• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Fe 3+ + H 2 O 2 Fe 2+ + HOO + H + (2) Fe 3+ + H 2 O 2 (Fe...O 2 H) +2 + H + (3) (Fe...O 2 H) +2 Fe 2+ + HO 2 (4)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Fe 3+ + H 2 O 2 Fe 2+ + HOO + H + (2) Fe 3+ + H 2 O 2 (Fe...O 2 H) +2 + H + (3) (Fe...O 2 H) +2 Fe 2+ + HO 2 (4)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

reaksi Fenton (Lampiran 2), dilanjutkan presipitasi bahan anorganik dengan sulfida (Lampiran 3). Apabila nilai COD rendah, maka akan langsung dilakukan presipitasi bahan anorganik dengan sulfida.

Analisis Kadar COD (Clesceri et al. 2005) Sebanyak 2,5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung COD, kemudian berturut-turut ditambahkan 1,25 mL larutan campuran kalium dikromat-merkuri sulfat dan 2,5 mL larutan campuran asam sulfat-perak sulfat (pembuatan reagen dapat dilihat pada Lampiran 4). Campuran diaduk kemudian ditutup. Prosedur tersebut diulangi untuk 2,5 mL air sebagai blangko. Setelah itu, unit pengaman tutup dipasang pada masing-masing tabung, dan tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu 150 oC selama 2 jam. Tabung COD lalu dikeluarkan dari oven dan dibiarkan hingga dingin. Campuran dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 100 mL dan dibilas dengan 2,5 mL air suling, sebelum ditambahkan 0,5 mL asam sulfat pekat, 3 tetes larutan indikator feroin, dan dititrasi dengan larutan baku fero amonium sulfat 0,05 N yang telah distandardisasi (Lampiran 5). Titik akhir ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi merah kecokelatan. Volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat dicatat.

Degradasi Senyawa (Metode Oksidasi Fenton)

Sebanyak 100 mL sampel limbah dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, lalu pH diatur 3–5 dengan menggunakan asam sulfat/NaOH. Setelah itu, ditambahkan FeSO4·7H2O dan H2O2 sambil diaduk

menggunakan pengaduk magnetik. Variasi nisbah Fe/H2O2 (b/b) yang dilakukan adalah

1:10, 1:25, 1:50, dan 1:100. Setiap variasi dilakukan secara triplo.

Presipitasi Dengan Penambahan Na2S (US Patent 5,338,460)

Larutan Na2S 13% (b/v) ditambahkan

sedikit demi sedikit ke dalam 100 mL sampel. Penambahan dilakukan hingga tidak terjadi perubahan pada larutan yang ditandai dengan tidak terbentuknya lagi endapan. Volume Na2S yang ditambahkan pada sampel adalah 7,

9, 10, 11, 15, dan 20 mL. Dengan sedikit pengadukan, campuran dibiarkan mengendap, lalu disaring dengan kertas saring. Filtrat diukur kandungan logamnya dengan AAS. Endapan dapat diserahkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Limbah suatu laboratorium pengujian biasanya mengandung bahan kimia berbahaya dari sisa kegiatan analisis/pengujiannya. Sebagian besar limbah ini terdiri dari bahan organik dan anorganik. Kandungan bahan organik pada limbah tersebut dapat didekati dari kadar COD, sedangkan kandungan bahan anorganik dapat dilihat dari kadar logam berbahaya yang terdapat pada limbah. Menurut PP No. 82/2001, baku mutu limbah cair untuk nilai COD maksimum sebesar 100 mg/L dan untuk merkuri sebesar 0,005 mg/L.

Penelitian ini menggunakan sampel limbah cair hasil analisis SO2. Pada tahap

awal, sampel terlebih dahulu dianalisis nilai COD dan kandungan logamnya. Logam yang terdapat pada limbah adalah logam merkuri. Keberadaan logam ini diketahui karena sampel limbah tersebut menggunakan bahan bermerkuri pada saat analisis.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai COD dan kandungan merkuri (Hg2+) limbah berturut-turut 4896 dan 15.954,699 mg/L. Terlihat bahwa limbah cair tersebut telah melebihi ambang baku mutu yang ada, baik dilihat dari nilai COD maupun kadar logam merkurinya. Karena itu, limbah tersebut memerlukan proses pengolahan terhadap pencemar organik dan anorganiknya (logam). Oksidasi dengan reagen Fenton dipilih untuk menurunkan kandungan bahan organik limbah, dan selanjutnya untuk menurunkan kadar Hg2+ dipilih metode presipitasi dengan Na2S.

Oksidasi Dengan Reaksi Fenton Tahap awal reaksi Fenton adalah reaksi antara ion Fe2+ (fero) dan peroksida menghasilkan radikal bebas hidroksil dan ion Fe3+ (feri). Ion Fe3+ akan bereaksi kembali dengan H2O2 menghasilkan suatu kompleks

yang nantinya akan membentuk kembali Fe2+. Pembentukan kembali Fe2+ ini terjadi sangat cepat dan merupakan ciri khas reagen Fenton. Reaksinya adalah sebagai berikut:

Fe2+ + H2O2 Fe3+ + OH- + •OH (1) Fe3+ + H2O2 Fe 2+ + HOO• + H+ (2) Fe3+ + H2O2 (Fe...O2H)+2 + H+ (3) (Fe...O2H)+2 Fe2+ + HO2• (4)

Di sisi lain, pada tahap awal ini bentuk radikal hidroksil juga bereaksi dengan H2O2

(2)

•OH + H2O2 HO2• + H2O (5)

Dengan cara yang sama, radikal perhidroksil dapat bereaksi dengan ion Fe3+(feri).

HO2• + Fe3+ Fe2+ + H+ + O2 (6)

Dari keseluruhan tahapan reaksi Fenton sebelumnya, dihasilkan dua radikal bebas, yaitu radikal hidroksil dan perhidroksil. Kedua radikal tersebut sama-sama sangat reaktif. Akan tetapi, karena radikal hidroksil lebih selektif pada senyawa organik dibandingkan dengan radikal perhidroksil, pada penelitian ini diasumsikan bahwa radikal hidroksil yang akan mengambil bagian dalam oksidasi untuk menurunkan kandungan bahan organik dalam limbah (Sanz et al. 2003).

Faktor Yang Memengaruhi Proses Fenton Perlakuan awal limbah sebelum proses Fenton adalah pengaturan pH ke 3–5. Pengaturan ini dilakukan karena pada pH rendah pembentukan •OH maksimal sehingga reaksi Fenton lebih efektif (Sanz et al. 2003). Jika pH < 3, maka efektivitas penghilangan kontaminan akan menurun. Ketika ion H+ terlalu tinggi, ion H+ sebagai pendonor elektron utama bagi •OH akan mempercepat pembentukan H2O. Sebaliknya jika pH limbah

cair terlalu tinggi, maka besi lebih cepat teroksidasi dan berubah menjadi Fe(OH)3.

Akan terjadi dekomposisi H2O2 yang

menghasilkan oksigen dan air tanpa pembentukan radikal hidroksil (Department of Energy US 1999). pH diatur dengan NaOH 30% (basa) karena sampel berada pada kondisi sangat asam (pH < 1). Larutan yang didapatkan setelah penambahan NaOH kurang baik, warna cairan menjadi keruh keputih-putihan.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan proses Fenton dengan penambahan Fe2+ (dalam penelitian ini digunakan FeSO4) yang

berfungsi sebagai katalis dan penambahan sedikit demi sedikit H2O2. Sebenarnya banyak

logam memiliki sifat khusus sebagai pentransfer oksigen, yang berfungsi mening-katkan kemampuan H2O2. Akan tetapi, sejauh

ini besi paling umum digunakan sebagai katalis karena dapat menghasilkan radikal hidroksil dalam jumlah yang tinggi, selain karena keberadaan besi yang berlimpah dan sifatnya yang non toksik.

Penambahan katalis logam besi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses Fenton. Biasanya semakin banyak besi yang ditambahkan, kerja reaksi Fenton akan

semakin meningkat. Akan tetapi, apabila penambahan berlebih, akan terjadi kelebihan logam besi dalam limbah. Konsentrasi mini-mum dalam penggunaan besi adalah 3–15 mg/L dan nisbah Fe:H2O2 adalah 1:10–50

(b/b). Pe-nelitian ini hanya memvariasikan dosis H2O2 dan membuat tetap dosis Fe.

Nisbah yang efektif dalam menurunkan kadar pencemar dalam limbah dilihat dari pengukuran para-meter COD.

Setelah penambahan H2O2 terjadi

perubahan warna (Gambar 3). Masing-masing variasi nisbah menunjukkan reaksi yang spontan, yang menandakan Fe2+ mengaktifkan H2O2. Akan tetapi, dengan perubahan warna

menjadi kuning hasil reaksi yang diperoleh pada larutan menjadi kurang baik. Hal ini diasumsikan karena penggunaan katalis besi yang berlebih, sehingga kadar logam besi dalam limbah meningkat, yang pada akhirnya ikut teroksidasi dan mengubah warna menjadi kuning.

(a)Sebelum pengolahan

(b) Nisbah 1:10 (c) Nisbah 1:25

(d) Nisbah 1:50 (e) Nisbah 1:100 Gambar 3 Hasil pengolahan limbah dengan

reaksi Fenton.

Setelah itu, sampel yang telah mengalami reaksi Fenton dipanaskan. Pemanasan ini dimaksudkan untuk menghilangkan peroksida yang masih terdapat dalam sampel sehingga tidak memengaruhi pengukuran COD.

(3)

Peroksida yang ikut teroksidasi mengganggu pengukuran bahan organik karena hasil pengukuran menjadi lebih besar dari nilai seharusnya.

Menurut Munter (2001) reaksi interaksi •OH dengan zat organik adalah sebagai berikut: RH + •OH H2O + •R (7) 2(•OH) H2O2 (8) •R + H2O2 ROH + •OH (9) •R + O2 ROO• (10) ROO• + RH ROOH + R• (11) Sebagai contoh, reaksi dengan metanol adalah sebagai berikut:

•OH/O2

CH3OH + •OH •CH2OH HCHO

•OH/O2 •OH/O2

HCOOH CO2 + H2O (12)

Pada persamaan tersebut, hasil reaksi adalah CO2 dan H2O. Meskipun secara teoretis reaksi

tersebut dapat berlangsung dengan mudah, hasil pengolahan limbah (Gambar 4) tidak menunjukkan penurunan nilai COD hingga di bawah baku mutu yang telah ditetapkan.

Gambar 4 Pengaruh penambahan Fe:H2O2

(b:b) terhadap penurunan nilai COD.

Penambahan H2O2 juga mempunyai

pengaruh pada reaksi Fenton. Kekurangan dosis H2O2 memberikan pengaruh yang sangat

kecil terhadap persen penurunan kadar zat organik dalam limbah. Penambahan dosis H2O2 dapat mempercepat pembentukan

radikal hidroksil, namun perlu diperhatikan sisa H2O2 pada akhir proses, karena tidak

semua H2O2 dapat berubah menjadi •OH

dalam waktu yang singkat. Selain itu, •OH akan bereaksi dengan H2O2 yang berlebih dan

menghasilkan HO2·, sehingga tidak efektif

lagi dalam memecah ikatan dalam dari zat organik. Selain itu, H2O2 yang berlebih

ber-sifat toksik, dan akan menambah kandungan zat organik dalam air limbah.

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4, nilai COD terendah hasil pengolahan masih berkisar 300–400 mg/L, masih jauh dari baku mutu limbah yang seharusnya, 100 mg/L (PP No.82/2001). Meskipun demikian, metode ini telah cukup baik dalam menurunkan kadar zat organik hingga 92.01% pada dosis Fenton 1:100. Nilai COD yang besar dapat disebabkan oleh banyaknya zat organik yang terkandung dalam limbah seperti peroksida berlebih, radikal perhidroksil, atau adanya senyawa asam pararosanilinmetil-sulfonat yang dihasilkan dari proses analisis SO2 yang

terdapat pada limbah sulit untuk dioksidasi sehingga meningkatkan hasil pe-ngukuran COD.

Presipitasi Sulfida

Analisis kadar SO2 di udara dapat

digu-nakan sebagai indikator polusi udara. Salah satu metode analisis kuantitatif SO2 adalah

metode pararosanilin/tetrakloromerkurat seba-gai pengabsorpsi (James dan Lodge 1988). Dalam metode tersebut, terdapat satu bahan yang mengandung logam berat, maka limbah yang dihasilkan pun akan mengandung logam berat.

Teknik presipitasi telah sering dipraktik-kan pada limbah yang mengandung logam de-ngan menggunakan hidroksida, sulfida, dan karbonat. Presipitasi hidroksida efektif dalam pemisahan logam arsenik, kadmium, Cr(III), tembaga, besi, mangan, nikel, timah, dan zink. Presipitasi sulfida sangat efektif dalam pemisahan logam kadmium, kobalt, tembaga, besi, merkuri, mangan, nikel, perak, timah, dan zink, sedangkan presipitasi karbonat efektif dalam memisahkan logam kadmium, nikel, dan timah pada pH yang sedikit lebih rendah daripada hidroksida atau sulfida (Braden 2006).

Presipitasi dengan hidroksida (NaOH) sebenarnya dapat dilakukan. Akan tetapi, en-dapan yang terbentuk kurang stabil diban-dingkan dengan sulfida karena pengendapan oleh OH- hanya maksimum pada pH tertentu. Selain pada pH maksimum tersebut, kelarutan logam meningkat sehingga logam yang sebelumnya mengendap dapat larut kembali (Eckenfelder 2000). Oleh karena itu, dalam penelitian ini presipitasi dengan sulfida yang digunakan. Selain endapan yang terbentuk lebih stabil, reaksi presipitasi sulfida dapat terjadi pada kisaran pH rendah, 2–3, reaksinya lebih cepat, dan lumpur yang terbentuk memiliki volume yang lebih kecil.

(4)

Perlakuan pada limbah sebelum pengen-dapan adalah pengaturan pH ke 2–3,5. Pada pH ini logam memiliki kelarutan yang tinggi dan berada pada kondisi bebas sehingga mungkin diendapkan. Pengaturan pH dilakukan dengan NaOH 30%. Selanjutnya pengendapan oleh sulfida dengan Na2S 13%

(Yen dan Woolwitch 1994). Volume sulfida yang ditambahkan pada saat perlakuan berbeda-beda. Hal ini diasumsikan karena dalam satu volume sampel limbah, kadar logam berbeda-beda jumlahnya. Semakin tinggi kadar logam terlarut dalam limbah cair, semakin banyak pula volume Na2S yang perlu

ditambahkan untuk membentuk flok yang dapat mengendap. Jika pada saat ditambahkan sejumlah volume tertentu, masih terjadi reaksi, maka harus ditambahkan Na2S lagi. Seperti

terlihat pada Lampiran 6, hasil percobaan pada tiap Erlenmeyer setelah ditambahkan volume Na2S tertentu selama masih

menun-jukkan adanya reaksi, maka terus ditam-bahkan kembali sejumlah Na2S sampai tidak

terlihat lagi adanya reaksi, yang menandakan bahwa larutan tidak mengandung logam dalam jumlah yang besar.

Gambar 5 memperlihatkan bahwa setelah dilakukan penambahan sulfida dengan volume tertentu yang berbeda-beda, reaksi terjadi dengan sangat spontan.

a. Na2S 7 mL b. Na2S 9 mL

c. Na2S 10 mL d. Na2S 11 mL

e. Na2S 15 mL f. Na2S 20 mL

Gambar 5 Hasil pengolahan limbah dengan presipitasi sulfida.

Beberapa Erlenmeyer menunjukkan peruba-han warna, disertai terbentuknya endapan hitam yang merupakan senyawa HgS, sedangkan beberapa Erlenmeyer lainnya, endapan tidak terlihat dengan jelas karena hampir sama dengan warna larutannya. Erlenmeyer-Erlenmeyer ini kemudian didiamkan selama satu malam untuk membiarkan semua endapannya mengendap.

Pencemar anorganik logam Hg pada limbah diukur menggunakan AAS. Pengukuran tersebut didahului dengan mengukur larutan standar logam Hg. Hal ini diperlukan agar diperoleh kurva standar (Lampiran 7) untuk mendapatkan persamaan garis sehingga konsentrasi logam terlarut pada sampel dapat diketahui. Logam pencemar ini bersumber dari HgCl2. Hasil pengukuran

dengan AAS menunjukkan penurunan kadar Hg2+ dengan penambahan berbagai volume Na2S (Tabel 2).

Tabel 2 Penurunan kadar Hg2+ dengan presipitasi Na2S 13% Volume Na2S (mL) Kadar Hg2+ (ppm) Persen penurunan (%) pH akhir 0 15954,70 0 0–1 7 0,01387 99,99% 11 9 0,00162 99,99% 9 10 0,00965 99,99% 6 11 0,01675 99,99% 11 15 0,03895 99,99% 9 20 0,00969 99,99% 10 Penurunan kadar Hg2+ ini disebabkan Na2S

mengendapkan Hg2+ menghasilkan endapan HgS yang berwarna hitam. Bila dilihat dari peraturan yang ada (PP. No. 82/2001), suatu limbah tidak boleh memiliki kadar Hg lebih besar dari 0,005 mg/L, maka hasil penurunan kadar Hg2+ dengan volume yang berbeda-beda masih belum mencapai kadar maksimum limbah yang dipersyaratkan. Walaupun demikian, metode ini sudah cukup baik karena dapat menurunkan kadar Hg2+ hingga 99,99%. Dari perhitungan teoretis, konsentrasi S 2-yang diperlukan untuk mengendapkan Hg2+ agar mencapai baku mutu (< 0,005 mg/L) adalah 8×10-46 M (Ksp HgS = 2×10-53), sedangkan konsentrasi yang dipakai adalah 1,7 M. Berdasarkan teori ini, pengendapan Hg2+ dapat dilakukan hingga mencapai baku mutu atau hingga berada di bawah baku mutu karena konsentrasi S2- yang digunakan telah melebihi konsentrasi yang diperlukan untuk

(5)

mengendapkan Hg2+ agar sesuai dengan baku mutu. Akan tetapi, dalam praktiknya dengan konsentrasi yang digunakan masih belum dapat mengendapkan Hg2+ di bawah baku mutu. Diperkirakan ada faktor lain yang menyebabkan Hg2+ tidak dapat terendapkan sesuai dengan perhitungan teori.

Gambar 6 memperlihatkan grafik penurun-an kadar Hg dengpenurun-an volume Na2S yang

berbeda-beda. Akan tetapi, dengan perbedaan volume tersebut tidak terlihat bahwa dengan semakin banyaknya volume Na2S yang

di-gunakan, kadar Hg akan menurun. Hal ini diasumsikan karena dalam satu volume sampel limbah, kadar logam yang terdapat dalam sampel itu jumlahnya berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak dapat dipastikan dengan semakin meningkatnya jumlah volume Na2S

akan menyebabkan semakin menurunnya kadar logam Hg.

Gambar 6 Grafik hubungan antara volume Na2S dan kadar Hg (ppm).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Pengolahan limbah dengan reaksi Fenton dapat menurunkan kadar zat organik dalam limbah. Metode oksidasi Fenton efektif bekerja pada pH 3–4. Nisbah Fe:H2O2 yang

efektif digunakan adalah 1:50 dengan persentase penurunan kadar zat organik 89,01%. Kadar logam dalam limbah juga dapat diminimalisasi dengan presipitasi sulfida. Penambahan Na2S 13% efektif

bekerja pada pH 2–3,5 dan pada volume 10 mL untuk sampel 100 mL. Persentase penurunan kadar logam mencapai 99.99%, tetapi masih belum memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh PP. No. 82/2001.

Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk bisa menurunkan kembali kadar zat organik pada limbah, misalnya dengan biodegradasi.

Pemakaian karbon aktif atau bahan absorpsi lainnya dapat digunakan untuk mengurangi kadar limbah yang masih sedikit di atas baku mutu.

DAFTAR PUSTAKA

Agustine C. 2008. Degradasi pelarut organoklorin dengan metode oksidasi-Fenton [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Amer IS. 1998. Treating Metal Finishing

Wastewater. Canton: Aquachem.

Andaka G. 2008. Penurunan kadar tembaga pada limbah cair industri kerajinan perak dengan presipitasi menggunakan natrium hidroksida. J Teknol. 1:127-134.

Braden. 2006. Mercury: Real Problems…Not Mythology. http://ipec.utulsa.edu/Conf 2006/Papers/Braden_92.pdf. [10 Jan 2010] Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005.

Standard Method for Examination of

Water and Wastewater (SMEWW) 21th.

Ed ke-20. APHA, AWWA, WEF.

Corbitt RA. 1990. Standard Handbook of

Environmental Engineering. Washington:

McGraw Hill.

US Department of Energy. 1999. Innovative

Technology: Summary Report.

http://apps.em.doe.gov/OST/pubs/itsrs/itsr 2161.pdf. [10 Jun 2008]

Eckenfelder WWJr. 2000. Industrial Water

Pollution Control. Ed ke-3. New York:

McGraw-Hill.

Harahap S. 1991. Tingkat pencemaran air Kali Cakung ditinjau dari sifat fisika-kimia khususnya logam berat dan keanekaragaman jenis hewan bentos makro [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Industrial Wastewater]. 2007. Fenton’s

Reagent: Iron-Catalyzed Hydrogen

Peroxide. http://www.h2o2. com

/applications/industrialwastewater/Fenton sreagent. html. [15 Mei 2008]

James P, Lodge JR. 1988. Methods Of Air

Sampling and Analysis. New York: Lewis

Gambar

Gambar  5  memperlihatkan  bahwa  setelah  dilakukan penambahan sulfida dengan volume  tertentu  yang  berbeda-beda,  reaksi  terjadi  dengan sangat spontan

Referensi

Dokumen terkait

Para PNS lingkungan Kecamatan dan Kelurahan wajib apel pagi setiap hari senin di Halaman Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, dan akan diberikan teguran kepada yang tidak ikut apel

• Menjawab, memperhatikan dan menanggapi keluhan dan saran yang masuk terkait dengan produk yang sudah dipasarkan (Keluhan/saran yang menyangkut produk secara mendetail akan

[r]

Kahayan Hulu Utara, Perbaikan nama sesuai hasil Rakernis Ditjen Bina Pemdes tentang Klarifikasi Data Nama dan Kodefikasi Desa tgl 1 April 2016..

Sifat makroskopis mutu karkas ayam yang baik yaitu tidak memiliki kelainan konformitas seperti tidak adanya patah mengandung antibiotik (Bahri dkk., 2002) tulang

Badan pemerintah dan instansi vertikal lainnya merupakan suatu organisasi yang mana zakatnya dipotong secara langsung dari pendapatan gajinya per bulan. Pada saat

Barang dicrsebut akan dikirim tanggal 2 Januari 2004, dan telah dicatat sebagai penjualan tahun 2003 (dan unit tersebut tidak terdapat pada listing persediaan per 31 Des 2003)..

Correct information on the legal channels of labour migration and its advantages, and the disadvantages and risks involved in illegal channels of labour migration, is the most