• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI AWAL METODE KAJIAN BIAS GENDER DALAM JURNALISTIK: STEREOTYPE & LABELLING PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA CETAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI AWAL METODE KAJIAN BIAS GENDER DALAM JURNALISTIK: STEREOTYPE & LABELLING PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA CETAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI AWAL METODE KAJIAN BIAS GENDER DALAM

JURNALISTIK:

STEREOTYPE & LABELLING PEREMPUAN DALAM MEDIA

MASSA CETAK

Sinung Utami Hasri Habsari *)

Abstract

Media has a significant role in constructing audiences’ perception. Media construction will inflect the audiences’ perception and organize the world. Visual image of women in media concerning women’s position in society. Woman corruptor representation in the cover of Tempo Magazine are varied visualization based on the targetted audience.The representation of Malinda Dee identified the woman as a male gaze for pleasure for being in sexual object.The visual image of Miranda Gultom represented the smart working woman and woman of high standing in public sphere. Image of women is the end-product of media and social practises. Capitalism and patriarchi ideology in Indonesia determinated women representation in negativity. Women representation in magazine’s cover are interested in building the readership. Attracting more readers is indirectly profitable. Women representation in media suggests the connotative value of women’s images and tends to make a stereotype and labelling.

Key words : gender bias, magazine cover, stereotype, labelling Pendahuluan

Visualisasi sampul yang diterbitkan Majalah Tempo yang memuat Malinda Dee (Majalah Tempo edisi 4 April 2011 dan 11 April 2011) , Angelina Sondakh (Majalah Tempo edisi 12 Februari 2012), Nunun Nurbaety (Majalah Tempo edisi 25 Desember 2011) Miranda Gultom (Majalah Tempo edisi 30 Januari 2012 dan 6 Februari 2012), dan Hartati Murdaya (23-29 Juli 2012) menarik sebagai bahan kajian media representasi simbolis media massa dalam membentuk stereotype dan labelling yang memarjinalkan perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Representasi media massa diwujudkan dalam bahasa verbal dan bahasa visual berupa teks visual dan tulisan. Bentuk pemarjinalan yang umum dilakukan media antara lain pada bagaimana perempuan diposisikan di dalam teks, yang berkaitan juga dengan politik pemberitaan. Sementara masyarakat sebagai khalayak media juga tidak merasa dimanipulasi oleh media yang memarjinalkan perempuan. Sejauh ini, kita ketahui bahwa penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks media

mempunyai pengaruh terhadap khalayak.

Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media, dan pada dasarnya teks media bukanlah sesuatu yang bebas nilai tetapi memuat kepentingan. Teks media merupakan suatu realitas yang memihak, dimanfaatkan untuk kepentingan atau ideologi kelas tertentu. Teks media merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan yang menggunakan media (Eriyanto,2003). Lebih lanjut Eriyanto menyatakan media memiliki peran dalam membentuk persepsi sosial

budaya masyarakat. Apa yang divisualisasikan

melalui media secara terus-menerus akan diterima oleh khalayak dan akhirnya terekam dan menjadi pembelajaran masyarakat dan bahkan pada kasus tertentu menjadi pembenaran atau sebaliknya di masyarakat. Artinya, melalui pemberitaan media akhirnya dapat menentukan apakah sesosok perempuan buruk atau baik di mata masyarakat, tapi tampilan sampul tersebut diatas terlihat bahwa media mengarahkan banyak stereotype dan labelling yang ditujukan untuk pihak perempuan.

Gambar 1

(2)

Tulisan ini merupakan bagian dari proposal penelitian yang berjudul Representasi Perempuan Pelaku Korupsi pada Majalah Tempo untuk Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro. Pada tulisan kali ini, kami mencoba membagi pengalaman bagaimana teknik melakukan penelitian bertema bias gender dalam media massa dan studi awal dari representasi perempuan bermasalah pada sampul suatu majalah.

Mengapa Memilih Majalah Tempo ?

Majalah Tempo merupakan majalah mingguan pertama yang tidak mempunyai afiliasi dengan pemerintah dan selalu mempunyai posisi kritis dalam menyajikan berita politik. Majalah Tempo yang merupakan salah satu saluran komunikasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Arus komunikasi tejadi bukan lagi didominasi oleh kekuasaan, tetapi lebih banyak dilakukan oleh praktisi komunikasi.Tempo merupakan majalah yang mempunyai rubrik khusus dalam menyajikan karikartur maupun sketsa. Majalah yang terkenal dengan pesan-pesannya yang kritis ini lebih banyak menyajikan topik-topik dalam dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik dalam setiap penerbitannya.

Gambar 2

Tagline Mandi Duit Malinda

Akibat kekritisannya tersebut majalah Tempo juga pernah di bredel pada tahun 1982 dan 1994 namun hal itu tidak membuat Tempo terus tenggelam. Dengan semangatnya untuk memperjuangkan kebebasan pers, Tempo berhasil bangkit menjadi pemimpin untuk industri penerbitan majalah di Indonesia serta

diterbitkan dalam skala nasional atau beredar di seluruh wilayah Indonesia (www.Tempointeraktif.com).

Tujuan Penelitian

Terdapat 2 (dua) tujuan dalam tulisan ini, pertama bagaimana membangun metode penelitian bias gender dalam jurnalistik. Kedua, seberapa jauh bias gender dalam dunia jurnalistik, dengan kasus tampilan perempuan bermasalah pada cover suatu majalah.

Metoda Penelitian

Dalam melakukan penelitian bertema bias gender pada suatu produk media massa, beberapa tahapan yang kami susun adalah sebagai berikut :

1. Paradigma Penelitian

Pilihan paradigma penelitian, kami gunakan

paradigma kritis, dimana dalam memahami

realitas sosial, perspektif kritis melihat dengan cara yang berbeda. Pemahaman paradigma adalah merepresentasikan suatu cara pandang yang mendefinisikan sifat „dunia‟ tempat atau posisi individu di dalamnya dan jarak kemungkinan hubungan antara „dunia‟ dengan bagian-bagiannya. Realitas diciptakan bukan oleh alam (nature), tetapi oleh orang (people). Ini berarti orang-orang mempunyai kekuasaan dalam memanipulasi, mengkondisikan, dan melakukan brain washing terhadap orang lain untuk memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuai apa yang mereka inginkan. Dalam studi penelitian isi media, paradigma kritis beranggapan bahwa isi media bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Media adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan (Eriyanto,2001), Bagaimana dengan tampilan sosok perempuan berkasus pada majalah Tempo ini.

2. Desain Penelitian

Untuk desain penelitian kami menggunakan

deskriptif kualitatif, dengan menggunakan metode semiotika komunikasi visual, yaitu

sebuah metode pembacaan tanda visual dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya serta hubungannya dengan tanda-tanda lain. Analisa semiotika komunikasi visual menekankan aspek produksi tanda di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran dan media. Semiotika komunikasi visual berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat diserap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan (Tinarbuko, 2009). Metode analisis semiotika dapat dikarakterisasikan sebagai metode penelitian makna simbolik

(3)

pesan-pesan. Makna simbol di sini dimaksudkan hasil kegiatan sosial (social action) suatu masyarakat. Jadi pemahamannya membutuhkan pengertian tentang konteks pemakaian simbol tersebut.

Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra perempuan, di dalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama, seperti tradisi, adat, norma, nilai-nilai feodal dan sebagainya.

3. Batasan subyek Penelitian

Tentukan juga secara tegas lingkup media massa penelitian yang akan diambil sebagai subyek „mencitrakan‟ sosok perempuan bermasalah. Dalam hal ini, kami coba ambil beberapa sampul majalah Tempo. Unit observasi adalah sampul yang diterbitkan media tersebut dengan perincian sebagai berikut : majalah Tempo yang memuat Malinda Dee, Angelina Sondakh, Nunun Nurbaety dan Miranda Gultom dan Hartati Murdaya. Kemudian, tentukan juga jenis data yang akan diamati dan dikaji. Dalam hal ini kita akan mencari data berupa teks, sampul majalah, dan simbol-simbol yang merepresentasikan orang-orang, tindakan-tindakan dari peristiwa yang terkait.

4. Sumber & Teknik Pengumpulan data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian representasi perempuan-perempuan yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dapat berupa data primer dan sekunder. Data primer dalam kajian ini dapat diperoleh secara langsung dari analisa semiotika visual terhadap salah satu sampul majalah yang menampilkan. Sedangkan data sekunder adalah berupa referensi penunjang seperti tulisan/gambar. Data ini merupakan studi literatur tentang kajian analisa semiotika dimana data diperoleh dari buku, jurnal penelitian, artikel di internet maupun media cetak. Data sekunder ini bermanfaat untuk pengkajian, penelaahan, analisis masalah penelitian, dan juga untuk pengembangan kerangka pikir.

Setelah menentukan data, langkah berikutnya kita harus tentukan teknik pengumpulan data. Untuk data primer yaitu observasi sebagai kegiatan mengamati secara langsung –tanpa mediator- sesuatu obyek untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan obyek tersebut, pilihan teknik purposive

sampling mencakup sampul dari suatu majalah

yang diseleksi. Purposive sampling termasuk salah satu dari beberapa jenis pengambilan sampel non probabilitas (non probability sampling) yang biasanya disebut dalam penelitian kualitatif. Disebut non probabilitas karena kita sebagai peneliti tidak bertujuan untuk

menggeneralisasikan temuan penelitian (Singarimbun,1989).

5. Metode Penganalisaan &Interpretasi Data

Untuk menganalisa sampul suatu majalah, kami digunakan digunakan model semiotika ala Roland Barthes (Cobley & Jansz, 1999), yaitu: (1) Pesan linguistik, yaitu semua kata dan

kalimat yang muncul dalam halaman sampul majalah

(2) Pesan Ikonik yang terkodekan, untuk menunjuk denotasi “harfiah”, pemahaman langsung dari gambar dan pesan dalam sampul majalah, tanpa mempertimbangkan kode sosial yang lebih luas.

(3) Pesan Ikonik yang tak terkodekan, merupakan konotasi visual yang diturunkan dari penataan elemen-elemen visual dalam sampul majalah

Dalam konsep Barthes ini, pemahaman tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Denotasi merupakan makna yang obyektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subyektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi, sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subyektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui majas (metafora, hiperbola, eufemisme, ironi), dan sebagainya. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pesan konotasi, berkarakter umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Berbagai petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Setiap penggunaan teks, penggunaan bahasa dan semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya timbul karena suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Setiap teks tak pernah lepas dari ideologi dan memanipulasi khalayak ke arah suatu ideologi (van Zoest dalam Sobur, 2003).

(4)

State of The Art Penelitian Terkait dan

Pemahaman Teoritis

Langkah untuk mendapatkan data sekunder, salah satunya kami harus mendapatkan beberapa referensi penunjang, baik berupa text book di internet maupun media cetak ataupun hasil dari penelitian terkait. Karena data ini akan kami manfaatkan pada tahap pengkajian, penelaahan, analisis masalah penelitian, dan juga untuk pengembangan kerangka pikir.

Data sekunder terkait tampilan sampul wanita bermasalah yang kami acu adalah : kajian dari hasil penelitian M. Santoso (2011) dan Nurul Hasfi (2011) serta beberapa pemahaman teori dari Dorothy Smith dengan teori Standpoint (Smith, 1991), Stuart Hall dengan teori Representasi (Hall, 1997) dan Yvonne Jewkes dengan Teori Media and Crime terhadap perempuan (Jvonne, 2005).

1. State of The Art Penelitian Terkait

 Pertama : Hasil penelitian Widjajanti M Santoso (2011) menyatakan bahwa representasi feminitas di dunia industri media (televisi) telah memperlihatkan adanya stereotipe dan stigma tertentu, berupa nilai dan ideologi misogini yang sangat tidak menguntungkan perempuan. Stereotipe, dalam batas-batas tertentu cenderung menghegemoni sehingga perempuan tidak bisa lepas dari konstruksi yang mengikatnya. Media menjadi perjuangan simbol atau tanda. Posisinya sangat ditentukan oleh konstruksi budaya tempat perempuan berada. Media umumnya hidup dalam budaya patriarki sehingga simbol feminitas termarjinalkan.

 Kedua, Penelitian Nurul Hasfi tahun 2011 terhadap kasus Malinda Dee (MD), pelaku kejahatan yang dalam pemberitaan tentang dirinya memunculkan pemberitaan yang bias karena keluar dari konteks permasalahan. Berita banyak fokus terhadap daya tarik fisik MD, perilaku dan kehidupan pribadinya. Penelitian ini menyimpulkan ada enam representasi untuk MD yaitu (1) perempuan „tidak benar‟ (bad woman; bad wife; bad mother), (2) orang yang kalah (a loser) yang sedang menjalani karma, (3) monster mistik (Mythical Monster), (4) Barbie, boneka yang menyimbolkan kemersialisme, (5) perempuan yang memiliki kelainan psikologi, (5) orang yang menjadi obyek humor.

2. Pemahaman Teori Standpoint

Suatu standpoint atau sudut pandang adalah suatu tempat dimana kita melihat dunia di sekeliling kita. Apapun posisi kita, lokasi sosial kita akan memfokuskan perhatian

kita pada gambaran tatanan sosial dan natural dalam memahami orang lain. Kelompok sosial di mana kita berada sangat berperan dalam membentuk pengalaman dan pemahaman kita serta bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain. Setiap individu berada dalam suatu lokasi sosial, dan menduduki tempat-tempat yang berbeda dalam hirarki sosial berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Karena adanya lokasi sosial ini, individu memandang situasi sosial dari sudut pandang tertentu. Sudut pandang tersebut membentuk oposisi terhadap mereka yang berkuasa, inilah yang disebut Standpoint.

Teori Standpoint memperlihatkan suatu perspektif untuk mengangkat signifikansi masalah perempuan. Teori Standpoint menekankan pentingnya social location karena mereka yakin bahwa orang yang berada di puncak societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlege (hak istimewa) untuk mendefinisikan apa dan bagaimana artinya „menjadi wanita‟, atau „menjadi pria‟, atau hal-hal lain, bagian dari budaya, yang dianut masyarakat. Lokasi sosial juga membentuk kehidupan perempuan menjadi berbeda dengan laki-laki, dan dalam kehidupan sosial perempuan merupakan kelompok masyarakat yang termarginalkan. Teori Standpoint muncul didasarkan adanya perbedaan psikologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh perbedaan seks. Laki-laki dianggap memiliki dorongan alami untuk kebebasan (tidak bergantung) dan lebih kuat dalam pengembangan egonya.

 Perempuan dapat diidentifikasi melalui sejumlah representasi yang ditampilkan melalui teks media. Ide, image dan simbol bukanlah benda netral yang dinamakan sebagai budaya, melainkan sesuatu yang dihasilkan oleh individu-individu yang menjadi bagian dari kelas yang berkuasa untuk mempertahankan kontrol masyarakat. Kelas berkuasa adalah dasar dari proses pengorganisasian yang secara aktif menghasilkan ideologi-ideologi yang berguna untuk mengatur kelas dan bagaimana kekuasaan tersebut bekerja, Ideologi tersebut juga dipergunakan untuk melegitimasikan dominasinya. Konsep ideologi memberikan benang merah yang memberikan arah pada kerumitan menghadapi makna-makna budaya sebagaimana pada umumnya dipahami. Pemahaman ini mengarahkan kita untuk mencari praktik pengorganisasian yang

(5)

berlangsung dalam proses penciptaan image, ide, simbol dan konsep. Hal-hal praktis tersebut merupakan suatu mekanisme yang menuntut kita untuk berpikir tentang dunia. Pemahaman seperti ini mengarahkan kita untuk meneliti siapa yang memproduksi untuk siapa, dan darimanakah bentukan-bentukan sosial mengenai kesadaran berasal. (Smith, 1991)

3. Pemahaman Teori Representasi

 Teori Representasi mengidentifkasi sejumlah representasi yang ditampilkan melalui teks media. Pemahaman utama dari teori representasi adalah penggunaan bahasa (language) untuk menyampaikan sesuatu yang berarti (meaningful) kepada orang lain. Representasi adalah bagian terpenting dari proses dimana arti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture).

 Dalam konteks media, representasi didasarkan atas sebuah ideologi. Ideologi beroperasi dalam produksi makna-termasuk makna dalam media yang disebut sebagai prinsip „oposisi biner‟ (binary opposition), yaitu semacam prinsip polarisasi segala sesuatu (tanda, kode, makna, stereotip, identitas) yang di dalamnya terjadi proses generalisasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan kontradiktif. Dalam media, ideologi beroperasi pada tingkat bahasa, baik „bahasa tulisan‟ maupun „bahasa visual‟. Ideologi pada tingkat bahasa atau linguistik melibatkan yang pertama, pilihan (choices) kata-kata, kosa-kata, sintaks, gramar, cara pengungkapan, pada tingkat paradigmatik (perbendaharaan bahasa), dan yang kedua, tingkat seleksi (selection) yaitu penentuan kata atau bahasa berdasarkan pada berbagai pertimbangan ideologis (Hall,1997). Menurut DeFleur dan Ball-Rokeach (1989) ada banyak cara yang digunakan media untuk mempengaruhi makna. Pemilihan kata dan penyajian suatu realitas sangat mempengaruhi bentuk konstruksi realitas yang pada akhirnya akan mempengaruhi maknanya.

 Hall membuat dua pengertian representasi yang relevan (1997) yaitu:

1. Merepresentasikan sesuatu adalah mendeskripsikannya, memunculkan gambaran atau imajinasi dalam benak kita, menempatkan kemiripan dari obyek dalam pikiran/ indera kita. 2. Merepresentasikan sesuatu adalah

menyimbolkan, mencontohkan,

menempatkan sesuatu, penggantikan sesuatu.

 Sedangkan Christopher Prendergast memberi dua definisi kata representasi, yaitu :

1. Sebagai usaha menghadirkan kembali sesuatu dalam dua cara yang saling terkait yaitu secara spasial dan temporal.

2. Sebagai pendelegasian kehadiran atau subtitusi sesuatu atau seseorang dengan sesuatu yang lain. Hal ini seringkali terlihat dalam bahasa dan politik (Webb, 2009).

Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama :

1. Mental representations (representasi mental) dimana semua obyek, orang dan kejadian dikorelasikan dengan seperangkat konsep yang dibawa kemana-mana di dalam kepala kita. Tanpa konsep, kita sama sekali tidak bisa mengartikan apapun di dunia ini. Representasi mental bersifat subyektif, individual; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan diantara semua itu.

2. Bahasa (language) yang melibatkan semua proses dari konstruksi arti (meaning). Konsep yang ada di benak kita harus diterjemahkan dalam bahasa universal, sehingga kita bisa menghungkan konsep dan ide kita dengan bahasa tertulis, bahasa tubuh, bahasa oral maupun foto maupun visual (signs). Tanda-tanda (signs) itulah yang merepresentasikan konsep yang kita bawa kemana-mana di kepala kita dan secara bersama-sama membentuk sistem arti (meaning system) dalam kebudayaan (culture) kita. Bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan yang membawa makna adalah tanda (sign) (Hall,1997). Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai

(6)

sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita „merepresentasikannya‟. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan image yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut (Webb,2009).

 Teori representasi sendiri dibagi dalam tiga teori atau pendekatan yaitu:

1. Reflective approach yang menjelaskan bahwa bahasa berfungsi seperti cermin yang merefleksikan arti yang sebenarnya (mimetic)

2. Intentional approach, dimana bahasa digunakan mengekspresikan arti personal dari seseorang penulis, pelukis, dll. Pendekatan ini memiliki kelemahan, karena menganggap bahasa sebagai permainan privat (private games) sementara disisi lain menyebutkan bahwa esensi bahasa adalah berkomunikasi didasarkan pada kode-kode yang telah menjadi konvensi di masyarakat bukan kode pribadi. 3. Constructionist approach yaitu

pendekatan yang menggunakan sistem bahasa (language) atau sistem apapun untuk merepresentasikan konsep kita (concept). Pendekatan ini tidak berarti bahwa kita mengkonstruksi arti (meaning) dengan menggunakan sistem representasi (concept dan signs), namun lebih pada pendekatan yang bertujuan mengartikan suatu bahasa (language).

 Representasi perempuan pada media di Indonesia sebagian besar memperlihatkan stereotipe yang merugikan perempuan sebagai makhluk yang pasif, bergantung pada laki-laki, didominasi, dan sebagai simbol seks. Media mengkonstruksi tubuh perempuan sebagai obyek. Perempuan yang seringkali direpresentasikan di media sebagai obyek juga penggoda secara seksual dapat dikaitan dengan budaya patriarki yang berkembang dan dominan di masyarakat. Penggambaran media tentang kelompok tertentu tak jarang dilakukan secara stereotipikal atau merendahkan. Penelitian mengenai stereotipe mengindikasikan bahwa media dapat mengutamakan stereotipe, dan stereotipe

inilah yang kemudian berpengaruh terhadap pemahaman sesorang. Berbagai strereotipe tersebut mempengaruhi bagaimana seseorang membuat penilaian terhadap orang yang dikenai stereotipe (Bryan, 2002).

4. Pemahaman Teori Media & Crime terhadap Perempuan

Teori Media and Crime menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan perempuan selalu mendapatkan perhatian yang lebih dari media dan masyarakat, mendapatkan image yang kuat dan meninggalkan kesan yang mendalam di masyarakat. Asumsi bias tentang perempuan ini disebabkan oleh fungsi „biologis‟ (biological purpose) dan susunan psikologis perempuan (psychological make up). Dalam posisi ini, perempuan harus menghadapi dua pengadilan sekaligus yaitu pengadilan hukum kriminal (crime law) dan hukum alam (laws of nature). Wanita yang melakukan tindakan kriminal dianggap sudah melakukan penyimpangan berlipat (doubly deviant) dan mendapatkan kutukan berlipat (doubly damned) (Jewkes, 2005). Dan bahkan Yvonne Jewkes (2005) mendata apa yang disebut dengan standar narasi (narratives standard) yang biasanya digunakan oleh media untuk mengkonstruksi perempuan yang melakukan tindak kriminal yang cukup serius :

1. Seksualitas dan penyimpangan seksual (sexuality and sexual deviance)

Dalam konteks ini, media memandang perempuan sebagai kelompok marginal dan lebih mudah untuk memunculkan apa yang disebut news value. Perempuan dianggap memiliki nilai berita lebih (newsworthy) ketika mereka bisa dimarginalkan lebih jauh dengan memfokuskan pada „seksualitas‟. Misalnya, seorang lesbian selalu dianggap sebagai perempuan dengan perilaku menyimpang terkait dengan seksualitasnya, secara natural diasumsikan bahwa seorang lesbian lekat dengan agresivitas.

2. Daya tarik fisik (physical attractiveness) Daya tarik fisik perempuan sebenarnya sudah menjadi obyek dalam media seperti majalah wanita, iklan, tabloid, dan lain-lain. Dalam masyarakat kontemporer, media terikat dengan konstruksi gender di mana feminitas dinilai dengan keremajaan, kelangsingan tubuh, penampilan dan lainnya yang sesuai dengan konstruksi sebagai bahan “tatapan” laki-laki. Dalam pemberitaan perempuan pun diperlakukan sama dengan memunculkan konsep la

(7)

femmes fatales yaitu dengan menghubungkan pelaku dengan bentuk fisik mereka menarik, namun kemudian diikuti dengan fakta lain yang berseberangan misalnya cantik namun pembunuh berdarah dingin, cantik tetapi tidak bermoral.

3. Istri yang tidak baik (bad wives)

Menurut Llyod (dalam Jewkes: 2005), dalam kasus kriminalitas yang dilakukan perempuan biasanya akan dihubungkan dengan status pernikahan, latar belakang keluarga dan anak, sementara untuk kasus pelaku kriminalitas oleh laki-laki, hal tersebut sedikit sekali diulas atau bahkan tidak diulas sama sekali dan lebih mengulas tentang latar belakang pekerjaan. Menurut Worral (dalam Jewkes: 2005) terdapat anggapan bahwa idealnya wanita seharusnya menjadi ibu rumah tangga, tinggal di rumah, secara emosional dan ekonomi tergantung kepada suami yang bertugas di ruang publik. Perempuan diperbolehkan bekerja di ruang publik akan tetapi tugas terhadap suami, anak dan keluarga tetap harus didahulukan.

4. Ibu yang tidak baik (bad mothers) Menurut analisis Freudian, ketergantungan kita terhadap ibu membuat kita sangat takut jika mendapati ibu kita adalah pembunuh. Media akhirnya menganggap seorang wanita pembunuh memiliki nilai berita (news value) yang tinggi karena jumlah pelaku wanita yang memang jarang melakukan tindak kriminal berat, dan anggapan bahwa wanita seharusnya menjadi penjaga dan perawat anaknya. Wanita berstatus ibu, yang terlibat kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak- anak mendapat julukan monstrous maternal. Yang menarik, apabila yang menjadi pelaku pemerkosaan anak adalah ayahnya, maka media seringkali mencari kesalahan pada sang ibu dengan asumsi ibu tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap suami dan tidak bisa menjaga anaknya. Bisa dibilang dalam kasus semacam ini, julukan bad wives dan bad mother pun lebih menonjol dibanding dengan perempuan yang telah menjadi korban perngkhianatan suaminya (Morris & Wilxzynski, 1993 dalam Jewkes, 2005). Motif semacam itu memunculkan keadaan dimana wanita selalu menjadi kambing-hitam (scapegoat).

5. Monster mitos (mythical monster) Image lain yang dibuat media untuk wanita yang terlibat kasus kejahatan berat diambil dari mitologi pagan (mitos penyembah berhala), teologi Judaeo-Christian. Meskipun berasal dari berbagai sumber, namun konstruksi modern terhadap

wanita pelaku kejahatan berat seringkali meminjam image dari wanita penyihir (witches), pemuja setan (angel of death), manusia peminum darah manusia (vampir), harpies, evil temptresses, fallen woman, black widow dan lain-lain. Semua istilah itu dipakai untuk menunjukkan wanita yang berbuat jahat. Penggambaran perempuan yang melakukan tindakan kriminal sebagai monster sudah menjadi suatu “wacana populer” sehingga menimbulkan penilaian sebagai “bad woman” dimana hal ini didasarkan pada pola perilaku yang seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan. Rasa takut terhadap wanita jahat telah menanamkan secara mendalam sejak kita masih kanak-kanak saat monster dan makhluk wanita jahat muncul dalam cerita legenda, mitos dan cerita rakyat. Monster wanita yang muncul dalam kesadaran nyata di dunia modern tentu tidak mungkin ada, kecuali digambarkan dalam fantasi karikatur dan teks yang ditampilkan media.

6. Perempuan gila (mad cows)

Mitos dan cerita rakyat memberikan representasi tentang wanita yang dianggap menyimpang yang disumbang oleh ilmu kedokteran dimana pada abad ke-19 ditemukan adanya istilah female pathology untuk menjelaskan perempuan yang melakukan kesalahan. Sehingga female pathology bisa diartikan bahwa wanita dianggap memiliki „penyakit‟. Adanya anggapan bahwa wanita pelaku pembunuhan anak sebagai gangguan kesehatan, hormonal dan kejiwaan disebabkan oleh mitos „keibuan‟ atau motherhood yang menganggap bahwa wanita „normal‟ secara alami akan menjadi penjaga anaknya, dan selalu memiliki naluri keibuan yang menyenangkan. Faktor biologi perempuan seperti menstruasi, kehamilan, dorongan seksual, dan menopause tidak saja mendorong perempuan untuk melakukan kejahatan tetapi juga mejadi faktor untuk menyembunyikan kejahatannya. Masa pre-menstrual syndrome seringkali digunakan untuk menjelaskan dan menjadi alasan pembelaan kekerasan yang dilakukan perempuan adalah suatu manifestasi dari determinasi biologi. Sementara laki-laki selalu digambarkan oleh media sebagai makhluk yang rasional, yang dikendalikan oleh akal sehat dan bukan oleh faktor biologi. Ketidakseimbangan hormonal diasumsikan menjadi penyebab kejahatan perempuan.

7. Manipulator jahat (evil manipulators) Tendensi untuk menganggap perempuan memiliki kelainan secara psikologis dan

(8)

sifat „natural‟ mengkonstruksi mereka menjadi alat yang penuh kelicikan, mengarahkan kita pada stereotipe wanita sebagai manipulator jahat. Beberapa perempuan yang terlibat dalam kejahatan di mana tindak kejahatan tersebut dilakukan bersama dengan pasangannya selalu dipandang sebagai pribadi yang buruk tanpa mempedulikan penyebab dia melakukan kejahatan tersebut.

8. Non-agent

Wanita adalah non-agent yang artinya tidak memiliki otoritas atau kekuatan (power) untuk melakukan sesuatu tindakan. Adanya sebuah kebenaran „sederhana‟ bahwa laki-laki lebih agresif dibanding perempuan telah mendorong ketidaksadaran kultural bahwa perempuan memiliki potensi melakukan kekerasan dan menyebabkan munculnya penolakan bahwa perempuan bisa membunuh sebagai individu „perempuan‟. Menurut Morrissey (dalam Jewkes 2005), berbagai sebutan seperti „vampir‟, wanita berambut ular Medusa dan wanita penyihir sebenarnya digunakan untuk menolak pengakuan wanita sebagai agent yang memiliki kekuatan dan otoritas. Jika perempuan pembunuh menjadi monster mistis, maka artinya ia dianggap sudah kehilangan kemanusiaannya.

Media Massa merupakan Representasi Budaya

Lembaga media massa merupakan bagian dari struktur masyarakat, dan infrastruktur teknologinya adalah bagian dari dasar ekonomi dan kekuatan, sementara ide, citra, dan informasi disebarkan oleh media merupakan aspek penting dari budaya (McQuail, 2010). Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya. Industri media sangat dipengaruhi berbagai hal termasuk di dalamnya ekonomi dan politik. Hal ini bisa diartikan bahwa media massa tidak bisa berdiri pada posisi yang netral karena sangat bergantung pada struktur kekuatan politik dan ekonomi.

Hal terpenting dalam memahami media massa adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Stuart Hall menyatakan, makna tidak tergantung pada makna itu sendiri, tetapi lebih pada praktik pemaknaan. Dalam pandangan Hall, makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktek konstruksi. Media massa pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social

struggle), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Maka itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa di dalamnya (Hall,1997).

Ketika merepresentasikan sekelompok orang, media sering mengkaitkan dengan budaya, karena sekelompok orang tersebut termasuk ke dalam budaya atau subkultur tertentu. Media massa menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Namun Hall (1997) , menyebutkan bahwa ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya, yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya.

1. Media Massa Merupakan Sarana yang Menyampaikan Informasi Gejala yang Menandai Kehidupan Masyarakat Saat Itu Media massa menjadi wacana mempertukarkan symbol-simbol yang diwujudkan dalam bahasa verbal, visual berupa teks visual dan tulisan. Kehadiran media massa merupakan salah satu gejala yang menandai kehidupan masyarakat modern dalam manyampaikan informasinya, media mempunyai cara pengemasan yang variatif dan beragam yang disesuaikan dengan segmentasi, konsumen, orientasi internal diri media itu sendiri dan banyak faktor-faktor kepentingan yang lain.

Majalah merupakan media yang terbit secara berkala, yang isinya meliputi bermacam-macam artikel, cerita, gambar, dan iklan (Djuroto, 2002). Majalah mempunyai fungsi tidak hanya menyebarkan informasi yang ada di sekitar lingkungan masyarakat tetapi juga memberikan hiburan, baik dalam bentuk tekstual maupun visual seperti gambar. Visualisasi adalah cara untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi jelas secara visual yang mampu menarik emosi pembaca, dapat menolong seseorang untuk menganalisa, merencanakan dan memutuskan suatu problema dengan mengimajinasikan pada kejadian yang sebenarnya (Kusmiyati, 1999).

(9)

2. Masyarakat dan Media Seolah-Olah Berinteraksi secara Nyata di Dalam Lingkungannya

Kehadiran media massa di masyarakat bukanlah sesuatu yang asing dewasa ini. Masyarakat dan media seolah-olah berinteraksi secara nyata di dalam lingkungannya. Media massa berada di tengah realitas sosial yang sarat akan kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Lingkungan masyarakat yang terlalu besar memungkinkan media memberikan gambaran tentang lingkungan kita. Media massa merupakan sarana untuk memahami realitas. Media massa memberikan perhatian kepada berbagai macam isu dan topik topik yang terjadi di masyarakat yang relevan dengan kepentingan masyarakat. Penyusunan agenda terjadi karena media harus menseleksi isu dan memberikan bingkai dalam menyoroti suatu masalah sosial tertentu yang harus dilaporkan kepada masyarakat.

Setiap kegiatan menyajikan suatu peristiwa adalah usaha mengkonstruksi realita. Pesan media adalah hasil konstruksi realita atas suatu kejadian di mana bahasa merupakan unsur utama dan instrument pokok dalam menarasikan realitas. Media menggunakan bahasa sebagai instrument utama dalam pewartaannya, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) dan bahasa non verbal berupa gambar, foto, karikatur, ilustrasi, grafik, angka, dan table (Hamad, 2004).

Don’t Judge The Book by It’s Cover

Menarik tidaknya sampul suatu majalah sangat bergantung pada tipe majalahnya, serta konsistensi atau keajegan majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya. Salah satu ciri khas dari sebuah majalah adalah terlihat dari desain sampul yang dimilikinya. sampul dari majalah biasanya berisi foto atau gambar lainnya yang dilengkapi oleh headline tentang berita dalam publikasi atau artikel yang terdapat dalam majalah tersebut. Sampul perlu didesain secara indah dan artistik agar mampu menarik perhatian khalayak pembacanya. Pemilihan judul atau teks harus singkat, mudah dibaca, mudah dimengerti, dan secara langsung dapat menginformasikan isi yang terkandung di dalamnya. Pada sebuah sampul, ilustrasi digunakan sebagai gambaran pesan yang tidak terbaca, namun bisa mewakili cerita dalam bentuk grafis yang memikat. Ilustrasi efektif digunakan untuk menarik perhatian, namun akan lebih efektif bila ilustrasi tersebut mampu menunjang pesan yang ingin disampaikan. Cover atau sampul depan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah majalah,

karena pada saat kita akan membeli atau membaca sebuah majalah, yang diperhatikan pertama kali adalah sampul dan ilustrasi gambarnya. Sampul majalah merupakan daya tarik tersendiri. Sampul majalah diibaratkan pakaian berserta aksesorisnya pada manusia. Cover biasanya ditampilkan menggunakan kertas yang bagus dan ilustrasi gambar yang menarik (Ardianto,2004).

Melalui sampul sebuah majalah, khalayak dipermudah untuk mengetahui secara langsung, berita hangat yang sedang beredar di masyarakat saat ini. Jangan pungkiri keberadaan kemasan sampul majalah. Sehingga sampul majalah dibuat untuk membuat calon pembeli atau pembaca dalam hal pemahaman pesan. Elemen visual dalam sampul majalah menentukan pilihan masyarakat untuk membeli sebuah majalah (Kitch, 2001). Sampul majalah merupakan bagian paling penting dalam penjualan produk, aktor majalah mengemas sampul majalahnya dengan sangat menarik untuk membuat konsumen tertarik dengan “the display (sampul majalah), karena apabila tidak, konsumen won’t bother to come inside (tidak akan mau membeli dan membacanya)” (Kelsey, 2003). Idiom don’t judge the book by it’s cover terjadi karena masyarakat seringkali membeli suatu majalah dari sampulnya. Image model yang hadir pada sampul muka sebuah majalah berfungsi sebagai penarik perhatian calon pembacanya.

Gagasan menampilkan gambar tokoh atau simbol yang diharapkan membentuk suasana yang emosional, karena dengan gambar dapat menciptakan imajinasi pembacanya tentang peristiwa yang terjadi. Gagasan menampilkan tokoh atau simbol yang realistis diharapkan membentuk suasana emosional, karena gambar lebih mudah dimengerti dibandingkan tulisan. Sebagai sarana komunikasi, gambar merupakan pesan non verbal yang dapat menjelaskan dan memberikan penekanan tertentu pada isi pesan.

Perempuan dalam sampul majalah adalah teks yang harus dikaji, diteliti dan dibongkar, sehingga representasi dan identitas perempuan sebagai sesuatu yang implisit dapat keluar dari teks. Perempuan seringkali menjadi sampul pada majalah dengan selalu menekankan pada identitas perempuan yang tidak dipisahkan dari penampilan diri, tubuh yang seksi, wajah yang cantik dan kulit yang lembut (Kitch, 2001). Stereotipe ini telah melekat dalam diri perempuan dan terus terjadi hingga sekarang. Perempuan belum dihargai sebagai pribadi yang utuh, namun lebih dihargai dengan berbagai macam atributnya. Media massa sering memuat ilustrasi citra perempuan dengan berbagai daya tarik femininitasnya, rambut halus, hitam, dan lurus, bentuk badan langsing dan tinggi, hidung yang mancung, bibir tipis, payudara menonjol, dan berkulit putih. Media secara sadar atau

(10)

tidak telah membentuk standar pikiran akan sesuatu menuju pada suatu kelompok tertentu. 1. Kekerasan Simbolik Menemukan Tempat

Suburnya di Media Massa

Dalam kehidupan sosial, media massa seharusnya berada pada posisi yang netral dan jauh dari tekanan politik dan elite penguasa. Tetapi pada kenyataannya meda massa tidak lagi menampilkan realitas yang obyektif. Realitas yang ditampilkan oleh media cenderung berpihak pada orang-orang yang memiliki kepentingan-kepentingan. Sehingga media dalam mengemas berita tidak hanya menampilkan realitasnya saja, tetapi juga mengkonstruksi realitas itu menjadi teks yang cenderung bermuatan. Media massa selalu menggambarkan perempuan sesuai sudut pandang laki-laki yang didominasi oleh unsur voyeurism (Santosa,2011). Konsep voyeuristic dipergunakan untuk menggambarkan tingkat kenikmatan ketika memandang sesuatu. Media massa sebagai ruang publik seharusnya menyajikan nilai, norma dan tanggung jawab sosial. Pesan yang disampaikan kepada khalayak, harus memiliki tanggung jawab di ruang publik. Akan tetapi, di ruang publik kekerasan fisik dan psikologis terhadap wanita kerap terjadi karena relasi gender yang tidak seimbang. Kekerasan terhadap perempuan diperkokoh dengan kekerasan simbolik (symbolic violence). Ibrahim (2011) menyatakan bahwa kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang paling subur dalam media massa, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai corak kekerasan yang tak tampak. Kita bisa menemukan corak kekerasan simbolik yang muncul dalam bentuk penggunaan bahasa dan foto atau gambar yang muncul di media (cetak maupun elektronik) yang memosisikan perempuan dalam stereotype body and beauty, not brain.

Kekerasan simbol bukanlah bentuk dominasi yang diterapkan melalui komunikasi: tetapi penerapan dominasi melalui komunikasi yang tidak diakui namun kelihatan diakui sebagai yang legitimate.

Media massa sebagai representasi simbolis dan nilai masyarakat telah membentuk stereotipe yang memarjinalkan perempuan. Perempuan cenderung direpresentasikan di dalam teks sebagai pihak yang bersalah, marjinal dibandingkan laki-laki. Banyak suara-suara dan pengalaman perempuan dibungkam oleh media. Di media massa pula, perempuan lebih direpresentasikan sebagai obyek seksual laki-laki. Pemberitaan media yang berkaitan dengan perempuan lebih bersifat sensasional, memarjinalkan, dan mengkriminalkan (Eriyanto, 2001).

Bentuk pemarjinalan yang dilakukan media antara lain melalui penekanan bagaimana perempuan diposisikan dalam teks media. Analisis ini dikemukakan oleh Mills (1992), posisi tersebut dipandang sebagai bentuk pensubyekan seseorang, di mana satu pihak mempunyai posisi sebagai penafsir sementara di pihak lain menjadi obyek yang ditafsirkan. Pemosisian satu kelompok pada dasarnya membuat satu kelompok lain mempunyai posisi lebih tinggi dan kelompok lain menjadi obyek atau sarana pemarjinalan. Antonio Gramsci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

2. Posisi dan Konstruksi Perempuan dalam Suatu Budaya dapat Dilihat dari Produk-Produk Media

Posisi dan konstruksi perempuan dalam suatu budaya antara lain dapat dilihat dari produk-produk media. Peran tubuh perempuan, seperti halnya peran perempuan, dinegosiasikan di media (Ibrahim,2011). Tubuh perempuan telah dimiliki oleh publik. Tubuh perempuan sangat kreatif hingga dapat menghasilkan kehidupan lain dari dan di dalam tubuhnya. Tubuh perempuan juga dibungkus dengan wacana yang diciptakan budaya patriarki. Ekonomi kapitalisme menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas yang diperjualbelikan makna dan hasratnya. Erotisasi tubuh perempuan di media massa dengan mengambil bagian tubuh perempuan dengan berbagai gaya, pose, sikap dan penampilan merupakan nilai tukar komoditas. Demi kepentingan bisnis, media memungkinkan perempuan untuk menjadi ajang display yang dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan besar meraih pangsa pasar.

Ketika media massa ramai memberitakan kasus korupsi yang melibatkan perempuan, terjadi pula visualisai perempuan dengan stereotipe dan komodifikasi untuk menarik pembaca.

Wanita dalam banyak media ditempatkan sebagai obyek, bukan sebagai subjek. Sebagai obyek, wanita menerima perlakuan dilihat, dinilai, diapresiasi dalam berbagai konteks wacana media. Visualisasi wanita dalam media

(11)

diwarnai oleh stereotipe dan komodifikasi sebagai pelaris produk. Perempuan divisualisasikan ke dalam bentuk fisik yang sarat dengan tubuhnya, wajah cantik putih sebagai komoditas produk kecantikan sedang peran jender perempuan sebagai ibu rumah tangga sebagai komoditas produk susu bayi atau alat-alat rumah tangga. Tubuh perempuan dijadikan sebagai komoditas, untuk menarik konsumen pembaca.

3. Media Massa Merupakan Salah Satu Agen Sosialisasi yang Menentukan Kesetaraan Gender

Disadari atau tidak media massa juga turut menyebarkan dan melestarikan ideology gender. Melalui media massa kita belajar menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai dengan perbedaan dan stereotype gender. Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi yang menentukan kesetaraan gender. Realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender dalam representasi perempuan dalam media. Media cenderung eksploitatif terhadap perempuan. Butcher dalam Young (1981) menyatakan perempuan selalu diposisikan sebagai “obyek seksual” dengan daya tarik sensualitas dan seksualitasnya untuk menggaet khalayak ; atau sebagai seorang ibu yang pintar dan tahu membeli alat dan perlengkapan dapur untuk kebutuhan keluarga. Representasi ini memberikan nilai konotatif terhadap image perempuan yaitu suatu image yang sederhana yaitu sosok yang selalu tersenyum, berwajah cantik, siap untuk aktivitas sex atau fantasi, kesenangan atau kekuatan laki-laki.

3. Tampilan Perempuan Korupsi dalam Sampul Majalah Tempo

Penampilan model pada sampul muka majalah menjadi cara mengkonstruksi, menandai, dan mereproduksi wacana pencitraan diri seorang wanita. Pada majalah, penyampaian ideologi dan tuturan wacana tersebut secara visual dilakukan melalui elemen-elemen disain yang membentuk struktur bahasa pada sampul muka.

Ketika media massa ramai memberitakan kasus korupsi yang melibatkan perempuan, terjadi pemberitaan yang juga menggambarkan feature of feminity. Media justru tertarik memberitakan merk tas, baju, kacamata yang dipakai si koruptor, perawatan badan sehingga mengaburkan kasus korupsi itu sendiri. Bahkan, pemberitaan perempuan pelaku tindak pidana korupsi yang tidak bisa mengenakan baju tahanan karena ukuran payudara yang kebesaran seakan sama pentingnya dengan tindak korupsi yang dilakukannya. Media juga menyajikan pemberitaan evaluatif dengan

mendeskripsikan salah seorang tersangka pelaku korupsi sebagai tokoh yang berhidung panjang seperti Pinokio yang senang berbohong.

Majalah Tempo beberapa kali menggambarkan perempuan sebagai sampul dalam majalahnya terutama terkait dengan kasus yang sedang menimpa mereka yang diangkat sebagai topik Laporan Utama. Ada beberapa perempuan di Indonesia yang menjadi topik pemberitaan majalah Tempo terkait dengan masalah hukum yang menimpa mereka, yaitu Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti, Melinda Dee, Wa Ode Nurhayati, dan Angelina Sondakh. Ada kesamaan di antara perempuan tersebut yaitu mereka sama-sama terlibat dalam kejahatan intelelektual yaitu korupsi, berpendidikan tinggi dan kehidupan yang mapan. Akan tetapi tidak semua perempuan tersebut ditampilkan sebagai sampul majalah, hanya beberapa di antara mereka yang ditampilkan dalam sampul, dan direpresentasikan dengan cara yang berbeda.

Malinda Dee sebagai perempuan yang terlibat dalam kejahatan penggelapan dana nasabah merupakan satu dari beberapa wanita yang ditampilkan sebagai sampul majalah Tempo edisi 05 (4-10 April 2011), di mana digambarkan dalam komposisi yang mereplika lukisan Monalissa karya Leonardo Da Vinci. Suguhan tubuh Malinda menjadi sebuah display yang difokuskan pada buah dada di luar ukuran normal yang dianggap sejalan dengan perilakunya. Ini merupakan fakta bahwa majalah Tempo sudah melakukan menciptakan realitas media (media reality) tentang sosok Malinda.

Kasus penggelapan dana nasabah yang menyeret nama Malinda Dee kembali menjadi topik Laporan Utama pada majalah Tempo edisi 11-17 April 2011 dengan coverline “Nasabah Kakap Malinda: Korbannya dari jenderal polisi, pengacara kondang, pengusaha, sampai mantan pejabat”, Malinda digambarkan sebagai sosok Medusa. Medusa awalnya merupakan perempuan cantik rupawan yang dikutuk otoritas lelaki di atasnya menjadi sosok perempuan jahat berambut ular dan buruk rupa sehingga siapapun yang melihat ke dalam matanya akan berubah menjadi batu . Mata Medusa adalah menggambarkan rayuan mematikan seorang perempuan, juga gambaran dari seksualitas MD, dimana kecantikan dan keseksian yang dimilikinya adalah merupakan daya tarik untuk memikat nasabahnya.

Kesimpulan

 Representasi beberapa perempuan yang terlibat dalam tindak kejahatan korupsi dalam sampul majalah Tempo merupakan penggambaran visualisasi perempuan secara

(12)

variatif dan mempunyai penekanan pada khalayak yang dituju. Eksploitasi seksual diantaranya pada representasi Malinda Dee mengidentikkan khasiat sebagai pemikat laki-laki. Di sisi lain, representasi kecerdasan perempuan juga tampak dalam sampul dengan model Miranda Gultom yang memvisualisasikan perempuan karier dengan busana kerja yang formal. Representasi Miranda Gultom dapat dimaknai bahwa ada representasi perempuan yang tidak hanya memberi gambaran keseharian perempuan yang terbatas di ruang domestik : seputar dapur, tempat tidur dan keluarga tetapi sudah memperluas wilayah gerak perempuan di ruang publik. Miranda Gultom direpresentasikan sebagai sosok perempuan yang mandiri yang mempunyai peran penting di ruang publik.

 Sebenarnya tujuan utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dari dominasi kelompok penindas, termasuk di dalamnya analisis kritis tentang teks media. Namun ternyata sistem kapitalisme dan budaya patriarki yang menghegemoni media di Indonesia saat ini memposisikan perempuan dalam konstruksi nilai-nilai feminitas yang tidak menguntungkan perempuan.

Ucapan Terimakasih

Makalah ini merupakan bagian proposal penelitian Tesis pada Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Undip tahun 2013 dengan judul “ Representasi Perempuan Koruptor pada Cover Majalah Tempo”. Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan pada pembimbing Dr.Turnomo Rahardjo.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa (Suatu Pengantar). Simbiosa Pratama Media, Bandung

Bryan, Jennings & Zillmann, Dolf (Ed). 2002. Media Effect : Advances in Theory and Research (2nd Edition). New Jersey : Erlbaum Lawrence Associates Ins.

Cobley, Paul, dan Ltza Jansz.1999. Introducing Semiotic. New York : Totem Books. Cohen, Stanley, dan Jock Young.1981. The

Manufacture of News : Deviance, Social Problem & The Mass Media. California : Sage Publication.

Denzin, Norman K dan Yvonna S Lincoln. 2005. Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication.

Djuroto, Totok. 2002. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar

Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS. Hall, Stuart. 1997. Representation : Cultural

Representation and Signifying Practises. London : SAGE Publication Ltd.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta : Granit. Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya

Komunikasi : Budaya, Media dan Gaya Hidup Dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra.

Jewkes, Jvonne. 2005. Media and Crime. London : Sage Publication.

Kelsey, L. 2003. Was it Good For You Too? 30 Years of Cosmopolitan. London : Robson Books.

Kitch, Carolyne. 2001. The Girl on the Magazine Cover. North Carolina : The University of North Carolina Press.

Kusmiati, Artini. 1999. Desain Komunikasi Visual : Teori Dasar. Jakarta : Penerbit Djambatan. McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa.

Jakarta : Penerbit Salemba Humanika. Santoso, Widjajanti. 2012. Sosiologi Feminisme,

Konstruksi Perempuan dalam Industri Media.Yogyakarta : LKiS.

Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendy. 1989. Metodologi Penelitian Survey. Yogyakarta : LP3ES.

Smith, Dorothy. 1991. The Everyday World as Problematic, A Feminist Sociology. Toronto : University of Toronto Press.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra.

Webb, Jen. 2009. Understanding Representation. London : SAGE Publication Ltd.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kemampuan dokter, sikap perawat dan fasilitas pelayanan secara parsial maupun simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

Adapun bentuk lain dari manajemen risiko untuk menekan terjadinya risiko pembiayaan dan mendapatkan nasabah yang lebih layak, BMT Maslahah Cabang Pembantu Olean

Paling tidak terdapat 6 (enam) kunci proses kepemiminan yang perlu diakses agar organisasi sekolah berjalan sesuai dengan harapan: (1) Perencanaan : Mengeluarkan

Hambatan yang masih menjadi persoalan sampai dengan saat ini adalah sistem kesehatan dari pemerintah yang berbenturan dengan sistem didalam rumah sakit, menjadikan rumah sakit

Konfigurasi kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah deskripsi dari struktur kognisi yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah matematika

Setelah perusahaan melakukan pelaksanaan semua aktivitas perusahaan, aspek penting lain yang harus diperhatikan dalam mengelola sebuah organisasi perusahaan adalah

Persoalan tentang masalah pemungutan biaya transport yang tidak diatur secara tegas dalam Perda Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Perda Nomor 06 Tahun

Berdasarkan hasil uji hipotesis yang tampak pada Tabel 1.7 dapat diketahui bahwa variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang dibuktikan