• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama dan Kebudayaan Oleh: M. Arif Khoiruddin AGAMA DAN KEBUDAYAAN TINJAUAN STUDI ISLAM. Oleh: M. Arif Khoiruddin *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Agama dan Kebudayaan Oleh: M. Arif Khoiruddin AGAMA DAN KEBUDAYAAN TINJAUAN STUDI ISLAM. Oleh: M. Arif Khoiruddin *"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA DAN KEBUDAYAAN TINJAUAN STUDI ISLAM

Oleh:

M. Arif Khoiruddin*

Abstrak

Agama dan budaya adalah salah satu unsur yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan berbagai macam penilaian. Sebagian masyarakat menganggap agama harus steril dari budaya, sementara sebagian lain menganggap agama bisa berdialog dengan budaya. Hal ini terkait erat dengan fenomena perubahan pola pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman pemeluk agama (Islam). Dalam jurnal ini akan membahas tentang bagaimana hubungan antara agama dan kebudayaan.

Kata Kunci: Agama, Islam, Budaya Budaya dan Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai daya budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.1

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia sendiri kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat dan berarti

* IAIT Kediri

1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000), h. 181.

(2)

pula kegiatan atau usaha akal dan sebagainya untuk menciptakan sesuatu termasuk hasil kebudayaan.2

Sementara Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.3

Ruang lingkup kebudayaan sangat luas mencakup segala aspek kehidupan manusia. Menurut Sidi Gazalba kebudayaan dipandang dari aspek ruhaniah yang menjadi hakikat manusia adalah cara berpikir dan merasa, menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu waktu‖.4

Dalam rangka memberi petunjuk bagaimana manusia hidup berbudi daya, maka lahirlah aturan-aturan (norma) yang mengatur kehidupan manusia. Norma-norma kehidupan tersebut umumnya termaktub dalam ajaran agama. Sehingga agama adalah merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial-budaya tahap awal manusia.5

Dengan demikian kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Semuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.

2

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 156.

3

Sutan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 207.

4

Sidi Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 12.

5

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 374.

(3)

Agama dan Kebudayaan

Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama dalam konteks kehidupan sehari-hari.6

Hubungan agama dan kebudayaan merupakan dua unsur yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama sendiri mempunyai nilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama tidak pernah sebaliknya.

Sebagian kelompok yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah bahwa agama bukan berasal dari manusia tetapi datang dari Tuhan dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan pemikiran intelektual untuk

memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk

menjalankannya dalam kehidupan. Maka menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga agama mau tidak mau menjadi bagian dari kebudayaan.7

Apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu adalah garis batas Tuhan dan manusia, maka wilayah agama dan wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak statis, tetapi dinamis, sebab Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi khalifah Nya di bumi. Maka pada

6

Gazalba, Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi, h. 95.

7

Musa Asy’ari, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI, 1999), h. 75.

(4)

tahapan ini, adakalanya antara agama dan kebudayaan menempati wilayah sendiri-sendiri, dan adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama yaitu yang disebut dengan wilayah kebudayaan agama, seperti dapat digambarkan dalam bagan, sebagai berikut:8

Agama sesungguhnya untuk manusia dan keberadaan agama dalam praktik hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia untuk agama. Oleh karena itu agama untuk manusia, maka agama pada hakikatnya menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan ajarannya. Jika agama untuk manusia, maka agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah agama adalah sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu, sehingga agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah dituliskan.9

8 Ibid., h. 76.

(5)

Di kalangan sarjana Barat, penganjur kelompok ini adalah Emile Durkheim, seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut mempengaruhi pemikiran sebagian sarjana Indonesia. Salah seorang sarjana Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut pengakuannya sendiri telah terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim. Dengan menggunakan istilah religie dan bukan

agama karena menurut beliau lebih netral. Koentjaraningrat

berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini didasarkan kepada konsep Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap relegi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu:

1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius.

2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib.

3. Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.

4. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut

Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa komponen sistem kepercayaan, sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius, jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia. Adapun komponen pertama, yaitu emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan. 10

Pendirian Koentjaraningrat di atas tercermin dalam teori cultural universalnya, di mana beliau memasukkan religi sebagai bagian dari kebudayaan, yaitu:

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia seperti pakaian,

(6)

perumahan, alat-alat rumahtangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport, dan lain sebagainya.

2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain sebagainya

3. Sistem kemasyarakatan sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan

4. Bahasa baik lisan maupun tertulis

5. Keseniaan seperti seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya

6. Ilmu pengetahuan. 7. Relige. 11

Sedangkan menurut Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan, kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa. Yang menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau tidak? Menurut Hatta keduanya bukan persoalan. Agama adalah juga suatu kebudayaan, karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya hatta mengatakan agama adalah suatu bagian daripada kebudayaan.12

Pada pandangan lain tentang kitab suci, jika kitab suci dibicarakan dan dipahami sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada seorang nabi, maka sesungguhnya harus ada batas-batas yang dapat diterangkan secara jelas, kapan wahyu itu sebagai wahyu yang datang dari Tuhan dan sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, dan kapan wahyu itu kemudian dituliskan, diajarkan dan dijelaskan oleh seorang nabi kepada umatnya, yang sepenuhnya bersandar pada realitasnya sebagai seorang nabi, karena bagaimana pun, seorang nabi itu sesungguhnya manusia juga sebagaimana dalam al-Qur’an, 18:110. 13

َءاَقِل ىُجْرَي َناَك ْهَمَف ٌدِحاَو ٌهَلِإ ْمُكُهَلِإ اَمَّوَأ َّيَلِإ ىَحىُي ْمُكُلْثِم ٌرَشَب اَوَأ اَمَّوِإ ْلُق

اًدَحَأ ِهِّبَر ِةَداَبِعِب ْكِرْشُي لاَو اًحِلاَص لاَمَع ْلَمْعَيْلَف ِهِّبَر

(

ٔٔٓ

)

11 Ibid. 12

Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis Dan Refleksi Historis) (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 36.

(7)

Terjemahnya : Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya

seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.

Jadi pada saat wahyu itu disampaikan kepada seorang nabi, maka wahyu itu masih bersandar kepada Tuhan, akan tetapi setelah wahyu itu dituliskan dalam dereta huruf dan susunan kalimat, diajarkan, dijelaskan dan kemudian dipraktikkan dalam kehidupan, maka wahyu dengan segala isi dan ajarannya itu telah menyejarah dan karenanya telah memasuki wilayah kebudayaan.

Oleh karena itu, kebenaran wahyu sebagai ayat-ayat Tuhan, yang bersifat mutlak dan tunggal, hanya dapat ada dan berada secara internal dan telah terkandung dalam kitab suci itu sendiri. Akan tetapi ketika wahyu itu dituliskan, dipahami dan diajarkan serta dipraktikkan dalam kehidupan bersama, maka kebenaran pemahaman, pemikiran dan praktik hidup menjalankan ajaran yang terkandung dalam wahyu itu tidaklah bersifat mutlak, dan di dalamnya terdapat adanya pluralitas, perubahan dan penggeseran.14

Pasa sisi lain, ada pandangan yang menyatakan bahwa pandangan para sarjana tersebut telah terperangkap dan terjebak ke dalam generalisasi, semacam pencampuradukan semua agama sebagai bagian dari kebudayaan termasuk kepercayaan, moral dan hukum yang bersumber dari agama-agama.

Agama bukan wahyu bagian dari kebudayaan

Secara faktual agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbeda beda dan mempunyai asal-usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini merupakan realitas dunia yang tak dapat dielakkan. Artinya, semua agamayang ada di dunia ini beraneka

(8)

ragam, berbeda-beda asal-usul dan sejarahnya, ditinjau dari segi sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok: Pertama, agama alamiyah (natural religion) adalah agama ciptaan atau hasil karya manusia. Dinamakan pula agama

filsafat, agama bumi, din al-ardh, agama ra’yu, non-revealed religion, din at-thabi’I, dan agama budaya. Kedua, agama samawiyah (revealed religion), yakni agama yang diwahyukan

Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Juga disebut agama

wahyu, agama langit, dan agama profetis.

Untuk memahamai perbedaan lebih lengkap dari klasifikasi agama tersebut, ada baiknya kita mempelajari ciri pokok dari kedua jenis agama tersebut. Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara agama wahyu atau agama samawiyah dengan agama bukan wahyu atau agama budaya sebagai berikut:

Pertama, agama wahyu berpokok kepada konsep

ke-Esaan Tuhan, sedangkan agama bukan wahyu tidak. Kedua, agama wahyu beriman kepada para nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak. Ketiga, bagi agama wahyu sumber utama tuntunan dan ukuran baik buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wakyu kitab suci tidak esensial. Keempat, semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan-wahyu, kecuali paganisme, lahir di luar area tersebut. Kelima, agama wahyu timbul di daerah-daerah yang secara histories di bawah pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian agama tersebut berhasil menyebar ke luar area pengaruh Semitik. Sebaliknya agama bukanwahyu lahir di luar area semitik. Keenam, sesuai dengan ajaran historisnya, maka agama wahyu adalah agama missionary (agama dakwah), agama bukan wahyu bukanlah agama missionary. Ketujuh, ajaran agama wahyu memeberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya. Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek spiritual dari hidup ini. Agama bukan-wahyu tidak demikian15.

15

Ahmad Abdullah al-Masdoosi, Living Religions of the World: A Socio-Political Study (Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, 1962), h. 11– 12.

(9)

Ciri-ciri perbedaan antara agama wahyu dan agama bukan-wahyu, juga dikemukakan oleh Sidi Gazalba, dengan ciri-ciri pokok masing-masing agama tersebut, adalah:

1. Agama bukan-wahyu, tidak disampaikan oleh Nabi dan rasul Tuhan, dan tidak dapat dipastikan lahirnya.

2. Tidak memiliki kitab suci yang diwariskan oleh Nabi/Rasul Tuhan. Kalau ada kitab suci yang diwariskan penganjurnya, isi kitab itu mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah agama itu.

3. Sistem merasa dan berpikir inheren dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan kebudayaan masyarakat. 4. Berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang

menganutnya.

5. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tidak tahan terhadap kritik akal.

6. Konsep ketuhanannya bukan serba esa Tuhan.16

Berdasarkan ciri-ciri agama budaya di atas, Sidi Gazalba mengemukan cirri-ciri agama samawi atau agama wahyu, adalah:

1. Disampaikan oleh Rasul Tuhan (utusan Tuhan), dengan pasti dapat dinyatakan waktu lahirnya.

2. Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul Tuhan dengan isi yang serba tetap.

3. Sistem merasa dan berfikirnya tidak inheren dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan (facet kebudayaan) masyarakat yang menganutnya, bahkan dikehendaki system merasa dan berfikir tiap kehidupan mengarah kepada system berfikir dan merasa agama.

4. Tak berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang menganutnya, sebaliknya justru mengubah mentalitas penganutnya.

5. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tahan terhadap kritik akal.

16

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan bintang, 1976), h. 82–83.

(10)

6. Konsep ketuhanannya serba Esa Tuhan Murni.

Klasifikasi agama ke dalam dua jenis yaitu agama alamiyah dan agama samawiyah dan ciri-ciri pokok yang membedakannya secara tajam, dimaksudkan untuk menghindari generalisasi dan pencampuradukan serta penyamarataan semua agama. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa agama tidak merupakan genus yang mempunyai species, akan tetapi dengan klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau wahyu yang diberikan Allah SWT kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.

Agama Wahyu Bukan Bagian Dari Kebudayaan

Berbeda dari pola pemikiran di atas, terdapat kelompok pemikir yang mengatakan bahwa agama wahyu bukan merupakan bagian kebudayaan. Kelompok ini berpendapat bahwa agama samawi dan kebudayaan adalah berdiri sendiri-sendiri. Jadi agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup. Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa: Agama samawi dan budaya tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian daripada yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri.

Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan isteri, yang dapat melahirkan putera, namun suami bukan merupakan bagian dari si isteri, demikian pula sebaliknya.17

Apabila kita mengikuti pandangan dan pendirian-pendirian seperti diketengahkan di atas, maka pandangan Saifuddin Anshari dapat diterima. Dan atas dasar itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan Islam, demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Artinya antara agama dan kebudayaan

17

Endang Saifuddin Anshari, Agama Dan Kebudayaan (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 46.

(11)

masing berdiri sendiri sendiri, namun di sisi lain terdapat kaitan erat antara keduanya.18

Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asas, pengendali, pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama Islamlah yang menjadi pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi ―kebudayaan yang bercorak dan beridentias Islam‖.

Begitu pula berhubungan agama Islam dan kebudayaan Islam itu berdiri sendiri, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya,maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya adalah unsur ajaran agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, dan juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat shalat, kemudian orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, bangunan masjid itulah kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi tenaga penggerak bagi penciptaan budaya19.

Masih menurut Faisal Ismail, bahwa pandangan dan pemahaman yang kurang proporsional seperti yang dikemukakan di atas berasal dari sarjana-sarjana Islam, agaknya banyak dipengaruhi cara berpikir sarjana bukan Islam terutama pandangan yang dikemukakan oleh H.A.R. Gibb yang mengatakan, bahwa : Islam is indeed much more than a system

of theology: it is a complete civilization. Kata-kata Gibb di atas,

oleh M.Natsir diterjemahkan: ―Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja; dia itu adalah satu kebudayaan yang lengkap‖. Kemudian, dengan kata-kata yang agak berbeda, M. Natsir menerjemahkan pula: ―Islam lebih dari satu sistem peribadatan; ia adalah satu kebudayaan yang lengkap‖. Dari pandangan ini, Endang Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa kata-kata Gibb dan terjemahan M. Natsir, Endang sangat menaruh keberatan dan memberikan kritik. Keberatan dan kritik

18

Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis Dan Refleksi Historis), h. 43.

(12)

Endang Saifuddin Anshari terhadap terjemahan M. Natsir adalah sebagai berikut: ….tidaklah tepat menerjemahkan a system of theology tidak sama dengan agama atau peribadatan; teology adalah suatu studi jadi: ilmu tentang salah satu aspek agama, yaitu : credo, creed atau aqidah. Studi tentang agama atau tentang bagian dari pada agama tidaklah sama dengan agama itu sendiri.20

Terhadap kata-kata Gibb Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete civilization, Endang Saifuddin, menolak kata-kata Gibb itu dengan mengajukan argumentasinya: Islam adalah wahyu. Jadi bukan satu sistem

teology, karena logi=ilmu, science, studies. Dan Islam bukanlah

ilmu, Karena ilmu adalah salah satu cabang daripada kebudayaan, dan ciptaan manusia.

Sekali lagi menurutnya Islam adalah wahyu, jadi samasekali bukanlah civilization walaupun pakai ajektif

complete sekalipun! Karena menurut kamus dan ensiklopedia

manapun civilization itu adalah man-made, karya manusia, ciptaan insani. Kemudian, dengan alas an ini Endang Saifuddin Anshari, mengatakan lebih lanjut, bahwa Pendapat Gibb termaktub di atas banyak sekali diambil oper begitu saja oleh orang-orang Islam sendiri, tanpa dipikirkan konsekuensinya lebih jauh! …Hal ini dapat saja dipahami, bahwa kesimpulan seperti itu dapat keluar dari seorang Islamolog bukan muslim seperti H.A.R. Gibb.

Pandangan ini tidak banyak berbeda dengan kata-kata dan kesimpulan Gibb di atas adalah pandangan G.E. Von Grunebaum yang dalam salah satu pengantar katanya tentang Profil Peradaban Islam mengatakan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, Islam berkembang menjadi suatu peradaban. Terhadap pandangan G.E. Von Grunebaum di atas, bahwa Islam tidak pernah berkembang menjadi peradaban dan atau kebudayaan.

Jika, diteliti secara seksama pandangan G.E. Von Grunebaum tersebut, mengandung pengertian bahwa pada mulanya Islam itu agama, kemudian dalam pertumbuhan

(13)

selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Faisal Ismail, menyatakan ini tidak benar, Islam selamanya adalah agama dari sejak diturunkan sampai sekarang dan sampai hari akhir. Islam tidak pernah berkembang menjadi peradaban tetapi Islamlah yang membentuk dan menumbuhkan peradaban atau kebudayaan dalam masyarakat penganutnya. Suatu hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah bahwa agama Islam dan kebudayaan Islam adalah berbeda, artinya masing-masing berdiri sendiri agama=wahyu; kebudayaan=produk akal. Tentu saja harus ada saling kait antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan Islam.

Tetapi lain halnya dengan agama-agama suku agama alamiah yang dianut oleh suku-suku tertentu, perpaduan antara agama dan kebudayaan sangat erat sekali, bahkan sulit dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan agama contoh; agama Hindu di Bali.21

Dalam agama-agama suku, orang melakukan sesuatu aktivitas, dilakukan dengan mantra dan sajian. Oleh karena itu, dalam agama agama suku, kultur (kebudayaan) dalam setiap seginya sangat erat dan tak terpisahkan dengan ibadat (cultus). Sebagai contoh, amati kehidupan keagamaan Hindu di masyarakat Bali, di mana ―antara agama, adat-istiadat, tradisi, seni budaya sulit dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena semuanya lebur dalam satu kesatuan yang utuh dan padu (terintegrasi).

Upacara peribadatan, tabuhan, nyanyian, adat istiadat dan tradisi serta kesenian saling berkait secara utuh. Upacara-upacara keagamaan disertai dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan sebagainya. Di sini dapat dikatakan bahwa kebudayaan sama dengan agama, artinya agama tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.

Dalam Islam, unsur-unsur kebudayaan terlarang masuk kedalam ajaran agama‖. Misalnya saja, orang dapat melakukan shalat langsung kepada Allah tanpa disertai media nyanyian, tarian, saji-sajian, dan unsur unsur kebudayaan lainnya. Dengan

21

Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis Dan Refleksi Historis), 46.

(14)

demikian, agama Islam tetap terpelihara dan terjaga kemurnian dan keasliannya, tidak tercampuri oleh adanya kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam agama. Maka, setiap unsur kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam agama ia pasti ditolak dan akan diketahui karena agama Islam dapat dibedakan dengan hal-hal yang bukan agama.22

Y.B. Sariyanto Siswosoebroto seorang Katolik yang sudah masuk Islam, menyatakan kalau kita mengikuti dengan cermat perubahan perubahan yang terdapat dalam Gereja, maka kesimpulannya bahwa agama sama dengan kebudayaan akan menjadi jelas. Sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, Kurban Missa (kebatinan) memakai bahasa Latin, sedangkan sesudah Konsili Vatikan II, dengan sedikit demi sedikit Missa memaakai bahasa setempat. Kesenian daerah masuk ke dalam Kurban Missa, seperti gamelang, sendratari dan lain-lain, sehingga orang ke Gereja bukan saja mengikuti Kurban Missa tetapi juga menikmati sendratari.

Penemuan-penemuan dan percobaan-percobaan baru dimasukkan ke dalam liturgy (kebaktian). Misalnya: Gereja Pugeran Yogyakarta, Pastor dengan memakai pakaian kejawen lengkap dengan keris mempersembahkan Missa. Tanda pengenal bahwa dia seorang Pastor hanya pada stola yang dikalungkan ke lehernya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka kita dapat bertanya : Apakah memang agama itu sama dengan kebudayaan yang penghayatannya harus dikembangkan dengan kedaan zaman? Dalam agama Islam cara orang shalat dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang tetap sama. Unsur-unsur kebudayaan boleh dimasukkan dalam agama kalau itu hanya menyangkut dengan masalah teknis tanpa merubah inti agama itu sendiri.

Islam dan Kebudayaan

Islam merupakan dasar, asas, pengendali, pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam

(15)

pengembangan dan perkembangan kultural. Agama Islamlah yang menjadi pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi ―kebudayaan yang bercorak dan beridentias Islam‖.

Begitu pula hubungan agama Islam dan kebudayaan Islam itu berdiri sendiri, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya, maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya adalah unsur ajaran agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, dan juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. 23

Untuk tempat shalat, kemudian orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, bangunan masjid itulah kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi tenaga penggerak bagi penciptaan budaya.

Kebudayaan dapat digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala dimasyarakat. Pengamalan agama yang terdapat dimasyarakat diproses oleh penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya membaca kitab fiqih maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang dimasyarakat tempat agama itu berkembang.

Misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau yang lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.

23 (Faisal Ismail)1998 43

(16)

Kesimpulan

Hubungan agama dan kebudayaan merupakan dua unsur yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama sendiri mempunyai nilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama tidak pernah sebaliknya.

Agama bukan berasal dari manusia tetapi datang dari Tuhan dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga agama mau tidak mau menjadi bagian dari kebudayaan.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takbir. Antropologi Baru. Jakarta: Dian Rakyat, 1986.

al-Masdoosi, Ahmad Abdullah. Living Religions of the World: A

Socio-Political Study. Karachi: Begum Aisha Bawany

Wakf, 1962.

Anshari, Endang Saifuddin. Agama Dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Asy’ari, Musa. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Yogyakarta: LESFI, 1999.

Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi Dan

Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

———. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan bintang, 1976. Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis Dan

Refleksi Historis). Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Pada ruang dalam ciri Gotik terlihat dengan jelas dan khas antara lain pada tiang-tiang menjulang tinggi, terdiri dari alur-alur, di atas terpencar menjadi kerangka atap dari

Penulis mendefinisikan environmetal literacy sebagai kondisi dimana individu memiliki pemahaman yang utuh terhadap lingkungan (environmental knowledge) yang kemudian

Mula bukane tradisi kawiwitan saka saklompok uwong kang urip kanthi cara pindah-pindah panggonan (nomaden) kang nggunakake sadranan minangka wujud pangurmatan marang sesembahan

Dengan demikian, peningkatan kadar garam dalam air media hidup ikan yang terinfeksi monogenea dapat menghambat pertumbuhan parasit tersebut Penelitian ini bertujuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Return On Equity (ROE) dan Ukuran Perusahaan (Firm Size)berpengaruh terhadap underpricing pada perusahaan yang IPO di Bursa Efek

Questo slittamento dei confini, però, come nel caso del corpo, apre ai rischi non soltanto di sorveglianza costante, ma anche di spinta a riprodurre le norme sociali e di genere

hasil penelitian terdahulu terkait dengan pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR). terhadap pertumbuhan laba dengan menggunakan rasio

Disamping itu penetapan Desa dan Desa Adat merupakan amanat Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa khususnya dalam Pasal 116, maka Peraturan Daerah