• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Sifat Fisik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Sifat Fisik"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Minyak atsiri ditimbang dan ditambahkan campuran metanol:Tween-80 dalam labu takar 25 mL dan ditera dengan akuades. Konsentrasi akhir campuran metanol:Tween-80 dalam larutan adalah 1.2% (v/v), sedangkan konsentrasi minyak atsiri dibuat 1, 0.50, dan 0.01% (v/v). Daun pakan dipotong seragam dicelupkan ke dalam larutan pada konsentrasi yang telah dibuat sebelumnya, ditiriskan hingga pelarut kering, lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang diberi alas tisu. Sebanyak 15 ekor larva C. pavonana instar II yang telah berganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Penambahan pakan dengan daun brokoli yang telah dicelupkan minyak atsiri uji dilakukan setelah 24 JSP, dan diganti dengan daun tanpa minyak atsiri uji setelah 48 JSP. Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat yang mati dan yang hidup setelah 48 JSP dan sampai hari yang ketiga.

Uji Lanjutan. Konsentrasi minyak atsiri yang cukup efektif pada uji tersebut, yaitu mengakibatkan kematian ≥50% diuji lebih lanjut pada 6 taraf konsentrasi dengan pengulangan sebanyak 6 kali. Cara pengujian yang dilakukan sama seperti pada uji pendahuluan dengan pengamatan kematian serta perkembangan larva setiap 24 jam sekali sampai larva mencapai instar IV. Data kematian kumulatif kemudian diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).

Uji Fitotoksisitas

Bibit brokoli yang berusia 3 minggu disiapkan. Larutan minyak atsiri dari 13 spesies serta kontrol disiapkan dengan konsentrasi 1% kemudian diaplikasikan pada bibit brokoli dengan cara disemprotkan pada beberapa lembar daun pada bibit tersebut. Pengamatan dilakukan pada hari kedua sampai hari ketujuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Sifat Fisik

Perlakuan pendahuluan untuk daun

Cinnamomum spp. yang digunakan

(Lampiran 2) adalah pelayuan atau pengeringan dengan metode kering angin. Pengeringan ini bertujuan menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga mempercepat dan mempermudah proses ekstraksi. Pada proses pengeringan, minyak atsiri akan berdifusi dan akhirnya dapat

menguap (Ketaren 1985). Metode ini dipilih untuk menghindari penguapan berlebihan fraksi minyak atsiri tersebut.

Distilasi dilakukan dengan uap air. Uap akan berpenetrasi secara merata ke jaringan bahan, dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 °C. Distilasi dilakukan selama ±6 jam, laju distilasi berpengaruh terhadap perolehan minyak, namun tidak terhadap mutu minyak (Ketaren 1985). Dalam proses ini akan diperoleh campuran azeotrop, yaitu campuran yang komposisi fase uapnya sama dengan fase cairnya (Distantina 2009). Karena itu, pada proses distilasi, uap minyak akan bercampur dengan uap air dan terkondensasi secara bersamaan tanpa memengaruhi komposisi minyak tersebut. Distilasi uap air lebih baik dibandingkan dengan distilasi air karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan sehingga rendemen yang dihasilkan lebih besar (Ketaren 1985).

Perhitungan rendemen ekstrak hasil distilasi didasarkan pada bobot basah dan bobot kering (Lampiran 3). Koreksi kadar air sampel ditetapkan sebelum distilasi. Penetapan kadar air dimaksudkan untuk mengetahui bobot mutlak bahan (kadar air 0%). Berdasarkan bobot kering, rendemen minyak atsiri berkisar antara 0.08 dan 1.60%.

Terlihat pada Gambar 3, rendemen tertinggi diperoleh dari daun C. burmanii, C.

camphora, C. multiflorum, dan C. verum

berturut-turut 0.84, 1.36, 1.39, dan 1.60%. Rendemen ini dapat dipengaruhi oleh faktor luar antara lain perlakuan sebelum distilasi seperti pengeringan yang mengakibatkan hilangnya minyak atsiri (Ketaren 1985), kadar air bahan yang berkaitan dengan lamanya proses pengeringan, sifat fisik/ketebalan daun yang memengaruhi aliran uap selama distilasi serta proses distilasi yang digunakan.

Pada daun yang lebih tebal, proses hidrofusi, yaitu ekstraksi minyak dari sel kelenjar pada suatu jaringan tanaman, akan lebih lama. Rendahnya nilai rendemen tentunya juga dapat dikarenakan kecilnya produksi minyak dalam spesies tersebut.

Warna minyak yang dihasilkan pada saat proses distilasi dipengaruhi oleh kondisi daun, beragam dari kuning kehijauan sampai kuning kecokelatan (Tabel 1). Unsur yang mengandung aroma dari tumbuhan terbentuk dalam kloroplas daun dalam bentuk glikosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan enzim glikosidase yang membebaskan minyak atsiri (Harris 1991).

(2)

0.84 0.30 1.36 0.21 0.34 0.24 0.08 0.31 1.39 0.13 0.44 0.25 0.13 1.60 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 R en d em en ( % )

BND BNK CMP CAS CLB GRF INR JAV MLF PRC RHY STC SBV VRM

Bobot kering Bobot basah

 

Gambar 3 Rendemen minyak atsiri daun Cinnamomum spp. ( BND: C. burmanii daun, BNK: C.

burmanii kayu, CMP: C. camphora, CAS: C. cassia, CLB: C. celebicum, GRF: C grandiflorum, INR: C. iners, JAV: C. javanicum, MLF: C. multiflorum, PRC: C. porrectum, RHY: C. rhynchophyllum, STC: C. sintoc, SBV: C. subavenium, VRM: C. verum).

Indeks bias merupakan salah satu sifat optik yang lazim digunakan untuk menentukan mutu dan kemurnian suatu bahan. Diperoleh kisaran nilai indeks bias 1.4741– 1.5570 (Tabel 1). Hasil tersebut berbeda dengan indeks bias minyak daun kayu manis

asal Ceylon yang dianalisis oleh Gildemeister dan Hoffman yang berkisar 1.531 1.540 (20 °C) (Guenther 1990). Hal ini disebabkan perbedaan lokasi tumbuh dan perbedaan kandungan dari minyak atsiri tersebut.

Tabel 1 Hasil pengukuran indeks bias dan warna minyak atsiri dari 15 jenis sampel Cinnamomum spp

No Sampel Indeks bias Warna Intensitas warna

1 C. burmanii daun 1.5543 Kuning kecokelatan ++++

2 C. burmanii kayu 1.5071 Kuning kecokelatan +++++

3 C. camphora 1.4741 Kuning kecokelatan ++++

4 C. cassia 1.5761 Kuning kecokelatan +++++

5 C. cassia komersial 1.5570 Kuning kecokelatan ++++++

6 C. celebicum 1.5351 Kuning kehijauan +++

7 C. grandiflorum 1.4952 Kuning kehijauan ++

8 C. iners 1.4850 Kuning kecokelatan +++++

9 C. javanicum 1.5502 Kuning kecokelatan +++

10 C. multiflorum 1.5253 Kuning kehijauan +

11 C. porrectum 1.5014 Kuning kehijauan ++++

12 C. rhynchophyllum 1.4759 Kuning kehijauan +++

13 C. sintoc 1.5351 Kuning kehijauan ++++

14 C. subavenium 1.4854 Kuning kehijauan +++

15 C. verum 1.5351 Kuning kecokelatan ++++++

Keterangan : + : hijau seulas ++++ : cokelat seulas ++ : sedikit hijau +++++ : cokelat pudar +++ : hijau muda ++++++ : cokelat muda

(3)

Uji Fitotoksisitas

Aplikasi insektisida nabati di lapangan tidak hanya berakibat pada hama, namun dapat memengaruhi pula tanaman tempat hama berada. Efek merusak pada tanaman yang terpajan disebut fitotoksisitas. Zat-zat nonpolar yang berwujud minyak dalam ekstrak kasar sering kali bersifat fitotoksik dengan merusak lapisan lilin kutikula daun atau membran sel (Prijono 2005a).

Efek fitotoksik terlihat dengan gejala daun tampak melepuh di bagian epidermis (nekrosis), warna kecokelatan, mongering, dan akhirnya meninggalkan bercak putih pada daun. Hasil pengujian menunjukkan pada konsentrasi 1% gejala fitotoksisitas tidak terlihat pada C. burmanii kayu, C. camphora,

C. javanicum, C. multiflorum, C. rhyn-chophyllum, dan C. subavenium, namun pada

10 sampel lain terlihat gejala fitotoksik (Tabel 2). Pada hari pertama setelah pemberian perlakuan, fitotoksisitas terlihat dengan gejala daun mulai melepuh. Beberapa hari kemudian epidermis mulai terpisah dan setelah 3 hari, terlihat bercak putih (Lampiran 5).

Tabel 2 Gejala fitotoksisitas pada bibit brokoli yang diberi perlakuan minyak atsiri Cinnamomum spp. 1% (b/v)

Sampel Gejala

C. burmanii daun Sedikit melepuh

C. burmanii kayu Normal

C. cassia Bercak melepuh,

epidermis terpisah, muncul bercak putih

C. campora Normal

C. celebicum Bercak (melepuh)

C. gradiflorum Bercak (melepuh)

C. iners Bercak (melepuh)

C. javanicum Normal

C. multiflorum Normal

C. porrectum Bercak melepuh,

epidermis terpisah, muncul bercak putih

C. rhynchophyllum Normal

C. sintoc Bercak melepuh,

epidermis terpisah, muncul bercak putih

C. subavenium Normal

C. verum Bercak melepuh,

bercak putih merata di tiap daun

Kerusakan terparah terjadi pada perlakuan minyak atsiri uji C. verum. Pada konsentrasi

1%, daun mengalami nekrosis pada hari kedua yang kemudian disusul dengan munculnya bercak putih hampir merata pada setiap daun uji, sedangkan pada sampel lain kerusakan tidak merata dan jumlah bercak putih hanya sedikit

Permukaan daun tanaman brokoli ditutupi oleh lapisan malam (wax) (Dono 2004). Lapisan pada kutikula daun inilah yang dirusak oleh keberadaan komponen nonpolar seperti minyak atsiri yang juga dapat merusak membran sel daun. Gejala fitotoksisitas yang ditimbulkan hanya bersifat lokal (semisistemik). Ekstrak hanya diserap oleh jaringan tanaman khususnya daun, tetapi tidak atau hanya sedikit ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (Djojosumarto 2008). Telah dibuktikan bahwa pucuk daun yang tumbuh setelah pemberian perlakuan terhadap tanaman dapat tumbuh normal. Hanya bagian daun yang diberi perlakuan mengalami gejala fitotoksisitas

Aktivitas Insektisida  

Untuk mengetahui potensi minyak atsiri daun kayu manis sebagai insektisida nabati pada penelitian ini, dilakukan uji aktivitas insektisida yang meliputi uji mortalitas dan pengaruh ekstrak terhadap perkembangan larva. Uji dilakukan terhadap larva C.

pavonana instar II. Instar merupakan salah

satu tahapan perkembangan dalam metamorfosis yang ditandai dengan pergantian kulit larva.

Instar II dipilih karena pada fase ini larva sangat aktif, mulai makan banyak (rakus), dan menyebabkan kerusakan yang berat terhadap inangnya. Digunakan instar yang baru saja berganti kulit dan belum sempat memakan daun. Pada saat proses pergantian kulit larva cenderung tidak memakan daun (puasa). Karena itu, saat proses tersebut selesai merupakan waktu yang tepat untuk memberi pakan yang telah diberi perlakuan minyak atsiri uji.

Uji mortalitas pendahuluan (penapisan) dilakukan dengan menguji 15 jenis minyak atsiri pada konsentrasi 1% (b/v). Pengujian ini bertujuan mengetahui spesies Cinnamomum spp. yang memberikan aktivitas insektisida paling efektif. Uji mortalitas menunjukkan bahwa minyak atsiri dari C. celebicum, C.

multiflorum, C sintoc, dan C. verum

mempunyai aktivitas berturut-turut 21.45, 93.65, 60.30, dan 76.10% pada 48 JSP dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan setelah 72 JSP (Gambar 4). Minyak atsiri uji

(4)

dari keempat spesies tersebut memberikan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan 11 minyak atsiri uji lainnya yang hanya memberikan mortalitas ≤8.15% sehingga dianggap kurang toksik terhadap larva C. pavonana.

Berdasarkan daya bunuh yang terjadi pada 48 JSP, diketahui bahwa efek minyak atsiri bekerja secara cepat, dengan kematian cenderung konstan seiring lamanya waktu perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh cara masuknya racun serta mekanisme kerja minyak atsiri yang diduga sebagai racun saraf dengan mengganggu neuromodulator oktopamin dalam tubuh serangga target (Kostyukovsky et al. 2002). Minyak atsiri bekerja dengan menekan aktivitas sistem saraf, yaitu reseptor asam butirat γ–amino (GABA) sehingga menyebabkan hiper-aktivitas saraf maupun menyebabkan paralisis (kelumpuhan) (Djojosumarto 2006, Priestly et

al. 2003).

Volatilitas minyak astiri yang besar oleh karena kandungan monoterpena yang tinggi, menyebabkan minyak atsiri dapat berperan sebagai fumigan (racun inhalasi), yaitu racun yang bekerja melalui sistem pernafasan (Kim

et al. 2003). Minyak atsiri masuk kefdalam

tubuh serangga melalui sistem pernafasan dan selanjutnya ditransportasikan ke tempat racun

tersebut bekerja seperti pada sistem saraf. Buckle (1999) melaporkan adanya interaksi yang cepat dari komponen aroma minyak atsiri saat dihirup. Senyawa dalam minyak tersebut secara cepat berinteraksi dengan sistem saraf pusat dan langsung merangsang sistem olfaktori. Adanya aroma dari minyak atsiri juga ada yang memengaruhi aktivitas lokomotorik (Buchbauer et al. 1991).

Pengaruh Minyak Atsiri Terpilih terhadap Mortalitas dan Perkembangan

Larva C. pavonana  

Pengujian lanjutan dilakukan terhadap jenis minyak atsiri yang tidak meracuni tanaman dan memberikan persentase kematian yang tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, minyak atsiri dari spesies C. multiflorum dipilih untuk diuji lebih lanjut. Uji pendahuluan juga dilakukan pada C. multiflorum untuk menentukan rentang konsentrasi yang diharapkan dapat mematikan serangga uji antara 0% dan 100% (Dadang & Prijono 2005). Hasil uji pendahuluan disajikan pada Lampiran 6, dengan persen mortalitas pada konsentrasi 0.5% mencapai ≤100%. 0 0 0.05 1.70 2.80 12.67 31.55 0 4.70 1.65 93.65 1.15 4.45 63.65 14.60 76.10 0 20 40 60 80 100 M o rt a lit a s ( % )

kontrol BND BNK CMP CAS CASK CLB GRF INR JAV MLF PRC RHY STC SBV VRM

48 JSP 72 JSP

  Gambar 4 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan 15 jenis minyak atsiri Cinnamomum spp.

(BND: C. burmanii daun, BNK: C. burmanii kayu, CMP: C. camphora, CAS: C.

cassia, CASK: C. cassia komersial, CLB: C. celebicum, GRF: C. grandiflorum, INR: C. iners, JAV: C. javanicum, MLF: C. multiflorum, PRC: C. porrectum, RHY: C. rhynchophyllum, STC: C. sintoc, SBV: C. subavenium, VRM: C. verum).

(5)

Hasil pengujian lanjutan minyak atsiri C.

multiflorum pada 6 taraf konsentrasi

memberikan tingkat kematian pada 24 JSP dan meningkat pada 48 JSP (Gambar 5). Peningkatan kematian larva tidak terjadi lagi setelah 48 JSP, yaitu setelah pergantian daun tanpa perlakuan (bebas minyak atsiri uji). Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana tersebut menunjukkan bahwa bahwa senyawa aktif dalam minyak atsiri C. multiflorum bekerja relatif cepat, sehingga kematian lebih banyak terjadi pada instar II, yaitu sebelum instar mengalami pergantian kulit menuju fase berikutnya (Lampiran 7 & 8).

0 20 40 60 80 100 24 48 72 M o r ta lit a s ( % ) Waktu pengamatan (JSP) Kontrol 0.15% 0.23% 0.31% 0.39% 0.47% 0.55%

Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C.

pavonana pada perlakuan minyak

atsiri daun C. multiflorum. Gambar 5 memperlihatkan mortalitas yang meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi minyak atsiri uji. Keefektifan membunuh larva terlihat pada konsentrasi 0.31−0.55%, sedangkan konsentrasi 0.15 dan 0.23% belum cukup efektif. Nilai konsentrasi tersebut dapat disebut konsentrasi toleransi, yaitu batas konsentrasi yang masih dapat ditoleransi oleh serangga (Dadang & Prijono 2005).

Mortalitas larva C. pavonana pada konsentrasi 0.55% mencapai 75 hingga 96%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak atsiri C.

multiflorum berpotensi baik sebagai

insektisida nabati. Dadang & Prijono (2005) menyatakan bahwa insektisida nabati yang diekstraksi dengan pelarut organik memiliki potensi yang baik apabila pada konsentrasi ≤1% sudah dapat mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥80%.

Aktivitas insektisida minyak atsiri C.

multiflorum juga dibandingkan dengan

aktivitas insektisida minyak mimba

(Azadirachta indica, famili Meliaceae) pada 6 taraf konsentrasi. Mimba merupakan salah satu sumber insektisida botani berbahan aktif azadiraktin yang telah banyak diproduksi di India dan beberapa produk komersial insektisida telah terdaftar pada Komisi Pestisida (Prijono 2005a).

Berbeda dengan minyak atsiri C.

multiflorum yang cenderung memiliki efek

mortalitas yang cepat, mortalitas larva C.

pavonana yang diberi perlakuan minyak

mimba baru mulai terjadi pada hari kedua perlakuan dan meningkat hingga hari ke-11 pada konsentrasi 0.20−0.60% (Gambar 6). Konsentrasi terendah (0.10%) tidak memberi peningkatan mortalitas yang cukup signifikan.

0 20 40 60 80 100 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 M o r ta lita s ( % ) Waktu pengamatan (JSP) kontrol 0.10% 0.20% 0.30% 0.40% 0.50% 0.60%

Gambar 6 Perkembangan mortalitas larva C.

pavonana pada perlakuan minyak

mimba.

Mortalitas larva instar III akibat perlakuan minyak mimba ditemukan lebih banyak daripada instar II. Kematian larva instar II berkisar 1−36%, sedangkan kematian instar III berkisar 4−85% (Lampiran 7). Pada konsentrasi 0.60%, mortalitas larva instar II ditemukan pada hari kedua hingga hari ke-6 pengamatan, sebesar 36.67%. Sementara pada konsentrasi 0.20−0.40% mortalitas larva instar II hanya terjadi sampai hari ke-3 dan ke-4. Mortalitas instar III mulai terjadi pada hari ke-4 dan terus meningkat hingga akhir pengamatan (hari ke-14). Mortalitas instar III lebih banyak ditemukan pada konsentrasi 0.40%, kemudian diikuti oleh konsentrasi 0.50, 0.30, 0.20, dan 0.60%.

Minyak atsiri uji C. multiflorum memberikan efek yang seketika saat pengujian. Hal tersebut terlihat dari kematian yang ditunjukkan selama proses pemberian pakan dengan perlakuan. Namun, setelah pakan diganti tanpa perlakuan, serangga yang

(6)

masih mampu bertahan akan kembali normal dan dapat bertumbuh mencapai instar akhir. Serangga uji yang diberi perlakuan minyak mimba memberikan perlakuan yang berbeda. Kematian lebih banyak ditemukan setelah pergantian daun tanpa perlakuan, yaitu setelah serangga mengonsumsi daun perlakuan dan tercerna dalam tubuh.

Secara umum, mortalitas larva sebagian besar terjadi pada hari ke-4 hingga ke-11. Setelah itu, kematian hanya mengalami sedikit kenaikan hingga akhir pengamatan.Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam minyak mimba bekerja relatif lambat. Kandungan senyawa aktif dalam mimba antara lain azadiraktin, salanin, meliantriol, dan nimbin (Rukmana & Oesman 2002). Racun azadiraktin bekerja mengganggu proses fisiologis seperti mengganggu nafsu makan atau pertumbuhan serangga (Perry et al. 1998), serta bersifat sebagai racun perut, racun kontak, dan penolak hama. Meskipun efek kerja azadiraktin relatif lambat, namun setelah 7−10 hari setelah aplikasi serangga akan mati (Rukmana & Oesman 2002). Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan, larva mengalami peningkatan kematian hingga hari ke-11 pengamatan. Gunasena & Marambe (1998) menyebutkan bahwa minyak mimba efektif digunakan pada hama ulat kubis.

Toksisitas minyak atsiri C. multiflorum ditentukan sebagai konsentrasi letal (LC) pada jam setelah perlakuan yang masih memberikan kematian, yaitu 24 dan 48 JSP, sedangkan toksisitas minyak mimba

ditentukan pada konsentrasi yang mampu menyebabkan kematian pada instar II dan instar II+III. Minyak atsiri C. multiflorum memberikan LC50 kurang dari 0.50% yang

berarti cukup toksik. Sementara, LC95

menunjukkan nilai 0.67% pada 48 JSP dan 0.75% pada 24 JSP. Hasil analisis probit untuk semua perlakuan menunjukkan nilai LC50 dan LC95 pada 48 jam lebih kecil

dibandingkan dengan 24 jam (Tabel 3). Hal tersebut sesuai dengan pola perkembangan mortalitas larva yang meningkat pada 48 JSP

C. multiflorum lebih toksik jika daripada

minyak mimba. Nilai LC50 C. multiflorum

sebagai insektisida baru cukup mendekati nilai LC50 minyak mimba. Minyak mimba yang

memiliki cara kerja racun yang relatif lambat sehingga kematian terbanyak ditemukan pada perkembangan instar menuju dan mencapai instar III. Cara kerja racun dari C. multiflorum yang relatif cepat dapat memberikan keuntungan, yaitu mengurangi besarnya residu yang tertinggal pada tanaman yang terpajan.

Pengaruh minyak atsiri uji terhadap larva tidak hanya kematian akibat toksisitas, namun juga pengaruh terhadap perkembangan larva, yaitu kemampuan larva menuju tahap instar berikutnya. Kisaran perkembangan larva akibat pemberian ekstrak uji dapat dilihat pada Tabel 4. Lama perkembangan larva instar II ke III hasil perlakuan terhadap minyak atsiri berkisar 2.3−2.7 hari, sedangkan lama perkembangan larva kontrol berkisar 2 hari. Perkembangan larva instar II−IV berkisar 4.2−4.6 hari, sedangkan pada kontrol berkisar 4 hari.

Tabel 3 Pendugaan hubungan konsentrasi-mortalitas minyak atsiri C. multiflorum, minyak mimba, dan metileugenol terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode celup daun Bahan uji Waktu Pengamatan (JSP) a±GB a b±GBa (SK 95%)LC50 a (%) LC95 (SK 95%)a (%) 24 2.819 ± 0.256 9.475 ± 0.737 (0.462−0.586) 0.504 (0.628−1.251) 0.752 C. multiflorum 48 2.911 ± 0.178 7.230 ± 0.422 0.396 (0.337−0.466) 0.668 (0.540−1.226) Instar II 0.286 ± 0.250 4.085 ± 0.716 (0.675−1.639) 0.851 (1.269−10.732)2.152 Mimba Instar II+III 2.863 ± 0.890 4.079 ± 0.305 (0.138−0.251) 0.199 (0.380−0.898) 0.503 48 4.230 ± 0.440 9.663 ± 0.972 (0.346−0.388) 0.365 (0.477−0.704) 0.540 Metileugenol 72 4.092 ± 0.435 9.289 ± 0.957 (0.346−0.383) 0.363 (0.485−0.688) 0.545 aa = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan

(7)

Tabel 4 Pengaruh ekstrak C. multiflorum dan minyak mimba pada konsentrasi tertentu terhadap perkembangan larva C .pavonana.

aSD = standar deviasi. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05). Angka dalam kurung menunjukkan jumlah larva yang bertahan hidup.

Pengaruh minyak atsiri uji C. multiflorum pada konsentrasi 0.15 hingga 0.31% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil berbeda nyata terlihat pada konsentrasi 0.39−0.55%, baik pada perkembangan instar II III maupun II IV. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak uji

C. multiflorum di bawah nilai LC50 tidak

cukup memengaruhi proses perkembangan larva. Pada konsentrasi tersebut serangga uji menyerap senyawa asing dari ekstrak uji, namun tubuh serangga masih mampu menetralkan tanpa mengganggu kemampuannya untuk berganti kulit. Berbeda pada konsentrasi 0.39 hingga 0.55% C.

multiflorum serta minyak mimba pada semua

konsentrasi, tubuh serangga mendetoksifikasi senyawa yang terserap dalam tubuh dan sebagai akibatnya, perkembangan akan lebih lama daripada keadaan normal (Nenotek 2010).

Senyawa aktif azadiraktin pada minyak mimba tidak membunuh secara cepat, namun strukturnya mirip dengan ekdison, hormon yang mengatur metamorfosis serangga dari larva hingga pupa dewasa. Akibatnya, senyawa tersebut menghambat siklus sintesis hormon ini dalam tubuh serangga (Gunasena & Marambe 1998). Pada perlakuan ekstrak C. multiflorum, serangga uji tidak hanya mengonsumsi residu yang terdapat pada daun perlakuan, namun juga dipengaruhi oleh aroma minyak atsiri ekstrak uji. Kematian

serta pengaruh terhadap perkembangan larva diduga akibat aroma minyak atsiri yang memengaruhi sistem saraf serangga tersebut.

Identifikasi Komponen Minyak Atsiri dan Kegunaannya

Identifikasi yang dilakukan terhadap 15 jenis minyak atsiri dari 13 spesies menghasilkan 345 senyawa dan 117 senyawa di antaranya memiliki kemiripan karena ditemukan hampir di setiap sampel uji. Senyawa monoterpena ditemukan hampir di setiap spesies dengan komposisi terbesar berupa golongan monoterpenoid. C. burmanii,

C. cassia, dan C. cassia komersial memiliki

komposisi senyawa sinamaldehida terbanyak, yaitu berturut-turut 35.8, 27, dan 85%. Berdasarkan uji aktivitas sebelumnya, besarnya kandungan sinamaldehida pada ketiga sampel tersebut tidak menunjukkan efek insektisida yang cukup efektif terhadap mortalitas larva (Gambar 4). Meskipun mortalitas larva pada perlakuan C. cassia komersial lebih tinggi dan sebanding dengan banyaknya sinamaldehida yang dimiliki, senyawa tersebut tidak cukup toksik terhadap

C. pavonana.

Pada C. celebicum dan C. verum, eugenol ditemukan sebagai komponen utama. Pada tanaman yang memiliki lapisan malam epikutikular, eugenol menyebabkan penu-Lama perkembangan larva (hari) ± SDa

No Jenis perlakuan Konsentrasi

Instar II−III Instar II−IV

1 C. multiflorum Kontrol 2.02 ± 0.17 (89) a 4.00 ± 0.00 (89) a 0.15% 2.11 ± 0.37 (89) a 4.05 ± 0.25 (89) a 0.23% 2.03 ± 0.18 (89) a 4.02 ± 0.13 (89) a 0.31% 2.11 ± 0.29 (73) a 4.06 ± 0.17 (73) a 0.39% 2.31 ± 0.51 (44) ab 4.23 ± 0.43 (44) b 0.47% 2.36 ± 0.47 (38) bc 4.31 ± 0.44 (38) c 0.55% 2.70 ± 0.25 (22) c 4.64 ± 0.23 (22) c 2 Mimba Kontrol 2.07 ± 0.25 (88) a 4.14 ± 0.35 (88) a 0.10% 2.40 ± 0.49 (89) b 5.05 ± 0.60 (85) ab 0.20% 2.86 ± 0.35 (88) c 5.44 ± 1.48 (32) bc 0.30% 3.06 ± 0.28 (88) d 6.14 ± 2.03 (21) cd 0.40% 3.04 ± 0.33 (84) d 7.00 ± 2.00 (3) d 0.50% 3.08 ± 0.27 (74) d 6.20 ± 1.10 (5) cd 0.60% 3.93 ± 0.69 (55) e 10.00 ± 3.61 (3) e

(8)

runan senyawa elektrolit yang diindikasikan dengan rusaknya membran sel serta menghambat pertumbuhan benih secara signifikan (Isman et al. 2007). Karena itu, pada bibit brokoli yang diberi perlakuan ekstrak uji C. verum dan C. celebicum terlihat melepuh dan timbul bercak putih. Kandungan eugenol serta sinamaldehida pada C. verum diduga memberikan efek sinergis yang menyebabkan tingginya mortalitas larva (Gambar 4). Berbeda dengan C. celebicum yang walaupun komposisi utamanya eugenol (61.7%), tidak mengandung sinamaldehida sehingga tidak cukup toksik, dan mortalitas larva hanya mencapai 21.45%.

Komponen utama C. sintoc dan C.

subavenium adalah senyawa safrol, yakni

sebesar 62 dan 23.4%, dengan kandungan eugenol yang cukup berimbang, yaitu 3%. Pada uji sebelumnya, C. sintoc lebih toksik daripada C. subavenium. Pada Gambar 4, persentase kematian pada perlakuan ekstrak uji C. sintoc lebih besar dibandingkan dengan

C. subavenium. Demikian pula pada uji

fitotoksisitas, ekstrak C. sintoc menyebabkan lapisan daun melepuh, sedangkan C.

subavenium terlihat normal. Toksisitas C. sintoc tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya

senyawa benzil benzoat, yang tidak ditemukan pada C. subavenium. Menurut Jantan et al. (2005), kandungan benzil benzoat dan benzil salisilat pada minyak atsiri Cinnamomum spp. memberikan efek insektisida yang kuat pada pengujian terhadap nyamuk A. aegypti dan A.

albopictus. Safrol juga merupakan bahan

dasar dalam pembuatan heliotropin (piperonal), yaitu bahan dasar untuk sintesis piperonal butoksida (PBO). Senyawa ini berperan kritis sebagai sinergis bagi insektisida yang inti aktifnya piretrum alami (Sait & Lubis 1996).

Senyawaan fenol seperti safrol, eugenol, dan metileugenol memiliki toksisitas yang lebih baik dibandingkan dengan senyawaan monoterpena (Koul et al. 2008). Spesies yang memiliki senyawaan tersebut memberikan aktivitas insektisida lebih tinggi, berturut-turut

C. sintoc, C. verum, dan C. multiflorum,

namun efek fitotoksik tidak ditemukan pada perlakuan ekstrak uji C. multiflorum. Kandungan metileugenol dalam C.

multiflorum sebesar 49.4% (Lampiran 9).

Hasil ini berbeda dengan penelitian Thantsin

et al. (2008) yang menyebutkan kandungan

utama dalam C. multiflorum dari Myanmar ialah sinamaldehida sebesar 29.57%. Perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan geografi tempat tumbuh. Tambahan pula,

spesies C. burmanii kulit kayu, C. porrectum, dan C. javanicum dengan kandungan utama monoterpena seperti o-simena, sabinena, dan

α-kopaena tidak memberikan aktivitas

insektisida yang tinggi.

Identifikasi dan Uji Aktivitas Senyawa Aktif

Hasil GCMS terhadap minyak atsiri terpilih (C. multiflorum) memperlihatkan area terbesar diperoleh pada puncak senyawa metileugenol, yaitu sebesar 49.4% dengan waktu retensi 25.14 menit (Lampiran 10). Pada waktu retensi tersebut diperkirakan suhu mencapai ±140 ºC, yang menandakan metileugenol menguap pada suhu tersebut. Fragmentasi yang diperoleh memiliki kesamaan dengan pustaka dengan qual 98% (Lampiran 11), serta dengan metileugenol pembanding. Berdasarkan hasil identifikasi GCMS diketahui komponen penyusun minyak atsiri C. multiflorum didominasi oleh golongan fenol (Lampiran 9). Komponen utamanya antara lain metileugenol (49.4%), linalool (6.4%), α-selinena (5.4%), (±)-7-epi-amitol (4.0%), β-kubebena (3.6%), p-eugenol (3.5%), β-selinena (3.3%), dan β–feladrena (2.8%).

Berdasarkan analisis GCMS menggunakan metode pemantauan ion selektif (SIM), dapat diketahui besarnya kadar metileugenol dalam minyak atsiri C. multiflorum. Sebagai pembanding, digunakan produk insektisida yang diketahui memiliki kandungan senyawa aktif metileugenol sebesar 76.35% ≈ 0.7635 g/mL. Kurva standar menunjukkan nilai regresi 0.964 dengan kadar metileugenol dalam C. multiflorum sebesar 62.83% ≈ 0.6283 g/mL (Lampiran 13).

Senyawa aktif metileugenol juga diuji aktivitas insektisidanya terhadap C. pavonana. Berdasarkan percobaan dengan 6 taraf konsentrasi, diperoleh pola yang hampir sama dengan aktivitas insektisida C. multiflorum, yaitu reaksi mematikan yang cepat pada 24 hingga 48 JSP dan setelah 72 JSP cenderung konstan (Gambar 7 dan Lampiran 12). Jika minyak atsiri C. multiflorum menyebabkan kematian pada konsentrasi ≥31%, kematian oleh metileugenol sudah mulai ditunjukkan pada konsentrasi terendah, yaitu 0.28% dan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi minyak atsiri uji.

(9)

0 20 40 60 80 100 24 48 72 Mo r ta li t a s (% ) Waktu pengamatan (JSP) Kontrol 0.28% 0.31% 0.34% 0.37% 0.40% 0.43%      

Gambar 7 Perkembangan mortalitas larva C.

pavonana pada perlakuan

metileugenol.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa senyawa aktif metileugenol memiliki nilai LC50 sebesar 0.365% pada 48 JSP dan 0.363%

pada 72 JSP. Dibandingkan dengan LC50 C.

multiflorum (Tabel 3), dengan nilai LC50

0.504% atau ekuivalen dengan 0.32% metileugenol (24 JSP), dan 0.396% atau 0.24% metileugenol (48 JSP), maka minyak atsiri C. multiflorum lebih bersifat bioaktif. Hal tersebut memperlihatkan bahwa mortalitas yang diperoleh turut dikontribusi oleh adanya senyawa lain dalam minyak atsiri tersebut. Metileugenol (Gambar 8) merupakan feromon alami yang dapat menarik serangga sehingga dimanfaatkan sebagai atraktan pada dosis rendah.

Gambar 8 Struktur metil eugenol.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengujian 15 jenis minyak atsiri dari 13 spesies, spesies C.

multiflorum memiliki aktivitas insektisida

tertinggi, rendemen terbesar, dan tidak fitotoksik terhadap bibit brokoli. Ekstrak tersebut memiliki toksisitas cukup kuat dengan nilai LC50 sebesar 0.396% (48 JSP)

dan 0.504% (24 JSP), serta menghambat perkembangan larva pada konsentrasi ≥0.31%. Toksisitas ekstrak tersebut lebih lemah jika dibandingkan dengan minyak mimba.

Sebanyak 345 senyawa teridentifikasi dengan GCMS, dan 117 di antaranya dimiliki oleh hampir semua minyak atsiri uji. Metileugenol merupakan komponen utama minyak atsiri daun C. multiflorum yang memberikan aktivitas insektisida. Perbandingan LC50 minyak atsiri C.

multiflorum dan metileugenol menunjukkan

bahwa senyawa lain dalam minyak atsiri turut berkontribusi pada aktivitas insektisida sehingga minyak atsiri tersebut lebih berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pengendalian hama C. pavonana dibandingkan dengan senyawa murni metileugenol.

Saran

Perlu dilakukan pengujian di lapangan untuk mengevaluasi efektivitas minyak atsiri serta kestabilan bahan di lingkungan serta pengujian lebih lanjut guna melihat mekanisme kerja racun terhadap tubuh target. Isolasi senyawa aktif lebih lanjut juga diperlukan guna mengetahui aktivitas senyawa aktif bahan tersebut. Selain itu, proses pengeringan serta penyulingan perlu ditingkatkan untuk mendapat mutu minyak terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun & biji Tephrosia

vogelii J. D. Hooker (Leguminosae) &

ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) Lepidoptera Crambidae. J HPT

Tropika 10:1-12.

Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan

Tropika Indonesia. Bandung: ITB Pr.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of

Analysis. Ed ke-15. Maryland: AOAC Int.

Buchbauer G, Jager W, Dietrich H, Plank CH, Karamat E. 1991. Aromatic evidence for sedative effect of essential oil of lavender after inhalation. J Biosci 460:1067-1072.

Gambar

Tabel 1  Hasil pengukuran indeks bias dan warna minyak atsiri dari 15 jenis sampel Cinnamomum  spp
Tabel 2   Gejala fitotoksisitas pada bibit  brokoli yang diberi perlakuan  minyak atsiri Cinnamomum spp
Gambar 5 memperlihatkan mortalitas yang  meningkat seiring dengan meningkatnya  konsentrasi minyak atsiri uji
Tabel 3  Pendugaan hubungan konsentrasi-mortalitas minyak atsiri C. multiflorum, minyak mimba,  dan metileugenol terhadap larva instar II C
+3

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Vitrifikasi dengan metode kriolup dapat dipakai untuk kriopreservasi embrio tanpa membuat embrio tersebut

Skripsi yang berjudul Korelasi Antara Bauran Pemasaran dengan Minat BerkunjungTan (Studi Pada Calon Pengunjung Agrowisata Kampung Coklat di Kab. Blitar) disusun untuk

Dalam rangka menjamin pasien memperoleh pelayanan asuhan keperawatan berkualitas, maka perawat sebagai pemberi pelayanan harus bermutu, kompeten, etis

dan elektrokimia (1) Absorbansi yang lebih kuat pada gelombang eksitasi daripada bahan lain yang ada, seperti reduktan dan katalis, jika memungkinkan akan lebih baik pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara upah (X3) terhadap produktivitas kerja karyawan Perum Perhutani Industri Kayu Brumbung

Abstrak : Kajian ini dijalankan untuk membuat perbandingan intensiti perlawanan di kalangan atlet bola jaring mengikut kumpulan posisi pemain penyerang, tengah dan pertahanan

Agar penulisan skripsi ini dapat terarah dan pembahasannya juga tidak mengambang serta tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkannya, maka penulis akan membatasi

Perhitungan produksi pergerakan dapat dilakukan dengan analisis: produksi km, produksi rit, produksi penumpang orang, dan produksi penumpang km (seat-km). Berdasarkan prinsip