• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effects of Methylprednisolon to the incidence of SIRS after thoracotomy using mouse model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Effects of Methylprednisolon to the incidence of SIRS after thoracotomy using mouse model"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2

Effects of Methylprednisolon to the incidence of SIRS after

thoracotomy using mouse model

Afriliandryf Rokhmanika 1), Supomo 2), Claude Mona Airin 3)

1).

Department of Surgery, Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada / DR.Sardjito Hospital

2).

Subdivision of Thorax and Cardiovascular Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada / DR.Sardjito Hospital

3)

Head of LPPT, Veterinary Universitas Gadjah Mada Abstract

Background. The prevalence of SIRS (Systemic inflammatory response syndrome) is relatively high, almost one-third of inpatients and more than 50% of all patients in ICU (Intensive Care Unit) suffer from SIRS. Nearly 80% of post-operative patients who are treated in ICU 80% are diagnosed with SIRS. Patients with trauma, including those after invasive procedures of surgery have a high risk for infection and many of them are not well documented. The prevalence of infection increases paralel with the number of SIRS criteria as well as with the severity of symptoms of sepsis. One third of patients with SIRS will experience or develop into sepsis. Corticosteroid is a strategy to treat SIRS in patients undergoing CPB heart, and successfully decrease the use of ventilator and length of hospitalization.

Aim: To compare the incidence of SIRS in post-thoracotomy in white mice who received and not received methylprednisolone therapy.

Metode: This study is an experimental study using white rats Rattus Norwegicus, in which 20 rats were divided into 2 groups. Thoracotomy is performed in all rats in which 10 rats were treated with metylprednisolon 5 mg/kilograms body weight shortly after anesthesia and before thoracotomy. The other group, 10 rats were not treated with metylprednisolon. Parameters analyzed were temperature, blood gas analysis, leucocytes and neutrophils counts before and after thoracotomy. Twenty-four hours post-thoracotomy, all parameters were re-measured.

Results. Both groups with and without methylprednisolone treatment did not show SIRS symptoms. There is no significant difference in temperature measurements after thoracotomy between those treated with and without steroids (37.17 ± 0.601 vs 37.4 ± 0.294, P = 0.197), as well as in leukocytes counts (7.63 ± 1.91 vs. 6.37 ± 2.45 P = 0.216). In addition, variables before and after thoracotomy did not show significant different between groups with and without corticosteroid, especially in leukocytes counts (-1.846 ± 2.917 vs. -1.615 ± 1.67, P = 0.83) body temperature (-0.24 ± 0.795 vs. 0.05 ± 0.486, P = 0.338). Blood gas analysis showed a significant difference (pCO2 47.46 ± 8.29 vs. 55.19 ± 6.17; respectively for the groups with and without steroids, with P = 0.029).

(2)

3 Conclusions. We did not find incidence of SIRS in both groups of mice that underwent thoracotomy neither with nor without methylprednisolone 5 mg/kilograms body weight. Administration of methylprednisolone 5 mg / kg in mice that underwent thoracotomy inhibits the inflammatory responses, as shown by relatively minimum temperature changes, less elevation of neutrophils counts, and least increased PaCO2 levels in rats treated with methylprednisolone.

(3)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Prevalensi SIRS (Systemic inflammatory response syndrome) sangat tinggi, mencakup sepertiga dari total pasien rawat inap dan > 50% dari seluruh pasien ICU (Intensive Care Unit). Pada ICU bedah, SIRS dapat mencakup >80% pasien. Pasien trauma , termasuk didalamnya trauma karena prosedur invasif oleh pembedahan memiliki risiko tinggi dan sebagian besar tidak terdokumentasi memiliki infeksi. Prevalensi infeksi meningkat seiring dengan jumlah kriteria SIRS yang dipenuhi dan dengan peningkatan derajat keparahan gejala sepsis. Sepertiga pasien SIRS mengalami atau akan beralih ke sepsis.

Studi oleh Martin et al memperkirakan insiden sepsis di Amerika Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000 orang. Insidens diproyeksikan meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Laju mortalitas yang dilaporkan pada studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai 28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang lebih 750.000 episode baru untuk sepsis berat, dengan mortalitas tahunan berkisar 220.000 (29%) di AS.

(4)

2

Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992 mengajukan konsep Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif.

SIRS merupakan kejadian yang sering ditemukan, dan kegagalan multi organ yang merupakan kelanjutan dari SIRS, merupakan kejadian utama yang menyebabkan kematian pada perawatan ICU. Insiden SIRS meningkat seiring peningkatan pemahaman tentang patofisiologi SIRS, dan kematian akibat SIRS juga tidak mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kewaspadaan kondisi, organisme yang resisten dan meningkatnya jumlah pasien yang menderita imuno kompromise dan menderita sakit yang kronis (Balk, 2004).

Dari survei yang telah dilakukan dari 3708 pasien yang dirujuk ke rumah sakit, 68% memenuhi kriteria SIRS dengan proporsi yag sama antara pasien yang dilakukan tindakan pembedahan dan yang tidak. Dua puluh satu persen pasien dengan SIRS berlanjut menjadi sepsis, 18% menjadi sepsis berat, dan 4% mengalami syok septik.

Sebelum terjadi SIRS, terjadi mekanisme invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh dengan atau tanpa gejala. Menurut consensus konferensi American College of Chest Physicians pada tahun 1991, mendefinisikan infeksi sebagai fenomena mikroba yang ditandai oleh respon inflamasi terhadap keberadaan atau invasi mikroorganisme pada jaringan host yang biasanya steril dari organism (Bone et al.,2009).

(5)

3

Tubuh bereaksi terhadap organisme yang menyerang melalui aktivitas seluler, regulasi penanda sel tertentu, pelepasan sel sitokin dan protein fase akut, aktivasi jalur komplemen yang mengakibatkan interaksi yang kompleks antara mediator dari kaskade inflamasi (Blomkalns, 2007).

Steroid banyak digunakan dalam pengobatan radang dan penyakit imunologik (Sutarman dan Roma, 1993). Steroid untuk terapi sepsis dan syok sepsis sudah diteliti sejak lebih dari 50 tahun (Levy et al., 2005). Manfaat steroid sebagai terapi untuk sepsis masih diperdebatkan. Pada beberapa penelitian meta analisis, steroid dikatakan meningkatkan morbiditas,perdarahan pada saluran pencernaan, dan tidak menurunkan mortalitas (Azis,2006). Akan tetapi suatu studi yang dilakukan oleh Annane et al. (2002), menunjukkan bahwa terapi steroid dapat menurunkan mortalitas pada pasien syok sepsis dengan insufisiensi adrenal. Walaupun setelah diterapi dengan steroid setengah dari populasi pasien syok sepsis meninggal, akan tetapi steroid tetap diperlukan sebagai terapi tambahan untuk menurunkan mortalitas, pada populasi baik untuk pasien dengan atau tanpa insufisiensi adrenal (Levy et al., 2005).

Penggunaan steroid secara rasional merupakan role play untuk mendapatkan efek imunosupresan dan anti inflamasi yang optimal. Dalam berbagai penelitian, pemberian steroid dosis tinggi gagal dalam memperbaiki kondisi pasien sepsis. Sedangkan pemberian steroid dosis rendah pada sepsis menimbulkan perbaikan yang cukup memuaskan.

(6)

4

Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan inflamasi karena kemampuannya dalam berinteraksi dengan respon imun (Djillali etal., 2003; Huiqing et al., 2007). Penggunaan kortikosteroid dosis rendah pada sepsis tahap awal masih menjadi perdebatan (Djillali et al., 2002). Telah diterangkan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi jangka pendek tidak menunjukkan efek yang bermakna. Namun banyak penelitian baru yang menggunakan dosis lebih rendah jangka panjang dan memperlihatkan efek yang bermakna. Efek positif ini juga dapat memulihkan syok, menurunkan disfungsi sistem organ dan menurunkan tingkat mortalitas (Goodman et al., 2002).

Titik tangkap pemberian kostikosteroid dosis rendah pada sepsis adalah mengurangi respon inflamasi sistemik, sebagai vasopressor, menghambat produksi sitokin proinflamasi, mediator-mediator inflamasi, dan menurunkan adhesi lekosit ke endotel ( Djillali dan Caillon, 2003;Rhen dan Cidlowski, 2005).

Reaksi inflamasi memiliki peranan terjadinya komplikasi paska operasi termasuk didalamnya disfungsi miokardial, gagal nafas, disfungsi renal dan neurological, gangguan perdarahan, dan terganggunya fungsi hepar yang akan berakibat pada kegagalan multi organ. Penelitian oleh whitlock et al.,(2006), pada pasien paska cardiopulmonary bypass dengan memberikan steroid dosis rendah untuk menghilangkan kejadian SIRS, pasien diberikan metilprednisolon dengan dosis 250 mg dua kali secara intravena, yang diberikan saat preoperative dan saat berlaangsungnya CPB, mendapatkan hasil didapatkan keuntungan secara klinis

(7)

5

yang dibuktikan oleh factor perdarahan yang lebih baik dibandingkan pasien dengan placebo, durasi penggunaan ventilator yang lebih singkat, dan waktu rawat inap di icu yang lebih singkat.

Metilprednisolon sebagai antiinflamasi pertamakali digunakan di bidang pembedahan oleh Reploge et al. (1966), pada operasi cardio pulmonary bypass (CPB) kurang lebih 30 tahun yang lalu. Metilprednisolon direkomendasikan karena secara signifikan lebih sedikit menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan aliran perfusi pada pasien yang diberikan steroid (Dietzman et al.,1975). Penelitian yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir ditemukan bahwa produksi sitokin pro inflamatori dapat dikurangi dengan pemberian metilprednisolon (Engelman et al (2005), Hill et al.,(1995), Teoh et al.,(1995), kawamura et al, (1995)).

Penggunaan kortikosteroid merupakan strategi untuk mengkoreksi terjadinya SIRS pada pasien jantung yang menjalani CPB. Penggunaan kortikosteroid pada perioeratif memodulasi plasma dan respon sel inflamatori (Jansen et al.,1992).

Penelitian yang dilakukan oleh Deng et al (1993), menunjukkan konsentrasi interleukin-6 berkorelasi dengan jumlah komplikasi post operasi coronary artery bypass grafting (CABG). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hennein et al.(1994), menemukan korelasi konsentrasi interleukin-6 dan fungsi miokardial. Dari penelitian secara klinis telah didapatkan bahwa protease

(8)

6

inhibitor aprotinin mengurangi total blood loss setelah tindakan CABG (Dieetrich et al.,1990). Efek anti inflamasi aprotinin dosis tinggi serupa dengan metilprednisolon yang ditunjukkan oleh respek pelepasan tumor nekrosis factor-α (TNFα) dan ekspresi oleh neutrofil CD11b integrin. Meskipun demikian penggunaan aprotinin dosis rendah tidak menunjukkan efek yang berarti pada reaki inflamatori. Pada anak-anak aprotinin dosis rendah juga hanya sedikit memberikan pengaruh pada SIRS (Seghaye et al.,1996).

Berdasarkan penelitian-penelitian diatas, penulis ingin meneliti pengaruh pemberian kortikosteroid dosis tinggi dengan kejadian SIRS pasca operasi mayor , dalam hal ini digunakan hewan coba tikus putih yang dilakukan tindakan torakotomi.

B. Perumusan masalah

Apakah pemberian metilprednisolon dosis tinggi lebih menurunkan kejadian SIRS pasca tindakan torakotomi pada tikus putih ( Rattus norwegicus)

C. Tujuan penelitian Tujuan Umum:

Untuk membandingkan angka kejadian SIRS pada tikus putih pasca torakotomi yang mendapatkan terapi metilprednisolon dan yang tidak mendapatkan terapi metilprednisolon

(9)

7 D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat keilmuan : Untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh pemberian metilprednisolon terhadap kejadian SIRS

2. Manfaat klinis: dapat dijadikan acuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut pada manusia

E. Keaslian penelitian

Penelitian tentang Sepsis dan metilprednisolon yang sudah dipublikasikan : 1. (Bourbon et.al., 2003) dengan judul: The effect of methylprednisolone

treatment on the cardiopulmonary bypass-induced systemic

inflammatory response. Bila dibandingkan dengan penelitian Bourbon

et al , penelitian ini memiliki persamaan tujuan penelitian yaitu penilaian apakah pemberian metilprednisolon dosis 5 mg/kgBB dapat mempengaruhi kejadian infeksi. Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Bourbon et al, (2003) karena Bourbon memilih pasien yang menjalani operasi jantung (Cardiac surgery with cardiopulmonary bypass ) tanpa infeksi sebelum operasi sedangkan

penelitian ini menggunakan operasi torakotomi pada tikus putih.

2. (Saputri DA., 2010) dengan judul : Pengaruh pemberian steroid dosis

(10)

8

Bila dibandingkan dengan penelitian Saputri, penelitian ini memiliki persamaan tujuan penelitian yaitu penilaian apakah pemberian metilprednisolon dapat mempengaruhi kejadian infeksi. Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh saputri, 2010 karena saputri memilih objek penelitian mencit yang diberikan perlakuan sehingga terjadi sepsis dan pemberian metylprednisolon diberikan tiap hari sedangkan penelitian ini pemberian metylprednisolon saat tikus putih diinduksi sebelum dilakukan tindakan torakotomi.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya kami ingin menjelaskan bahwa forex adalah bisnis dengan resiko yang besar, maka dari itu bila anda baru memulai usaha dalam meraih penghasilan melalui pasar forex maka

Kekurangan lainnya adalah lithium tidak tahan terhap suhu tinggi, oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut terdapat BMS yang berfungsi sebagai balancing dari baterai,

Tipuric & Prester (2004) menunjukkan bahwa ketika faktor demografi yaitu gender dihubungkan dengan perilaku investor terhadap suatu risiko maka akan ada

Bagian komunikasi dan pemasaran hanya memiliki sistem agenda penggunaan aula yang dirasa kurang efektif dalam pendokumentasian kegiatan karena hanya kegiatan yang

Kemampuan literasi sains siswa tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kemampuan menulis narasi siswa. Kemampuan

Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa pada kelompok peserta JKN terjadi peningkatan nilai CI sebesar 0.0086 yang artinya terjadi peningkatan inekuitas atau ketimpangan

◮ Dapat menghindari panas yang tinggi dan pengaruh dari elektro-magnetik pada saat terjadi arus hubung singkat, karena arus maksimum dari hubung singkat sesuai dengan arus cut-off