ASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
OLEH
TIMOTEUS BANJARNAHOR 110200557
Departemen Hukum Administrasi Negara (Program Kekhususan Hukum Agraria)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN
ASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
OLEH
TIMOTEUS BANJARNAHOR 110200557
Departemen Hukum Administrasi Negara (Program Kekhususan Hukum Agraria)
WW
Ketua Program Studi Hukum Administrasi Negara
Dr. Agusmidah SH, M.Hum NIP. 197608162002122002
Dosen Pembimbing I DosenPembimbing II
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Zaidar, SH, M.Hum NIP. 196112311987031023 NIP. 195809121987062001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
ABSTRAK
ASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG
Prof. Dr. M. Yamin, SH, Ms*) Zaidar SH, M.Hum **) TimoteusBanjarnahor ***)
Keberadaan UUHT inimerupakan undang-undang yang penting bagi bagi sistem hukum pertanahan, yaitu dalam rangka memberikan kepastian dalam bidang pengikatan jaminan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai agunan kredit, yang mana pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan. Hak Tanggungan sebagai jaminan atas tanah memiliki sifat yang salah satunya tidak dapat dibagi-bagi, namun pada kenyataanya dilapangan terdapat penyimpangan terhadap sifat daripada Hak Tanggungan tersebut, yaitu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2), yang merupakan dasar dalam pelaksanaan roya partial, yaitu pencoretan sebagian utang debitor, selain itu juga dalam pelaksanaan roya partial terdapat tumpang tindih peraturan antara Pasal 2 Ayat (2) dengan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanan PP 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang menekankan kepada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan seperti mencari buku-buku serta karya ilmiah lainya yang berkaitan dengan Roya Partial, serta melakukan wawancara kepada pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, adapun beberapa kesimpulan yang ingin disampaikan diantaranya; bahwa pelaksanaan Roya Partial di Kantor Pertanahan Deli Serdang sama seperti dengan kantor pertanahan lainya, serta tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya roya partial cukup tinggi di Kabupaten Deli Serdang, bahwa Kantor Pertanahan Deli Serdang setelah keluarnya Surat Edaran Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Nomor 600-494-D.IV Tanggal 8 Februari Tahun 2000, tidak bias lagi melakukan roya partial tanpa adanya klausul yang tertera dalam APHT akan mengadakan roya partial, Bahwa kendala-kendala yang dihadapi adalah tumpang tindihnya peraturan-peraturan mengenai roya partial, serta tidak lengkapnya
syarat-syarat yang diperlukan untuk pengajuan roya partial sehingga mengakibatkan pelaksanaan roya partial menjadi terhambat
Kata Kunci :Pelaksanaan Roya Partial, HakTanggungan _______________________
*DosenPembimbing I, DosenHukum Agraria UniversitasSumateraUtara
** DosenPembimbing II, DosenHukum Agraria UniversitasSumateraUtara
*** MahasiswaFakultasHukumUniversitasSumateraUtara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada kita, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang kami beri Judul “PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DAN PELAKSANAANNYA DI KABUPATEN DELI SERDANG"
Tujuan dari penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk bisa menempuh ujian Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
Didalam pengerjaan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Ibu Dr. Agusmidah, SH. M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) 3. Ibu Dra. Rini Budiharti, M.Pd, Selaku Ketua Program Fisika Jurusan P.
MIPA Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (FKIP UNS).
4. Bapak Prof. Dr, Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dalam penyusunan Skripsi ini hingga selesai
5. Ibu Zaidar, SH, M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dalam penyusunan Skripsi ini hingga selesai.
6. Ibu Mariati Zendrato, SH. M.Hum, Selaku Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
7. Bapak Affan Mukti, SH, M.Hum. selaku Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
8. Ibu Yayuk Supriyati, SH. Selaku Kepala Sub Biro Bagian Tata Usaha Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang yang telah membantu memberikan data untuk melekngkapi skripsi ini
9. Orang tua tercinta yang telah banyak memberikan doa dan dukungan kepada penulis secara moril maupun materil hingga skripsi ini dapat selesai.
10. Adik-adik tercinta juga anggota keluarga dan kerabat yang senatiasa memberikan doa dan dukungan semangat kepada penulis.
11. Sahabat dan rekan seperjuangan tercinta yang tiada henti memberi dukungan dan motivasi kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
Medan, 18 Nopember 2017 Penulis Timoteus Banjarnahor
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. RumusanMasalah ... 8
C. TujuandanManfaatPenelitian ... 8
D. KeaslianPenulisan ... 10
E. TinjauanKepustakaan ... 10
F. MetodePenelitian... 19
G. SistematikaPenulisan... 23
BAB II PENGATURAN MENGENAI PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA A. DasarHukumPelaksanaanHakTanggungan ... 26
B. Asas-AsasDalamHakTanggungan... 27
C. SubjekdanObjekHakTanggungan ... 29
D. EksekusiHakTanggungan ... 33
BAB III PEMBEBANAN SERTA HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN A. Proses PembebananHakTanggungan ... 37
B. Isi AktaPemberianHakTanggungan ... 43
C. HapusnyaHakTanggungan ... 50
D. Pencoretan (Roya) HakTanggungan ... 53
BAB IV PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG A. GambaranUmumLokasiPenelitian ... 60
B. PelaksanaanRoya Partial HakTanggungandalamPraktek yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang ... 62
C. Kendala-kendala yang DihadapiOleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli SerdangDalamPelaksanaanRoya Partial ... 67
D. Kendala-kendala yang Dihadapi Kantor PertanhanKabupaten Deli SerdangDalamPelaksanaanRoya Partial HakTanggungan danUpaya-upaya yang DilakukanOleh Kantor Pertanahan DalamMenyelesaikanMasalahTersebut ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 77
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dimana dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang pelakunya meliputi baik pemerintah maupun orang perseorangan dan badan hokum sangat diperlukan dana dalam jumlah yang cukup besar.1
Indonesia sendiri sebagai suatu negara yang besar dengan memiliki kekayaan sumber daya agraria atau sumber daya alam yang begitu besar juga yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk memanfaatkan dan mengelolah kekayaan alam tersebut secara optimal demi tercapainya cita-cita bangsa sebagaimana yang diterangkan dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Indonesia sendiri sebagai suatu negara agraris (Negara Pertanian), keberadaan tanah adalah suatu keharusan, karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup dari ekonomi yang bercorak agraris atau pertanian.Karena pentingnya
1Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik, Norma dan Kesesatan dalam UUHT), Pressindo, Yogyakarta, 2007, hal.1
keberadaan tanah tidak jarang tanah sering menjadi bahan sengketa.Terutama dalam hal hak kepemilikan atas tanah. Ditambah tingginya pertumbuhan penduduk membuat kebutuhan akan tanah atau lahan menjadi tinggi sehingga membuat harga tanah juga menjadi tinggi.
Pentingnya tanah bagi roda perekonomian negara Indonesia, karena Indonesia merupakan negara agraris, maka menjaga pemanfaatan kekayaan sumber daya agraria atau sumber daya alam, merupakan prioritas utama bagi bangsa Indonesia, maka atas dasar hal tersebut maka selanjutnya pemerintah Indonesia membuat suatu Peraturan undang-undang, yang dijadikan dasar atau pedoman dalam mengatur kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka selanjutnya pada tanggal 24 september tahun 1960 pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, atau yang sering disebut dengan UUPA.
Berlakunya UUPA sebagai landasan dalam pengaturan dan pengelolahan sumber daya agraria bangsa Indonesia, membuat perubahan yang fundamental pada bidang pertanahan, dimana perubahan itu bersifat mendasar dan fundamental, karena baik meneganai struktur perangkat hukumnya, mengenai
konsepsi yang mendasari maupun isinya yang dinyatakan pada bagian berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.2
Seiring dengan perkembangan penduduk Indonesia yang semakin pesat, serta tidak diimbangi dengan persediaan tanah yang memadai membuat tanah
2Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Djambatan : Jakarta), 2007, hal.1
menjadi sesuatu yang begitu penting.Pentingnya keberadaan tanah dapat terlihat dengan dapatnya tanah dijadikan sebagai alat jaminan.UUPA menetapkan beberapa hak atas tanah dapat digunakan sebagai jaminan hutang dengan pembebanan Hak Tanggungan.
Beberapa hak atas tanah tersebut yang dapat di bebankan dengan hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.
Dimana pada Pasal 25 UUPA mengatakan bahwa “hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan “, selanjutnya pada Pasal 33 UUPA mengatakan bahwa “Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan, dan Pasal 39 menyebutkan bahwa
“Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebankan Hak Tanggungan.
Ketentuan mengenai Hak Tanggungan diatur sendiri dengan Undang- Undang sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 51 UUPA yaitu “ Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39, diatur secara khusus dengan undang-undang”.
Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut, maka hal tersebut di tindak lanjuti oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-Undang Hak Tanggungan atau yang sering disebut sebagai (UUHT), merupakan suatu jawaban dari adanya Unifikasi dalam lembaga jaminan yang ada di Indonesia, dan UUHT ini juga telah disesuaikan dengan
perkembangan keadaan dan mengatur berbagai hal baru yang berkenaan dengan lembaga Hak Tanggungan, yang cakupannya meliputi:
1. Obyek Hak Tanggungan;
2. Pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
3. Tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan, dan hapusnya Hak Tanggungan;
4. Eksekusi Hak Tanggungan;
5. Pencoretan (roya) Hak Tanggungan;
6. Sanksi Administrasi.
Terbitnya UUHT sebagai landasan bagi jaminan atas tanah, membuat ketentuan-ketentuan jaminan atas tanah yang lain, seperti ketentuan tentang Credietverband dan Hypotheek dalam buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengenai pembebanan Hak Tanggungan beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi, dimana hal ini telah diatur secara jelas dalam Pasal 29 UUHT.
Keberadaan UUHT ini merupakan undang-undang yang penting bagi bagi sistem hukum perdata khususnya Hukum Jaminan, yatu dalam rangka memberikan kepastian dalam bidang pengikatan jaminan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai agunan kredit, yang mana pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan tersebut meskipun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor pemegang Hak Tanggungan masih tetap berhak untuk menjual melalui pelelangan umum apabila debitor cidera janji.
Keberadaan Hak Tanggungan sendiri sebagai satu-satunya peraturan mengenai hokum jaminan atas tanah di Indonesia memiliki sifat-sifat yang diantaranya:3
1. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid), atau tidak dapat dipisahkan (Onsplitbaarheid)
2. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (Droit de suite) dalam tangan siapapun berada
3. Hak Tanggungan bersifat memaksa
4. Hak Tanggungan bertingkat (terdapat peringkat yang lebih tinggi diantara kreditor pemegang Hak Tanggungan)
5. Hak Tanggungan bersifat individual
6. Hak Tanggungan bersifat dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda yang diatasnya dan dibawah tanah
7. Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau yang aka nada Berdasarkan beberapa uraian di atas, sifat Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid) sebagaimana yang diuraikan dalam ketentuan Pasal 2 UUHT yang menyatakan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan mempunyai sifat bahwa tidak dapat dibagi-bagi, dapat dikecualikan dengan diperjanjikan dan disebutkan di dalam APHT yang bersangkutan bahwa pelunasan hutang yang dijaminkan dapat dilakukan dnegan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing satuan yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan tersebut. Bagian yang bersangkutan akan terbebas dari Hak
3Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika Jakarta, 2011, hal. 308-309
Tanggungan yang semula membebaninya dan Hak Tanggungan tersebut selanjutnya hanya membebani sisa objeknya untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasinya, dimana pengecualian ini disebut sebagai “Roya Partial”.4
Meskipun UUHT memberikan penyimpangan, namun dalam kenyataanya yang ada masih banyak pemberi Hak Tanggungan yang membebankan beberapa objek Hak Tanggungan dalam satu Hak Tanggungan tanpa disertai perjanjian untuk menghapus sebagian Hak Tanggungan, apabila pemberi Hak Tanggungan telah melunasi sebagian hutangnya. Dalam UUHT pencoretan sebagian atas keseluruhan objek yang dijaminkan Roya Partial, kondisi tersebut menjadi dilematis manakala pemberi Hak Tanggungan telah melunasi sebagian hutang-hutangnya kepada pemegang Hak Tanggungan.
Secara normatif Hak Tanggungan masih tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 124 Ayat (1) dan (2), yang menyatakan:
“(1) Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian objek Hak Tanggungan dapat dilakukan berdasarkan pelunasan sebagian utang yang dijamin, dengan ketentuan bahwa:
1) Objek Hak Tanggungan terdiri atas beberapa hak, dan
2) Kemungkinan hapusnya sebagian Hak Tanggungan karena pelunasan sebagian hutang tersebut diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(2) Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian objek Hak Tanggungan juga dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi ketentuan ayat (1) berdasarkan pelepasan Hak Tanggungan atas sebagian objek Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang dituangkan dalam akta otentik atau surat pernyataan di bawah
4Budi Harsono, Op.Cit.,hal.413
tangan dengan mencantumkan secara jelas bagian dari objek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Hak Tanggungan dapat hapus sebagian terhadap objek Hak Tanggungan karena adanya pelunasan sebagian utang dari pemberi Hak Tanggungan, meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya secara jelas bagian dari pada objek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan tersebut, baik dengan akta otentik maupun di bawah tangan. Apabila dicermati dari ketentuan Pasal 124 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan:
“ pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan atas sebagian objek Hak Tanggungan juga dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi ketentuan Ayat (1) berdasarkan pelepasan Hak Tanggungan atas sebagian objek Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang dituangkan dalam akta otentik atau surat pernyataan di bawah tangan dengan mencantumkan secara jelas bagian dari objek Hak Tanggungan yang dibebaskan dari beban Hak Tanggungan itu.”
Apabila dicermati terlihat bahwa ketentuan itu telah menyimpang dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam APHT, sementarai itu dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tersebut memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan untuk sebagian objek Hak Tanggungan.
Melihat kenyataan sebagai mana yang telah diuraikan di atas, bahwa telah terjadi tumpang tindih dalam peraturan pertanahan di Indonesia ini membuat penulis tertarik untuk mengangkat judul “ASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG, sebagai judul skripsi.
B. Rumusan Masalah
Fokus penelitian dari penulisan skripsi ini adalah menyangkutASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG, dimana hal tersebut disadari karena begitu banyaknya persoalan-persoalan mengenai Roya Partial pada praktiknya di lapangan, berkaitan dengan hal tersebut, maka adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Roya Partial di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang ?
2. Bagaimana Pelaksanaan Roya Partial Yang Sebelumnya Tidak Dicantumkan Terlebih Dahulu Dalam Klausul APHT?
3. Apa Saja Kendala-kendala yang Dihadapi Kantor Pertanahan Dalam Melakukan Roya Partial serta Upaya-upaya Apa Saja yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kendala-kendala yang Terjadi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam rangka penyusunan dan penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. untuk mengetahui pelaksanaan Roya Partial di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
2. untuk mengetahui pelaksanaan Roya Partial yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam klausul APHT
3. untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan roya partial di Kabupaten Deli Serdang, serta Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala-kendala yang terjadi
Selanjutnya adapun yang menjadi manfaat penulisan dalam pembahasan skripsi ini antara lain:
1. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, memberikan sumbangan pemikiran, serta memberikan tambahan dokumentasi karya tulis, litertur, dan bahan-bahan informasi ilmiah lainya didalam bidang hukum Agraria pada umumnya, secara khusus juga di harapkan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang aspek hukum dalam pelaksaan roya partial di kabupaten deli serdang
2. Secara Praktis
Penulisan skripsi ini juga sebagai salah satu bentuk latihan dalam menyusun suatu karya ilmiah meskipun masih sederhana. Pelaksanaan hasil penelitian yang dilakukan juga dapat memberikan tambahan pengetahuan serta pengalaman di dalam bidang hukum agraria khususnya mengenai Hak Tanggungan . Skripsi ini juga ditujukan kepada kalangan praktisi dan penegak hukum serta masyarakat untuk lebih mengetahui dan memahami mengenai Roya Partial dalam Hak Tanggungan.
D. Keaslian Penulisan
Penelitian yang berjudul: ASPEK HUKUM PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG adalah benar merupakan hasil karya dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain, oleh karena itu, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri serta telah sesuai dengan asas- asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu terbuka, rasional, objektif, dan kejujuran. Yang dimana hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menentukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulis karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik-kritik yang sifatnya konstruktif, selain itu semua informasi dalam skripsi ini bersal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Hak Tanggungan
Menurut A.P.Parlindungan, bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan adalah:5
” Peraturan yang berjiwa hukum adat sedangkan isinya adalah hukum perdata, dan diakuinya apa yang diatur di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan suatu kemajuan, karena selama 35 tahun kondisi hukum jaminan berada dalam situasi yang tidak menentu.
Sebagai konsekuensi yang logis kalaulah produk hukum yang ada
5Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2014, hal.154
sebelum berlakuknya Undang-Undang Hak Tanggungan ini masih dianggap ada, berarti kekacauan yang pernah ada itu tidak akan berakhir dan kiranya hal ini tidak mungkin akan menciptakan suasana yang sangat menguntungan dalam dunia perdagangan.”
Menurut Budi Harsono mengartikan bahwa Hak Tanggungan adalah :6
” Penguasaan hak atas tanah, yang berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan anggunan, akan tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan melainkan untuk menjualnya jika kreditur melakukan cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pemabayaran lunas hutang debitur kepadanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima.
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 merumuskan mengenai pengertian Hak Tanggungan yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut dengan Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainya.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 butir 6 dikatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
6Budi Harsono, Op.Cit.,hal.416
trhadap kreditur-kreditur lainya, dalam arti bahwa jika debitur cider janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului kepada kreditur-kreditur lain.
Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memiliki kedudukan yang diutamakan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur- kreditur lain, jaminan yang diberikan dalam Hak Tanggungan yaitu hak yang diutamakan atau mendahului dari kreditur-kreditur lainya bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan.7
2. Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan angka 3 menyebutkan beberapa ciri-ciri Hak Tanggungan sebagai lemabaga hak jaminan atas tanah yang kuat yaitu:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) atau mendahului kepada pemegangnya. Dalam hal ini apabila debitur cidera janji kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanha yang diajdikan jaminan menurut ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lainya, dimana hak mendahului ini dimaksudkan bahwa kreditur pemegang Hak
7Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal.307
Tanggungan didahulukan dalam mengambil keputusan atas hasil penjualan eksekusi objek Hak Tanggungan.8
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite) di dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada, hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada, hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.9
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang diatur dalam penjelasan umum Undang- Undang Hak Tanggungan angka 3 huruf c; dan
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, apabila debitur cidera janji menurut pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sedangkan dalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
8J.Satrio, Hukum Jaminan (Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku2) PT.
Citra AdityaBakti, Bandung, 2002, hal.97
9Nur Hayatun Nufus, Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Tanah yang Belum Bersertifikat, Tesis, Program Pasca Sarjana UNDIP, Semarang, 2011, hal.21
memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grose akta hypoteek sepanjang mengenai hak atas tanah.10
Hak Tanggungan sendiri selain memiliki ciri-ciri, juga memiliki sifat-sifat seperti, antara lain:
a. Hak Tanggungan tidak dapat di bagi-bagi (Ondeelbarheid) atau tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitbaarheid)
Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, hal ini mengandung arti bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian dari padanya. Walaupun telah dilunasinya sebagin dari utang yang dijamin dengan hak tanggungan tidak berarti bahwa terbebasnya sebagian dari utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tidak berarti bahwa terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dengan demikian, sebagian pelunasan hutang debitur tidak menyebabkan terbebasnya dari sebagian objek Hak Tanggungan.11
b. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (Droit de suite) dalam tangan siapapun benda itu berada
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan
10Ibid., hal.22
11Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal.308
khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.12
c. Hak Tanggungan bersifat memaksa
Undang-Undang Hak Tanggungan tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai suatu ketentuan yang bersifat memaksa, namun demikian dari ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam Undang –Undang Hak Tanggungan ini bersifat memaksa seperti ketentuan Pasal 6, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan.13
d. Hak Tanggungan bertingkat (terdapat peringkat yang lebih tinggi diantara kreditur pemegang Hak Tanggungan)
Pemberi jaminan atau pemilik benda yang menjadi objek Hak Tanggungan masih mempunyai kewenangan untuk dapat membebankan lagi benda yang sama dan yang telah menjadi objek Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu lainya, sehingga akan terdapat peringkat kreditur pemegang Hak Tanggungan, sifat ini dijumpai dalam Pasal 5 ayat 2 Undang- Undang Hak Tanggungan, yang mengatur mengenai peringkat pemegang Hak Tanggungan, bahwa Hak Tanggungan yang telah dibebankan pada suatu benda yang menjadi objek Hak Tanggungan mempunyai peringkat antara satu dengan
12Ibid.,hal.308
13Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, (Seri Hukum Harta Kekayaan ) Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008, hal.14
yang lainya, sehingga akan terdapat pemegang Hak Tanggungan yang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.14
e. Hak Tanggungan bersifat Individualiteit
Individualiteit adalah bahwa yang dapat memiliki sebagai kebendaan adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah (Individueelbepaald). Pada Hak Tanggungan meskipun atas sebidang tanah tertentu dapat diletakan lebih dari satu Hak Tanggungan, namun masing- masing Hak Tanggungan tersebut adalah berdiri sendiri, terlepas dari yang lainya. Eksekusi atau hapusnya Hak Tanggungan yang satu tidak membawa pengaruh terhadap Hak Tanggungan lainya yang dibebankan di atas hak atas tanah yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut.15
f. Hak Tanggungan bersifat dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda yang ada diatasnya dan di bawah tanah
Meskipun hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal namun tidak berlaku mutlak. Untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat pembebanan Hak Tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan di bawah permukaan tanah, bagunan atau tanaman tersebut boleh ada pada saat pembebanan Hak Tanggungan atau yang akan ada di kemudian hari.16
g. Hak Tanggungan untuk menjamin hutang yang telah ada atau yang akan ada
14Rahmadi Usman, Loc.Cit.,hal.308-309
15Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, Op.Cit.,hal.154
16Bambang Fitrianto, Hukum Jaminan (Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2013, hal 119
Fungsi Hak Tanggungan adalah menjamin hutang yang besarnya di perjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian hutang. Hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat Pasal 3 Ayat 1 UUHT, yaitu:17 1) Hutang yang telah ada artinya yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit,
besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit biasanya merupakan jumlah maksimum atau plafond
2) Utang yang telah ada akan tetapi telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu, utang yang akan ada misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank
3) Utang yang akan ada, tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang.
3. Pengertian Roya Partial
Istilah Roya dapat ditemukan dalam Penjelasan umum UUHT, dimana di dalam bagian penjelasan umum itu dikatakan bahwa yang dimaksud dengan roya adalah pencoretan pada buku tanah Hak Tanggungan karena Hak Tanggungan telah hapus, adapun hapusnya Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Ayat 1 UUHT, antara lain karena:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
17
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan
Mengenai pencoretan Hak Tanggungan (roya), menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa:18
”pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian sertifikat Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. Dalam hal sertifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam buku tanah Hak Tanggungan, pada dasarnya pencoretan dapat dilakukan oleh debitur sendiri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7) UUHT.”
Berdsarkan penjelasan yang telah dipaparkan oleh Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja di atas, maka jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan (debitur) setelah Hak Tanggungan yang diberikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 UUHT, untuk keperluan pencoretan Hak Tanggungan pemberi Hak Tanggungan diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan (termasuk permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut.
Pelaksanaan roya, dapat juga dilakukan untuk sebagian utang yang dijaminkan, dimana hal inilah yang disebut dengan istilah ”roya partial”, dimana pelaksanaan dari pada roya partial ini mengacu pada ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUHT yang menyatakan bahwa :
18Kartini Mulyadi &Gunawan Widjaja, Op.Cit.,hal.272-273
” apabila Hak Tanggunga dibebankan kepada beberapa hak atas tanah, dan diperjanjikan dalam APHT yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya memberi sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi.”
Klausula roya partial harus ahrus dimuat di dalam APHT yang bersangkuta, lembaga roya partial ini juga memungkinkan bidang-bidang tanah yang merupakan bagian-bagian dari objek Hak Tanggungan menjadi terbebas dari angsuran sebesar yang diperjanjikan. Bidang-bidang tanah tersebut kemungkinanya dapat dijual lagi atau dijadikan jaminan bagi perolehan kredit baru dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan dengan memberikan Hak Tanggungan baru peringkat yang pertama.
Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUHT telah memberikan kemudahan bagi pelaksanaan roya partial Hak Tanggungan, namun dalam praktiknya roya partial belum bisa dilaksanakan sepenuhnya, hal tersebut karena Pasal 2 Ayat (2) menyaratkan adanya perjanjian roya partial terlebih dahulu.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan tertentu di dalam penulisan skripsi. Hal ini dilakukan agar terhindar dari suatu kesan dan penilaian bahwa penulisan skripsi dibuat dengan cara asal-asalan dan tanpa didukung dengan data yang lengkap. Oleh karena itulah, maka dalam melakukan penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut ;
1. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah deskriptif analistis. yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa semua permasalahan yang ada sehubungan denganAspek Hukum Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan Dalam Praktikdi Kabupaten Deli Serdang, yang dihubungkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan pendekatan hukum normatif dan empiris.
Dimana metode pendekatan normatif dalam penelitian ini yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma- norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, dan bahan-bahan hukum lainya.19Penelitian hukum normatif ini sering kali disebut dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian yang objek kajianya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan
Pendekatan empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang hubungan hukum terhadap masyarakat, yang dilakukan dengan cara mendekati masalah yang di teliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kehidupan yang nyata dalam masyarakat dan dihubungkan pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan. Penelitian hukum empiris ini disebut juga sebagai penelitian non doktrinal, yaitu penelitian
19 Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Bayu Media Publishing, Jakarta, 2005, hal.29.
berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat, atau penelitian hukum empiris ini disebut juga sebagai socio legal research.20
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Merupakan data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, serta bentuk- bentuk karya tulis lainya seperti jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan ( Field Research)
Merupakan data-data yang diperoleh langsung untuk mengetahui pelaksanaan Hak Tanggungan, dan Pelaksanaan roya partial di Kabupaten Deli Serdang.
Penelitian lapangan ini sendiri dilakukan pada Kantor Wilayah BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Deli Serdang, dimana dalam penelitian ini untuk memanfaatkan data yang ada maka dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :
1) Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan data menganalisis bahan- bahan tertulis yang digunakan dalam pristiwa hukum seperti Akta Pembebanan Hak Tanggungan
2) Wawancara
20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.42
Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan teknik dan pedoman wawancara, dimana yang menjadi narasumber dalam wawancara ini adalah Pegawai BPN Deli Serdang
4. Sumber Data
Secara umum, maka di dalam penelitian hukum biasanya sumber data dibedakan atas :
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat, seperti misalnya melakukan penelitian di lapangan. Dalam hal ini penulis dapat memperoleh data primer dari Kantor BPN Deli Serdang
b. Data Sekunder
Data yang tidak diperoleh dari sumber yang pertama, melainkan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Misalnya: data yang diperoleh dari dokumen- dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.21Di dalam penulisan penelitian ini, data sekunder yang digunakan berupa:
1) Bahan hukum primer
Adalah bahan hukum yang mengikat. Yaitu dokumen peraturan mengikat yang telah di tetapkan oleh pemerintah antara lain, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, serta Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
2) Bahan hukum sekunder
21Ibid, hal.52
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang digunakan. Yaitu buku-buku, makalah-makalah, literatur, hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
3) Bahan hukum tersier
Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Yaitu kamus, surat kabar, majalah, internet serta bahan lainya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
5. Analisis Data
Setelah data primer dan data sekunder diperoleh selanjutnya dilakukan analisis data yang didapat dengan mengungkapkan kenyataan-kenyataan dalam bentuk kalimat, terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis menggunakan metode analisis secara kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah untuk memahami isi dari skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab, urutan bab didalam skripsi ini disusun secara
sistematis dan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainya. Uraian singkat atas bab dan sub-sub bab adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar dari penulisan. Lalu berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dibuatlah suatu perumusan masalah dan tujuan serta manfaat dari penulisan skripsi ini. Pada bab ini juga menerangkan tentang tinjauan pustaka, keaslian penulisan, metode penelitian yang digunakan serta sistematika dari penulisan skripsi.
BAB II : PENGATURAN MENGENAI PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA
Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar hukum pelaksanaan Hak Tanggungan, Asas-asas dalam Hak Tanggungan, Subjek dan Objek Hak Tanggungan, serta Eksekusi Hak Tanggungan
BAB III : PEMBEBANAN SERTA HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN Pada bab ini akan dibahas mengenai proses pembebanan Hak Tanggungan, Isi akta pemberian Hak Tanggungan, Hapusnya Hak Tanggungan, serta Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan
BAB IV : PELAKSANAAN ROYA PARTIAL HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK DI KABUPATEN DELI SERDANG Pada bab ini akan dibahas mengenai Gambaran umum Lokasi Penelitian, Pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Pelaksanaan Roya Partial
yang sebelumnya tidak dicantumkan terlebih dahulu dalam klausul APHT, Serta akan membahas kendala-kendala yang dihadapi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam pelaksanaan roya partial dan Upaya Penyelesaian yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam mengatasi kendala- kendala yang terjadi.
BAB V : PENUTUP
Pada bab kelima ini akan diuraikan tentang kesimpulan terhadap penulisan skripsi ini dan saran-saran terhadap Pelaksanaan Hak Tanggungan dan Roya Partial di kabupaten Deli Serdang
BAB II
PENGATURAN MENGENAI PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Hak Tanggungan
Sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik.Karena pada waktu itu hak atas tanah merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik, namun sesudah diberlakukanya UUHT, pembebasan hak atas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan Hak Tanggungan.22
Pengaturan mengenai jaminan Hak Tanggungan itu sendiri dibentuk berdasarkan amanat UUPA untuk membentuk undang-undang tersendiri mengenai jaminan kebendaan atas tanah, karena persoalan mengenai Hak Tanggungan ini merupakan persoalan yang sangat prinsipil sehingga harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ini maka ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana yang diatur dalam Staatblad 1908 nomor 542 juncto Staatblad 1909 nomor 586 dan Staatblad 1909 Nomor 584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatblad 1937 Nomor 190 juncto
22Rachmadi Usman, Hukum kebendaan, sinar grafika, Jakarta, 2011, hal. 305
Staatblad 1937 Nomor 191 dan ketentuan mengenai Hyphoteek sebagaimana yang disebut dalam buku ke II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.23
B. Asas-Asas dalam Hak Tanggungan
Sebagai jaminan kebendaan Hak Tanggungan juga memiliki asas-asas yang mendasari Hak Tanggungan itu sendiri, adapun asas-asas yang terkandung dalam Hak Tanggungan meliputi antara lain:24
1. Asas Publisitas
Yang dimaksud dengan Publisitas ialah pencatatan dari pembebanan obyek Hak Tanggungan, sehingga terbuka dan dapat dibaca dan diketahui umum.Setiap orang (umum) yang ingin mendapatkan informasi tentang kepemilikan tanah/ pemegang Hak Tanggungan dapat melihat buku tanah Hak Tanggungan, yang dimana Asas Publisitas ini diatur dalam Pasal 13 Ayat (l) UUHT.
2. Asas Spesialitas
Yang dimaksud dengan asas spesialitas ialah pertelaan mengenai obyek Hak Tanggungan.Asas spesialitas terwujud dalam uraian mengenai obyek Hak Tanggungan (penjelasan umum angka 3 huruf c UUHT).Yang dituangkan dalam sertifikat atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas dan luas tanahnya yang
23 Ibid. hal 305
24 Mariam darus badrulzaman, kompilasi hukum jaminan (serial hokum perdata buku ke 2, CV.
Mandar Maju, bandung. 2009, hal.11
merupakan syarat esensial bagi eksistensi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
3. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi
Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi dengan adanya sifat hak melakukan eksekusi dari pemegang Hak Tanggungan dengan mencantumkan irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" pada sertiflkat Hak Tanggungan.
4. Asas accessoir
Hak Tanggungan adalah perjanjian ikutan accessoir dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri (Zelfstandigrecht).Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan (accessorium) tergantung dari perjanjian pokok. Dimana asas accessoir ini diatur dalam Pasal 10 Ayat (1), penjelasan umum angka 8, sedangkan didalam KUH Perdata asas ini diatur dalam Pasal 1133, Pasal 1134 alenia ke 2 dan Pasal 1198.
5. Asas pemisahan horisontal
Asas ini mengajarkan bahwa hak atas tanah terpisah dari benda-benda yang melekat diatasnya . UUHT menganut ajaran tersebut (penjelasan umum angka 6 UUHT) , tetapi berlakunya tidak secara otomatis. Penerapanya terjadi jika diperjanjikan yang dituangkan kedalam APHT, dimana penggunaan asas ini menerobos asas perlekatan. Didalam KUH Perdata ajaran pemisahan horisontal tidak dianut, tetapi yang dikanal adalah asas pemisahan vertikal.Asas perlekatan (accessie)
6. Asas perlekatan
mengatakan bahwa benda-benda yang melekat sebagai kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok, UUHT tidak menganut ajaran perlekatan vertikal tetapi berdasarkan kebutuhan, menyatakan asas ini dianut juga. Penerapan asas ini didasarkan pada perjanjian yaitu jika para pihak sepakat, maka harus dituangkan secara tegas didalam APHT.penerpan asas ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (4) dan 5 penjelasan umum angka 6 APHT.
7. Asas itikad baik
Didalam pelaksanaan Hak Tanggungan para pihak harus jujur.Pengertian itikad baik dalam hak kebendaan mempunyai arti subyektif, berbeda dengan hukum perjanjian, dimana itikad baik bersifat obyektif yaitu kepatutan yang berlaku di dalam lalu lintas masyarakat.
C. Subyek dan obyek hak tanggungan
Subjek Hak Tanggungan adalah siapa-siapa yang terlibat di dalam perjanjian Hak Tanggungan.Dimana pihak-pihak yang terlibat dimaksud adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan.25Mengenai subyek hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT.
Pasal 8 UUHT dikatakan bahwa pemberi Hak Tanggungan itu sendiri adalah perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan Hukum terhadap Objek Hak Tanggungan.Sedangkan didalam Pasal 9 UUHT disebutkan bahwa pemegang Hak Tanggungan adalah
25 Zaidar, Op.cit, hal.155
orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Persyaratan yang harus dipenuhi Oleh seseorang untuk dapat menjadi pem beri Hak Tanggungan antara lain:
a. Orang perseorangan atau pun badan hukum
b. Cakap dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum
c. Memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan obyek Hak Tanggungan.
Persyaratan yang ada pada point ke 3 (tiga) yaitu kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan, diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Dan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang dijadikan obyek Hak Tanggungan tersebut harus dibuktikan dengan cara antara lain: 26
a. Apabila pemberi Hak Tanggungan telah memiliki tanah yang dijadikan Obyek Hak Tanggungan yang telah terdaftar oleh BPN, maka pembuktianya dengan menunjukan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan tersebut;
b. Apabila tanah obyek Hak Tanggungan telah terdaftar namun masih belum jelas atas nama pemberi Hak Tanggungan karena peralihan Hak melalui pewarisan ataupun pemindahan hak, maka pembuktianya dengan membawa sertifikat hak atas tanah yang disertakan dengan dokumen-dokumen yang
26 Ibid, hal.157-158
membuktikan beralihnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada pemberi Hak Tanggungan. misalnya jika peralihan hak karena pewarisan maka yang dokumen yang harus dibawa adalah akta pembagian waris;
c. Apabila tanah obyek Hak Tanggungan yang belum terdaftar maka pembuktianya dengan membawa surat keterangan dari kantor pertanahan atau pernyataan dari pemberi Hak Tanggungan bahwa tanah yang bersangkutan belum terdaftar, dan juga dengan membawa surat bukti hak serta keterangankepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat bukti hak tersebut.
Sementara itu pada penerima/pemegang Hak Tanggungan, tidak terdapat persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Dimana penerima/pemegang Hak Tanggungan juga dapat orang perseorangan ataupun badan hukum, bahkan orang asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di indonesia maupun maupun di Iuar negeri dapat menjadi penerima/pemegang Hak Tanggungan, asalkan kredit yang diberikan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan wilayah Republik indonesia.27
Obyek Hak Tanggungan sendiri, diatur dalam Pasal 4 UUHT, dimana ada 5 (lima) jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan, yaitu:28
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
27 Rachmadi usman, op.cit, hal.314
28 Bambang Fitrianto, hukum jaminan (perjanjian kredit pemilik rumah), pustaka bangsa press, Yogyakarta, 2013, hal.114
d. Hak Pakai, baik Hak Pakai atas tanah Hak Milik maupun Hak Pakai atas tanah.Negara;
e. Hak atas tanah yang sebelumnya ditunjuk dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, yang kemudian ditegaskan dalam ketentuan Pasal 27 UUHT, yaitu rumah susun yang didirikan diatas tanah Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak pakai atas Tanah Negara.29
Selain kelima Hak atas tanah tadi, pembebanan pada hak atas tanah sebagai jaminan hutang dapat juga mengikutsertakan pula bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Hal ini secara tegas disebutkan dałam Pasał 4 Ayat (4) yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah Yang pembebananya dengan tegas dinyatakan di dałam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pasał 4 Ayat 4 ini menunjukan bahwa tanah, bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang telah ada atau yang akan ada dikemudian hari, dengan sendirinya dapat menjadi obyek Hak Tanggungan. Jadi obyek Hak Tanggungan dałam hal ini telah diperluas lingkupnya, bahkan dapat meliputi pula bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan, namun jika bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut bukanlah satu kesatuan
29 Rachmadi usman, op.cit, hal.312
dengan tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan tidaklah dapat dibebani dengan Hak Tanggungan30
D. Eksekusi Hak Tanggungan
Beberapa pengertian Eksekusi Pendapat para ahli hukum tentang pengertian eksekusi:
1. Ridwan Syahrani, bahwa eksekusi/ pelaksanaan putusan Pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.31
2. Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. 32
3. M. Yahya Harahap, bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, oleh karena itu eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum antara perdata. Jadi eksekusi merupakan suatu kesatuan yang
30 Ibid, hal.313
31 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hal. 106
32 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 201
tidak ter-pisahkan dari pelaksanaan tata tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau RBg.33
4. Soepomo, bahwa hukum eksekusi mengatur cara dan syarat -syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakin, apabila yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi putusan yang tidak ditentukan dalam Undang-Undang.34
Putusan hakim yang diktumnya bersifat Condemnatoir saja yang dapat dimintakan eksekusi. Menurut Sudikno Mertokusumo ada tiga macam jenis pelaksanaan putusan (eksekusi), yaitu :
1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Dalam eksekusi ini prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam pasal 196 HIR atau pasal 206 Rbg.
2) Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.
Eksekusi ini diatur dalam pasal 225 HIR atau pasal 259 Rbg. Orang tidak dapat dipaksa memenuhi prestasi berupa perbuatan, akan tetapipihak yang dimenangkan dapat meminta pada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
3) Eksekusi Riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Dalam hal orang yang dihukum oleh hakim untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi perintah tersebut, maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan
33 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT.
Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 1
34 Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Gita Karya, Jakarta, 1963, hal.
137
bantuan Panitera pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara, agar barang tetap tersebut dikosongkan oleh orang yang dihukum besrta keluarganya. Eksekusi ini diatur dalam pasal 1033 Rv. Sedangkan dalam HIR hanya mengenal eksekusi riil ini dalam penjualan lelang, termuat dalam pasal 200 ayat 11 HIR/pasal 218 Rbg.
Pada Hak Tanggungan sendiri, adapun tata cara dalam melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan adalah pertama pemohon mengajukan permohonannya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan setelah menerima permohonan itu Ketua Pengadilan Negeri langsung menyuruh memanggil Debitur yang ingkar janji itu untuk ditegur, dan dalam waktu 8 hari harus memenuhi kewajibannya yaitu membayar hutangnya dengan sukarela. Apabila debitur tetap lalai, maka Kreditur akan melaporkan hal itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan agar tanah obyek Hak Tanggungan tersebut disita dengan sita eksekutorial oleh Panitera atau penggantinya dengan dibantu oleh 2 orang saksi yang memenuhi persyaratan menurut Undang-undang. Panitera atau penggantinya yang telah melakukan penyitaan membuat berita acara tentang penyitaan itu dan memberitahukan maksudnya kepada orang yang barangnya tersita apabila ia hadir pada waktu itu
Pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi surat- tanda- bukti adanya Hak Tanggungan harus dibubuhkan irah- irah dengan kata-kata “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, maksudnya untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan.Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggitingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
BAB III
PEMBEBANAN SERTA HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN
A. Proses pembebanan Hak Tanggungan
Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.35
1. Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan hak tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat
35 Patrik Purwahid dan Kashadi, Hukum JaminanEdisi Revisi dengan UUHT, Semarang, 2008, hal.51
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT). Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
a. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dana pabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
c. Nilai tanggungan;
d. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. 36
Selanjutnya APHT dan Blangko permohonan pemberian Hak Tanggungan didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui bagian pendaftaran tanah untuk penerbitan sertifikat Hak Tanggungan oleh BPN.
2. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan di Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dengan dibuatkan APHT. Lembar pertama akta tersebut disimpan di kantor PPAT, lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT berikut warkah-warkah yang diperlukan dan asli sertipikat Hak Milik objek Hak Tanggungan tersebut disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatangani, dan penyampaiannya
36 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 91
dilakukan dengan surat pengantar dari PPAT yang dibuat dalam rangkap dua dan menyebut secara lengkap jenis surat-surat dokumen yang disampaikan. Dokumen- dokumen yang disampaikan oleh PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut :37
a. Surat pengantar dari PPAT yang dibuat dalam dua rangkap.
b. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari PPAT (selaku kuasa dari kreditor penerima Hak Tanggungan).
c. Fotocopy KTP/Paspor pemberi dan penerima Hak Tanggungan (yang dilegalisir oleh Notaris).
d. Sertipikat asli Hak Milik e. Lembar kedua APHT.
f. Salinan APHT yang sudah diparaf oleh PPAT.
g. Surat Kuasa pengurusan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pegawai PPAT.
3. Tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas dasar data dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan pencatatan adanya Hak Tanggungan dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik yang menjadi objek Hak Tanggungan. Tanggal kelahiran Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang
37 Hendri Budiyanto, Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Guna Bangunan Dalam Perubahan Status Menjadi Hak Milik,Jurnal Repertorium, 2015, Hal.38