• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. organisasi, yaitu bergantinya posisi dengan keluarnya pemegang jabatan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. organisasi, yaitu bergantinya posisi dengan keluarnya pemegang jabatan dan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Turnover 2.1.1 Pengertian turnover

Secara umum, turnover mengacu pada perubahan dalam keanggotaan organisasi, yaitu bergantinya posisi dengan keluarnya pemegang jabatan dan diganti oleh orang baru. Dalam penggunaan istilah khusus, turnover mengacu pada keluarnya anggota organisasi (Jewell, 1985) baik pada awal atau akhir dari kontrak kerja (Swansburg, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mathis dan Jackson (2001) yang menyatakan turnover adalah proses dimana tenaga kerja meninggalkan organisasi dan harus ada yang menggantikannya. Swanburg (2000) juga menyebutkan bahwa turnover merupakan pergerakan karyawan dari organisasi atau institusi perawatan kesehatan hasil dari pengunduran diri, transfer keluar dari unit organisasi, pembuangan, pensiun dan kematian. Mobley (1982) mendefinisikan turnover adalah keluarnya karyawan dari suatu organisasi dan disertai dengan pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan.

Menurut Gillies (1989) turnover tahunan keperawatan adalah persentase dari perawat yang dipekerjakan yang meninggalkan pekerjaan mereka selama waktu satu tahun. Rumus untuk menghitung tingkat turnover adalah sebagai berikut:

Annaul Turnover rate = 𝒏𝒐 𝒐𝒇 𝒗𝒐𝒍𝒖𝒏𝒕𝒂𝒓𝒚 𝒕𝒆𝒓𝒎𝒊𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒔 𝒑𝒆𝒓 𝒂𝒏𝒏𝒖𝒎

(2)

Turnover ada dua jenis yaitu turnover sukarela dan tidak sukarela (Jones, 1990; Mathis & Jackson, 2001; Robbins & Coulter, 2010). Turnover sukarela terjadi pada saat karyawan meninggalkan organisasi atas permintaan sendiri yang disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya tantangan, peluang karir, gaji, pengawasan, letak geografis, dan tekanan. Turnover tidak sukarela dipicu oleh karyawan yang tidak sesuai dengan kebijakan organisasi dan peraturan kerja, sehingga tidak memenuhi standar kinerja yang diharapkan (Mathis & Jackson, 2001). Mathis dan Jackson (2001) juga menyebutkan tidak semua turnover negatif bagi suatu organisasi. Kehilangan beberapa karyawan kadang memang diinginkan apabila karyawan yang keluar adalah yang kinerjanya rendah (Mathis & Jackson, 2001). Tetapi tetap saja kerugian yang ditimbulkan dari turnover lebih besar dari pada keuntungannya (Gillies, 1989).

Gillies (1989) menyatakan bahwa keluarnya perawat dari rumah sakit dikatakan normal berkisar antara 5 -10% per tahun, dikatakan tinggi apabila lebih dari 10%. Menurut Capko (2001), berkisar dibawah 15% dalam lima tahun berturut-turut, jika lebih dari 20% maka dikatakan tinggi. Pergantian beberapa perawat diperlukan organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi, menciptakan inovasi baru melalui pengetahuan, ide-ide, dan teknologi baru melalui staf baru (Mobley, 1982).

2.1.2 Penyebab turnover

Sellgren, et al. (2009) mengidentifikasi empat faktor utama yang memiliki pengaruh pada turnover yaitu nilai-nilai intrinsik motivasi, beban kerja, ukuran unit dan kepemimpinan.

(3)

Nilai-nilai intrinsik dari motivasi. Motivasi merupakan masalah penting dan kompleks bagi manajemen personalia di fasilitas pelayanan kesehatan (Janssen, De Jonge, Bakker, 1999). Speedling (1990 dalam Janssen, et al., 1999) mengungkapkan bahwa ketertarikan orang untuk bekerja pada perawatan kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh reward eksternal seperti gaji, namun juga dipengaruhi oleh motivasi instrinsik. Nilai-nilai instrinsik dari motivasi mengacu kepada ketika seseorang secara internal termotivasi untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan atau penting bagi mereka. Hal ini terkait dengan diri pribadi atau dari kegiatan itu sendiri (Sellgren, et al., 2009). Faktor ini meliputi kategori seperti pengakuan, partisipasi, isi pekerjaan dan pengembangan kompetensi (Sellgren, et al., 2009). Menurut Scott, Sochalski, Aiken (1999); Kramer dan Schmalenberg (2004), kurangnya perasaan dihargai bisa berhubungan dengan kurangnya otonomi dalam praktek keperawatan. Jika manajer mendukung, menghormati dan mengakui prestasi perawat, hal ini dapat meningkatkan semangat perawat yang menyebabkan peningkatan kepuasan kerja dan motivasi (Lephalala, 2006).

Beban kerja. Beban kerja bisa berbentuk beban kerja berlebih/terlalu sedikit secara kuantitatif yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit secara kualitatif yang timbul jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja. Beban kerja bisa berupa persepsi individu (intrinsik), tetapi bisa juga berupa akibat dari kekurangan

(4)

yang nyata (ekstrinsik). Beban kerja berlebih secara kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kelelahan dan stres yang bisa mempengaruhi turnover (McCarthy, Turrell, Cronin, 2002). Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik maupun mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengurangan gerak akan menimbulkan kebosanan dan rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2007). Pengelolaan tenaga kerja yang tidak direncanakan dengan baik dapat menyebabkan keluhan yang subyektif, beban kerja semakin berat, tidak efektif dan tidak efisien yang memungkinkan ketidakpuasan bekerja yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya kinerja dan produktivitas serta mutu pelayanan yang merosot (Gillies, 1989). Beban kerja berlebihan secara konsisten meningkatkan ketegangan kerja dan mengurangi kepuasan kerja, yang pada gilirannya, meningkatkan kemungkinan turnover (Davidson et al., 1997; Tai et al., 1998; Hemingway & Smith, 1999; Strachota et al., 2003 dalam Hayes, et al., 2006). Hal ini didukung oleh penelitian Siagian (2009); Hayajneh, et al. (2009); O Brien-Pallas, et al. (2010); dan Cho, et al. (2012) dimana salah satu faktor yang mempengaruhi turnover yaitu ketidakpuasan kerja.

Ukuran unit. Hasil penelitian Sellgren, et al. (2009) menunjukkan bahwa turnover lebih rendah pada unit-unit kecil dengan sejumlah staf maksimal

(5)

sebanyak 25 orang. Dalam unit-unit besar, anggota staf sebagian besar diatur dalam tim kerja yang dipimpin oleh seorang pemimpin tim. Laporan dalam focus group discussion (FGD) menunjukkan bahwa akan lebih mudah untuk mendapatkan pengakuan, untuk berpartisipasi, untuk lebih dekat dengan manajer dan untuk mengembangkan penghargaan dalam kelompok kerja dalam unit kecil atau tim kerja yang lebih kecil.

Kepemimpinan. Perilaku manajer perawat memiliki dampak yang besar pada iklim kerja, kepuasan dan niat untuk meninggalkan atau tetap bekerja bagi staf perawat. Selain itu, manajer harus jujur, jelas dan mampu mendorong unit ke depan. Manajer harus mampu menerapkan struktur dan menetapkan tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan, sambil mendukung dan mendengarkan staf (Sellgren, et al., 2009). Gullatte dan Jirasakhiran (2005) juga menyatakan bahwa perilaku perawat manajer adalah penting untuk mempertahankan staf perawat di rumah sakit, manajer adalah kunci nyata untuk mencapai tujuan ini. Strachota, et al. (2003 dalam Maboko, 2011) menunjukkan bahwa 37% dari perawat meninggalkan pekerjaannya karena tidak mendapatkan dukungan dari manajernya. Perawat juga berpendapat bahwa ketika manajer mengharapkan perawat untuk bekerja ekstra, manajer sendiri tidak melakukannya. Gaya kepemimpinan manajer berpengaruh terhadap sikap perawat. Menurut Koukkanen dan Katajisto (2003 dalam Maboko, 2011), kepemimpinan otoriter merupakan hambatan untuk pemberdayaan keperawatan. Kepemimpinan otoriter tidak meningkatkan fungsi penting dari manajemen perawat seperti mendengarkan, memberdayakan, manajemen konflik, memperjuangkan perawat, kerja sama tim,

(6)

komunikasi dan kepemimpinan atau menjadi agen perubahan. Banyak perawat yang dipimpin oleh para pemimpin otokratik dan tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Faktor lain yang mempengaruhi turnover yaitu lokasi rumah sakit (Hayajneh, et al., 2009), karakteristik rumah sakit, hubungan interpersonal, lingkungan kerja fisik (Cho, et al., 2012), dukungan tim, efektivitas profesional (O Brien-Pallas, et al., 2010).

Lokasi rumah sakit mempengaruhi tingkat turnover perawat. Tingkat turnover di kalangan RNS di rumah sakit perkotaan lebih tinggi dibandingkan di rumah sakit pedesaan (Hayajneh, et al., 2009). Hal ini terkait dengan sedikitnya rumah sakit yang terdapat di pedesaan, sehingga RNS yang tidak mendapatkan pekerjaan di rumah sakit pedesaan akan mencari peluang ke rumah sakit perkotaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Hayajneh, et al. (2009) bahwa faktor yang menentukan rendahnya turnover di pedesaan karena sebagian besar RNS adalah penduduk daerah tersebut dan rumah sakit mereka adalah satu-satunya di wilayah tersebut. Sebaliknya, rumah sakit di perkotaan memiliki tingkat turnover tinggi, karena perawat di sana memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Hasil penelitian Hayajneh, et al. (2009) menunjukkan bahwa hubungan interpersonal mempunyai dampak yang besar terhadap turnover. Membangun hubungan interpersonal yang baik sangat penting untuk perawat lulusan baru untuk tetap bertahan pada pekerjaan pertamanya. Manajer perawat perlu

(7)

memainkan peran kunci untuk mendukung lulusan baru untuk mengembangkan hubungan interpersonal antara staf perawat dan petugas rumah sakit lainnya.

Penelitian AbuAlRub (2004) menunjukkan bahwa hubungan dengan rekan kerja dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan niat untuk tetap bekerja. Juga didukung oleh penelitian McNeese-Smith (1999) dimana sikap negatif dari rekan kerja dan kritik dari rekan kerja dapat menyebabkan ketidakpuasan.

Hasil penelitian menunjukkan tiga alasan utama perawat meninggalkan keperawatan yaitu jam kerja yang lebih nyaman (46%), pekerjaan yang lebih menguntungkan secara profesional (47,2 %), dan gaji yang lebih baik (35,0 %) di tempat kerja baru sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Keamanan kerja juga menjadi faktor penentu ketidakpuasan kerja yang menyebabkan perawat meninggalkan pekerjaan mereka. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Toni (2007) dimana karyawan yang merasakan tingkat rendah keamanan kerja dalam pekerjaan mereka saat ini dapat termotivasi untuk mencari pekerjaan dalam organisasi di mana mereka percaya tingkat keamanan yang lebih besar dari pekerjaan mereka saat ini.

Hunt (2009) mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan turnover adalah merasa kewalahan, tidak mampu mengelola beban kerja; kurangnya kejelasan peran dan kontrol rendah atas kinerja, merasa tidak dihormati dan dihargai atas kontribusi dan kemampuannya; komunikasi yang buruk dengan manajemen seputar isu-isu penting yang mempengaruhi pekerjaan; tidak menerima pengakuan atau penghargaan untuk prestasi; kurangnya peluang karir dan dukungan untuk pengembangan karir; kurangnya kepercayaan dan kolaborasi

(8)

yang efektif dengan rekan kerja; jadwal kerja tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau harapan, serta pekerjaan yang terlalu menuntut fisik.

2.1.3 Dampak turnover

Turnover perawat yang tinggi meningkatkan pengeluaran finansial yang tinggi, menurunkan moral, mengganggu fungsi tim, dan hilangnya potensial manajemen (Gillies, 1989). Biaya tambahan untuk mengganti perawat berkisar dari $ 10.000 USD sampai dengan $ 60.000 USD per perawat terdaftar (RN) tergantung pada spesialisasi perawat (Hayes et al., 2006). Strachota, et al. (2003) mengutip biaya sebesar $ 42.000 USD untuk mengganti tenaga medis atau perawat bedah dan $ 64 000 USD untuk mengganti spesialisasi perawat. Turnover juga menimbulkan beban kerja tambahan perawat yang masih bertahan dan akan mempengaruhi semangat dan kesejahteraan mereka (O-Brien-Pallas, et al., 2006). Frekuensi turnover perawat yang terlalu sering mengurangi produktivitas perawat yang masih bertahan. Hal ini yang mengharuskan staf perawat untuk mengarahkan dan melatih staf baru (Cavanagh & Coffin 1992). Turnover berlebihan meningkatkan konflik kelompok, menurunkan keterikatan kelompok dan mengurangi kepuasan kerja serta kinerja mereka yang tetap (Mobley, 1982).

Selain berdampak negatif, turnover juga bisa berdampak positif, baik bagi organisasi, individu yang keluar, individu yang tinggal, dan masyarakat (Mobley, 1982).

Dampak negatif

Bagi organisasi. Turnover meningkatkan pengeluaran biaya keuangan organisasi. Penambahan biaya keuangan organisasi diperlukan untuk penambahan

(9)

sumber daya manusia (SDM) baru dan pergantian. Hal ini sesuai dengan model measurement of original human resource cost dan model for measurement of original human resourcereplacement cost yang digagas oleh Mobley (1982). Model ini dibuat untuk memperkirakan biaya-biaya sumber daya manusia dari yang baru masuk dan biaya-biaya penggantian sumber daya manusia seperti skema dibawah ini.

Gambar 2.1 Model for measurement of original human resource cost (Mobley, 1982) Recruitment Selection Hiring Placement Promotion Or Hiring From Within Firm Formal Training And Orientatuon One-The-Job Training Trainer’s Time Lost Productivity During Training Direct Costs Indirect Costs Direct Costs Indirect Costs Acquisition Cost Learning Cost Human Resource Cost

(10)

Gambar 2.2 Model for measurement of original human resource replacement cost (Mobley, 1982) Recruitment Selection Hiring Placement Cost Of Promotion Or Transfer From Within Firm Formal Training And Orientatuon One-The-Job Training Cost Trainer’s Time Separation Pay Direct Costs Indirect Costs Direct Costs Indirect Costs Acquisition Cost Learning Cost Positional Replacement Cost Loss Of Effeciency Prior To Separation Cost Of Vacanct Position During Search Indirect Costs Direct Costs Separation Cost

(11)

Hasil penelaahan biaya pergantian staf menunjukkan bahwa pergantian itu mahal. Banyak biaya yang diperlukan untuk pergantian staf, baik biaya untuk sumber daya manusia yng baru masuk maupun pengganti. Biaya sumber daya manusia yang baru masuk meliputi biaya pengadaan dan pembelajaran, sedangkan biaya sumber daya manusia pengganti terdiri dari biaya pengadaan, pembelajaran, dan pemisahan. Biaya-biaya tersebut bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Biaya pengadaan langsung meliputi biaya untuk perekrutan (iklan, travel, agen, dan administrasi), seleksi (wawancara, pemeriksaan referensi, testing, penilaian, dan biaya administrasi terkait lainnya), hiring dan penempatan (pemeriksaan fisik, perpindahan dan travel, biaya administrasi terkait). Biaya pengadaan tidak langsung meliputi promosi atau hiring dari dalam perusahaan. Biaya pembelajaran langsung meliputi pelatihan formal dan orientasi. Biaya pembelajaran tidak langsung meliputi waktu pelatih dan hilangnya produktivitas selama pelatihan. Biaya pemisahan langsung meliputi biaya pesangon, sedangkan biaya pemisahan tidak langsung meliputi hilangnya efisiensi sebelum pemisahan dan biaya yang berkaitan dengan posisi kosong (Mobley, 1982).

Turnover umumnya memerlukan biaya untuk rekrutmen, seleksi, pelatihan, dan pengembangan. Selain itu, turnover menyebabkan kehilangan produktivitas sampai staf baru dapat menguasai pekerjaan yang harus dianggap sebagai biaya turnover (Mowday, Porter, Steers, 1982). Hal ini didukung dengan penelitian Toni (2007) yang menyatakan bahwa meskipun posisi kosong telah terisi atau digantikan oleh perawat baru, secara umum diasumsikan bahwa perawat yang

(12)

baru bekerja akan memakan waktu enam sampai delapan bulan untuk menjadi sepenuhnya efisien di tempat kerja baru mereka.

Dampak negatif lain dari turnover bagi organisasi yaitu gangguan kinerja yang disebabkan oleh kekosongan posisi yang berefek terhadap penambahan kerja; gangguan pola sosial dan komunikasi; penurunan moral yang dipicu oleh gangguan kinerja, pola sosial dan komunikasi, sehingga perawat yang masih tetap bertahan akan mencoba untuk mencari pekerjaan lainnya yang akan memicu turnover selanjutnya; strategi pengawasan yang tidak berbeda karena pihak manajerial tidak mendapatkan informasi secara lengkap mengenai sebab dan akibat dari turnover sehingga responnya juga kurang; serta hilangnya peluang bagi pengembangan organisasi yang menguntungkan bagi organisasi disebabkan kekurangan staf. Peneliti mengamati bahwa kerugian besar konstan merekrut perawat yang berkualitas merupakan masalah utama bagi para manajer keperawatan (Mobley, 1982).

Toni (2007) menyebutkan bahwa turnover menghasilkan serangkaian efek negatif pada pelayanan yang berkualitas. Turnover berlebihan menurunkan semangat kerja perawat karena kesenjangan yang terjadi disebabkan kekurangan perawat, beban bagi perawat yang tetap bekerja dan penurunan kualitas perawatan pasien dengan konsekuensi risiko medis dan hukum.

Bagi individu yang keluar. Hilangnya senioritas ditempat kerja, hilangnya penghasilan tambahan yang didapat ditempat kerja sebelumnya, stres yang berkaitan dengan masa transisi, terganggunya hubungan sosial, kekecewaan karena tidak sesuai antara harapan dan kenyataan, dan hambatan dalam karier.

(13)

Meskipun sejumlah konsekuensi positif dari turnover dapat diidentifikasi ada juga mungkin beberapa biaya yang berkaitan dengan keputusan untuk mengganti pekerjaan (Mobley, 1982).

Mengganti pekerjaan dapat menjadi sumber signifikan dari stres, terutama ketika berpindah dari satu kota ke kota lain. Keluarga dengan anak-anak usia sekolah mungkin merasa sangat terganggu dengan keputusan untuk mengganti pekerjaan (Mowday, et al., 1982). Ruch dan Holmes (1971 dalam Mowday, et al., 1982) mengidentifikasi perubahan dalam bidang pekerjaan, tempat tinggal, sekolah, rekreasi, gereja, dan kegiatan sosial sebagai sumber potensial dari stres. Besarnya stres yang terkait dengan berganti pekerjaan mungkin berhubungan dengan kesamaan antara pekerjaan lama dan baru, kedekatan antara atasan lama dan baru.Keputusan untuk mengganti pekerjaan juga dapat mengancam hubungan sosial dengan rekan kerja sebelumnya dan ikatan keluarga. Bahkan ketika turnover melibatkan perpindahan antara pekerjaan di lokasi yang sama, hubungan sosial dengan rekan kerja dari pekerjaan sebelumnya dapat menjadi semakin tegang (Steers & Mowday, 1981 dalam Mowday, et al., 1982). Selain itu, perpindahan pekerjaan di kota yang berbeda dapat meningkatkan jarak antara anggota keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan tekanan dari keluarga untuk tidak pindah atau diperlukan usaha yang lebih besar untuk mempertahankan ikatan keluarga pada tingkat sebelumnya (Mowday, et al., 1982).

Bagi individu yang tinggal. Hilangnya rekan kerja yang berharga, berkurangnya kepuasan kerja, peningkatan beban kerja, butuh waktu untuk beradaptasi dengan staf pengganti (Mobley, 1982). Turnover dapat

(14)

mengakibatkan peningkatan beban kerja bagi staf yang masih bekerja, setidaknya untuk sementara, dan penurunan kinerja, terutama di mana tugas-tugas yang sangat saling tergantung. Organisasi memerlukan waktu untuk menemukan pengganti staf yang sudah keluar. Selama rentang waktu tersebut, semua pekerjaan harus dilakukan oleh staf yang masih bekerja yang menyebabkan peningkatan tuntutan pekerjaan, stres, dan ketidakpastian. Hal ini akan terus berlanjut sampai posisi tersebut terisi. Bahkan ketika posisi tersebut telah terisi, diperlukan waktu untuk melatih staf baru atau untuk bersosialisasi secara individu tentang norma-norma kelompok. Pada pekerjaan yang kompleks, dibutuhkan waktu lebih lama sebelum staf baru mampu melakukan tugas secara efektif. Hal ini dapat meningkatkan tuntutan pada staf lain untuk bekerja lebih keras sampai staf baru dapat melakukan pekerjaan secara efektif. Selain peningkatan tuntutan kerja dan ketidakpastian, faktor lain dapat menyebabkan sikap kurang positif dari staf yang tetap bekerja. Jika posisi kosong diisi dari luar organisasi, dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan staf yang tidak dipromosikan, sehingga dapat merangsang evaluasi ulang dari pekerjaan dan mencari alternatif yang lebih baik bagi staf yang tetap bekerja. Selain itu, mencari pekerjaan alternatif yang lebih baik dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan. Informasi tentang adanya pekerjaan yang lebih baik dengan pembayaran atau kondisi kerja yang lebih baik di organisasi lain dapat menyebar dengan cepat di antara staf yang tetap bekerja. Hal ini mengakibatkan perasaan ketidakadilan terkait gaji dan kondisi kerja bagi staf yang bertahan. Juga, ketika orang yang meninggalkan adalah teman

(15)

dekat, staf yang tetap bekerja dapat menemukan hubungan antara rekan kerja pada pekerjaan yang kurang memuaskan (Mowday, et al., 1982).

Bagi masyarakat. Peningkatan biaya-biaya produksi karena kekurangan tenaga terlatih serta ketidakmampuan untuk mempertahankan atau menarik tenaga industri baru karena kehilangan tenaga kerja yang berkompeten.

Dampak positif

Bagi organisasi. Pemindahan staf yang berkinerja kurang baik dan digantikan dengan staf yang lebih baik sehingga bisa meningkatkan kinerja organisasi; menciptakan inovasi baru melalui pengetahuan, ide-ide, dan teknologi baru dari staf pengganti (Mobley, 1982). Hal ini sesuai dengan pendapat Toni (2007) bahwa suatu organisasi memerlukan ide-ide dan inovasi dari staf baru. Selain itu, dampak positif dari turnover bagi organisasi bisa menciptakan fleksibilitas dalam pengembangan karier dan pemberian pelatihan dan dapat meningkatkan semangat staf yang bertahan melalui peningkatan mobilitas internal; menurunkan perilaku penarikan diri lainnya seperti absensi, sikap apatis, perilaku merusak, dan kualitas kerja yang rendah; serta mengurangi konflik yang tidak ada penyelesaiannya sehingga bisa meningkatkan efektifitas organisasi (Mobley, 1982).

Bagi individu yang keluar. Peningkatan penghasilan, pekerjaan yang menantang, pengembangan karier, dan iklim organisasi yang lebih baik melalui pekerjaan yang lebih baik, sehingga mengurangi stres, menambah daya guna keterampilan dan minat yang lebih baik, rangsangan yang baru dalam lingkup sosial baru (Mobley, 1982). Banyak orang yang meninggalkan organisasi tertarik

(16)

dengan pekerjaan lain dengan gaji yang lebih tinggi dan kesempatan yang lebih baik untuk kemajuan karir. Dalam banyak profesi, mobilitas antar organisasi umumnya dilakukan oleh individu mencari kemajuan karir. Individu dengan keterampilan kerja dan kemampuan yang ada sesuai permintaan pasar kerja lebih mungkin untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan untuk mengubah pekerjaan dari individu dengan keterampilan yang lebih sedikit (Mowday, et al., 1982). Hall (1976 dalam Mowday, et al., 1982) juga menyebutkan bahwa turnover dapat memberikan kesempatan kepada individu untuk memperbaiki situasi pekerjaan mereka. Individu dapat memilih pekerjaan yang lebih cocok dengannya yang dapat memanfaatkan dan mengembangkan keterampilan yang dimilikinya atau menawarkan kepuasan yang lebih besar dan mengurangi stres. Selain itu juga memberi kesempatan kepada individu untuk mencoba tantangan baru. Individu yang berganti pekerjaan juga dapat membangun hubungan baru dengan teman-teman baru serta mengembangkan keterlibatan sosial di tempat kerja baru. Individu juga dapat mengembangkan komitmen baru dan loyalitas terhadap organisasi yang mempekerjakannya dan dapat mengembangkan citra diri yang lebih positif karena mereka menganggap mereka masih menarik bagi organisasi lain.

Bagi individu yang tinggal. Bertambahnya peluang mobilitas internal, rangsangan untuk saling menumbuhkan semangat kerja dengan rekan-rekan sekerja, bertambahnya kepuasan kerja, bertambahnya keterikatan diantara staf. Manfaat lain yang potensial bagi individu yang tetap bekerja yaitu meningkat kesempatan promosi (Staw, 1980 dalam Mowday, et al., 1982; Toni, 2007).

(17)

Ketika seseorang yang mempunyai posisi lebih tinggi keluar dari organisasi, maka akan membuka peluang bagi staf yang posisinya lebih rendah untuk mendapatkan promosi jabatan yang mengakibatkan sikap yang lebih positif dari staf yang masih bekerja terutama staf yang menginginkan kemajuan dalam karirnya. Selain itu, faktor lain yang terkait dengan turnover juga dapat berfungsi untuk memperkuat sikap staf yang tetap bertahan. Ketika yang pindah adalah seseorang yang tidak efektif dalam bekerja, hal ini mungkin menjadi sumber kepuasan serta bisa meningkatkan kinerja staf yang masih bekerja. Selain itu, ketika posisi yang kosong diisi oleh individu-individu di luar organisasi atau dari departemen lain, staf baru dapat membawa ide-ide yang lebih baik tentang bagaimana melakukan pekerjaan dan peningkatan tingkat motivasi. Pengenalan staf baru ke dalam kelompok kerja mungkin menjadi sumber rangsangan bagi staf pemegang jabatan, baik dari pendekatan baru untuk pekerjaan dan dari kesempatan untuk mengembangkan persahabatan (Mowday, et al., 1982).

Turnover juga bisa menjadi manfaat tambahan bagi individu. Bagi banyak staf, keputusan untuk tetap dalam suatu organisasi mungkin akibat dari kurangnya informasi tentang alternatif yang tersedia atau motivasi sederhana untuk mencari peluang yang lebih baik. Turnover oleh rekan kerja dapat berfungsi sebagai stimulus kepada staf yang tersisa untuk mempertimbangkan kembali pekerjaan mereka. Dalam beberapa kasus, turnover oleh rekan kerja memberikan informasi tentang peluang kerja alternatif yang dapat merangsang pencarian kerja. Pencarian pekerjaan alternatif dapat mengakibatkan keputusan untuk meninggalkan

(18)

pekerjaannya bila ditemukan gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja atau peluang karir yang lebih baik (Mowday, et al., 1982).

Bagi masyarakat. Mobilitas industri baru yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan pendapatan per kapita, mengurangi biaya sosial yang terkait dengan manifestasi psikologis dan fisik dari stres; kurangnya mobilitas, terutama di pasar tenaga kerja menurun, dapat meningkatkan biaya sosial untuk pengangguran dan kesejahteraan (Mobley, 1982).

2.1.4 Cara mengontrol turnover

Hasil penelitian Rondeau (2009) didapatkan pelatihan kerja berpengaruh terhadap tingkat turnover secara nyata tapi cukup sederhana dengan meningkatnya komitmen dan kepuasan kerja sehingga menurunkan tingkat turnover. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sieben (2007 dalam Rondeau, 2009) dimana pelatihan keterampilan kerja meningkatkan loyalitas organisasi dan kemudian menurunkan turnover. Selain itu, membangun hubungan interpersonal yang baik juga dapat mengurangi kejadian turnover (Cho, et al., 2012).

Mobley (1986) mengungkapkan beberapa langkah untuk mengendalikan turnover yang harus diperhatikan terkait perekrutan, seleksi, dan sosialisasi awal; pengaturan bobot pekerjaan; praktik-praktik kompensasi; kepemimpinan dan penyelia; perencanaan dan pengembangan karier; pembentukan tim atau kelompok kerja; sentralisasi; komunikasi; dan masa kerja.

(19)

2.3 Landasan Teori

Model adaptasi Roy adalah sistem model yang esensial dan banyak digunakan sebagai falsafah dasar dan model konsep dalam pendidikan keperawatan. Roy (1969) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi (Aligood & Tomey, 2006). Model adaptasi Roy melihat bahwa seseorang merupakan sistem adaptif dalam berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal. Menurut Roy lingkungan merupakan konsep utama dalam interaksi manusia secara konstan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan dan kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu maupun kelompok.

Roy menjelaskan bahwa keperawatan sebagai proses interpersonal yang diawal adanya kondisi maladaptasi akibat perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal. Manusia sebagai sistem berinteraksi dengan lingkungan dan mengatasi lingkungan melalui mekanisme adaptasi bio-psikososial. Adaptasi di tingkatkan bila terjadi peningkatan atau pengurangan pemenuhan kebutuhan. Di dalam menghadapi perubahan atau stimulus, manusia harus menjaga integritas dirinya dan selalu beradaptasi secara menyeluruh (holistik adaptive system) (Roy & Anderson, 1999 dalam Aligood & Tomey, 2006).

Manusia merupakan suatu sistem yang terbuka yang menerima masukan atau stimulus baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan. Derajat adaptasi ditentukan dengan menggabungkan efek dari stimulus fokal, kontekstual dan

(20)

residual. Adaptasi terjadi ketika manusia berespon positif terhadap perubahan lingkungan. Respon yang adaptif meningkatkan integritas dari manusia yang membawa kepada kesehatan sedangkan respon yang tidak efektif terhadap stimulus membawa gangguan integritas manusia (Aligood & Tomey, 2006).

Dalam Model Adaptasi Roy ada dua subsistem yang saling berhubungan. Pertama, fungsional atau subsistem proses-proses control yang terdiri dari regulator dan kognator. Kedua, subsistem efektor yang terdiri dari empat model adaptif yaitu kebutuhan psikologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Aligood & Tomey, 2006).

Roy memandang regulator dan kognator sebagai koping. Koping subsistem regulator dengan tipe adaptif psikologi adalah respon koping secara otomatis melalui saraf, kimia dan endokrin. Koping subsistem kognator melalui konsep diri, interdependensi dan fungsi peran. Subsistem kognator diperoleh melalui proses persepsi informasi, belajar, penilaian, dan emosi. Persepsi adalah interpretasi dari stimulus dan persepsi bertautan ke regulator dengan kognator sebagai masukan. Persepsi adalah suatu proses dari kognator, responnya diikuti persepsi yang menjadi feedback bagi kognator dan regulator

(21)

Keempat model adaptif dari kedua subsistem dalam model Roy menyediakan bentuk atau manifestasi-manifestasi dari aktivitas kognator dan regulator. Respon terhadap stimulus yang datang dapat dilihat melalui empat model adaptasi.

2.3.1 Model fungsi fisiologi

Model fisiologis berhubungan dengan fisik dan proses kimia yang harus dipenuhi dalam menjalankan fungsi dan aktivitas dari manusia. Ada lima kebutuhan yang diidentifikasi dalam model fisik fisiologi yang berkaitan pada kebutuhan dasar dari integritas fisiologi yaitu oksigen, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, serta perlindungan.

2.3.2 Konsep diri

Berfokus pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Menurut Roy, konsep diri terdiri dari dua komponen yaitu: (1) the physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitaan pada area ini dapat menyebabkan masalah body image, (2) the personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral etik dan spiritual diri orang tersebut.

2.3.3 Model fungsi peran

Model fungsi peran berkaitan dengan mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran

(22)

primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya

2.3.4 Model interdependensi

Model interdependensi berfokus pada hubungan dekat dari seseorang (baik secara individu maupun dalam kelompok), tujuan, bentuk dan perkembangan dimana ada interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.

Gambar 2.4 Diagram yang mewakili sistem adaptasi manusia (Tomey, 2006) Manusia sebagai suatu kesatuan terdiri dari enam subsistem. Subsistem tersebut (regulator, kognator dan keempat mode adaptasi) saling berhubungan membentuk sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan adaptasi. Hubungan antara keempat model adaptif terjadi ketika stimulus internal dan eksternal

(23)

mengakibatkan lebih dari satu model, ketika suatu prilaku dapat menjadi stimulus fokal, kontekstual atau residual bagi model yang lainnya.

Berkenaan dengan sistem sosial manusia, Roy secara luas mengkategorikan proses kontrol ke dalam subsistem penyeimbang dan pembaru. Sistem penyeimbang sejalan dengan regulator subsistem dari individu yang memperhatikan keseimbangan. Untuk mempertahankan sistem, stabilizer subsistem terlibat dalam struktur organisasi, nilai budaya dan pengaturan dari aktivitas sehari-hari dan memperhatikan kreatifitas, perubahan dan pertumbuhan.

Perawat merupakan salah satu faktor penentu kualitas pelayanan di rumah sakit. Pihak rumah sakit perlu mempertahankan tenaga keperawatan, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Manajer keperawatan perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga perawat dapat beradaptasi terhadap lingkungan kerjanya dari berbagai stimulus yang ada. Untuk dapat beradaptasi dengan baik, perawat perlu di motivasi dalam bekerja.

Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja, adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Aktifitas dalam kerja mengandung unsur suatu kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu, dan pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian, dibalik dari tujuan yang tidak langsung tersebut, orang bekerja juga untuk mendapatkan imbalan, upah atau gaji dari hasil kerjanya. Jadi pada hakekatnya orang bekerja, tidak saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya tapi juga untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Menurut Smith dan Wakeley dalam As’ad (2004) menyatakan

(24)

bahwa seseorang didorong untuk beraktivitas karena dia berharap bahwa hal ini akan membawa pada keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaaan sekarang.

Maslow (1970 dalam Marquis & Huston, 2002) menyakini bahwa orang termotivasi untuk memuaskan kebutuhan tertentu, mulai dari kebutuhan bertahan hidup dasar sampai kebutuhan psikologis kompleks, dan bahwa orang mencari kebutuhan yang lebih tinggi saat kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi secara dominan. Inti teori Maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu hirarki yang dikenal dengan hierarki kebutuhan Maslow. Ada lima tingkatan atau hierarki kebutuhan yaitu: (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs) yaitu kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, dan kebutuhan fisik lainya, (2) kebutuhan keamanan (safety needs) yaitu kebutuhan seseorang akan keamanan dan perlindungan dari kejahatan fisik dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi, (3) kebutuhan sosial (social needs) yaitu kebutuhan seseorang akan kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan, (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs) yaitu kebutuhan seseorang akan faktor-faktor penghargaan internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor-faktor penghargaan eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian, (5) aktualisasi diri (self actualization) yaitu kebutuhan seseorang akan pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri, dorongan untuk mampu menjadi apa yang diinginkan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2006; Marquis & Huston, 2002; Stephen & Coulter, 2010; Swanburg, 2000). Apabila kebutuhan diatas tidak dapat terpenuhi dan ditambah dengan lingkungan

(25)

kerja yang tidak memuaskan seperti beban kerja tinggi, kelelahan kerja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan stres kerja. Hal ini akan membuat perawat tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan tersebut yang menyebabkan perawat keluar dan mencari pekerjan lain yang bisa memenuhi kebutuhannya.

2.4 Konsep Studi Fenomenologi

Fenomenologi adalah metode penyelidikan kualitatif di mana para peneliti berusaha menemukan makna pengalaman hidup manusia karena mereka ada di dunia (Morse & Field, 1995 dalam Chamberlain, 2009).

Fenomenologi berakar pada tradisi filsafat yang dikembangkan oleh Husserl (1859-1938) dan Heidegger (1889-1976) yang merupakan sebuah pendekatan untuk menemukan makna pengalaman hidup masyarakat (Husserl 1965, Giorgi 1985, Sadala & Adorno 2001 dalam Koivisto, et al., 2002; Polit & Beck, 2008). Fenomenologi seperti yang dibahas oleh Husserl (2000) berarti kembali ke dunia hidup, dunia pengalaman, dimana ia melihat itu merupakan langkah awal untuk semua ilmu pengetahuan. Fenomenologi mengemukakan bahwa fenomena digambarkan bukannya dijelaskan atau memiliki hubungan sebab akibat yang dicari, dan berfokus pada sesuatu yang mereka perlihatkan sendiri (Sadala & Adorno, 2002). Metode fenomenologis menurut Giorgi (1985), dimulai dengan menggambarkan situasi yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Ada dua jenis fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan interpretatif fenomenologi. Fenomenologi deskriptif dikembangkan pertama kali oleh Husserl (1965). Filosofinya menekankan deskripsi tentang makna pengalaman manusia (Husserl 1965, Giorgi 1985, Sadala & Adorno, 2001). Husserl (1965)

(26)

mengembangkan metode filosofis sistematis menyelidiki struktur kesadaran (esensi). Inti dari fenomenologi adalah intensionalitas kesadaran, dipahami sebagai arah kesadaran menuju pemahaman dunia. Niat ini diaktifkan terhadap dunia yang tidak termasuk atau memiliki, tapi ke arah yang selalu berubah. Oleh karena itu, tidak ada kesadaran tanpa dunia, juga tidak ada dunia tanpa kesadaran. Melalui intensionalitas kesadaran semua tindakan, gerak tubuh, kebiasaan dan tindakan manusia memiliki arti. Kesadaran melalui intensionalitas tersebut, dipahami sebagai agen yang berkontribusi memberi makna terhadap objek. Tanpa makna ini mustahil untuk berbicara baik tentang suatu objek atau esensi objek (Sadala & Adorno, 2002).

Berbeda dengan pendapat Husserl (1965), Heidegger (1962) menekankan fenomenologi interpretatif yang terletak pada penafsiran dan pemahaman, bukan hanya menggambarkan pengalaman manusia. Fokus penyelidikan fenomenologis kemudian pada makna dari pengalaman orang-orang dalam hal fenomena (fenomenologi deskriptif) dan bagaimana pengalaman-pengalaman ditafsirkan (hermeneutika) (Polit & Beck, 2012).

Fenomenologis percaya bahwa pengalaman hidup memberi makna pada persepsi masing-masing orang dari suatu fenomena tertentu. Tujuan penyelidikan fenomenologis adalah untuk sepenuhnya menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang memberikan kenaikan. Dalam sebuah studi fenomenologis, sumber data utama adalah percakapan mendalam dengan para peneliti dan informan sebagai coparticipants penuh. Peneliti membantu informan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Melalui percakapan

(27)

mendalam, peneliti berusaha untuk bisa masuk kedalam dunia informan, untuk memiliki akses penuh ke pengalaman hidup mereka. Kadang-kadang dua wawancara atau percakapan terpisah mungkin diperlukan. Untuk beberapa peneliti fenomenologis, penyelidikan tidak hanya mencakup mengumpulkan informasi dari informan, tetapi juga upaya untuk mengalami fenomena dengan cara yang sama, biasanya melalui partisipasi, observasi, dan refleksi introspektif (Polit & Beck, 2012).

Meskipun ada sejumlah interpretasi metodologi fenomenologi, penelitian deskriptif fenomenologis sering melibatkan empat langkah berikut: bracketing, intuisi, menganalisis, dan menjelaskan. Bracketing mengacu pada proses mengidentifikasi dan menahan terhadap penundaan keyakinan yang terbentuk sebelumnya dan opini yang objektif tentang fenomena yang diteliti. Meskipun bracketing tidak pernah dapat dicapai sepenuhnya, peneliti menahan keluar dunia dan prasangka sejauh mungkin, sehingga untuk menghadapi data dalam bentuk murni. Bracketing adalah proses berulang-ulang yang melibatkan mempersiapkan, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik sistematis yang sedang berlangsung tentang efektivitas bracketing tersebut. Porter (1993) percaya bahwa bracketing dapat mengakibatkan penggunaan yang lebih produktif waktu peneliti jika mereka mencoba untuk memahami dampak dari pengalaman mereka daripada mengeluarkan energi mencoba untuk menghilangkannya (Polit & Beck, 2012).

Intuisi, langkah kedua dalam fenomenologi deskriptif, terjadi ketika para peneliti tetap terbuka untuk mengaitkan makna dengan fenomena yang telah dialami oleh orang-orang tersebut. Peneliti fenomenologis kemudian dilanjutkan

(28)

ke tahap analisis yaitu, mengeluarkan pernyataan yang signifikan, mengkategorikan, dan membuat tema penting dari fenomena tersebut. Akhirnya, fase deskriptif terjadi ketika peneliti datang untuk memahami dan mendefinisikan fenomena tersebut. Perhatikan bahwa perbedaan penting antara fenomenologi deskriptif dan interpretatif adalah dalam studi fenomenologis interpretatif, bracketing tidak terjadi (Polit & Beck, 2012).

Gambar

Gambar  2.1  Model  for  measurement of original human resource cost  (Mobley,  1982)  Recruitment Selection Hiring Placement  Promotion Or Hiring From Within Firm  Formal Training  And Orientatuon One-The-Job Training Trainer’s Time   Lost Productivity Du
Gambar 2.2 Model for measurement of original human resource replacement  cost  (Mobley, 1982) Recruitment Selection Hiring Placement Cost Of  Promotion Or  Transfer From Within Firm  Formal Training  And Orientatuon One-The-Job Training Cost Trainer’s Time
Gambar 2.4 Diagram yang mewakili sistem adaptasi manusia (Tomey, 2006)  Manusia sebagai suatu kesatuan terdiri dari enam  subsistem

Referensi

Dokumen terkait

Dalang: oh sudah selesai ya, Demikian lah kisah “Persahabatan Masa SMA”, N adia dan Kawan  –    kawan pun kini makin mempererat persahabatnnya. Dan orang tua Adel dan

di Sulawesi Tenggara. Di samping itu, ditemukan satu rekaman baru untuk Sulawesi Tenggara yaitu Nageia wallichiana. Jenis tersebut dilaporkan dijumpai di Sulawesi Utara dan

2. Telepon akan memvalidasi kode PIN dan mulai melakukan pendaftaran jaringan. Setelah nama jaringan ditampilkan pada layar, Anda siap untuk melakukan atau menjawab panggilan.

Lebih lanjut Soerjono Soekanto (2006:136-140) mengungkapkan masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu

Pada zaman sekarang ini, banyak sekali jenis katalis padat yang telah digunakan dalam reaksi transesterifikasi minyak nabati menjadi biodiesel seperti oksida

Data penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi antemortem enzim protease biduri dan papain berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar protein terlarut daging ayam

Pada kenyataanya dalam proses pembelajaran permainan di sekolah masih dalam bentuk permainan yang sesuai dengan peraturan yang baku, baik dalam hal peralatan,