Page
1
of56
Daftar Isi
I. Pendahuluan 3
I.1. Latar Belakang dan Konteks 3
I.2. Tujuan dan Cakupan Kegiatan 4
II. Metodologi 5
II.1. Pertanyaan Kunci 5
II.2. Metode Pengumpulan Data 6
II.3. Analisis Data 8
II.4. Kendala dan Batasan Penelitian 10
III. Temuan Analisis Situasi Transpuan di Indonesia 11
III.1. Negara dan Transpuan 11
3.1.1. Payung Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perlindungan yang Berbatas 13 3.1.2. Komitmen Pemerintah Terhadap Pemenuhan HAM: Kapasitas dan Kepedulian yang
Terbatas 17
Kapasitas Pemerintah terkait Hak Asasi Manusia 17
Peran Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia 18
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 21
Akses terhadap Kartu Identitas Kewarganegaraan 22
III.2. Situasi Transpuan Dalam Bingkai Sosial Budaya Indonesia 24
3.2.1. LGBTI, Transpuan dan Moralitas Bangsa 25
3.2.2. Transpuan di Mata Agama: Penistaan Kemanusiaan 29
3.2.3. Simalakama: Transpuan, HIV AIDS Dan Pekerja Seks 31
3.2.4. Transpuan Dan Media: Pergulatan Klasik Pasar dan Ideologi 33
III.3. Sumberdaya dan Potensi Jaringan Pendukung 36
3.3.1. Advokasi Kebijakan: Perjuangan Tersembunyi 37
Aliansi Reformasi RKUHP 37
Koalisi Anti Stigma dan Diskriminasi 38
3.3.2. Pendampingan Kasus: Keengganan dan Diskriminasi 38
3.3.3. Kerjasama Programatik: Kerja Tersembunyi 39
Konsorsium Crisis Response Mechanism 39
Kitasama atau RHRN Indonesia 40
Page
2
of56
III.4. Dinamika Gerakan Transgender di Indonesia 44
3.4.1. Pemenuhan Akses dan Kapasitas Kelompok Transpuan di Indonesia 44
3.4.2. Relasi antar komunitas transpuan dan antar komunitas LGBTI di Indonesia 47
Tantangan Internal 47
Peluang Memperkuat Gerakan LGBTI 48
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi 50
IV.1. Kesimpulan 50
Negara dalam menjamin Hak Asasi Manusia Secara Utuh 50
Masyarakat dan Keterbukaan terhadap Kelompok Transpuan 51
Jaringan Pendukung, Gerakan dan Tantangan 52
Organisasi LGBT: Bertahan di Tengah Kuatnya Tekanan 52
IV.2. Rekomendasi 53
Negara: Perhatian pada Advokasi Kebijakan 53
Masyarakat: Media sebagai Mitra Strategis 53
Jaringan Pendukung: Peningkatan Kapasitas Menyeluruh 54
Organisasi Transpuan di Indonesia: Pembenahan Menyeluruh 54
V. Lampiran 56
Page
3
of56
I.
Pendahuluan
I.1. Latar Belakang dan Konteks
Kondisi politik sosial Indonesia 10 tahun belakangan ini semakin tidak menentu. Beberapa persoalan muncul terutama menyangkut dominasi kelompok intoleran berbasis agama. Salah satu yang terdampak langsung adalah kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritas mulai merasakan represi, bukan hanya dari negara sebagai pelakunya namun juga organisasi massa (ormas), terutama yang berbasis agama, melakukan tindakan kekerasan dengan alasan moral ataupun alasan-alasan lain. Kelompok minoritas ideologi (seperti komunis dan Gafatar) dianggap mengganggu stabilitas negara dan mengancam NKRI; kelompok minoritas ras (Papua) dikatakan sebagai kelompok separatis; kelompok LGBTI1 yang dianggap tidak sesuai dengan moral dan norma budaya maupun agama di indonesia. Tentunya, ada kelompok yang lebih rentan ketimbang kelompok lainnya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kelompok LGBTI mengalami peningkatan kasus kekerasan yang paling signifikan sejak 2016. Arus Pelangi sebagai organisasi LGBTI tingkat nasional melakukan penelitian dua penelitian pada tahun 20132 dan 20173 (pada 2013, terdapat 89% individu LGBTI mengalami kekerasan dan pada 2017 sebesar 92%). Hasil dua penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih tetap terjadi kekerasan terhadap kelompok LGBTI. Bahkan, meskipun tidak terlihat mengalami peningkatan yang signifikan, tetap terjadi peningkatan sebesar 3,13% dalam kurun waktu empat tahun. Kekerasan yang diterima oleh individu LGBTI dapat diklasifikasi menjadi lima jenis kekerasan yaitu psikological, fisik, ekonomi, kultural dan seksual4.
Selain kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTI pada umumnya, individu transgender (khususnya transgender perempuan, atau transpuan) memiliki tantangan diskriminasi yang paling tinggi.5
Diskriminasi terhadap kelompok transpuan yang dianggap lebih tinggi ini merupakan dampak dari ekspresi fisik (ekspresi gender) mereka yang sering dianggap tidak sesuai dengan ekspresi sesuai jenis kelamin mereka. Dan hal ini dinilai menyimpang menurut pandangan masyarakat pada umumnya.6 Penelitian lain yang mendukung data diatas dilakukan oleh Arus Pelangi 2013 yang menunjukkan bahwa transpuan merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban kekerasan (35% kasus kekerasan dialami oleh individu transgender). Individu transgender dengan pendidikan formal yang lebih rendah memiliki pilihan yang lebih sedikit dalam bidang kerja mereka. Banyak dari mereka yang kemudian bekerja sebagai pekerja seks, pengamen jalanan, hidup dengan stigma ganda yaitu sebagai transpuan dan sebagai pekerja seks.7 Untuk individu transgender yang rata-rata tidak memiliki Kartu Tanda
Penduduk Indonesia (KTP), posisi mereka lebih rentan oleh hal pelecehan dari aparatur negara. Mereka
1
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks
2
Menguak stigma, 2013 (https://aruspelangi.org/perpustakaan/)
3
Research Documentation and Monitoring Report ; Situation of Human Rights and Access to Justice For LGBTI Community in Indonesia, 2017 (https://aruspelangi.org/perpustakaan/)
4
LGBTI Exclusion in Indonesia and its Economic Effect, 2017, hal. 17
5
Koeswinarno. 2004. Hidup sebagai waria [Living as a transgender person]. (LKis, Yogyakarta, Indonesia).
6
Indonesian NGO Coalition on LGBTI Issues. 2012. Alternative report of Indonesia’s ICCPR State report 2013. December 2012. Available at: http://tbinternet.ohchr.org/Treaties/CCPR/Shared%20Documents/IDN/INT_CCPR_N GO_IDN_14708_E.pdf.
7
Adhi, S.; Irawan et al. n.d. Iktibar jurnalisme warga bagi komunitas waria di Yogyakarta [Examples of citizen journalism forthe transgender community in Yogyakarta]. Available at: http://perpus.org/doc/jT-iktibar-jurnalisme-warga-bagi-komunitas-.html.
Page
4
of56
dikelompokkan dalam kelompok yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban seperti gelandangan, pengamen dan pekerja seks.8
Kerentanan yang dialami transpuan bukan hanya terkait aspek psikis, fisik, kultural dan seksual. Namun ada beragam lapisan diskriminasi yang dialami. Transpuan yang ditetapkan berjenis kelamin laki-laki, melakukan transisi dan mengidentifikasi diri sebagai perempuan. Sementara dalam pandangan masyarakat patriakal, perempuan masih dianggap sebagai gender kedua. Kelompok masyarakat yang menganut paham biner dan cis-normatif ini juga tidak mengganggap transpuan sebagai perempuan. Sehingga menempatkan transpuan pada kasta terendah dalam struktur sosial masyarakat.
Di sisi lain, transpuan sebagai individu memiliki identitas sosial, ekonomi dan budaya serta status kesehatan yang beragam. Perbedaan ini juga mempengaruhi bentuk dan tingkat kerentanan yang diterima. Lapisan-lapisan diskriminasi ini sangat mempengaruhi bagaimana individu transpuan dapat menjalani hidupnya yang ideal dan mendapatkan akses yang dibutuhkan (termasuk akses terhadap fasilitas kesehatan/HIV AIDS).
Untuk mencapai hidup yang bebas dari diskriminasi, komunitas transpuan perlu memiliki dasar pengetahuan dan analisis situasi yang mereka alami, meliputi tantangan yang dihadapi, penyebabnya dan bagaimana cara mengubah situasi tersebut. Analisis situasi yang komprehensif dapat memberikan pengetahuan bagi komunitas transpuan dalam membangun gerakan, mengembangkan strategi yang lebih sesuai untuk merebut kembali hak asasi mereka sebagai manusia, dimana semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.9
I.2. Tujuan dan Cakupan Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk melakukan analisis situasi transpuan di Indonesia tahun 2019. Cakupan kegiatannya meliputi:
1. Pengumpulan data primer dan sekunder 2. Analisis data
3. Penulisan analisis situasi
4. Pembuatan pohon masalah (problem tree) dan pohon objektif ( objective tree) transpuan di Indonesia
5. Asistensi Swara menghubungkan tujuan, strategi organisasi dengan hasil analisis situasi yang dihasilkan
6. Asistensi Swara dalam merancang grand logical framework organisasi selama kepengurusan 2018-2022.
8
Pride at Work: A study on discrimination at work on the basis of sexual orientation and gender identity in Indonesia, Hal. 14
9
Page
5
of56
II.
Metodologi
II.1. Pertanyaan Kunci
Dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang akan digunakan pada proses analisis situasi, tim E/Quality mendasarkan pada analisis di 4 fokus area: Sosial-Budaya, Politik, Ekonomi dan Gerakan-Jaringan.
Pertanyaan-pertanyaan kunci yang menjadi dasar penentuan metode pengumpulan data dan analisis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana potret kependudukan dan kemasyarakatan di Indonesia (barat, tengah, timur)? 2. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat maupun lokal terkait kelompok LGBTI khususnya
kelompok transpuan (termasuk transpuan dengan HIV AIDS)?
3. Bagaimana potret demokratisasi dan pengambilan keputusan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
4. Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam dinamika proses demokratisasi? 5. Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam mengakses layanan publik yang
disediakan oleh pemerintah (termasuk akses layanan kesehatan/HIV AIDS)?
6. Bagaimana potret pertumbuhan dan kesempatan ekonomi di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
7. Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam mengakses kesempatan kerja? 8. Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam mengakses layanan keuangan? 9. Bagaimana potret komunitas LGBTI khususnya transpuan di media massa?
10. Bagaimana potret gerakan kemasyarakatan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
11. Bagaimana potret gerakan LGBTI khususnya transpuan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
Page
6
of56
II.2. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan kedua belas pertanyaan kunci tersebut, metode pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan pendekatan kualitatif untuk pengumpulan data primer. Untuk data sekunder, dilakukan pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif. Adapun rencana metode pengumpulan data dapat dilihat pada tabel berikut:
No Pertanyaan Kunci Metode Pengumpulan Data Sumber Data
1 Bagaimana potret kependudukan dan kemasyarakatan di Indonesia (barat, tengah, timur)?
Pengumpulan data sekunder BPS
2 Bagaimana kebijakan pemerintah pusat maupun lokal terkait kelompok LGBTI khususnya kelompok transpuan (termasuk transpuan dengan HIV AIDS)?
● Pengumpulan data kebijakan dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait)
● Wawancara informan kunci (KII) ● Pengumpulan data hasil analisis situasi mekanisme respon krisis (CRM) dan Koalisi Kami Berani
● YLBHI, LBHM, Komnas Perempuan, Komnas HAM, ICJR, ELSAM, UNAIDS, HRW, Kemenkes, KemenkumHAM, Kemensos, BAPPENAS 3 Bagaimana potret demokratisasi dan
pengambilan keputusan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII) ● Pengumpulan data hasil analisis situasi mekanisme respon krisis (CRM) dan Koalisi Kami Berani
● INSIST, YLBHI, LBHM, Komnas Perempuan, Komnas HAM, ICJR, ELSAM, UNAIDS, HRW, Kemenkes,
KemenkumHAM, Kemensos, BAPPENAS 4 Bagaimana kelompok LGBTI
khususnya transpuan dalam dinamika proses demokratisasi?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII) ● Pengumpulan data hasil analisis situasi mekanisme respon krisis (CRM) dan Koalisi Kami Berani
● INSIST, YLBHI, LBHM, Komnas Perempuan, SWARA, Arus Pelangi, GWL INA, Komnas HAM, ICJR, ELSAM, UNAIDS, HRW, Kemenkes, KemenkumHAM, Kemensos, BAPPENAS 5 Bagaimana kelompok LGBTI
khususnya transpuan dalam mengakses layanan publik yang disediakan oleh pemerintah (termasuk akses layanan kesehatan/HIV AIDS)?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII) ● Pengumpulan data hasil analisis situasi mekanisme respon krisis (CRM) dan Koalisi Kami Berani
● Komnas Perempuan, SWARA, Arus Pelangi, GWL INA, UNAIDS, HRW, Kemenkes,
KemenkumHAM, Kemensos, BAPPENAS
Page
7
of56
No Pertanyaan Kunci Metode Pengumpulan Data Sumber Data
kesempatan ekonomi di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait)
pemerintah terkait lain ● Lembaga penelitian lain
7 Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam mengakses kesempatan kerja?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII)
● ILO, Kemenaker, Serikat buruh, SWARA dan lembaga LGBTI lain
8 Bagaimana kelompok LGBTI khususnya transpuan dalam mengakses layanan keuangan?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII)
● SWARA, lembaga LGBTI lain, IKA
9 Bagaimana potret komunitas LGBTI khususnya transpuan di media massa?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII)
● HRW, AJI, Remotivi, Sejuk, Sindikasi
10 Bagaimana potret gerakan
kemasyarakatan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII)
● INSIST, YLBHI, LBH Jakarta, LBHM, Komnas Perempuan, Komnas HAM, lembaga LGBTI, ICJR, SWARA, Pesantren Al-Fatah
11 Bagaimana potret gerakan LGBTI khususnya transpuan di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia (barat, tengah, timur)?
● Pengumpulan data dan dokumen pendukung lain (hasil penelitian, analisis situasi lembaga terkait) ● Wawancara informan kunci (KII)
● INSIST, YLBHI, LBH Jakarta, LBHM, Komnas Perempuan, Komnas HAM, lembaga LGBTI, ICJR, SWARA, Pesantren Al-Fatah
12 Bagaimana Sanggar SWARA dalam gerakan berbasis HAM, Demokrasi maupun Keberagaman SOGIESC?
● Wawancara informan kunci (KII) ● YLBHI, LBHM, Komnas Perempuan, Komnas HAM, ICJR, ELSAM, UNAIDS, HRW
Page
8
of56
II.3. Analisis Data
Proses analisis dilakukan oleh tim E/Quality dengan menggunakan analisis triangulasi yang
menggabungkan informasi kuantitatif maupun kualitatif dari data sekunder maupun primer. Proses analisis dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, transkripsi yang dimuat dalam form catatan lapangan pengumpulan data primer (wawancara dan FGD) dipindah dalam tabel/form analisis. Pada form analisis, peneliti melakukan pengelompokkan respon dari data primer sesuai pertanyaan kunci pada pertanyaan-pertanyaan pada tools ataupun proses pengumpulan data primer. Pada pengisian form analisis juga dilakukan pre-coding oleh peneliti. Pada proses awal ini ditentukan dengan melakukan metode elemental di mana setiap respon disaring sesuai inti dari setiap respon yang dianalisa. Pada proses pre-coding ini tidak ada pembatasan terkait seberapa banyak pre-coding ditentukan untuk setiap respon. Tahap kedua merupakan tahapan di mana peneliti melakukan refocusing dalam pengkodingan. Pada proses ini, koding dikelompokkan berdasarkan empat kategori pembahasan, yaitu: Politik-Ekonomi, Sosial-Budaya, Jaringan Pendukung dan Organisasi LGBTI. Pada setiap kategori pembahasan dilakukan pengkodingan dari setiap respon yang telah melalui proses pre-coding. Pada tahapan ini, secara struktural dilakukan pembobotan dengan mengamati jumlah dan pola respon untuk setiap koding jawaban. Untuk koding yang ditemukan mendapatkan respon banyak pada proses pembobotan mendapatkan bobot yang tinggi. Sebagai konsekuensi pada pembahasan temuan harus mendapatkan porsi besar dalam pembahasan.
Keempat tabel berikut merupakan tabel koding akhir yang telah melalui proses pembobotan. Dari respon seluruh narasumber (CSO, pemerintah, media dan organisasi LGBTI), terlihat bahwa bidang politik-ekonomi khususnya terkait dinamika negara dan komunitas LGBTI khususnya transpuan memiliki jauh lebih banyak koding dibanding ketiga bidang lainnya. Ketiga kategori lainnya masing-masing memiliki 4 – 6 koding akhir. Dari tabel-tabel pembobotan ini dapat dikatakan bahwa negara dipandang memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan komunitas transpuan di Indonesia.
Tabel 1. Koding dan Pembobotan Politik - Ekonomi
No Politik - Ekonomi Respon Bobot
1 Pengabaian hukum 7 4
2 Persekusi dan kekerasan 28 17
3 Kebijakan diskriminatif 27 16
4 Pengabaian/tidak prioritas 25 15
5 Pernyataan diskriminatif/sentimen pejabat pemerintahan 11 7
6 Minim akses layanan publik 18 11
7 Program HIV AIDS 6 4
8 Stigma moral dan agama 4 2
9 Suara mayoritas 4 2
10 PMKS 4 2
11 Kriminalisasi (RKUHP) 24 14
12 Diskriminasi inskonstitusional 1 1
13 Kota Peduli HAM 7 4
Page
9
of56
Tabel 2. Koding dan Pembobotan Sosial - Budaya
No Sosial - Budaya Respon Bobot
1 Stigma moral dan agama 19 6
2 Persekusi dan kekerasan 9 3
3 Stereotyping transpuan 2 1
4 Budaya keberagaman gender 3 1
33 10
Tabel 3. Koding dan Pembobotan Jaringan Pendukung
No Jaringan Pendukung Respon Bobot
1 Penanganan kasus 9 2
2 Sembunyi-sembunyi 4 1
3 Riset 4 1
4 Advokasi kebijakan 20 3
5 Perspektif negatif media 23 4
60 10
Tabel 4. Koding dan Pembobotan Organisasi LGBTI
No Organisasi LGBTI Respon Bobot
1 Ketegangan antar organisasi 5 2
2 Beda fokus organisasi 7 2
3 Senioritas transpuan 2 1
4 Keterbatasan akses dan kapasitas 8 3
5 Ketahanan tinggi 1 0
6 Ketakutan 6 2
29 10
Untuk data sekunder, tabel/form analisis disiapkan untuk menampung data-data yang diidentifikasi sebagai respon dari pertanyaan-pertanyaan kunci penelitian. Data-data yang telah dikelompokkan dalam tabel analisa selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk verifikasi informasi dari data primer.
Page
10
of56
II.4. Kendala dan Batasan Penelitian
Pada proses pengumpulan data, konsultan mengalami kesulitan dalam menjangkau narasumber ataupun lembaga terutama dari kalangan pemerintah. Daftar contact person khususnya untuk calon narasumber dari lembaga pemerintah sudah diperoleh dari UNAIDS. Demikian juga dengan surat pengantar untuk kegiatan pengumpulan data. Namun tim konsultan masih menemukan kesulitan dalam menjangkau calon narasumber.
Dengan adanya kendala di atas, tim konsultan berinisiatif untuk melakukan pendekatan snowballing dalam menjangkau calon narasumber dari lembaga yang disasar. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan contact person dari lembaga jaringan tim konsultan maupun dari lembaga narasumber lain. Pendekatan secara informal pun dilakukan disamping mengirimkan surat resmi pada lembaga terkait. Namun kemudian tetap ditemukan kendala dalam menjangkau narasumber khususnya dari lembaga pemerintah. Sebagai contoh, calon narasumber dari BAPPENAS sudah sempat
berkomunikasi untuk proses wawancara, namun kemudian menyatakan tidak mendapatkan izin dari lembaga untuk menjadi narasumber. Sementara calon narasumber dari Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan hingga proses pengumpulan data selesai tidak memberikan respon kesediaan untuk diwawancarai.
Analisis situasi ini memang ditujukan untuk dapat memberikan pemetaan tentang situasi yang terjadi di Indonesia yang dihadapi oleh kelompok transpuan. Namun pada saat proses pengumpulan data maupun analisa, membaca situasi terkait transpuan tidak dapat dilakukan terpisah dari membaca situasi yang dihadapi kelompok LGBTI secara umum. Transpuan di Indonesia tidak hanya tentang persoalan identitas gender. Di mata masyarakat awam, seorang transpuan juga dilekatkan dengan isu ekspresi gender maupun orientasi seksual. Dengan demikian, membaca situasi terkait transpuan tentunya juga akan terkait dengan situasi LGBTI secara umum. Dalam perangkat pengumpulan data, penentuan narasumber maupun metode wawancara, tim konsultan sudah mencoba untuk menyusun pertanyaan ataupun strategi bertanya untuk memastikan isu khusus transpuan masuk. Namun, proses yang terjadi selama pengumpulan data maupun analisa menunjukkan bahwa isu transpuan juga melekat dengan isu LGBTI di Indonesia.
Kendala lain yang dihadapi selama studi dilakukan juga terkait keterbatasan untuk mengakses narasumber dari daerah lain. Wawancara tatap muka hanya dilakukan di Jakarta dan Medan (narasumber dari Aceh dan Medan, Sumatra Utara). Untuk wawancara narasumber dari kota lain dilakukan melalui hubungan telepon. Disadari tetap ada keterbatasan dalam mewawancara melalui telepon. Tim konsultan mencoba memitigasi risiko besarnya bias dengan memanfaatkan kedekatan berdasarkan SOGIESC. Sebagai contoh, untuk mewawancara narasumber transpuan dari Pondok Pesantren di Yogyakarta, tim konsultan dibantu oleh Rebecca Nyuei dari Sanggar Swara. Demikian juga dalam proses wawancara dengan transpuan melalui proses tatap muka, pendampingan dan panduan dari staf Sanggar Swara dilakukan.
Page
11
of56
III.
Temuan Analisis Situasi Transpuan di Indonesia
III.1. Negara dan Transpuan
Pada teori dan konsep Trias Politika yang diadopsi Indonesia, terdapat tiga fungsi ataupun pembagian kekuasaan negara: (1) Sebagai pelaksana undang (eksekutif), (2) sebagai pembuat undang-undang (legislatif), dan (3) sebagai pengawas pelaksanaan undang-undang-undang-undang (yudikatif). Negara yang dimaksudkan dalam analisa situasi ini mencakup ketiga fungsi atau kekuasaan negara. Bagaimana ketiga fungsi ini kemudian menjamin pemenuhan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia? Sejauh mana komitmen negara terhadap HAM tertuang dalam kerangka hukum, kelembagaan maupun
programatik? Jawaban dari dua pertanyaan ini yang akan dijabarkan pada pembahasan sebagai temuan untuk ruang lingkup dinamika politik dan ekonomi.
Hasil pengkategorian (koding) respon-respon para narasumber menunjukkan setidaknya ada 13 aspek yang disorot dari dinamika antara negara dan kelompok transpuan (termasuk kelompok LGBTI). Tabel di bawah berikut diperoleh dari hasil pembobotan koding respon narasumber dari berbagai kalangan (masyarakat sipil, pemerintah, organisasi berbasis keberagaman SOGIESC dan media). Koding respon disusun berdasarkan urutan bobot yang tertinggi (urutan pertama merupakan respon yang memiliki pembobotan tertinggi).
Tabel 5. Respon Narasumber Terkait Dinamika Negara dan Kelompok LGBTI
No Koding Respon
1 Persekusi dan kekerasan 2 Kebijakan diskriminatif 3 Pengabaian/tidak prioritas 4 Kriminalisasi (RKUHP) 5 Kendala akses layanan public
6 Pernyataan diskriminatif/sentiment pejabat pemerintah 7 Pengabaian proses hukum
8 Program HIV AIDS 9 Kota Peduli HAM 10 Stigma moral dan agama 11 Suara mayoritas
12 PMKS
13 Diskriminasi inskonstitusional
Dari hasil pengelompokan respon 23 narasumber, setidaknya terdapat empat aspek respon yang mendapat pembobotan tertinggi (banyak disebutkan oleh narasumber), yaitu: persekusi dan kekerasan, kebijakan diskriminatif, pengabaian/tidak prioritas, dan kriminalisasi (RKUHP). Persekusi dan kekerasan terutama terjadi di daerah yang mengeluarkan peraturan daerah yang diskriminatif. Seperti kasus di Aceh, sebagaimana diidentifikasi oleh Andreas Harsono dari Human Rights Watch, sejak akhir 2015 berlaku Qanun Jinayat di Aceh yang di dalamnya terdapat pasal yang mengkriminalisasi kelompok homoseksual. Pemberlakukan Qanun Jinayat secara tidak langsung memberikan dasar hukum bagi kelompok organisasi massa dan aparat keamanan setempat untuk melakukan persekusi dan kekerasan. Menurut Bintang (nama disamarkan), transpuan dari salah satu kabupaten di Aceh, adanya Qanun Jinayat kemudian menjadi legitimasi pemerintah di tingkat kabupaten/kota untuk mengeluarkan peraturan lokal yang diskriminatif yang melarang individu LGBTI termasuk transpuan untuk bekerja
Page
12
of56
ataupun berusaha. “Karena Qanun Jinayat itu, menurut kami, masyarakat jadi pelaku kekerasan untuk teman-teman transpuan di Aceh. Misalnya aparat kampong berani untuk menutup usaha salon yang dikaitkan dengan Qanun Jinayat,” Bintang menjelaskan.
Keberadaan peraturan daerah yang mendiskriminasi ataupun berpotensi mengkriminalisasi kelompok LGBTI ini bahkan mampu memicu kelompok masyarakat untuk melakukan tindak persekusi ataupun kekerasan sekaligus menuntut pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang melarang keberadaan ataupun kegiatan yang dilakukan oleh kelompok LGBTI. Seperti halnya yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat pada awal 2018. Saat itu Aliansi Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Almumtaz) membubarkan sebuah acara ulang tahun di satu restoran dengan menuduhkan acara itu adalah pesta LGBTI. Aksi ini bahkan mendapat dukungan polisi setempat.10
Pemerintah juga dinilai oleh narasumber abai atau tidak memprioritaskan kelompok LGBTI dalam kebijakan maupun program afirmatif. Narasumber dari CSO maupun dari lembaga pemerintah sendiri menilai kurangnya tingkat pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia menjadi salah satu penyebab abainya pemerintah dalam merangkul kelompok minoritas/marjinal termasuk kelompok LGBTI. “Pemahaman (HAM dan SOGIESC) di tingkat pemerintah masih kurang,” jelas Ajeng Larasati dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Hal yang serupa juga diakui oleh narasumber dari Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ditambah lagi, prioritas di lembaga pemerintah biasanya ditentukan oleh pimpinan kelembagaan. “Ketika pimpinan Dirjen-nya belum anggap isu ini sebagai isu strategis atau isu yang turut diagendakan untuk dibahas, ya susah,” Jelas narasumber dari Dirjen HAM Kemenkumham. Lebih lanjut lagi dijelaskan, rendahnya pemahaman pimpinan ini kemudian berdampak pada belum masuknya kelompok LGBTI sebagai kelompok prioritas pada strategi nasional untuk Hak Asasi Manusia (STRANAS HAM).
Dengan adanya tiga aspek yang sudah dibahas sebelumnya, maka tidak mengherankan jika kemudian di tingkat nasional upaya untuk melakukan kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI melalui Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pun menjadi agenda prioritas negara. Seperti diketahui
bersama, beberapa pasal dalam RKUHP berpotensi untuk mengkriminalisasi kelompok LGBTI. Menjelang pelantikan anggota DPR baru pada 2019, upaya pengesahan RKUHP sempat akan dilakukan. Saat itu aliansi kelompok masyarakat sipil melakukan aksi penolakan. Hingga saat ini keputusan pengesahan masih belum dilakukan. Namun tetap ada potensi akan adanya upaya lanjutan untuk tetap
mengesahkan RKUHP dengan pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kelompok LGBTI.
Dari tabel respon narasumber terkait negara dan kelompok LGBTI, pembahasan lebih lanjut pada bab ini akan berfokus pada dua aspek. Pembahasan pertama akan menyorot soal analisa terhadap kerangka hukum di Indonesia. Banyak kalangan yang menyoroti bahwa tindak kekerasan dan kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh aktor negara sebagai inkonstitusional. Apakah memang dapat digambarkan murni inkonstitusional? Seberapa jauh sesungguhnya payung hukum di negara ini dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi? Dua pertanyaan ini yang akan menjadi dasar pemikiran dalam pembahasan kerangka hukum.
10
Page
13
of56
Poin kedua yang akan dibahas terkait dengan negara adalah komitmen negara dalam pemenuhan HAM untuk kelompok LGBTI. Bagaimana modalitas pemahaman pemerintah terkait Hak Asasi Manusia? Bagaimana komitmen pemerintah untuk merencanakan pemenuhan Hak Asasi Manusia? Bagaimana kelompok LGBTI termasuk transpuan dalam perencanaan pemerintah? Bagaimana pemerintah mengakomodir kebutuhan dasar kelompok LGBTI sebagai warga negara, khususnya terkait kartu identitas kewarganegaraan? Bagaimana bentuk komitmen pemerintah melalui lembaga-lembaga nasional Hak Asasi Manusia?
3.1.1. Payung Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perlindungan yang Berbatas
Saat Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk maupun setelah melewati beberapa kali proses revisi ataupun penambahan, pasal yang dipegang sebagai dasar bagi perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia adalah pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Terkait upaya kriminalisasi maupun tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara terutama melalui kebijakan-kebijakan diskriminatif, banyak kalangan yang menilai bahwa yang dilakukan adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Sementara di sisi lain, pemerintah menilai sejauh ini langkah yang dilakukan pun telah memenuhi Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusional. Pertanyaannya
kemudian, siapa yang benar?
Narasumber dari Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa ketika berbicara tentang LGBTI, biasanya digunakan sandaran budaya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa budaya yang merugikan orang lain bukanlah budaya yang dapat diterima, oleh karena itu lebih baik dikembalikan pada agama. Sejauh ini juga dinyatakan bahwa dalam menyusun kebijakan ataupun mengambil
tindakan, pijakan pemerintah adalah konsitusi. “Sejauh ini pemerintah masih konstitusional.” Demikian jelas narasumber dari Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara itu kalangan masyarakat sipil menilai keberadaan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTI adalah inkonstitusional. Sebagai contoh, Andreas Harsono menyorot kebaraan Qanun Jinayat di Aceh bertentangan dengan UUD 1945 selain secara jelas
bertentangan dengan kesepakatan internasional terkait HAM seperti ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Rights) yang juga telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005 tentang
Pengesahan ICCPR. Hal serupa juga diungkapkan oleh Maidina narasumber dari ICJR yang menyatakan bahwa sesuai dengan UUD 1945, hal yang bisa diatur oleh pemerintah hanyalah hal-hal yang sifatnya afirmatif. Dengan demikian, keberadaan peraturan daerah yang diskriminatif dan berpotensi untuk mengkriminalisasi kelompok LGBTI adalah inskonstitusional.
Dalam UUD 1945 sendiri, pasal 28 memang menjadi kerangka hukum dasar bagi pemenuhan HAM di Indonesia. Pada pasal 28A hingga pasal 28I ayat 4 memuat hak-hak warga negara Indonesia yang wajib dipenuhi negara. Jika hanya melihat pasal-pasal seperti tersebut di atas, ditambah dengan beberapa pasal lain seperti pasal 27 dan 31, memang akan terkesan bahwa perlindungan dan pemenuhan HAM untuk seluruh warga negara Indonesia harus dijamin oleh negara. Namun kenyataannya pada pasal 28J
Page
14
of56
ayat 1 dan 2 jelas tercantum adanya pembatasan perlindungan dan pemenuhan HAM di mana dicantumkan:
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Keberadaan pasal 28J ini kemudian dapat menjadi mata kedua pemerintah dalam menyusun peraturan perundangan turunan sebagai kerangka hukum teknis bagi arah untuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Jika mengacu pada pasal ini, dapat dikatakan bahwa pernyataan narasumber dari Dirjen HAM disandarkan pada agama sebagai acuan nilai moral selaras dengan konstitusi negara kita yaitu UUD 1945. Secara jelas pada ayat kedua pasal 28J menyatakan pertimbangan moral dan agama menjadi unsur pembatas perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Revisi KUHP dengan pasal-pasal bermasalah jika disahkan kemudian menjadikan persekusi maupun kriminalisasi bagi kelompok LGBTI sebagai kelompok terdampak menjadi konstitusional. Pada poin kedua ayat J juga ditekankan bahwa moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum menjadi 4 unsur pertimbangan atas keberadaan UU turunan terkait HAM.
Terkait pasal 28J, ketua Komisi Nasional HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo di awal tahun 2018 mengakui adanya pembatasan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia. “Kalau di konstitusi kan dibatasi di pasal 28J ayat 2 itu, tapi sebatas undang-undang
pembatasannya.” Demikian jelas Damanik. Lebih lanjut dinyatakan orientasi seksual adalah hak asasi seseorang. Karena itu, yang bisa diatur, dibatasi, dan dipidanakan oleh undang-undang adalah perilakunya, bukan orientasi seksualnya.11
Dengan tidak adanya penjelasan pada pasal-pasal UUD 1945 sejak 2019, maka pemahaman pasal per pasal memang kemudian berpotensi menjadi sumber perdebatan tanpa adanya parameter yang jelas untuk menentukan mana pendapat yang benar dan salah. Padahal UUD 1945 merupakan payung hukum dari pembentukan peraturan perundangan selanjutnya. Dengan kata lain, melalui pasal 28J ini,
pernyataan narasumber dari Dirjen HAM Kemenkumham yang menyatakan bahwa sejauh ini pemerintah masih konstitusional dapat dianggap valid. Apalagi jika yang menjadi unsur-unsur pertimbangan adalah moral, agama, keamanan dan ketertiban umum. Demikian juga keberadaan kebijakan diskriminatif oleh pemerintah daerah. Dengan mempertimbangkan keempat unsur, maka kelahiran perda-perda maupun surat-surat edaran diskriminatif pun dapat dinilai selaras dengan konstitusi negara kita. Karena selama ini, penolakan terhadap kelompok LGBTI seringkali didasarkan pada pertimbangan moral dan agama.
Tapi di sisi lain, sorotan tentang negara yang diskriminatif dan pelaku kekerasan juga valid. Juga dikatakan bahwa dalam Pasal 28J, kebebasan dibatasi jika seseorang melanggar hak asasi orang lain.
Page
15
of56
Seperti disinggung oleh ketua Komnas HAM, Damanik, yang memandang bahwa orientasi seksual seseorang tidak melanggar apapun sepanjang orang tersebut tidak melakukan suatu tindakan seksual yang merugikan orang lain. Damanik justru menilai upaya negara seperti revisi KUHP dengan beberapa pasal bermasalah merupakan bentuk di mana negara melanggar HAM dimana negara berupaya untuk masuk ke ranah pribadi seseorang.12
Bagaimana dampak dari keberadaan pasal 28J pada UUD 1945 terhadap formulasi peraturan
perundangan turunan? Pada studi ini ditemukan, mengikuti pasal 28J UUD 1945, pembatasan bahkan muatan diskriminatif pada beberapa peraturan perundangan pun ditemukan.
Setidaknya di dalam 5 peraturan perundangan ditemukan pasal-pasal yang mengandung pembatasan atau diskriminasi terkait implementasi HAM. Pertama pada UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 69, 70 dan 73 secara tegas menjadi turunan langsung pasal 28J pada UUD 1945. Pada pasal 69 dan 70 ditekankan bahwa unsur moral, etika, tata tertib dan keamanan harus menjadi pertimbangan bagi setiap orang dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pada pasal 73 di bawah bab VI tentang pembatasan dan larangan ditegaskan dapat dilakukan dengan undang-undang lainnya. Pada penjelasan pasal 73 ini ditegaskan bahwa pembatasan yang dimaksud dalam pasal 73 tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Terkait hak yang tidak dapat dikurangi, pasal 4 dari UU No.39 tahun 1999 secara jelas mencantumkan hak-hak berikut ini sebagai hak yang tidak dapat dikurangi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Dengan demikian menjadi kewajiban negara untuk tetap menjamin hak-hak asasi manusia yang sifatnya mutlak (absolute) harus dipenuhi. Pemenuhan terhadap hak-hak yang berlaku mutlak juga semakin ditegaskan dalam UU No.12 tentang Pengesahan International Covenant
On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dengan demikian,
dari segi peraturan perundangan seharusnya sudah jelas bahwa negara berkewajiban dalam melindungi HAM warga negaranya, khususnya untuk non-derogable rights yang bersifat absolute.
Namun kemudian bagaimana dengan peraturan perundangan lainnya? Tabel 6 di bawah ini memuat beberapa peraturan perundangan dengan pasal-pasal yang menjadi pembatasan dan pelarangan hak asasi kelompok LGBTI di Indonesia. Jika dibaca sekilas, pasal 292 pada KUHP berbicara tentang tindak kekerasan seksual pada anak. Namun ternyata pasal ini dapat dikatakan sebagai pengulangan dari pasal-pasal selanjutnya (pasal-pasal 293 hingga 298) yang secara jelas juga mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual ataupun pencabulan pada anak. Dengan keberadaan pasal 292, negara kemudian terlihat menekankan bahwa secara khusus ada perilaku seksual yang perlu mendapatkan penekanan sesuai dengan moral dan agama, yakti perilaku seksual yang dikategorikan sebagai tindakan seksual sesama jenis kelamin.
Salah satu peraturan perundangan yang pasal-pasalnya melekat pada agama Islam sebagai agama mayoritas adalah Undang-Undang No.1 tahun 1973 tentang Perkawinan. Dengan demikian dapat
12
Page
16
of56
dipastikan unsur moral dan agama menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan dan pengesahannya. Pada pasal 1 sudah menggariskan bahwa perkawinan yang dianggap sah adalah perkawinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menjadikan institusi agama berada paling tidak setara dengan institusi negara. Bagi kelompok LGBTI termasuk transpuan, perkawinan tidak mungkin dapat diakui negara jika bertentangan dengan norma agama yang kemudian menjadi penentu norma moral di Indonesia.
Pada Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, homoseksualitas dan lesbian dikategorikan sebagai persenggamaan yang menyimpang (di antaranya setara dengan aktivitas seksual dengan mayat dan binatang). Dengan menetapkan homoseksualitas dan lesbian sebagai bentuk persenggamaan yang menyimpang, menjadi jelas bagaimana negara kemudian memandang orientasi seksual bukan sebagai bagian dari hak asasi manusia seseorang.
Dari temuan Arus Pelangi terhadap peraturan perundangan yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTI juga ditemukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak, jelas dinyatakan bahwa pasangan sejenis tidak dapat mengadopsi anak. Pada PP ini secara jelas negara menyatakan bahwa seorang anak hanya dapat diasuh oleh orang tua dengan
orientasi seksual yang dapat diterima sesuai dengan unsur moral dan agama. Juga diketahui bahwa yang dimaksud dengan orientasi seksual yang dapat diterima adalah heteroseksual, karena agama umumnya hanya mengakui pernikahan heteroseksual (antara laki-laki dan perempuan).
Dengan menelaah dari peraturan perundangan turunan dari UUD 1945 yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia dan kelompok dengan SOGIESC beragam termasuk transpuan, pada tabel 6 dapat dilihat dari keempat unsur pertimbangan pembatasan HAM menurut pasal 28J UUD 1945, secara umum unsur-unsur yang dipenuhi adalah moral dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Indonesia pemenuhan hak asasi manusia secara utuh masih sulit dilakukan, karena negara cenderung mengacu pada parameter subyektif moral dan agama.
Tabel 6. Peraturan Perundangan di Indonesia dan Unsur Pertimbangan Sesuai Pasal 28J UUD 1945
UU/Peraturan Pasal Moral Agama Keamanan Ketertiban
Umum KUHP Pasal 292 - - UU No. 1 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 - - Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 4 ayat (1) - -
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak
Pasal 13 Huruf F - -
Keterangan: Diolah dari Catatan Kelam AP, 2019 dan dari sumber lain
Dari data yang diolah dari laporan 12 tahun persekusi yang diluncurkan Arus Pelangi pada September 2019 lalu, ditemukan setidaknya ada 4 payung hukum di tingkat nasional yang secara langsung atau tidak langsung bersinggungan atau memiliki dampak terhadap komunitas LGBTI. Lebih lanjut lagi, Arus Pelangi menemukan setidaknya ada 38 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTI.
Page
17
of56
Unsur moral dan agama sebagaimana dicantumkan dalam pasal 28J ayat 2 UUD 1945 pun menjadi roh bagi penerbitan maupun penerapan peraturan-peraturan daerah ini. Tentunya menjadi tidak
mengherankan jika kemudian dengan diperkuat adanya otonomi daerah, peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif dan berpotensi mengkriminalisasi kelompok dengan keberagaman SOGIESC pun diproduksi. Di tingkat nasional pun negara memberikan ruang untuk masuknya unsur moral dan agama ke dalam peraturan perundangan. Untuk konteks Indonesia, penentuan benar dan salah dengan demikian dipengaruhi kuat oleh kelompok agama, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Pemenuhan hak asasi manusia secara mutlak sulit dipenuhi karena tarik menarik kepentingan antara agama dan kekuasaan.
3.1.2. Komitmen Pemerintah Terhadap Pemenuhan HAM: Kapasitas dan Kepedulian yang Terbatas
Kapasitas Pemerintah terkait Hak Asasi Manusia
Terkait produksi kerangka hukum di lembaga pemerintah, diakui oleh narasumber dari Litbang Kemenkumham, sering kali kebijakan disusun tanpa berbasiskan data yang akurat, seperti data dari riset. “Itu kultur sebagian besar birokrasi di Indonesia.” Bahkan untuk pengajuan penelitian untuk minoritas gender pun diakui narasumber sering kali mendapatkan penolakan, dengan alasan yang tidak jelas. Diduga karena alasan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan beberapa Undang-Undang. Apalagi dengan keberadaan pimpinan yang tidak menganggap segala isu yang terkait kelompok minoritas seksual sebagai salah satu agenda prioritas. Seperti telah disebutkan pada awal pembahasan bab ini, baik narasumber dari kelompok masyarakat sipil maupun pemerintah mengakui tentang kurangnya pemahaman pejabat tinggi di kementerian kelembagaan untuk Hak Asasi Manusia secara utuh. Di Dirjen HAM Kemenkumham, prioritas sering ditentukan oleh direktur jenderal. Hingga kini isu terkait HAM kelompok LGBTI masih belum menjadi prioritas di Dirjen HAM.13 Faktor-faktor ini yang menjadi penghambat Litbang Kemenkumham untuk dapat melakukan riset terkait kelompok minoritas seksual. Dan ini membuat semakin minimnya data yang layak untuk digunakan sebagai dasar
penyusunan kebijakan.
Narasumber dari Dirjen Kemenkumham menilai, sejauh ini komitmen pemerintah terhadap kelompok LGBTI masih sangat rendah. Hal ini terutama terlihat dari keengganan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan afirmatif. Satu-satunya ruang masuk untuk menjangkau kelompok minoritas seksual adalah melalui isu HIV AIDS, meski tidak serta merta langsung terkait dengan kelompok LGBTI namun diakui ruang itu yang tersedia.
Kedua komnas untuk HAM, yaitu Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa kebijakan yang diproduksi pemerintah dan bersinggungan dengan kelompok LGBTI lebih cenderung bersifat diskriminatif dan berpotensi untuk adanya persekusi maupun kriminalisasi. Menurut
narasumber dari Komnas HAM, bisa jadi kebijakan yang dikeluarkan tidak secara langsung berbentuk kebijakan yang diskriminatif. Hanya saja, pasal maupun ketentuan di dalamnya bersifat multi
13
Page
18
of56
interpretasi dan berpotensi untuk disalahgunakan. Hal ini serupa dengan Pasal 28J dalam UUD 1945, di mana beberapa pernyataan maupun kata yang digunakan dapat diartikan berbeda karena memiliki cakupan pemaknaan yang terlalu luas.
Misalnya saja pernyataan pada point 1: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Apa yang dimaksud dengan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Parameter apa yang digunakan terkait ketertiban ini? Demikian juga untuk empat unsur dalam poin 2 pasal 28 J UUD 1945. Moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum merupakan konsep yang sangat luas dan dapat diartikan berbeda. Apalagi jika tidak didasarkan data ataupun pertimbangan yang obyektif, maka tidak heran jika pasal ini kemudian ditunggangi oleh kelompok yang tidak ingin mengakui Hak Asasi Manusia secara utuh. Dan jika kemudian nilai-nilai maupun standar kelompok mayoritas yang menjadi patokan, maka otomatis suara kelompok minoritas (termasuk kelompok LGBTI) menjadi terdampak oleh multi interpretasi pasal seperti halnya pasal 28 J UUD 1945.
Saat ini trend menguatnya konservatisme agama (untuk Indonesia konteks agama Islam), diakui oleh Beka Ulung, narasumber dari Komnas HAM menjadikan publik mengalami kegagapan untuk
membedakan antara ruang untuk ummat dan ruang untuk warga negara. Standar yang digunakan pada seseorang sebagai warga negara kemudian juga tercampur dengan standar agama. Fenomena ini semakin marak muncul di ruang publik. Untuk saat ini, salah satu dampak dari fenomena tersebut terutama dapat dilihat pada perjalanan panjang revisi KUHP dengan pasal-pasal bermasalah yang masuk ke ruang privat dan berpotensi mengkriminalisasi tidak hanya kelompok LGBTI sebagai salah satu kelompok minoritas, tapi juga kelompok minoritas lain.
Peran Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia
Bagaimana dengan keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)? Bagaimana komitmen mereka dalam menjamin pemenuhan hak asasi kelompok dengan SOGIESC beragam termasuk kelompok transpuan?
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia didirikan dengan landasan hukum tertinggi, yakni Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 75 UU No.39 tahun 1999, ditekankan dua tujuan pendirian Komnas HAM:
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari kedua tujuan ini, pada UU No.39 tahun 1999, sebagaimana tercantum pada pasal 76 ayat 1, fungsi Komnas HAM adalah untuk melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Lebih rinci lagi, tugas dan kewenangan pada tiap fungsi Komnas
Page
19
of56
HAM diatur pada pasal 89 UU No.39 tahun 1999. Dengan membaca pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Komnas HAM mempunyai tugas dan kewenangan untuk memberikan rekomendasi, melakukan penyuluhan dan menangangi kasus yang terkait dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia. Dengan kata lain, Komnas HAM lebih berperan sebagai lembaga yang dikonsultasikan dalam kerja-kerja strategis terkait hak asasi manusia di Indonesia.
Khusus untuk penanganan kasus di Komnas HAM, diakui oleh Komnas HAM, sebagian besar kasus yang ditangani bersumber dari pengaduan yang masuk. Diakui oleh Komnas HAM, masih banyak kasus yang tidak masuk. Kemungkinan penyebabnya ada tiga:
1. Layanan pengaduan tidak terakses 2. Korban merasa takut
3. Ketidakpercayaan terhadap Komnas HAM
Diakui, kebanyakan korban dinilai akan lebih percaya pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Komnas HAM mengakui adanya kendala keterbatasan mereka untuk dapat merespon kasus pada situasi darurat. Bentuk dukungan yang diberikan lebih pada memberikan tekanan pada pemerintah untuk merespon kasus.
Sebagai salah satu lembaga negara, Komnas HAM menilai adanya kendala berupa keterbatasan
kewenangan. Dalam politik pemenuhan HAM di Indonesia, seperti telah disinggung sebelumnya terkait tugas dan kewenangan, sejauh ini Komnas HAM hanya berperan untuk memberikan rekomendasi pada pemerintahan. Namun, menurut narasumber dari Komnas HAM, Beka Ulung, rekomendasi tersebut tidak harus dijalankan.
Secara programatik, Komnas HAM juga terlibat dalam inisiatif mengembangkan kerangka
Kota/Kabupaten Peduli HAM. Kabupaten Wonosobo dijadikan sebagai pilot untuk Kota Peduli HAM. Menurut narasumber dari Komnas HAM, sejauh ini tidak ada laporan terkait persekusi terhadap kelompok LGBTI yang masuk. Dengan kata lain dinyatakan ada indikasi kuat tidak ada laporan terkait persekusi terhadap kelompok LGBTI di Kabupaten Wonosobo. Pada Desember 2017, Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan pada Bupati yang menjabat kala itu (Eko Purnomo) sebagai kabupaten Peduli HAM.14 Kemudian di tahun 2018, Wonosobo juga menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang membentuk Komisi HAM tingkat daerah. Penentuan Wonosobo sebagai kabupaten Peduli HAM dimulai sejak lahirnya Perda Nomor 5 tahun 2016 tentang Kabupaten Wonosobo Peduli HAM.15
Lalu, apakah benar artinya Kabupaten Wonosobo juga ramah terhadap kelompok LGBTI? Justru pada Maret 2016, saat Kabupaten Wonosobo sedang mencanangkan diri sebagai kabupaten Peduli HAM, terjadi persekusi warga terhadap pernikahan yang dianggap pernikahan sejenis di kabupaten Wonosobo. Pernikahan yang sepertinya pernikahan pasangan seorang transpuan dan cis laki-laki, dibatalkan oleh kelompok warga dan juga polisi setempat. Dilaporkan akhirnya pasangan yang akan 14 https://wonosobokab.go.id/website/index.php/berita/seputar-wonosobo/item/6089-banyak-inovasi-wonosobo-terima-penghargaan-kabupaten-peduli-ham/6089-banyak-inovasi-wonosobo-terima-penghargaan-kabupaten-peduli-ham 15 https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/8/29/1119/komitmen-20-daerah-mewujudkan-kabupaten-kota-ham.html
Page
20
of56
menikah dan orang tua menerima permintaan warga untuk membatalkan pernikahan yang dianggap sebagai pernikahan sejenis.16
Lalu bagaimana dengan peran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap penjaminan pemenuhan HAM kelompok LGBTI khususnya pada kelompok transpuan?
Jika Komnas HAM didirikan dengan dasar hukum Undang-Undang, maka Komnas Perempuan didirikan berdasarkan Peraturan Presiden No.65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.17 Dalam Perpres ditekankan tujuan dan kewenangan Komnas Perempuan hampir sama dengan Komnas HAM, hanya saja fokus kerjanya pada perempuan. Tugas dan kewenangan Komnas Perempuan juga untuk memberikan rekomendasi, melakukan penyuluhan dan menangangi kasus yang terkait dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia perempuan. Sama halnya dengan Komnas HAM, peran Komnas HAM lebih sebagai pihak yang dikonsultasikan, namun tidak masuk dalam bagian lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan.
Terkait dengan transpuan, sejak 2012, Komnas Perempuan memperkenalkan istilah perempuan biologis (untuk cis perempuan) dan perempuan sosial (untuk waria/transpuan). Memasukkan transpuan sebagai bagian dari perempuan dan juga keterlibatannya dalam menangangi kasus-kasus transpuan maupun perempuan dari kelompok lesbian dan biseksual diakui telah menempatkan Komnas Perempuan dipandang sebagai lembaga yang pro-LGBTI. “Kami adalah lembaga negara yang dalam banyak hal tidak sejalan dengan program-program pemerintah karena mereka masih sangat bias.” Demikian Budi Wahyuni, narasumber dari Komnas Perempuan menyatakan.
Pengakuan Komnas Perempuan yang memasukkan transpuan sebagai bagian dari perempuan tentunya mendapat sambutan kalangan aktivis perempuan. Meski dengan mengkategorikan perempuan sebagai perempuan secara biologis dan sosial tetap terkesan memberi pembedaan atau jarak tersendiri dalam definisi perempuan, namun setidaknya sebagai lembaga negara Komnas Perempuan diapresiasi. Menurut Larasati dari LBHM, salah satu yang harus diperjuangkan oleh Komnas Perempuan adalah dengan tidak lagi menganggap transpuan sebagai perempuan sosial. Menurutnya, secara biologis pun transpuan seharusnya dapat diakui sebagai perempuan. Upaya transisi maupun ekspresi gender seorang transpuan seharusnya dapat lebih menekankan identitas transpuan juga sebagai perempuan secara biologis. “Karena mereka tidak menjadi perempuan di lingkungan sosial aja tetapi juga di ruang lingkup personal juga perempuan.” Jelas Larasati lebih lanjut.
Narasumber dari Komnas Perempuan mengakui tidak memiliki program yang spesifik terkait kelompok LGBTI khususnya kelompok transpuan. “Sejauh ini yang dilakukan hanya merespon kasus per kasus.” Jelas Budi Wahyuni. Namun, sebagai lembaga yang bergerak untuk merespon aksi kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mencoba untuk memberikan layanan pemulihan pada perempuan yang mengalami kekerasan termasuk di dalamnya kekerasan terhadap transpuan. Lebih lanjut
16
https://regional.kompas.com/read/2016/03/17/07475461/Polisi.Wonosobo.Gagalkan.Pernikahan.Sejenis.Calon.Mempelai.W anita.Menangis?page=all
17
Dasar pendirian awal adalah Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Page
21
of56
dijelaskan, meski tidak ada program spesifik terkait kelompok LGBTI khususnya transpuan, namun Komnas Perempuan menilai punya komitmen yang baik untuk terus mendorong kepada aparat negara untuk tidak melakukan kekerasan terhadap kelompok transpuan. Komnas Perempuan juga berupaya untuk aktif berpartisipasi bersama jaringan kelompok masyarakat sipil dalam kerja kampanye dan advokasi. Dalam advokasi RKUHP dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Komnas Perempuan memberikan dan mendapatkan dukungan dari jaringan kerja advokasi HAM, termasuk dengan organisasi-organisasi LGBTI. Berbeda dengan Komnas HAM yang banyak disorot karena terlalu birokratis, Komnas Perempuan dinilai lebih terbuka dengan jaringan kerja advokasi HAM, khususnya organisasi masyarakat sipil. “Lembaga negara tapi rasa LSM.” Jelas Larasati dari LBHM.
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
Salah satu produk yang setiap lima tahun dirancang dan diimplementasikan negara adalah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Menurut Peraturan Presiden No. 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 76 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, pengembangan maupun implementasi RANHAM dilakukan oleh sekretariat bersama yang terdiri dari lima kementerian. Adapun 5 kementerian tersebut adalah:
1. Kementerian Hukum dan HAM 2. Kementerian Dalam Negeri 3. Kementerian Sosial
4. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan 5. Kementerian Luar Negeri
Pada Perpres tentang RANHAM ini tidak dijelaskan bagaimana peran dari lembaga Hak Asasi Manusia seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam menentukan prioritas. Menurut narasumber dari Dirjen HAM Kemenkumham, dasar penyusunan RANHAM oleh lima kementerian adalah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Seperti dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, pada proses penentuan isu dan kelompok prioritas umumnya ditentukan oleh pimpinan masing-masing lembaga. Dengan demikian, lagi-lagi kapasitas dari pejabat tinggi negara menjadi penting dalam peran ini. “Keputusan diambil berdasarkan konsensus bersama kesekretariatan. Tiap lembaga akan mengikuti arahan dari pimpinan masing-masing. Ketika Dirjen-nya belum anggap isu ini sebagai isu strategis atau isu yang turut diagendakan untuk dibahas, ya susah.”
Lebih jauh dijelaskan oleh narasumber dari Kemenkumham, sejauh ini direktur jenderal HAM belum ada yang memiliki kapasitas yang kuat untuk isu HAM. Hal ini tentu saja diakibatkan oleh penentuan pejabat publik seringkali ditentukan secara struktural atau berdasarkan jenjang karir, dan bukan berdasarkan kebidangan atau kapasitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pejabat publik setara Dirjen HAM pun masih perlu pembekalan terhadap pemahaman HAM secara umum maupun isu-isu turunan yang lebih spesifisik seperti SOGIESC. “Kecuali Dirjen-nya dari LSM atau dari Komnas (HAM/Perempuan), itu akan berbeda menurut saya.” Jelas narasumber lebih lanjut.
Page
22
of56
Dengan demikian, dinyatakan bahwa dalam dinamika pembahasan RANHAM, tidak mengherankan pembahasan menjadi sangat terbatas dan hanya mengacu pada RPJMN ataupun agenda prioritas masing-masing kementerian yang diwarnai dengan minimnya pengalaman maupun kapasitas para pimpinan (sebagai pengambil keputusan) di kementerian terkait. Terkait RANHAM identifikasi atau prioritas pada kelompok minoritas diidentifikasi berdasarkan 4 kelompok rentan (perempuan, anak, adat dan disabilitas sebagaimana ditentukan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk
konteks Indonesia).
Akses terhadap Kartu Identitas Kewarganegaraan
Khusus untuk kelompok transgender, salah satu kendala yang dihadapi adalah akses untuk
mendapatkan kartu identitas kewarganegaraan. Sejauh ini pemerintah hanya mengakomodir dua jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) dalam identitas kewarganegaraan. Terkait kartu tanda penduduk (KTP) sebagai kartu identitas kewarganegaraan Indonesia, dalam studi ini ditemukan bahwa dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menjadi landasan hukum terkait pencatatan, pencantuman maupun pelaporan data kependudukan (UU No. 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan), ada kontradiksi terkait pengakuan negara terkait identitas seseorang.
Pada pasal 58 ayat 2 UU No.24 tahun 2013, dicantumkan jenis kelamin (poin d) sebagai salah satu elemen data perseorangan (dari 31 elemen data) yang diakui sebagai data kependudukan. Namun pada pasal 64 yang terkait dengan KTP elektronik, pada ayat satu yang membahas tentang informasi apa saja yang dicantumkan dalam KTP eletronik, ada kejanggalan ditemukan. Elemen jenis kelamin sebagaimana dicantumkan pada pasal 58 langsung dituliskan sebagai laki-laki dan perempuan (memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el). Dengan demikian, pada pasal ini dipastikan informasi jenis kelamin yang diakui memang informasi jenis kelamin biner (laki-laki dan perempuan). Dengan kata lain, tidak mengakui keberadaan jenis kelamin lainnya (terutama untuk seorang transeksual dan interseksual).
Sebagai salah satu lembaga bantuan hukum yang sering mendampingi dan bekerja dengan komunitas LGBTI termasuk transpuan, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengidentifikasi sejauh ini akses terhadap KTP masih menjadi isu di kalangan keluarga. Kebanyakan individu transpuan
meninggalkan keluarga mereka sebelum memiliki KTP. Untuk dapat mengurus KTP di tempat domisili diperlukan surat keterangan pindah dari tempat tinggal sebelumnya, yang artinya individu yang bersangkutan harus datang ke keluarganya untuk mendapatkan kartu keluarga sebagai syarat kelengkapan administrasi pengurusan surat pindah.
Kebanyakan transpuan meninggalkan keluarga mereka justru karena konflik dengan keluarga, sehingga tidak jarang akhirnya seorang transpuan harus bertahan hidup tanpa kartu identitas. Dengan tidak memiliki kartu identitas kependudukan maka otomatis akses terhadap fasilitas publik terutama jaminan
Page
23
of56
kesehatan, pendidikan, maupun pekerjaan pun menjadi sangat terbatas. “Tidak ada kartu identitas yang membuat mereka menjadi lebih rentan lagi,” ungkap Larasati, narasumber dari LBHM.
Terkait informasi identitas di KTP, sejauh ini perubahan yang lebih mudah diproses terutama adalah terkait informasi tentang nama dan foto terkini sesuai ekspresi gender terakhir. Terkait proses pencatatan data kependudukan, dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dicantumkan pada pasal 1 angka 16 dan 17 pada dasarnya pencatatan sipil oleh negara dilakukan berdasarkan Peristiwa Penting. Adapun dijelaskan lebih lanjut Peristiwa Penting yang terjadi meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Penggantian jenis kelamin tidak disebutkan sebagai bagian dari Peristiwa Penting. Terkait penggantian jenis kelamin, pengubahan jenis kelamin pada pencatatan sipil dinyatakan dapat dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri.18 Penjelasan pasal ini pun kemudian masuk menjadi salah satu ayat pada Pasal 97 Perpres No 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (ayat 2). Meski dimungkinkan untuk pengubahan pencatatan jenis kelamin secara administrasi kependudukan, proses pengadilan bukan merupakan proses yang mudah untuk dilakukan. Penduduk yang mengajukan perubahan selain harus menunjukkan surat keterangan medis terkait konfirmasi jenis kelamin, dan saksi ahli harus dilibatkan dalam proses persidangan. Seperti yang terjadi pada seorang transpuan di
Makassar, Sulawesi Selatan. Saat proses pengadilan tidak ada satu orang dokter pun yang bersedia untuk menjadi saksi ahli untuk verifikasi surat keterangan jenis kelamin dari rumah sakit dari negara lain. Dengan alasan moral dan agama, kebanyakan dokter menolak untuk membantu dalam proses
persidangan. Pencarian saksi ahli medis pun dilakukan hingga ke Jakarta dengan bantuan organisasi berbasis SOGIESC dan lembaga bantuan hukum di Makassar, Sulawesi Selatan.
18
Penjelasan pasal 56 ayat 1 UU No.23 tahun 2006, yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.
Page
24
of56
III.2. Situasi Transpuan Dalam Bingkai Sosial Budaya Indonesia
Secara umum sistem sosial budaya adalah sistem yang dibentuk oleh suatu masyarakat yang saling berhubungan yang meliputi relasi dan interaksi sosial manusia dalam masyarakat yang menghasilkan dan mengembangkan unsur-unsur budaya, seperti hukum, norma dan adat yang bertujuan untuk memenuhi hajat-hajat sosial dan budaya suatu masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya .19 Penerapan sistem sosial budaya tidak dapat dilepaskan dari diskursi dan dinamika kekuasaan. Seperti yang dikatakan Foucault bahwa kekuasaan terdistribusi dan saling terjalin dalam semua aspek relasi dan elemen sosial dan budaya masyarakat yang menghasilkan subjek sesuai dan tunduk dengan yang diinginkan oleh kekuasaan tersebut.20 Oleh karena itu, pembentukan sistem sosial budaya dalam masyarakat tergantung siapa aktor-aktor yang berkuasa dan berpengaruh dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak heran banyak individu ataupun kelompok khususnya yang tidak memiliki kekuasaan terpaksa tunduk daripada mempertanyakan ataupun menentang tatanan sosial budaya tersebut.
Asas yang menjadi dasar sistem sosial budaya Indonesia ditetapkan dalam perwujudan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.21 Sehingga setiap warga Negara Indonesia harus tunduk dan patuh pada asas tersebut. Sebagai sebuah hukum, pancasila dan Undang-undang Dasar tidak bisa lepas dari penafsiran. Seperti yang dikatakan oleh Utrecht bahwa ada lima (5) pendekatan dalam melakukan penafsiran hukum yaitu gramatikal (tallkundige interpretatie), historis (historiche interpretative), sistematis (systematische interpretatie), sosiologis dan autentik.22 Penafsiran hukum ini bertujuan untuk mendapatkan keadilan bagi setiap orang yang berkenaan terhadap hukum tersebut. Karena Undang-undang sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga politik dalam banyak hal dipengaruhi oleh arus pemikiran dominan dalam lembaga politik yang bersangkutan pada kurun waktu tertentu.23 Patriarki menjadikan perempuan menjadi subjek diskriminasi dan menjadi kelompok yang tertindas dalam masyarakat .24 Penindasan ini terjadi melalui pembentukan mekanisme dan tatanan sosial yang hanya memberikan keuntungan bagi laki-laki dibanding perempuan. Premis ini memberikan implikasi pada perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat mendefinisikan mereka. Implikasi pengelompokan antara perempuan dan laki-laki justru menegasikan adanya kelompok lain di luar keduanya.
Salah satu bukti sejarah bahwa asas sistem sosial budaya diatas hadir dan dipengaruhi oleh masyarakat mayoritas agama islam adalah adanya piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam ini merupakan dokumen sejarah yang menunjukan bagaimana kompromi antara kelompok agamis khususnya Islam dan nasionalis dalam proses pembentukan dasar Negara Indonesia.25 Hal ini terlihat dari isi piagam Jakarta pada sila pertama adalah Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
19
Kristanto, N. H. (2008). Sistem Sosial-Budaya di Indonesia. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan Universitas Diponegoro, 1-16.
20
Barker, C. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication.
21
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_sosial_budaya_Indonesia#cite_note-Zainal-1
22
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta Pusat: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
23
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-danpuu/231-penafsiran-undang-undang-dari-perspektifpenyelenggara-pemerintahan.html
24
Haryanto, S. (2012). Spektrum teori sosial : Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
25
Page
25
of56
pemeluknya26, yang sebelumnya pada 1 Juni 1945 berdasarkan usulan Ir. Soekarno terletak pada sila kelima dengan bunyi Ketuhanan yang Berkebudayaan.27 Meskipun akhirnya pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 diubah menjadi Ketuhanan yang maha Esa pada sila pertama. Proses ini menunjukan sistem sosial budaya Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan agama Islam.
Lalu, apa hubungannya dengan kelompok transpuan? Mayoritas kelompok agama Islam sangat anti terhadap kelompok transpuan. Beberapa catatan sejarah memperkuat premis ini. Operasi Toba (Tobat) antara tahun 1950-1665 dipimpin oleh Kahar Muzakkar yang bertujuan untuk membantai kelompok bissu dan transpuan di Pangkep, Sulawesi Selatan.28 Operasi ini merupakan bagian dari gerakan separatis islam DI/TII di Indonesia.
Pada 23 Oktober 2014 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menerbitkan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat) yang dalam salah satu pasalnya adalah untuk melakukan kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI. Berdasarkan penelitian LBH Masyarakat pelaku tertinggi persekusi terhadap LGBTI adalah ormas agama yang dinominasi oleh ormas agama islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Jihad Islam.29
Studi analisis situasi ini tidak sedang memojokkan salah satu gender (laki-laki) dan satu agama tertentu (Islam). Karena pada faktanya kelompok-kelompok perempuan dan agama lain di Indonesia juga melakukan kekerasan terhadap transpuan. Tetapi, hal yang ingin disampaikan penelitian ini adalah bagaimana kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari sebuah sistem sosial budaya suatu masyarakat. Seperti yang sudah disampaikan diawal, bahwa proses pembentukan sistem sosial budaya Indonesia sangat didominasi kekuasaan budaya patriarki (laki-laki) dan agama Islam yang selanjutnya dijelaskan dua hal ini sangat tidak berpihak terhadap kelompok transpuan.
3.2.1. LGBTI, Transpuan dan Moralitas Bangsa
Pandangan masyarakat terhadap transpuan sangat didominasi dengan hal-hal yang berhubungan dengan kerusakan. Baik kerusakan fisik hingga kerusakan psikis. Dalam hal kerusakan fisik yang paling ditakuti oleh mayoritas masyarakat adalah bahwa kelompok LGBTI (dalam hal ini termasuk transpuan) adalah penyebab bencana alam dan gempa bumi. Pandangan ini sudah ada sejak terjadinya tsunami Aceh 2004 hingga gempa di Palu pada 2018. Bahkan dari deretaran peristiwa alam ini, akronim LGBT diartikan sebagai Longsor, Gempa dan Bencana Tsunami.
26 ibid 27 https://www.romadecade.org/sejarah-pancasila/#! 28 https://historia.id/politik/articles/beberapa-kesaksian-tentang-kahar-muzakkar-6kRE1 29
Zakiah, N. R. (2018). Bahaya Akut Persekusi LGBT:Seri Monitor dan Dokumentasi 2018. Jakarta Selatan: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.