas dan psychological capital. Pada penelitian ini peneliti menggunakan psychological capital sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Menurut peneliti, psychological capital penting dimiliki oleh mahasiswa untuk tetap dapat bertahan dan termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikannya. Hal ini dikarenakan konsep utama dari psychological capital bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan kinerja individu (Liwarto, 2015), sebagai penahan “buffer” stress (Riolli, Savicki & Richards, 2012), modal sikap dan perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan (Yuniarti & Muchtar, 2014), dan sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan psychological well-being (Singh & Mansi, 2009).

4. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

Mahasiswa yang bekerja oleh Dudija (2011) didefinisikan sebagai individu yang menuntut ilmu pada jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif, yang juga menjalankan usaha atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan. Sedangkan Abdullah dan Dan (dalam Salam 2015) mendefinisikan mahasiswa yang bekerja dengan istilah part time study artinya adalah individu yang sudah bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari

(15)

ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja.

Umumnya individu yang telah bekerja berada pada usia dewasa awal, yaitu 20-40 tahun saat memasuki dunia pendidikan di perguruan tinggi (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005), perkembangan masa dewasa muda (awal) merupakan jenjang usia di mana tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya yang ditandai dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasikan segala ide pemikiran yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi untuk meraih kehidupan ekonomi yang tinggi (mapan).

Menurut Ryff & Singer (dalam Harpan, 2015), kebutuhan individu akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif umum dari pengembangan pribadi, dimana individu yang dapat melakukan pengembangan pribadi dengan baik adalah individu yang mampu melalui dan menghadapi berbagai tantangan baru dalam setiap periode tahapan perkembangannya, terbuka pada pengalaman baru dan menyadari potensi yang ada dalam diri serta mampu melakukan perbaikan dalam hidup setiap waktu. Proses pengaktualisasi diri pada individu akan muncul sebagai buah dari suatu kondisi positif individu yang mengarah pada kebahagiaan yang sesungguhnya yang disebut psychological well-being (Ryff dalam Mabruri, 2010).

Ryff & Keyes (1995), mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, dapat

(16)

membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta kemampuan untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya. Individu dengan tingkat psychological well being-nya tercukupi akan mudah menghadapi masalah-masalah, sehingga mampu terhindar dari stress, mampu mengontrol diri dengan sangat baik, berinteraksi sosial dengan baik serta terhindar dari depresi dan permasalahan-permasalahan hidup yang akan mengganggu dirinya (Sitinjak, 2015). Pendapat Sitinjak tersebut sejalan dengan pendapat Purwaningrum (2016), bahwa dengan memiliki psychological well-being yang tinggi maka akan mengantarkan individu pada pribadi yang menyadari keberadaan dan kebermaknaannya, sehingga bisa mengubah tantangan yang ditemuinya menjadi kesempatan untuknya menunjukkan aktualisasi diri. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik akan merasa nyaman, dan bahagia serta dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia secara positif (Noviasari & Dariyo, 2016).

Oleh karena itu, menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005), individu (mahasiswa) diharapkan dapat mewujudkan taraf psychological well-being yang maksimal. Hal ini dapat tercapai dengan : (1) adanya penerimaan diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self acceptance), artinya individu dengan penerimaan diri yang baik akan memandang dirinya secara positif, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu merasakan kepuasan dalam hidupnya; (2) adanya keterbukaan akan

(17)

pengalaman-pengalaman baru (personal growth), artinya individu yang mampu berfungsi secara baik adalah individu yang mampu berkembang dan meningkatkan potensi diri dengan menyadari pengalaman dan peristiwa yang ada disekitarnya; (3) memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life). Hal ini berarti bahwa individu yang memiliki tujuan hidup yang jelas akan mampu merealisasikan apa yang diinginkannya sehingga dapat membawa dirinya ke kehidupan yang lebih baik; (4) memiliki hubungan yang positif dan berkualitas dengan orang lain (positive relationship with others). Individu yang mampu menjalin dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan individu yang matang; (5) memiliki kemampuan mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), artinya individu yang memiliki tingkat environmental mastery yang tinggi adalah individu yang mampu menggunakan peluang dan menciptakan kesempatan untuk mengembangkan dirinya, dan (6) memiliki kemampuan untuk menentukkan tindakan sendiri (autonomy). Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi akan mampu mengatur sikap dan berpikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak (Dariyo dalam Iriani dan Ninawati, 2005; Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan uraian diatas maka psychological well-being penting diupayakan oleh mahasiswa yang bekerja dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri dan menghindarkan diri dari permasalahan-permasalahan yang mengganggu dirinya.

(18)

B. Psychological Capital 1. Pengertian Psychological Capital

Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang telah ada sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman) dan social capital (seperti mengenal diri sendiri, hubungan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keutungan kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans & Avolio dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital (modal manusia) berkaitan dengan “apa yang anda ketahui”, dan social capital (modal sosial) berkaitan dengan “siapa yang kamu kenal”, sedangkan psychological capital (modal psikologis) berkaitan dengan “who you are” dan “what you can become” (Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans & Youssef dalam Nurfaizal, 2016).

Dengan memanfaatkan ide-ide dari psikologi positif, keilmuan organisasi positif dan bidang yang muncul dari perilaku organisasi positif atau positive organizational behavior (POB). Istilah perilaku organisasi positif (POB) diciptakan oleh Luthans, Luthans & Jensen (2012) dan didefinisikan sebagai “penelitian dan penerapan pada kekuatan sumber daya manusia dan kemampuan psikologis berorientasi positif yang dapat diukur, dikembangkan, dan dikelola secara efektif untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja saat ini” (Luthans, Luthans & Jensen, 2012).

(19)

POB juga memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain yaitu : (a) berdasarkan teori dan penelitian; (b) menggunakan pengukuran yang dapat diandalkan dan valid; (c) menjadi state-like atau karakter yang dapat dibentuk (bertentangan dengan trait-like atau karakter yang tidak dapat dibentuk, yang sifatnya lebih tetap, misalnya karakteristik kepribadian) dan karenanya terbuka akan perkembangan; dan (d) memiliki pengaruh terhadap kinerja (Luthans, Luthans & Jensen, 2012).

Luthans dkk. (2007) menyatakan bahwa psychological capital merupakan bagian dari positive organizational bahaviour (POB) karena memiliki karakteristik state-like seperti yang terdapat pada POB. Psychological Capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologis positif individu yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy); (2) membuat atribusi yang positif (optimism) mengenai keberhasilan sekarang dan masa depan; (3) menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan menuju tujuan (hope) agar berhasil; dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan terus maju, bahkan melampaui sebelumnya (resilience) untuk mencapai sukses (Luthans dkk, 2007).

Pada penelitian ini, definisi dari psychological capital yang digunakan peneliti merupakan definisi dari (Luthans dkk, 2007). Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa psychological capital dapat didefiniskan sebagai sebuah

(20)

kapasitas psikologi positif individu yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy), kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimism), memiliki harapan dalam mencapai tujuan (hope) dan kemampuan untuk bertahan dan terus maju yang berguna untuk membantu individu tersebut mencapai kesuksesan (resiliency).

2. Dimensi Psychological Capital

Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan diatas, terdapat empat dimensi dalam psychological capital yaitu self- efficacy, optimism, hope dan resiliency (Luthans dkk, 2007).

a. Self-efficacy (keyakinan diri terhadap keberhasilan)

Istilah Self-efficacy muncul pertama kali dalam teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut teori ini, self-efficacy membuat perbedaan pada bagaimana orang merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri. Bandura menjelaskan pentingnya self-efficacy sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai serangkaian tindakan penting yang dapat mempengaruhi motivasi, afektif, dan tindakan individu (Zulkosky, 2009). Sementara itu Luthan dkk. (2007: 38) mendefinisikan Self-efficacy sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan suatu tugas dalam konteks tertentu. Luthans dkk. (2007: 38) mengemukakan bahwa orang yang memiliki efikasi diri memiliki karakteristik :

(21)

a) Mampu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mampu mengerjakan tugas-tugas yang sulit.

b) Menerima tantangan dengan senang. c) Memiliki motivasi yang tinggi.

d) Melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan atau target yang telah mereka buat.

e) Gigih ketika dihadapkan pada sebuah hambatan.

Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy rendah, cenderung akan memiliki keragu-raguan, umpan balik negatif, kritik sosial, kegagalan yang berulang (Luthans dkk, 2007).

b. Optimism

Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Sedangkan menurut Chang (dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012), optimism sebagai konstruk kognitif terdiri dari keyakinan umum atas hasil positif berdasarkan perkiraan rasional dari kecenderungan seseorang untuk meraih kesuksesan dan keyakinan akan kemampuan seseorang untuk meraihnya. Individu dengan optimisme yang tinggi akan mampu merasakan implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu dengan optimism yang tinggi mampu menentukan nasibnya sendiri

(22)

meskipun mendapatkan tekanan dari orang lain, mampu memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya mencapai kesuksesan (Luthans dkk, 2007).

c. Hope

Snyder (dalam Luthans dkk, 2007:66) mendefinisikan harapan sebagai positive motivational state atau kondisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses yaitu (1) agency/ willpower (goal-directed energy atau kekuatan-keinginan) dan (2) pathways (planning to meet goals atau perencanaan untuk mencapai tujuan). Dengan kata lain, harapan terdiri dari dua komponen penting, yaitu; komponen pertama adalah agency/ willpower yang merupakan persepsi bahwa tujuannya akan mampu dicapai. Agency merupakan motivasi mental individu untuk memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012). Keyakinan akan keberhasilan ini, meliputi kemampuan mengoptimalisasikan energi guna mencapai keberhasilan, tidak hanya pada masa sekarang atau yang akan datang, melainkan juga adanya jejak atau pengalaman keberhasilan pada waktu sebelumnya (Chusniyah & Pitaloka, 2012). Komponen kedua adalah pathway thinking yang merupakan kemampuan untuk mengenali dan melihat jalan dalam mencapai tujuan. Suatu rute atau jalan piker yang mampu memberikan gambaran dan prediksi tentang cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012).

(23)

d. Resiliency

Resiliency didefinisikan sebagai kemampuan untuk “memantul kembali” atau bangkit dari kesulitan, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans dkk, 2007). Berbeda dengan self-efficacy, optimism, dan hope yang lebih bersifat proaktif, ketahanan dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Luthans dkk. dalam Yuniarti & Muchtar, 2014).

Berdasarkan uraian diatas, dimensi-dimensi pada psyhological capital saling bersinergi atau berinteraksi satu sama lain. Apabila psyhological capital hanya dianalisis satu atau beberapa karakteristik saja, penelitian tersebut menjadi tidak memadai karena psyhological capital tidak akan menjadi “psyhological capital” apabila salah satu dari dimensinya tidak ada (Luthans dalam Rolos, 2016). Melalui dimensi psychological capital maka dapat diperoleh gambaran, sebagai berikut, yaitu apabila mahasiswa yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan semua tugas yang dia miliki (self efficacy) dan percaya bahwa kesulitan yang dihadapi hanya berlangsung sementara (optimism) maka mahasiswa akan tetap bertahan dan bangkit kembali dari kegagalan dan kesulitan yang dihadapinya (resiliency) sehingga dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa dan sebagai pekerja, mahasiswa tetap memiliki harapan dan tujuan pada pencapaian keberhasilan dalam akademiknya (hope). Mahasiswa yang optimis dapat mencapai tujuan akan lebih termotivasi dan berupaya dalam menghadapi

(24)

segala tekanan yang berasal dari kehidupannya sebagai mahasiswa maupun pekerja sehingga menjadikan diri mereka menjadi lebih tahan banting (resilien). Berdasarkan uraian dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi psychological capital terdiri atas: self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap psychological capital pada mahasiswa yang bekerja.

C. Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang sudah bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja (Abdullah dan Dan dalam Salam, 2015). Menurut Utami, Hardjono & Karyanta (2014), sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari sebuah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas akademik yang telah ditetapkan, guna mencapai kompetensi yang diharapkan oleh perguruan tinggi yang menjadi almamaternya.

Agar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan maka mahasiswa harus mampu mengatasi setiap tuntutan yang berasal dari lingkungannya dan merasakan psychological well-being pada kegiatannya tersebut. Psychological well-being sendiri dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

(25)

hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup yang ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff dalam Megawati & Herdiyanto, 2016; Putri dan Rustika, 2017). Winefield dkk. (dalam Sarirah, 2016), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwasannya seseorang yang memiliki psychological well-being yang positif cenderung memiliki tekanan psikologis yang rendah, begitu juga sebaliknya seseorang yang memiliki psychological well-being yang rendah cenderung mengalami tekanan psikologis yang tinggi.

Berdasarkan uraian diatas, maka psychological well-being penting untuk diupayakan oleh semua mahasiswa, karena psychological well-being merupakan kunci bagi individu agar menjadi sehat secara mental. Kondisi mental yang sehat mengarahkan individu untuk berusaha mencapai keseimbangan dalam hidup dengan menerima kualitas positif dan negatif diri, menyadari potensi yang dimiliki, mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, serta mampu memberikan kontribusi kepada orang lain dan lingkungan (Putri & Rustika, 2017).

Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being, penelitian ini hanya menitikberatkan pada faktor psychological capital. Psychological capital sendiri merupakan bagian dari positive organizational behavior yang didefinisikan oleh Luthans dkk (2007) sebagai suatu studi dan aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif untuk meningkatkan performa pada lingkungan pekerjaan (Mikko, 2012). Oleh

(26)

karena itu penelitian tentang psychological capital lebih banyak ditemukan dalam penelitian dalam lingkungan organisasi dan selalu menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas karyawan (Nafees & Jahan, 2017).

Psychological capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologi positif individu, yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri atau efikasi diri dalam melakukan tindakan dan mengerahkan usaha agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy); kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan dimasa kini dan masa depan (optimism); keadaan emosional positif untuk menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan menuju tujuan agar berhasil (hope); dan ketika individu dihadapkan pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan kembali bangkit, bahkan melampaui sebelumnya untuk mencapai sukses (resiliency). Terdapat empat dimensi yang dapat membentuk psychological capital pada diri individu, yaitu self efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Luthans dkk, 2007).

Dimensi pertama, self-efficacy memiliki kaitan erat dengan psychologycal well-being. Penelitian Siddiqui (2015), mengungkapkan bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap semua dimensi pada psychological well-being. Jika self efficacy meningkat maka akan diikuti dengan meningkatnya psychological well-being sebaliknya jika self efficay rendah maka akan semakin rendah psychological well-being pada individu. Menurut Rego dkk (dalam Octaviani, Ilhamuddin & Susilawati, 2014), individu yang memiliki self-efficacy cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai

(27)

kesuksesan dari tugas yang dibebankan. Individu dengan efikasi diri tinggi melihat tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Bila seseorang mencapai kegagalan dalam mencapai kesuksesan maka seseorang akan bertahan untuk tetap berusaha dengan serius agar yang akan datang dapat mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan (Sulthon, 2014). Kepekaan seseorang pada rasa keberhasilannya akan mendorong dirinya mencari berbagai macam usaha meningkatkan prestasi dan kesejahteraan personal (Sulthon, 2014).

Seseorang dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedang seseorang dengan self efficacy rendah akan menganggap dirinya tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sehingga cenderung akan mudah menyerah (Ghufron & Risnawati dalam Utami, 2016). Oleh karena itu, mahasiswa bekerja yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan menunjukkan kapasitas kemandirian yang baik dalam mengatur sikap, berfikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki komitmen yang kuat dalam mengejar tujuan mereka.

Psychological well-being tidak terlepas dari sikap optimis yang dimiliki individu. Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi

(28)

dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Lebih lanjut, Carver & Scheier (2002), menyatakan bahwa individu yang optimis mampu mempertahankan psychological well-being selama masa stress dibandingkan dengan individu yang pesimis. Individu yang optimis akan mengambil tindakan langsung dalam menyelesaikan permasalahan dan lebih terencana dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi. Sebaliknya, individu yang pesimis memilih untuk menghindar dan bereaksi menolak ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan.

Menurut Harpan (2015), individu yang optimis cenderung dapat mengontrol kehidupannya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna untuk meningkatkan psychological well-being. Mahasiswa yang memiliki optimism yang tinggi akan memandang setiap masalah dengan lebih positif, tidak akan mudah menyerah, selalu aktif dalam merencanakan sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah dan memiliki rencana dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi. Sebaliknya bila mahasiswa bekerja memiliki optimism yang rendah cenderung memilih untuk menghindari kesulitan serta mudah tertekan ketika menghadapi tuntutan dalam lingkungan.

Dimensi hope atau harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen kognitif yang mampu meningkatkan psychological well-being pada individu. Snyder dkk (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) mendefinisikan harapan (hope) sebagai sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to

(29)

meet goals). Harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen kognitif. Sumber daya psikologis ini memberikan harapan bahwa sasaran akan dicapai. Orang dengan harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam tugas.

Individu dengan hope yang tinggi akan cenderung mendorong individu untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya, memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan serta tetap memperoleh kepuasan meskipun sedang mengalami stress atau tekanan dalam pekerjaannya dan kuliahnya. Sebaliknya, apabila individu memiliki hope yang rendah cenderung akan kurang memahami pentingnya tujuan yang akan dicapainya dimasa depan, sehingga mahasiswa menjadi kurang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan usaha yang besar untuk mencapai keberhasilan. Menurut Yuniarti & Muchtar (2014), mempertahankan harapan selama masa krisis merupakan aspek penting yang harus dimiliki untuk mencapai kesejahteraan (well-being) pada individu.

Sedangkan dimensi terakhir dari psychological capital adalah resiliency. Resiliency merupakan faktor kunci dalam melindungi dan sekaligus meningkatkan kesehatan mental yang baik yang membuat seseorang dapat beradaptasi dengan jatuh bangunnya kehidupan (Mayasari, 2014). Dalam hal ini resiliency dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang (Affifah, 2016). Pada mahasiswa yang bekerja, tuntutan dari perannya akan menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi individu seperti munculnya stress. Stres merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari oleh mahasiswa yang bekerja, oleh karena itu

(30)

dengan mempertahankan resiliency yang tinggi maka mahasiwa yang bekerja akan mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan selama masa studi, mampu beradaptasi dengan jadwal bekerja dan kuliah yang tinggi, mampu menghadapi tekanan deadline tugas-tugas serta mampu meningkatkan kemajuan dalam dirinya. Sebaliknya bila mahasiswa yang bekerja memiliki resiliency yang rendah maka akan cenderung mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup, tidak memiliki target atau tujuan untuk menyelesaikan pendidikannya atau dampak yang perlu dikhwatirkan adalah berhenti kuliah sebelum masa studi berakhir.

Keterkaitan hubungan antara psychological capital terhadap psychological well-being sebagaimana telah diuraikan diatas juga didukung oleh hasil penelitian Datu & Valdez (2016). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara psychological capital terhadap well-being. Selain itu, menurut Datu & Valdez (2016), dukungan sumber daya psikologis dalam bentuk hope, optimism, resiliency, dan self efficacy terkait dengan kognitif, afektif, psikologis, dan kesejahteraan sosial yang lebih besar. Sehingga psychological capital yang tinggi juga akan berdampak pada psychological well-being yang tinggi juga, sebaliknya jika psychological capital rendah maka terbentuk juga psychological well-being yang rendah juga. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological capital dapat mempengaruhi psyhological well being pada mahasiswa yang bekerja.

(31)

Gambar 1

Kerangka berpikir Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara psychological capital terhadap psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja.

Psychological Well- Being (Ryff, 1989) Psychological capital

Referensi

Dokumen terkait

Bulu mata lentik dari pangkal hingga ujung* Efek lentik yang tahan lebih lama* Kuas super lengkung, membantu melentikkan & menarik setiap bulu mata.. BULU

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa dengan menggunakan strategi pembelajaran Numbered Heads Together dalam

Apakah Anda mengetahui perusahaan akan memberikan sanksi yang tegas jika terdapat pekerjanya yang bertindak tidak aman sehingga membahayakan diri sendiri dan

Lebih jauh lagi, kegagalan remaja dalam menguasai kecakapan-kecakapan sosial akan menyebabkan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

Penelitian ini memperlihatkan bahwa muncak M1 yang berumur 4 tahun, berat badan 19.5 kg dan postur tubuh lebih besar, memiliki ukuran RV dan durasi pertumbuhan RV lebih

Akan tetapi tidak semua perempuan tersebut ditampilkan sebagai sampul majalah, hanya beberapa di antara mereka yang ditampilkan dalam sampul, dan direpresentasikan

Translasi dalam genetika dan biologi molekular adalah proses penerjemahan urutan nukleotida yang ada pada molekul mRNA menjadi rangkaian asam-asam amino

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Untuk mengetahui macam- macam majas yang ditemukan pada lirik lagu terpilih dari Katy Perry, (2) Untuk mengetahui frekuensi