Community Health
VOLUME X No X Juli 20XX Halaman XX - XX
EFEKTIVITAS MODEL INSTALASI PENGOLAHAN AIR
LIMBAH
VERTICAL
FLOW
SUB-SURFACE
FLOW
CONSTRUCTED
WETLAND
DALAM MENGOLAH AIR
LIMBAH KEGIATAN
LAUNDRY
DI KABUPATEN BADUNG
Gede Padmanabha *
1, I Gede Herry Purnama, S.T., M.T., M.IDEA
1Alamat: PS Ilmu Kesehatan Masyarakat Fak. Kedokteran Universitas Udayana
Email: jerrysawada.digitalworld@gmail.com
*Penulis untuk berkorespondensi
Community Health 2015, I:2
1
Artikel Penelitian
ABSTRACT
Recently laundry services have increased especially in Bali. Many parties offer these services from small scale to big scale laundries, hotels, even hospitals. Preventing the
impact of laundries’ wastewater, Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland system was created considered the cost and the usage of Balinese volcanic rocks as substrate.
Aim of this study to measure effectivity rate of wetland system that divided into five parameters; TDS, TSS, BOD, COD, and Total Phosphate. Wetland system in this study used Kintamani Volcanic Rocks as the substrate and for the plants, Cattail (Thypa sp.) and Canna (Canna sp.) was used. Effectivity rate of this system measured in 6 weeks straight by compared the parameters between pre-treatment wastewater and pasca-treatment wastewater.
The results showed that the effectivity rate of TDS was 14.94%, TSS was 53.13%, BOD was 76.31%, COD was 67.41%, and Total Phosphate was 57.53%. Effectivity rate of wetland system was 53.86% by calculated the average from thos five parameters.
Keywords: treatment effectivity, constructed wetland, laundry wastewater, volcanic rock
PENDAHULUAN
Jasa laundry saat ini terus meningkat
khususnya di Bali bersamaan dengan
meningkatnya jasa laundry yang
ditawarkan oleh berabagai industri seperti
industri laundry skala kecil hingga skala
besar, hotel, maupun rumah sakit.
Perkembangan laundry terutama skala
kecil dan menengah belum terdata saat ini,
namun mencapai setiap daerah baik
perkotaan dan pedesaan di setiap
Kabupaten di Bali dikarenakan adanya
potensi usaha dari laundry di dalam
perkembangan aktivitas masyarakat saat
ini (Antara dkk. 2011). Perkembangan jasa
laundry tersebut berdampak pada volume
air limbah dari kegiatan laundry yang juga
Air Limbah dari kegiatan laundry memiliki
dampak yang berbahaya bagi lingkungan
dan kesehatan. Studi yang dilaksanakan
oleh Esmiralda dkk. (2012) menunjukkan
bahwa konsentrasi surfaktan dan nilai COD
(Chemical Oxygen Demand) yang tinggi
dalam limbah laundry berdampak pada
penurunan LC50 yang artinya limbah
tersebut semakin toksik dan semakin
berisiko mencemari lingkungan dan biota
yang ada di dalamnya. Selain dampak toksik, limbah laundry juga berdampak
pada perubahan lingkungan salah satunya
adalah eutrofikasi. Menurut Kohler (2006),
kandungan fosfor berupa sodium
tripolifosfat dalam limbah laundry
mengakibatkan adanya peningkatan
pertumbuhan enceng gondok, alga serta
sianobakteri yang mengurangi kandungan
oksigen dalam perairan sehingga
mempercepat proses eutrofikasi. Dampak
dari eutrofikasi bagi kesehatan adalah
risiko keracunan serta penyakit-penyakit
yang berasal dari air (foodborne diseases)
lainnya dikarenakan penggunaan air dari
perairan yang mengalami eutrofikasi
ataupun sumber air yang terkontaminasi
oleh perairan tersebut. Risiko tersebut
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan
oleh sianobakteri yang tumbuh dalam
perairan (Volterra dkk. 2002).
Dampak dari air limbah laundry harus
diminimalkan melalui upaya pengendalian
pencemaran air. Upaya tersebut diatur
dalam berbagai peraturan yang ditetapkan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup serta
pemerintah daerah, salah satunya
peraturan Gubernur nomor 8 tahun 2007
tentang baku mutu lingkungan hidup yang
diterapkan di Bali. Untuk menyesuaikan
baku mutu tersebut, diperlukan upaya
pengolahan air limbah yang dilakukan
melalui instalasi pengolahan air limbah.
Constructed Wetland merupakan salah
satu jenis instalasi pengolahan air limbah yang dapat diterapkan di Indonesia
khususnya di Bali dengan keuntungan
biaya yang lebih murah, perawatan yang
mudah, keberlangsungan instalasi yang
mampu mencapai 15 tahun, serta
penentuan lokasi instalasi yang lebih
fleksibel (WasteWater Garden. 2012).
Berdasarkan studi Zurita dkk. (2006),
efektivitas pengolahan air limbah dengan
metode ini mampu menurunkan
kandungan Biochemical Oxygen Demand
(BOD) lebih dari 70%, Chemical Oxygen
Demand (COD) lebih dari 75 %, dan
kandungan fosfor lebih dari 66%.
Penentuan Vertical Flow Sub-Surface Flow
Constructed Wetland dengan substrat batu
vulkanik yang akan digunakan dalam
penelitian ini dikarenakan Vertical Flow
Sub-Surface Flow Constructed Wetland
memerlukan lahan yang sedikit dalam
pengoperasiannya dan memiliki persentase
pengurangan kandungan amonia, nitrat,
dan fosfor yang lebih tinggi dalam air
limbah dibandingkan jenis Constructed
Community Health 2014, II:1
3
Penentuan batu vulkanik sebagai substrat
dikarenakan batu vulkanik merupakan
jenis substrat yang paling baik digunakan
dalam Sub-Surface Flow Constructed
Wetland baik untuk Vertical Flow
Sub-Surface Flow Constructed Wetland maupun
Horizontal Flow Sub-Surface Flow
Constructed Wetland dibandingkan jenis
batuan lainnya (DuPoldt. 1998;
WasteWater Garden. 2012).
METODE
Sistem Vertical Flow Sub-surface Flow
Constructed Wetland dalam penelitian ini
menggunakan tiga drum besi berkapasitas
200 liter dengan tinggi 0,88 meter dan
diameter 0,57 meter. Batu Vulkanik
Kintamani yang digunakan disusun dengan
susunan dari bawah ke atas yaitu; lapisan
Batu Vulkanik dengan ukuran 10-15 cm
setinggi 15 cm, lapisan Batu Vulkanik
berukuran sekitar 3-5 cm setinggi 20 cm,
dan lapisan Batu Vulkanik berukuran
sekitar 6-10 cm setinggi 25 cm sehingga
tinggi lapisan filter adalah 60 cm. Pipa
yang digunakan pada model adalah pipa
PVC dengan diameter 0,5 inci dengan debit
masuk ke sistem sebesar 240 mL/ menit.
Setelah batu vulkanik tersusun, dialirkan
air limbah laundry ke dalam sistem.
Setelah drum terisi dengan air limbah,
drum ditanami dengan Tanaman Cattail
(Thypa sp.) pada drum pertama dan
ketiga, sedangkan Tanaman Kana (Canna
sp.) ditanam pada model kedua yang
ditanam secara tertata. Penataan
penanaman dilakukan dengan menanam 3
buah tanaman pada masing-masing model
dengan jarak antar tanaman 25cm dan
jarak antara tanaman dengan pinggir drum
19cm dengan kedalaman 10 cm dari
permukaan air.
Sampel air limbah yang telah diolah dalam
sistem Wetland ini diambil dengan
pedoman SNI SNI 6989. 59-2008 yang
dilakukan secara berkala setiap seminggu sekali selama 6 minggu untuk diuji
laboratorium. Parameter yang diuji
laboratorium adalah TDS, TSS, pH, BOD,
COD, dan Total Fosfat.
HASIL
Terjadi penurunan nilai parameter pH
dengan nilai yang sama setiap minggu.
Penuruan nilai parameter yang teratur
terjadi pada parameter TDS dan TSS
hingga minggu V meski terdapat
penurunan performa pengurangan nilai
parameter di minggu VI. Pada parameter
lainnya yaitu BOD, COD, dan Total Fosfat
mengalami perubahan yang tidak sesuai.
Pada Parameter BOD, nilai BOD minggu
pertama menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan nilai parameter air
limbah sebelum diolah di sistem, namun
pada minggu II persentase efektivitas
penurunan BOD turun menjadi 0%.
Setelah minggu III hingga minggu VI,
terjadi peningkatan persentase efektivitas
penurunan pada parameter BOD. Pada
penurunan minggu I mendapat nilai
negatif, kemudian pada minggu II hingga
minggu VI terjadi peningkatan persentase
efektivitas penurunan. Sedangkan pada
parameter Total Fosfat, persentase
efektivitas penurunan minggu I mendapat
nilai negatif dan persentase tersebut
meningkat hingga minggu III, namun
terjadi penurunan persentase efektivitas
penurunan pada minggu IV. Pada minggu
V dan VI terjadi peningkatan persentase efektivitas pengurangan nilai parameter
Total Fosfat. Pengurangan semua nilai
parameter yang dilakukan oleh sistem
wetland sudah mampu mengurangi nilai
parameter BOD, COD, dan Total Fosfat
yang sebelumnya melebihi baku mutu
menjadi di bawah baku mutu sehingga
lebih aman dibuang ke lingkungan.
Setelah dilakukan penghitungan
persentase efektivitas pengurangan nilai
parameter sebagai indikator pencemar,
diketahui persentase maksimal untuk
semua parameter dan persentase
efektivitas dari sistem. Persentase
efektivitas pengurangan TDS dan TSS
terjadi pada Minggu V dengan persentase
efektivitas TDS sebesar 14,94% dan
persentase efektivitas TSS sebesar
53,13%. Parameter lainnya terjadi pada minggu VI yaitu persentase efektivitas
BOD sebesar 76,31%, persentase
efektivitas COD sebesar 67,41%, dan
persentase efektivitas Total Fosfat sebesar
57,53%. Dari kelima parameter tersebut
didapat nilai persentase efektivitas sistem
sebesar 53,86%. Data selengkapnya
Community Health 2015, I:2
1
Tabel 1. Hasil Pengolahan Sistem Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland
Grafik 1. Grafik Persentase Efektivitas Pengurangan Parameter Air Limbah
Kualitas air limbah yang dihasilkan oleh
laundry melewati baku mutu yang
ditetapkan kecuali parameter TDS, TSS,
dan pH. Nilai parameter air limbah laundry
dalam penelitian ini, yaitu pada parameter
TSS, COD, dan Total Fosfat masih lebih
rendah dibandingkan dengan nilai
parameter air limbah laundry dari
penelitian Suwerda dkk. (2013). Nilai
parameter yang melewati baku mutu
disebabkan oleh penggunan produk laundry. Bahan-bahan dari
produk-produk laundry yang berkontribusi dalam
parameter air limbah khususnya
parameter BOD, COD, dan Total Fosfat
dalam air limbah laundry adalah surfaktan
dan builder. Produk laundry konvensional
dan produk laundry yang berasal dari
supplier yang digunakan oleh pihak
laundry mengandung surfaktan dengan
jenis yang berbeda-beda meliputi; Alkyl
Benzene Sulfonate, Linier Alkyl Benzene
Sulfonate, dan Alpha Olein Sulfonate,
Texapon (Sodium Lauryl Ether Sulphate),
dan Nonylphenol. Sedangkan untuk builder
yang terkandung dalam deterjen
mengandung builder Sodium Tripolifosfat
sebagai bahan yang umum ditemukan
dalam deterjen (Effendi. 2003; Yu. 2008).
Senyawa organik yang banyak dalam
surfaktan dan builder tersebut
berpengaruh terhadap peningkatan nilai
parameter BOD, COD, dan Total fosfat
dalam air limbah (Fardiaz. 1992; Effendi.
2003).
Tingginya nilai BOD dan COD dalam air
limbah laundry disebabkan oleh adanya
penggunaan berbagai jenis deterjen yang
dengan kandungan surfaktan yang
berbeda-beda di dalamnya (Yu. 2008).
Selama proses pencucian, jenis deterjen
yang digunakan menyesuaikan dengan
jenis noda yang ada dalam cucian
sehingga pihak laundry menggunakan
lebih dari satu jenis deterjen dalam satu
sesi pengoperasian pencucian. Kandungan surfaktan yang merupakan senyawa
organik kompleks dalam air limbah akan
meningkatkan kebutuhan oksigen bagi
mikroorganisme dan senyawa oksidan
untuk menguraikan bahan-bahan organik
tersebut sehingga nilai BOD dan COD akan
meningkat. Sebelum pertengahan April
2015, pihak laundry hanya menggunakan
deterjen-deterjen konvensional yang
terdiri atas tiga jenis surfaktan yang
umum baik secara terpisah ataupun
dikombinasikan dalam satu produk, yaitu
Alkyl Benzene Sulfonate, Linier Alkyl
Benzene Sulfonate, dan Alpha Olefin
Sulfonate, namun sejak pertengahan April
2015, pola npenggunaan deterjen berubah
menjadi penggunaan deterjen yang
berasal dari supplier sebagai deterjen
utama dengan kandungan surfaktan
Texapon (Sodium Lauryl Ether Sulphate)
dan Nonylphenol sehingga nilai BOD dan
COD dalam air limbah yang dihasilkan ikut
berubah akibat perubahan jenis surfaktan
Community Health 2014, II:1
7
yang berbeda dengan surfaktan pada
deterjen-deterjen konvesional meski
laundry juga masih menggunakan
beberapa deterjen konvensional dalam
pengoperasian pencucian (Fardiaz. 1992;
Effendi. 2003; Yu. 2008).
Kinerja Sistem Vertical Flow Sub-surface
Flow Constructed Wetland
Efektivitas pengurangan nilai parameter
kualitas air masih di bawah 65% pada
semua parameter dari minggu I sampai
minggu IV, sedangkan pada minggu V dan
VI parameter BOD dan COD sudah
mengalami peningkatan efektivitas
pengurangan nilai parameter di atas 65%.
Efektivitas pengurangan nilai parameter
yang berada di bawah 65% disebabkan
oleh berbagai faktor yaitu; ukuran filter
batu vulkanik yang relatif besar dan
kuantitas dan kualitas air limbah yang
masuk tidak sama pada setiap sesi.
Ukuran batu yang digunakan sebagai filter
idealnya berukuran 0,8-1,6 cm, namun
dalam penelitian ukuran filter yang
digunakan berukuran 6-10cm dengan tebal
lapisan 25cm dan 10-15 cm dengan tebal
15cm, artinya ukuran filter masih lima
sampai sepuluh kali lebih besar dari yang
seharusnya sehingga hasil pengolahan
tidak berjalan dengan optimal. Ukuran
filter yang besar juga tidak menyediakan
pori-pori yang banyak sehingga bakteri
yang menempel lebih sedikit yang
menyebabkan proses degradasi
bahan-bahan pencemar dalam air limbah tidak
berlangsung secara optimal. Selain itu,
pori-pori yang sedikit juga mempengaruhi
filtrasi padatan sehingga ukuran filter yang
besar dengan pori-pori yang sedikit
menyebabkan proses penyaringan dan
penahanan partikel padatan dalam air
tidak optimal (Vymazal 2002). Ukuran
filter yang digunakan dalam sistem
wetland juga dibuat agar tidak melebihi
ukuran yang seharusnya dikarenakan ukuran yang terlalu besar akan
mempengaruhi ruang antar filter dan
distribusi air limbah pada sistem. Ukuran
filter yang besar memperbesar ruang antar
filter sehingga laju air limbah lanudry
dalam sistem lebih cepat dari yang
seharusnya. Ukuran filter yang besar juga
menyebabkan distribusi air limbah yang
tidak merata pada sistem menyebabkan
perbedaan laju air limbah pada setiap titik
dalam sistem. Laju air limbah laundry di
dalam sistem yang cepat menyebabkan
waktu kontak air limbah laundry dengan
filter berlangsung singkat sehingga durasi
pengolahan bahan-bahan organik dan
bahan lain dalam air limbah laundry
berlangsung lebih cepat dan tidak optimal.
Di lain sisi, laju air limbah yang berbeda di
setiap titik dalam sistem akan
menyebabkan ketidakseimbangan proses
pengolahan air limbah laundry yang
menyebabkan terdapat beberapa titik yang
(Environmental Protection Agency. 2000;
Lavrova dan Koumanova. 2013).
Efektivitas pengurangan TDS yang paling
rendah dibandingkan dengan parameter
lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh
kandungan padatan terlarut yang sulit
dipisahkan oleh sistem wetland.
Kandungan padatan terlarut dalam air
limbah laundry sebagian besar terdiri dari
bahan-bahan produk-produk laundry berbasis sodium pada deterjen dan
pemutih yang sangat larut dalam air
sehingga memerlukan proses khusus
untuk memisahkan padatan tersebut dan
sisanya merupakan padatan terlarut yang
mudah dipisahkan dari air limbah laundry
(Patterson. 2000). Selama proses
pengolahan, tidak diberkan perlakuan
khusus pada air limbah sebelum dialirkan
ke dalam sistem sehingga proses
pengurangan TDS dalam air limbah hanya
mengandalkan proses sedimentasi dan
filtrasi pada padatan terlarut yang mudah
dipisahkan dan disaring oleh filter. Selain
itu, sistem wetland yang memiliki ukuran
filter yang besar tidak bekerja secara
optimal dalam menyaring dan menahan
padatan tersebut dalam sistem akibat
jumlah pori-pori yang sedikit dalam filter
yang berukuran besar tersebut
(Environmental Protection Agency. 2000;
Vymazal. 2002). Efektivitas pengurangan
nilai TSS mendekati angka 65% pada
minggu V dan VI, namun performa
pengurangan nilai TSS akan lebih optimal
bersamaan dengan pengurangan nilai TDS
apabila ukuran filter dibuat lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran filter yang
diterapkan dalam penelitian ini (Vymazal.
2002).
Efektivitas pengurangan nilai parameter
BOD, COD, dan Total Fosfat minggu I dan
II memiliki nilai yang rendah hingga
mencapai negatif. Hal tersebut disebabkan
antara Minggu II dan III yang berlangsung pada pertengahan April, terjadi
penambahan produk laundry dari supplier
sebagai produk utama dan penggunaan
produk laundry konvensional yang tetap
meski kuantitasnya tidak sebanyak
sebelumnya menyebabkan perubahan
jumlah kandungan bahan organik dalam
total air limbah yang masuk ke sistem
selama satu minggu. Kandungan jenis
surfaktan yang lebih sedikit dalam produk
supplier menyebabkan kandungan bahan
organik dalam air limbah lebih sedikit
sehingga kebutuhan oksigen untuk
menguraikan bahan-bahan organik
tersebut. Pengambilan sampel air limbah
laundry yang belum diolah dilakukan pada
pertengahan April sehingga dapat
diasumsikan nilai parameter BOD, COD,
dan Total Fosfatnya lebih rendah apabila
dibandingkan dengan nilai parameter
sampel air limbah laundry yang belum
diolah sebelum pertengahan April 2015.
Hal tersebut terlihat dari pembandingan
nilai parameter Minggu I dan II dengan
Community Health 2014, II:1
9
penggunaan produk laundry, terjadi
inkonsistensi jumlah penggunaan
produk-produk laundry yang bergantung pada
jumlah cucian dan jenis noda pada cucian
tiap sesi pengoperasian laundry
menyebabkan perbedaan jumlah kandungan bahan organik dalam air
limbah yang dihasilkan tiap sesi (Fardiaz.
1992; Effendi. 2003).
Hal lain yang berpengaruh terhadap
performa pegurangan nilai BOD, COD,
khususnya Total Fosfat yang masih di
bawah 65% adalah kinerja antara
tanaman, filter dan mikroorganisme dalam
sistem. Ukuran filter yang besar
menyebabkan terganggunya pertumbuhan
tunas tanaman yang ditanam dalam sistem
dikarenakan terganggunya alur tumbuh
tanaman sehingga pertumbuhan tunas
lambat dan sedikit. Hal tersebut
menyebabkan jumlah mikroorganisme
dalam sistem lebih sedikit dari jumlah
yang seharusnya ketika ukuran filter dan
jumlah pori-pori dalam filter sesuai dengan
kondisi yang optimal selama sistem
beroperasi dalam 6 minggu penelitian.
Ukuran filter yang besar menyebabkan
sedikitnya bahan organik yang dipecah
menjadi ukuran yang sesuai untuk
didegradasi oleh mikroorganisme yang
jumlahnya sedikit dalam sistem maupun
bahan kimia pengoksidasi dalam sistem.
Hal tersebut berpengaruh terhadap
perkembangan persentase efektivitas BOD
dan COD yang terjadi pada sistem ini
(Environmental Protection Agency. 2000;
Lavrova dan Koumanova. 2013).
Sedangkan pada pengurangan nilai Total
Fosfat yang berada di bawah 65%
disebabkan oleh kurang optimalnya
degradasi dan adsorpsi oleh mikroorganisme, tanaman, serta filter.
Jumlah mikroorganisme yang sedikit
menyebabkan proses degradasi fosfat
khususnya jenis fosfat yang memiliki
susunan kompleks lambat sehingga jumlah
fosfat yang dapat diadsorpsi sedikit.
Jumlah tanaman yang bertambah sedikit
dan pori-pori filter yang sedikit
menyebabkan adsorpsi fosfat sedikit
(Tousignant dkk. 1999; Priya dkk. 2013)
SIMPULAN
Pengoperasian sistem Vertical Flow
Sub-surface Flow Constructed Wetland pada air
limbah laundry ndi mampu mengurangi
semua parameter air limbah yang umum
yaitu TDS, TSS, BOD, COD, Total Fosfat,
dan pH. Pengurangan tersebut membuat
nilai parameter air limbah yang sudah di
olah berada di bawah baku mutu sehingga
lebih aman dibuang ke lingkungan dengan
pengurangan nilai TDS sebesar133,07
mg/L, TSS sebesar 26,55 mg/L, BOD
sebesar 139,48 mg/L, COD sebesar 233.80
nilai pH dari 8,6 menjadi 7,8 mendekati
sifat netral.
Berdasarkan besar pengurangan nilai
parameter tersebutdiketahui persentase
efektivitas pengurangan nilai TDS sebesar
14,94%, TSS sebesar 53,13%, BOD
sebesar 76,31%, COD sebesar 67,41%,
dan Total Fosfat sebesar 57,53%. Dari
kelima parameter tersebut didapat nilai
persentase efektivitas dari sistem dengan penghitungan rata-rata persentase
efektivitas dari kelima parameter tersebut
yaitu sebesar 53,86%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
I Gede Herry Purnama, S.T., M.T., M.IDEA
atas bantuan dan sarannya, Bapak
Damanni selaku pemiliki Laundry di
wilayah Kapal, Badungyang telah bersedia
menngizinkan pelaksanaan penelitian ini,
serta Bapak Supriyadi yang telah banyak
membantu proses pembuatan sistem
wetland.
DAFTAR PUSTAKA
1. Antara, Made dkk. (2011).
Pengembangan Komoditas/ Produk/
Jenis Usaha Unggulan UMKM di
Provinsi Bali. Laporan Penelitian Bank
Indonesia Denpasar bekerja sama
dengan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Udayana.
2. DuPoldt, Carl. (1998). A Handbook of
Constructed Wetlands.
3. Effendi, Hefni. (2003). Telaah Kualitas
Air. Yogyakarta: Kanisius.
4. Environmental Protection Agency.
(2000). Manual: Constructed Wetlands
Treatment of Municipal Wastewaters.
Ohio
5. Esmiralda dkk. (2012). Pengaruh Cod
dan Surfaktan dalam Limbah Cair
Laundri Terhadap Nilai Lc50. Jurnal
Teknik Lingkungan UNAND, 9 (1):
110-114.
6. Fardiaz, Srikandi. (1992). Polusi Air
dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
7. Guberbur Bali. Peraturan nomor 8
tahun 2007 Tentang Baku Mutu
Lingkungan Hidup.
8. Kohler, Jonathan. (2006). Detergent
Phosphates: an EU Policy Assessment.
Journal of Business Chemistry, Vol. 3,
Issue 2.
9. Lavrova, Silviya dan Koumanova,
Bogdana.(2013). Nutrients and Organic
Matter Removal in a Vertical-Flow
Constructed Wetland. Dalam: Patil,
Yogesh and Rao, Prakash (eds).
(2013). Applied Bioremediation –
Active and Passive Approaches. Intech
Open Science Online Publishers,
Croatia
10. Patterson, Robert A. (2000).
Wastewater Quality Relationships with
Reuse Options. Dalam 1st World Water
Congress of the International Water
Community Health 2014, II:1
11
11. Pratiwi, Yuli dkk. (2012). Uji Toksisitas
Limbah Cair Laundry Sebelum dan
Sesudah Diolah dengan Tawas dan
Karbon Aktif Terhadap Bioindikator
(Cyprinuscarpio L). Dalam Prosiding
Seminar Nasional Aplikasi Sains &
Teknologi (SNAST) Periode III.
12. Priya dkk. (2013). Comparison of
Different Types of Media for Nutrient
Removal Efficiency in Vertical Upflow
Constructed Wetlands. International Journal of Environmental Engineering
and Management: Volume 4, Number
5.
13. Sopiah, R. Nida. (2004). Pengelolaan
Limbah Deterjen Sebagai Upaya
Minimalisasi Polutan di Badan Air
dalam Rangka Pembangunan
Berkelanjutan. Disajikan pada
Prosiding Pengolahan Limbah IV.
14. Suwerda, Bambang dkk. (2013).
Pengaruh Pengolahan dengan Wetland
Tanaman, Koagulasi, Sedimentasi,
Filtrasi Terhadap Kadar COD, TSS,
Deterjen, Fosfat Limbah Cair Laundry
“X” di Badegan Bantul Yogyakarta. Jurnal Riset Daerah, Vol. XII, No. 1.
15. Tousignant, Eric dkk. (1999). Guidance
Manual for The Design, Construction
and Operations of Constructed
Wetlands for Rural Applications in
Ontario. Kerja sama antara Stantec
Consulting Ltd; Research and
Technology Transfer Group, Alfred
College (University of Guelph); dan
South Nation Conservation.
16. Volterra, Pr. Laura dkk. (2002).
Eutrophication and Health. World
Health Organization Regional Office for
Europe dan European Commission.
17. Vymazal, Jan. (2002). The Use of
Sub-Surface Constructed Wetlands for
Wastewater Treatment in the Czech
Republic: 10 Years Experience.
Ecological Engineering: Vol. 18.
18. Vymazal, Jan. (2008). Constructed
Wetlands for Wastewater Treatment: A
Review. Disajikan dalam The 12th
World Lake Conference.
19. WasteWater Garden. (2012).
Constructed Wetlands to Treat
Wastewater: Framework and
Schematic Overview.
20. Yu, Yangxin dkk. (2008). Development
of Surfactants and Builders in
Detergent Formulations REVIEWS.
Chinese Journal of Chemical
Engineering: 16(4).
21. Zurita, Florentina dkk. (2006).
Performance of Laboratory-Scale
Wetlands Planted with Tropical
Ornamental Plants to Treat Domestik
Wastewater. Water Qual. Res. J.