HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis Poli(asam laktat)Sintesis poli(asam laktat) dalam penelitian ini menggunakan metode polikondensasi asam laktat secara langsung dengan suhu tinggi tanpa menggunakan katalis. Tahap awal pada
pembuatan PLA, monomer asam laktat
dipanaskan terlebih dahulu selama 1 jam pada
suhu 120 °C. Hal ini bertujuan melepaskan
molekul air dan pembentukan dimer asam laktat. Setelah itu, suhu dinaikkan menjadi
150 °C selama 24 jam, pada tahap ini terjadi
pembukaan cincin laktida (Ajioka 1995).
Semakin tinggi suhu pemanasan akan
menghasilkan residu karbon yang banyak dan
terjadi oksidasi yang berlebih sehingga
menghasilkan warna PLA yang lebih pekat atau gelap (Rusmana 2009), sehingga lamanya pemanasan mempengaruhi warna hasil PLA.
Hasil PLA yang diperoleh berwarna
kuning muda (Gambar 5), akan tetapi
memiliki bobot molekul lebih rendah yaitu 6064.18 g/mol. Hal ini disebabkan oleh kondisi penghilangan uap air oleh pompa
vakum yang kurang optimum. Menurut
Kaitian et al. (1995) PLA yang memiliki bobot molekul lebih rendah disebabkan oleh
keberadaan molekul air yang masih
terkandung pada asam laktat sehingga
mengganggu proses polimerisasi dan
mempengaruhi rendemen PLA.
Gambar 5 Hasil sintesis poli(asam laktat). Rendemen PLA yang diperoleh dari hasil sintesis ini sebanyak 15.2021 gram dari bobot awal monomer asam laktat 29.4931 gram (25 mL). Rendemen diukur menggunakan neraca analitik sedangkan pengukuran bobot molekul PLA menggunakan viskometer ostwald yang dihitung berdasarkan laju alirnya.
Pengukuran bobot molekul dari PLA hasil
sintesis menggunakan metode viskometri
dapat dilihat pada Lampiran 2. Pelarut yang
digunakan adalah etil asetat.Pelarut etil asetat
digunakan pada pengukuran bobot molekul PLA karena sifatnya yang nonpolar, tidak
beracun, dan tidak higroskopis. Fungsi
penangas air pada pengukuran bobot molekul ialah untuk menjaga suhu agar tetap konstan pada suhu 25 °C. PLA yang dihasilkan dari sintesis ini kemungkinan berupa campuran
rasemiknya (D,L-PLA) karena menurut
Dutkiewicz et al. (2003) PLA yang disintesis
pada suhu lebih dari 140 оC akan dihasilkan
bentuk rasemiknya. PLA dalam bentuk D,L-PLA memiliki waktu degradasi yang lebih cepat dibandingkan L-PLA (Lu & Chen 2004).
Mikrosfer
Mikrosfer dibuat dari polipaduan PLA
dengan PCL menggunakan metode
emulsifikasi. Pengemulsi yang digunakan
adalah PVA 1.5 % karena memiliki efisiensi
enkapsulasi yang optimum. Efisiensi
mikroenkapsulasi memperlihatkan seberapa besar suatu senyawa atau obat dapat tersalut baik oleh polimer (Kemala 2010). Setelah emulsifikasi, polipaduan didispersi dengan akuades dengan sitem penguapan pelarut minyak dalam air (o/w).
Saat emulsi didispersikan dengan akuades,
volume akuades berpengaruh dalam
menghasilkan endapan mikrosfer karena
volume akuades yang sedikit atau terlalu berlebih akan menghasilkan mikrosfer yang pecah ditandai adanya gelembung saat proses
pendispersian. Hal ini disebabkan oleh
kestabilan mikrosfer yang terbentuk antara air
dan polipaduan yang telah mengalami
emulsifikasi dengan PVA pecah. Mikrosfer dikering-udarakan selama 1 hari kemudian dikeringkan lagi dengan menggunakan oven pada suhu di bawah 40°C agar mikrosfer tidak
rusak dan tidak menggumpal sehingga
diperoleh mikrosfer berupa serbuk halus. Menurut Jain (2000) mikrosfer yang diperoleh berupa serbuk murni tanpa pengotor dan tidak
berbentuk agregat atau menggumpal.
Mikrosfer yang menggumpal akan
mempengaruhi rendemen mikrosfer.
Rendemen mikrosfer yang diperoleh
dalam penelitian berkisar antara 61-71%. Ulangan ke-1, ke-3, dan ke-4 menunjukkan
mikrosfer nisbah PLA:PCL 6:4 bobot
rendemennya paling besar. Pada ulangan ke-2, bobot rendemen paling besar terdapat pada mikrosfer nisbah PLA:PCL 7:3 (Lampiran 3). Berdasarkan hasil penelitian, rendemen rata-rata mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 6:4
menghasilkan rendemen paling banyak
Gambar 6 Persentase Rendemen Mikrosfer
( ) PLA:PCL 9:,1( ) PLA : PCL
8:2, ( ) PLA:PCL 7:3, ( )
PLA:PCL 6:4.
Mikrosfer yang dihasilkan dengan nisbah PLA:PCL 9:1 memiliki struktur mikrosfer
yang lebih padat apabila dilihat dari
permukaannya (Gambar 7
nisbah PLA:PCL 6:4 sedikit rusak terlihat dari permukaannya yang berlubang mempunyai pori-pori cukup banyak di minggu ke PCL memiliki titik leleh 60
Gambar 7 Foto SEM mikrosfer dengan perbesaran PLA:PCL 7:3; (d) 60.00 62.00 64.00 66.00 68.00 70.00 72.00 % re nd em en nisbah PLA:PCL
Gambar 6 Persentase Rendemen Mikrosfer
( ) PLA:PCL 9:,1( ) PLA : PCL
8:2, ( ) PLA:PCL 7:3, ( )
PLA:PCL 6:4.
Mikrosfer yang dihasilkan dengan nisbah PLA:PCL 9:1 memiliki struktur mikrosfer
yang lebih padat apabila dilihat dari
7). Mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 6:4 sedikit rusak terlihat dari permukaannya yang berlubang mempunyai ukup banyak di minggu ke-nol.
leleh 60 °C sehingga
memungkinkan mikrosfer
kondisi suhu yang panas saat penyimpanan atau saat proses preparasi pengeringan sampel sebelum dilakukan SEM
minggu ke-nol.
Mikrosfer yang dihasilkan berbentuk bulat padat, berwarna putih, dan berukuran mikron. Foto SEM digunakan untuk melihat struktur mikrosfer dengan lebih jelas. Penglihatan
mikrosfer melalui mikroskop dengan
perbesaran 40x hanya menggambarkan
mikrosfer secara keseluruhan. Mikrosfer yang di dapat di penelitian ini rata
ukuran yang seragam. Menurut (2005) keseragaman dan ukuran bergantung pada kecepatan putar
tinggi kecepatan putar maka mikrosfer yang dihasilkan akan lebih seragam dan ukurannya lebih kecil. Kecepatan dan waktu dispersi yang dilakukan di penelitian ini merujuk pada Hasanah (2009) tentang optimasi pembuatan mikrosfer polipaduan PLA dan PCL, yaitu menggunakan kecepatan putar 900
lama dispersi 90 menit.
a b
c d
mikrosfer dengan perbesaran 800× (a) PLA:PCL 9:1; (b) ; (d) PLA:PCL 6:4.
1 nisbah PLA:PCL
memungkinkan mikrosfer sudah rapuh pada kondisi suhu yang panas saat penyimpanan atau saat proses preparasi pengeringan sampel sebelum dilakukan SEM walaupun masih di ikrosfer yang dihasilkan berbentuk bulat padat, berwarna putih, dan berukuran mikron. Foto SEM digunakan untuk melihat struktur mikrosfer dengan lebih jelas. Penglihatan
mikrosfer melalui mikroskop dengan
perbesaran 40x hanya menggambarkan
keseluruhan. Mikrosfer yang di dapat di penelitian ini rata-rata memilki Menurut Zang et al. (2005) keseragaman dan ukuran mikrosfer kecepatan putar. Semakin tinggi kecepatan putar maka mikrosfer yang ebih seragam dan ukurannya . Kecepatan dan waktu dispersi yang dilakukan di penelitian ini merujuk pada Hasanah (2009) tentang optimasi pembuatan mikrosfer polipaduan PLA dan PCL, yaitu menggunakan kecepatan putar 900 rpm dan
Perubahan Morfologi
Mikrosfer yang awalnya memiliki
permukaan halus dan pejal menjadi tida halus lagi dan berubah bentuk
kualitatif ini bertujuan melihat perubahan
morfologi mikrosfer sebelum, saat, dan
setelah degradasi dengan komposisi penyusun polipaduan mikrosfer yang berbeda.
morfologi mikrosfer dilakukan dengan waktu degradasi pada minggu ke 0, 2, 4, 6, dan 8 dengan mikroskop stereo perbesaran 40 X dan dengan SEM pada minggu ke
Pengamatan menggunak lihatkan permukaan mikrosfer
sehingga terlihat mikrosfer dalam penelitian ini yang awalnya permukaan halus dan berpori sedikit sudah rusak pada minggu ke (Gambar 8). Bentuk mikrosfer sebagian ada
yang pecah menjadi molekul
mikrosfer dan sebagian lagi ada yang terkikis dan lepas dari permukaan mikrosfer awalnya.
Pengamatan hasil degradasi morfologi
mikrosfer menunjukkan bahwa adanya
perbedaan morfologi dari tiap mikrosfer. Perubahan morfologi mikrosfer terjadi secara bertahap pada tiap minggun
dengan nisbah PLA:PCL pada minggu ke
sudah banyak yang rusak atau pecah
(Lampiran 4.a), begitupun dengan mikrosfer
yang memiliki nisbah PLA:PCL 8:2
(Lampiran 4.b). Mikrosfer yang memilik nisbah PLA:PCL 7:3 (Lampiran
Gambar 8 Foto SEM mikrosfer setelah degradasi 8 minggu dengan perbesaran 800× (a) PLA:PCL 9:1; (b) PLA:PCL 8:2; (c) PLA:PCL 7:3; (d) PLA:PCL 6:4.
Perubahan Morfologi Mikrosfer
Mikrosfer yang awalnya memiliki
permukaan halus dan pejal menjadi tidak halus lagi dan berubah bentuk. Analisis kualitatif ini bertujuan melihat perubahan
morfologi mikrosfer sebelum, saat, dan
setelah degradasi dengan komposisi penyusun uan mikrosfer yang berbeda. Pencirian morfologi mikrosfer dilakukan dengan waktu degradasi pada minggu ke 0, 2, 4, 6, dan 8 dengan mikroskop stereo perbesaran 40 X dan dengan SEM pada minggu ke-nol dan ke-8. Pengamatan menggunakan SEM memper-permukaan mikrosfer dengan jelas mikrosfer dalam penelitian ini yang awalnya permukaan halus dan berpori sedikit sudah rusak pada minggu ke-8 ). Bentuk mikrosfer sebagian ada
yang pecah menjadi molekul-molekul
gian lagi ada yang terkikis dan lepas dari permukaan mikrosfer awalnya.
Pengamatan hasil degradasi morfologi
mikrosfer menunjukkan bahwa adanya
perbedaan morfologi dari tiap mikrosfer. Perubahan morfologi mikrosfer terjadi secara bertahap pada tiap minggunya. Mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL pada minggu ke-2
sudah banyak yang rusak atau pecah
), begitupun dengan mikrosfer
i nisbah PLA:PCL 8:2
). Mikrosfer yang memiliki nisbah PLA:PCL 7:3 (Lampiran 4.c) dan 6:4
(Lampiran 4.d) hanya sedikit pecah. Degradasi pada minggu ke
memperlihatkan kerusakan sampel di setiap nisbah PLA:PCL. Mikrosfer pada minggu ke 8 hampir semua sudah rusak.
nisbah mikrosfer PLA:PCL 6:4 masih ada sebagian mikrosfer yang berbentuk utuh bulat, tidak semuanya rusak seperti mikrosfer lain (Gambar 9). Hal ini dapat dikatakan bahwa
semakin banyak kandungan PLA yang
menyusun polipaduan mikrosfer maka
degradasi mikrosfer semakin cepat. Polimer penyusun mikrosfer mempernga
degradasi.
Secara umum, proses degradasi pada perusakan mikrosfer diawali dengan proses
perusakan langsung pada permukaan
mikrosfer. Mikrosfer yang telah terdegradasi umumnya masih memiliki bentuk bulat hanya permukaannya sudah rusak
beberapa mirosfer yang sudah pecah.
Permukaan mikrosfer yang awalnya rusak
menyebabkan air buffer mudah meresap
sehingga ikatan antar molekul polipaduan
menjadi melemah dan molekul
mikrosfer pecah menjadi molekul
baru dan ada pula sebagian mikrosfer terkikis dari mikrosfer awalnya (Kemala
Pori-pori mikrosfer juga menjadi lebih besar seperti lubang-lubang besar pada permukaan mikrosfer sehingga bentuk mikrosfer tidak beraturan.
a b
c d
Foto SEM mikrosfer setelah degradasi 8 minggu dengan perbesaran 800× (a) PLA:PCL 9:1; (b) PLA:PCL 8:2; (c) PLA:PCL 7:3; (d) PLA:PCL 6:4.
) hanya sedikit yang rusak atau pecah. Degradasi pada minggu ke-4 dan ke-6 memperlihatkan kerusakan sampel di setiap nisbah PLA:PCL. Mikrosfer pada minggu ke-8 hampir semua sudah rusak. Namun, pada nisbah mikrosfer PLA:PCL 6:4 masih ada er yang berbentuk utuh bulat, seperti mikrosfer lain Hal ini dapat dikatakan bahwa
semakin banyak kandungan PLA yang
menyusun polipaduan mikrosfer maka
degradasi mikrosfer semakin cepat. Polimer penyusun mikrosfer memperngaruhi proses proses degradasi pada awali dengan proses
perusakan langsung pada permukaan
mikrosfer. Mikrosfer yang telah terdegradasi umumnya masih memiliki bentuk bulat hanya udah rusak walaupun ada pula
beberapa mirosfer yang sudah pecah.
Permukaan mikrosfer yang awalnya rusak
menyebabkan air buffer mudah meresap
sehingga ikatan antar molekul polipaduan
menjadi melemah dan molekul-molekul
mikrosfer pecah menjadi molekul-molekul sebagian mikrosfer terkikis (Kemala et al 2010). pori mikrosfer juga menjadi lebih besar lubang besar pada permukaan mikrosfer sehingga bentuk mikrosfer tidak
a
c
Gambar 9 Foto Mikrosfer dengan mikroskop stereo pada minggu ke
perbesaran 40 X (a) PLA:PCL 9:1; (b) PLA:PCL 8:2; (c) PLA:PCL 7:3; (d) PLA:PCL 6:4.
Viskositas dan Penurunan Bobot Degradasi mikrosfer dilakukan selama 8 minggu direndam dengan buffer fosfat pH 7.4
pada suhu 37 °C yang disesuaikan dengan
kondisi pH dalam darah dan suhu tubuh manusia yang sehat. Perubahan morfologi mikrosfer telah menjelaskan bahwa mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 9:1 lebih mudah terdegradasi. Hal ini di
yang mempunyai sifat mudah rapuh dan memiliki waktu degradasi yang lebih pendek
Gambar 10 Penurunan bobot mikrosfer s ( ) PLA:PCL 7:3, ( 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 pe nu ru na n bo bo t( b/ b% ) b d
Foto Mikrosfer dengan mikroskop stereo pada minggu ke-8 dengan perbesaran 40 X (a) PLA:PCL 9:1; (b) PLA:PCL 8:2; (c) PLA:PCL 7:3; (d) PLA:PCL 6:4.
Penurunan Bobot Degradasi mikrosfer dilakukan selama 8 minggu direndam dengan buffer fosfat pH 7.4 C yang disesuaikan dengan kondisi pH dalam darah dan suhu tubuh manusia yang sehat. Perubahan morfologi mikrosfer telah menjelaskan bahwa mikrosfer ah PLA:PCL 9:1 lebih mudah sebabkan oleh PLA mempunyai sifat mudah rapuh dan memiliki waktu degradasi yang lebih pendek
daripada PCL, sehingga pada minggu ke mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 6:4 masih ada sebagian yang utuh. W
PLA yang pendek ini terbukti dengan
persentase penurunan bobot mikrosfer nisbah PLA:PCL 9:1 berkurang paling besar sebanyak 37.98% (Lampiran
8:2 31.06% (Lampiran 5.b 23.55% (Lampiran 5.c), dan
22.68% (Lampiran 5.d). Hal ini menjelaskan bahwa ada pengaruh komposisi PLA: dengan penurunan bobot mikrosfer selama proses degradasi. Semakin besar komposisi PLA maka penurunan bobot molekul semakin besar tiap minggunya. (Gambar
lama juga waktu perendaman maka jumlah
bobot mikrosfer yang berkurang semakin
banyak selama proses degradasi.
Proses degradasi PLA dan PCL terjadi secara hidrolisis. PLA dan PCL merupakan
polimer jenis poliester. Degradasi
dalam lingkungan berair t
pemutusan ikatan pada sambungan ester dari tulang punggung polimer. Serangan air pada
rantai poliester menyebabkan terputusnya
ikatan ester menghasilkan oligomer
poliester dengan bobot molekul lebih rendah daripada molekul poliester
dan Steven 2000). Selain adanya penurunan bobot, degradasi mikrosfer ditandai pula dengan adanya penurunan viskositas.
Penurunan bobot mikrosfer selama 8 minggu ( ) PLA:PCL 9:,1( ) PLA : PCL 8:2, ( ) PLA:PCL 7:3, ( ) PLA:PCL 6:4
1 2 3 4 5 6 7 8
minggu
daripada PCL, sehingga pada minggu ke-8 mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 6:4 masih ada sebagian yang utuh. Waktu degradasi
PLA yang pendek ini terbukti dengan
persentase penurunan bobot mikrosfer dengan nisbah PLA:PCL 9:1 berkurang paling besar sebanyak 37.98% (Lampiran 5.a), PLA:PCL 31.06% (Lampiran 5.b), PLA:PCL 7:3 ), dan PLA:PCL 6:4 ). Hal ini menjelaskan ahwa ada pengaruh komposisi PLA:PCL dengan penurunan bobot mikrosfer selama proses degradasi. Semakin besar komposisi PLA maka penurunan bobot molekul semakin besar tiap minggunya. (Gambar 10). Semakin juga waktu perendaman maka jumlah
bobot mikrosfer yang berkurang semakin
banyak selama proses degradasi.
PLA dan PCL terjadi . PLA dan PCL merupakan
polimer jenis poliester. Degradasi poliester
dalam lingkungan berair terjadi melalui
pemutusan ikatan pada sambungan ester dari tulang punggung polimer. Serangan air pada
rantai poliester menyebabkan terputusnya
ikatan ester menghasilkan oligomer-oligomer poliester dengan bobot molekul lebih rendah daripada molekul poliester awal. (Hanifa 2008 Selain adanya penurunan bobot, degradasi mikrosfer ditandai pula dengan adanya penurunan viskositas.
Nilai viskositas yang semakin menurun menunjukan bahwa bobot molekul mikrosfer menurun pula tiap minggunya
Menurut persamaan Mark
Sakurada, nilai viskositas berbanding lurus dengan besarnya bobot molekul sehingga
dapat dikatakan bahwa bobot molekul
mikrosfer tiap minggunya menurun. Gambar
10 menunjukkan bahwa nilai viskositas
mikrosfer nisbah PLA:PCL
tiap minggunya daripada mikrosfer nisbah PLA:PCL 9:1. Hal ini menunjukkan bahwa bobot molekul mikrosfer PLA:PCL 6:4 lebih besar pula daripada bobot molekul mikrosfer PLA:PCL 9:1. Bobot molekul PLA hasil
sintesis yang kecil mempengaruhi bo
molekul mikrosfer. Kinetika Penurunan
Model kinetika yang digunakan untuk analisis mikrosfer secara
et al. (2006) adalah orde nol, orde satu, orde
dua, Higuchi, Crossmayer
Hixson-Crowel. Orde nol, orde
Higuchi lebih digunakan dalam penelitian ini karena PLA dan PCL
yang bersifat erosi sedangkan
crossmayer-peppas dan Hixon
cenderung untuk polimer yang bersifat
hidrogel (Muthu MS dan
Metode yang dapat digunakan untuk
menghitung model kinetika kimi
metode substitusi, metode grafis, dan metode waktu fraksional. Penelitian ini menggunakan perhitungan metode grafis sehingga diperoleh persamaan garis dan koefisien korelasi.
Gambar 11
Viskositas
8:2, ( ) PLA:PCL 7:3, ( ) PLA:PCL 6:4. 0 1 2 3 4 5 6 vi sk os ita s (m pa s)Nilai viskositas yang semakin menurun menunjukan bahwa bobot molekul mikrosfer menurun pula tiap minggunya (Lampiran 6 ).
Menurut persamaan
Mark-Houwink-Sakurada, nilai viskositas berbanding lurus dengan besarnya bobot molekul sehingga
dapat dikatakan bahwa bobot molekul
mikrosfer tiap minggunya menurun. Gambar
10 menunjukkan bahwa nilai viskositas
mikrosfer nisbah PLA:PCL 6:4 paling besar tiap minggunya daripada mikrosfer nisbah PLA:PCL 9:1. Hal ini menunjukkan bahwa bobot molekul mikrosfer PLA:PCL 6:4 lebih besar pula daripada bobot molekul mikrosfer PLA:PCL 9:1. Bobot molekul PLA hasil
sintesis yang kecil mempengaruhi bobot
Kinetika Penurunan Bobot Mikrosfer Model kinetika yang digunakan untuk
secara in vitro oleh Shoaib adalah orde nol, orde satu, orde
dua, Higuchi, Crossmayer-Peppas, dan
rde nol, orde satu, dan lebih digunakan dalam penelitian ini dan PCL merupakan polimer
yang bersifat erosi sedangkan model
peppas dan Hixon-Crowel
cenderung untuk polimer yang bersifat
dan S Singh 2009).
Metode yang dapat digunakan untuk
menghitung model kinetika kimia, yaitu
metode substitusi, metode grafis, dan metode waktu fraksional. Penelitian ini menggunakan perhitungan metode grafis sehingga diperoleh persamaan garis dan koefisien korelasi.
Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 3) terlihat bahwa koefisien korelasi penurunan bobot molekul yang paling tinggi untuk mikrosfer PLA: PCL yaitu pada orde antara nol dan satu. Model orde nol menjelaskan bahwa penurunan bobot mikrosfer bergantung
pada bobot molekul polimer
penyusunnya. Koefisien korelasi yang paling baik adalah koefisien korelasi yang nilainya paling mendekati angka satu. Perhitungan kinetika penurunan bobot mikrosfer tercantum di lampiran 7.
Tabel 3 Kinetika penurunan
PLA:PCL Koefisien korelasi (r
Orde nol Orde satu
9:1 0.9870 0.9955
8:2 0.9899 0.9792
7:3 0.9929 0.9948
6:4 0.9878 0.9817
Kinetika pelepasan obat pada penelitian Shoaib et al. (2006) dan Bolourtchian (2005)
menghasilkan kinetika yang koefisien
korelasinya paling tinggi adalah model
Higuchi, sedangkan Muthu MS dan S Singh (2009) mendapatkan hasil kinetika dengan koefisien korelasi yang tinggi pada model orde satu. Perbedaan model kinetika yang memiliki koefisien korelasi paling tinggi
berhubungan dengan faktor
mempengaruhi kinetika laju reaksi yaitu
macam zat yang bereaksi, konsentrasi
pereaksi, suhu, katalis, tekanan, luas
permukaan, dan cahaya.
Viskositas
mikrosfer selama masa degradasi ( ) PLA:PCL 9:,1( ) PLA : PCL8:2, ( ) PLA:PCL 7:3, ( ) PLA:PCL 6:4.
1 2 3 4 5 6 7 8
minggu
rkan hasil yang diperoleh (Tabel 3) terlihat bahwa koefisien korelasi penurunan bobot molekul yang paling tinggi untuk mikrosfer PLA: PCL yaitu pada orde antara nol dan satu. Model orde nol menjelaskan bahwa penurunan bobot mikrosfer bergantung
molekul polimer-polimer
penyusunnya. Koefisien korelasi yang paling baik adalah koefisien korelasi yang nilainya paling mendekati angka satu. Perhitungan kinetika penurunan bobot mikrosfer tercantum
Tabel 3 Kinetika penurunan bobot mikrosfer
Koefisien korelasi (r2)
Orde satu Higuchi
0.9955 0.9966
0.9792 0.9495
0.9948 0.9895
0.9817 0.9539
Kinetika pelepasan obat pada penelitian (2006) dan Bolourtchian (2005)
menghasilkan kinetika yang koefisien
korelasinya paling tinggi adalah model
Higuchi, sedangkan Muthu MS dan S Singh (2009) mendapatkan hasil kinetika dengan koefisien korelasi yang tinggi pada model orde satu. Perbedaan model kinetika yang ien korelasi paling tinggi
berhubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinetika laju reaksi yaitu
macam zat yang bereaksi, konsentrasi
pereaksi, suhu, katalis, tekanan, luas