• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

III. A. COPING STRES

III. A. 1. Defenisi Stres

Stres adalah keadaan atau kejadian yang menimbulkan ketidaknyamanan atau situasi tertekan melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya (Lazarus, 1999). Menurut Atkinson (2000) stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Menurut Sarafino (1998), stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi yang membuat individu mampu menerima ketidakcocokan diantara tuntutan psikologis dan fisiologis dari situasi dan dari sumber sistem biologis, psikologis atau sosial dari orang tersebut.

Stress adalah tekanan internal maupu eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (Ridho Hudayana, 2011). Tekanan internal dalam hal ini misalnya, pikiran ibu tentang hal-hal negative yang terjadi jika suaminya menikah lagi dan tekanan eksternal dalam hal ini misalnya hubungan ibu yang kurang baik dengan keluarga suaminya dan adanya konflik dalam keluarga.

Penyebab Stres disebut stressor. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada

(2)

situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992).

Menurut Lazarus & Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik dalam hal ini misalnya, kekerasan yang dialami ibu dalam rumah tangga atau masalah ekonomi keluarga dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial seperti interaksi sosial dalam hal ini misalnya, masalah adaptasi dengan pasangan, mertua, saudara ipar, konflik peran yang dialami ibu dalam keluarga. Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.

Cooper Cary & Straw Alison (1995) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:

1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat, gelisah, kondisi tubuh lemah dan gangguan kesehatan lainnya.

2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.

3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi

(3)

rawan, pendiam, merasa tidak berarti, merasa bersalah, dan penjengkel menjadi meledak-ledak

Dalam kondisi seperti ini diperlukan strategi coping stress dalam menghadapi masalah dan konflik tersebut. Lazarus & Folkman (1986) mendefenisikan coping sebagai segala usaha untuk mengurangi stres, yang merupakan proses pengaturan atau tuntutan (eksternal maupun internal) yang dinilai sebagai beban yang melampaui kemampuan seseorang.

III. A. 2. Defenisi Coping Stres

Keadaan yang diakibatkan oleh kondisi stres seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman dan situasi tertekan. Oleh karena itu, manusia termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres yang disebut juga dengan coping. Menurut Taylor (2009) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Stone & Neale (dalam Rice, 1992) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan. Coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya (Blair, 1998).

Coping stres itu adalah usaha atau strategi dalam mengatasi tuntutan atau tekanan yang menyebabkan stress. Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku

(4)

adaptif otomatis, karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1986).

Berdasarkan beberapa defenisi Coping menurut beberapa tokoh tersebut, peneliti menyimpulkan coping sebagai upaya individu mengontrol reaksi mereka terhadap stres. Berbicara mengenai coping tidak terlepas dari alasan seseorang untuk melakukannya, dan ini terkait dengan stress yang dialami individu.

III. A. 3 Strategi Coping Stres

Gowan (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dihasilkan dari sumber stres. Dodds (1993) mengemukakan bahwa pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.

Menurut Lazarus & Folkman (1986), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi

(5)

Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

a) Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.

b) Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

2) Emotion Focused Coping

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.

a) Self-control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

b) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau

(6)

menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai candaan.

c) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

d) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.

e) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Individu cenderung untuk menggunakan problem focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1986). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut

(7)

secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (Taylor, 2009).

II. A. 3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Menurut Mutadin (2002) cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi :

a. Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

b. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping.

c. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

(8)

e. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

III. B. GAYO

III. B. 1. Sejarah Gayo

Kata Gayo berasal dari kata : “Pegayon” artinya tempat mata air yang jernih dimana tempat ikan suci hidup. Kebudayaan Gayo telah ada sejak orang Gayo bermukim diwilayah dataran tinggi Gayo dan mulai berkembang pada masa Kerajaan Linge pertama abad-X Masehi. Kebudayaan Gayo meliputi aspek kekerabatan, komunitas sosial, pemerintahan, pertanian, kesenian dan lain-lain. Adat istiadat sebagai unsur kebudayan Gayo menganut prinsip “keramat mupakat behu berdedele” (kemuliaan karena mufakat, berani karena bersama), “tirus lagu gelas, bulet lagu umut, rempak lagu re, susun lagu belo” (yang artinya tentang persatuan), “nyawa sara pelok, ratip sara anguk” (yang artinya tentang hubungan bathin). Ada banyak lagi kata-kata pelambang yang mengandung makna kebersamaan dan kekeluargan serta keterpaduan, yang merupakan ciri khas masyarakat Gayo (dikutip dari Budaya Aceh, 2000).

(9)

III. B. 2 Masyarakat Gayo

Suku bangsa Gayo mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini yang banyak mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo laut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang. Dalam hal hukum adat di kalangan masyarakat Gayo masih memegangnya dengan kuat, seperti pepatah gayo “murib I kandung adat sedangkan menasa I kandung hukum” yang artinya “Hidup di dalam adat, mati di dalam Islam” (dikutip dari Suku Gayo 2009).

III. B. 3 Tradisi Gayo

Hurgronje (dalam Aman Asnah, 1996) mengungkapkan bahwa tradisi masyarakat Gayo yang diungkapkan dalam berbagai pepatah dan ungkapan adatnya, jika dilihat sepintas lalu kadang-kadang mengandung pengertian yang mirip teka-teki. Akan tetapi, bagaimanapun juga kata-kata adat itu merupakan pegangan hukum. Sebab dalam sistem budaya (cultural system) Gayo pada dasarnya bermuatan pengetahuan, keyakinan, nilai agama, norma, aturan, hukum yang menjadi acuan bagi tingkah laku dalam kehidupan suatu masyarakat.

Lebih dari itu Hurgronje (dalam Aman Asnah, 1996) juga mengatakan bahwa adat, sebagai pedoman sehari-hari merupakan hasil yang dipraktekkan dari

(10)

pengalaman hidup, dari masalah-masalah yang dihadapi, dari tata cara yang ditemui, yang pada akhirnya dijadikan suatu ketetapan hukum yang terus hidup dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu, adat Gayo sejak zaman dahulu telah bermukim dilubuk hati masyarakatnya, karena para leluhur mereka pada zamannya menjadikan budaya dan adat mereka jadikan panutan dan falsafah hidup mereka, baik dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara, atau dalam arti yang lebih sederhana dalam hidup bermasyarakat (Syukri, 2007)

Mayarakat Gayo memiliki budaya atau adat istiadat sebagai undang-undang dan falsafah hidup mereka. Salah satu ciri khas yang sangat menonjol dari mereka adalah kepribadian yang keras dalam memegang adat-istiadat dan mempertahankan sendi-sendi ajaran agama Islam untuk diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan (Syukri, 2007)

Menurut H. Abdullah Husni dalam buku Sarakopat karangan Syukri (2007) sistem yang berlaku di Tanah Gayo adalah suatu sistem berdasarkan hukum adat. Hukum adat tidak tertulis, merupakan pancaran dari hukum islam yang tertulis, berdasarkan Alquran dan Hadis. Hubungan hukum adat dan hukum agama terjalin sangat erat, sebagaimana diungkapkan dalam kata-kata adat Gayo “Ukum ikanung edet, edet ikanung ukum”. Artinya setiap hukum mengandung adat, dan setiap adat mengandung hukum. Dalam kata lain disebutkan “agama i barat empus, edet i barat peger”. Artinya agama Islam laksana kebun, adat laksana pagar.

(11)

III. B. 4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Gayo

Menurut Prodjodikoro (2000) masyarakat Gayo menganut sistem patrilineal (yaitu bersifat kebapaan), dimana pada prinsipnya ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki.

Hurgronje (dalam Aman Asnah, 1996) sistem patrilineal yaitu susunan pertalian menurut garis keturunan lurus bapak, kakek dan seterusnya ke atas. Dalam sistem kekerabatan patrilineal hanya kaum pria yang meneruskan keturunan kepada anak dan keturunannya. Oleh karena itu anak laki-laki sangat didambakan dalam setiap keluarga di Gayo, sebab mereka inilah yang akan meneruskan keturunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun ciri-ciri atau karakteristik patrilineal masyarakat Gayo diantaranya adalah :

1. Berasal dari keturunan lurus bapak, dalam percakapan sehari-hari sering disebut Sara ine (anak yang berasal dari pernikahan ayah dan ibu yang sama).

2. Kesatuan antara anggota-anggota satu belah (clan) dengan sebutan Sara reje (dibawah pimpinan seorang raja).

3. Dilarang melakukan perkawinan anatara anggota yang berasal dari satu belah, apalagi antara anak putra saudara perempuan ayah dengan putri saudara laki-lakinya.

(12)

4. Dalam pembagian harta warisan, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan (Aman Asnah, 1996).

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Gayo sangatlah penting, jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki kemungkinan besar yang dianggap salah adalah para istri atau ibu. Oleh karena itu ibu yang memiliki anak laki-laki akan merasakan dampak dari peraturan adat Gayo tersebut.

III. C. Coping Stres pada Ibu yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki

Kondisi yang bisa menimbulkan tekanan pada wanita Gayo adalah tidak memiliki anak laki-laki mengingat bahwa peran anak laki-laki itu sangat penting, sesuai dengan adat patrilineal yang mereka anut (Halim Tosa, 2000). Ketika sorang istri tidak mampu menghasilkan keturunan laki-laki ia akan dihadapkan pada kondisi bahwa suaminya diminta menikah lagi oleh pihak keluarga suami dan harta bersama mereka akan dibagi dengan pihak keluarga suami, yang biasa disebut dengan hak wali (Mahmud Ibrahim, 2005). Belum lagi ditambah dengan persoalan lain di luar konteks budaya misalnya permasalahan ekonomi keluarga, kondisi ini harus diantisipasi mengingat tidak semua wanita siap dengan tekanan adat seperti ini.

Pada penelitian ini responden F dan responden M sama-sama mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari keluarga suami mereka, karena mereka sama-sama sulit mendapatkan anak. Perlakuan keluarga suami mereka

(13)

semakin tidak baik setelah mereka tidak mendapatkan anak laki-laki. Keadaan tersebut akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan tertekan pada masing-masing responden yang memungkinkan mereka mengalami stres.

Stres yang tidak dikelola dengan baik bisa mengakibatkan berbagai gangguan pada fisik, misalnya hilangnya nafsu makan, gangguan tidur, penyakit jantung dan stroke (Irina Damayanti & Lutfi Puji Astuti, 2010). Sementar untuk mencari dukungan sosial dari pihak keluarga ibu tersebut, bukan hal yang mudah mengingat sejak menikah mereka sudah dianggap menjadi bagian keluarga suami mereka (Melalatoa, 2000). Oleh karena itu biasanya seorang manusia akan memiliki kemampuan untuk melakukan coping ketika menghadapi tekanan.

Ibu akan mengalami tekanan dimana kondisi stres muncul karena ancaman dari peristiwa negatif. Misalnya, merasa tertekan karena suami diminta menikah lagi dan adanya pembagian harta bersama dengan keluarga suami. Istri juga mengalami frustrasi, dimana kondisi stres akan muncul ketika individu tidak dapat memenuhi suatu keinginan. Misalnya, ibu hanya mendapatkan peran yang kecil dalam keluarga dan kesempatan berpendapat yang diberikan oleh keluarga suami sangat kecil.

Dalam mengatasi stres yang dialami ibu yang tidak memiliki anak laki-laki, mereka harus memiliki coping stres. Coping stres yang mereka lakukan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Menurut Blair (1998) coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya. Strategi coping stres yang digunakan mungkin berbeda-beda pada

(14)

setiap individu. Begitu juga dengan responden F dan responden M ada kemungkinan mereka menggunakan strategi coping yang berbeda.

(15)

III. D. Paradigma Penelitian

Kedudukan Wanita

(Kedudukan Wanita di Gayo sangatlah tinggi karena mereka dianggap sebagai sumber kehidupan)

Wanita Gayo Harus Memiliki Keturunan Laki-laki, karena di Gayo anak laki-laki adalah penerus garis keturunan

(Kekerabatan Patrilineal)

Ibu yang tidak memiliki memiliki anak laki-laki mengalami tekanan secara internal maupun eksternal. Tekanan yang tidak di atasi dengan baik akan menjadi stress.

Stres yg tidak dikelola dgn baik akan menimbulkan berbagai dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis, untuk menghindari hal tersebut diperlukan adanaya coping stress.

Bagaimana gambaran strategi coping stress pada ibu yang tidak memiliki anak laki-laki?

Ibu yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki di Gayo Tekanan yg dialami ibu yg tidak memiliki anak laki-laki di Gayo (sumber stres)

1. Suami diminta menikah lagi (Ibu merasa sedih karena hal ini)

2. Kehilanga peran dan hak sebagai istri (Ibu merasa tidak berguna dan tidak dianggap

dalam rumah tangganya)

3. Ada perasaan tertekan saat berada di tengah keluarga suaminya (Ibu di tuntut untuk

memiki anak laki-laki, oleh karena itu ibu mengalami tekana baik secara eksternal maupun internal

4. Merasa sedih karena dilakukan berbeda oleh keluarga suami (Ibu mendapatkan

perlakuan tidak menyenangkan dari mertua dan ipar-iparnya, karena ibu tidak memiliki anak laki-laki)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Arsitektur Sistem Pemantauan Aktivitas Pengguna Pada Jaringan Client-Server Komputer client berisi aplikasi viewer/ client bertugas mengendalikan kerja seluruh sistem

Koefisien parameter dan persen signifikansi kelarutan sodium lignosulfonat disajikan dalam Tabel4. Konsentrasi sodium bisulfit berpengaruh positif dengan persen

Skripsi yang berjudul, “Hubungan antara Faktor Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan dengan Perilaku Anten atal Care di Puskesmas Kassi Kassi Makassar” yang disusun oleh

diperoleh kesimpulan sebagai berikut : tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan model latihan fisik menggunakan bola dan model latihan fisik tanpa

Dan pada intensitas cahaya yang tinggi biasanya berkorelasi positif dengan suhu, dan suhu akan mempengaruhi kerja enzim, untuk tanaman jagung manis suhu yang

Hasil pada run 5 dengan kondisi operasi waktu ozonasi 40 menit, pH reaksi 4 dan laju alir gas ozon 2 liter / menit menunjukkan bahwa perlakuan ozonasi mampu mendegradasi kadar

Untuk menentukan apakah terdapat perbedaan signifikan atau tidak dari kedua hasil perhitungan cadangan tersebut, maka kedua hasil dari penelitian dengan lubang