SKRIPSI
KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI
SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA
NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI
NIM. 1203005217
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
SKRIPSI
KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI
SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA
NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI
NIM. 1203005217
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI
SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI
NIM. 1203005217
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”KEADILAN RESTORATIF BAGI
KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA”.Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih
kepada berbagai pihak yang sangat berperan dalam proses penyelesaian skripsi
ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum, selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. Ibu Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.M.,Hum., selaku Pembimbing
Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas
6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H., M.H., selaku Dosen Ketua
Bagian Hukum Pidana.
7. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan, dan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
8. I Gusti Ngurah Parwata,SH.,MH., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan, dan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi ini.
10. Bapak dan Ibu Staf Perpustakaan, Staf Laboratorium, dan Tata Usaha yang
telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
11. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji
skripsi ini.
12. Keluarga penulis I Wayan Setia, S.H (bapak), Ni Putu Janawati, S.H.,M.H
(ibu), Gita Setyana, dan Tria Setyana terimakasih atas doa dan dorongan
morilnya kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
13.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis Edy Bun, Ika, Mia, Edes, Prila,
Srigati, Cintya, Dewi, Gek Emik, Jerry yang sudah memberi dukungan dan
viii
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penelitian
ini, semoga dikemudian hari penulis dapat lebih meningkatkan
kemampuannnya.Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Denpasar, 11 April 2016
x DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 11
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 11
1.4 Tujuan Penelitian ... 12
1.4.1 Tujuan umum ... 12
1.4.2 Tujuan Khusus ... 12
1.5 Manfaat Penelitian ... 13
1.5.1 Manfaat teoritis ... 13
1.6 Landasan Teoritis ... 13
1.7 Metode Penelitian ... 18
1.7.1 Jenis penelitian ... 18
1.7.2 Jenis pendekatan... 19
1.7.3 Sumber bahan hukum ... 21
1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 21
1.7.5 Teknik analisa bahan hukum ... 21
BAB II TINJAUAN UMUM ... 23
2.1 Keadilan Restoratif ... 23
2.1.1 Pengertian keadilan restoratif ... 23
2.1.2 Pendekatan dan prinsip keadilan restoratif ... 25
2.2 Korban Tindak Pidana ... 28
2.2.1 Pengertian dan tipelogi korban ... 28
2.2.2 Pengertian tindak pidana ... 31
2.2.3 Akibat menjadi korban tindak pidana ... 33
2.3 Proses Peradilan Pidana ... 35
xii
3.1 Fungsi dan Wewenang Penegak Hukum dalam Proses Peradilan
Pidana ... 39
3.1.1 Fungsi dan wewenang lembaga kepolisian ... 40
3.1.2 Fungsi dan wewenang lembaga kejaksaan ... 42
3.1.3 Fungsi dan wewenang lembaga pengadilan ... 43
3.2 Peran Negara untuk Memenuhi Hak-Hak Korban dari Suatu Tindak Pidana ... 44
3.2.1 Peran kepolisian selaku penyidik dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 45
3.2.2 Peran kejaksaan selaku penuntut umum dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 47
3.2.3 Peran pengadilan selaku hakim dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 48
BAB IV WUJUD KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN SUATU TINDAK PIDANA YANG BERSIFAT KONVENSIONAL DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 55
4.1 Pemberian Restitusi dan Kompensasi ... 56
4.1.1 Pengaturan ganti kerugian terhadap korban dalam KUHP ... 60
4.1.2 Pengaturan ganti kerugian terhadap korban dalam KUHAP ... 61
4.3 Pelayanan atau Bantuan Medis ... 65
4.4 Pendampingan atau Bantuan Hukum ... 67
BAB V PENUTUP ... 70
5.1 Kesimpulan ... 70
5.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA
xiv ABSTRAK
Terjadinya berbagai tindak pidana berdampak pada jatuhnya korban yang tentunya menimbulkan berbagai bentuk kerugian baik kerugian materiil, fisik maupun psikis. Berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Diharapkan antara tersangka dengan korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana mempunyai kedudukan yang sama, kenyataan undang-undang lebih memperhatikan hak-hak pelaku tindak pidana. Hak-hak korban tidak diatur secara terinci dalam undang-undang sehingga disini nampak adanya kekosongan hukum.
Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya itu sendiri.Korban dari suatu tindak pidana pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita, namun tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan uraian diatas dapat diangkat judul skripsi “Keadilan
Restoratif bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana”,
dengan permasalahan yaitu bagaimana peran negara memenuhi hak-hak korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana dan bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban tindak pidana yang bersifat konvensional.
Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan menelaah suatu undang-undang (KUHAP). Sedangkan jenis pendekatan digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum
(analytical & conceptual approach) yang artinya suatu masalah akan dilihat dengan menelaah semua undang-undang dan menganalisa konsep hukum.
Landasan teori yang digunakan adalah teori keadilan restoratif, serta pendapat ahli hukum pidana Muladi tentang argument kontrak sosial dan argument solidaritas sosial dan dengan pendekatan model pelayanan. Peran negara dalam memenuhi hak-hak korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana ditingkat penyidikan adalah menangkap dan menahan pelaku tindak pidana, ditingkat penuntutan memberikan hak kepada saksi untuk tidak hadir dalam persidangan dengan membacakan Berita Acara Pemeriksaan saksi yang sudah disumpah dalam Pasal 172 dan 173 KUHAP, peran hakim antara lain menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku diatur dalam Pasal 14 huruf c, Pasal 166, Pasal 178 ayat (1), Pasal 178 ayat (2) KUHAP). Sedangkan wujud keadilan restoratif bagi korban tindak pidana yang bersifat konvensional dengan pemberian restitusi dan kompensasi, adanya konseling, adanya pelayanan atau bantuan medis, dan pendampingan atau bantuan hukum.
ABSTRACT
The occurrence of various criminal acts have an impact on casualties that would cause various forms of losses for both material losses, physical and psychological. In connection with the examination of criminal offenses, often victims only positioned as giving testimony, as the complainant in the investigation process and as a source of information or as one of the keys for settling disputes.Expected between the accused and victims of crime in criminal proceedings has the same position, the fact the legislation more attention to the rights of the offender. The rights of victims are not set out in detail in the legislation so that here appear to have legal vacuum.
Restorative justice is an approach that focuses on the creation of conditions of fairness and balance to the offender and the victim itself. The victim of a criminal act is basically being worst affected, but did not obtain protection as that obtained by the criminal they are given by law.
Based on the description above can be lifted thesis title "Restorative Justice for the victims of an offense in the criminal justice process", the problem is how the role of the state fulfill the rights of victims of crime in the criminal justice process and how a form of restorative justice for victims of criminal acts that are conventional.
The research method in this paper uses normative legal research methods, namely legal research by studying for a law (Criminal Procedure Code). While this type of approach used is the approach of legislation (the statute approach) analysis of legal concepts and approaches (analytical and conceptual approach) which means that a problem will be seen by examining all the legislation and analyzing the draft law.
The cornerstone of the theory used the theory of restorative justice, as well as criminal law Muladi expert opinion on the social contract argument and the argument of social solidarity and with a service model approach. The state's role in fulfilling the rights of victims of crime in the criminal justice process in the investigation was arrested and detained perpetrators of criminal acts, level of prosecution gives the right to the witness not to attend the hearing by reading the Minutes of examination of witnesses who have been sworn to in Article 172 and 173 Criminal Procedure Code , the role of judges among other things conditional convict the perpetrator stipulated in Article 14 letter c, Article 166, Article 178 paragraph (1), Article 178 (2) criminal Procedure Code). While a form of restorative justice for victims of crime that is conventional with restitution and compensation, their counseling, their service or medical assistance, and assistance or legal aid.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa
dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai
kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi
korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap
tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu
kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar
diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam
mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri.
Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi
saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal
tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut
disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya.
Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana,
2
hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan
suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan
melaporkannya kepada pihak berwajib (penegak hukum) guna mendapatkan rasa
keadilan, terlebih bagi korban dari suatu tindak pidana.
Terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat merupakan suatu
indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan
dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.Kerugian yang timbul itu
bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung. Jenis kerugian yang diderita
korban bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun
keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat
nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya
keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena
kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu menghantui,
adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul.
Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita
dalam suatu tindak pidana, tetapi justru tidak memperoleh perlindungan
sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh
undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya pada saat pelaku kejahatan
telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti
tidak di pedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak
asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga
3
Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum (polisi,
jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan
yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi
untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara
mental, fisik, maupun materiil) dan kepentingan tertuduh atau tersangka sekalipun
ia bersalah, tetapi ia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak
boleh dilanggar, terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim
yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap
sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).1
Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak korban
diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:
”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak
korban”2
Dalam penyelesaian perkara pidana, apabila dikaji dari tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti
rehabilitasi, treatment of offenders, readapsi sosial, pemasyarakatan, dan
lain-lain.3Sedangkan korban kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai,
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, UrgensiPerlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II), hal. 24.
2
Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, Hal. 33.
3
4
baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun imateriil, sebagaimana Geis
berpendapat :”Too much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban
untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.4
Korban tidak diberi kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam
proses penyidikan maupun dipersidangan sehingga ia kehilangan kesempatan
untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu
kejahatan.5
Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya
diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan
dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.6
Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi
dipersidangan, ia dikenakan sanksi.
Jika disimak pasal demi pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
disebut KUHAP), hanya mengatur tentang hak-hak tersangka, dan sangat tidak
seimbang dengan hak-hak korban dari suatu tindak pidana, atau tidak diatur secara
jelas apa yang menjadi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Pada KUHAP
disana hanya mengatur tentang hak-hak tersangka sejak dalam proses
4
Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, hal. 47.
5
5
penyidikanhingga sampai dilakukan pemeriksaan ditingkat pengadilan. Ditingkat
penyidikan, hak tersangka adalah untuk mendapatkan pendampingan dari
penasehat hukum hingga hak tersangka untuk menuntut aparat penegak
hukum(penyidik) melalui lembaga praperadilan ketika terjadi kesalahan atau
ketidaksahan dalam hal adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan, sedangkan hak tersangka ditingkat pengadilan adalah berhak
mendapatkan pendampingan penasehat hukum, apalagi ancaman pidana bagi
tersangka diatas 5 (lima) tahun menjadi kewajiban bagi negara untuk
menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka secara cuma-cuma apabila
tersangkanya tidak mampu membayar penasehat hukum. Selama ini keadilan
dalam hukum pidana sudah dianggap ditegakkan apabila pelaku tindak pidana
sudah dijatuhi sanksi pidana melalui putusan hakim di Pengadilan. Dengan kata
lain, kerugian atau penderitaan korban dari suatu tindak pidana dianggap sudah
diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku
tindak pidana telah menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.Sanksi
pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan” kesalahan pelaku kepada
negara daripada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya
kepada korban.
Mengenai kepentingan korban, apakah dengan di pidananya si pelaku,
kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal
itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Korban
kejahatan adalah merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan atau
6
mendapatkan atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kejahatannya, sebagai
pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh aparat
penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Fokus perhatian dan energi
aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun
demikian apabila hal ini dianggap suatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak
seluruhnya dapat ditimpakan kepada aparat penegak hukum karena aparat
penegak hukum dalam proses peradilan pidana menerapkan aturan hukum pidana
yang selama ini menjadi acuan yang dipegang yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Selebihnya hak korban dari suatu tindak pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya ada dalam
hal untuk menuntut adanya penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan
melalui lembaga praperadilan.
Hukum pidana yang dibangun atas dasar fiksi hukum, negara mengambil
alih peranan penuntutan yang menjadi hak korban dengan alasan untuk
meminimalkan potensi pembalasan yang bersifat personal dan untuk pemidanaan
yang tepat atas dasar pertimbangan rasional demi korban dan masyarakat secara
keseluruhan.7Hak dari korban tindak pidana hanya diwakili oleh negara, pada
tingkat pemeriksaan hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri), pada tingkat
penuntutan hak korban diwakili oleh penuntut umum (Jaksa) dan pada tingkat
persidangan hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).Seperti halnya
7
7
peran jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum apabila putusan yang
dijatuhi oleh hakim terhadap terdakwa dirasa tidak memenuhi rasa
keadilan.Kadangkala peranan negara untuk memperjuangkan hak korban dari
suatu tindak pidana dirasa kurang memuaskan, karena
kemungkinan-kemungkinan adanya ketidakseriusan dari aparat negara dalam hal ini jaksa
penuntut umum untuk memperjuangkan hak korban tindak pidana baik melalui
upaya hukum banding, upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan
kembali.Substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur
hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun
bagi pemulihan penderitaan korban.
Menurut G. Widiartana, ada 2 (dua) alasan penyelesaian tindak pidana
melalui jalur hukum pidana tidak membawa manfaat bagi pemulihan penderitaan
korban yaitu :
Pertama, yaitu orientasi dalam pemidanaan lebih terfokus pada pelaku (offender oriented) sehingga penderitaan atau kerugian korban diabaikan; kedua, prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan tidak memungkinkan bagi korban untuk turut serta secara aktif menentukan cara bagaimana konflik itu diselesaikan. Bahkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang menjalankan prosedur penyelesaian perkara pidana seringkali justru menimbulkan
penderitaan lain pada korban (secondary victimization).8
Berpegang pada alasan yang dikemukakan oleh G. Widiartana, kiranya
pemerintah perlu membuat suatu kebijakan dibidang penegakan hukum pidana
untuk memberikan solusi mendapatkan keadilan bagi korban suatu tindak pidana.
Menurut Muladi, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan
penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:
8
8
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap ekskusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap
kebijakan ekskutif atau administratif.9
Kebijakan dibidang penegakan hukum pidana dalam rangka memperoleh
keadilan bagi korban tindak pidana hendaknya dimulai dari tahap formulasi atau
tahap legislatif yang nantinya dapat dijadikan payung hukum bagi penegak hukum
melaksanakan tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi atau tahap yudikatifmulai dari
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tidak dapat dipungkiri, kedepannya nanti
konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat akan terus menjadi fenomena
biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih.
Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua
konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh
karena itu, perlu dicari upaya-upaya lain dalam prosedur peradilan pidana yang
sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat
ini, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk
korban sebagai pihak yang paling dirugikan atau menderita.
Saat ini proses peradilan pidana merupakan konsep yang tidak
memberikan perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan korban tindak
pidana maupun pelaku tindak pidana.
Robert Reif mengemukakan asumsi bahwa:
9
9
“The problem of crime, always gets reduced to “what can be done about criminal”. No body asks, “what can be done about victims?” everyone
assume the best way to help the victim is to catch the criminal as though
the offender is the only souce of the victim trouble”. (suatu masalah dalam
hukum pidana, selalu mereduksi “apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat” tidak seorangpun bertanya “apa yang dapat dilakukan terhadap
korban”. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku
adalah sumber penderitaan korban).10
Konteks diatas, menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan
penting eksistensinya.Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat
suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman
kepada pelaku. Oleh karena itu, maka sistem peradilan pidana hendaknya
menyesuaikan, menserasikan kualitas dan kuantitas penderitaan serta kerugian
yang diderita korban, sehingga perlu diterapkan konsep keadilan restoratif dalam
proses peradilan pidana di Indonesia.
Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang
lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi
pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan keadilan restoratif
diasumsikan sebagai pergeseran paling mutahir dari berbagai model dan
mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani
perkara-perkara pidana.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Basic
Principles yang telah digariskannya menilai bahwa, pendekatan keadilan restoratif
adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang
rasional.
10
10
Menurut Dr. Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik
beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini.11
Dengan demikian, menurut penulis terkait dengan keadilan yang bisa
diperoleh korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam
proses penegakan hukum di Indonesia belum diatur secara jelas dalam
undang-undang tersendiri sehingga disini ditemukan adanya kekosongan hukum dalam
rangka mencari keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Hak-hak korban dari
suatu tindak pidana yang ada saat ini tersebar dalam berbagai undang-undang
seperti ada pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya hak-hak korban dari suatu tindak
pidana sudah mendapat perhatian yang sama dengan hak-hak tersangka, seperti
hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik diminta maupun tidak oleh korban.
Hal ini penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari
sebagian besar korban yang menderita akibat kejahatan, sikap membiarkan korban
kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat mengakibatkan
pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.
11 Eva Achjani Zulfa, 2009, “
11
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk
mengangkat tentang hak-hak korban dari suatu tindak pidana khususnya tindak
pidana yang bersifat konvensional dalam judul penelitian tentang “KEADILAN
RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA”
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah ini penting dilakukan untuk dapat memfokuskan
permasalahan tersebut sehingga sasaran dan tujuan diharapkan dapat tercapai.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik isu hukum atau
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran negara dalam proses peradilan pidana untuk memenuhi
hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional?
2. Bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana yang
bersifat konvensional dalam proses peradilan pidana?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang lingkup
masalah tentang materi yang diuraikan sehingga jelas batasannya.Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari
pokok permasalahan. Pada permasalahanpertama akan dibahas mengenai peran
negara dalam hal ini Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku jaksa penuntut umum,
12
pengadilan dalam memenuhi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Tindak
pidana yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang bersifat konvensional
(tindak pidana yang tercantum dalam KUHP), bukan tindak pidana
khusus.Sedangkan dalam permasalahan kedua dibatasi dalam hal seperti apa
wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana dalam proses peradilan
pidana.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah:
1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya
pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
2. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha mengungkapkan pemikiran
secara ilmiah melalui tulisan.
3. Untuk dapat mengetahui batasan serta wujud keadilan restoratif
bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan
pidana.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran negara dalam proses peradilan pidana
dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana.
2. Untuk mengetahui wujud keadilan restoratif bagi korban suatu
13
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Seluruh hasil penelitian ini dibuat untuk memperolehgelar sarjana srata
satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayanadan dapat dijadikan
sebagai bahan laporan bagi lembaga Fakultas HukumUniversitas Udayana
serta dapat digunakan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan pedoman
dalam pembuatan skripsi untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana di tahun-tahun berikutnya dan
memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi mahasiswa sehingga
mahasiswa mengetahui cara pembuatan skripsi dalam masalah hukum.
1.6 Landasan Teoritis
Pemikiran-pemikiran revolusioner menghendaki perhatian terhadap korban
dalam suatu tindak pidana lebih proporsional, tidak saja mengenai peranannya
dalam suatu tindak pidana tetapi juga tentang akibat tindak pidana tersebut bagi
korban.12Pemikiran-pemikiran revolusioner akhirnya memunculkan adanya ilmu
baru yang mempelajari tentang korban yang disebut dengan Viktimologi.
Terpinggirkannya kepentingan korban dari suatu tindak pidana dalam
penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana (penal) tersebut tidak
12
14
terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan
hukum pidana.
Dalam paradigma retributif, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan
melanggar aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga
ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat.13 Konsep utama
dari teori keadilan retributif adalah ganjaran atau hukuman balasan setimpal yang
menunjukan prinsip bahwa pidana harus dijatuhkan kepada orang yang menurut
rasa keadilan layak dipidana sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya,
bukan tentang apa yang dianggap perlu untuk tujuan pencegahan atau rehabilitasi.
Sedangkan paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya
sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga
sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban
(viktimisasi).14Persepsi tentang kejahatan menurut paradigma restoratif,
mengandung konsekuensi harus dipertimbangkan juga aspek korban dalam
penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan
kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi
juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban.
Muladi, memberikan argumentasi untuk mengedepankan perlindungan
hukum terhadap korban kejahatan berdasarkan argumen kontrak sosial (social
contract argument) dan argumen solidaritas sosial (social solidarity argument).
“Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli
seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan
13
Ibid, hal 136.
14
15
yang bersifat pribadi.Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya apabila warganegaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan
pelayanan maupun melalui pengaturan hak”.15
Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana,
Muladi secara mendasar memperkenalkan dua model, yakni Model Hak-hak
Prosedural (the procedural rights model) dan Model Pelayanan (the services
model).
“Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si
korban untuk memainkan peranan aktif didalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait didalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak
untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata”.16
“Selanjutnya pada model pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasisebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan
polisi dan para penegak hukum yang lain”.17
Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam
16
a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan
keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan
pidana secara umum merupakan rangkaian tindakan seperti
mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku,
mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian
melakukan riset kecil terhadap orang yang pernah menjadi korban dari
suatu tindak pidana dan apa yang mereka inginkan, apa yang telah
diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban.
Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku
tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban
karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegak
hukum adalah mendapat informasi dan pengertian apa yang
sebenarnya terjadi, mendapat jawaban dari pertanyaan pertanyaan para
korban dan mendapat barangnya kembali daripada penjatuhan
hukuman kepada pelaku.
b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa
yang telah diperbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang
menjadi tanggungjawab atas perbuatannya. Sering terdengar bahwa
para pelaku merasa telah selesai dengan hukuman yang telah
dijalaninya, padahal dalam kenyataan dampak perbuatannya telah
mengakibatkan kerugian materiil terhadap masyarakat atas perbuatan
17
konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum
dan saya bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatan
saya”.Itulah pandangan awal dari keadilan restoratif.
c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu
kesepahaman. Sejatinya, korban tindak pidana selalu dikelilingi oleh
pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan perbuatan ini?apa
tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? apakah pelaku
akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitu pula dengan pelaku tindak
pidana yang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat
dilakukan untuk bertanggung jawab atas kejahatan adalah dengan
memulihkan kerugian yang di derita korban.
e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak
melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas
ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya
adalah salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan
mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.18
Terkait dengan permasalahan yang diajukan diatas, maka landasan teoritis
yang digunakan untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan melihat
kejahatan dari paradigma restoratif.Paradigma restoratif memandang kejahatan
bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara,
tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban
18
18
(viktimisasi).Sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja
berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan
penderitaan atau kerugian korban.
Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, lebih
ditekankan pada Model Pelayanan (the services model) yang diperkenalkan oleh
Muladi. Pada Model Pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada
perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang
dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman aturan tersendiri
dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka
penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang
bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana
dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk
dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.
1.7 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.Penelitian
hukum normatif bertujuan melakukan penelitian hukum dengan menelaah suatu
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
19
Penelitian hukum normatif mencoba menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatif.19Menurut Abdulkadir Muhammad,
penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau
penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research), yaitu penelitian
hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu; aspek teori, aspek
sejarah, aspek filosofi, aspek perbandingan, struktur, dan komposisi.20 Dari
perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu:
1. Penelitian inventarisasi hukum positif
2. Penelitian hukum klinis
3. Penelitian asas-asas hukum
4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika perundang-undangan
5. Penelitian yang menelaah sinkronisasi suatu
perundang-undangan
6. Penelitian perbandingan hukum
7. Penelitian sejarah hukum.21
b. Jenis Pendekatan
Berdasarkan buku pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana,
penelitian normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, antara lain:
a. Pendekatan Kasus (the case approach);
b Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach);
c. Pendekatan Fakta (the fact approach);
19
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Bayu Medik Publishing, Malang, hal. 57.
20
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bahakti, Bandung, hal. 101.
21
20
d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (analitycal &conseptual
approach);
e. Pendekatan Frasa (words & phrase approach);
f. Pendekatan Sejarah (historical approach);
g. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
Adapun pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang
dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.22
Disamping itu juga dalam membahas permasalahan ini digunakan
pendekatan analisa konsep hukum (analitycal conceptualapproach).Pendekatan
analisa konsep hukumdilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan
hukum yang ada.23Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan
hukum untuk masalah yang dihadapi.Dalam menggunakan pendekatan analisa
konsep hukum, peneliti perlu merujukprinsip-prinsip hukum.Prinsip-prinsip ini
dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin
hukum.Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga ditemukan
didalam undang-undang.Disamping dalam perundang-undangan, konsep hukum
dapat juga ditemukan didalam putusan-putusan pengadilan.24
22
Ibid.
23
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal 137.
24
21
c. Sumber Bahan Hukum
Penulisan ini menggunakan penelitian normatif, sehingga bahan hukum
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat authoritative,
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.25
2. Bahan hukum sekunder terdiri dari; buku-buku teks (literature), kamus
hukum, jurnal hukum, karya tulis dalam bentuk artikel yang berkaitan
dengan hukum, serta bahan jurnal non hukum, seperti buku-buku ilmu
politik, filsafat, dan jurnal non hukum lainnya sepanjang mempunyai
relevansi dengan topik penelitian ini, serta internet.26
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/ Data
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan penelitian ini adalah
mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan, yaitu berupa
undang-undang, artikel-artikel, putusan hakim, dan buku-buku referensi yang akan
dibahas dalam penulisan skripsi ini.
e. Teknik Analisis
Sebagaimana sifat penelitian hukum normatif karena yang dianalisis
bukanlah data tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan
25
Ibid, hal. 144.
26
22
metode sebagaimana tersebut di atas, maka analisis bahan hukum dalam penelitian
ini dilakukan dengan:
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
2. Teknik evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat,
setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam
bahan hukum sekunder.
3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi
karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin
banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
4. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan
suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan
23 BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Keadilan Restoratif
2.1.1 Pengertian keadilan restoratif
Istilah restorative justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal
di Indonesia sejak era tahun 1960-an dengan istilah Keadilan Restoratif. Di
beberapa negara maju keadilan restoratif bukan sekedar wacana oleh para
akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Amerika Utara, Australia dan
beberapa negara di Eropa keadilan restoratif telah diterapkan dalam tahap proses
peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,
ajudikasi dan tahap eksekusi.27
PBB mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a way of responding to
criminals behavior by balancing the needs of the community, the victims and the
offender.28 (Sebuah penyelesaian terhadap perilaku pidana dengan cara
melaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku).
Miriam Liebman mendefinisikkan keadilan restoratif sebagai berikut:29
“Restorative justice has become the term generally used for an approach to criminal justice (and other justice systems such as a school diclipinary system)
that emphasizes restoring the victim and community rather than punishing the
27
Eriyantouw Wahid, 2009, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 1.
28
Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United Nations, 2006, hal. 6.
29
24
offender” (Keadilan restortif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti
sistem sekolah kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan
kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum
sang pelaku tindak pidana).
Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa
tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada
pada saat ini.30
Menurut Bagir Manan, secara umum pengertian keadilan restoratif adalah
penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban
maupun masyarakat.31
Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam
kelompok yang sempit dan luas.Definisi-definisi yang sempit mengutamakan
makna pertemuan antar pihak yang berkepentingan dalam kejahatan dan periode
sesudahnya, sedangkan definisi-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai
kedilan restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan
keduanya dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Canada sebagai
berikut: “Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the
30
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 65.
31
25
harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through
inclusive and cooperative process” (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya
tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif).32
Berdasarkan definisi tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa keadilan
restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang
melibatkan masyarakat, korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar
tercapainya keadilan bagi seluruh pihak, sehingga diharapkan terciptanya keadaan
yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya
kejahatan lebih lanjut.33
2.1.2 Pendekatan dan Prinsip Keadilan Restoratif
Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan bahwa
keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa preposisi, yaitu:
a. Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan
kerugian pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri.
b. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah
melakukan rekonsiliasi diantara pihak-pihak sambil memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan.
32
Johnstone dan Van Ness, 2005, The Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konfrensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, Bangkok-Thailand, hal. 2-3.
33
Amelinda Nurrahmah, 2012, Restorative Justice,
http://m.kompasiana.com/amelindanurrahmah/restorative-justice_55101738813311ae33bc6294.
26
c. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif
para korban, pelanggar dan masyarakat. Tidak semestinya
peradilan pidana didominasi oleh negara dengan
mengesampingkan yang lainnya.34
Keadilan restoratif akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian
hukum (rechtzakerheid). Hal ini karena keadilan restoratif tidak berfokus pada
hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan atau pemulihan keadaan
korban pasca terjadinya suatu tindak pidana.Dalam hal ini, pelaku tindak pidana
dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau
tindakan wajar lainnya yang diperintahkan oleh penegak hukum atau pengadilan.
Pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana memiliki kekuatan
yang mampu memulihkan hubungan antar pihak yang menjadi pelaku dan yang
menjadi korban.Juga memiliki kekuatan untuk mencegah adanya permusuhan
lebih mendalam antar para pihak dan mendorong rekonsilisasi antara pihak pelaku
dan korban secara sukarela. Kekuatan lainnya ialah mendorong adanya partisipasi
warga masyarakat lainnya, misalnya anggota keluarga atau tetangga serta
menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses menuju keadilan.
Di sisi korban, keadilan restoratif memberi kekuatan untuk memberi
kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa penyesalan kepada korban
dan lebih baik bila difasilitasi bertemu dalam pertemuan yang dilakukan secara
professional.Perspektif keadilan restoratif ini sebagai akibat adanya pergeseran
hukum dari lex talionis atau retributive justice dengan menekankan pada upaya
27
pemulihan (restorative).Dalam upaya pemulihan korban bilamana dengan pilihan
pendekatan yang lebih retributive dan legalistic sulit untuk mengobati luka
korban. Maka keadilan restoratif berupaya untuk menekankan tanggung jawab
pelaku atas perilakunya yang menyebabkan kerugian orang lain.35
Di sisi bantuan hukum, secara umum tidak selalu tersedia atau kalaupun
tersedia biaya pranata hukum tidak murah dan kesadaran akan peran para pihak
sendiri dalam menentukan keputusan masih membutuhkan pengalaman dan
konsistensinya. Implikasi dari keadilan restoratif ini, diharapkan dapat
berkurangnya jumlah orang yang masuk dalam proses peradilan pidana khususnya
dalam lembaga pemasyarakatan, berkurangnya beban sistem peradilan pidana dan
meningkatnya partisipasi publik dalam membantu penyelesaian kasus hukum.36
Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrinus Meliala adalah
sebagai berikut:
a. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya.
b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara
konstruktif.
c. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal
penyelesaian masalah.
35
H. Siswanto Sunarso,2014, Viktimologi dalam sistem peradilan pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 157.
36
28
d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah.
e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang
dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal.
2.2 Korban Tindak Pidana
2.2.1 Pengertian dan Tipelogi Korban
Arif Gosita menyatakan secara umum yang dimaksud dengan korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.37Mereka disini
dapat berarti individu atau kelompok, baik swasta maupun pemerintah.
Muladi menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang
yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk
kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial
terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan atau komisi yang
melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan.38
Menurut Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 dikatakan korban (victims)
means person who, individually or collectively, have suffered harm, including
37
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan,Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 6.
38
29
physical or mental injury, emotional suffering, economic loss and substantial
impairment of their fundamental rights, trough acts or omissions that are in
violation of criminal laws operative within member state, including those laws
proscribing criminal abuse of power”(Korban adalah orang-orang baik secara
individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun
mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari
hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu
negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan).39
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dalam pengertian yang luas korban diartikan sebagai orang yang
menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik pelanggaran yang bersifat
hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (nonpenal) atau dapat juga
termasuk korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of
power).Sedangkan pengertian korban dalam arti sempit dapat diartikan sebagai
victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam hukum pidana.Adapun
ciri yang melekat dari pengertian korban tersebut adalah bahwa korban
mengalami penderitaan (suffering) dan ketidak adilan (injustice).
39
30
Sellin dan Wolfgang mengemukakan tipologi korban sebagai berikut:
1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok);
2. Secondary victimization,yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;
3. Tertiary victimization,yang menjadi korban adalah masyarakat luas; 4. Mutual victimization,yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;
5. No victimization,yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen
yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.40
Dari perspektif ilmu viktimologi, selain mengajak masyarakat untuk lebih
memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian
munculah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut:
a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan;
b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cinderung menjadi korban;
c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya
kejahatan;
d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan
dirinya menjadi korban;
e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang
dibuatnya sendiri.41
40
31
2.2.2 Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda, yaitu strafbaarfeit.42Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam bahasa
Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de
werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara
harafiah perkataan strafbaarfeit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum.”43
Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.44Sedangkan Soerdjono Soekanto
dan Purnadi Purwacaraka, tindak pidana diartikan sebagai sikap tindak pidana
atau perilaku manusia yang masuk kedalam ruang lingkup tingkah laku
perumusan kaidah hukum pidana yang melanggar hukum dan didasari
kesalahan.45
Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana
adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
42
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 67.
43
P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hal. 172.
44
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hal. 55.
45
32
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.”46
Kanter dan Sianturi, pengertian tindak pidana didefinisikan sebagai suatu
tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.
Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja
telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan hukum.Sementara menurut Van Hamel, pengertian tindak pidana
ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian tindak pidana ialah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang
dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau
diperintahkan atau diperbolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi
sanksi berupa sanksi pidana.Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi
pidana atau tidak diberi sanksi pidana.47
46
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 54.
47
33
2.2.3 Akibat Menjadi Korban
Berdasarkan pengertian korban, dapat diketahui bahwa seseorang,
kelompok atau masyarakat dikualifikasikan sebagai korban tindak pidana apabila
ia mengalami penderitaan, kerugian atau kehilangan akibat dari perbuatan orang
atau pihak lain yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam
undang-undang. Penderitaan atau kerugian yang dialami korban itu bervariasi antara
penderitaan atau kerugian materiil, fisik, psikis dan sosial.
Penderitaan atau kerugian materiil dialami korban jika harta benda
miliknya hilang dari kekuasaannya atau rusak sehingga nilai kegunaannya
berkurang atau lenyap sama sekali. Termasuk dalam kerugian materiil ini adalah
hilangnya mata pencaharian, hilangnya atau berkurangnya keuntungan yang
seharusnya diperoleh dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh korban untuk
melakukan pemulihan.
Korban dikatakan mengalami penderitaan fisik apabila badannya
mengalami sakit, luka atau cacat akibat kejahatan yang terjadi.Termasuk dalam
pengertian ini adalah hilangnya kemerdekaan dan nyawa si korban.
Penderitaan psikis dialami oleh korban apabila tindak pidana, khususnya
kejahatan yang terjadi kepadanya mengakibatkan gangguan pada psikis atau
kejiwaan, mulai dari tingkat yang paling ringan sampai yang berat.Termasuk
dalam cakupan ini adalah munculnya perasaan takut, gelisah dan cemas sebagai
akibat dari pengalaman menjadi target kejahatan.
Dikaitkan dengan tindak pidana selain korban mengalami penderitaan
34
dari proses peradilan pidana. Korban diberitahu bahwa jika ia ingin memulihkan
kerugian, ia harus menyewa pengacara dan menuntut di pengadilan sipil. Sistem
peradilan pidana tidak untuk kepentingannya tetapi untuk masyarakat.Tujuannya
adalah untuk mencegah kejahatan, merehabilitasi penjahat, menghukum penjahat,
dan melakukan keadilan, tetapi tidak untuk mengembalikan korban ke keutuhan
mereka atau untuk membela mereka. Hukum secara konseptual menegaskan
bahwa satu-satunya cara untuk membuat korban tindak pidana menjadi merasakan
suatu keadilan adalah dengan memberikan hukuman dan pembalasan yang
seberat-beratnya pada pelaku tindak pidana. Namun, hal tersebut tidak selamanya
menjadi acuan dan menjadi pedoman dari aparatur penegak hukum untuk
menegakan hukum tersebut. Terkadang korban juga membutuhkan alternatif cara
lain untuk memperoleh pemenuh dari apa yang disebutnya sebagai keadilan,
misalnya dengan retribusi, kompensasi, ataupun restitusi.
Selain itu, seringkali korban juga harus menerima “label” dari masyarakat
yang dapat mempengaruhi kehidupan sosialnya. Berat ringannya penderitaan
sosial ini akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat terhadap status
individu dan struktur sosial yang berlaku.
Dikaitkan dengan upaya pemulihan yang dapat dilakukan oleh korban,
penderitaan psikis pada umumnya lebih sulit untuk dipulihkan dibanding dengan
pemulihan terhadap jenis penderitaan atau kerugian yang lain. Trauma psikis akan
membekas dalam pikiran dan perasaan korban sehingga sulit untuk
menyembuhkannya. Sifat lebih sulitnya pemulihan penderitaan psikis itu