• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

(Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Majelis Jemaat merupakan pelayan-pelayan khusus yang mempunyai tempat, kedudukan dan otoritas pemerintahan di dalam gereja1.Pelayan-pelayan khusus yang dimaksud adalah Pendeta, Penatua dan Diaken2. Menurut Calvin Pendeta dan Penatua bertugas di bidang pendidikan teologi dan menjalankan kepemimpinan gereja sedangkan Diaken bertugas memelihara orang-orang miskin dan sakit3. Pertanyaannya adalah bagaimana realita posisi serta kedudukan majelis jemaat laki-laki dan perempuan di dalam Alkitab? menurut Perjanjian Lama, laki-laki dan perempuan setara namun berbeda secara biologis. Secara puitis kesetaraan itu di sampaikan dalam Kitab Kejadian 1:27 yang mencatat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama martabatnya sebagai manusia dan penyandang gambar Allah4. Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat mandat yang sama dari Allah untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej.1:26, 28-29)5, laki-laki tidak diciptakan di atas perempuan ataupun sebaliknya dan jika dihubungankan dengan pelayanan, keduanya mendapat mandat yang sama untuk melayani Allah dan sesama6. Alkitab juga mencatat bahwa ada begitu banyak tokoh perempuan yang berperan dalam dunia pelayanan, misalnya Miriam, saudara perempuan Musa yang dianggap sebagai pemimpin bangsa Israel (Kel 15:20-21), Ester yang menjadi ratu dan Debora yang menjadi hakim (Hakim-Hakim 4:4-9)7.

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa perempuan juga memiliki andil dalam dunia pelayanan. Akan tetapi Alkitab mencatat bahwa perempuan pada zaman Perjanjian Lama tidak pernah menjadi Imam dan tidak juga menjadi Tua-Tua Israel (tidak memegang jabatan)8. Parahnya lagi dalam Perjanjian Baru perempuan dilarang untuk menjadi

1Abineno J.L.Ch, Pelayan-Pelayan Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 149. 2 Ibid,.

3 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 103.

4Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 45. 5Ibid, 46.

6Ibid, 59.

7J.A.C. Rullman, Peraturan Gerdja, (Jakarta: Taman Pustaka Kristen, 1956), 46. 8Ibid., 48

(2)

pemimpin dan tidak boleh memerintah laki-laki (lihat. I Tim 2:12, I Kor 14:34-35) 9 dan hal tersebut masih terjadi sampai sekarang. Salah satu contohnya adalah kesenjangan jender yang terjadi dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Pulau Saparua.

GPM Pulau Saparua terdiri dari 14 jemaat yakni jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha, Mahu, Ihamahu, Siri-Sori Serani, Itawaka, Noloth, Porto, Haria, Pia, Ultah, Ou, Boi dan Paperu. Jumlah Pendeta yang melayani di GPM pulau Saparua adalah 22 orang, terdiri dari 10 Pendeta laki-laki dan 12 Pendeta perempuan10. Enam (6) jemaat diketuai oleh pendeta perempuan sedangkan delapan (8) jemaat diketuai oleh pendeta laki-laki11. Jumlah Penatua dan Diaken yang melayani di GPM Pulau Saparua adalah 457 orang, terdiri dari 258 laki-laki dan 199 perempuan12.

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa ada kesenjangan jender antara majelis jemaat laki-laki dan perempuan, dimana jumlah majelis jemaat laki-laki lebih banyak dari majelis jemaat perempuan. Selain itu, terdapat juga fakta bahwa pemegang jabatan pimpinan dalam strukutur pelayanan majelis jemaat didominasi oleh kaum laki-laki, mulai dari Ketua, Wakil, Sekertaris, Bendahara sampai pada ketua-ketua bidang13. Bahkan ketua bidang kerumahtanggaan yang asumsinya dipegang oleh kaum perempuan juga dipegang oleh kaum laki-laki14. Fakta lainnya adalah seluruh majelis pekerja klasis GPM Lease adalah pendeta laki-laki15. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa di dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua, terdapat kesenjangan jender yang mencolok.

1.2 Alasan Pemilihan Judul

Melihat realita tersebut penulis tertarik untuk menelitinya, dengan harapan lewat penelitian ini, majelis jemaat GPM pulau Saparua dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk kesenjangan jender yang terdapat di dalam gereja dan faktor-faktor

9Alexander Strauch, Kepenatuaan atau Kependetaan, (Yogjakrta: Andi, 1992),90.

10Informasi didadapt dari mantan ketua klasis GPM Lease via telephone pada hari senin tanggal 12 Mei 2012 pukul 15.45 WIB

11Ibid,. 12Ibid,.

13Informasi didapat dari salah satu anggota majelis jemaat Saparua-Tiouw pada tanggal 24 april 2012 pukul 19.50 WIB

14Informasi didapat dari pendeta jemaat GPM Noloth pada tanggal 9 agustus 2012 pukul 15.40 WIT 15Informasi didadapt dari mantan ketua klasis GPM Lease via telephone,..

(3)

penyebabnya, sehingga pada gilirannya mau bertransformasi dan menyadari, bahwa mereka adalah rekan kerja yang setara dan dipanggil untuk saling melengkapi serta memperkaya satu dengan yang lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memilih judul penelitian sebagaimana disebutkan di bawah ini :

PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT

(Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua)

1.3 Rumusan Masalah

Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua?

1.4 Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua.

1.5 Manfaat Penulisan

Memberi sumbangan pemikiran kepada majelis jemaat GPM pulau Saparua tentang bentuk kesenjangan jender yang terdapat dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat dan faktor-faktor penyebabnya sehingga pada gilirannya mau bertransformasi dan manyadari bahwa mereka adalah rekan kerja yang setara dan dipanggil untuk saling melengkapi serta memperkaya satu dengan yang lainnya.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, dengan metode kualitatif. Pendekatan deskriptif adalah pencarian fakta dengan intepretasi yang tepat dengan jalan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena16, sedangkan metode kualitatif adalah metode penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

(4)

subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks tertentu17. Penulis menggunakan metode kualitatif karena melalui metode ini penulis dapat secara langsung meneliti di lapangan tentang fenomena yang diangkat dalam tulisan ini. Data penelitian dikumpulkan melalui beberapa teknik dengan sumber data sebagai berikut :

a. Observasi

Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan18. Dalam penelitian ini, penulis akan mengobservasi Majelis Jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha dan Pia.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu19. Wawancara secara mendalam akan dilakukan bersama Ketua dan Sekertaris Klasis GPM Lease serta Pendeta jemaat Noloth, Itawaka, Ihamahu, Saparua-Tiouw, Pia dan Tuhaha.

c. Focus Group Discussion (FGD)

FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 1998)20. Tiap kelompok terdiri dari tujuh (7) orang Majelis Jemaat laki-laki dan perempuan. Kelompok yang dimaksud adalah Majelis Jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha dan Pia.

d. Kepustakaan

Penulis akan mengumpulkan data melalui kepustakaan dari berbagai buku, artikel, jurnal maupun dokumen lainnya yang mendukung penelitian ini. Kepustakaan bermanfaat dalam penyusunan landasan teorotis yang manjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian21.

17Lexy Moleong, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Balai Aksara, Yudhistira, Sadiyah, 1983),63. 18Kartini Kartono,Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996), 150. 19Ibid., 187.

20 http://www.scribd.com/doc/88524590/Pp-focus-group-discussion, diunduh pada hari Sabtu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 16.45 WIB

21 http://www.scribd.com/doc/57297015/Pengertian-studi-kepustakaan,diunduh pada hari Sabtu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 16.45 WIB

(5)

II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Majelis Jemaat

Majelis jemaat adalah pemegang pemerintahan dan pengambil keputusan dalam suatu jemaat1. Majelis jemaat disebut sebagai persekutuan anggota jemaat yang terpanggil menjadi kawan sekerja Allah dalam menjalankan fungsi pelayanan dalam gereja. Menurut Calvin di dalam majelis jemaat terdapat tiga (3) jabatan yang ditetapkan oleh Kristus sebagai kepala gereja. Tiga (3) jabatan yang dimaksud adalah Pendeta, Penatua dan Diaken.

2.1.1 Pendeta

Kata pendeta di ambil dari kata “Pasteur, Pastor “(bahasa latin dari kata gembala). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendeta didefinisikan sebagai pemuka, pemimpin, atau guru agama. Pendeta merupakan pelayan firman yang didik secara teologis2. Pendeta adalah seorang pengajar umum dan juga pengajar khusus di dalam jemaat dimana ia harus melibatkan diri secara langsung pada tiga wadah pelayanan yaitu kelas katekisasi, pendidikan teologi jemaat, dan mimbar3. Pendeta dianggap sebagai pemimpin yang Alkitabiah4. Sebagai pejabat gereja pendeta memiliki tugas-tugas khusus. Tugas pendeta adalah melayani pemberitaan firman Allah dan sakramen, memimpin katekisasi (pengajaran agama), meneguhkan anggota sidi, menabishkan pelayan-pelayan khusus, memberkati dan meneguhkan nikah, memimpin pemakaman orang mati, mengembalakan anggota jemaat, memimpin sidang jemaat, memimpin jemaat, menjalankan disiplin gereja dan melakukan pelayanan diakonia5. Pendeta juga bertugas mengawasi dan melakukan fungsi pastoral serta fungsi adminstratif gereja6. Akan tetapi tugas pendeta yang utama dan terpenting adalah memberitakan injil dan melayani sakaramen7.

1 M.H. Bolkestein, Azaz-Azaz Hukum Gereja, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1956), 32. 2 Edgar Wals, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 7. 3S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamalo, F. Ukur, Tabah Melangkah STT ke 50, (Jakarta: STT Jakarta, 1984), 148-149.

4 Strauch, Kepenatuaan, 179. 5 J.L.Ch. Abineno, Jemaat, 164.

6 Edgar Wals, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, 8-9. 7 M.H. Bolkestein, Azaz-Azaz Hukum Gereja, 74.

(6)

2.1.2 Penatua

Penatua berasal dari bahasa yunani Presybetros yang artinya Imam dan

Episkopos yang artinya Uskup8. Alkitab Perjanjian lama mencatat bahwa dalam

Pentateukh disingung adanya tua-tua orang mesir (Kej 50:7) dan tua-tua Israel. Dalam Kitab Ulangan para tua-tua berfungsi sebagai hakim dalam menahan para pembunuh (Ul19:12), menjalankan pemeriksaan (Ul 21:2), dan menyelesaikan pertikaian perkawinan (Ul 22:15:25:7). Para tua-tua tersebut dihubungkan dengan pejabat-pejabat sipil, misalnya kepala suku (Ul:5:23;29:10), para pengatur pasukan dari hakim (Yos 8:33) dan pemimpin umat Allah pada saat itu9. Sepanjang sejarah Perjanjian Lama, para tua-tua merupakan orang-orang yang dihormati dan berwibawa serta mempunyai suara yang menentukan dalam berbagai perkara10.

Dalam Perjanjian Baru kata Yunanai presybiteros dipakai dalam tua-tua agama, tua-tua adat dan pemimpin-pemimpin rumah ibadah Yahudi11. Kata persybetros menunjukan kelebihan usia dalam arti umur, (Lukas 15:25, Kpr 2:17), nenek moyang atau pemimpin-pemimpin agama pada masa lampau (Mat 15:2, Mark 7:3,5, Ibrani 11:2), para tua-tua bangsa Yahudi (Mat 16:21, Kpr 4:5,8,23; 6:12; 23:14; 24:1), para penatua dalam jemaat kristen (Kpr 11:30; 14:23) dan para tua-tua yang disebut dalam Kitab Wahyu (Wahyu 4:4,10;5:5)12. Penatua merupakan kumpulan para gembala yang ditetapkan oleh Roh Kudus (Kpr 20:28) dan ditunjuk bersama dengan para pendeta untuk mengawasi kehidupan gerejawi13.

Sebagai pemegang jabatan di dalam gereja, penatua mempunyai tugas-tugas khusus. Tugas penatua adalah menjaga dan memelihara jemaat Allah (I Pet 5:8), mengunjungi dan mengembalakan kawanan jemaat Allah14, memimpin jemaat, mengatur rumah Allah (I Tim 3:4-5 ; Titus 1, 7), mengurus setiap kebutuhan umat Allah (1 Tim 3:5)15, menjaga kemurnian ajaran (Kpr 20, 29)16serta bersama-sama dengan pendeta bertangung jawab terhadap pemberitaan firman, pelayanan sakramen17 dan menjalankan disiplin gereja. Menurut Ruller tugas penatua yang

8 J.L.Ch. Abineno , Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 14. 9 Pramudianto, Panduan Pelayan Majelis, (Jakarta: Sirao Credentia Center, 2008), 16.

10 A. N Hendriks, Pengatur Rumah Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 7. 11 De Jonge, Apa Itu, 106.

12 Pramudianto, Panduan Pelayan Majelis, (Jakarta: Sirao Credentia Center, 2008), 16-17. 13 Strauch, Kepenatuaan, 60.

14Ibid., 19. 15 Ibid, 139.

16 A. N Hendriks, Pengatur, 10.

(7)

terpenting adalah perkunjungan rumah tangga18, namun sebaiknya perkunjungan rumah tangga tidak dilakukan oleh penatua saja, melainkan bersama-sama dengan pejabat yang lain (diaken dan pendeta)19.

2.1.3 Diaken

Diaken atau syamas berasal dari bahasa yunani “Diakonos”: yang berarti pelayanan. Alkitab mencatat bahwa salah satu tugas terpenting diaken adalah melakukan pelayanan kasih20. Diaken atau syamas merupakan pelayan-pelayan yang mengurus dan membantu orang-orang miskin dan sakit21. Bolkestein berpendapat bahwa diaken merupakan bagian dari penatua, sedangkan Locher berpendapat bahwa diaken adalah penatua kelas dua22. Berdasarkan I Korintus 12:8-11 dan Roma 12:4-8, Rasul Paulus menyebut beberapa tugas dari diaken antara lain sebagai berikut: pelayanan kasih di bidang praktis dan materiil (Roma 12:7 ; I Pet 4:11), menolong orang-orang yang sangat membutuhkan, seperti: orang sakit, orang cacad, orang yang kesepian, bertanggung jawab atas penerimaan, pengunaan dan pemeliharaan uang diakonia23, bersama-sama dengan pendeta bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan diakonia serta melayani orang sakit dan orang-orang yang hidup dalam kekurangan (Roma 12:8)24.

2.2 Jender

2.2.1 Pengertian Jender

Menurut Fakih Jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Webster’s New World Dictionary mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku25. Stoller mengartikan jender sebagai pemisahan manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat sosial

18Ibid, 86.

19J.L.Ch. Abineno, Penatua, 20.

20 J.L.Ch. Abineno, Pembangunan jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 53.

21 De Jonge, Apa Itu , 102. 22Ibid.,105

23Ibid., 106

24 Abineno, Jemaat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),164.

25 Victoria Neufeldt (ed.) Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), 561.

(8)

budaya dan biologis26. Oakley27 mengartikan jender sebagai perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Ia mengartikan jender sebagai konstruksi sosial pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia28. Pendapat ini dipertegas dalam Women’s Studies Encylopedia yang menjelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat29. Dengan kata lain jender merupakan konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan30. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa jender merupakan perbedaan perilaku (behavior differences) antara laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya dalam masyarakat dan bukan merupakan kodrat dari Tuhan31.

2.2.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Jender

Ketidakadilan Jender adalah suatu sistem dan struktur pelayanan yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut32. Ketidakadilan jender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban kerja ganda33.

a. Marginalisasi

Bentuk manefestasi ketidakadilan jender adalah proses marginalisasi atau pemiskinana terhadap kaum perempuan 34 . Ada beberapa mekanisme proses penyisihan hak-hak perempuan karena perbedaan jender. Misalnya: kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi, kebiasaan dan bahkan asumsi ilmu pengetahuan35. Sebagai contoh: perempuan hanya memperoleh pekerjaan-pekerjaan yang dianggap ringan. Bahkan dalam beberapa kasus jenis pekerjaan domestik yang

26 Robeth Stoller, Sex and Gender: on the development of Masculinity and Femininity (London: Hogarth press, 1968), 7.

27 Ia adalah orang yang pertama kali mengembangkan pendekatan analisis gender untuk melihat posisi dan kerja kaum perempuan.

28 Aan Oakley, Sex, Gender and Society (London: Temple Smith, 1985), 22.

29 Helen Toerney (Ed), Women’s Studies Encylopedia Vol 1 (New York: Green Wood Press, 1990), 153.

30 Trisakti Handayani dan Sugiarti, konsep dan teknik penelitian gender (Malang:Universitas Muhamadiyah Malang, 2002), 5-6.

31Ibid., 31.

32Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan, 33. 33 Trisakti, Sugiarti, Konsep, 15-19.

34Ibid., 16. 35Ibid.

(9)

dikhususkan bagi pihak perempuan diambil ahli oleh pihak laki-laki jika pekerjaan tersebut berada pada ranah publik. Misalnya dalam hal masak-memasak. Untuk masak sehari-hari dirumah diserahkan pada pihak perempuan sedangkan koki di restoran yang memperoleh gaji diserahkan pada pihak laki-laki36. Contoh lain misalnya adanya pekerjaan khusus perempuan seperti: guru kanak-kanak, pekerja pabrik yang berakibat pada pengajian yang rendah37.

Bentuk marginalasi terhadap kaum perempuan tidak terjadi hanya dalam dunia pekerjaan tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, gereja, masyarakat dan bahkan negara38. Misalnya pemberian hak waris di dalam sebagian tafsir keagamaan, porsi untuk laki-laki dan perempuan berbeda, dimana pembagian hak waris untuk laki-laki lebih besar dari perempuan39. Hal ini menyebabkan perempuan tergantung secara ekonomi kepada laki-laki.

b. Subordinasi

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh suatu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain40. Subordinasi juga diartikan sebagai pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang irasional dan emosional, oleh sebab itu ia dipandang tidak bisa memimpin dan ditempatkan pada posisi yang tidak penting41. Hal yang sama pun terjadi pada zaman Perjanjian Baru. Dalam I Timotius 2:1 Paulus mengatakan bahwa “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki, hendaklah ia berdiam diri”. Dengan bercermin pada ayat tersebut, secara kontekstual Paulus dengan tegas melarang kaum perempuan untuk mengajar dan memerintah kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak berwenang menjelaskan disiplin kepada kaum laki-laki42.Hal ini dipertegas oleh pendapat Hurley yang mengatakan bahwa jabatan gerejawi hanya boleh dipegang oleh kaum laki-laki, kaum perempuan

36Mutali’in A, Bias, 34. 37 Trisakti, Sugiarti, konsep, 16. 38Riant Nugroho, Gender, 41. 39Ibid., 42.

40 Julia cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, 1996, 37 Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan, (Surakarta : Muhammadiyah University Press,2001), 35.

41Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan, 35. 42 Strauch, Kepenatuaan, 80.

(10)

tidak dapat dan tidak boleh43. Hal ini dikarenakan Allah sering digambarkan dalam jender maskulin sebagai laki-laki, bapak dan Raja.

c. Streotipe

Streotipe adalah pelebelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin44. Dengan kata lain streotipe adalah suatu bentuk penindasan ideologi kultural yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokan kaum perempuan45. Streotipe mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan46. Adanya stereotipe tertentu yang dikenakan kepada perempuan dalam masyarakat sering membuat mereka tidak bebas untuk berperan. Perempuan dibatasi karena dianggap tidak pantas, lemah dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat47. Menurut Budiman kaum perempuan berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Hal ini disebabkan adanya streotipe bahwa perempuan itu lemah lembut, sabar, tekun, penurut, emosional, irasional dan keibuan.

Clark juga mengatakan bahwa kaum laki-laki lebih baik menjadi pemimpin dalam jemaat Kristen. Hal ini dikarenakan adanya streotipe bahwa kaum laki-laki adalah kepala keluarga, oleh sebab itu mereka juga harus menjadi kepala/pemimpin dalam jemaat48. Pendapat tersebut bersumber dari tulisan Paulus dalam I Korintus 11:2-16 mengenai kekepalaan laki-laki dan penundukan diri perempuan. Berdasarkan cerminan ayat tersebut Paulus secara tegas dan kontekstual mengatakan bahwa penundukan diri perempuan terhadap laki-laki merupakan bagian dari serangkaian hubungan penundukan dan kekepalaan. Alkitab mencatat bahwa Allah adalah kepala, Kristus adalah kepala dan laki-laki juga adalah kepala. Hanya perempuanlah yang tidak disebutkan sebagai kepala49. Oleh sebab itu kaum laki-lakilah yang harus menjadi kepala/penguasa rohani dalam jemaat Kristen, perempuan tidak boleh berkuasa , karena kekuasaan berada pada wilayah laki-laki50.

43Ibid., 78.

44 Riant Nugroho, Gender, 42. 45Mutali’in A, Bias, 37-38. 46Riant Nugroho, Gender, 43.

47Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, 44. 48 Strauch, Kepenatuaan, 76.

49Ibid., 86.

(11)

d. Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan (violence) merupakan serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan51. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan, pelacuran, pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus yakni pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Parahnya dalam kasus pelacuran, masyarakat dan pemerintah memberikan label tuna susila kepada para pelacur tetapi tidak memberikan label tuna susila juga bagi kaum laki-laki yang merupakan konsumennya52.

Kekerasan terhadap perempuan sering tejadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekersan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan53. Kekerasan ini disebut sebagai gender-related violence yang pada dasarnya disebabakan oleh kekuasaan. Hal ini terbukti lewat berbagai macam kenyataan di masyarakat yang menunjukan bahwa perempuan masih dianggap sebagai objek untuk dinikahi, menjadi harta milik laki-laki, dituntut untuk mengabdi, patuh kepada petunjuk dan perintah laki-laki. Perempuan merupakan kelompok masyarakat yang tersisih. Hak-hak asasi perempuan mudah dilanggar seperti terlihat dari berbagi tindak kekerasan, pemerkosaan dan perdagangan perempuan54.

e. Triple Peran/Beban Kerja Ganda

Menurut Fakih beban kerja ganda adalah beban kerja yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Perempuan dalam hal ini sering menerima beban kerja ganda. Selain harus bekerja di ranah domestik mereka juga harus melakukan tugas pelayanan di gereja dan masyarakat55. Jika hal tersebut terjadi pada kalangan yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup maka seringkali beban kerja domestik dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga, namun jika terjadi pada kalangan yang memiliki tingkat ekonomi di bawah rata-rata (miskin)

51Riant Nugroho, Gender, 43. 52Mutali’in A, Bias, 41. 53Ibid.,19.

54 Karman, Bunga Rampai, 70. 55 Trisakti/Sugiarti, Konsep, 20.

(12)

maka beban kerjanya akan menjadi berlipat ganda56. Tugas-tugas yang banyak dan padat dalam rumah-tangga membuat perempuan kehilangan kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengembangkan dirinya secara optimal sebagai individu yang bebas57. Perempuan harus seorang diri melakukan berbagai tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan bahkan mengurus suami. Meskipun demikian pekerjaan tersebut sama sekali tidak dihargai secara ekonomi bahkan status sosialnya dalam masyarakat dianggap lebih rendah58.

2.3 Penyebab Ketidakadilan Jender

Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan jender dan perbedaan jender telah melahirkan ketidakadilan dan ketidak-setaraan jender. Ketidak-setaraan dan ketidakadilan jender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, pemerintah dan gereja merupakan akibat dari adanya konstruksi sosial dan budaya tentang laki-laki dan perempuan59. Ada beberapa faktor utama yang melatar-belakangi adanya hal tersebut.

a. Pengaruh Budaya dan Dogma Agamawi

Di banyak negara (termasuk di Indonesia), masyarakat masih menjalani kehidupannya dalam pengaruh adat budaya dan dogma agama yang kuat. Umumnya budaya yang berkembang di dalam masyarakat adalah budaya patriarkhi. Patriarkhi berasal dari dari bahasa Yunani, pater yang artinya bapak dan arche yang artinya kekuasaan. Ebert mendefenisikan patriarkhi sebagai organisasi dan divisi dari semua praktek dalam pengertian dalam hal jender yang mengistimewakan salah satu jenis kelamin atas yang lain dengan kontrol laki-laki atas perempuan dalam hal seksualitas, kesuburan dan tenaga kerja60.

Budaya patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan, dimana laki-lakilah yang memegang kekuasaan atas semua peran penting di dalam masyarakat, pemerintah, pendidikan, industri, bisnis, perawatan, kesehatan, iklan, agama, dan lain sebagainya61. Sementara dogma-dogma agama pun kebanyakan bersifat patriarkhi yang lebih mengedepankan kaum laki-laki. Dengan begitu maka,

56Riant Nugroho, Gender, 47.

57Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2007), 78-79.

58Mutali’in A, Bias, 39-40. 59 Trisakti/Sugiarti, Konsep, 11.

60Elisabeth Schussler Fiorenza, But She Said, Messachusetts: Beacon Press Boston, 1992, 110 61Ibid,.

(13)

berbagai persepsi atau pandangan yang tumbuh dalam masyarakat akan menganggap laki-laki sebagai yang lebih utama dan lebih tinggi posisinya daripada perempuan.

b. Kecenderungan Kaum Perempuan Sendiri untuk Dipimpin Oleh Kaum Laki-laki.

Faktanya ada banyak perempuan yang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun masih banyak pula perempuan yang tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam kehidupan yang tidak setara dengan laki-laki. Mereka justru menganggap bahwa kehidupan yang dijalani setiap hari itu sudah menjadi kodrat mereka, termasuk ketika harus selalu berada di dalam keluarga dengan peran-peran yang hanya terbatas pada memasak, merawat keluarga, mengasuh anak atau sekedar mendampingngi suami. Faktor-faktor di atas merupakan penghalang yang kuat, yang membatasi gerak perempuan untuk berperan dan memiliki kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki dalam masyarakat dan gereja.

(14)

III. HASIL PEN ELITIAN DAN ANALISA

3.1 Gambaran Umum Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua

Majelis Jemaat Gereja Protestan Malauku (GPM) pulau Saparua merupakan salah satu majelis jemaat yang beraliran Calvinis. Secara umum, pengorganisasian majelis jemaat GPM pulau Saparua mengikuti sistem dan aturan presbiteral-sinodal. Arti dari sistem presbiteral-sinodal adalah bahwa jemaat setempat diperintah atau dipimpin oleh sekelompok orang yang memangku jabatan gerejawi, yaitu: pendeta, penatua dan diaken yang juga disebut sebagai majelis jemaat1.

GPM pulau Saparua terdiri dari 14 jemaat yakni jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha, Mahu, Ihamahu, Siri-Sori Serani, Itawaka, Noloth, Porto, Haria, Pia, Ulath, Ou, Boi dan Paperu. Tempat penelitian penulis meliputi 6 (enam) jemaat, yakni jemaat Saparua-Tiouw, Pia, Tuhaha, Noloth, Itawaka, dan Ihamahu. Penulis memilih enam (6) jemaat tersebut berdasarkan data yang terdapat di majelis klasis Lease yang mencatat, bahwa di ke-enam jemaat tersebut jumlah majelis jemaat laki-laki lebih banyak dari majelis jemaat perempuan, dan bahwa jabatan kepemimpinan didimoniasi oleh majelis laki-laki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua terdapat masalah kesenjangan jender. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat setempat?.

3.2. Faktor Penyebab Kesenjangan Jender Dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua

Secara struktural majelis jemaat GPM pulau Saparua terdiri dari badan pimpinan harian majelis jemaat (BPHMJ) yang di dalamnya terdapat ketua majelis jemaat, wakil, sekertaris, bendahara dan ketua-ketua bidang. Bidang-bidang yang dimaksud adalah bidang keesaan pembinaan umat dan hubungan agama-agama, bidang pelayanan pendidikan dan pembangunan masyarakat (pelpem), bidang pekabaran injil dan komunikasi (pikom), bidang finansial ekonomi (finek) dan bidang kerumahtanggan2. Pada umumnya, jabatan ketua bidang dipegang oleh penatua atau diaken sedangkan jabatan ketua majelis jemaat hanya boleh dipegang oleh pendeta.

1Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 25

2Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat GPM pulau Saparua, pada hari Rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 18.00 WIT

(15)

Faktanya hampir semua jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat GPM pulau Saparua didominasi oleh kaum laki-laki. Sebagai contoh: di dalam majelis jemaat Tuhaha struktur pimpinan harian majelis jemaat didominasi oleh kaum laki-laki, mulai dari ketua, wakil, sekertaris, bendahara sampai pada ketua-ketua bidang3. Tidak hanya jemaat Tuhaha, jemaat Pia, Noloth, Itawaka dan Ihamahu pun demikian, hanya jemaat Saparua-Tiouw saja yang melibatkan paling tidak 4 perempuan dalam struktur pimpinan harian majelis jemaat4.

Salah seorang majelis jemaat Tuhaha mengatakan bahwa, sejujurnya kaum perempuan juga ingin memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja, namun peluang untuk untuk memegang jabatan tersebut tidak pernah didapatinya5. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari pendeta jemaat Tuhaha yang mengatakan bahwa yang lebih berpotensi untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja adalah kaum laki-laki6. Hal ini dikarenakan adanya streotipe bahawa laki-lakilah yang lebih pantas dan layak memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat7. Laki-laki lebih berani dan berpengalaman serta memiliki banyak waktu dibanding dengan perempuan8.

Berdasarkan fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua terdapat kesenjengan jender yang mencolok. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi faktor penyebabnya?. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan diskusi yang dilakukan penulis di enam (6) jemaat GPM pulau Saparua, ditemukan beberapa faktor penyebab antara lain sebagai berikut :

3.2.1 Perempuan Sebagai Pencari Nafakah Utama (the bread winner ) Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kaum laki-laki diidentikan sebagai pencari nafkah, namun dalam penelitian di majelis jemaat GPM pulau Saparua, ditemukan bahwa justru perempuanlah yang mencari nafkah.

3Hasil wawancara dengan ketua majelis jemaat GPM Tuhaha pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2012, pukul 13.25 WIT

4Data didapat dari hasil diskusi bersama para majelis jemaat GPM pulau Saparua,..

5Hasil diskusi bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2012 pukul 15.25 WIT

6Hasil wawancara dengan ketua majelis jemaat GPM Tuhaha,...

Hasil wawancara dengan salah seorang majelis jemaat perempuan GPM Pia pada hari Rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 16.00WIT

(16)

Faktanya hampir sebagian besar masyarakat pulau Saparua melimpahkan tugas mencari nafkah kepada kaum perempuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar kaum laki-laki di Saparua tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebagai contoh: kaum perempuan di jemaat Pia, Noloth, Itawaka, Ihamahu dan Tuhaha harus berjuang keras demi mencukupi kebutuhan keluarga dengan berdagang sagu dan hasil-hasil bumi seperti ketela pohon, ubi-ubian dan sayur-sayuran di pasar9. Pertanyaanya adalah bagaimana dengan kaum laki-laki? Dalam wawancara bersama salah seorang majelis jemaat Pia, dikatakan bahwa memang laki-laki juga membantu perempuan untuk melaksanakan tugas mencari nafkah namun tidak sepenuhnya10. Hal ini dikarenakan adanya streotipe bahwa tugas berdagang di pasar adalah tugas perempuan, jika laki-laki melakukannya, maka laki-laki-laki-laki tersebut dikatakan tidak jantan.

Kondisi di atas menyebabkan sebagian besar kaum perempuan di pulau Saparua jarang dan bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja. Kalaupun terlibat, kaum perempuan jarang diberikan kesempatan untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat dengan alasan tidak mempunyai waktu. Menurut Pendeta jemaat Tuhaha perempuan akan kewelahan jika memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat. Hal ini dikarenakan kaum perempuan juga dibebani dengan tugas mencari nfakah utama.

Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa, di dalam masyarakat pulau Saparua terjadi ketidakadilan jender dimana perempuan kehilangan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan dirinya secara optimal sebagai individu yang bebas karena tugas sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.

3.2.2 “Tugas Ganda” Perempuan

Selain mencari nafkah, perempuan juga harus mengerjakan tugas-tugas domestik yakni mencuci, memasak, menyetrika, mengurus anak, suami dan lain sebagainya. Parahnya, perempuan mengerjakan tugas-tugas tersebut secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Hal ini disebabkan kaum perempun tidak mampu menyewa tenaga pembantu karena ekonomi keluarga yang lemah

9Hasil wawancara dengan majelis jemaat GPM Pia, Tuhaha, Ihamahu, Noloth dan Itawaka 10Hasil wawancara dengan salah seorang majelis jemaat GPM Pia,...

(17)

Dalam wawancara bersama pendeta jemaat Pia dikatakan bahwa, ketika perempuan diminta untuk menjadi anggota majelis jemaat mereka selalu menolak dengan alasan bahwa tugas yang mereka pikul sangat berat, mereka harus mengurus rumah tangga dan juga bekerja mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan keluarga11. Berbeda dengan hal di atas salah seorang majelis jemaat Pia mengatakan, bahwa sebenarnya, ketika perempuan diminta untuk terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja, mereka bersedia, sayangnya tidak diijinkan suami dengan alasan bahwa sebagai istri, perempuan harus mengerjakan tugas-tugas domestiknya12. Hal ini disebabkan adanya streotipe bahwa tugas domestik dalam keluarga hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan saja. Padahal tidak seharusnya demikian, jika kaum laki-laki bersedia membantu perempuan untuk melakukan tugas-tugas domestik dalam keluarga mungkin kaum perempuan pun dapat terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja.

Berdasarkan data di atas maka disimpulkan bahwa tugas ganda yang dibebankan kepada kaum perempuan telah membuatnya jarang bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja. Kalaupun terlibat jarang sekali mendapat kepercayaan untuk memegang jabatan pimpinan.

3.2.3 Perbedaan Citra Laki-laki dan Perempuan Di Dalam Masyarakat dan Gereja

Sebagian besar majelis jemaat GPM pulau Saparua mengatakan bahwa karunia memimpin lebih banyak diberikan kepada kaum laki-laki13. Bagi mereka, moto penggerak dalam gereja adalah laki-laki14. Laki-laki dinilai lebih cepat dalam mengambil keputusan dibanding perempuan, laki-laki lebih berpengalaman dari perempuan, laki-laki itu kuat, gagah, perkasa dan lebih berani jika dipercayakan menjadi pemimpin15. Hal ini menyebabkan hampir semua pemegang jabatan kepemimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat GPM pulau Saparua didominasi oleh kaum laki-laki16.

11Hasil diskusi dengan majelis jemaat Tuhaha,...

12Hasil wawancara dengan majelis jemaat GPM Pia pada hari Rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 14.00 WIT

13Hasil diskusi dengan majelis jemaat perempuan Tuhaha,... 14Ibid,.

15Ibid,.

16Data didapat berdasarkan hasil wawancara bersama majelis jemaat Pia, Tuhaha, Itawaka, Noloth, Ihamahu dan Saparua-Tiouw

(18)

Dalam proses wawancara bersama pendeta jemaat Pia dikatakan, bahwa GPM terletak di daerah kepulauan dan sebagaian besar gerejanya berada di daerah-daerah terpencil17. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah pendeta laki-laki bukan perempuan. Hal ini disebabkan adanya pencitraan bahwa secara fisik pendeta laki-laki lebih kuat dari pendeta perempuan18.

Berbeda dengan pernyataan di atas, Ketua dan Sekretaris Klasis Lease mengemukakan, bahwa dalam ajaran GPM, perempuan diberikan peluang yang sama dengan laki-laki untuk terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat dan memegang jabatan pimpinan di dalam gereja19. Keduanya pun mengakui bahwa sebenarnya perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dari laki-laki, bahkan secara intelektual perempuan lebih unggul20. Namun faktanya perempuan yang dinilai unggul, jarang mendapat kesempatan untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari salah seorang majelis jemaat Tuhaha yang mengatakan, bahwa perempuan tidak pernah ditawarkan untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja21. Tawaran selalu diberikan kepada majelis jemaat laki-laki. Hal ini disebabkan adanya pencitraan, bahwa perempuan itu lemah secara fisik, irasional, dan emosional. Sebagai contoh: dalam proses pemilihan majelis jemaat di GPM pulau Saparua, laki-lakilah yang mendapat suara terbanyak, dan parahnya sebagian besar calon majelis jemaat yang tidak lolos adalah kaum perempuan22. Tidak hanya sampai disitu, perempuan yang lolos pun jarang diberikan kesempatan memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja23. Hal ini dikarenakan budaya patriarkhi yang lebih mengunggulkan kaum laki-laki dari perempuan. Selain itu terdapat juga pencitraan bahwa laki-laki lebih berani dan memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin, perempuan diangap lemah dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat dan gereja.

Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan citra antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan gereja telah menciptakan kesenjangan

17Hasil wawancara bersama pendeta GPM Pia, pada hari Selasa tanggal 7 Agustus 2012, pukul 18.00 WIT

18Ibid,.

19Hasil wawancara bersama sekertaris klasis Lease pada hari senin tanggal 6 Agustus 2012, pukul 15.00 WIT.

20Ibid,.

21Hasil wawancara bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha,... 22Hasil wawancara bersama majelis jemaat GPM Tuhaha,...

(19)

jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua.

3.2.4 Pengaruh Ajaran Gereja dan Penafsiran Alkitab

Sebagian besar pendeta GPM pulau Saparua mengatakan bahwa Alkitab mencatat pemimpin bangsa Israel adalah laki-laki dan bagi mereka hal tersebut masih diteruskan sampai sekarang24. Buktinya ketua klasis, ketua majelis jemaat dan ketua bidang dalam struktur pelayanan majelis jemaat kebanyakan masih dipegang oleh kaum laki-laki. Perempuan jarang diberikan kesempatan untuk memegang jabatan tersebut. Hal ini disebabkan adanya tafsiran bahwa penulis kitab semuanya laki-laki, tokoh Alkitab pun lebih banyak laki-laki25. Oleh sebab itu wajar bila laki-laki lebih diutamakan dan diandalkan dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat di gereja.

Salah seorang majelis jemaat Saparua-Tiouw mengatakan bahwa yang menjadi pemimpin/Imam pada zaman Perjanjian Lama adalah laki-laki, beliau juga menambahkan bahwa Alkitab selalu mencerminkan sifat maskulin, sebagai contoh anak-anak Yakub yang seharusnya berjumlah 13 orang, disebutkan hanya 12 orang26. Dina yang adalah perempuan tidak disebutkan dan parahnya lagi ia tidak mendapat sedikit warisan pun dari ayahnya27. Fakta lainnya adalah Allah digambarkan oleh Alkitab sebagai sosok maskulin yakni seorang bapa dan raja.

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa dari dulu sampai sekarang laki-laki lebih diutamakan, diunggulkan, diandalkan dan lebih dipercayakan menjadi pemimpin dalam gereja. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Clark yang mengatakan bahwa kaum laki-laki lebih baik menjadi pemimpin dalam jemaat Kristen. Hal ini dikarenakan adanya stereotipe bahwa kaum laki-laki adalah kepala keluarga, oleh sebab itu mereka juga harus menjadi kepala/pemimpin dalam jemaat. Selain itu ada

24Hasil wawancara dengan pendeta jemaat Pia, Tuhaha, Noloth dan Itawaka 25Ibid,.

26Hasil diskusi bersama para majelis jemaat GPM Saparua-Tiouw pada hari rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 17.00 WIT

(20)

juga tafsiran bahwa Adam yang lebih dahulu diciptakan baru Hawa, dengan demikian yang harus menjadi pemimpin adalah laki-laki bukan perempuan28.

3.2.5 Kecenderungan Kaum Perempuan Dipimpin Oleh Kaum Laki-laki

Berdasarkan wawancara, diskusi dan observasi yang dilakukan, penulis menemukan bahwa kebanyakan jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat GPM pulau Saparua dipegang oleh kaum laki-laki. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan posisi dan kedudukan perempuan? Sebagian besar majelis jemaat GPM pulau Saparua menjawab bahwa biasanya posisi dan kedudukan majelis jemaat perempuan berada di bawah majelis jemaat laki-laki.

Dalam observasi yang dilakukan penulis, terlihat bahwa dalam pertemuan-pertemuan ibadah, yang lebih berani mengutarakan pendapat adalah kaum laki-laki. Hal tersebut diperkuat oleh salah seorang majelis jemaat Pia yang mengatakan bahwa dalam rapat-rapat kemajelisan kaum perempuan lebih banyak diam dan sering mengikuti keputusan dari majelis laki-laki. Ketika ditanya mengapa demikian? Beliau menjawab hal ini dikarenakan jumlah perempuan yang sedikit dalam struktur pelayanan majelis jemaat sehingga mereka lebih sering mengikuti keputusan daripada memutuskan29.

Melihat fakta di atas, penulis menganalisa bahwa kaum perempuan di pulau Saparua cenderung memberikan diri untuk dipimpin daripada memimpin. Sebagian besar mereka beranggapan bahwa yang lebih pantas menjadi pemimpin adalah laki-laki. Perempuan selalu berada di bawah pimpinan laki-laki dan lebih sering mengikuti keputusan dari kaum laki-laki. Sebagai contoh : salah seorang majelis jemaat perempuan pernah ditawarakan untuk menjadi ketua persidangan majelis jemaat Pia, sayangnya tawaran tersebut ditolaknya dan didelegasikan kepada kaum lak-laki. Ketika ditanya mengapa mendelegasikan tugas tersebut kepada kaum laki-laki? Jawaban yang diberikan adalah karena laki-laki yang lebih cocok dan mampu menjadi pemimpin, posisi perempuan biasanya dibawahnya, misalnya sekertaris/bendahara.30 Berdasarkan fakta tersebut penulis menganalisa bahwa citra diri sebagain besar kaum perempuan di pulau Saparua tergolong rendah, mereka akan merasa aman jika mereka

28Hasil wawancara bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha,... 29 Ibid,.

(21)

berada dibawah laki-laki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa salah satu penyebab perempuan jarang memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja adalah karena kaum perempuan sendiri yang cenderung memberi diri dipimpin oleh kaum laki-laki.

3.2.6 Budaya Patriarkhi Yang Mengakar Dalam Masyarakat dan Gereja

Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab kesenjangan jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua. Adanya budaya patriarkhi yang menomorsatukan laki-laki dalam berebagai macam posisi membuat perempuan menjadi tersisih dan terpojokan. Sebagai contoh: dalam pemilihan anggota majelis klasis Lease pendeta perempuan pun masuk dalam bakal calon, namun sebelum sampai pada proses pemilihan mereka mengundurkan diri dengan alasan memberikan kesempatan kepada senior. Parahnya senior yang dimaksudkan adalah pendeta laki-laki. Contoh lain misalnya: di dalam struktur pelayanan majelis jemaat GPM Noloth seksi kerumahtanggaan yang asumsinya harus dipegang oleh perempuan justru dipegang oleh laki-laki31.

Hal ini disebabkan dalam budaya gereja di Maluku, kepemimpinan lebih sering dipercayakan kepada seseorang yang berpengalaman, dalam hal ini laki-laki yang lebih dipercaya, karena pada umumnya masyarakat Saparua mengangap bahwa laki- lebih berpengalaman daripada perempuan. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak berpengalaman. Dalam wawancara bersama ketua klasis Lease, beliau mengatakan bahwa dogma GPM mengajarkan kesetaraan dan kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya perempuan dan laki-laki-laki-laki setara meskipun berbeda secara biologis. Perempuan juga diberikan peluang dan potensi dari Allah untuk menjadi pemimpin dalam gereja, sayangnya apa yang diharapkan tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan32. Peluang dan potensi yang diberikan tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh kaum perempuan. Hal ini disebabkan dalam kehidupan masyarakat dan gereja di pulau Saparua masih terdapat budaya yang mengajarkan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan33. Sebagai contoh : dalam observasi yang penulis lakukan di jemaat Tuhaha, terlihat bahwa guru sekolah minggu

31Hasil wawancara dengan pendeta jemaat Noloth, pada hari jumat tanggal 10 Agustus 2012, pukul 16.00 WIT

32Ibid,.

(22)

di dominasi oleh kaum perempuan, sedangkan struktur pelayanan majelis jemaat didominasi oleh kaum laki-laki. Fakta ini membuktikan bahwa kaum laki-laki diidentikan sebagai pemimpin pada aras yang lebih tinggi sedangkan perempuan pada aras yang rendah.

3.3 Rangkuman

Berdasasrkan data di atas maka dapat disimpulkan, bahwa faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua adalah karena pada umumnya di pulau Saparua perempuanlah yang bekerja sebagai pencari nafkah utama “the bread winner”. Sebagai akibatnya mereka jarang bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat di gereja. Tidak hanya sebagai pencari nafkah utama, perempuan juga dibebani dengan tugas-tugas domestik di dalam keluarga dan juga didukung oleh budaya dan penafsiran Alkitab yang menomorsatukan laki-laki.

3.4 Refleksi Teologis

Menurut Perjanjian Lama, majelis jemaat laki-laki dan perempuan setara namun berbeda secara biologis. Secara puitis kesetaraan itu di sampaikan dalam Kitab Kejadian pasal 1:27 “ maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Bercermin pada ayat tersebut, kita menemukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama martabatnya sebagai manusia dan penyandang gambar Allah34. Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat mandat yang sama dari Allah untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej.1:26, 28-29)35. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan diberikan kemampuan yang sama untuk melayani Allah dan sesama.

Alkitab Perjanjian Lama juga mencatat bahwa peran dan kedudukan perempuan tidak hanya sebagai istri atau ibu melainkan sebagai mitra kerja laki-laki dan bahkan sebagai penasihat hikmat istana, Nabi, dan Hakim36. Contohnya : Debora dan Yael (Hakim 4 dan 5) yang memberikan kemenangan kepada bangsa Israel,

34 Karman, Bunga Rampai , 45. 35Ibid,.

36 Risnawaty Sinulingga, “Gender ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen”Jurnal Wawasan, Volume 12, Nomor 1 (Juni 2006) 49.

(23)

Naomi dan Rut yang menunjukan kesetiaannya pada tanah leluhur, Hana yang mempersembahkan Samuel, sampai pada Ester, ratu yang mengambil resiko untuk menyelamatkan bangsanya. Contoh di atas membuktikan bahwa peran perempuan dalam sejarah kehidupan bangsa Israel bukan hal yang kecil37. Perempuan diciptakan tidak untuk menjadi pelengkap kehidupan laki-laki dan tidak juga menjadi juru selamat melainkan menjadi rekan yang setara. Keduanya tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan bersatu dalam kontribusi yang berbeda, saling bergantung, dan saling melengkapi.

Sama halnya dengan Perjanian Lama, Perjanjian Baru pun mencatat bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra atau patner hidup yang setara dan saling melengkapi. Hal ini tercatat dalam 1 Korintus 11:11-12 yang menyebutkan bahwa “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan, sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah”. Gagasan ini didukung oleh Paulus dalam Gal 3:28 yang menyebutkan bahwa “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus.” Dengan bercermin pada ayat tersebut kita menemukan bahwa secara prinsipil tidak ada tatanan hirarkis tentang hubungan peranan majelis jemaat laki-laki dan perempuan. Dalam kondisi ini, majelis jemaat perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan majelis jemaat laki-laki, termasuk untuk melakukan berbagai peran dan menempati posisi yang sesuai dengan keinginan dan ketrampilan dirinya.

Sebagai mitra kerja, teman kerja atau rekan kerja yang setara, maka majelis jemaat perempuan dan laki-laki harus saling menolong dan menopang satu dengan yang lain, seperti yang dianjurkan Paulus dalam Galatia 6:2 “bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”.

(24)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa di dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua terdapat kesenjangan jender yang mencolok, dimana jumlah majelis jemaat laki-laki lebih banyak dari majelis jemaat perempuan dan hampir semua pemegang jabatan pimpinan didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan pada umumnya perempuan di jemaat GPM pulau Saparua merupakan pencari nafkah utama (the bread winner).

Sebagai akibatnya kaum perempuan jarang dan bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat di gereja. Hal ini dikarenakan sebagian besar waktunya tersita untuk melakukan tugas sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Selain pencari nafkah utama, kaum perempuan di Saparua juga dibebani dengan tugas domestik yang dimilikinya. Di samping itu, budaya patriarkhi dan penafsiran Alkitab yang mengunggulkan laki-laki juga merupakan faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua.

Oleh sebab itu lewat tulisan ini penulis ingin mengusulkan beberapa hal kepada majelis jemaat GPM pulau Saparua sebagai suatu bentuk tindak lanjut dari penelitian yang telah penulis lakukan. Saran yang diusulkan kepada majelis jemaat GPM pulau Saparua antara lain sebagai berikut :

a. Perlu adanya perubahan paradigma dari anggota dan majelis jemaat GPM pulau Saparua mengenai pembagian tugas domestik-publik dalam keluarga dan masyarakat. Jika perempuan sudah melakukan tugas domestik dan publik, maka seharusnya laki-laki pun demikian. Jika pihak laki-laki mau bekerja sama dan membantu pihak perempuan untuk untuk melaksanakan tugas di ranah publik yakni mencari nafkah bagi keluarga dan melaksanakan tugas-tugas domestik dalam keluarga, maka secara otomatis, perempuan pun dapat terlibat dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat di gereja.

b. Perlu mengadakan sosialisasi mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan di berbagai kegiatan misalnya PA, seminar, Diskusi, kotbah dan lain-lain sebagainya.

(25)

c. Lebih banyak mengangkat teks-teks Alkitab yang mengandung unsur kemitraan, keadilan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai bahan khotbah, PA, diskusi, dan lain-lain.

d. Mulai memberikan kesempatan dan peluang yang sama bagi kaum perempuan sama seperti halnya kepada kaum laki-laki, untuk terlibat dalam peran dan kedudukan di gereja baik sebagai majelis jemaat maupun badan pengurus organisasi gerejawi.

(26)

• Kepustakaan

Abineno,J.L.Ch. 2008. Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia

---,2003. Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia

---,1992. Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia

---,1983. Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia

---,1983. Pelayan-Pelayan Khusus : Jakarta: BPK Gunung Mulia Ahmad, Muthali. 2001. Bias Jender dalam Pendidikan. Surakarta: MVP

Bolkestein, M.H. 1966. Azas-Azas Hukum Gereja. Djkarta: Badan Penerbit Kristen Daun, Paulus. Pengantar ke Dalam Administrasi Gereja, 51.

Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: CV. Rajawali Fakih, Mansor. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist

Press

Hommes, Anne. 1992. Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisus

Hendriks, A. N. 1981. Pengatur Rumah Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Jonge, Christiaan de. 1999. Apa itu Calvinisme?. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Karman, Yonky. 2004. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: MANDAR MAJU

Kirchberger, G. 1991. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende: Nusa Indah Moleong, Lexy. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya Bandung

Nazir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Balai Aksara, Yudihstira, Saadiyah

Neufeldt (ed.), Victoria. 1984. Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenland

(27)

Oakley, Aan. 1985. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith

Pantau, Yolanda. 2011. “Bagaimana memahami posisi dan peran perempuan dalam PL”. Jakarta

Pramudianto. 2008.Panduan Pelayan Majelis. Jakarta: Sirao Credentia Center Rullman, J.A.C. 1956. Peraturan Geredja. DJakarta: Taman Pustaka Kwitang Retnowati. 2009. Handout Seminar Dasar. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW

Sinulingga, Risnawaty. 2006. “Gender ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen”Jurnal Wawasan, Volume 12, Nomor 1

Strauch, Alexander. 2008. Diaken dalam Gereja Penguasa atau Pelayan. Yogyakarta: ANDI

Strauch, Alexander. 2008. Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: ANDI Stoller, Robeth. 1968. Sex and Gender: on the development of Masculinity and

Femininity. London: Hogarth press

Sugiarti dan Handayani, Trisakti. 2002. Konsep dan teknik penelitian gender. Malang:Universitas Muhamadiyah

Sumiyatiningsih, Dien. 2010. “Kepemimpinan Pendidikan dalam Perspetif Jender. Semarang” : UNES Semarang

---,1986. “Kedudukan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”. Salatiga: UKSW

Toerney, Helen (ed.). 1990.Women’s Studies Encylopedia Vol 1. New York: Green Wood Press

Usman, Husain. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Vredenbregt, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT GRAMEDIA JAKARTA

Referensi

Dokumen terkait

rata pendapatan peternak itik pedaging di Desa Sipodeceng Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap berbeda-beda pada setiap skala usaha yang dimiliki, pendapatan yang

Hasil korelasi Product Moment Pearson pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel Persepsi Mahasiswa dengan Ketakutan Mahasiswa,

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

Dilihat dari nilai probability (P), faktor yang paling berpengaruh adalah faktor Persepsi tentang Kemudahan dan Persepsi tentang kegunaan dengan nilai probability

c) Ground  Voice,  Suara  Akar  Rumput.  Dengan  blog,  orang  dapat  dengan  leluasa  menuliskan  pendapatnya  tentang  suatu  hal.  Opini‐opini 

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat